of 47 /47
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.2.1. Pengertian Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu tiga kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah (Simatupang, 2004). Pada literatur Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari empat kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak, frekuensinya lebih dari tiga kali (Simatupang, 2004). Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu atau kurang dari 14 hari. Lebih dari 90% penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan akan disertai dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi disebabkan oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain (Ahlquist & Camilleri, 2005).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.2.1. Pengertian II.pdf · diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari empat kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan

  • Author
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.2.1. Pengertian II.pdf · diare bila frekuensi buang air besar...

  • 13

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Diare

    2.2.1. Pengertian

    Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu

    penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang

    lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih

    dari biasa, yaitu tiga kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai

    dengan muntah atau tinja yang berdarah (Simatupang, 2004).

    Pada literatur Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, neonatus dinyatakan

    diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari empat kali, sedangkan untuk

    bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak, frekuensinya lebih dari tiga kali

    (Simatupang, 2004).

    Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan

    konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya,

    dan berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu atau kurang dari 14 hari.

    Lebih dari 90% penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan akan

    disertai dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi disebabkan

    oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain (Ahlquist & Camilleri,

    2005).

  • 14

    2.2.2. Etiologi

    Menurut Ngastiyah (2005) dan Hidayat (2006), berbagai macam faktor

    yang dapat menjadi penyebab diare pada bayi :

    a. Infeksi

    Faktor ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk

    dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak

    sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya

    terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi

    usus dalam absorbsi cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin

    bakteri akan menyebabkan sistem transport aktif dalam usus sehingga sel mukosa

    mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.

    1) Enteral yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran pencernaan dan merupakan

    penyebab utama terjadinya diare. Infeksi enteral meliputi:

    a) Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella Compylobacter,

    Yersenia dan Aeromonas.

    b) Infeksi virus : Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie dan Poliomyelitis,

    Adenovirus, Rotavirus dan Astrovirus).

    c) Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, dan Strongylodies),

    Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan Trichomonas

    homonis), dan jamur (Candida albicans).

    2) Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan,

    seperti Otitis Media Akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia,

  • 15

    ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak dibawah

    dua tahun.

    b. Faktor Malabsorbsi

    Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan

    tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke

    rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare.

    1) Malabsorbsi kabohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa),

    monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa), pada bayi dan

    anak yang terpenting dan tersering (intoleransi laktosa).

    2) Maldigesti protein lengkap, karbihidrat dan trigliserida diakibatkan

    insufisiensi eksokrin pankreas.

    3) Gangguan atau kegagalan ekskresi pancreas menyebabkan kegagalan

    pemecahan kompleks protein, karbohidrat dan terigliserida.

    4) Pemberian obat pencahar; laktulosa, pemberian magnesium hydroxide

    (misalnya susu magnesium).

    5) Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat.

    6) Pemberian makan atau minum yang tinggi karbohidrat, setelah mengalami

    diare menyebabkan kekambuhan diare.

    c. Faktor Makanan

    Dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik.

    Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan

  • 16

    kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare.

    Contoh makanan basi, beracun, atau alergi terhadap makanan.

    d. Faktor Psikologis

    Rasa takut dan cemas terutama pada bayi (jarang terjadi pada anak yang

    lebih besar) dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang

    akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan

    diare.

    2.2.3. Faktor Resiko

    Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan atau

    minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita maupun

    orang sekitar yang bersentuhan atau tidak langsung melalui lalat ( melalui lima F :

    faeces, flies, food, fluid, finger).

    Faktor risiko terjadinya diare adalah:

    a. Faktor Perilaku

    1) Tidak memberikan ASI/ASI eksklusif dan memberikan Makanan

    Pendamping (MP ASI) yang terlalu dini akan mempercepat bayi kontak

    terhadap kuman.

    2) Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit

    diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu.

    3) Tidak menerapkan kebiasaaan cuci tangan pakai sabun sebelum memberi

    ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan

    BAB anak.

  • 17

    4) Penyimpanan makanan yang tidak higienis.

    b. Faktor Lingkungan

    1) Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan

    fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK).

    2) Kebersihan lingkungan dan kebiasaan pribadi yang buruk.

    Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari penderita

    yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain: kurang

    gizi/malnutrisi terutama anak gizi buruk, penyakit imunodefisiensi/imunosupresi

    dan penderita campak (Kemenkes RI, 2011).

    Selain faktor resiko di atas teridentifikasi juga faktor-faktor yang dapat

    menjadi penyebab maupun pencetus dan dapat mempengaruhi durasi terjadinya

    diare, antara lain :

    a. Faktor Orang Tua

    Pendidikan orang tua adalah faktor yang sangat penting dalam keberhasilan

    manajemen diare pada bayi atau anak. Orang tua dengan tingkat pendidikan

    rendah, khususnya buta huruf tidak akan dapat memberikan perawatan yang tepat

    pada bayi atau anak dengan diare karena kurangnya pengetahuan dan

    ketidakmampuan menerima informasi (Khalili, 2006).

    b. Faktor anak

    Ada beberapa aspek yang dapat menjadi faktor resiko diare yang ada pada

    anak, terutama yang berusia kurang dari dua tahun. Tidak diberikan ASI

    Eksklusif, status imunisasi yang tidak lengkap, status gizi yang rendah, tidak

    diberikan vitamin A dan penyakit yang diderita balita.

  • 18

    1) Umur

    Kebanyakan episode diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan

    (Suraatmaja, 2007; Subagyo & Santoso, 2011). Insiden tertinggi pada golongan

    umur 6-35 bulan, pada masa diberikan makanan pendamping dan anak mulai aktif

    bermain. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya risiko diare pada anak

    usia 6-35 bulan antara lain penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan

    aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terpapar bakteri tinja dan kontak

    lansung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak

    (Depkes, 1999; SDKI, 2007). Penelitian tentang aspek epidemiologi dan klinis

    pasien dilakukan di Brazil oleh Cameiro, et.al (2005) menemukan bahwa 87 %

    anak dirawat dengan gastroenteritis berumur kurang dari empat tahun.

    2) Pemberian ASI

    ASI adalah makanan terbaik untuk bayi, selain komposisinya yang sesuai

    dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat

    menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi. Manfaat ASI pada kelainan

    gastrointestinal terutama disebabkan adanya faktor peningkatan pertumbuhan sel

    usus dan zat-zat imunologi sehingga vili-vili usus cepat mengalami penyembuhan

    setelah rusak karena diare (Lubis, 2003). Anak dengan diare yang tidak mendapat

    ASI lebih beresiko dirawat di rumah sakit, dan periode pemberian ASI pada anak

    dengan diare akut yang dirawat di rumah sakit lebih pendek dibandingkan dengan

    yang tidak dirawat di rumah sakit (Yalcin, Hiszli, Yurdakok dan Ozmert, 2005;

    Khalili, 2006).

  • 19

    3) Status Imunisasi Campak

    Pada balita, 1-7% kejadian diare berhubungan dengan campak, dan diare

    yang terjadi pada campak umumnya lebih berat dan lebih lama (sulit diobati,

    cenderung menjadi kronis) karena adanya kelainan epitel usus (Suraatmaja, 2007;

    WHO, 2009). Anak- anak yang menderita campak atau yang menderita campak

    empat minggu sebelumnya mempunyai resiko lebih tinggi untuk mendapat diare

    atau disentri yang berat dan fatal (WHO, 2009). Imunisasi campak yang diberikan

    pada umur yang dianjurkan dapat mencegah sampai 25 % kematian balita yang

    berhubungan dengan diare (Depkes RI, 2009).

    4) Status Gizi

    Adisasmito (2007) melakukan kajian terhadap faktor risiko diare pada

    beberapa penelitian di Indonesia dan dapat disimpulkan bahwa status gizi yang

    rendah pada bayi dan balita merupakan faktor resiko terjadinya diare. Status gizi

    yang buruk dapat mempengaruhi kejadian diare dan lamanya menderita diare.

    Hubungan status gizi dengan lama diare bermakna secara statistik dimana

    semakin buruk status gizi maka semakin lama diare yang diderita (Palupi, 2007).

    Akan tetapi pada penelitian Wilunda dan Panza (2006) menemukan tidak ada

    hubungan yang signifikan antara status gizi dan status imunisasi campak dengan

    kejadian diare.

    c. Faktor Sosial Ekonomi

    Pendapatan keluarga dan status sosial ekonomi dapat menjadi faktor resiko

    yang signifikan terhadap kejadian diare. Diare lebih sering muncul pada keluarga

    dengan status sosial ekonomi yang rendah. Darmawan, et.al (2008), menemukan

  • 20

    95% keluarga yang memiliki anak dengan diare berasal dari status sosial ekonomi

    menengah ke bawah. Wiluda dan Panza (2006) juga menemukan bahwa terdapat

    hubungan yang signifikan antara status sosial dengan kejadian diare pada balita.

    Status sosial ekonomi rendah meningkatkan resiko terjadinya diare pada balita

    yang kemungkinan disebabkan oleh tidak adekuatnya fasilitas sanitasi lingkungan

    dan lingkungan rumah yang kurang bersih serta kurangnya kebersihan diri

    keluarga yang mempengaruhi balita.

    2.2.4. Patofisiologi

    Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi / patomekanisme

    di bawah ini:

    a. Diare Sekretorik

    Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan

    terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya

    diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus akan merangsang usus

    untuk mengeluarkannya sehingga terjadi diare. Yang khas pada diare ini yaitu

    secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe

    ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum (Simadibrata,

    2006).

    b. Diare Osmotik

    Epitel usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan

    elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus

    dengan cairan ekastraseluler. Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak

    dapat diserap seperti magnesium, glukosa, sukrosa, laktosa, dan maltosa

  • 21

    sehingga akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi,

    sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga

    usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga

    timbul diare (Simadibrata, 2006).

    c. Malabsorpsi Asam Empedu dan Lemak

    Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/produksi micelle

    empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier dan hati (Simadibrata, 2006).

    d. Defek Sistem Pertukaran Anion/Transport Elektrolit Aktif di Enterosit

    Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif NA+,

    K+, ATPase di enterosit dan absorpsi Na

    + dan air yang abnormal (Simadibrata,

    2006).

    e. Motilitas dan Waktu Transit Usus yang Abnormal

    Hipermotilitas (peningkatan pergerakan usus) dan iregularitas motilitas

    usus akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap

    makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan

    mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan

    diare pula. Penyebabnya antara lain: Diabetes Melitus, pasca vagotomi, hipertiroid

    (Simadibrata, 2006).

    f. Gangguan Permeabilitas Usus

    Diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan

    adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus (Simadibrata,

    2006).

  • 22

    g. Diare Inflamasi

    Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada

    beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction,

    tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air,

    elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih

    menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan

    tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik (Juffrie, 2010).

    h. Diare Infeksi

    Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari sudut

    kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif (merusak

    mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresikan

    oleh bakteri tersebut (Simadibrata, 2006).

    2.2.5. Gejala

    Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi gelisah

    dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak

    ada, kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair dan mungkin disertai dengan

    lendir ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah menjadi kehijau-

    hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet

    karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat

    banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh

    usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan

    dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan

    keseimbangan asam-basa dan elektrolit (Kliegman, 2006).

  • 23

    Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala

    dehidrasi mulai tampak. Akan terjadi penurunan volume dan tekanan darah, nadi

    cepat dan kecil, peningkatan denyut jantung, penurunan kesadaran dan diakhiri

    dengan syok, berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata dan ubun-ubun

    cekung, dan selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering (Ngastiyah,

    2005).

    2.2.6. Penanganan

    Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana

    Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak

    Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai

    diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi

    dalam penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare

    juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan

    menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita

    anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit,

    yaitu:

    a. Rehidrasi dengan Menggunakan Oralit

    Oralit disini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah, lebih mendekati

    osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya

    hipernatremia.. Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini

    digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit

    baru dengan osmolaritas rendah ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi

    intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi

  • 24

    kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah

    direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada

    anak.

    Tabel 2.1 Komposisi Oralit Baru

    Sumber: Juffrie, 2010

    Ketentuan pemberian oralit :

    1) Larutkan satu bungkus oralit dalam satu liter air matang, persediaan 24 jam.

    2) Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan

    sebagai berikut:

    a) Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB

    b) Untuk anak dua tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB

    3) Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa

    larutan harus dibuang.

    a. Zinc Diberikan Selama 10 Hari Berturut-Turut

    Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan

    nafsu makan anak.

    Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan

    pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna

  • 25

    dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc

    pada diare dapat meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus,

    meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush

    border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan

    patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara

    berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya

    kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan

    daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi

    dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya

    dehidrasi pada anak.

    Dosis zinc untuk anak-anak:

    1) Anak di bawah umur enam bulan : 10 mg (setengah tablet) per hari

    2) Anak di atas umur enam bulan : 20 mg (satu tablet) per hari

    Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah

    sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang,

    ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau

    dilarutkan dalam air matang atau oralit.

    b. ASI dan Makanan Tetap Diteruskan

    Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah

    sembuh. Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak

    mampu menerima. Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul

    kembali setelah dehidrasi teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan

    mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal termasuk kemampuan

  • 26

    menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga memburuknya status gizi

    dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan

    menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan

    kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada anak diare

    tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit

    serta budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama

    dengan yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus

    diteruskan sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI

    harus diberi susu yang biasa diminum paling tidak setiap tiga jam. Pengenceran

    susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa secara rutin tidak

    diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan

    untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau

    bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan

    pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang

    mereduksi dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap

    dilanjutkan selama dua hari kemudian coba kembali dengan susu atau formula

    biasanya diminum secara bertahap selama 2 – 3 hari.

    Bila anak berumur empat bulan atau lebih dan sudah mendapatkan

    makanan lunak atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari

    energi diit harus berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering

    (enam kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula

    dengan makanan tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi

    dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang lebih besar, dapat

  • 27

    diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat, misalnya nasi,

    kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan energinya

    dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan.

    Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur

    makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta

    ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik

    untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang

    mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman

    ringan, sebaiknya dihindari.

    c. Antibiotik Selektif

    Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah

    atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang

    lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium

    difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,

    pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman

    terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada

    penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap

    antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan

    trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik

    terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik

    oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan

    perubahan permeabilitas membran terhadap antibiotik.

  • 28

    d. Nasihat Kepada Orang Tua

    Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera ke pelayanan kesehatan

    jika demam, tinja berdarah dan berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus,

    diare makin sering, atau belum membaik dalam tiga hari.

    Berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara berkembang

    lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam

    keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan

    dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan

    secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900

    dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam

    keadaan dehidrasi berat, satu diantaranya disertai komplikasi serta penyakit

    penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai

    dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara

    sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan

    pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak

    direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.

    Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi

    berat.

    a. Pengobatan Diare Tanpa Dehidrasi (Terapi Rehidrasi Oral)

    Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga

    untuk mencegah dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-

    sayuran dan sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga

    penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia

  • 29

    < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun

    adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB.

    Untuk anak dibawah umur dua tahun cairan harus diberikan dengan sendok

    dengan cara satu sendok setiap satu sampai dua menit. Pemberian dengan botol

    tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir

    atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama

    10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya satu sendok setiap 2 – 3

    menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti. Selain

    cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus diberikan.

    Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang enam kali sehari)

    serta rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang

    merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena

    dapat menyebabkan diare bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare

    tetap berlangsung atau bertambah hebat dan keadaan anak bertambah berat serta

    jatuh dalam keadaan dehidrasi ringan-sedang, obati dengan cara pengobatan

    dehidrasi ringan – sedang (Juffrie, 2010)

    b. Pengobatan Diare Dehidrasi Ringan-Sedang (Terapi Rehidrasi Oral)

    Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana

    kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit

    yang diberikan tiga jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui,

    meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan

    dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300

    ml, 1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400

  • 30

    ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya

    diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tanda-

    tanda dehidrasi.

    Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi.

    Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian

    oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar.

    Bila oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi.

    Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan

    secara per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang

    sama dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam. Setelah tiga jam keadaan penderita

    dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila keadaan penderita

    membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat dilanjutkan dirumah dengan

    memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada pengobatan diare tanpa

    dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi berat,

    penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik adalah

    pemberian cairan parenteral.

    c. Pengobatan Diare Dehidrasi Berat (Terapi Rehidrasi Parenteral)

    Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah

    Sakit. Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral.

    Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit

    sampai cairan infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit

    selama pemberian cairan intravena (± 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum

    dengan baik, biasanya dalam 3 – 4 jam (untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak

  • 31

    yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi tambahan basa

    dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian

    cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat

    dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun satu jam pertama

    30 cc/kgBB, dilanjutkan lima jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas satu tahun ½

    jam pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan dua setengah jam berikutnya 70 cc/kgBB.

    Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat

    dipercepat. Setelah enam jam pada bayi atau tiga jam pada anak lebih besar,

    lakukan evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan

    diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi

    (Juffrie, 2010)

    2.2.7. Perawatan Bayi Diare di Rumah

    Peran keluarga terutama orang tua dalam penanganan apabila bayi atau

    anak diare di rumah sangat penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi,

    mengurangi risiko kematian akibat diare dan mengurangi risiko bayi atau

    anak dirawat di rumah sakit. Menurut Suraatmaja (2007) tindakan yang

    harus dilakukan keluarga jika bayi atau anak menderita diare adalah :

    a. Memberikan bayi atau anak cairan lebih banyak dari biasanya untuk

    mencegah dehidrasi. Cairan yang dapat diberikan di rumah yaitu larutan

    gula garam, air tajin, air sayur bagi yang sudah mendapat MP-ASI. ASI

    harus terus diberikan.

    b. Melanjutkan pemberian makanan. Ibu hendaknya membujuk bayi atau anak

    untuk tetap makan dan memberikan makanan yang baru disiapkan sesuai

  • 32

    dengan usia. Memberikan makanan pada bayi atau anak setiap 3-4 jam

    (enam kali sehari). Makanan yang dapat diberikan yaitu bubur dengan ikan

    atau daging dengan porsi kecil tetapi sering pisang, sari buah segar.

    c. Membawa bayi atau anak ke petugas kesehatan apabila buang air besar

    bertambah sering, sangat haus, mata menjadi cekung atau kering, bayi

    atau anak demam, tidak mau makan atau minum seperti biasa, dan adanya

    darah dalam tinja.

    d. Memberikan bayi atau anak oralit dengan benar. Banyaknya oralit yang harus

    diberikan untuk anak umur < 2 tahun =50-100 ml ( ½-1/4 gelas) setiap

    buang air besar. Anak umur > 2 tahun diberikan oralit 100-200 ml (1/2-1

    gelas) setiap kali buang air besar. Anak yang lebih besar diberikan minum

    sebanyak mungkin. Apabila anak muntah, tunggu 10 menit kemudian

    pemberian oralit diteruskan tetapi lebih lambat yaitu satu sendok makan

    setiap 2-3 menit.

    2.2.8. Komplikasi

    Penderita diare dapat sembuh tanpa mengalami komplikasi, namun

    sebagian kecil mengalami komplikasi dari dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit

    atau pengobatan yang diberikan. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi

    antara lain (Depkes RI, 1999; Suraatmaja, 2007; Subagyo & Santoso, 2011) :

    a. Gangguan Keseimbangan Elektrolit

    Gangguan keseimbangan elektrolit dapat terjadi karena elektrolit ikut

    keluar dalam tinja cair saat diare terjadi. Gangguan keseimbangan elektrolit akibat

    diare ada tiga yang sering terjadi yaitu hipo/hipernatremia dan hipokalemia.

  • 33

    Hiponatremia dapat terjadi pada anak yang diare yang hanya minum air

    putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit garam. Hiponatremia sering

    terjadi pada anak dengan shigellosis dan anak malnutrisi berat dengan oedema.

    Kejadian hiponatremia ditemukan sebanyak 44,8% pada diare akut dengan

    dehidrasi berat.

    Hipernatremia biasanya terjadi pada diare yang disertai muntah dengan

    intake cairan/makanan yang kurang, atau cairan yang diminum terlalu banyak

    mengandung natrium. Ditemukan 10,3% anak yang menderita diare akut dengan

    dehidrasi berat mengalami hipernatremia.

    Penggantian Kalium selama rehidrasi yang tidak cukup, akan

    menyebabkan terjadinya hipokalemia yang ditandai dengan kelemahan otot, ileus

    paralitik, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia ditemukan

    pada sebanyak 62% anak yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat

    (Jurnalis, Sayoeti & Dewi, 2008)

    b. Demam

    Infeksi shigella disentriae dan rotavirus sering menyebabkan demam. Pada

    umumnya demam timbul bila penyebab diare masuk dalam sel epitel usus.

    Demam juga dapat terjadi karena dehidrasi. Demam yang timbul karena dehidrasi

    biasanya tidak tinggi dan akan turun setelah mendapat hidrasi yang cukup.

    Demam dan muntah ditemukan sebanyak 41,3% pada anak dengan diare akut

    yang disebabkan oleh rotavirus (Grace & Jerald, 2010).

  • 34

    c. Oedema atau Overhidrasi

    Oedema (penumpukan cairan) dapat terjadi jika pemberian hidrasi tidak

    diamati sehingga cairan yang diberikan lebih dari yang seharusnya.

    d. Asidosis Metabolik

    Asidosis metabolik ditandai dengan bertambahnya asam atau hilangnya

    basa cairan ekstraseluler. Sebagai kompensasi, terjadi alkalosis respiratorik, yang

    ditandai dengan pernapasan kusmaul. Sinuhaji (2007) menemukan 6,6%-7%

    bayi/anak yang dirawat dengan diare akut mengalami asidosis metabolik.

    Komplikasi diare akut dengan dehidrasi berat yang ditemukan terbanyak adalah

    asidosis metabolik sebesar 75,9% (Jurnalis, Sayoeti & Dewi, 2008) .

    e. Ileus Paralitik

    Ileus paralitik dapat terjadi akibat penggunaan obat antimotalitas. Ileus

    paralitik ditandai dengan perut kembung, muntah, dan peristaltik usus berkurang

    atau tidak ada.

    f. Kejang

    Kejang dapat terjadi pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi

    atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh

    hipoglikemia, kebanyakan terjadi pada anak dengan malnutrisi berat,

    hiperpireksia, hipernatremia atau hiponatremia.

  • 35

    g. Gagal Ginjal Akut

    Dapat terjadi pada penderita dehidrasi berat dan syok. Bila pengeluaran

    kencing belum terjadi dalam waktu 12 jam setelah hidrasi cukup, maka dapat

    didiagnosis gagal ginjal akut.

    2.2 Dehidrasi

    2.2.1. Pengertian

    Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan cairan yang disertai

    “output” yang melebihi “intake” sehingga jumlah air pada tubuh berkurang.

    Meskipun yang hilang cairan tubuh ,tetapi dehidrasi juga seringkali disertai

    gangguan elektrolit (Price, 2006).

    Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena

    nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi

    bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air

    kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan

    ortostatik. Pada keadaan berat, dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan

    status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala (Wingate,2001).

    2.2.2. Patofisiologi

    Kekurangan cairan atau dehidrasi terjadi jika cairan yang dikeluarkan

    tubuh melebihi cairan yang masuk. Tentu, mekanisme tubuh manusia yang sangat

    dinamis menjaga manusia untuk terhindar dari kekurangan banyak cairan. Ketika

    keseimbangan cairan dalam tubuh mulai terganggu, misalnya rasa haus akan

    muncul. Tubuh lalu menghasilkan hormon anti-diuretik (ADH) untuk mereduksi

  • 36

    produksi kencing diginjal. Tujuannya menjaga agar cairan yang keluar tidak

    banyak. Air yang kita minum umumnya cukup untuk mengganti cairan yang

    hilang saat beraktivitas normal seperti bernapas, berkeringat, buang air kecil, atau

    buang air besar. Dehidrasi kebanyakan disebabkan kondisi tertentu. Misalnya

    penyakit macam diare, muntah, dan diabetes, atau berkeringat berlebihan dan

    tidak segera menggantinya dengan minum. Saat dehidrasi, tubuh tidak hanya

    kehilangan air, tapi juga kehilangan elektrolit dan glukosa.

    Kehilangan sekitar 2 % cairan tubuh. Mulanya adalah rasa haus yang

    teramat sangat. Mulut dan lidah kering, air liur pun berkurang. Produksi kencing

    pun menurun.

    Apabila hilangnya air meningkat menjadi 3-4 % dari berat badan, terjadi

    penurunan gangguan performa tubuh. Suhu tubuh menjadi panas dan naik,

    biasanya diikuti meriang. Tubuh menjadi sangat tidak nyaman. Nafsu makan

    hilang, kulit kering dan memerah, dan muncul rasa mual.

    Ketika cairan yang hilang mencapai 5%-6% dari berat badan, frekuensi

    nadi meningkat, denyut jantung menjadi cepat. Frekuensi pernapasan juga makin

    tinggi, napas jadi memburu. Yang terjadi selanjutnya adalah penurunan

    konsentrasi, sakit kepala, mual, dan rasa mengantuk yang teramat sangat.

    Kehilangan cairan tubuh 10%-15% dapat menyebabkan otot menjadi kaku,

    kulit keriput, gangguan penglihatan, gangguan buang air kecil, dan gangguan

    kesadaran.

    Apabila mencapai lebih dari 15% akan mengakibatkan kegagalan

    multiorgan dan mengakibatkan kematian (Price, 2006).

  • 37

    2.2.3. Cara Menentukan Derajat Dehidrasi

    Cara objektif menentukan derajat dehidrasi adalah membandingkan berat

    badan sebelum dan selama diare dan secara subyektif menggunakan kriteria

    WHO, kriteria Mortality Morbidity Weekly Review (MMWR).

    Table 2.2 Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut WHO 2005

    Cara membaca tabel untuk menentukan kesimpulan derajat dehidrasi :

    a. Baca tabel penilaian derajat dehidrasi dari kolom kanan ke kiri (C ke A)

    b. Kesimpulan derajat dehidrasi penderita ditentukan dari adanya satu gejala

    kunci (yang diberi tanda bintang) ditambah minimal satu gejala yang lain

    (minimal satu gejala) pada kolom yang sama.

  • 38

    Table 2.3 Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut MMWR 2003

    Sumber: Juffrie, 2010

    2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Dehidrasi

    a. Umur

    Kebutuhan cairan bervariasi tergantung dari usia, karena usia akan

    berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat badan. Bayi dan

    anak-anak lebih mudah mengalami dehidrasi dibanding usia dewasa. Resiko

    dehidrasi pada anak balita menjadi lebih besar karena komposisi cairan tubuh

    yang besar dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri secara bebas

  • 39

    (Huang dkk., 2012). Pada usia lanjut juga lebih rentan mengalami dehidrasi

    maupun gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dikarenakan penurunan

    atau gangguan fungsi ginjal atau jantung sehingga hal tersebut dapat

    meningkatkan keparahan dari dehidrasi.

    b. Iklim

    Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan kelembaban

    udaranya rendah mengalami peningkatan kehilangan cairan tubuh dan elektrolit

    melalui keringat. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di lingkungan yang panas

    dapat kehilangan cairan sampai dengan lima liter per hari. Maka dari itu kondisi

    lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kejadian dehidrasi

    maupun tingkat keparahan dehidrasi.

    c. Diet

    Diet seseorang berpengaruh terhadap intake cairan dan elektrolit. Ketika

    intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein dan lemak

    sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun padahal

    keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga hal ini

    akan menyebabkan edema.

    Apalagi saat mengalami diare, asupan cairan dan nutrisi yang tidak adekuat

    dapat memperparah kondisi diare dan dehidrasi itu sendiri. Peningkatan peristaltik

    menyebabkan makanan dan cairan tidak terserap dengan baik, sehingga tubuh

    mengalami kekurangan, maka diharapkan saat mengalami dehidrasi maupun

    diare, asupan nutrisi dan cairan ditingkatkan untuk tetap menjaga keseimbangan

  • 40

    cairan dan nutrisi sampai tubuh kembali pulih dan dapat menyerap nutrisi dengan

    baik.

    d. Stres

    Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan pemecahan

    glikogen otot. Mekanisme ini dapat meningkatkan natrium dan retensi air

    sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume darah.

    Stress juga dapat mempengaruhi tingkat dehidrasi melalui peningkatan

    metabolisme sel dan pengeluaran keringat sehingga pemakaian dan pengeluaran

    cairan dalam tubuh meningkat dan jika tidak dibarengi dengan asupan cairan yang

    adekuat, tubuh akan mengalami dehidrasi.

    e. Kondisi Sakit

    Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan cairan

    dan elektrolit sehingga sangat berpengaruh terhadap kejadian dan tingkat

    keparahan dehidrasi misalnya:

    1) Trauma seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui IWL.

    2) Penyakit ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator

    keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.

    3) Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami ganguan

    pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemapuan untuk memenuhinya

    secara mandiri.

    4) Diare dapat menjadi penyebab terjadinya dehidrasi. Selama diare akan terjadi

    peningkatan kehilangan cairan dan elektrolit melalui feses. Kehilangan cairan

    yang terus berlangsung dan tidak diimbangi dengan penggantian yang cukup,

  • 41

    maka akan berakhir menjadi dehidrasi. Dan jika keadaan ini berlangsung

    terus maka dapat terjadi dehidrasi berat dan bahkan kematian (WHO, 2005).

    f. Orang Tua

    Khalili (2006) menjelaskan pendidikan orang tua adalah faktor yang

    sangat penting dalam keberhasilan manajemen diare terutama dalam pencegahan

    maupun penaganan dehidrasi pada anak. Orang tua dengan tingkat pendidikan

    rendah, khususnya buta huruf tidak akan dapat memberikan perawatan yang

    tepat pada anak diare dengan dehidrasi karena kurangnya pengetahuan dan

    kurangnya kemampuan untuk menerima informasi.

    g. Pengobatan

    Pengobatan seperti pemberian diuretik, laksatif dapat berpengaruh pada

    kondisi cairan dan elektrolit tubuh.

    Ketepatan penanganan dehidrasi juga dapat mempengaruhi derajat

    dehidrasi itu sendiri, jika penanganan dehidrasi tidak tepat sesuai kondisi

    dehidrasi dan gagal, maka derajat dehidrasi akan tetap atau mungkin meningkat.

    2.2.5. Dehidrasi pada Diare

    Penderita dengan diare mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion

    natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila

    ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat

    menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi

    merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan

    hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat.

  • 42

    Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik,

    dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik.

    Diare juga dapat diklasifikasilan menurut derajat dehidrasinya, bisa tanpa

    dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat (Juffrie, 2010).

    a. Diare Tanpa Dehidrasi

    Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi

    diare masih dalam batas toleransi dan belum ada tanda-tanda dehidrasi.

    b. Diare dengan Dehidrasi Ringan-Sedang (3%-10%)

    Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare tiga kali atau lebih,

    kadang-kadang muntah, terasa haus, kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan

    menurun, aktifitas sudah mulai menurun, tekanan nadi masih normal atau

    takikardia yang minimum dan pemeriksaan fisik dalam batas normal.

    Jika dehidrasi sudah sampai pada tingkat sedang penderita akan mengalami

    takikardi, kencing yang kurang atau langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu,

    mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, turgor kulit berkurang, selaput lendir

    bibir dan mulut serta kulit tampak kering, air mata berkurang dan masa pengisian

    kapiler memanjang (≥ dua detik) dengan kulit yang dingin yang dingin dan pucat.

    c. Diare dengan Dehidrasi Berat (10%-15%)

    Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan

    biasanya pada keadaan ini penderita mengalami takikardi dengan pulsasi yang

    melemah, hipotensi dan tekanan nadi yang menyebar, tidak ada penghasilan urin,

    mata dan ubun-ubun besar menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air mata,

  • 43

    tidak mampu minum dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya menurun dan

    juga masa pengisian kapiler sangat memanjang (≥ tiga detik) dengan kulit yang

    dingin dan pucat.

    2.3 Pijat Bayi

    2.3.1. Pengertian Pijat Bayi

    Salah satu stimulasi yaitu stimulasi taktil (perabaan dan sentuhan) adalah

    suatu jenis rangsangan sensori yang paling penting untuk perkembangan bayi

    yang optimal. Sensasi sentuhan adalah yang paling berkembang pada saat lahir,

    karena sensasi ini telah berfungsi sejak dalam kandungan sebelum sensasi yang

    lain berkembang. Contoh rangsang taktil yang dapat dilakukan dan penting antara

    lain memegang, menimang, mengurut, menepuk, menggoncang dan gerakan

    termasuk memijat dan memandikan bayi. Cara lain yang dapat digunakan untuk

    merangsang dengan taktil adalah melalui mainan yang mempunyai permukaan

    yang lembut, licin, fleksibel dan kaku (Hammer dan Turner, dalam Soedjatmiko,

    2006).

    Salah satu bentuk terapi sentuhan adalah pijat bayi. Sentuhan alamiah pada

    bayi sesungguhnya sama artinya dengan tindakan mengurut atau memijat. Apabila

    tindakan ini dilakukan secara teratur dan sesuai dengan tata cara dan teknik

    pemijatan bayi, maka terapi ini bisa menjadi terapi untuk mendapatkan banyak

    manfaat bagi bayi (Nadjibah Yahya, 2011).

    Pijat bayi adalah suatu terapi atau seni perawatan kesehatan yang sudah

    lama dikenal oleh manusia dan merupakan pengobatan yang dipraktekkan sejak

    awal manusia diciptakan ke dunia, karena prosesnya berhubungan dengan

  • 44

    kehamilan dan kelahiran manusia. Manusia mengalami pengalaman pertama

    dipijat pada saat dilahirkan di dunia dengan adanya proses kelahiran dimana harus

    meninggalkan rahim yang hangat dan melewati jalan lahir yang sempit sehingga

    menimbulkan pengalaman traumatik dan kecemasan. Sentuhan dan pijat bayi

    yang dilakukan segera setelah lahir akan membuat bayi mempertahankan rasa

    aman setelah mendapat jaminan adanya kontak tubuh bayi (Roesli, 2001).

    Pijat bayi berbeda dengan pijat yang dilakukan terhadap orang dewasa.

    Perbedaan ini terletak pada besarnya tekanan yang diberikan. Pada pijat bayi

    biasanya lebih cenderung berupa sentuhan-sentuhan lembut, sehingga disebut juga

    stimulus touch (Prasetyono, 2009).

    Sentuhan dan pandangan mata yang terjadi pada saat pijat bayi

    berlangsung dapat mengalirkan kasih sayang di antara ibu atau yang memijat

    dengan bayi yang merupakan dasar untuk meningkatkan rasa aman, mengurangi

    kecemasan, menciptakan hubungan emosi yang baik antara keduanya, dan

    meningkatkan kemampuan fisik (Prasetyono, 2009). Semakin padat frekuensi

    sentuhan, semakin dekat hubungan batin yang terjalin, lebih dari itu, sentuhan,

    belaian, dan pijatan akan memperat ikatan kasih sayang orang tua dengan anak

    namun bila dilakukan secara berlebihan, hal tersebut justru akan menimbulkan

    ketergantungan pada bayi. Oleh sebab itu, pemijatan sebaiknya juga dilakukan

    oleh ayah kakek atau nenek agar bayi tidak semakin tinggi ketergantungannya

    hanya terhadap ibu (Subakti, 2008).

  • 45

    2.3.2. Fisiologi Pijat Bayi

    Secara umum mekanisme fisiologis dasar dari terapi sentuhan (pijat bayi)

    ada tiga, yaitu pengeluaran beta endorphin, peningkatan aktivitas nervus vagus

    dan peningkatan produksi serotonin. Masing-masing akan dijelaskan sebagai

    berikut :

    a. Beta Endorphin Mempengaruhi Mekanisme Pertumbuhan.

    Penelitian mengungkapkan bahwa pijatan akan meningkatkan

    pertumbuhan dan perkembangan anak. Tahun 1989, Scanberg dari Duke

    University Medical School melakukan penelitian pada bayi-bayi tikus. Pakar ini

    menemukan bahwa jika hubungan taktil (jilatan-jilatan) ibu tikus ke bayinya

    terganggu akan menyebabkan terjadinya penurunan enzim ODC (ornithine

    decarboxylase) suatu enzim yang menjadi petunjuk bagi pertumbuhan sel dan

    jaringan, dan terjadinya penurunan pengeluaran hormon pertumbuhan.

    b. Aktivitas Nervus Vagus Mempengaruhi Mekanisme Penyerapan

    Makanan.

    Penelitian Field dan Schanberg (1986) menunjukkan bahwa pada bayi yang

    dipijat atau dilakukan terapi sentuhan mengalami peningkatan tonus nervus vagus

    (saraf otak ke-10) yang akan menyebabkan peningkatan kadar enzim penyerapan

    gastrin dan insulin. Dengan demikian, penyerapan makanan akan menjadi lebih

    baik. Itu sebabnya mengapa berat badan bayi yang dipijat meningkat lebih banyak

    daripada yang tidak dipijat.

  • 46

    c. Aktivitas Nervus Vagus Meningkatkan Konsumsi ASI

    Penyerapan makanan menjadi lebih baik karena peningkatan aktivitas

    Nervus Vagus menyebabkan bayi cepat lapar sehingga akan lebih sering menyusu

    pada ibunya. Akibatnya, ASI akan lebih banyak diproduksi. Seperti diketahui,

    ASI akan semakin banyak diproduksi jika semakin banyak diminta. Selain itu, ibu

    yang memijat bayinya akan merasa lebih tenang dan hal ini berdampak positif

    pada peningkatan volume ASI.

    d. Produksi Serotonin Meningkatkan Daya Tahan Tubuh

    Pemijatan akan meningkatkan aktivitas neurotransmiter serotonin, yaitu

    meningkatkan kapasitas sel reseptor yang berfungsi mengikat glucocorticoid

    (adrenalin, suatu hormon stres). Proses ini akan menyebabkan terjadinya

    penurunan kadar hormon kortisol. Penurunan kadar hormon stres ini akan

    meningkatkan daya tahan tubuh, terutama IgM dan IgG selain itu penurunan kadar

    hormon stres ini akan menyebabkan keadaan rileks.

    e. Mengubah Gelombang Otak

    Pijat bayi akan membuat bayi tidur lebih lelap dan meningkatkan

    kesiagaan (alertness) atau konsentrasi. Hal ini disebabkan pijatan dapat mengubah

    gelombang otak. Pengubahan ini terjadi dengan cara menurunkan gelombang

    alpha dan meningkatkan gelombang beta serta tetha, yang dapat dibuktikan

    dengan penggunaan EEG (electro encephalogram) (Roesli, 2001; Nadjibah

    Yahya, 2011).

  • 47

    2.3.3. Manfaat Pijat Bayi

    Pijat bayi menurut Roesli (2001) juga memiliki efek biokimia yang positif,

    antara lain menurunkan kadar hormon stres (catecholamine) dan meningkatkan

    kadar serotonin. Selain itu, ada beberapa hasil laporan penelitian para pakar

    tentang manfaat pijat bayi, antara lain; 1) Meningkatkan berat badan, 2)

    Meningkatkan pertumbuhan, 3) Meningkatkan daya tahan tubuh, 4)

    Meningkatkan konsentrasi bayi dan membuat bayi tidur lebih lelap, 5) Membina

    ikatan kasih sayang orangtua dan anak, 6) Meningkatkan produksi ASI.

    Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sleuwen, dkk (2007)

    menunjukkan pembedongan yang juga diikuti pemijatan pada bayi membuat

    tangis bayi berkurang dan mengurangi nyeri pada bayi. Begitu banyak manfaat

    dari pijat bayi sehingga disarankan kepada orangtua memberikan pijat bayi

    kepada bayinya, semakin dini pijat bayi yang dilakukan secara terus menerus

    maka semakin besar manfaat yang dapat dirasakan. Setelah mengetahui manfaat

    pijat bayi, untuk dapat melaksanakan pijat bayi ada waktu terbaik untuk

    melakukan pijat bayi dan beberapa persiapan sebelum memijat bayi (Roesli,

    2001).

    2.3.4. Faktor-Faktor Yang Diperhatikan dalam Melakukan Pijat Bayi

    a. Waktu Pemijatan

    Pijat bayi dapat segera dimulai setelah bayi dilahirkan, sesuai dengan

    keinginan orang tua. Dengan lebih cepat mengawali pemijatan, bayi akan

    mendapat keuntungan yang lebih besar. Apalagi jika pemijatan dapat dilakukan

  • 48

    setiap hari dari sejak kelahiran sampai bayi berusia enam sampai tujuh bulan

    (Roesli, 2009 ; Nadjibah Yahya, 2011).

    Waktu terbaik untuk memijat bayi ketika bayi terjaga dan senang.

    Demikian pula dengan orang tua sendiri harus dalam kondisi tenang dan santai,

    sehingga bayi juga merasa tenang (Heath dan Bainbridge, 2007).

    Menurut Roesli (2009) bayi dapat dipijat pada waktu-waktu yang tepat,

    meliputi:

    1) Pagi hari, pada saat orang tua dan anak siap untuk memulai hari baru

    2) Malam hari, sebelum tidur. Ini sangat baik untuk membantu bayi tidur lebih

    nyenyak

    b. Cara Memijat Sesuai Usia

    1) 0 - 1 bulan, disarankan gerakan yang lebih mendekat usapan-usapan halus.

    Sebelum tali pusat lepas sebaiknya tidak dilakukan pemijatan di daerah perut.

    2) 1 - 3 bulan, disarankan gerakan halus disertai dengan tekanan ringan dalam

    waktu yang singkat.

    3) 3 bulan - 3 tahun, disarankan seluruh gerakan dilakukan dengan tekanan dan

    waktu yang semakin meningkat (Roesli, 2009).

    c. Hal yang Dilakukan dan Diperhatikan Selama Pemijatan

    1) Memandang mata bayi, disertai pancaran kasih sayang selama pemijatan

    berlangsung.

    2) Bernyanyilah atau putarkanlah lagu-lagu yang tenang atau lembut, guna

    membantu menciptakan suasana tenang selama pemijatan berlangsung.

  • 49

    3) Awalilah pemijatan dengan melakukan sentuhan ringan, kemudian secara

    bertahap tambahkanlah tekanan pada sentuhan yang dilakukan, khususnya

    apabila pemijat sudah merasa yakin bahwa bayi mulai terbiasa dengan

    pemijatan yang sedang dilakukan.

    4) Sebelum melakukan pemijatan, lumurkanlah baby oil atau lotion yang lembut

    sesering mungkin.

    5) Sebaiknya, pemijatan dimulai dari kaki karena umumnya bayi lebih menerima

    apabila dipijat sebelum bagian lain dari badannya disentuh. Urutan pemijatan

    bayi dianjurkan dimulai dari bagian kaki, perut, dada, tangan, muka dan

    diakhiri pada bagian punggung.

    6) Tanggaplah pada isyarat yang diberikan oleh bayi. Jika bayi menangis,

    cobalah untuk menenangkannya sebelum melanjutkan pemijatan. Jika bayi

    menangis lebih keras, hentikanlah pemijatan karena mungkin bayi

    mengharapkan untuk digendong, disusui atau sudah mengantuk dan sangat

    ingin tidur.

    7) Mandikan bayi segera setelah pemijatan berakhir agar bayi merasa segar dan

    bersih setelah terlumuri minyak bayi (baby oil). Namun, kalau pemijatan

    dilakukan pada malam hari, bayi cukup diseka dengan air hangat agar bersih

    dari minyak.

    8) Lakukan konsultasi pada dokter atau perawat untuk mendapatkan keterangan

    lebih lanjut tentang pemijatan bayi.

    9) Hindarkan mata bayi dari baby oil/ lotion (Roesli, 2009).

  • 50

    2.3.5. Kontra Indikasi Pijat Bayi

    a. Memijat bayi langsung setelah makan.

    b. Membangunkan bayi khusus untuk pemijatan.

    c. Memijat bayi pada saat bayi dalam keadaan tidak nyaman.

    d. Memijat bayi pada saat bayi tak mau dipijat.

    e. Memaksakan posisi pijat tertentu pada bayi (Roesli, 2009).

    2.3.6. Efek Samping Pijat Bayi

    Efek samping pijat bayi terjadi apabila pemijatan dilakukan dengan cara

    yang salah dan tidak sesuai dengan ketentuan medis/ teknik pemijatan yang telah

    ada.

    Efek samping dari kesalahan pemijatan diantaranya adalah pembengkakan,

    terdapatnya lebam, adanya rasa sakit pada bayi sehingga bayi menjadi rewel,

    pergeseran urat dan cedera. Oleh karena itu, banyak orang tua yang enggan

    melakukan pijat bayi, mereka takut akan terjadi resiko pijat payi pada buah

    hatinya.

    Resiko pijat bayi tersebut biasanya disebabkan oleh kelalaian praktisi pijat

    dalam memijat, salah pijat, dan kurangnya pengetahuan pemijat. Untuk

    memperkecil resiko pijat bayi, sebaiknya orang tua mengetahui dan melakukan

    cara pijat bayi yang sesuai dengan ketentuan pemijatan serta lebih teliti dalam

    memilih praktisi pijat untuk bayinya (Roesli, 2009).

    2.3.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu Melakukan Pijat Bayi

    Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu melakukan pijat bayi antara lain ibu

    yang enggan untuk melakukan pemijatan secara rutin kepada bayinya apalagi

  • 51

    diawal kelahirannya. Para ibu beranggapan bahwa bayi tidak boleh sering dipijat,

    badannya masih lemah atau alasan lain seperti tidak berani memijat karena takut

    salah akibat tidak tahu mengenai teknik memijat yang baik dan benar yang tidak

    pernah dibuktikan kebenarannya (Subakti ; Anggraini, 2009). Selain itu faktor

    pengetahuan, sosial budaya, alat, waktu, dukungan suami serta keluarga dan peran

    petugas kesehatan juga mempengaruhi ibu untuk melakukan pemijatan kepada

    bayinya.

    2.3.8. Persiapan Sebelum Melakukan Terapi Pijat Bayi

    a. Sebelum memijat, tangan dipastikan bersih dan hangat. Hindari kuku panjang

    dan perhiasan dilepaskan untuk menghindari goresan pada kulit bayi. Bayi

    sebaiknya sudah makan atau tidak sedang lapar. Akan tetapi, jangan memijat

    segera setelah bayi selesai makan atau membangunkan bayi hanya untuk

    dipijat. Pemijatan pada bayi jangan dilakukan bila bayi sedang tidak merasa

    nyaman atau tidak mau dipijat. Tidak boleh memaksakan posisi pijat tertentu

    pada bayi.

    b. Sebelum pijat dimulai, handuk, popok, baju ganti, dan baby oil/baby lotion

    disiapkan kemudian bayi dibaringkan diatas permukaan kain rata, lembut, dan

    bersih. Pilih ruangan yang nyaman, hangat, dan tidak pengap.

    c. Sebelum memijat, mintalah izin pada bayi sebelum melakukan pemijatan

    dengan cara memberikan gerakan pembuka berupa sentuhan ringan di

    sepanjang sisi wajah bayi dan mengusap-usap rambut kepala, sambil

    mengajak bayi berbicara. Sebelum dan selama pemijatan, kulit bayi perlu

    sesering mungkin dilumuri baby oil atau baby lotion (Febriani, 2008).

  • 52

    2.3.9. Prosedur Pijat Bayi

    a. Melakukan Pemijatan pada Daerah Kaki

    Gerakan tangan dari pangkal paha sampai ke pergelangan kaki seperti

    memerah susu atau memeras.

    Mengurut telapak kaki bayi secara bergantian, pijat jari kaki dengan

    gerakan memutar dan diakhiri dengan tarikan lembut pada setiap ujungnya. Untuk

    punggung kaki secara bergantian kemudian buat gerakan menggulung dari

    pangkal paha ke pergelangan kaki.

    b. Melakukan Usapan pada Daerah Perut

    Lakukan gerakan seperti mengayuh pedal sepeda, dari atas kebawah perut.

    Letakkan kedua ibu jari di samping kanan dan kiri pusar perut, gerakkan kedua

    ibu jari ke arah tepi kanan dan kiri perut. Lakukan gerakan “I LOVE U” mengusap

    dari kanan atas perut bayi kemudian ke kiri bawah membentuk “L” terbalik.

    “YOU” mengusap dari kanan bawah ke atas kemudian ke kiri dan berakhir di

    perut kiri bawah membentuk huruf “U”.

    c. Melakukan Pemijatan pada Daerah Dada

    Lakukan pijatan kupu-kupu. Letakkan kedua tangan kita di tengah dada

    bayi kita dan gerakan keatas kemudian ke sisi luar tubuh dan kembali ke ulu hati

    tanpa mengangkat tangan seperti membentuk hati. Lalu dari tengah dada bayi

    dipijat menyilang dengan telapak tangan kita kearah bahu seperti membentuk

    kupu-kupu.

  • 53

    d. Melakukan Pijatan pada Daerah Tangan

    Buatlah gerakan memijat ketiak dari atas ke bawah, jika terdapat

    pembengkakan kelenjar di daerah ketiak jangan lakukan gerakan ini. Gerakan

    tangan seperti memerah susu atau seperti memeras dari pundak ke pergelangan

    tangan. Pijat telapak tangan dengan kedua ibu jari, dari pergelangan tangan kearah

    jari-jari. Pijat lembut jari bayi satu persatu menuju ke arah ujung jari dengan

    gerakan memutar, akhiri dengan tarikan lembut pada setiap ujung jari. Bentuklah

    gerakan menggulung dari pangkal lengan menuju kearah pergelangan tangan.

    e. Melakukan Pemijatan pada Daerah Wajah

    Gerakan tangan kita dari tengah wajah samping seperti membasuh mata.

    Tekankan jari-jari kita dari tengah dahi kesamping seperti menyetrika dahi.

    Letakkan kedua ibu jari anda pada pertengahan alis, tekankan ibu jari anda dari

    pertengahan kedua alis turun melalui tepi hidung ke arah pipi dengan membuat

    gerakan kesamping dan ke atas seolah membuat bayi tersenyum (senyum I).

    Letakkan kedua ibu jari anda diatas mulut didaerah sekat hidung. Gerakkan

    kedua ibu jari dari tengah kesamping dan ke atas daerah pipi seolah membuat bayi

    tersenyum (senyum II).

    Letakkan kedua ibu jari anda di tengah dagu. Tekankan kedua ibu jari pada

    dagu dengan gerakan dari tengah ke samping, kemudian ke atas ke arah pipi

    seolah membuat bayi tersenyum (senyum III). Buatlah lingkaran-lingkaran kecil

    di daerah rahang bayi dengan kedua jari telunjuk tangan anda, berikan tekanan

    lembut pada daerah belakang telinga kanan dan kiri.

  • 54

    f. Melakukan Pemijatan pada Daerah Punggung

    Menggerakkan tangan kita maju mundur dari bawah leher ke pantat bayi.

    Pegang dan tahan pantat bayi dengan tangan kanan, kemudian usapkan telapak

    tangan kiri kita seperti menyetrika punggung, dari leher ke pantat (Roesli, 2009).

    2.3.10. Gerakan Relaksasi dan Gerakan Peregangan Lembut

    Membuat goyangan-goyangan ringan, tepukan-tepukan halus dan

    melambung-lambungkan secara lembut. Teknik sentuhan relaksasi mudah dan

    sederhana. Dapat dikerjakan bersama-sama pijat bayi atau terpisah dari pijat bayi.

    Misalnya, waktu ibu mulai memijat bagian kaki bayi ternyata kakinya tegang dan

    kaku.

    Gerakan-gerakan sederhana yang meregangkan tangan dan kaki bayi,

    memijat perut dan pinggul, serta meluruskan tulang belakang bayi. Peregangan

    lembut ini dilakukan di akhir pemijatan atau diantara pijatan, setiap gerakan

    peregangan dapat dilakukan sebanyak empat sampai lima kali.

    a. Tangan Disilangkan

    1) Pegang kedua pergelangan tangan bayi dan silangkan keduanya di dada.

    2) Luruskan kembali kedua tangan bayi ke samping

    b. Membentuk Diagonal Tangan-Kaki

    1) Pertemukan ujung kaki kanan dan ujung tangan kiri bayi diatas tubuh bayi

    sehingga membentuk garis diagonal. Selanjutnya, tarik kembali kaki kanan

    dan tangan kiri bayi ke posisi semula.

  • 55

    2) Pertemukan ujung kaki kiri dengan ujung tangan kanan bayi diatas tubuh bayi.

    Selanjutnya, tarik kembali tangan dan kaki bayi ke posisi semula. Gerakan

    membentuk diagonal ini dapat diulang empat sampai lima kali.

    c. Menyilangkan Kaki

    1) Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi, lalu silangkan ke atas. Buatlah

    silangan sehingga mata kaki kanan luar bertemu dengan mata kaki kiri dalam.

    Setelah itu, kembalikan pada posisi semula.

    2) Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi, lalu silangkan ke atas. Buatlah

    silangan sehingga mata kaki kanan dalam bertemu dengan mata kaki kiri luar.

    Setelah itu, kembalikan pada posisi semula. Gerakan ini dapat diulang

    sebanyak empat sampai lima kali.

    d. Menekuk Kaki

    Pegang pergelangan kaki kanan dan kiri bayi dalam posisi kaki lurus, lalu

    tekuk kaki perlahan menuju ke arah perut. Gerakan menekuk lutut ini dapat

    diulang sebanyak empat sampai lima kali.

    e. Menekuk Kaki Bergantian

    Gerakan sama seperti menekuk kaki, tetapi dengan mempergunakan kaki

    secara bergantian (Roesli, 2008).

    2.4 Pengaruh Pijat Bayi Terhadap Derajat Dehidrasi Pada Bayi

    Diare erat hubungannya dengan kejadian dehidrasi dan kurang gizi. Setiap

    episode diare dapat menyebabkan dehidrasi akibat ketidakseimbangan antara

    cairan yang masuk dan cairan yang keluar akibat diare serta dapat terjadi

  • 56

    kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan

    menyerap sari makanan, sehingga apabila episodenya berkepanjangan akan

    berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan bayi (Firmansyah, 1992).

    Ketidaknyamanan yang dirasakan bayi saat diare dapat mengakibatkan

    nafsu makan menurun atau bahkan menghilang dan bayi cenderung rewel dan

    gelisah. Padahal di saat bersamaan bayi membutuhkan asupan nutrisi yang

    adekuat untuk membantunya dalam proses penyembuhan dan pemulihan dari

    diare. Pemberian asupan nutrisi yang adekuat akan mempercepat kembalinya

    fungsi usus yang normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi

    berbagai nutrien, sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling

    tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan

    berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan

    lebih lama (Brown & Lean, 1984; Sandhu, 2001; WH0, 1995).

    Pijat bayi sebagai terapi sentuhan memiliki banyak manfaat positif yang

    dapat mendukung bayi dalam pertumbuhan dan perkembangannya serta dapat

    menjadi terapi pendukung pada bayi diare. Pijat bayi memiliki manfaat

    meningkatkan nafsu makan bayi dan membantu bayi untuk relaksasi sehingga

    bayi merasa nyaman dan tidak rewel.

    Melalui pijat bayi, dimana ibu memberikan sentuhan disertai dengan

    penekanan lembut pada bayi akan menyebabkan ujung-ujung saraf yang terdapat

    dipermukaan kulit bereaksi terhadap sentuhan. Pijatan pada tubuh diyakini dapat

    menstimulasi sirkulasi darah lokal. Pembuluh darah pada bagian tubuh yang

    dipijat akan mengalami dilatasi dan aliran darah pada daerah ini akan meningkat.

  • 57

    Peningkatan aliran darah dapat dinilai dengan membandingkan suhu dari daerah

    pemijatan sebelum dan sesudah dipijat menggunakan tangan (Field, 1998 dalam

    Field, 2001). Berdasarkan teori tersebut, diasumsikan bahwa dengan menstimulasi

    sirkulasi darah, maka dapat melancarkan juga peredaran darah ke organ

    pencernaan. Mekanisme diare diakibatkan karena masuknya patogen yang

    menyebabkan rusaknya mukosa usus dan mengganggu proses absorpsi. Dengan

    peredaran yang lancar, dapat mengatasi infeksi yang terjadi di dalam organ

    pencernaan dan memperbaiki kemampuan absorpsi usus. Meningkatnya derajat

    dehidrasi pada bayi dengan diare akut salah satunya disebabkan karena

    kemampuan absorpsi usus terganggu, maka apabila kemampuan absorpsi usus

    membaik, bayi akan cepat merasa lapar atau nafsu makan meningkat sehingga

    dapat mempermudah pemberian asupan nutrisi, pemberian ASI dan rehidrasi oral

    untuk mencegah perburukan kondisi dan memperbaiki kondisi dehidrasi.

    Sinclair (2005) menyatakan bahwa pijat dapat merangsang sistem saraf dan

    hormon. Pijatan merupakan rangsangan taktil di permukaan kulit dan merangsang

    persarafan di sekitarnya. Sel-sel saraf akan bekerja memberikan informasi ke otak,

    sehingga otak dapat menginstruksikan enzim ODC (ornithin decarboxylase) untuk

    meningkatkan produksinya. Enzim ini bekerja untuk menjadi petunjuk peka bagi

    pertumbuhan sel dan jaringan. Pada anak diare, pertumbuhan sel dan jaringan

    bermanfaat untuk memperbaiki kondisi saluran pencernaan yang rusak akibat

    invasi mikroorganisme. Kondisi saluran cerna yang membaik menyebabkan daya

    serap saluran pencernaan menjadi baik juga, sehingga keadaan dehidrasi yang

    biasanya terjadi pada bayi dengan diare diharapkan dapat teratasi.

  • 58

    Penelitian yang dilakukan Field dan Schanberg (1986) dalam Roesli (2008)

    menunjukkan bahwa pada bayi yang dipijat mengalami peningkatan tonus nervus

    vagus yang akan menyebabkan peningkatan kadar enzim penyerapan gastrin dan

    insulin. Dengan demikian penyerapan makanan akan menjadi lebih baik. Anak

    dengan diare mendapatkan terapi cairan baik oral maupun intravena. Terapi

    tersebut bertujuan untuk mengatasi dehidrasi akibat diare. Dengan peningkatan

    kadar enzim penyerapan akan membantu kerja cairan tersebut untuk cepat diserap

    dalam tubuh anak, dengan begitu keadaan dehidrasi menjadi cepat teratasi.

    Meningkatnya kadar enzim penyerapan juga membuat asupan makanan menjadi

    cepat terserap oleh tubuh, sehingga tubuh memiliki energi yang cukup untuk

    memperbaiki kerusakan yang terjadi pada organ pencernaan. Sistem pencernaan

    mendapatkan nutrisi yang cukup untuk memperbaiki kerusakan akibat invasi

    mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya diare.

    Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pijat bayi

    terhadap diare. Peneliti Vonda K. Jump (2006) dalam penelitian yang

    dilakukannya pada anak-anak yang tinggal di dua panti asuhan di Quito, Ecuador

    dengan membandingkan pengaruh terapi pijat dengan terapi bermain. 37 bayi

    dengan usia 10-11 bulan secara acak dibagi dalam kelompok intervensi yang

    diberikan pijat bayi dan kelompok control yang diberikan terapi bermain.

    Kelompok intervensi diberikan pijat bayi selama 15 menit setiap harinya,

    khususnya pada pagi hari sedangkan kelompok kontrol diberikan terapi bermain

    selama 15 menit tiap harinya. Hasil yang didapatkan pijat bayi mengurangi lama

    hari anak-anak di panti asuhan merasakan gejala sakit dan juga pjat bayi memiliki

  • 59

    efek positif terhadap gejala sakit yang mereka alami. Untuk lebih mudah dipahami

    gejala individual dari fase sakit dikategorikan sama dengan yang biasa dokter

    pakai. Bayi pada kelompok pijat bayi memiliki rata-rata rendah kejadian gejala

    infeksi. Ketika gejala individual dianalisa, kelompok pijat bayi memiliki frekuensi

    diare yang lebih rendah dan memiliki temperamen yang lebih positif jika

    dibandingkan dengan kelompok terapi bermain.

    Di Indonesia sendiri juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Sri

    Wulandari Novianti (2010) mengenai pengaruh terapi pijat dalam penurunan

    frekuensi BAB dan tingkat dehidrasi pada anak usia nol sampai dua tahun dengan

    diare di RSUD Cibabat Cimahi, hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan

    kondisi pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol yaitu kelompok

    intervensi lebih tenang, rileks, tidur lebih nyenyak dan mengalami peningkatan

    nafsu makan.