33
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Diabetes melitus tipe 1 mempunyai latar belakang kelainan berupa kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun, sedangkan diabetes melitus tipe 2 mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis diabetes. Sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau sedikit meningkat, selanjutnya terjadi kelelahan sel beta pankreas, baru terjadi DMT2 yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (ADA, 2014). Penderita DMT2 mengalami penurunan sensitivitas insulin terhadap kadar glukosa, yang berakibat kadar glukosa yang tinggi. Keadaan ini disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi insulin perifer (Perkeni, 2014). Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia sebagai akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Abate dan Chandalia, 2001). Diabetes Melitus merupakan masalah kesehatan yang komplek karena didalamnya terdapat peran berbagai problematika fisiologi dan biokimia akibat kondisi dimana terdapat defisiensi insulin dan gangguan fungsi insulin. Meningkatnya angka kejadian DMT2 banyak dipengaruhi 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

  • Upload
    dinhtu

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya. Diabetes melitus tipe 1 mempunyai latar belakang kelainan

berupa kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun, sedangkan

diabetes melitus tipe 2 mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya

resistensi insulin belum menyebabkan klinis diabetes. Sel beta pankreas masih

dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah

masih normal atau sedikit meningkat, selanjutnya terjadi kelelahan sel beta

pankreas, baru terjadi DMT2 yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa

darah (ADA, 2014). Penderita DMT2 mengalami penurunan sensitivitas insulin

terhadap kadar glukosa, yang berakibat kadar glukosa yang tinggi. Keadaan ini

disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan

ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi

insulin perifer (Perkeni, 2014).

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia sebagai akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya (Abate dan Chandalia, 2001). Diabetes Melitus merupakan masalah

kesehatan yang komplek karena didalamnya terdapat peran berbagai problematika

fisiologi dan biokimia akibat kondisi dimana terdapat defisiensi insulin dan

gangguan fungsi insulin. Meningkatnya angka kejadian DMT2 banyak dipengaruhi

8

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

2

oleh pola hidup diabetogenik, yang melengkapi defek genetik yang sebelumnya

telah ada pada sel beta pankreas. Beberapa gaya hidup yang dimaksud adalah

asupan kalori yang berlebihan oleh karena cara makan atau pola makan yang salah,

mengkonsumsi banyak makanan tinggi kalori, serta pengeluaran kalori yang tidak

memadai terutama pada mereka yang jarang berolah raga dan aktifitas di luar

ruangan yang minimal (Meier dkk., 2011).

Tabel.2.1.

Kriteria diagnosis DM (Perkeni, 2014)

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

atau

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L)

Puasa diartikan penderita tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L) TTGO

yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan glukosa yang setara

dengan 75 g glukosa anhidrous yang dilarutkan kedalam air.

Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5 oleh ADA 2014 sudah dimasukkan menjadi salah satu

kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang terstandarisasi

dengan baik.

Pada individu sehat, hormon kunci untuk mengontrol glukosa darah adalah

glukagon dan insulin. Insulin adalah hormon pengatur glukosa darah, yang

menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber

energi, insulin diproduksi oleh sel beta Langerhans kelenjar pankreas (Stumvoll

dkk., 2010).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

3

Setelah makan sekresi insulin akan meningkat sehingga terjadi pengambilan

glukosa postprandial di hati dan jaringan perifer sedangkan sekresi glukagon

berkurang. Pada saat kadar glukosa plasma rendah, sekresi glukagon akan

meningkatkan konsentrasi glukosa plasma dengan menstimulasi pemecahan

glikogen yang tersimpan dalam hati menjadi glukosa dan meningkatkan hepatic

gluconeogenesis. Glukagon berfungsi sebagai kontra regulasi insulin dalam

menjaga homeostasis glukosa normal (Theodorakis dkk., 2011).

Pada penderita DMT2, terdapat relatif kekurangan insulin sehingga regulasi

gula darah terganggu. Pada kondisi DMT2, walau pun kadar glukosa darah sudah

tinggi, pemecahan lemak dan protein menjadi glukosa (glukoneogenesis) di hati

tidak dihambat sehingga kadar glukosa darah makin meningkat (Abate dan

Chandalia, 2001). Jika dibiarkan kondisi ini akan berlanjut menjadi disregulasi

metabolik dimana kadar gula darah yang tinggi akan mengalami oksidasi dan

mencederai tubuh pada tingkat seluler. Disregulasi gula darah jika berlanjut akan

menimbulkan komplikasi bahkan kegawatan seperti ketoasidosis diabetik, koma

hiperosmolar non ketosis atau laktat asidosis. Pada tingkat organ akan terjadi mikro

angiopati dan makro angiopati. Kondisi ini bila berlanjut dapat mengakibatkan

kematian (Jain dan Saraf, 2010).

2.2 Perjalanan Alamiah Penderita DMT2

Patofisiologis DMT2 adalah penurunan fungsi sel beta secara progresif,

resistensi insulin yang menetap dan hilangnya efek inkretin (AACE, 2007; UKPDS,

2011). Walaupun demikian kejadian kronik hiperglikemia baru akan akan berlanjut

menjadi DMT2 jika sudah terjadi penurunan fungsi sel beta pankreas, biasanya

setelah periode panjang; kurang lebih 7-10 tahun sebelum DMT2 tersebut

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

4

didiagnosis (Pratley dan Weyer, 2001; Weyer dkk., 2001; Brown dkk., 2010).

Penyebabnya ternyata lebih berhubungan dengan disfungsi sel beta pankreas

dibandingkan adanya resistensi insulin. Hilangnya fase cepat pelepasan insulin

merupakan defek utama pada DMT2 (disamping peningkatan level glukosa

postprandial) (Brown dkk., 2010).

Gambar 2.1.

Perjalanan progresifitas DMT2 ( AACE, 2007; UKPDS, 2011)

Umumnya penderita DMT2 pasti memerlukan terapi kombinasi yang bekerja

pada berbagai defek patofisiologi. Usia muda sampai dewasa pertengahan dengan

peningkatan kadar glukosa puasa dan berat badan berlebih saat didiagnosis sebagai

DMT2, akan lebih cepat mengalami perburukkan dan lebih cepat memerlukan

penambahan terapi (Kellow dkk., 2011). Pemberian terapi untuk menurunkan kadar

glukosa pada penderita DMT2 secepat mungkin dapat menurunkan kegagalan

kendali. Data dari ADOPT menunjukkan thiazolidione mempunyai efikasi yang

lebih baik dibandingkan metformin maupun sulfonilurea (Kahn dkk., 2011).

Evaluasi terapi 2-3 bulan dilakukan pada pemberian monoterapi, dan bila tidak

tercapai target maka terapi mesti disesuaikan dengan penambahan jenis obat lain

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

5

(Nathan dkk., 2009); penambahan obat dengan target kerja berbeda harus diberikan

(Rodbar dan Jellinger, 2010). Perlu diketahui bahwa penyakit diabetes merupakan

multiorgan, multifaktorial bukan hanya disebabkan disfungsi sel beta dan resistensi

insulin pada jaringan perifer dan hati tetapi juga terjadi pada jaringan lemak

(peningkatan lipolisis), penurunan sekresi dan sensitifitas inkretin (gastrointestinal),

peningkatan sekresi glukagon (sel alfa), reabsopsi glukosa (ginjal) dan resistensi

insulin karena gangguan neurotransmiter pada sistem saraf pusat (otak). Pemberian

berbagai obat yang bekerja pada beberapa defek patofisiologi tersebut adalah wajar,

tetapi dengan pemberian berbagai jenis terapi tersebut akan meningkatkan risiko

baik efek samping, penurunan kepatuhan dan tentunya pertimbangan ekonomi

(Nathan dkk., 2009). Inkretin seperti GLP-1 agonis reseptor bekerja pada banyak

tempat patofiologi DMT2 seperti peningkatan sekresi insulin dan menurunkan

sekresi glukagon, efek pada otak, memperlambat pengosongan lambung,

menurunkan nafsu makan, dan efek preservasi sel beta pankreas (khan dkk., 2011).

Sehingga saat ini terapi inkretin dipandang sebagai terapi yang idel pada penderita

DMT2 (Zinman, 2011).

Gambar 2.2.

Perjalanan terapi pada DMT2 (UKPDS, 2011)

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

6

2.3 Insulin

Insulin adalah polipeptida yang tersusun dari dua rantai asam amino yang

dihubungkan oleh struktur disulfida. Rantai pertama dan kedua masing-masing

mempunyai 21 dan 30 asam amino. Substitusi terjadi pada beberapa posisi dalam

kedua rantai tanpa mempengaruhi bioaktifitas (gambar 2.3). Insulin disintesis

sebagai suatu preprohormon dengan berat molekul sekitar 11.500 Dalton serta

merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari prekursor molekul yang lebih

besar. Preproinsulin bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino yang digunakan

melalui proses metabolisme didalam sisterna retikulum endoplasm. Proses ini

menghasilkan proinsulin dengan berat molekul 9.000 Dalton yang diperlukan bagi

pembentukan jembatan disulfida yang sempurna (Butler dkk., 2010).

Gambar 2.3.

Struktur insulin manusia (Butler dkk., 2010)

Susunan proinsulin dimulai dari bagian terminal yaitu amino rantai B-peptida

C (penghubung) dan rantai A. Molekul proinsulin akan dipecah secara spesifik

sehingga terbentuk insulin matur dan peptida C dengan jumlah ekuimolar.

Proinsulin mempunyai panjang yang bervariasi antara 78 hingga 86 asam amino,

dengan variasi yang terdapat pada regio peptida C. Proinsulin memiliki kelarutan

dan titik isoelektrik yang sama dengan insulin, prekursor ini juga membentuk

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

7

heksamer dengan kristal Zeng dan bereaksi kuat dengan antiserum insulin (Drucker,

2001). Proinsulin memiliki bioaktifitas 5% kurang dari bioaktifitas insulin.

Sebagian proinsulin dilepas bersama insulin dan pada keadaan tertentu, lebih besar

dari pada biasanya. Karena waktu paruh proinsulin dalam plasma secara bermakna

lebih panjang dari pada waktu paruh insulin, sehingga insulin dan proinsulin bisa

bereaksi silang secara kuat dengan antiserum insulin yang menyebabkan

pemeriksaan radioimmuno assay untuk menentukan kadar insulin kadang-kadang

memperkirakan secara berlebihan bioaktivitas insulin dalam plasma (Dungan dan

Buse, 2005).

C-peptida merupakan molekul yang berbeda bila dilihat dari sudut pandang

sifat antigeniknya. Karena itu pemeriksaan immunoassay terhadap C-peptida dapat

membedakan apakah insulin yang ada disekresikan dari dalam dengan insulin yang

diberikan dari luar. Insulin dibentuk dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian

diangkut ke kompleks golgi dan akan dibungkus dalam granula berselaput. Granula-

granula ini bergerak ke dinding sel, oleh proses yang diperantarai mikrotubulus,

kemudian bersatu dengan membran sel. Proses ini diakhiri pelepasan insulin secara

eksositosis. Insulin kemudian harus menyeberangi lamina-lamina basalis sel B,

melalui celah endotel kapiler untuk mencapai aliran darah (Drucker, 2001).

Pankreas manusia mensekresi 40-50 unit insulin perhari, yang

menggambarkan kira-kira 15-20% hormon yang disimpan dalam kelenjar pankreas.

Sekresi insulin adalah proses yang membutuhkan energi dan melibatkan sistem

mikrotubulus mikrofilamen dalam sel beta pankreas. Peningkatan konsentrasi

glukosa dalam plasma merupakan faktor fisiologik paling penting yang mengatur

sekresi insulin. Konsentrasi ambang bagi sekresi tersebut adalah kadar glukosa

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

8

puasa plasma (80-100 mg/dl) dan respon maksimal diperoleh pada kadar glukosa

yang berkisar dari 300 hingga 500 mg/dl (Kjems dkk., 2003).

Sejumlah hormon mempengaruhi pelepasan insulin. Preparat agonis alfa

adrenergik, khususnya epinefrin menghambat pelepasan insulin. Preparat agonis ß

adrenergik merangsang pelepasan insulin, yang mungkin dengan cara meningkatkan

c-AMP intrasel. Pajanan yang terus menerus dari hormon pertumbuhan, kortisol,

laktogen plasenta, estrogen dan progestin dalam jumlah yang berlebihan juga akan

meningkatkan sekresi insulin. Banyak obat yang dapat merangsang sekresi insulin,

senyawa sulfonilurea salah satunya, yang dewasa ini digunakan paling banyak

sebagai pengobatan pada manusia. Insulin disekresikan dalam sel Beta normal

sebagai reaksi terhadap stimulus glukosa dengan mode bifasik dengan lonjakan dini

(fase awal) yang diikuti dengan peningkatan sekresi insulin secara progresif (fase

kedua) sepanjang ada stimulus hiperglikemik. Dengan keberadaan resistensi insulin,

sekresi insulin sel B pankreas meningkat dengan cara kompensasi dan DMT2

berkembang bila peningkatan kompensasi dalam kadar insulin tidak lagi mencukupi

untuk menjaga euglikemia (Kjems dkk., 2003).

2.4 Sekresi dan Resistensi Insulin

Insulin berfungsi mengurangi produksi glukosa dalam tubuh (terutama dari

hepar) dan menyebabkan ambilan glukosa di otot dan jaringan adiposa. Insulin

menghambat digesti protein dari usus dan meningkatkan ambilan asam amino ke

dalam sel untuk dibentuk protein (Eckel dan Grundy, 2005). Selama periode 24

jam, 50% total insulin disekresi oleh pankreas pada keadaan basal, sedang sisanya

disekresikan bila ada makanan yang masuk. Sekresi insulin basal berkisal 18-32

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

9

unit/24 jam (0,7-1,3 mg). Respon sekresi insulin berlangsung cepat sesudah makan

dan meningkat 5 kali dari keadaan basal dan mencapai puncak dalam 60 menit.

Profil sekresi insulin normal ditandai oleh adanya serial pulsasi dari sekresi insulin.

Sesudah makan pagi terdapat 1,8 ± 0,2 pulsasi sekresi pada sukarelawan normal dan

mencapai puncak 42,8 ± 3,4 sesudah makan. Multipel pulsasi sekresi insulin

mencapai 4 kali juga didapatkan sesudah makan siang dan makan malam. Pada

interval 5 jam sesudah makan siang didapatkan rerata pulsasi sekresi 2,5 ± 0,3 dan

2,6 ± 0,2 sesudah makan malam. Pulsasi sekresi insulin yang tidak berhubungan

dengan makan terjadi pada waktu antara jam 23.00 hingga jam 06.00 hari

berikutnya, dan 3 jam sebelum makan pagi dengan rerata pulsasi sekresi 3,9 ± 0,3

pada subjek normal. Jadi selama periode 24 jam terdapat total 11,1 ± 0,5 pulsasi

pada subjek normal (Polansky dkk., 2008; Buse dkk.,2011).

Sensitifitas insulin menurun dimulai sejak masa pubertas demikian pula kadar

insulin puasa meningkat 2-3 kali sesudah masa prapubertas (Grumbach dan Styne,

2003). Pada pengamatan selama 7 tahun, terjadi peningkatan rerata insulin puasa

10-25%, peningkatan rerata glukosa puasa 7-10% tanpa membedakan ras dan jenis

kelamin. Prediktor terkuat terjadinya peningkatan insulin dan glukosa adalah

peningkatan massa tubuh dalam 7 tahun. Insulin puasa meningkat 5 µU/ml tiap

peningkatan IMT 5 kg/m2 (p < 0,05) dan insulin puasa meningkat 2,5 µU/ml tiap

peningkatan 0,08 unit rasio pinggang/pinggul (p < 0,05) (Folsom dkk., 2004).

Resistensi insulin adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak

memadai untuk menghasilkan respon insulin normal dari lemak, otot dan sel hati.

Resistensi insulin dalam sel lemak mengurangi efek insulin dan mengakibatkan

peningkatan hidrolisis trigliserida yang disimpan (Stumvoll dkk., 2010).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

10

Peningkatan mobilisasi depot lipid akan meningkatkan asam lemak bebas

dalam plasma darah. Resistensi insulin dalam sel otot mengurangi pengambilan

glukosa dan penyimpanan lokal glukosa sebagai glikogen, sedangkan resistensi

insulin dalam sel hati mempengaruhi sintesis glikogen dan kemampuan untuk

menekan produksi glukosa (Girard, 2008).

Peningkatan konsentrasi asam lemak darah sehubungan dengan resistensi

insulin dapat mengurangi pengambilan glukosa otot, dan meningkatkan produksi

glukosa hati, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi glukosa

darah. Kadar plasma insulin yang tinggi dan glukosa yang tinggi akibat resistensi

insulin diyakini merupakan awal dari sindrom metabolik dan DMT2, termasuk

komplikasinya (Asmar, 2011).

Pada orang dengan metabolisme normal, insulin dilepaskan dari sel beta

Langerhans pankreas setelah makan ( " postprandial " ), dan berikatan pada reseptor

di jaringan sensitif insulin misalnya otot dan adiposa untuk menyerap glukosa. Hal

ini akan menurunkan kadar glukosa darah. Sel beta kemudian menurunkan produksi

insulin setelah kadar glukosa darah turun, dimana glukosa darah dipertahankan

sekitar 5 mmol / L ( mM ) (90 mg / dL ). Pada penderita dengan resistensi insulin,

kadar normal insulin yang ada tidak berefek baik pada otot dan sel-sel adiposa,

sehingga hasilnya kadar glukosa tetap lebih tinggi dari normal. Untuk

mengkompensasi hal ini, pankreas dirangsang untuk melepaskan lebih banyak

insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia (Hui, 2005).

Berbagai kondisi dapat membuat jaringan tubuh lebih resisten terhadap

insulin. Diantaranya adalah infeksi (dimediasi oleh sitokin TNFa) dan asidosis.

Pemberian insulin sendiri dapat menyebabkan resistensi insulin; setiap kali sebuah

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

11

sel terpapar insulin, produksi GLUT-4 (reseptor glukosa tipe 4) pada membran sel

menurun. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan meningkat untuk memperoleh

suplai insulin, yang kemudian mengurangi kembali GLUT-4 (Timothy James

Kieffer dan Habener, 2009).

Resistensi insulin sering ditemukan pada orang dengan adipositas visera yaitu

kandungan jaringan lemak yang tinggi di bawah dinding otot perut, yang berbeda

dengan adipositas subkutan atau lemak antara kulit dan dinding otot (khususnya di

tempat lain pada tubuh, seperti pinggul atau paha), hipertensi, hiperglikemia dan

dislipidemia yang disertai trigliserida yang tinggi, partikel small dense low-density

lipoprotein (sdLDL), dan penurunan kadar kolesterol HDL. Sehubungan dengan

adipositas viseral, banyak bukti menunjukkan adanya hubungan erat dengan

resistensi insulin. Pertama, tidak seperti jaringan adiposa subkutan, sel-sel adiposa

viseral menghasilkan sejumlah besar sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis

factor-alpha (TNF-a), dan interleukin-1 serta interleukin-6 (Perfetti dan Merkel,

2000).

Pada beberapa model eksperimental, sitokin pro-inflamasi ini sangat

mengganggu aksi normal insulin dalam lemak dan sel-sel otot, dan mungkin

menjadi faktor utama dalam menyebabkan resistensi insulin seluruh tubuh yang

diamati pada penderita dengan adipositas viseral. Banyak perhatian pada produksi

sitokin pro-inflamasi yang terfokus kepada jalur IKK-beta/NF-kappa-B, jaringan

protein yang meningkatkan transkripsi gen sitokin. Kedua, adipositas viseral terkait

dengan akumulasi lemak dalam hati, suatu kondisi yang dikenal sebagai penyakit

hati berlemak non alkohol (NAFLD). Substansi hasil yang berlebihan pada NAFLD

adalah pelepasan asam lemak bebas ke dalam aliran darah (karena meningkatnya

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

12

lipolisis), dan peningkatan produksi glukosa hepatik, yang keduanya mempunyai

efek memperburuk resistensi insulin perifer dan meningkatkan kecenderungan

DMT2 (Philippe, 2009).

2.5 Fisiologi dan Patologi GLP-1

2.5.1 Penemuan Hormon Inkretin

Bayliss dan starling menemukan secretin pada 1902, saat itu berkembang

teori bahwa saluran pencernaan mampu merangsang pelepasan hormon pankreas

melalui sinyal yang dilepaskan sebagai respon adanya nutrisi di saluran pencernaan.

Pada 1906 Moore mencoba menawarkan kemungkinan menyembuhkan diabetes

dengan menggunakan ekstrak duodenum. Zunz dan Labarre menyambut ide ini

dengan melakukan serangkaian percobaan dengan ekstrak usus, yang mampu

membuat hewan percobaannya menjadi hipoglikemia. Mereka memperkenalkan

istilah INKRETIN untuk substansi kimia yang terkandung dari ekstrak usus

tersebut.

Perkembangan pesat penelitian mengenai inkretin dimulai setelah

ditemukannya Radioimmunoassay tahun 1960 oleh Yalow dan Berson (Girard,

2008). Pada 1969, Uger dan Eisentraut memberikan nama ‘Entero Insular Axis’

untuk mengambarkan hubungan antara saluran pencernaan dan pankreas (Green dan

Flatt, 2007). Creutzfelt memperkirakan aksis ini melibatkan beberapa komponen

diantaranya nutrisi, serat saraf, dan sinyal yang signifikan dari usus kepada

pankreas yang mampu merangsang pengeluaran beberapa hormon seperti: insulin,

glukagon dan somatostatin. Lebih jauh lagi Creutzfelt memberikan batas pada aksis

entero insular sebagai suatu proses yang melibatkan nutrisi pada saluran cerna,

khususnya karbohidrat. Dimana akan dilepaskannya suatu sinyal fisiologis yang

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

13

akan menstimulasi pelepasan insulin saat kadar gula darah mulai meningkat (Holst

dkk., 2009).

Mengacu pada batasan Cruetzfetl, saat itu Gastric inhibitory polipeptide (GIP)

yang dapat disebut sebagai Inkretin. GIP saat itu dikenal sebagai enterogastron oleh

karena mampu menghambat pelepasan asam lambung sebagai akibat kehadiran

lemak di lumen saluran pencernaan (Girard, 2008). Dupre pada 2003

mengemukakan pandangan bahwa GIP tidak hanya merupakan suatu enterogastron

tetapi juga suatu Inkretin. Hal ini didasarkan pada percobaan yang dilakukannya,

dimana peningkatan aktifitas insulin lebih bermakna pada pemberian GIP dan

glukosa dibandingkan glukosa saja. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa GIP yang

timbul sebagai hasil dari konsumsi lemak tidak akan menimbulkan release insulin

bila tidak disertai kehadiran glukosa. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek

protektif terhadap pelepasan insulin dimana efek hipoglikemia tidak akan muncul.

Kondisi inilah pula yang menyebabkan selain disebut sebagai Gastric inhibitory

polipeptide oleh karena menghambat sekresi asam lambung, GIP juga dikenal

sebagai Glucose-dependent Insulinotropik Polipeptide. Sehubungan dengan

fungsinya sebagai Enterogastron dan Inkretin, GIP banyak ditemukan pada daerah

tengah dari villus duodenum, serta sangat sedikit pada jejenum (Salvatore dkk.,

2007).

GIP merupakan Inkretin pertama yang ditemukan. Tetapi para ahli pada 1970,

meyakini adanya inkretin kedua setelah GIP. Hal ini dipertimbangkan dari adanya

sekresi hormon Pankreas yang menyerupai respon inkretin pada saluran cerna saat

hewan percobaan diberikan ekstrak usus yang telah dimurnikan dari GIP. Penelitian

dilakukan pada anglefish, dimana ditemukan adanya suatu Glucose related peptide

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

14

(GRP) sebagai glukagon related peptide yang dikodekan pada gen hewan ini. Secara

genetik GRP memiliki homologi yang kuat dengan GIP. GRP diyakini merupakan

inkretin berdasarkan analisa mRNA yang sesuai pada pankreas dan saluran

pencernaan Anglefish. Disamping itu ternyata ditemukan bahwa mRNA yang

dikloning dari manusia dan tikus identik dengan mRNA pankreas Anglefish.

Setelah adanya temuan ini para ahli semakin bersemangat mengidentifikasi adanya

inkretin selain GIP. Berdasarkan analisa c-DNA preproglukagon pada manusia

ditemukan homologi dengan c-DNA GRP Anglefish, yang sekarang dikenal sebagai

GLP-1. Maka disimpulkanlah bahwa GLP-1 merupakan inkretin kedua setelah GIP

(Theodorakis dkk., 2011).

GIP merupakan suatu hormon yang dilepaskan oleh sel K duodenum. Sel K

terletak terbanyak pada awal duodenum. Pelepasan GIP merupakan respon dari

penyerapan glukosa dan lemak. Sedangkan GLP-1 disintesis dan dilepaskan oleh

sel enteroendokrine, sel L, yang terletak pada distal ileum dan usus besar. Sel L

merupakan suatu sel dengan banyak granula sekretin pada daerah basal lamina. Sel

L merupakan sel terbanyak kedua setelah sel enterochromafin. Sel L banyak

terdapat pada distal jejenum, ileum, kolon dan terbanyak di rektum. Sel L

ditemukan pada fetus manusia pada usia gestasi 8 minggu pada ileum serta 12

minggu pada kolon (Theodorakis dkk., 2011).

GIP merupakan suatu peptide aktif 42 asam amino dengan berat molekul 4984

Da. Sedangkan GLP-1 merupakan suatu peptida non aktif 37 asam amino dengan

berat molekul 3298 Da, dimana terdapat enam asam amino pada akhir N-terminal.

Bentuk aktif dari GLP-1 adalah suatu gugus 17-36 amida. Konsentrasi kedua

inkretin ini dalam plasma adalah 5-10 Pmaol / L dan meningkatkan dalam 5-15

menit dari asupan glukosa pada makan. GLP-1 memiliki dua bentuk molekul yang

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

15

beredar yaitu GLP-17-37 dan GLP-17-36 amida. Dalam sirkulasi, GIP dan GLP-1

dapat menurun dengan cepat sebagai akibat metabolime serta inaktivasi oleh enzim

dipeptidyl peptidase 4 (DPP4) yang kemudian dikeluarkan lewat ginjal. Waktu

paruh kedua inkretin ini sekitar 1-2 menit untuk GLP-1 serta 5-7 menit untuk GIP

(Girard, 2008).

2.5.2 Struktur GLP-1

Gen proglukagon manusia terletak pada kaki panjang dari kromosom 2 yang

memiliki 6 ekson dan 5 intron (Hansotia dkk., 2004). Melalui proses transkripsi dan

translasi dari gen proglukagon sel L pada usus memproduksi GLP-1 (Gromada

dkk., 2007; Dunning dkk., 2007). GLP-1 tersebut tidak aktif sampai diikat oleh

NH2 dari asam amino 1 - 6. (Sinclair dkk., 2012). Suatau peptide aktif hormon

termasuk GLP-1 (7-36) dan GLP-1 (7-37). Sel L didistribusikan pada usus tetapi

paling banyak pada jejunum, ilium, kolon dan sebagainya. (Schirra dkk., 2009).

Gambar. 2.4.

Struktur GLP-1 (Deacon, 2004)

2.5.3 Sekresi dan Regulasi GLP-1

Sekresi fase awal GLP-1 diinisiasi oleh pencernaan makanan dan biasanya

berlangsung 30-60 menit. Fase ini dikendalikan dari proksimal ke distal, kombinasi

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

16

dengan neural dan hormon mediator (Hansotia dkk., 2004). Siklus proksimal ke

distal telah banyak diduga tetapi belum ditetapkan pada manusia (Theodorakis dkk.,

2011). Fase kedua berlangsung 1-3 jam karena adanya interaksi langsung antara

bahan makanan dengan sel L (Deacon, 2004, Sinclair dkk., 2012). Kadar plasma

dari bioaktif GLP-1 berkisar 5-10 pmol/L pada keadaan puasa ( Deacon, 2004).

Mekanisme regulasi sekresi GLP-1 dipengaruhi oleh nutrient, neuron dan

endokrin (Deacon, 2004). Pelepasan GLP-1 terjadi karena asupan nutrient (Dunning

dkk., 2007). Sebagai bukti kadar GLP-1 dalam sirkulasi akan meningkat 2-3 kali

sebagai respon terhadap asupan glukosa (Deacon, 2004). Lemak dan karbohidrat

dapat menstimulasi sekresi GLP-1 dengan cara kontak langsung dengan mukosa

usus halus. Pada manusia, makanan mengandung protein tidak akan meningkatkan

sekresi GLP-1, tetapi proses pencernaan campuran asam amino nampaknya

berpengaruh pada sekresi GLP-1 (Deacon, 2004; Dunning dkk., 2007).

Sekresi GLP-1 juga berhubungan dengan pengosongan lambung terutama

laju pencernaan nutrient ke dalam usus kecil; makanan cair menyebabkan pelepasan

GLP-1 lebih tinggi daripada bahan makanan padat. Beberapa studi telah

membuktikan adanya peran nervus vagus dalam mediasi signal nutrient pada

duodenum untuk mengontrol sekresi GLP-1 di distal usus halus (Deacon, 2004;

Hansotia dkk., 2004), dan regulasi vagus yang bersifat kolinergik dan muskarinik

tersebut telah dapat dijelaskan. Sistem nervus simpatik dan persarafan non

kolinergik non adrenergik juga telah dijelaskan terlibat dalam regulasi GLP-1

(Deacon, 2004). Sistem enteroendokrin antara duodenum dan jejunum mungkin

juga terlibat dalam regulasi sekresi GLP-1 (Schirra dkk., 2009). Signal endokrin

dari bagian proksimal usus halus mungkin juga memegang peranan dalam sekresi

GLP-1 seperti pada GIP (Deacon, 2004).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

17

2.5.4 Metabolisme GLP-1

Sekresi GLP-1 dari Sel L usus yang dilepaskan ke dalam sirkulasi akan

segera dipecah oleh GPP-4 menjadi GLP-1 (9-36) dan GIP (9-37) (Gromada dkk.,

2007). Waktu paruh GLP-1 pada manusia kurang dari 2 menit (Sinclair dkk., 2012).

GPP-4 adalah plasma membran glikoprotein ektopeptidase dengan berat 110 kilo

Dalton yang diekpresikan pada permukaan sel endotel dan epitel, konsentrasi

terbanyaknya pada manusia dilaporkan pada usus kecil, sumsum tulang dan ginjal.

(Volmer dkk., 2008). Enzim ini dipecah pada penultimat alanin residu untuk

memproduksi NH2 terminal yang dapat menyebabkan stimulus pelepasan insulin

melalui reseptor GLP-1 (Sinclair dkk., 2012). Endopeptidase netral 24.11(NEP

24.11 atau disebut juga neprilisin) adalah membran yang dibalut oleh zink

metalopeptidase (Plamboeck dkk., 2005). Ini akan memecah peptida pada nukleasid

C terminal dari GLP-1, molekul dan dibersihkan sisa-sisa metabolisme (Deacon,

2004; Volmer dkk., 2008). Pengeluaran klirens GLP-1 primernya melalui ginjal

(Deacon, 2004; Hansotia dkk., 2004).

2.5.5 Fisiologi GLP-1

GLP-1 menstimulasi sekresi insulin memegang peranan yang penting untuk

mempertahankan homeostasis glukosa. GLP-1 juga peningkatan biosintesis insulin

GLP-1r dan banyak ditemukan pada sel Beta, sel Alpa dan sel gamma pankreas

(Deacon, 2004). Inhibisi dari pelepasan glukagon oleh GLP-1 dapat terjadi karena

efek langsung maupun tidak langsung melalui pelepasan somatostatin. Fungsi

inhibisi tidak tergantung glukosa (Deacon, 2004; Sinclair dkk., 2012). GLP-1 tidak

akan menyebabkan terjadinya hipoglikemia (Gromada dkk., 2007). Sebaliknya

GLP-1 memegang peranan pada homeostasis glukosa dengan cara mengatur secara

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

18

langsung regulasi glukosa hepatik dan peningkatan sintesis glukogen, oksidasi dan

utilisasi glukosa (Deacon, 2004). GLP-1 meningkatkan massa sel beta pankreas

dengan cara menstimulus proliferasi dan neogenesis sel beta serta menghambat

apoptosis (Holst dkk., 2009) dan meningkatkan viabilitas (Deacon, 2004) serta

mengambil peranan pada regulasi CAS phase 3 dan regulasi antiapoptik protein

BCL-2 (Hansotia dkk., 2004). Sebagai akibatnya GLP-1 juga menurunkan nafsu

makan dan memperlambat pengosongan lambung. Fungsi ini biasanya berhubungan

dengan sistem nervus vagus (Dunning dkk., 2007). Oleh sebab itu dipandang

sebagai terapi ideal diabetes.

Gambar 2.5.

Fisiologis GLP-1 dalam menurunkan kadar glukosa (Dunning dkk., 2007).

2.5.6 Mekanisme Kerja GLP-1 pada Sel Beta Pankreas

GLP-1 bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor G Protein (GPCRs)

(Sinclair dkk., 2012). Ikatan GLP-1 dengan reseptor ini pada sel beta menyebabkan

peningkatan c-AMP intraseluler sehingga terjadi eksositosis insulin melalui dua

mekanisme berbeda : PKA dependen dan PKA independen (Epac pathways)

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

19

(Combettes dkk., 2006). Setelah aktivasi PKA dan c-AMP guanine nukleotida

exchange factor II (cAMP-GEF II) akan memfasilitasi terbentuknya molekul-

molekul yang terlibat dalam sekresi insulin oleh GLP-1 (Dunning dkk., 2007).

GLP-1 mempengaruhi potensial membran sel beta pankreas dengan cara

menghambat K-ATP dan KV channels dan memfasilitasi depolarisasi membran.

Perubahan ini akan menyebabkan peningkatan calcium channel voltage gate dengan

akibatnya masuknya kalsium dan inisiasi eksositosis insulin dependen kalsium

(Deacon, 2004; Dunning dkk., 2007). Sebagai tambahan GLP-1 menghambat

aktivitas dari KV channels menyebabkan repolarisasi sel beta (Deacon, 2004).

Gambar 2.6.

Mekanisme kerja GLP1 pada Sel B pankreas (Deacon, 2004)

Efek anti apoptotik GLP-1 adalah diakibatkan karena aktivasi c-AMP dan

phospotilidinositol 3 kinase (PI3KA). Kedua jalur ini saling mengisi. Jalur c-AMP

dimediasi oleh aktivasi respon elemen binding protein (kreb) dan interaksi dengan

koaktivator tolc 2 (Tranduser dari aktivitas krebs), keduanya akan menyebabkan

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

20

aktivasi ekspresi gen reseptor insulin substrak 2 dan menuntun pada protein kinase

b (PKB) (Combettes dkk., 2006). GLP-1 merangsang ekspresi gen insulin melalui

aktivasi dari faktor inti pada T sel teraktivasi (N fat) dan aktivasi sinyal

ekstraseluler regulative kinase (ERK) dengan mekanisme dependen pada mitogen-

activated protein kinase-kinase (MAPKK atau MEK) (Combettes dkk., 2006; Holst

dkk., 2009). GLP-1 juga meningkatkan aktivitas duodenal homeobox 1 (PDX-1)

yang menyebabkan regulasi dari ekspresi gen (Combettes dkk., 2006).

Aktivasi reseptor GLP-1 mencetuskan stimulasi dari PI3K melalui 2 jalur.

Aktivasi PI3K melalui down stream target: Mitogen activated protein kinase

(MAPK), ERK, PKC, dan PKB dalam sel beta PKC dan MAPK berhubungan

dengan proliferasi GLP-1. Sementara ERK dan MAPK menyebabkan diferensiasi

sel beta. Mekanisme molekuler pada regulasi pankreas oleh GLP-1 tidak

sepenuhnya dipahami sehingga diperlukan studi yang lebih lanjut (Combettes dkk.,

2006).

2.6 Hubungan GLP-1 dan Sekresi Insulin Postprandial

Pada pemberian beban glukosa oral dan intravenus didapatkan efek inkretin

dapat memacu sekresi insulin sebanyak 2/3 dari kapasitas total pada subjek dengan

non diabetes, sedangkan efek tersebut pada DMT2 kurang dari 20% (Nauck

dkk.,2006). Penurunan respon inkretin memberikan kontribusi pada disregulasi

insulin dan sekresi glukagon khususnya pada periode postprandial sehingga

menyebabkan hiperglikemia (Pratley dan Weyer, 2001). Eviden memperlihatkan

penurunan respon inkretin pada penderita DMT2 diakibatkan karena penurunan

respon sekresi GLP-1 postprandial (Toeft nielsen dkk.,2001).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

21

Gambar 2.7.

Efek GLP-1 terhadap Sekresi Insulin postprandial (Nauck dkk.,2006)

Gambar 2.8.

Penurunan respon sekresi GLP-1 postprandial ( Toeft nielsen dkk., 2001)

2.7 Terapi Diabetes Melitus Tipe II

Penelitian UKPDS dan Studi Kumamoto pada penderita DMT2

menunjukkan target glikemik terapi DMT2 yang menghasilkan perbaikan prognosis

jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa

dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

22

neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan

pemeriksaan harian dan HbA1C sebagai indeks glikemia kronik belum diteliti

secara sistematik. Tetapi hasil penelitian Diabetes Control and Complication Trial

(DCCT) (pada penderita diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada penderita diabetes tipe

2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Dari

kedua studi tersebut bahkan pada grup penderita yang mendapat pengobatan

intensif, kadar HbA1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik.

Studi tersebut mencapai kadar rata-rata HbA1C ~7% yang merupakan 4SD

diatas rata-rata non diabetik (DCCT, 2013). Target glikemik yang paling baru

adalah dari ADA yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan

kejadian komplikasi, yaitu HbA1C < 7%. Konsensus ini menyatakan bahwa kadar

HbA1C ≥ 7% harus dianggap sebagai alarm untuk memulai atau mengubah terapi

dengan target HbA1C < 7%.

Para ahli juga menyadari bahwa target ini mungkin tidak tepat atau tidak

praktis untuk penderita tertentu, dan penilaian klinik dengan mempertimbangkan

potensi keuntungan dan kerugian dari rejimen yang lebih intensif perlu

diaplikasikan pada setiap penderita. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko

hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap penderita

sebelum memberikan regimen terapi yang lebih intensif (ADA, 2014). Dikenal 4

pilar pengobatan pasien-pasien DMT2 yakni edukasi, pengaturan diet, latihan fisik,

dan obat (Perkeni, 2014) sedangkan menurut ADA pengobatan ini dibagi menjadi

kelompok non farmakologis (modifikasi pola hidup) dan farmakologis (ADA, 2014)

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

23

2.7.1 Modifikasi Pola Hidup

Modifikasi pola hidup merupakan terapi non farmakologis yang meliputi

edukasi, pengaturan pola diet, latihan fisik (Perkeni, 2014). Modifikasi pola hidup

merupakan dasar terapi setiap pasien DMT2, dikarenakan pola hidup yang buruk

merupakan faktor resiko terjadinya DMT2 (UKPDS, 2011). Beberapa penelitian

telah membuktikan bahwa pengaturan pola hidup yang baik dikaitkan dengan

kendali glisemik yang lebih baik (Nathan dkk., 2008). Hal ini terutama dikarenakan

dengan pengaturan pola hidup yang baik dapat menurunkan kejadian resistensi

insulin (Folsom dkk., 2004).

Edukasi yang baik akan mempengarui prilaku pasien DMT2, dengan tingkat

pengetahuan yang lebih baik ternyata dapat meningkatkan kendali glisemik pasien-

pasien DMT2 (Da Qing study, 2007; Finnish study, 2003). Edukasi yang diberikan

kepada penderita DMT2 meliputi pemahaman tentang: perjalanan penyakit

diabetes, perlunya pengendalian dan pemantauan diabetes, penyulit dan risikonya,

intervensi farmakologis dan non farmakologis, cara pemantauan gula darah mandiri

dan pemahaman tentang hasil pemantauan, mengatasi sementara keadaan darurat

antara lain hipoglikemia, pentingnya latihan jasmani yang teratur, pentingnya

perawatan diri, dan keadaan khusus yang dihadapi seperti : hiperglikemia pada

kehamilan (ADA, 2014; Perkeni, 2014).

Pengaturan makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori

dan zat gizi masing-masing individu telah dikaitkan dengan keberhasilan kendali

glisemik pada pesien-pasien DMT2 (Da Qing study, 2007; Finnish study, 2003).

Perlu ditekankan tentang pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,

jumlah dan jenis makanan. Jumlah kalori yang dibutuhkan dihitung berdasarkan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

24

kebutuhan kalori basal 25-30 kalori/kgbb, ditambah dan dikurangi bergantung pada

beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan. Makanan

sejumlah kalori tersebut kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi

(20%), siang (30%) dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%).

Untuk diabetisi yang menderita penyakit lain, makanan diatur dengan

menyesuaikan dengan penyakit penyertanya. Komposisi makanan yang dianjurkan

terdiri dari karbohidrat 45-65% totao asupan kalori, lemak 20-25% kebutuhan

kalori, dan protein 15-20% kebutuhan kalori (ADA, 2014; Perkeni, 2014).

Kegiatan jasmani sehari-hari seperti berjalan kaki, menggunakan tangga,

berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-4 kali

seminggu selama 30 menit ternyata berkaitan erat dengan kendali glisemik yang

lebih baik (DPP, 2002). Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat

aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani

ini disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani (ADA, 2014; Perkeni,

2014).

2.7.2 Metformin

Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan

menurunkan kadar glukosa puasa (Kirpichnikov dkk., 2002). Mekanisme kerja

molekular metformin belum sepenuhnya dipahami. Beberapa teori yang ada

meliputi : metformin menghambat kerja respirasi mitokondria, aktivasi AMP-

activated protein kinase (AMPK), inhibisi sekresi glukagon melalui hambatan pada

c-AMP, inhibis pada mitokondrial glycerophosphate dehydrogenase (Rena dkk.,

2013) dan efek pada mikrobakteri pada usus (Burcelin, 2013). Metformin dapat

meningkatkan sensitivitas kerja insulin di perifer, terutama pada otot skeletal yang

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

25

difasilitasi glucose transporter-4 (Rena dkk., 2013). Hal inilah yang mendasari

pemberian metformin pada pasien-pasien DMT2, terutama pada awal-awal

diagnosis dan pada keadaan prediabetes (ADA, 2014). Metformin dapat

meningkatkan sekresi GLP-1 pada pasien DMT2 (Eduardo dkk., 2001). Efek kerja

ini diperkirakan karena kerja metformin pada usus (Burcelin, 2013). Disamping itu

efek ini juga dikarenakan efek antagonis glucagon dari metformin tersebut (Miller

dkk., 2013).

Gambar 2.9.

Pemberian metformin meningkatkan kadar GLP-1 (Eduardo dkk., 2001)

Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5%.

Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh penderita. Efek yang tidak

diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal.

Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat

digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek

nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan

berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal

merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan

risiko asidosis laktik; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal (Nathan dkk., 2008).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

26

2.7.3 Sulfonilurea

Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan

sekresi insulin. Dari segi efikasinya, sulfonilurea tidak berbeda dengan metformin,

yaitu menurunkan HbA1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia

yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang

berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan

chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi

kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg.

Kelebihan sulfonilurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal

pada setengah dosis maksimal, dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari

( Nathan dkk., 2008).

Gambar 2.10.

Rekomendasi umum terapi antihiperglikemia DTM2 (ADA, 2014)

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

27

2.7.4 Glinide

Glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini memiliki

waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonilurea dan harus

diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide dapat merunkan

HbA1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai

sulfonilurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil (Nathan dkk., 2008).

2.7.5 Penghambat α-Glukosidase

Penghambat α-glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida

di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan

demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan

penghambat α-glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak

seefektif metformin dan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah;

HbA1C dapat turun sebesar 0,5– 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di kolon

mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal. Pada

penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek

samping tersebut (Nathan dkk., 2008).

2.7.6 Thiazolidinedione (TZD)

TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap

insulin baik endogen maupun eksogen. Data mengenai efek TZD dalam

menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan

HbA1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah

penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan

peningkatan kejadian tidak terkendali jantung kongestif (Nathan dkk., 2008).

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

28

2.7.7 Insulin

Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, paling efektif dalam

menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin

dapat menurunkan setiap kadar HbA1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak

seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi

insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan dkk.,

2008).

2.7.8 GLP-1r agonis atau GLP-1 analog

2.7.8.1 GLP-1 Manusia

GLP-1 telah dipelajari pada manusia yang menderita diabetes sejak tahun

1992 yang mana telah dibuktikan bahwa penyuntikkan intravenous peptide tersebut

pada penderita-penderita dengan DMT2 akan menurunkan glukosa postprandial

dan menandai penurunan kebutuhan insulin setelah makan (Deacon, 2004) jangka

pendek maupun jangka panjang setelah pemberian intravenous atau subkutan GLP-

1 juga menunjukkan penurunan glukosa pada penderita diabetes. Enam minggu

pemberian kontinous GLP-1 secara pompa subkutan pada penderita-penderita

DMT2 tidak saja menunjukkan penurunan glukosa darah puasa sebesar 4,3 mmol/L

dan menurunkan HbA1C sebesar 1.3% tetapi juga menandai peningkatan kapasitas

maksimal dari sekresi insulin (Zander dkk., 2002). Secara invivo terapi GLP-1

menunjukkan waktu paruh plasma yang rendah dan klirens melalui ginjal secara

cepat (Levy dkk., 2010).

2.7.8.2 Agonis GLP-1 reseptor

2.7.8.2.1 Exendin 4

Exendin 4 (EX 4) adalah 39 asam peptide yang diisolisasi dari sekresi

kelenjar ludah binatang gila monster tahun 1992 (Combettes dkk., 2006). Ini

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

29

merupakan agonis yang poten dari GLP-1r yang secara invivo potensinya

dilaporkan mencapai 5-10 kali lebih besar dari GLP-1 sendiri. Ex 4 membagi 53%

asam amino yang identik dengan GLP-1 dan bersifat resisten terhadap pemecahan

DPP-4 ( Sinclair dkk., 2012). Resistensi ini dikonfirmasi dengan adanya glisin pada

posisi rantai 2 (Deacon, 2004). Waktu paruh dalam tubuh manusia berkisar 2-4 jam

sehingga dapat diberikan 2-3 kali perhari untuk mencapai serum konsentrasi terapi

(Deacon, 2004). Level HbA1C menurun pada terapi DMT2 dengan sulfonilurea dan

atau metformin juga ditemukan pada Ex 4 monoterapi (Nauck dkk., 2004). Sebagai

tambahan Ex 4 memperbesar atau mempertahankan ukuran sel beta. Terapi Ex 4

selama stadium prediabetik dapat mencegah perkembangan menjadi diabetes;

eksperimen binatang telah membuktikan bahwa terapi Ex 4 akan menunda

terjadinya diabetes pada tikus (Deacon, 2004).

2.7.8.2.2 Exenatide

Exenatide (exendin 4 sintetik) yang dijual dengan nama Byeta, merupakan

agonis reseptor GLP-1 pertama yang berlisensi di Amerika dikeluarkan april 2005

(Combettes dkk., 2006). Pada terapi pendek maupun 30 hari studi klinik exenatide

menurunkan gula darah puasa maupun post prandial pada penderita-penderita

DMT2 (Deacon, 2004; Sinclair dkk., 2012). Pemberian exenatide tidak akan

menyebabkan penurunan respon kounter regulasi pada saat terjadi hipoglikemia

(Deacon, 2004).

Subkutan exenatide disuntikkan 2 x sehari sebelum sarapan dan makan

malam yang dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea atau keduanya secara

signifikan menurunkan level HbA1C dan glukosa puasa yang berkaitan dengan

penurunan berat badan (Buse dkk., 2011; Kendall dkk., 2005). Efek samping yang

paling sering adalah gejala gastrointestinal seperti mual, ditemukan sekitar 3% dari

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

30

semua penderita. Munculnya mual biasanya pada awal-awal minggu pertama saat

memulai terapi tapi akan berkurang pada proses selanjutnya. Gejala ini dapat

dihindari dengan memulai dosis yang rendah dan meningkatkan dosis dengan

interval 1 minggu (Nauck dkk., 2004). Terapi exenatide tidak berhubungan dengan

peningkatan insiden kardiovaskuler, tidak terkendalihati atau gangguan ginjal dan

hipoglikemia berat. Sebanyak 19-22% dari penderita-penderita yang menggunakan

exenatide akan membentuk antibodi antiexenatide tetapi antibodi ini tampaknya

tidak berpengaruh terhadap kendali gula (Deacon, 2004).

Pengalaman dengan menggunakan exenatide long acting release (LAR)

dengan subkutan injeksi setiap minggu sekali pada penderita-penderita DMT2

menunjukkan adanya penurunan glukosa darah puasa dan HbA1C yang lebih besar

dibanding dengan injeksi 2 kali sehari. Walaupun demikian pengalaman yang lebih

panjang dengan obat ini dengan menggunakan lebih banyak penderita belum

dilaporkan. Exenatide LAR saat ini sudah sampai pada fase ketiga yang

dibandingkan dengan injeksi 2 kali sehari (Drucker, 2007).

2.7.8.3 Analog GLP-1

2.7.8.3.1 Liraglutide

Liraglutide adalah analog GLP-1 kerja panjang yang berbeda dari GLP-1

yang klasik karena memiliki substitusi single asam amino dan berikatan dengan

rantai asam lemak. Rantai samping ini menyebabkan adanya pengikatan dengan

albumin sehingga menjaga peptide ini dari pemecahan DPP 4 (Deacon, 2004) waktu

paruhnya menjadi memanjang sekitar 11-15 jam pada manusia sehingga secara

farmakokinetik diberikan sekali sehari (Deacon, 2004; Holst dkk., 2009; Nauck

dkk., 2004).

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

31

Studi klinik menunjukkan bahwa liraglutide meningkatkan respon sel beta

pankreas terhadap hiperglikemia, meningkatkan sekresi insulin serta menurunkan

kadar glukagon plasma (Gromada dkk., 2007). Liraglutide juga menurunkan kadar

gula puasa, menurunkan glukosa postprandial dan HbA1C pada DMT2 (Deacon,

2004). Gejala samping yang sering termasuk mual, muntah dan sakit kepala

(Deacon, 2004; Nauck dkk., 2004). Tidak terbentuk antibodi pada penderita yang

menggunakan terapi liraglutide (Holst dkk., 2009). Liraglutide dan GLP-1 kalsik

menghambat apoptosis sel beta. Dimana liraglutide tampak lebih superior daripada

GLP-1 klasik (Holst dkk., 2009) sehingga liraglutide mungkin sangat berguna untuk

mempertahankan sel beta pankreas pada kedua tipe diabetes.

2.7.8.3.2 ALBUGON

Albugon (CJC 1131) adalah analog sintesis GLP-1 yang lain yang

diproduksi dari substitusi singel asam amino pada posisi kedua dan dilengketkan

dengan reaktan kimia pada karboksi terminal dan menyebabkan Albugon ini dapat

berikatan dengan serum albumin sehingga terlindungi dari degradasi oleh DPP4.

Waktu paruhnya sama dengan waktu paruh albumin sekitar 10-15 hari (Deacon,

2004; Nauck dkk., 2004; Sinclair dkk., 2012). Albugon menstimulus sekresi insulin,

menghambat intak makanan dan menstimulus neogenesis islet pada tikus percobaan

yang menderita DMT2 (Sinclar dkk., 2012). Secara klinis Albugon menurunkan

gula darah puasa dan postprandial dan berkurangnya berat badan pada penderita-

penderita diabetes (Deacon, 2004) walaupun protein rekombinan albumin GLP-1

seperti Albugon dan exenatide LAR diharapkan dapat memiliki waktu paruh yang

panjang secara farmakokinetik sampai satu minggu sekali pada penderita DMT2

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

32

masih sangat sedikit informasi klinis yang tersedia tentang efisikasi dan keamanan

dari obat-obat tersebut pada manusia (Drucker, 2007).

2.7.9 Inhibitor DPP4

Saat ini ada beberapa inhibitor DPP4 yang dalam uji klinik termasuk

isoleusin, tiazolidide (P32/98), P93/01, NVP-DPP728, Fildaglikin (LAF 237),

815541A, Sitaglikin (MK-0431), GSK 23A, Valin-pyrrolidide, dan saxaglitin

(BMS-47718) (Deacon, 2004; Volmer dkk., 2008; Lindsay dkk., 2005). Inhibitor

DPP4 meningkatkan GLP-1, meningkatkan respon sel beta terhadap glukosa,

meningkatkan sensifitas insulin pada DMT2 dan menghambat sekresi glukagon

(Volmer dkk., 2008), juga menurunkan glukosa puasa dan postprandial serta

HbA1C (Deacon, 2004). Studi klinis memperlihatkan bahwa DPP4 dapat

dipergunakan dalam terapi DMT2 pada awal stadium dari penyakit ini (Ahren dkk.,

2010) dan pasen-penderita yang memiliki kendali metabolik yang jelek dengan

HbA1C antara 8-9.5% (Deacon, 2004). Ristik dkk., telah membuktikan bahwa

fildaglitin dengan dosis 50 atau 100 mg sekali sehari selama 12 minggu secara

signifikan menurunkan level HbA1C pada DMT2 dan ternyata aman serta

ditoleransi dengan baik. Inhibitor DPP4 yang dikombinasi dengan GLP-1 akan

meningkatkan sekresi insulin (Ahren dkk., 2010). Studi klinis lain menunjukkan

bahwa sitaglitin secara dosis dependen menghambat aktivitas DPP4 plasma

sehingga terjadi peningkatan aktivitas GLP-1 dan GIP serta menurunkan glukagon

tanpa kejadian hipoglikemi (Herman dkk., 2007). Sitaglitin dan Fildaglitin telah

diregistrasi oleh FDA tahun 2006 (Combettes dkk., 2006).

Inhibitor DPP4 tidak berpengaruh terhadap berat badan dan nafsu makan

dari penderita diabetes dibandingkan dengan analog GLP-1, hal ini berkaitan

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus II.pdf1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

33

dengan lebih rendahnya kadar GLP-1 yang dapat dijangkau inhibitor DPP4.

Inhibitor DPP4 tidak menyebabkan mual dan dapat diberikan secara oral

(Arulmozhi dan Portha, 2006). Lebih dari 50% GLP-1 dalam sirkulasi akan

didegradasi oleh NEP-24.11 sehingga dengan kombinasi inhibisi DPP4 dan NEP-

24.11 menyebabkan inhibitor DPP4 adalah lebih superior daripada GLP-1 tetapi

dapat pula dikombinasi antar kedua obat tersebut (Plamboeck dkk., 2005).

Eksperimen binatang menunjukkan bahwa metformin menurunkan aktivitas plasma

DPP4, sehingga meningkatkan kendali glikemi (Green dan Flatt, 2007). Obat

metformin dapat dikombinasi dengan hormon inkretin (Lindsay dkk., 2005).

Walaupun demikian sebagai DPP4 (dikenal juga dengan CD 26) terlibat

dalam degradasi substrat peptide, memiliki efek samping secara sistemik

menghambat enzim ubikuitos. Walaupun demikian studi klinik telah menunjukkan

toleransi yang baik dan tanpa efek samping yang serius (Deacon, 2004).