15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buah Pinang 2.1.1. Pinang Pinang (areca catechu) merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci, sistematik pinang yaitu Divisi : Plantae; Kelas : Monokotil; Ordo : Arecales; Famili : Araceae atau palmae (palem-paleman); Genus : Areca; Species : Areca catheu. Di masyarakat umumnya spesies ini sering disebut dengan pinang atau pinang sirih (Sihombing, 2000). Gambar 2.1. Buah pinang (Anonim, 2010) Pinang umumnya ditanam di pekarangan, di taman atau dibudidayakan. Kadang tumbuh liar di tepi sungai dan di tempat-tempat lain. Pohon pinang tumbuh tegak dan tingginya 10-30 m, diameternya 15-20 cm dan batangnya tidak bercabang (Arisandi, 2008). Pinang termasuk jenis tanaman yang cukup dikenal luas dimasyarakat karena secara alami penyebarannya pun cukup luas di berbagai daerah (Sihombing, 2000). Nama lain dari pinang adalah Jambe, Penang, Woham, Pineng, Pineung (Jawa), Batang Mayang, Batang Bongkah, Batang Pinang, Pining, Bonai Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buah Pinang 2.1.1. Pinangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/58781/4/Chapter... · 2016-05-11 · 2.2. Kecacingan . Kecacingan merupakan salah satu

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Buah Pinang

2.1.1. Pinang

Pinang (areca catechu) merupakan tanaman yang sekeluarga dengan kelapa.

Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Secara rinci,

sistematik pinang yaitu Divisi : Plantae; Kelas : Monokotil; Ordo : Arecales; Famili :

Araceae atau palmae (palem-paleman); Genus : Areca; Species : Areca catheu. Di

masyarakat umumnya spesies ini sering disebut dengan pinang atau pinang sirih

(Sihombing, 2000).

Gambar 2.1. Buah pinang (Anonim, 2010)

Pinang umumnya ditanam di pekarangan, di taman atau dibudidayakan.

Kadang tumbuh liar di tepi sungai dan di tempat-tempat lain. Pohon pinang tumbuh

tegak dan tingginya 10-30 m, diameternya 15-20 cm dan batangnya tidak bercabang

(Arisandi, 2008). Pinang termasuk jenis tanaman yang cukup dikenal luas

dimasyarakat karena secara alami penyebarannya pun cukup luas di berbagai daerah

(Sihombing, 2000). Nama lain dari pinang adalah Jambe, Penang, Woham, Pineng,

Pineung (Jawa), Batang Mayang, Batang Bongkah, Batang Pinang, Pining, Bonai

Universitas Sumatera Utara

(Sumatera), Gahat, Gehat, Kahat Laam, Hunoto, Luguto, Poko Rapu,

Amongun(Sulawesi), Biwa, Biwasoi, Mucillo Palm (Maluku) (Septiatin, 2008).

Pinang asli dari kawasan asia tenggara yaitu Filipina, Semenanjung Malaka

dan Kepulauan Hindia Timur. Sekitar 24 jenis dapat dijumpai di malaysia,

Kalimantan dan Sulawesi. Konon, selain untuk bahan makanan, biji pinang pun

digunakan sebagai bahan pewarna pada pembuatan karpet, obat-obatan tradisional,

minuman dan lain-lain. Namun, menurut Arsenius Marbun, Kepala Divisi

Perdagangan Luar Negeri, Kanwil Depperindag Sumatera Barat, Mengatakan Bahwa

80 % kegunaan pinang di negara-negara Asia Barat adalah untuk bahan makanan

khas yang disuguhkan bagi para tamu. Bahan makanannya mirip permen dan cara

penyuguhannya ibarat kebiasaan kita menyuguhkan rokok kepada para tamu

(Sihombing, 2000).

Pinang adalah tanaman yang memiliki banyak manfaat, tetapi belum dianggap

sebagai komoditas utama. Produksi buah pinang dapat mencapai 50-100

buah/mayang dan 150-250/mayang untuk ukuran buah lebih kecil. Tahun 2003

volume eksport pinang mencapai 77.126.347 kg dengan nilai US$ 22.960.446.

Pemanfaatan buah pinang sebagai ramuan yang dimakan bersama sirih, telah menjadi

kebiasaan secara turun temurun pada berbagai daerah tertentu di Indonesia, tetapi

konsumennya terbatas. Agar berbagai manfaat biji pinang dapat dinikmati banyak

orang, maka perlu ada inovasi untuk memanfaatkan biji pinang dalam pengolahan

berbagai produk pangan, sehingga mudah di konsumsi. Dengan demikian akan lebih

banyak konsumen yang merasakan manfaat biji pinang terutama untuk kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Tanaman pinang (areca catechu), termasuk salah satu jenis palma yang sampai

saat ini belum memperoleh perhatian serius, dibandingkan tanaman palma lainnya. Di

Indonesia tanaman pinang banyak terdapat di pulau Sumatera (Aceh, Sumatera Utara

dan Sumatera Barat), Kalimantan (Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat),

Sulawesi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi utara) dan Nusa Tenggara (Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara timur). Tanaman ini umumnya bertumbuh secara alami dan

kalau pun ditanam hanya sebagai pembatas kebun. Mungkin hal ini disebabkan

pemanfaatannya yang masih terbatas, misalnya biji hanya dimakan bersama sirih dan

untuk upacara adat. Meskipun demikian di beberapa provinsi, antara lain Nanggro

Aceh Darusalam (NAD) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) tanaman pinang telah

menjadi komoditas ekspor. Pemanfaatan buah pinang sebagai ramuan yang dimakan

bersama sirih, telah menjadi kebiasaan secara turun temurun pada beberapa daerah

tertentu di Indonesia, sehingga jika dalam sehari tidak konsumsi pinang kondisi tubuh

terasa lemah.

2.1.2. Manfaat Buah Pinang

Menurut Marshall dalam Sullivan (2000) Buah Pinang banyak digunakan

manusia sebagai penenang dan ada diurutan ke empat setelah nikotin, ethanol dan

kafein dan buah pinang banyak dimakan oleh berjuta-juta orang antara pantai timur

benua afrika dan pasifik barat. Di indonesia buah pinang digunakan juga dalam dunia

pengobatan yaitu mengobati penyakit seperti cacingan, perut kembung, luka, batuk

berdahak, diare, kudis, koreng, terlambat haid, keputihan, beri-beri, malaria, difteri,

tidak nafsu makan, sembelit, sakit pinggang, gigi dan gusi (Arisandi, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Secara empiris biji pinang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit. Berbagai

menfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan biji pinang adalah sebagai berikut:

1. Sebagai kebutuhan pokok, sumber energi dan untuk upacara adat,

2. Sebagai pengganti rokok, mengatur pencernaan dan mencegah ngantuk,

3. Sebagai bahan kosmetik dan pelangsing.

4. Sebagai bahan baku obat.

5. Sebagai antidepresi.

Penggunaan paling populer adalah kegiatan menyirih yaitu dengan bahan

campuran buah pinang, daun sirih dan kapur. Pinang atau jambe adalah salah satu

kelengkapan dalam menyirih dikalangan orang-orang tua. Selain itu, masyarakat

Indonesia memanfaatkan tanaman ini sebagai obat alami untuk menguatkan gusi, gigi

dan mengobati penyakit cacingan (Anonim, 2010). Ada juga yang mencampurnya

dengan tembakau (Agusta, 2001). Sebelum dikonsumsi, pinang di proses terlebih

dahulu dengan dibakar, dijemur dan dipanaskan. Pinang diduga menghasilkan rasa

senang, rasa lebih baik, sensasi hangat di tubuh, keringat, menambah stamina kerja

dan menahan rasa lapar (Gandhi, 2005).

Tanaman Pinang atau dalam bahasa Latin dikenal dengan nama Areca

Catechu L, telah banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional sejak dulu.

Berikut beberapa manfaat buah pinang (Anonim, 2010):

1. Mengobati luka kulit. Caranya, daging buah pinang yang masih muda ditumbuk

hingga halus, lalu ditempelkan pada bagian tubuh yang terluka.

Universitas Sumatera Utara

2. Biji pinang muda digunakan kaum wanita untuk mengecilkan rahim setelah

melahirkan. Caranya, masak buah pinang muda lalu airnya diminum hingga rahim

kembali ke bentuk normal.

3. Untuk mengobati rabun mata. Cukup dengan langsung dikunyah dan airnya

ditelan.

4. Meningkatkan gairah seks kaum pria. Khasiat ini diketahui karena didalam pinang

terkandung arekolin.

5. Anak penderita cacingan. Caranya, rebuslah biji pinang muda hingga mendidih.

Airnya kemudian dibiarkan hingga dingin lalu disaring. Air ini lalu diminumkan pada

anak penderita cacingan.

6. Air rebusan biji pinang juga digunakan untuk mengatasi penyakit seperti haid

dengan darah berlebihan, hidung berdarah (mimisan), koreng, bisul, kudis dan

mencret.

Selain dimakan bersama campuran daun sirih, gambir, cengkeh dan kapur,

masyarakat daerah itu juga memakan buah pinang tua yang sudah dibelah kecil-kecil

tanpa campuran lainnya. Kegemaran makan buah pinang tua, baik yang dicampur

dengan ramuan daun sirih, gambir, cengkeh, maupun kapur, bukan lagi pemandangan

yang langka melainkan sudah menjadi tradisi dari dulu hingga sekarang oleh laki-laki

dan perempuan. Masyarakat yang rutin makan sirih setiap hari mengaku kesehatan

giginya terjamin dan terhindar dari penyakit gigi. Melihat dari manfaat buah pinang

untuk bahan baku industri farmasi, kosmetika dan bahan pewarna tekstil, kiranya

terdapat pula khasiat lain dari buah pinang muda (Anonim, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3. Kandungan Yang Terdapat Dalam Buah Pinang

Menurut penelitian para ahli, yang dikutip oleh ”The Merck Index”, khasiat

yang diberikan oleh biji pinang tersebut berasal dari zat-zat yang terkandung dalam

biji pinang. Salah satunya adalah Arecoline yang merupakan sebuah ester metil-

tetrahidrometil-nikotinat yang berwujud minyak basa keras. Senyawa lain yang

terkandung dalam biji pinang adalah Arecaidine atau arecaine, Choline atau

bilineurine, Guvacine, Guvacoline dan Tannin dari kelompok ester glukosa yang

menggandeng beberapa gugusan pirogalol. Sifat astringent dan hemostatik dari zat

tannin inilah yang berkhasiat untuk mengencangkan gusi dan menghentikan

perdarahan (Anonim, 2011).

Juga ditegaskan bahwa kandungan kimia dalam buah pinang yaitu alkaloida

seperti arekolin, arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine. Selain itu

buah pinang juga mengandung tanin, lemak, kanji dan resin. Senyawa arekolin yang

terdapat dalam buah pinang berkhasiat sebagai obat cacing dan penenang (Arisandi,

2008).

Kandungan tanin dan alkaloida adalah dua senyawa yang dominan pada biji

pinang, Tanin yang berkisar 15%, tergolong senyawa polifenol yang dapat larut

dalam gliserol dan alkohol, sedangkan alkaloid berkisar 0,3-0,6%. Sedangkan

komposisi kecilnya adalah arakaidin, guakin guvokalin dan arekolidin. Unsur pokok

yang lain pada pinang terdiri dari lemak, karbohidrat, protein dan lain-lain

(Anonymus, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.2. Kecacingan

Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme penyebab penyakit dari kelompok helminth (cacing), membesar dan

hidup dalam usus halus manusia, cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada

penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang buruk.

Cacing-cacing tersebut adalah cacing gelang, cacing cambuk, cacing tambang dan

cacing pita (Sulistyorini, 2011).

Salah satu penyakit yang insidensnya masih tinggi di Indonesia adalah infeksi

cacing usus yang ditularkan melalui tanah, adapun jenis cacing yang menyebabkan

infeksi kecacingan ini adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma

duodenale dan Necator americanus serta Strongyloides stercoralis. Infeksi cacing

dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi tertinggi

ditemukan pada anak balita dan anak usia sekolah dasar, terutama kelompok anak

yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan

tanpa cuci tangan, bermain-main ditanah yang tercemar telur cacing tanpa memakai

alas kaki. Kecacingan dapat mempengaruhi kesehatan, status gizi, kecerdasan dan

produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian,

karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein, kehilangan darah sehingga

menurunkan kualitas sumber daya manusia. Anak - anak yang terinfeksi cacingan

biasanya mengalami : lesu, pucat/anemia, berat badan menurun, tidak bergairah,

konsentrasi belajar kurang, kadang disertai batuk - batuk (Sulistyorini, 2011).

Menurut Sulistyorini (2011) secara keseluruhan gejala-gejala kecacingan adalah

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Berbadan kurus dan pertumbuhan terganggu (kurang gizi)

2. Kurang darah (anemia)

3. Daya tahan tubuh rendah, sering-sering sakit, lemah dan mudah letih sehinga

sering tidak hadir sekolah dan mengakibatkan nilai pelajaran turun.

Penyakit kecacingan umumnya masih kurang mendapat perhatian dari

masyarakat maupun tenaga kesehatan karena dianggap tidak menimbulkan wabah

maupun kematian. Kejadian penyakit kecacingan khususnya yang disebabkan oleh

Soil-Transmitted Heminth di Indonesia masih cukup tinggi. Kondisi lingkungan,

sosio-ekonomi, perilaku, usia serta tingkat pendidikan penderita merupakan factor-

faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi Soil-Transmitted Helminth.

2.2.1. Cacing Perut

Menurut penelitian dr. Adi Sasongko MA, direktur pelayanan kesehatan di

Yayasan Kusuma Buana menyatakan 4 jenis cacing yang sering ditemukan dalam

usus manusia, yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris

trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale) dan cacing kremi (Necator

americanus). Tanpa kita sadari, telur cacing gelang dan cambuk sebenarnya ada di

mana-mana. Di udara, telur cacing yang berbahaya ini bercampur dengan debu, lalu

diterbangkan angin. Telur cacing ini bisa hinggap pada makanan atau minuman yang

dibiarkan terbuka. Jika makanan dan minuman itu dikonsumsi, maka ikut pula telur

cacing itu. Dalam usus telur ini berkembang menjadi larva, untuk kemudian menjadi

cacing dewasa (Anonim, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Gejala Kecacingan

Kecacingan umumnya diderita anak-anak usia satu tahun ke atas berkaitan

dengan kebiasaan mereka yang mulai sering main di luar rumah. Cacing yang masuk

ke dalam tubuh akan menetap di dalam usus, sebagai tempat yang nyaman bagi

berkembang biaknya cacing. Namanya parasit, ia mengambil segala makanan yang

ada di dalam usus tanpa peduli akan inangnya (Anonim, 2012). Kecacingan yang

tidak diatasi mengakibatkan cacing yang ada di usus bertambah banyak sehingga

bisa menimbulkan penyumbatan di saluran cerna dan usus pun tidak bisa mengalirkan

sari-sari makanan ke pencernaan. Akibatnya si penderita akan mengalami sakit pada

perut bahkan mengalami demam.

Menurut Anonim Dalam Media cetak waspada (2010) dituliskan bahwa gejala-gejala

cacingan sebagai berikut:

1. Lesu dan lemas akibat kurang darah (anemia) disebabkan oleh cacing tambang,

membuat tubuh menjadi lemas kekurangan darah karena dihisap cacing.

2. Berat badan rendah karena kekurangan gizi karena nutrisi yang seharusnya diserap

oleh tubuh juga menjadi makanan cacing.

3. Batuk tak sembuh-sembuh disebabkan oleh cacing yang dapat hidup di paru-paru

sehingga menyebabkan batuk yang tak sembuh-sembuh.

4. Nyeri di perut cacingan juga dapat menimbulkan sakit perut yang dapat

menyebabkan diare.

Cacingan juga ditandai dengan beberapa gejala lain seperti perut terasa mual,

lemas, hilang nafsu makan, diare, bahkan penurunan berat badan karena penyerapan

nutrisi yang tidak mencukupi karena saluran pencernaannya yang terganggu. Tak

Universitas Sumatera Utara

hanya di bagian organ pembuangan (anus atau vulva), cacing juga bisa menyerang

organ penting lainnya seperti saraf, mata, bahkan paru-paru. Jika sudah masuk ke

dalam organ-organ tersebut, gejala yang ditimbulkan adalah demam tinggi, adanya

benjolan pada bagian organ tersebut, tibul reaksi alergi, kejang-kejang (bila saraf di

bagian otak sudah terinfeksi), dan jika menyerang mata, cacing gelang biasanya

terlihat jelas di bagian mata yang berwarna putih (Wardani, 2012).

2.2.3. Cara Penularan kecacingan

Menurut Sulistyorini (2011), penularan kecacingan secara umum melalui dua cara:

1. Anak buang air besar sembarangan – Tinja yang mengandungi telur cacing

mencemari tanah – Telur menempel di tangan atau kuku ketika mereka sedang

bermain– Ketika makan atau minum, telur cacing masuk ke dalam mulut – tertelan –

kemudian orang akan cacingan dan seterusnya terjadilah infestasi cacing.

2. Anak buang air besar sembarangan – tinja yang mengandung telur cacing

mencemari tanah – dikerumuni lalat – lalat hinggap di makanan atau minuman –

makanan atau minuman yang mengandungi telur cacing masuk melalui mulut –

tertelan – dan selanjutnya orang akan cacingan – infestasi cacingpun terjadi.

2.2.4. Pemeriksaan Kecacingan

Pemeriksaan kecacingan pada siswa sekolah dasar yaitu dengan pemeriksaan

feces di laboratorium. Tetapi jika sudah ada gejala-gejala cacingan seperti sering

menggaruk di daerah anus, sebelum anak tidur ditempelkan selotip dianusnya dan

besok paginya plester yang ditempelkan dicabut dan plester tersebut menjadi sampel

untuk diuji di laboratorium untuk melihat ada tidaknya telur cacing.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Peran Buah Pinang Dalam Pencegahan Kecacingan

2.3.1. Senyawa Arekolin Dalam Buah Pinang Sebagai Antihelmentik

Buah pinang yang mengandung senyawa arekolin (komponen alkaloid) yang

merupakan sebuah senyawa metil-tetrahidrometil-nikotinat yang berwujud minyak

basa keras, senyawa ini banyak digunakan dalam bentuk arecolinum hydrobromicum

yang berfungsi untuk membasmi cacing pita pada hewan seperti unggas, kucing dan

anjing, sebelum ditemukannya obat cacing sintetik, seperti piperazine, tetramisole,

dan pyrantel pamoate (Anonim, 2011). Ditambahkan lagi oleh Arisandi (2008) bahwa

senyawa arekolin yang terdapat dalam buah pinang berkhasiat sebagai obat cacing

dan penenang. Senyawa arekolina (komponen alkaloid) pada biji pinang, ternyata

memiliki kadar tertinggi dan inilah yang diduga berfungsi sebagai antihelmintik

(anticacing) (Barlina, 2007).

Pemanfaatan biji pinang sebagai bahan baku obat cacing, telah diuji

efektifitasnya, baik secara in vitro maupun in vivo. Infeksi cacing usus seperti cacing

gelang (ascaris lumbricoides), cacing tambak (Trichuris trichiura) dan cacing kait (N.

Americanus), terutama pada anak-anak. Penelitian khasiat antihelmintik biji pinang

ini telah diuji secara in vitro (dalam media buatan) terhadap cacing kait anjing.

Sebagai pembanding digunakan obat modern pirantel pamoat dan garam faal. Dosis

yang digunakan 15 mg serbuk buah pinang kering dalam 25 cc air suling dan serbuk

pirantel pamoat 1 mg dalam 1000cc air suling. Hasil pengujian menunjukkan bahwa

setelah direndam selama 1 jam ada 18 cacing mati dalam larutan biji pinang,

sedangkan dalam pirantel pamoat belum ada yang mati. Pada perendaman 4 jam

dalam larutan pinang, jumlah cacing yang mati hampir sama dengan yang dalam

Universitas Sumatera Utara

larutan pirantel pamoat. Cacing mati semua setelah perendaman 10 jam, baik dalam

larutan biji pinang maupun pirantel pamoat. Sementara, dalam kelompok kontrol

(dengan menggunakan garam faal), cacing mati hanya 3,3%. Hasil ini menunjukkan

bahwa biji pinang secara in vitro terbukti memiliki efek antihelmintik terhadap cacing

kait anjing (Barlina, 2007).

Pengujian secara in vivo (dalam tubuh hidup) adalah membandingkan khasiat

biji pinang dengan mebendazol dengan menggunakan anjing yang diinfeksi larva

cacing kait. Hasil pengujian menunjukkan bahwa, meskipun tidak seefektif

mebendazol, biji pinang dapat menurunkan jumlah telur cacing sampai sebesar

74,3%. Sedangkan mebendazol dapat menurunkan hingga 83%. Hal ini membuktikan

bahwa biji pinang dapat digunakan sebagai obat cacing tradisional untuk infeksi kait

pada anjing (Barlina, 2007).

Menurut penelitian Palupi (2011) yaitu pengobatan kelompok uji yang dibagi

dalam 2 kelompok. Kelompok A dengan jumlah sampel sebanyak 28 orang,

mendapat pengobatan dengan sediaan obat tradisional terpilih yang telah

diformulasikan yaitu tablet ekstrak biji pinang, kelompok B sebagai pembanding

dengan jumlah sampel 24 yaitu mendapat pengobatan dengan Pirantel Pamoat.

Hasil dari pengobatan ini adalah dengan pemberian tablet ekstrak biji pinang

didapatkan angka penyembuhan sebesar 85,71% dan angka penurunan telur 94,3%,

sedangkan pengobatan dengan pirantel pamoat angka penyembuhannya sebasar

91,60% dan angka penurunan telur sebesar 93,1%.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2. Buah Pinang Sebagai Pencegah Cacingan

Buah pinang yang mengandung senyawa arekoline sebagai antihelmentik

(obat cacing) telah diuji efektifitasnya baik pada manusia maupun pada hewan. Buah

pinang baik dikonsumsi sebagai pencegah cacingan yaitu buah pinang memberi efek

terapiotik untuk mencegah cacingan. Senyawa arekolin dalam pinang ternyata

merupakan senyawa alkaloid aktif yang mempengaruhi saraf parasimpatik sehingga

harus digunakan dalam jumlah kecil (Agusta, 2001).

2.4. Tanin

Tanin adalah senyawa yang mengandung fenol dan dapat mengendapkan

protein. Tanin dalam daun, biji dan buah pada tumbuhan (Basri, 2005). Menurut

Risnasari dalam Tampubolon (2011) tanin merupakan senyawa organik yang terdiri

dari campuran senyawa polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H, dan O serta

sering membentuk molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000.

Menurut Winarno dalam Tampubolon 2011, tanin disebut juga asam tanat dan asam

galotanat, dapat tidak berwarna sampai berwarna kuning atau coklat. Asam tanat yang

dapat dibeli di pasaran mempunyai BM 1701 dan kemungkinan besar terdiri dari

sembilan molekul asam galat dan sebuah molekul glukosa. Beberapa ahli pangan

berpendapat bahwa tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin, dan asam hidroksi

yang masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam.

Menurut Manitto dalam tampubolon (2011) Tanin secara umum didefinisikan sebagai

senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan

dapat membentuk kompleks dengan protein. Berdasarkan strukturnya, tanin

Universitas Sumatera Utara

dibedakan menjadi dua kelas yaitu tanin terkondensasi (condensed tannins) dan tanin-

terhidrolisiskan (hydrolysable tannins).

2.4.1. Sifat Umum Tanin

Menurut Tampubolon (2011) sifat-sifat dari tanin yaitu sebagai berikut:

1. Sifat Fisika.

Sifat fisika dari tanin adalah sebagai berikut :

a. Jika dilarutkan kedalam air akan membentuk koloid dan memiliki rasa asam

dan sepat.

b. Jika dicampur dengan alkaloid dan glatin akan terjadi endapan .

c. Tidak dapat mengkristal.

d. Mengendapkan protein dan bersenyawa dengan protein

2. Sifat kimia

a. Merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang sukar

dipisahkan sehingga sukar mengkristal.

b. Tanin dapat diidentifikasikan dengan kromotografi.

c. Senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi astringensia, antiseptik dan pemberi

warna.

3. Sifat tanin sebagai pengikat logam

Senyawa fenol yang secara biologis dapat berperan sebagai pengikat logam.

Proses pengikatan akan terjadi sesuai pola subtitusi dan ph senyawa fenolik itu

sendiri. Tetapi jika tubuh mengkonsumsi tanin berlebih maka akan mengalami

anemia karena zat besi dalam darah akan diikat oleh senyawa tanin tersebut terutama

Universitas Sumatera Utara

jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan atau mengkonsumsinya sesaat setelah

mengkonsumsi makanan.

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori memang banyak obat untuk mengobati cacingan pada anak

terutama anak usia sekolah dasar. Dalam penelitian ini ingin mengetahui gambaran

konsumsi buah pinang, kejadian kecacingan dan status gizi siswa SD 175750.

Maka disusunlah kerangka konsep sebagai berikut :

Gambar 2.11. Kerangka Konsep Penelitian

Dari kerangka konsep diatas ingin dilihat bagaimana konsumsi buah pinang

siswa sekolah dasar yaitu konsumsi buah pinang yang mengandung arekoline dan

tanin, yang mana arekoline sebagai antihelmentik atau obat cacing untuk mengatasi

masalah kecacingan pada anak sekolah dasar sedangkan tanin dalam buah pinang

dapat mengganggu penyerapan zat gizi terutama zat gizi mikro dan kejadian

kecacingan pada siswa sekolah dasar berkaitan dengan status gizi mereka.

Kejadian kecacingan

pada siswa sekolah dasar Konsumsi buah pinang

siswa sekolah dasar

Status gizi siswa sekolah

dasar Tingkat kecukupan

energi dan protein

siswa sekolah dasar

Universitas Sumatera Utara