23
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kejang Demam 2.1.1 Definisi Kejang Demam Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) (1993, dalam Pellock, 2014) kejang demam merupakan gangguan neurologis akut yang paling umum terjadi pada bayi dan anak-anak disebabkan tanpa adanya infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia <6 bulan atau >3 tahun. Kejang demam dapat terjadi bila suhu tubuh diatas 38 o C dan suhu yang tinggi dapat menimbulkan serangan kejang. Menurut Maria (2011), setiap anak dengan kejang demam memiliki ambang kejang yang berbeda dimana anak dengan ambang kejang yang rendah terjadi apabila suhu tubuh 38 derajat Celsius tetapi pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi terjadi pada suhu 40 derajat Celsius bahkan bisa lebih dari itu. Demam dapat terjadi setiap saat dan bisa terjadi pada saat setelah kejang serta anak dengan kejang demam memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit demam kontrol (Newton, 2015). 2.1.2 Klasifikasi Kejang Demam Menurut American Academy of Pediatrics (2011), kejang demam dibagi menjadi dua jenis diantaranya adalah simple febrile seizureatau kejang demam sederhana dan complex febrile seizure atau kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang general yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik) serta tidak berulang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1 - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41474/3/BAB II.pdf · anak yang mendapat pengobatan untuk gangguan kejang serta pemeriksaan kadar gula darah bila

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kejang Demam

2.1.1 Definisi Kejang Demam

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) (1993, dalam

Pellock, 2014) kejang demam merupakan gangguan neurologis akut yang paling

umum terjadi pada bayi dan anak-anak disebabkan tanpa adanya infeksi sistem

saraf pusat. Kejang demam terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun dan

jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia <6 bulan atau >3 tahun.

Kejang demam dapat terjadi bila suhu tubuh diatas 38oC dan suhu yang tinggi

dapat menimbulkan serangan kejang. Menurut Maria (2011), setiap anak

dengan kejang demam memiliki ambang kejang yang berbeda dimana anak

dengan ambang kejang yang rendah terjadi apabila suhu tubuh 38 derajat

Celsius tetapi pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi terjadi pada

suhu 40 derajat Celsius bahkan bisa lebih dari itu. Demam dapat terjadi setiap

saat dan bisa terjadi pada saat setelah kejang serta anak dengan kejang demam

memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit demam kontrol

(Newton, 2015).

2.1.2 Klasifikasi Kejang Demam

Menurut American Academy of Pediatrics (2011), kejang demam dibagi

menjadi dua jenis diantaranya adalah simple febrile seizureatau kejang demam

sederhana dan complex febrile seizure atau kejang demam kompleks. Kejang

demam sederhana adalah kejang general yang berlangsung singkat (kurang dari

15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik) serta tidak berulang

10

dalam waktu 24 jam dan hanya terjadi satu kali dalam periode 24 jam dari

demam pada anak yang secara neorologis normal. Kejang demam sederhana

merupakan 80% yang sering terjadi di masyarakat dan sebagian besar

berlangsung kurang dari 5 menit dan dapat berhenti sendiri. Sedangkan kejang

demam kompleks memiliki ciri berlangsung selama lebih dari 15 menit, kejang

fokal atau parsial dan disebut juga kejang umum didahului kejang parsial dan

berulang atau lebih dari satu kali dalam waktu 24 jam. Menurut Chung (2014),

pada kejang demam sederhana umumnya terdiri dari tonik umum dan tanpa

adanya komponen fokus dan juga tidak dapat merusak otak anak, tidak

menyebabkan gangguan perkembangan, bukan merupakan faktor terjadinya

epilepsi dan kejang demam kompleks umumnya memerlukan pengamatan

lebih lanjut dengan rawat inap 24 jam.

2.1.3 Etiologi Kejang Demam

Tasmin (2013), menjelaskan bahwa penyebab kejang demam hingga

saat ini belum diketahui dengan pasti. Kejang demam tidak selalu timbul pada

suhu yang tinggi dikarenakan pada suhu yang tidak terlalu tinggi juga dapat

menyebabkan kejang. Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam

diantaranya adalah infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis

media akut, bronkitis dan tonsilitis (Riyadi, 2013). Sedangkan Ikatan Dokter

Anak Indonesia (IDAI) (2013), menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kejang

demam antara lain obat-obatan, ketidak seimbangan kimiawi seperti

hiperkalemia, hipoglikemia, asidosis, demam, patologis otak dan eklamsia (ibu

yang mengalami hipertensi prenatal, toksimea gravidarum). Selain penyebab

kejang demam menurut data profil kesehatan Indonesia (2012) yaitu

didapatkan 10 penyakit yang sering rawat inap di Rumah Sakit diantaranya

11

adalah diare dan penyakit gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu,

demam berdarah dengue, demam tifoid dan paratifoid, penyulit kehamilan,

dispepsia, hipertensi esensial, cidera intrakranial, indeksi saluran pernafasan

atas dan pneumonia.

Kejang pada neonatus dan anak bukanlah suatu penyakit, namun

merupakan suatu gejala penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab

kejang atau adanya kelainan susunan saraf pusat. Penyebab utama kejang adalah

kelainan bawaan di otak sedangkan penyebab sekundernya adalah gangguan

metabolik atau penyakit lain seperti penyakit infeksi. Negara berkembang,

kejang pada neonatus dan anak sering disebabkan oleh tetanus neonatus,

sepsis, meningitis, ensefalitis, perdarahan otak dan cacat bawaan. Penyebab

kejang pada neontaus, baik primer maupun sekunder umumnya berkaitan erat

dengan kondisi bayi didalam kandungan dan saat proses persalinan serta masa-

masa bayi baru lahir. Menurut penelitian yang dilakukan diIran, penyebab

kejang demam dikarena infeksi virus dan bakteri (Dewi, 2014).

2.1.4 Manifestasi Klinis Kejang Demam

Ngastiyah (2014), menyebutkan bahwa kejang pada anak dapat terjadi

bangkitan kejang dengan suhu tubuh mengalami peningkatan yang cepat dan

disebabkan karena infeksi di luar susunan saraf pusat seperti otitis media akut,

bronkitis, tonsilitis dan furunkulosis. Kejang demam biasanya juga terjadi

dalam waktu 24 jam pertama pada saat demam dan berlangsung singkat dengan

sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, tonik dan fokal atau

akinetik. Pada umumnya kejang demam dapat berhenti sendiri dan pada saat

berhenti, anak tidak dapat memberikan reaksi apapun untuk sejenak tetapi

12

setelah beberapa detik atau bahkan menit kemudian anak akan sadar kembali

tanpa adanya kelainan saraf.

Djamaludin (2010), menjelaskan bahwa tanda pada anak yang

mengalami kejang adalah sebagai berikut : (1) suhu badan mencapai 39 derajat

Celcius; (2) saat kejang anak kehilangan kesadaran, kadang-kadang napas dapat

terhenti beberapa saat; (3) tubuh termasuk tangan dan kaki jadi kaku, kepala

terkulai ke belakang disusul munculnya gejala kejut yang kuat; (4) warna kulit

berubah pucat bahkan kebiruan dan bola mata naik ke atas; (5) gigi terkatup

dan terkadang disertai muntah; (6) napas dapat berhenti selama beberapa saat;

(7) anak tidak dapat mengontrol untuk buang air besar atau kecil.

2.1.5 Patofisiologi Kejang Demam

Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa untuk mempertahankan

kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang didapat dari

metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak terpenting adalah glukosa.

Sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan

diteruskan ke otak melalui kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui

bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi

dipercah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari

permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan

normal membran sel neoron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan

sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida.

Akibatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium

rendah, sedangkan di luar sel terdapat keadaan sebaliknya. Pada keadaan

demam kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan mengakibatkan kenaikan

13

metabolisme basar 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada

seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh

dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan

suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan

dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium

melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas

muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel

maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut

neurotransmitter dan terjadi kejang.

Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan

dipengaruhi oleh usia dan metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung

lebih dari 15 menit biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen

dan akhirnya terjadi hipoksemia., hiperkapnia, asidodosis laktat disebabkan

oleh matabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang

tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin

meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot

meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada neuron dan

terdapat gangguan perederan darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga

meninggalkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada

daerah medial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang

berlangsung lama di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang

spontan. Karena itu kejang demam yang berlansung lama dapat menyebabkan

kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Nurindah , 2014).

14

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam

Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2012 menjelaskan bahwa

pemeriksaan penunjang merupakan penelitian perubahan yang timbul pada

penyakit dan perubahan ini bisa sebab atau akibat serta merupakan ilmu

terapan yang berguna membantu petugas kesehatan dalam mendiagnosis dan

mengobati pasien. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan

diagnosis yang serius atau setidaknya data laboratoris yang menunjang

kecurigaan klinis (Ginsberg, 2008).

Pemeriksaan penunjang pada anak yang mengalami kejang demam adalah

sebagai berikut:

1. Pemeriksaan laboratorium pada anak yang mengalami kejang demam yang

bertujuan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan

lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam dan pemeriksaan

laboratorium antara lain pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum (terutama

pada anak yang mengalami dehidrasi, kadar gula darah, serum kalsium, fosfor,

magnesium, kadar Bloof Urea Nitrogen (BUN) dan urinalisis. Pemeriksaan lain

yang mungkin dapat membantu adalah kadar antikonvulsan dalam darah pada

anak yang mendapat pengobatan untuk gangguan kejang serta pemeriksaan

kadar gula darah bila terdapat penurunan kesadaran berkepanjangan setelah

kejang (Arief, 2015).

2. Pungsi lumbal

Pada anak kejang demam sederhana yang berusia <18 bulan sangat disarankan

untuk dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal

karena merupakan pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk

15

menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis serta pada anak yang

memiliki kejang demam kompleks (karena lebih banyak berhubungan dengan

meningitis) dapat dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal dan dilakukan pada

anak usia 12 bulan karena tanda dan gejala klinis kemungkinan meningitis pada

usia ini minimal bahkan dapat tidak adanya gejala. Pada bayi dan anak dengan

kejang demam yang telah mendapat terapi antibiotik, pungsi lumbal merupakan

indikasi penting karena pengobatan antibiotik sebelumnya dapat menutupi

gajala meningitis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016).

2.1.7 Faktor Resiko Kejang Demam

Faktor resiko merupakan penyebab langsung atau suatu pertanda

terhadap hal yang merugikan dan memudahkan terjadinya suatu penyakit serta

mempunyai hubungan yang spesifik dengan akibat yang dihasilkan (Nurwijaya,

2010). Anak yang mengalami kejang demam kemungkinan besar akan menjadi

penderita epilepsi jika adanya kelainan neurologis sebelum kejang demam

pertama dan kejang demam bersifat kompleks (Susilowati, 2011).

Kejang demam pada anak memiliki beberapa faktor resiko diantaranya

adalah sebagai berikut :

1. Resiko kekambuhan kejang demam merupakan kejang demam yang terjadi

kedua kalinya sebanyak setengah dari pasien tersebut. Usia pada saat kejang

demam pertama merupakan faktor resiko yang paling penting dalam

kekambuhan ini, karena semakin muda usia pada saat kejang demam pertama,

semakin tinggi resiko keambuhan terjadi dan sebagai perbandingan, sebanyak

20% yang memiliki kekambuhan kejang demam pertama adalah usia tua lebih

dari 3 tahun (Gupta, 2016).

16

2. Resiko epilepsi merupakan resiko mengembangnya kejang setelah terjadi

kejang demam dan berdampak pada keterlambatan perkembangan atau

pemeriksaan neurologis yang abnormal sebelum terjadi kejang demam, riwayat

kejang demam kompleks dan terjadi kejang demam berkepanjangan serta

menjadi resiko epilepsi. Resiko epilepsi ini merupakan faktor bawaan yang

sudah ada sebelumnya seperti perinatal, genetik atau keturunan (Panteliadis,

2013).

3. Resiko perkembangan, kecacatan perilaku dan akademik pada anak kejang

demam adalah tidak lebih besar dari pada populasi umum dan anak dengan

kejang demam berkepanjangan dapat mengembangkan konsekuensi neurologis

jangka panjang (Bagiella, 2011).

4. Status demam epileptikus adalah kejang demam yaang memiliki durasi lebih

dari 30 menit dan merupakan bentuk paling parah dan berpotensi mengancam

nyawa dengan konsekuensi jangka panjang dan bersifat gawat darurat. Anak

dengan kejang demam pertama memiliki potensi status demam epileptikus

dimana dikaitkan dengan usia yang lebih muda dan suhu tubuh lebih rendah

serta durasi yang lebih lama (Gupta, 2016).

5. Faktor genetik atau keturunan misalnya pada orang tua dengan riwayat kejang

demam (pada masa kanak-kanak), saudara kandung dengan riwayat kejang

demam dan orang tua dengan riwayat epilepsi tanpa demam (Handy, 2016).

Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mempunyai riwayat kejang dalam

keluarga terdekat mempunyai resiko untuk bangkitan kejang demam 4,5 kali

lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat dan faktor

riwayat kejang pada ibu, ayah dan saudara kandung menunjukkan hubungan

yang bermakna karena mempunyai sel yang kosong (Wijayahadi, 2010).

17

6. Konsekuensi kejang demam, anak yang mengalami kejang demam sederhana

memiliki resiko yang sangat rendah dibandingkan dengan kejang demam

kompleks karena pada kejang demam kompleks memiliki durasi selama lebih

dari 15-20 menit dan berulang dalam penyakit yang sama (Camfield, 2015).

7. Faktor statistik yaitu faktor resiko kejang demam yang berhubungan dengan

pendidikan orang tua, ibu merokok pada saat sebelum melahirkan atau

menggunakan minuman beralkohol, tingkat demam dan memiliki penyakit

gastroenteritis. Faktor resiko yang paling penting untuk kejang demam adalah

usia, karena semakin muda usia pada saat kejang demam pertama semakin

tinggi resiko kekambuhan (Salam, et al. 2012).

2.1.8 Pencegahan Kejang Demam

Pencegahan kejang demam adalah tindakan menghilangkan penyebab

ketidaksesuaian yang potensial atau situasi yang tidak dikehendaki (Hadi, 2007).

Pencegahan yang harus dilakukan pada anak yang mengalami kejang demam

adalah sebagai berikut :

1. Imunisasi adalah dengan sengaja memasukkan vaksin yang berisi mikroba

hidup yang sudah dilemahkan pada balita yang bertujuan untuk mencegah dari

berbagain macam penyakit. Imunisasi akan memberikan perlindungan seumur

hidup pada balita terhadap serangan penyakit tertentu. Apabila kondisi balita

kurang sehat bisa diberikan imunisasi karena suhu badannya akan meningkat

sangat tinggi dan berisiko mengalami kejang demam. Berbagai jenis vaksinasi

atau imunisasi yang saat ini dikenal dan diberikan kepada balita dan anak adalah

vaksin poliomyelitis, vaksin DPT (difteria, pertusis dan tetanus), vaksin BCG

(Bacillus Calmette Guedrin), vaksin campak (Widjaja, 2009).

18

2. Orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengamati anak

dengan cara jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak karena

benda tersebut justru dapat menyumbat jalan napas, anak harus dibaringkan

ditempat yang datar dengan posisi menyamping bukan terlentang untuk

menghindari bahaya tersedak, jangan memegangi anak untuk melawan, jika

kejang terus berlanjut selama 10 menit anak harus segera dibawa ke fasilitas

kesehatan terdekat dan setelah kejang berakhir jika <10 menit anak perlu

dibawa ke dokter untuk meneliti sumber demam terutama jika ada kekakuan

leher, muntah-muntah yang berat dan anak terus tampak lemas (Lissauer,

2013).

2.1.9 Penatalaksanaan Kejang Demam

Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa terdapat 4 faktor untuk

menangani kejang demam diantaranya adalah pemberantasan kejang secepat

mungkin, pengobatan penunjang, memberikan pengobatan rumat serta

mencari dan mengobati penyebab.

1. Memberantas kejang secepat mungkin

Pada saat pasien datang dalam keadaan kejang lebih dari 30 menit maka

diberikan obat diazepam secara intravena karena obat ini memiliki keampuhan

sekitar 80-90% untuk mengatasi kejang demam. Efek terapeutinya sangat cepat

yaitu kira-kira 30 detik dampai 5 menit. Jika kejang tidak berhenti makan

diberikan dengan dosis fenobarbital. Efek samping obat diazepam ini adalah

mengantuk, hipotensi, penekanan pusat pernapasan, laringospasme dan henti

jantung (Newton, 2013).

19

2. Pengobatan penunjang yaitu dengan melepas pakaian ketat yang digunakan

pasien, kepala pasien sebaiknya dimiringkan untuk mencegah aspirasi isi

lambung, usahakan agar jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen

dan bila perlu dilakukan inkubasi atau trakeostomi serta penghisapan lendir

harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen. Fungsi vital seperti

kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung diawasi secara

ketat. Berikut tindakan pada saat kejang : (1) baringkan pasien ditempat yang

rata, kepala dimiringkan dan pasangkan sudip lidih yang telah dibungkus kasa

atau bila ada guedel lebih baik; (2) singkirkan benda-benda yang ada di sekitar

pasien dan lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan seperti ikat

pinggang dan gurita; (3) bila suhu tinggi berikan kompres secara

intensif;(4)setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat; (5)isap

lendir sampai bersih, berikan oksigen boleh sampai 4L/menit dan jika pasien

upnea lakukan tindakan pertolongan; (Ngastiyah, 2014).

3. Pengobatan rumat, pada saat kejang demam telah diobati kemudian diberikan

pengobatan rumat. Mekanisme kerja diazepam sangat singkat, yaitu berkisar

antara 45-60 menit sesudah di suntik. Oleh karena itu harus diberikan obat

antiepileptik dengan daya kerja lebih lama misalnya fenobarbital atau

defenilhidantoin. Fenobarbital diberikan langsung setalh kejang berhenti

dengan diazepam. Lanjutan pengobatan rumat tergantung dari pada keadaan

pasien. Pengobatan ini dibagi menjadi dua bagiam yaitu profilaksis intermiten

dan profilaksis jangka panjang (Natsume, 2016).

4. Mencari dan mengobati penyebab. Etiologi dari kejang demam sederhana

maupun epilepsi biasanya disebabkan oleh infeksi pernapasan bagian atas serta

otitis media akut. Cara untuk penanganan penyakit ini adalah dengan

20

pemberian obat antibiotik dan pada pasien kejang demam yang baru datang

untuk pertama kalinya dilakukan pengambilan pungsi lumbal yang bertujuan

untuk menyingkirkan kemungkinan terdapat infeksi didalam otak seperti

penyakit miningitis (Arief, 2015).

Patel (2015), menjelaskan bahwa orang tua harus di ajari bagaimana

cara menolong pada saat anak kejang dan tidak boleh panik serta yang penting

adalah mencegah jangan sampai timbul kejang serta memberitahukan orang tua

tentang apa yang harus dilakukan jika kejang demam berlanjut dan terjadi di

rumah dengan tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter

yang telah mengandung antikonvulsan, anak segera diberikan obat antipiretik

bila orang tua mengetahui anak mulai demam dan jangan menunggu suhu

meningkat serta pemberian obat diteruskan sampai suhu sudah turun selama

24 jam berikutnya (Ghassabian, et al. 2012). Jika terjadi kejang, anak harus

dibaringkan ditempat yang rata dan kepalanya dimiringkan serta buka baju anak

dan setelah kejang berhenti, pasien bangun kembali suruh minum obat dan

apabila suhu pada waktu kejang tersebut tinggi sekali supaya dikompres serta

beritahukan kepada orang tua pada saat anak mendapatkan imunisasi agar

segera beritahukan dokter atau petugas imunisasi bahwa anak tersebut

menderita kejang demam agar tidak diberikan pertusis (Patil, et al. 2012).

2.2 Konsep Sikap

2.2.1 Definisi Sikap

Sikap adalah pikiran dan perasaan seseorang yang kurang mengenai

aspek tertentu dalam lingkungan dan stimulus yang berdampak pada pada

bagaimana seseorang berhadapan dengan objek dan sikap bukan suatu

21

tindakan atau aktivitas, melainkan predisposisi tindakan atau perilaku

(Mubarak, 2011).

Alport (1954, dalam Mubarak, 2011 : 84) menyatakan bahwa sikap

mempuyai tiga komponen yaitu diantaranya adalah kepercayaan/keyakinan

(ide dan konsep), kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu

objek dan kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Antara ketiga

komponen diatas secara bersamaan membentuk sikap yang utuh atau total

attitude dan sikap yang dikaitkan dengan pendidikan merupakan tanggapan

peserta didik terhadap materi yang telah diberikan.

2.2.2 Tingkat Sikap

Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri atas berbagai tingkat

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa seseorang (subjek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan atau objek (Notoatmodjo, 2012).

2. Meresponding (responding). Ketika ditanya memberikan jawaban dan

menyelesaikan tugas yang telah diberikan serta menerima ide yang diberikan

dengan mengerjakan tugas tersebut (Efendi, 2009).

3. Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkap tiga (Novita,

2013).

4. Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang

telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paing tinggi

(Fransiska, 2013).

22

2.2.3 Fungsi Sikap

Sikap memiliki lima fungsi, yakni diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Fungsi instrumental yaitu sikap yang dikaitkan dengan alasan praktis atau

manfaat dan menggambarkan keadaan keinginannya atau tujuan (Maulana,

2009).

2. Fungsi pertahanan ego yaitu sikap yang diambil untuk melindungi diri dari

kecemasan atau ancaman harga dirinya (Fransiska, 2013).

3. Fungsi nilai ekspresi yaitu sikap yang menunjukkan nilai yang ada pada dirinya.

Sistem nilai individu dapat dilihat dari sikap yang diambil indiviu bersangkutan

misalnya individu yang telah menghayati ajaran agama, sikapnya tercermin dala

tutur kata, perilaku dan perbuatan yang dibenarkan ajaran agamanya (Sunaryo,

2013).

4. Fungsi pengetahuan. Setiap individu memiliki motif untuk ingin tahu, ingin

mengerti, ingin banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan dan

diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (Maulana, 2009).

5. Fungsi penyesuaian sosial yaitu sikap yang diambil sebagai bentuk adaptasi

dengan lingkungannya seperti sikap dapat tertuju pada satu atau banyak objek,

sikap dapat berlangsung lama atau sebentar dan sikap mengandung faktor

perasaan dan motivasi serta hal ini yang membedakan dengan pengetahuan

(Fransiska, 2013).

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap

Maulana (2009), menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi perubahan sikap yaitu faktor internal atau diantaranya seperti

fisiologis (sakit, lapar dan haus), psikologis ( minat dan perhatian) dan motif

23

kemudian faktor eksternal atau pengaruh interaksi dengan orang lain

diantaranya adalah pengalaman, situasi, norma, hambatan dan pendorong.

Sarwon (2000, dalam Maulana, 2009) pembentukan dan perubahan

sikap dapat disebabkan oleh situasi interaksi kelompok dan situasi komunikasi

media karena semua kejadian tersebut mendapatkan pengalaman dan akhirnya

akan membentuk suatu kenyakinan, perasaan dan kecendrungan berperilaku.

Pembentukan dan perubahan sikap memiliki beberapa cara seperti adopsi,

diferensiasi, integrasi, trauma dan generalisasi.

2.3 Konsep Pendidikan Kesehatan

2.3.1 Definisi Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan perilaku yang

dinamis, dimana perubahan tersebut bukan proses pemindahan materi dari

seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur. Artinya

perubahan tersebut terjadi adanya kesadaran dari dalam individu atau

masyarakat sendiri. Pendidikan kesehatan adalah isitilah yang diterapkan pada

penggunaan proses pendidikan secara terencana untuk mencapai tujuan

kesehatan meliputi beberapa kombinasi dan kesempatan pembelajaran

(Kholid, 2015).

Craven dan Hirnle (1996, dalam Supradi, 2007 : 7), menjelaskan bahwa

pendidikan kesehatan adalah penambah pengetahuan dan kemampuan

seseorang melalui teknik prakter belajar atau instruksi dengan tujuan untuk

mengingat faktau atau kondisi nyata dengan cara memberikan dorongan

terhadap pengarahan diri (self direction) dan aktif memberikan informasi-

informasi.

24

WHO (1954, dalam Maulana, 2009 : 149), menjelaskan bahwa tujuan

pendidikan kesehatan mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang

kesehatan. Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992 yakni meningkatkan

kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan baik fisik, mental maupun sosialnya sehingga produktif secara

ekonomi maupun secara sosial, pendidikan kesehatan disemua program

kesehatan baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi

masyarakat pelayanan kesehatan maupun progam kesehatan lainnya.

2.3.2 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan, baik sebagi ilmu maupun seni

sangat luas karena mencakup segi kehidupan masyarakat. Pendidikan kesegatan

selain merupakan salah satu faktor dalam usaha meningkatkan kesehatan dan

kondisi sosial masyarakat. Berkaitan dengan ilmu sosial budaya, juga

memberikan bantuan dalam setiap program kesehatan. Ruang lingkup

pendidikan kesehatan didasarkan pada apek kesehatan, tatanan atau tempat

pelaksanaan dan pelayanan kesehatan (Mubarak, 2007).

Mubarak (2007), menjelaskan bahwa ruang lingkup pada pendidikan

kesehatan bisa dilihat dari berbagai macam dimensi, antara lain dimensi sasaran

pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya dan dimensi tingkat

pelayanan kesehatan dan bisa di lihat dibawah ini:

1. Dimensi sasaran, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga

yaitu: (a) pendidikan kesehatan individual dengan menggunakan sasaran

individu; (b) pendidikan kesehatan kelompok dengan menggunakan sasaran

25

kelompok; (c) pendidikan kesehatan masyarakat dengan menggunakan sasaran

masyarakat (Kholid, 2015).

2. Dimensi tempat pelaksanaan, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di

berbagai macam tempatmisalnya seperti : (a) pendidikan kesehatan di Sekolah,

dilakukan di Sekolah dengan menggunakan sasaran murid; (b) pendidikan

kesehatan di Rumah Sakit, dilakukan di Rumah Sakit dengan mennggunakan

sasaran pasien yang ada di Rumah Sakit; (c) pendidikan kesehatan di tempat-

tempat kerja dengan menggunakan sasaran buruh atau karyawan (Novita,

2013).

3. Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan juga dapat

dilakukan lima level tingkat pencegahan seperti health promotion atau

peningkatan kesehatan, general and specific protection (perlindungan umum dan

khusus, early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan pengobatan segera

atau adekuat), Disability limitation atau pembatasan kecacatan, Rehabititation atau

rehabilitasi dan sasaran pendidikan kesehatan (Supradi, 2007).

2.3.3 Langkah-langkap Pendidikan Kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), menjelaskan

bahwa langkah-langkah pelaksanaan pendidikan kesehatan di bagi menjadi dua

kelompok, yaitu langkah-langkah pendidikan kesehatan di Puskesmas dan di

masyarakat :

1. Pelaksanaan pendidikan kesehatan di Puskesmas pada dasarnya adalah

penerapan strategi pendidikan kesehatan yaitu pemberdayaan, bina suasana dan

advokasi di tatanan sarana kesehatan khususnya Puskesmas. Oleh karena itu

langkah awalnya adalah penggerakan dan pengorganisasian untuk

26

memberdayakan para petugas Puskesmas agar mampu mengidentifikasi

masalah-masalah yang disandang pasien atau klien dan menyusun rencana

untuk menanggulanginya dari sisi pendidikan kesehatan. Setelah itu barulah

dilaksanakan pendidikan kesehatan dengan peluang yang ada (Machfoedz &

Suryani, 2007).

2. Langkah-langkah promosi kesehatan di masyarakah mencakup : (1) pengenalan

kondisi wilayah; (2) identifikasi masalah kesehatan; (3) survey mawas diri; (4)

musyawarah desa atau kelurahan; perencanaan partisipatif: (6) pelaksanaan

kegiatan dan pembinaan kelestarian (Fitriani, 2011).

2.3.4 Metode Pendidikan Kesehatan

Menurut Maulana (2009), metode dapat diartikan sebagai cara atau

pendekatan tertentu. Dalam proses belajar, pendidikan harus dapat memilih

dan menggunakan metode atau cara mengajar yang cocok sesuai dengan

kondisi setempat. Meskipun berlaku pedoman umum bahwa tidak ada satu pun

metode belajar yang paling baik dan tidak ada satu pun metode belajar yang

berdiri sendiri.

2.3.4.1 Klasifikasi Metode Pendidikan Kesehatan

WHO (1992, dalam Maulan, 2009), menjelaskan bahwa metode

pendidikan kesehatan diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu metode

pendidikan individu, kelompok dan massa.

1. Metode Pendidikan Individu

a. Bimbingan dan konseling, berisi tentang penyampaian informasi yang

berkenan dengan masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan masalah

sosial yang disajikan dalam bentuk pelajaran. Informasi dalam

27

bimbingan yang dimaksud adalah memperbaiki dan mengembangkan

pemahaman diri dan orang lain, sedangkan perubahan sikap

merupakan tujuan tidak langsung. Konselin adalah proses belajar yang

bertujuan memungkinkan konseli atau peserta didik mengenal dan

menerima diri serta realistik dalam proses penyelesaian dengan

lingkungannya. Menurut Cavaganh (1982, dalam Maulana, 2009),

proses konseling terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pertama meliputi

pengenalan, kunjungan dan dukungan lingkungan. Tahap pertengahan

berupa kegiatan penjelasan masalah klien dan membantu apa yang akan

diberikan berdasarkan penilaian kembali masalah klien. Tahap akhir

ditandai oleh penurunan kecemasan klien berupa perubahan perilaku

ke arah positif, sehat dan dinamis.

b. Wawancara merupakan bagian dari konseling dan bimbingan yang

dilakukan untuk mencari informasi yang dilakukan oleh petugas dan

klien untuk mengetahui perilaku memiliki kesadaran yang kuat

(Nursalam, 2009).

1. Metode pendidikan kelompok, untuk kelompok yang besar memiliki sasaran

berjumlah lebih dari 15 orang dan dapat digunakan metode cerah dan seminar

seperti: (1) ceramah adalah pidato yang disampaikan oleh seorang pembicara

di depan sekelompok pengunjung atau pendengar; (2) bermain peran adalah

permainan sebuah situasi dalam hidup manusia dengan atau patanpa

melakukan latihan seblumnya. Metode ini dimainkan oleh beberapa orang

untuk dipakai sebagai bahan analisis oleh kelompok. Dalam metode ini, para

peserta diminta memainkan atau memerankan bagian-bagian dari berbagai

karakter dalam suatu kasus (Fitriani, 2011).

28

2. Metode pendidikan massa dilakukan untuk mengonsumsikan pesan-pesan

kesehatan yang ditunjukan untuk masyarakat karema sasaran pendidikan

bersifar umum dalam arti tidak membedakan golongan, umur, jenis kelamin,

pekerjaan, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan. Salah satu contoh

metode ni adalah ceramah umum. Ceramah umum dapat dilakukan dengan

memberikan pidato di hadapan massa dengan sasaran yang sangat besar,

misalnya pejabat berpidato di hadapan rakyat. Safari KB (keluarga berencana)

merupakan bentuk pendekatan massa. Hal ini membutuhkan partisipasi

masyarakat, kelompok koordinasi antar sektor dan media cetak serta elektronik

(Kholid, 2015).

2.3.5 Media Pendidikan Kesehatan

Soekidjo (2005, dalam Mubarak, 2011 : 117), menjelaskan bahwa

media merupakan perantara atau bisa disebut juga dengan pengantar pesan dari

pengirim ke penerima pesan tersebut dan media didalam pendidikan kesehatan

merupakan alat bantu pendidikan kesehatan dengan cara dilihat, diraba,

didengar, dirasakan dan dicium yang bertujuan untuk memperlancar

komunikasi dan penyebarluasan informasi yang disampaikan oleh komuniktor

dengan melalui media cetak dan media elektronik.

Mubarak (2011), menjelaskan bahwa tujuan media pendidikan

kesehatan sebagi berikut: (1) media dapat mempermudah penyampaian

informasi; (2) media dapat menghindari kesalahan persepsi; (3) media dapat

memperjelas informasi; (4) media dapat mempermudah pengertian; (5) media

dapat mengurangi komunikasi yang verbalistik; (6) media dapat menampilkan

29

objek yang tidak bisa ditangkap mata; (7) media dapat memperlancar

komunikasi.

2.3.5.1 Jenis Media Pendidikan Kesehatan

Maulana (2009), menjelaskan bahwa alat-alat peraga dapat dibagi dalam

4 kelompok besar yaitu:

1. Benda asli adalah benda yang sesungguhnya dan merupakan alat peraga yang

paling baik karena mudah dikenal serta memiliki bentuk dan ukuran yang tepat.

Alat ini mempunyai kelemahan yaitu tidak selalu mudah di bawah kemana-

mana. Alat peraga ada bermacam diantaranya adalah tinja di kebun, lalat di atas

tinja, spesimen seperti cacing yang di awetkan dalam botol dan sample seperti

oralit (Fitriani, 2011).

2. Benda tiruan memiliki ukuran yang berbeda dengan benda sesungguhnya. Alat

ini dapat digunakan sebagai media didalam pendidikan kesehatan karena benda

tiruan dapat dibuat dari berbagai macam bahan diantaranya seperti tanah,

semen, kayu dan plastik sedangkan benda asli tidak bisa digunakan karena

ukurannya yang terlalu besar dan berat (Supradi, 2007).

3. Media grafis atau yang biasa disebut gambar merupakan pengkajian visual

dengan penyajian dua dimensi dan media grafis ini tidak termasuk media

eletronik. Ada berbagai macam media grafis diantaranya adalah flip chart

(lembar balik), spanduk, lukisan, booklet, poster, leaflet dan flyer atau

selembaran(Mubarak, 2011).

30

2.4 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tehadap Sikap Ibu dalam Menangani

Kejang Demam Pada Anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Nazimi (2017) “The effect of educational

program on knowledge, attitude and practice of mothers regarding prevention of febrile seizure

in children”. Pengaruh program pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan,

sikap dan perilaku dari ibu tentang pencegahan kejang demam. Dalam

penelitian yang di lakukan di Iran ini menggunakan intervensi pendidikan

kesehatan dan intervensi ini mempunyai hasil yang signifikan dimana setelah

dilakukan intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku ibu memiliki

peningkatan. Dalam studi Huang telah menyatakan bahwa pendidikan

kesehatan dan diskusi kelompok memiliki peran utama dalam meningkatkan

pengetahuan, sikap dan perilaku. Dengan menggunakan metode pendidikan ini

lebih efektif bisa mengurangi kecemasan ibu dan lebih mengerti lagi dalam

menggunakan termometer serta lebih bisa mengkontrol kejang demam pada

anak. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Barzegar (2015) “The

effects of two educational strategies on knowledge, attitude, concerns and practices of mothers

with febrile convulsive children”. Penelitian ini menggunakan 2 strategi pendidikan

kesehatan yaitu pamflet dan intrusksi lisan dan mendapatkan hasil signifikan

efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku meskipun sangat

sedikit perubahan sikap yang terjadi terhadap kejang demam. Michael dan Sisca

(2014), mendapatkan hasil bahwa pendidikan kesehatan dapat memberikan

pengaruh signifikan terhadap tingkat pengetahuan remaja SMK Fajar Bolang

di Sulawesi Utara. Eldein (2016) “Effect of an intervention on prevention of recurrence

of febrile convulsion among under five children” mendapatkan hasil penelitian bahwa

31

pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap pencegahan kekambuhan kejang

demam.