19
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB II SEJARAH, TOKOH DAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017

BAB II SEJARAH, TOKOH DAN PERSPEKTIF SOSIOLOGIsertifikasi.fkip.uns.ac.id/file_public/2017/MODUL 2017/Sosiologi... · 1 BAB II SEJARAH, TOKOH DAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI A. Kompetensi

Embed Size (px)

Citation preview

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017

MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN

SOSIOLOGI

BAB II

SEJARAH, TOKOH DAN PERSPEKTIF

SOSIOLOGI

ALI IMRON, S.Sos., M.A.

Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

2017

1

BAB II

SEJARAH, TOKOH DAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI

A. Kompetensi Inti

Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu

B. Kompetensi Dasar :

Memahami kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu

C. Uraian Materi Pembelajaran :

1. Sejarah Kelahiran Sosiologi

Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersumber dari filsafat, yang dianggap

sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Filsafat berkembang dan mempunyai berbagai

cabang ilmu pengetahuan. Sesuai dengan perkembangan zaman, masing-masing

cabang ilmu pengetahuan kemudian memisahkan diri dan berkembang untuk

mencapai tujuannya masing-masing. Pada awalnya, astronomi dan fisika yang

memisahkan diri dari filsafat kemudian disusul oleh ilmu pengetahuan lain.

Sosiologi sendiri secara “resmi” memisahkan diri dari filsafat pada abad 19 yang

ditandai dengan terbitnya tulisan Auguste Comte. Tulisan yang berjudul Positive

Philosophy merupakan awal lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. Tulisan

yang terbit pada tahun 1842 ini mengukuhkan Comte sebagai bapak sosiologi.

Lahirnya tulisan Comte pada dasarnya adalah bentuk keprihatinan terhadap kondisi

masyarakat Eropa pada saat itu (Soekanto, 1982: 10-12). Pokok perhatian sosiologi di

Eropa adalah pada kesejahteraan masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi

di dalam masyarakat.

Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dipengaruhi oleh

kekuatan sosial. Adapun kekuatan sosial yang berperan dalam perkembangan ilmu

sosiologi, antara lain:

2

a. Revolusi politik

Peristiwa politik yang terjadi di Eropa diawali dengan Revolusi Perancis pada

tahun 1789 yang memberikan semangat bagi para pemikir untuk mempelajari

perubahan yang terjadi pada masyarakat. Revolusi selain merubah tatanan politik

juga membawa dampak yang begitu luar biasa bagi masyarakat. Serangkaian konflik

dan peperangan menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi masyarakat, terutama di

Perancis. Pada saat itulah, para pemikir mencoba merubah tatanan masyarakat yang

tercerai berai menjadi lebih kondusif. Para pemikir bahkan secara ekstrim ingin

mengembalikan kondisi seperti pada abad pertengahan (Calhoun, 2002: 25). Namun,

beberapa pemikir lainnya mencoba mencari celah untuk mencari “tatanan

masyarakat masa depan” yang lebih ideal. Perhatian utama para pemikir adalah pada

isu “ketertiban sosial” yang kemudian dikenal dengan sebutan sosiologi klasik,

dengan pemikir utama Comte dan Durkheim.

b. Revolusi industri dan kemunculan kapitalisme

Selain revolusi politik yang melanda Eropa, revolusi industri juga ikut ambil

bagian memberikan warna pada lahirnya sosiologi. Revolusi industri ditandai dengan

berubahnya corak produksi negara-negara Eropa yang semula bertumpu pada sektor

pertanian berubah pada sektor industri. Revolusi industri muncul sebagai akibat dari

lahirnya penemuan baru di bidang teknologi. Salah satu penemuan yang spektakuler

adalah kemunculan mesin uap yang ditemukan oleh James Watt. Kapitalisme lahir

ditandai dengan penguasaan aset produksi oleh sebagian kecil masyarakat,

sedangkan sebagian besar masyarakat hanya dijadikan alat produksi sebagai buruh

dengan tingkat keuntungan yang kecil (Ritzer dan Goodman, 2007: 7-10). Kondisi ini

memunculkan gerakan buruh yang menuntut kesejahteraan bahkan secara radikal

seringkali berubah menjadi “pemberontakan buruh”. Pergolakan ini menjadi bahan

kajian bagi para pemikir, antara lain Marx, Weber, Durkheim dan Simmel.

3

c. Kemunculan sosialisme

Sosialisme dianggap sebagai musuh bebuyutan kapitalisme sehingga dapat

dikatakan bahwa upaya penghancuran kapitalisme adalah melalui sosialisme. Marx

adalah salah satu pendukung gagasan sosialisme, walaupun Marx tidak secara tegas

akan mengambangkan sosialisme, namun dalam banyak tulisannya Marx mengkritik

habis-habisan kapitalisme. Walaupun menyadari masalah yang timbul seiring dengan

kapitalisme, mereka lebih mengkhawatirkan isu sosialisme yang dibawa oleh Marx.

Marx mencita-citakan tatanan masyarakat baru melalui revolusi sosial (gerakan

buruh).

d. Feminisme

Feminisme merupakan gerakan perempuan yang menuntut adanya persamaan

hak dan keluar dari subordinasi yang dihasilkan oleh sistem sosial masyarakat Eropa.

Gerakan buruh, persamaan hak perempuan, penghapusan perbudakan, dan

kedudukan perempuan dalam hukum menjadi perhatian utama para aktivis

feminisme pada waktu itu.

e. Urbanisasi

Revolusi industri membawa permasalahan sosial baru berupa urbanisasi. Laju

perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi sangat mengkhawatirkan demikian

pula perubahan desa menjadi kota seiring perubahan sistem produksi. Migrasi desa

kota membawa dampak pada penyesuaian pola perilaku masyarakat urban.

Serangkaian permasalahan juga timbul ketika desa terkena dampak industrialisasi.

Topik ini kemudian semakin berkembang ketika Amerika mulai terkena dampak

revolusi industri.

f. Perubahan keagamaan

Kapitalisme tidak dapat lepas dari perubahan-perubahan dalam bidang

keagamaan. Weber mencoba menelaahnya melalui tulisan yang berjudul “The

Protestan Ethic and The Spirit Capitalism”. Gerakan protestan yang berkembang

pesat menjadi salah satu kajian yang menarik bagi sosiolog.

4

g. Perkembangan ilmu pengetahuan

Lahirnya sosiologi diiringi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan.

Tidak mengherankan apabila pemikir mencoba menggunakan pendekatan-

pendekatan ilmu pengetahuan alam. Namun demikian, perdebatan terjadi ketika

para ahli berargumentasi bahwa fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam.

2. Tokoh-tokoh Sosiologi

a. Auguste Comte (1798-1857)

Comte merupakan orang yang pertama kali mengenalkan istilah sosiologi. Pada

awalnya, Comte tidak menggunakan istilah sosiologi, namun fisika sosial. Penggunaan

istilah ini menunjukkan bahwa Comte sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu

pengetahuan alam yang sudah mapan pada masa itu. Comte mulai tertarik pada

masalah sosial ketika menghadapi masyarakat Eropa yang mengalami berbagai

“kerusakan” sebagai akibat peperangan. Perhatian utama Comte pada sosiologi

menghasilkan dua bidang kajian yaitu social static dan social dynamic. Social static

mencurahkan perhatian pada gejala sosial yang bersifat tetap seperti struktur sosial.

Sedangkan social dynamic lebih diarahkan pada proses-proses perubahan sosial yang

terjadi (Calhoun, 2002: 24-26). Bagi Comte, dinamika sosial jauh lebih penting karena

perubahan yang terjadi mampu merubah pola sosial yang semula statik. Comte tidak

menyetujui revolusi. Perubahan tatanan memang diperlukan oleh masyarakat Eropa

pada masa itu. Namun, langkah yang dirasa bijaksana adalah melalui reformasi.

Comte mempercayai akan adanya evolusi pada masyarakat sehingga dia

melahirkan hukum tiga tingkatan. Teori ini menerangkan bahwa terdapat tahapan

intelektual yang harus dilalui oleh dunia sepanjang sejarah. Pertama, teologis

merupakan tahapan yang menjadi karakteristik dunia pada tahun 1300-an. Pada

tahap ini manusia berkeyakinan bahwa kekuatan adi kodrati sebagai pengendali

segala sesuatu di dunia. Tokoh agama menjadi salah satu panutan utama bagi

masyarakat. Kedua, metafisik terjadi pada tahun 1300-1800. Pada tahap ini kekuatan

abstrak dianggap sebagai penentu segala sesuatu, bukan lagi hanya bertumpu pada

kekuatan adi kodrati. Ketiga, positivistik ditandai dengan munculnya keyakinan pada

5

ilmu pengetahuan. Kekuatan Tuhan dan alam mampu digali lebih lanjut melalui ilmu

pengetahuan.

b. Emile Durkheim (1858-1917)

Seperti halnya Comte, karya Durkheim diinspirasi oleh kekacauan pada

masyarakat sebagai akibat dari revolusi Perancis pada masa itu. Sebagian besar

karyanya berupaya mengupas masalah ketertiban sosial, sebuah keadaan yang dicita-

citakan oleh masyarakat Eropa. Menurut Durkheim, kekacauan merupakan hal yang

wajar seiring perkembangan masyarakat yang semakin modern. Untuk mengatasi hal

itu, Durkheim menyarankan adanya reformasi sosial sehingga bisa membentuk

tatanan masyarakat yang lebih stabil. Jelas Durkheim berseberangan dengan Marx

yang lebih mengedepankan revolusi dengan kekuatan buruhnya.

c. Karl Marx (1818-1883)

Kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi tenaga kerja besar-besaran. Upah

yang diberikan oleh pemilik modal hanyalah upah semu saja, karena nilai lebih yang

dihasilkan oleh barang industri tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan oleh

buruh. Kapitalisme juga telah membelenggu krativitas buruh. Terlebih dengan adanya

introduksi mesin-mesin industri menjadikan buruh semakin termarginalisasi, selain

juga dihadapkan oleh persaingan diantara buruh menjadi ketat. Akibatnya, buruh

menjadi tidak berdaya dalam menolak upah rendah, yang ada adalah keterpaksaan

bekerja dengan upah rendah daripada harus tidak menerima upah sama sekali. Marx

melihat pada moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang.

Hal ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh

bercirikan pertentangan akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis.

Kaum buruh merupakan kaum proletar yang kesemuanya telah menjadi

“korban” eksploitasi kaum borjuis. Marx meramalkan akan terjadi kondisi dimana

terjadi kesadaran kelas di kalangan kaum proletar. Kesadaran kelas ini membawa

dampak berupa kemauan melakukan perjuangan kelas untuk melepaskan diri dari

praktik eksploitasi. Perjuangan ini hanya bisa dilakukan melalui revolusi. Marx

menyatakan bahwa negara terbelakang akan memerlukan dua tahap revolusi, yaitu

6

revolusi borjuis dan revolusi sosialis. Revolusi borjuis dilakukan oleh kelas borjuis

nasional untuk melawan penindasan oleh negara maju dan kemudian baru berlanjut

pada revolusi sosialis oleh kelas proletar (Calhoun, 2002: 30-31).

Asumsi ini runtuh karena kelas borjuis nasional ternyata tidak mampu lagi

melaksanakan tugasnya sebagai pembebas kelas proletar dari eksploitasi kapitalisme,

karena kelas borjuis nasional sendiri merupakan bentukan dan alat kapitalisme

negara maju. Teori Marx terhadap perubahan memusatkan perhatiannya pada

unsure teknologi yang merubah segalanya. Teknologi yang berkembang pesat

menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat

industrialis kapitalis.

3. Perspektif struktural fungsional

Pada kegiatan belajar sebelumnya, kita sudah belajar untuk memahami secara benar

tentang struktur dan pola pikir keilmuan sosiologi. Selanjutnya, marilah kita melanjutkan

dengan belajar tentang berbagai perspektif keilmuan sosiologi. Sosiologi adalah ilmu

pengetahuan yang memiliki beberapa perspektif, antara lain perspektif struktural

fungsional, konflik, dan humanis. Perspektif struktural fungsionalisme dikenal sebagai

teori konsensus, karena teori memfokuskan pada aspek fungsi, keteraturan, dan

keseimbangan (Kanto, 2006: 54). Teoritisi yang menjelaskan perubahan sosial dalam

perspektif teori ini adalah Talcott Pansons, Robert K. Merton, dan Jeffry Alexander.

Menurut Vago, (2004: 66), secara umum pendekatan fungsionalisme struktural

mengembangkan asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:

1. Masyarakat harus dianalisis secara holistik sebagai sistem terdiri dari bagian-bagian

yang saling berhubungan;

2. Hubungan sebab dan akibat bersifat multiple dan resiprokal;

3. Sistem sosial adalah dalam kondisi keseimbangan dinamis, seperti penyesuaian diri

terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi sistem dibuat dengan perubahan

minimum dalam sistem;

4. Integrasi sempurna tidak pernah dicapai, sehingga setiap sistem sosial mempunyai

ketegangan dan penyimpangan, tetapi kemudian cenderung menjadi stabil melalui

institusionalisasi;

7

5. Perubahan secara fundamental berjalan lambat, proses adaptif, daripada pergeseran

revolusioner;

6. Perubahan adalah konsekuensi dari penyesuaian diri terhadap perubahan dari luar

sistem, tumbuh melalui diferensiasi dan inovasi internal; dan

7. Adanya sistem terintegrasi melalui pembentukan nilai.

a. Tokoh perspektif struktural fungsional

(1) Talcott Parsons

Penggagas teori struktural fungsional adalah Talcott Parsons. Parsons memfokuskan

pada masalah-masalah sistem tindakan dan sistem sosial (Kanto, 2006: 60). Parsons

mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam upayanya untuk membangun keseimbangan,

tertib, dan keteraturan sosial. Parsons mempertanyakan bagaimana mungkin tertib dan

keteraturan sosial yang menjamin tumbuhnya harmoni dalam masyarakat dapat

diwujudkan? Faktor-faktor apa saja yang dapat dipakai mewujudkan kesatuan dan kohesi

sosial? Pemikiran dan gagasannya untuk menjawab pertanyaan itu banyak dipengaruhi

oleh pemikiran Emile Durkheim terutama analogi masyarakat dengan organisme hidup.

Pengaruh juga nampak ketika Parsons menyusun dalil-dalil menjawab persoalan yang

berkaitan dengan tertib sosial. Parsons berargumentasi bahwa tertib sosial dan kohesi

sosial disebabkan oleh tiga hal penting. Pertama, adanya nilai-nilai budaya yang dibagi

bersama. Kedua, nilai-nilai yang dilembagakan menjadi norma-norma sosial. Ketiga, nilai-

nilai yang dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasi.

Meskipun banyak dipengaruhi oleh Durkheim, namun Parsons juga mengkritik

Durkheim yang melihat masyarakat hanya sebagai suatu sistem yang analog dengan

organisme hidup, tetapi tidak menjelaskan jaringan-jaringan yang ada dalam sistem dan

kebutuhan-kebutuhan sistem itu. Durkheim tidak menunjukan bagian-bagian mana dari

masyarakat yang mempunyai fungsi integrasi dan fungsi adaptasi untuk mencapai kondisi

equilibrium. Menurut Parsons, terdapat fungsi-fungsi atau kebutuhan-kebutuhan tertentu

yang harus dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup demi kelestariannya. Ada dua

kebutuhan penting yang harus dipenuhi, pertama, yang berhubungan dengan kebutuhan

sistem internal atau kebutuhan sistem ketika berhubungan dengan lingkungannya; dan

8

kedua, berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana yang perlu

untuk mencapai tujuan itu (Ritzer, 1996: 63-65).

Gambar 2.1 Biografi Talcott Parson

Sumber: http://www.relatably.com/q/talcott-parsons-quotes

Berdasarkan premis tersebut, Parsons kemudian menciptakan empat kebutuhan

fungsional atau prasyarat fungsional yang disebut fungsi imperatif, yang dikenal dengan

istilah AGIL (Ritzer, 1996: 70-75 dan Kanto, 2006: 68-70). Pertama, kebutuhan adaptasi

(adaptation). Kebutuhan sistem untuk menjamin apa yang dibutuhkan dari lingkungan

serta mendistribusikan sumber-sumber tersebut kepada sistem. Kebutuhan ini dipenuhi

oleh sistem ekonomi. Setiap anggota masyarakat untuk memiliki sarana material untuk

dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mendukung aktifitasnya. Tanpa sarana material,

maka ide, gagasan, dan bayangan betapapun bagusnya tidak akan dapat diwujudkan.

Kedua, kebutuhan goal attainment, yaitu prasyarat yang memberikan jaminan bagi

upaya pemenuhan tujuan sistem serta penerapan prioritas di antara tujuan-tujuan itu.

Oleh karena itu, dipersyaratkan agar sistem itu berlangsung suatu rumusan tujuan dan

orang-orang mencapai tujuan itu. Prasyarat ini dipenuhi oleh sistem politik. Ketiga,

integration, yaitu sebuah sistem harus mampu menjamin berlangsungnya hubungan

antarbagian, sehingga diperlukan prsyarat berupa kesesuaian bagian-bagian dari sistem

sehingga seluruhnya fungsional. Prasyarat fungsional ini dipenuhi melalui sistem sosial.

Keempat, kebutuhan latent pattern maintenance, yaitu prasyarat yang menunjuk

pada cara bagaimana menjamin kesinambungan tindakan dalam sistem sesuai dengan

9

beberapa aturan atau norma-norma. Prasyarat fungsional ini dipenuhi melalui sistem

budaya. Prasyarat ini tidak bisa diabaikan dan bahkan harus dipenuhi mengingat bahwa

sebuah sistem harus dipelihara dan dilestarikan serta diperbaharui baik melalui motivasi

individu maupun pola-pola budaya yang memberi iklim bagi tumbuhnya motivasi-

motivasi itu. Konsep AGIL diilustrasikan dalam diagram berikut.

L I

Cultural System

Social

System

Behavioral Organisme

Personality

System

A G

Gambar 2.2 Diagram Sistem Sosial AGIL

Perubahan sosial dalam sistem sosial atau masyarakat merupakan sebuah

keniscayaan. Perubahan itu bisa bersifat besar atau kecil, cepat atau lambat, dikehendaki

atau tidak dikehendaki. Menurut teori struktural fungsionali, perubahan sosial harus

dikendalikan sehingga sistem sosial tetap dalam keadaan keseimbangan. Perubahan-

perubahan itu dapat terjadi pada komponen-komponen sistem sosial. Komponen sistem

akan berkembang dan harus mampu menyesuaikan diri sehingga tidak menggganggu

keseimbangan struktural secara keseluruhan. Artinya, komponen sistem berubah dalam

suasana adaptive upgrading. Hal ini memungkinkan terjadinya keseimbangan dinamis.

Konflik memang harus dicegah. Bilamana tidak mungkin, masalahnya adalah bagaimana

mengendalikan konflik itu sehingga tidak terjadi disintegrasi sistem (Kanto, 2006: 57)

(2). Robert K. Marton

Robert K. Merton, salah seorang murid Parsons, mengembangkan teori struktural

fungsionali pada taraf menengah. Teori struktural fungsinal Merton berangkat dari kritik

terhadap tiga postulat yang dikembangkan oleh Parsons. Pertama, postulat tentang

kesatuan fungsional masyarakat; kedua, postulat tentang fungsionalisme universal; dan

ketiga, postulat tentang yang sangat diperlukan atau penting. Seperti halnya Parsons,

10

Merton menekankan tindakan yang berulang yang berhubungan dengan bertahannya

sistem sosial, namun Merton tidak menaruh perhatian pada orientasi subjektif individu

yang terlibat dalam tindakan seperti itu, melainkan pada konsekuensi-konsekuensi sosial

objektifnya (Johson, 1990: 147). Pembedaan motif dan fungsi atau konsekuensi sosial

dapat dilihat pada gambar berikut ini (Johson, 1990: 147):

Gambar 2.3 Diagram Alir Sistem Sosial Merton

Merton menyatakan pembedaan itu melalui pembedaan antara fungsi manifes dan

fungsi laten. Fungsi manifes adalah konsekuensi-konsekuensi objektif yang menyumbang

pada penyesuaian terhadap sistem itu yang dimaksukan (intended) dan diketahui

(recognized) oleh partisipan dalam sistem itu. Sementara itu, fungsi laten adalah fungsi

yang tidak dimaksudkan atau tidak diketahui (Johnson, 1990: 147 dan Poloma, 1992: 39).

Namun, Merton (Johnson 1990: 147 dan Kanto 2006: 63), mengungkapkan bahwa tidak

semua pola tindakan baku harus mempunyai konsekuensi yang menguntungkan sistem

itu atau memenuhi persyaratan fungsionalnya. Banyak tindakan dapat mempunyai

konsekuensi yang bersifat disfungsional atau memperkecil penyesuaian terhadap sistem

itu. Perpindahan penduduk dari desa pertanian ke daerah perkotaan, di satu sisi

mempunyai konsekuensi sosial bagi pelakunya yaitu mendatangkan pendapatan yang

lebih tinggi dan terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja di kota, di lain sisi, kawasan

pedesaan yang ditinggalkan mengalami kekurangan tenaga kerja. Bagi sektor petanian di

pedesaan, perpindahan penduduk menjadi disfungsional.

Merton juga mengemukakan konsep nonfunctions yang diidentifikasikannya sebagai

akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem sosial. Dalam hal ini termasuk

bentuk-bentuk sosial yang “bertahan hidup” sejak jaman sejarah kuno (Kanto, 2006: 63).

Menurut Merton, struktur mungkin bersifat disfungsional untuk sistem secara

Motif (orientasi subjektif)

Tindakan Konsekuensi-

konsekuensi untuk sistem sosial

11

keseluruhan, namun demikian struktur itu terus ada. Merton berpendapat bahwa tak

semua struktur diperlukan untuk berfungsinya sistem sosial. Beberapa bagian dari sistem

sosial Barat dapat dilenyapkan. Ini dapat membantu teori fungsional mengatasi

kecenderungan konservatifnya. Dengan mengakui bahwa struktur tertentu dapat

dilenyapkan maka fungsionalisme membuka jalan bagi perubahan sosial yang penuh

makna (Kanto, 2006: 66).

(3). Jeffry Alexander

Jeffry Alexander bersama dengan Paul Colomy pada tahun 1980-an menganggas

neofungsionalisme. Neofungsionalisme untuk menandai kelangsungan hidup

fungsionalisme struktural dan sekaligus menunjukan bahwa sedang dilakukan upaya

memperluas fungsionalisme struktural dan mengatasi kesulitannya. Menurut Alexander

dan Colomy, teori fungsionalisme terlampau sempit. Keduanya sepakat untuk

menciptakan teori sintesis yang dinamakan neofungsionalisme. Masalah fungsionalisme

struktural yang perlu diatasi adalah anti-individualisme, antagonistik terhadap perubahan,

konservatisme, idialisme, dan bias antiempiris (Ritzer dan Goodman, 2004: 148). Ritzer

dan Goodman (2004: 148-149, juga dikutip Kanto, 2006: 67-69), mengajukan beberapa

orientasi dasar teori neofungsionalisme sebagai berikut:

1). Neofungsionalisme bekerja dengan model masyarakat deskriptif. Model ini melihat

masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang saling berinteraksi menurut pola tertentu

yang memungkinkan sistem dibedakan dari lingkungannya. Unsur-unsur itu

berhubungan secara simbiosis. Oleh karena itu, neofungsionalisme bersifat terbuka

dan plural;

2) Neofungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan

dan keteraturan. Ini berbeda dengan fungsionalisme struktural yang memusatkan

perhatian hampir sepenuhnya pada sumber dan keteraturan tingkat makro dalam

struktur sosial dan kultur. Neofungsionalisme memberikan perhatian yang cukup

terhadap pola tindakan di tingkat yang lebih mikro, tak hanya yang bersifat rasional

tetapi juga tindakan yang ekspresif;

3) Neofungsionalisme tetap memperhatikan masalahh integrasi, tetapi bukan dilihat

sebagai fakta mutlak, melainkan lebih dilihat sebagai kemungkinan sosial.

12

Neofungsionalisme mengakui bahwa penyimpangan dan kontrol sosial merupakan

realitas sosial. Neofungsionalisme melihat keseimbangan dalam konteks yang lebih

luas. Keseimbangan sosial bukanlah sesuatu yang statis, keseimbangan dilihat sebagai

rujukan untuk analisis fungsional bukan sebagai deskripsi kehidupan sosial yang

nyata;

4) Neofungsinalisme tetap menerima penekanan Parsonian tradisional atas kerpibadian,

kultur dan sistem sosial. Selain sebagai aspek vital untuk struktur sosial,

interpenetrasi atas sistem sosial itu juga menghasilkan ketegangan sebagai sumber

perubahan sosial dan kontrol;

5) Neofungsionalisme memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses

diferensiasi dalam sistem sosial, kultural, dan kepribadian. Perubahan tidak hanya

menghasilkan keselarasan dan konsensus, tetapi juga dapat menimbulkan

ketegangan, baik individu maupun kelembagaan; dan

6) Neofungsionalisme secara tak langsung menyatakan komitmennya terhadap

kebebasan dalam mengkonseptualisasikan dan menyusun teori berdasarkan analisis

sosiologis pada tingkat lain.

4. Perspektif konflik

Perspektif konflik berasumsi bahwa perilaku sosial dapat dipahami dalam istilah

tekanan dan konflik antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Teori ini

beranggapan bahwa masyarakat adalah sebuah arena bagi perjuangan memperebutkan

komoditas-komoditas. Teoritisi konflik menganggap bahwa perubahan sebagai elemen

penting kehidupan sosial daripada keteraturan. Perubahan dipandang sebagai proses

intrinsik dalam masyarakat, bukan hanya dampak beberpa fungsi yang tidak tepat atau

ketidakseimbangan bagian dari sistem sosial. Perbedaan struktural dirasa menjadi

sumber konflik. Berikut ini secara berturut akan dipaparkan penjelasan Karl Marx, Lewis

A. Coser, dan Ralf Dahrendorf tentang perubahan sosial.

(1) Karl Marx

Tulisan Karl Marx secara umum menganggap bahwa diantara yang penting dan

dasar dalam kajian teori konflik adalah dengan mempertimbangkan perubahan sosial.

13

Menurutnya, ”tanpa konflik, tidak ada kemajuan” (Vago, 2004: 20). Marx mengajukan

postulat bahwa setiap masyarakat, tahapan perkembangan sejarahnya, berdasarkan

sebuah pondasi ekonomi. Marx menyebutnya sebagai the mode of production of

commodities. The mode of production mempunyai dua elemen. Pertama, sarana-sarana

produksi atau susunan fisik dan teknologi dari aktivitas ekonomi. Kedua, hubungan-

hubungan sosial produksi atau manusia merupakan alat pelengkap tambahan yang sangat

diperlukan. Individu harus berhubungan dengan individu lain dalam mengadakan

aktivitas-aktivitas ekonomi. Marx (dalam Vago, 2004: 23) mengungkapkan:

“Jumlah total dari hubungan-hubungan produksi ini membentuk struktur ekonomi masyarakat sebuah pondasi nyata, dimana muncul superstruktur legal dan politik dan berkaitan dengan bentuk-bentuk kesadaran sosial. The mode of production dalam kehidupan material menentukan karakter umum proses-proses kehidupan sosial, politik dan spiritual. Bukan kesadaran orang yang menentukan eksistensi mereka, melainkan eksistensi mereka yang menentukan kesadaran. Pada tahapan tertentu, perkembangan mereka sarana-sarana produksi material dalam masyarakat mewarisi konflik dengan adanya hubungan-hubungan produksi, atau dengan adanya hubungan pemilikan. Dari bentuk perkembangan sarana-sarana produksi, hubungan ini berubah menjadi belenggu mereka. Kemudian datang periode revolusi sosial. Dengan perubahan pondasi ekonomi superstruktur memasuki tranformasi yang besar sekali”.

Bagi Marx (dalam Vago, 2004: 24-25; Ashley dan Orenstein, 2005: 195-196), mode

of production menjadi determinan atau variabel independen. Perubahan-perubahan

terjadi dalam hubungan-hubungan produksi, dimana kelompok-kelompok didekatkan

pada teknologi produksi. Sebagai ilustrasi, Marx membagi sejarah ke dalam lima tahapan,

masing-masing dicirikan oleh sebuah tipe produksi ekonomi. Lima tahap tersebut adalah:

(1) kepemilikan suku, sebuah tipe komunisme primitif, (2) kepemilikan negara dan

komunal kuno ditandai adanya perbudakan, (3) feudalisme, (4) kapitalisme, dan (5)

komunisme, yang dibagi ke dalam sebuah diktator proletariat dan komunisme asli. Kecuali

komunisme murni, setiap tahap dicirikan adanya konflik antara dua atau lebih kelompok-

kelompok ekonomi yang saling bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi

yang terpisah dan bertentangan. Konflik ekonomi diantara kelompok-kelompok ini

14

menciptakan konflik sosial dan politik, seperti setiap kelompok mencari kepentingan

mereka sendiri di atas kerugian kelompok lain.

Gambar 2.4 Karl Marx

Sumber: http://quotesgram.com/karl-marx-quotes/

Bagi Marx (dalam Vago, 2004: 27), konflik adalah sebuah kondisi normal dari

kehidupan sosial di mana ciri-ciri dan variasi adalah beberapa hal penting yang dianalisis

dan digambarkan oleh ilmu sosial. Bagi Marx, konflik dan perubahan tidak dapat

dipisahkan. Lembaga-lembaga sosial, seperti pemerintah, keluarga, pendidikan, dan

agama, tergantung pada the mode of economic production dalam masyarakat. Perubahan

dan variasi dalam produksi ekonomi menyebabkan perubahan dan variasi dalam

lembaga-lembaga sosial lain meliputi nilai-nilai, sikap-sikap, dan norma-norma.

Dalam sebuah masyarakat kapitalis, semua individu akan bergerak dari kelompok-

kelompok menengah menjadi kelas proletar atau kelas borjuis. Perjuangan diantara dua

kelas ini tak terelakan dan akan berakibat jatuhnya sistem. Hal tersebut akan mencapai

puncak dalam pembentukan bentuk produksi ekonomi baru – produksi komunistik – dan

tahap sejarah baru yaitu komunisme. Proletariat akan memenangkan revolusi dan akan

menjadi kelompok dominan dalam tahap akhir sejarah. Secara ringkas, serangkaian

peristiwa mengarah ke sebuah revolusi proletariat terakhir adalah sebagai berikut: (1)

kebutuhan produksi; (2) perluasan pembagian tenaga kerja; (3) perkembangan pemilikan

pribadi; (4) ketidakadilan sosial meningkat; (5) perjuangan kelas; (6) penciptaan struktur

politik sebagai representasi masing-masing kepentingan kelas; dan akhirnya (7) revolusi.

15

Gambar 2.5 Diagram Alir The Mode of Economic Production Karl Marx

Sumber: http://www.faculty.rsu.edu/users/f/felwell/www/Theorists/Essays/Marx3.htm

(2) Lewis A. Coser

Dalam bukunya The Functions of Social Conflict, Lewis A. Coser (dalam Vago, 2004:

35), mengungkapkan bahwa konflik mempunyai efek positif dan negatif. Coser

menjelaskan bahwa konflik adalah bagian dari proses sosialisasi dan tidak ada satu

kelompokpun yang secara sempurna harmonis. Konflik adalah bagian dari kondisi

manusia, tetapi konflik dapat menjadi konstruktif ataupun destruktif. Coser percaya

bahwa konflik menciptakan sebuah peningkatan dalam adaptasi dan penyesuaian diri.

Konflik akan menciptakan kohesi in group sebab anggota kelompok memiliki musuh dan

alasan bersama.

Coser (dalam Vago, 2004: 40-42), memandang konflik sebagai alat untuk

meningkatkan perubahan sosial. Orang yang merasa bahwa masyarakat mereka

memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka tidak ingin mengubahnya. Orang yang

kebutuhan-kebutuhan tidak dipenuhi akan mencoba mengubah situasi dengan melawan

kelompok dominan yang menghambat tujuan-tujuan mereka. Namun, Coser

berpendapat bahwa konflik dapat membawa ke perubahan dalam berbagai cara,

16

termasuk pembentukan batas-batas kelompok baru, meredakan tekanan dan

permusuhan, pengembangan struktur kelompok yang lebih kompleks dikaitkan dengan

konflik dan akibat yang mengiringinya, dan penciptaan aliansi dengan partai-partai lain.

Konflik dilihat sebagai kekuatan kreatif yang mengubah masyarakat secara terus menerus.

(3) Ralf Dahrendorf

Dahrendorf menolak pandangan Marx tentang kelas sosial yang ditentukan oleh

hubungan-hubungan terhadap sarana-sarana produksi. Menurut Dahrendorf, konflik

disebabkan oleh distribusi otoritas yang tidak merata. Masyarakat terbagi dalam

kelompok yang memiliki otoritas dan kelompok yang tidak memiliki otoritas. Konflik sosial

mempunyai asal-usul struktural dan dipahami konflik tentang legitimasi hubungan-

hubungan otoirtas. Dalam banyak organisasi, peranan-peranan dan posisi-posisi dapat

dikelompokan ke dalam dua kelompok semu, yang anggota-anggota mempunyai

kepentingan laten yang bertentangan. Kelompok yang memiliki kekuasaan atau otoritas

memiiliki kepentingan status quo, sementara yang tidak memiliki kekuasaan atau otoritas

memiliki kepentingan mengubahnya. Dua kelompok semu ini memiliki potensi

antagonistik, di mana anggotanya berbagi pengalaman-pengalaman, peranan-peranan,

dan kepentingan-kepentingan (Vago, 2004: 45).

Dibutuhkan tiga kondisi untuk mengubah kelompok semu menjadi kelompok

kepentingan. Pertama, di bawah ”kondisi-kondisi organisasi” yang tepat, kelompok-

kelompok kepentingan muncul tanpa kelompok-kelompok semu, seperti anggota-anggota

mengembangkan kepemimpinan, komunikasi antarkelompok secara efektif, ideologi yang

konsisten, dan kesadaran kepentingan bersama. Kelompok-kelompok kepentingan yang

tersubordinasi menjadi lebih terorganisasi, yang akan konflik dengan kelompok dominan.

Kedua, di bawah ”kondisi-kondisi konflik,” seperti peluang mobilitas sosial dan respon

agen terhadap kontrol sosial yang akan menentukan intensitas dan kekerasan konflik.

Dengan intensitas tersebut, partisipan menjadi terlibat secara emosional dan rasa

permusuhan. Kelompok kepentingan yang diorganisasi dan konflik di antara mereka

diatur, konflik tersebut menjadi kurang keras, sebaliknya, akan mengarahkan perubahan

struktural sebagai akibat dari sebuah perubahan dalam hubungan-hubungan dominasi.

Tipe, kecepatan, dan besaran perubahan sosial bergantung pada ”kondisi-kondisi

17

perubahan struktural”. Kondisi-kondisi ini meliputi kapasitas dalam kekuasaan dan

potensi tekanan dari kelompok kepentingan yang mendominasi. Dahrendorf

menggunakan ilustrasi pemebntukan serikat pekerja dalam konflik di antara pekerja dan

manajemen (Vago, 2004: 48-50).

Dahrendorf (dalam Vago, 2004: 53) menyimpulkan bahwa ”kekuatan kreatif

besar” yang mendorong ke arah perubahan di masyarakat adalah konflik sosial.

Pandangan yang menyatakan bahwa ”dimana ada kehidupan sosial ada konflik” mungkin

menjadi mengganggu dan tidak menyenangkan. Namun, masyarakat dan organisasi sosial

dipertahankan bukan melalui konsensus tetapi melalui tekanan, bukan melalui

persetujuan umum melainkan pemaksaan, dan seperti konflik menghasilkan perubahan,

tekanan sebagai hasil konflik. Dahrendorf (dalam Vago, 2004: 55), mengubah teori Marx

dalam beberapa cara. Dahrendorf melihat konflik sebagai masalah distribusi otoritas yang

tidak merata di semua sektor masyarakat, sebaliknya Marx menekankan pada kelas.

Kemudian, Dahrendorf menganggap penting mengkaitkan dengan konflik eksternal,

sementara dalam konsep Marx, konflik diidentifikasi konflik bersumber dalam internal

masyarakat itu. Selain itu, konflik bukan berasal dari kontradiksi internal dalam

perkembangan sejarah, tetapi dari tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kelompok lain.

Akhirnya, Dahrendorf berpendapat bahwa banyak konflik tidak dapat dipecahkan, seperti

anggapan Marx, tetapi sering dapat dikontrol melalui kompromi. Berikut perbedaan

mendasar antara perspektif struktural fungsional dan perspektif konflik.

Tabel 2.1 Perbedaan Asumsi Dasar Teori Struktural Fungsional dan Teori Konflik

Teori Fungsionalisme Struktural Teori Konflik

- Masyarakat cenderung statis, perubahan menuju pada keseimbangan

- Menekankan pada keteraturan masuarakat

- Setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga kestabilan

- Masyarakat diikta oleh nilai, norma, dan moral

- Memusatkan perhatian pada kohesi sosial yang diciptakan oleh nilai kebersamaan dalam masyarakat

- Masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan

- Menekankan pada pertikaian dan konflik dalam masyarakat

- Setiap elemen masyarakat berpotensi menyumbang terjadinya disintegrasi dan perubahan

- Keteraturan dalam masyarakat karena adanya pemaksaan dari golongan yang lebih berkuasa

- Menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat

Sumber: Kanto (2006: 71)

18

D. Referensi

Calhoun, C. et al. (2002). Classical Sociological Theory. Blackwell Publishing. Victoria. Kanto, S. (2006). Modernisasi dan Perubahan Sosial: Suatu Kajian dari Perspektif Teori

dan Empirik. Malang: Unit Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Ritzer, G. dan Goodman, D. (2003). Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam.

Terjemahan. Jakarta: Prenada Media. . (2007). Teori Sosiologi Modern. Edisi Ketujuh.

Kencana. Jakarta. Riyanto, G. (2009). Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta: LP3ES. Scott, J. (Ed.). (2011). Sociology: The Key Concepts. Terjemahan. Jakarta: Rajawali

Press. Soekanto, S. (1982). Sosiologi: Suatu Pengantar. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Vago, S. (2004). Social Change. Fifth Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

http://www.relatably.com/q/talcott-parsons-quotes

http://quotesgram.com/karl-marx-quotes/

http://www.faculty.rsu.edu/users/f/felwell/www/Theorists/Essays/Marx3.htm