BAB II Restorasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

restorasi

Citation preview

RESTORASI HUTAN BANGKA BELITUNGMAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Ekologi Hewan

Oleh

Kelompok 2

Kelas 3B

Anisa Risfiani

122154039

Irma Megasari

122154047

Nurul Fahmi

122154049

Garry Surya P

122154051

Rina Amanda P

122154072

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SILIWANGI

TASIKMALAYA

2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. Berkat rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi akhir zaman Muhammad saw, para sahabat dan para pengikutnya yang setia.

Makalah ini berjudul Restorasi Hutan Bangka Belitung Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Ekologi Hewan.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dalam penulis, isi maupun tata bahasanya. Namun selama penyusunan makalah ini penulis mendapat bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Purwati Kuswarini S, Dr., M.Si. selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan bimbingan, motivasi, petunjuk, dan arahan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini;

2. Diki Muhamad Chaidir, S.Pd., selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan bimbingan.

3. Suharsono, M.Pd., selaku Wali Dosen, Ketua Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Siliwangi;

4. teman-teman seperjuangan mahasiswa Program studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Siliwangi angkatan 2012 khususnya kelas 3B yang telah bersama-sama dalam suka dan duka;5. semua pihak yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah ini.

Mudah mudahan segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala yang berlipat dari Allah swt., Aamin Ya Robbal Alamin.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi semua pembaca umumnya. Tasikmalaya, Desember 2014

Penulis

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Makalah

D. Kegunaan Makalah

BAB IIPEMBAHASANA. Pengertian Restorasi

B. Masalah yang Timbul di Hutan Bangka Belitung

C. Penyebaran Flora dan Fauna di Bnagka Belitung

D. Upaya Restorasi yang Terjadi di Hutan Bangka Belitung

BAB IIISIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

NoJudul GambarHalaman

2.1Lokasi TI yang Berlangsung di Daerah Gunung Pelawan, Belinyu

2.2Wajah Bumi Bangka Dilihat dari Pesawat Udara

2.3Tanaman Jelutung

2.4Tanaman Pulai

2.5Tanaman Gelam

2.6Tanaman Meranti Rawa

2.7Tanaman Bakau

2.8Mentilin

2.9Rusa

2.10Beruk

2.11Monyet

2.12Lutung

2.13Babi Hutan

2.14Musang

2.15Elang

2.16Ayam Hutan

2.17Pelanduk Kecil

2.18Ular

2.19Biawak

2.20Lahan reklamasi bekas tambang timah, ditambang oleh PETI tidak direklamasi kembali, Belitung

2.21Skema bentuk teras kebun dan guludan

2.22Pengurugan kembali bekas tambang emas di Wetar

2.23Reklamasi lahan bekas tambang bauksit untuk pemukiman dan pengembangan kota, Tanjungpinang, Bintan

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan memerlukan sumber daya alam (SDA), antara lain mineral, batubara dan panas bumi. Indonesia relatif kaya dengan berbagai SDA yang harus dioptimalkan pemanfaatannya. Salah satu sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia adalah biji timah dengan kandungan stannum (Sn). Kasiterit (SnO) adalah mineral utama pembentuk timah dengan batuan pembawanya adalah granit. Di Indonesia jalur timah tersebut meliputi pulau-pulau Karimun, Kundur, Singkep, Bangka, Belitung, Beling, dan daerah Bangkinang serta Kepulauan Anambas, Natuna dan Karimata. Penambangan timah terbesar berada di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep. Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang.Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Sampai dengan tahun 2009, luas total kuasa penambangan (KP) timah di Pulau Bangka 374.057,59 ha atau sekitar 35% dari luas daratan Pulau Bangka. Kawasan hutan sering dijadikan lahan pertambangan yang tentu saja memiliki dampak positif dan negatif. Lahan pertambangan akan berdampak positif apabila perusahaan yang melakukan penambangan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah setempat. Selain itu, pertambangan akan berdampak negatif apabila tidak mengikuti aturan-aturan yang telah ada dan melibatkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Bahkan, yang paling mengkhawatirkan jika terjadinya penambangan ilegal dan kasus ini dari waktu ke waktu mulai banyak terjadi.Kontribusi sektor pertambangan terhadap kerusakan hutan di Indoensia mencapai 10% dan kini melaju mencapai 2 juta ha per tahun. Di Bangka-Belitung luas lahan bekas pertambangan timah sudah mencapai 400.000 ha yang terdiri dari 65% lahan tandus dan 35% berbentuk telaga-telaga. Reklamasi terhadap lahan bekas tambang timah tersebut telah dilakukan pada tahun 1992-2008 perusahaan tambang timah telah mereklamasi sekitar 11.000, pada tahun 2008 aeluas 2.000 ha dan selanjutnya direncanakn reklamasi dilakukan seluas 1.600 ha per tahun.Selama ini reklamasi lahan bekas tambang dilakukan dengan menanam tanaman akasia (A. mangium dan A. auriculiformis), gamal dan sengon, tanaman lainnya seperti kelapa, jambu monyet, pisang, papaya, kacang tanah, sayuran. Budidaya tanaman tersebut dikombinasikan dengan usaha perternakan ayam yang merupakan sumber bahan bagi lahan ini. Namun budidaya pertanian di tailing timah sangat intensif dan membutuhkan masukan modal yang besar dan tentu sulit untuk dilaksanakan oleh petani umumnya.Pada dasarnya kegiatan reklamasi harus seimbang dengan pembukaan tambang tetapi, sering reklamasi lahan yang sudah dilakukan, kembali rusak yang disebabkan oleh penambangan illegal yang dilakukan masyarakat setempat. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal antara lain hasil penambangan dapat dijual tidak memerlukan waktu yang panjang dan harga menguntungkan, sedangkan tanaman hasil reklamasi belum memberikan nilai ekonomi yang berarti bagi masyarakat.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas penyusun mendeskripsikan makalah yang berjudul Restorasi Hutan Bangka Belitung.B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:1. Apa yang dimaksud dengan pengertian restorasi?

2. Masalah yang timbul di hutan Bangka Belitung?3. Bagaimana pola penyebaran flora dan fauna di Bangka Belitung?4. Bagaimana upaya restorasi yang terjadi di hutan Bangka Belitung?C. Tujuan Makalah

Sejalan dengan rumusan masalah diatas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:1. Mengetahui pengertian restorasi;2. Mengetahui masalah yang timbul di hutan Bangka Belitung;3. Mengertahui pola penyebaran flora dan fauna di Bnagka Belitung4. Mengetahui upaya restorasi yang terjadi di hutan Bangka Belitung;D. Kegunaan MakalahMakalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis, maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep pengetahuan proses restorasi hutan didaerah Bangka Belitung. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:

1. penyusun, sebagai wahana penambah pengetahuan tentang proses restorasi di hutan Bangka Belitung;dan

2. pembaca, sebagai media informasi tentang proses restorasi di hutan Bangka Belitung.BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Restorasi

Restorasi adalah upaya untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tana, iklim, dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseinbangan hayati dan ekosistemnya.B. Masalah yang timbul di Hutan Bangka BelitungKerusakan akibat penambangan timah di Pulau Bangka semakin meningkat terutama sejak berkembangnya penambangan inkonvensional. Sebelum tahun 1998, penggalian tanah untuk menambang timah dan menjualnya adalah suatu kejahatan karena komoditi timah termasuk komoditi strategis yang perdagangannya terbatas. Kondisi semacam itu berlangsung terus-menerus sampai terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Bupati Bangka meminta PT Timah Tbk mengizinkan masyarakat menambang disebagian wilayah kuasa penambangan (KP) yang sudah ditinggalkan. Sebagai timbal baliknya dan untuk memenuhi ketentuan mengenai barang tambang strategis, masyarakat harus menjual pasir timahnya hanya kepada PT Timah. Semenjak saat itu dikenal istilah tambang inkonvensional. Disebut sebagai tambang inkonvensional karena metode penambangannya tidak seperti penambangan terbuka (open mining), tetapi hanya dengan mesin penyedot tanah dan air. Penambangan skala kecil seperti itu dapat dibuka hanya dengan modal sekitar Rp 15 juta. Kegiatan TI tersebut menjadi semakin marak sejak dikeluarkannya SK Menperindag Nomor. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999 bahwa Timah dikategorikan sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan status timah sebagai komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi oleh satu BUMN dan dapat dieskpor secara bebas (www.bangka.go.id).Dampak kegiatan penambangan timah baik tambang konvensional maupun inkonvensional terhadap lingkungan fisik berupa bertambahnya lahan kritis akibat berkurangnya hutan, rusaknya lahan pertanian dan kebun. Menurut hasil penelitian Bapedalda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2005), luas hutan di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung 690.092 Ha, seluas 97.159,10 Ha (14%) telah mengalami kerusakan. Sementara diperkirakan pada tahun 2010 sekitar 65 persen dari 657,510 hektar hutan di Babel sudah masuk kategori kritis, rusak dan sudah sangat memprihatinkan (antaranews.com, tanggal 23 Maret 2010). Lahan kritis yang terbentuk juga semakin meningkat, sampai tahun 2005 di Pulau Bangka seluas 464.673,71 Ha. Selain itu, dilaporkan juga bahwa semua sungai besar yang ada umumnya sudah tercemar terutama kekeruhan akibat partikel tanah dari pencucian pasir timah yang mengalir ke sungai-sungai. Terbentuknya kolong (lubang bekas penggalian timah) menyebabkan perubahan topografi daratan yang semula kering menjadi tergenang. Jumlah kolong yang terdapat di Pulau Bangka dan Belitung sampai dengan tahun 2006 adalah 991 buah dengan luas total 4.637,85 ha (Bapedalda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,2007). Gambar 1. Lokasi TI yang Berlangsung di Daerah Gunung Pelawan, Belinyu(sumber: Aditya, 2007)

Gambar 2. Wajah Bumi Bangka Dilihat dari Pesawat Udara

C. Penyebaran Flora dan Fauna di Bangka BelitungBerdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 522.53-958 Tahun 2010 tanggal 24 November 2010 tentang Penetapan Flora dan Fauna Identitas Daerah Provinsi, telah ditetapkan Nyatoh Terong (Palaquium rostratum (Mig.) Burk) dan Tarsius Belitung/Mentilin (Tarsius bancanussaltator Elliot) sebagai flora dan fauna identitas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.1. Flora

Di Kepulauan Bangka Belitung tumbuh bermacam-macam jenis kayu berkualitas yang diperdagangkan ke luar daerah seperti: Kayu Meranti, Ramin, Mambalong, Mandaru, Bulin dan Rengas, meskipun saat ini keberadaannya semakin berkurang. Tanaman hutan lainnya adalah: Jelutung, Pulai, Gelam, Meranti rawa, Mahang, Bakau dan lain-lain. Hasil hutan lainnya merupakan hasil ikutan terutama madu alam dan rotan.Madu Kepulauan Bangka Belitung terkenal dengan madu pahit.Gambar 3. Tanaman Jelutung

Sumber: baltyraGambar 4. Tanaman Pulai

Sumber: forestryinformation

Gambar 5. Tanaman Gelam

Sumber: WindasarasGambar 6. Tanaman Meranti rawa

Sumber: geographyeducation

Gambar 7. Tanaman Bakau

Sumber: alamendah

2. Fauna

Fauna di Kepulauan Bangka Belitung lebih memiliki kesamaan dengan fauna di Kepulauan Riau dan semenanjung Malaysia daripada dengan daerah Sumatera. Beberapa jenis hewan yang dapat ditemui di Kepulauan Bangka Belitung antara lain : Mentilin, Rusa, Beruk, Monyet, Lutung, Babi Hutan, Musang, Elang, Ayam Hutan, Pelanduk Kancil, beberapa jenis Ular dan Biawak.

Gambar 8. Mentilin

Sumber: Tien AminatunGambar 9 . RusaSumber: anonim

Gambar 10. Beruk

Sumber: alamaendahGambar 11. Monyet

Sumber: indri Permatasari

Gambar 12. Lutung

Sumber: frofaunaGambar 13. Babi hutan

Sumber: Lensa Indonesia

Gambar 14. Musang

Sumber: KusukeniGambar 15. Elang

Sumber: Siti Luftiyah Azizah

Gambar 16. Ayam hutan

Sumber: Azid memberGambar 17. Pelanduk kancil

Sumber: wikipedia

Gambar 18. Ular

Sumber: wikipediaGambar 19. Biawak

Sumber: Madinatuliman

D. Upaya Restorasi yang terjadi di Hutan Bangka BelitungKegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Di samping itu, juga dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan1. Rekonstruksi TanahUntuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian ke asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk

Gambar 20.Lahan reklamasi bekas tambang timah, ditambang oleh PETI

tidak direklamasi kembali, Belitung (Widhiyatna dkk., 2006).Lereng dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga kestabilan lereng, diperuntukan juga bagi penempatan tanaman revegetasi. Gambar 20. Skema bentuk teras kebun dan guludan (KPP Konservasi, 2006)

Gambar 21. Pengurugan kembali bekas tambang emas di Wetar (Foto koleksi R. Hutamadi)

2. RevegetasiPerbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza.Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.3. Penanganan Potensi Air Asam TambangPembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas.Secara kimia kecepatan pembentukan asam tergantung pada pH, suhu, kadar oksigen udara dan air, kejenuhan air, aktifitas kimia Fe3+, dan luas permukaan dari mineral sulfida yang terpapar pada udara. Sementara kondisi fisika yang mempengaruhi kecepatan pembentukan asam, yaitu cuaca, permeabilitas dari batuan, pori-pori batuan, tekanan air pori, dan kondisi hidrologi. Penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan mencegah pembentukannya dan menetralisir air asam yang tidak terhindarkan terbentuk.Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah.4. Pengaturan DrainaseDrainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun pendek.

5. Tataguna Lahan Pasca TambangLahan bekas tambang tidak selalu dekembalikan ke peruntukan semula. Hal ini tertgantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut. Pekembangan suatu wilayah menghendaki ketersediaan lahan baru yang dapat dipergunakan untuk pengembangan pemukiman atau kota. Lahan bekas tambang bauksit sebagai salah satu contoh, telah diperuntukkan bagi pengembangan kota Tanjungpinang .

Gambar 23. Reklamasi lahan bekas tambang bauksit untuk pemukiman dan pengembangan kota, Tanjungpinang, Bintan (Rohmana dkk., 2007).Pemilihan spesies untuk revegetasi terkait juga tataguna lahan pasca tambang. Perkembangan harga minyak bumi akhir-akhir ini, memberikan peluang untuk pengembangan bio-energi, diantaranya dengan pengembangan tanaman jarak pagar untuk menghasilkan minyak. Sebagian lahan bekas tambang telah dicanangkan untuk program pengembangan bio-energi tersebut (Gambar 9). Kelebihan jarak pagar adalah selain mampu mereklamasi bekas lahan tambang dalam waktu singkat, tanaman ini juga menghasilkan sumber energi terbarukan biodisel (Soesilo, 2007 dalam Ridwan, 2007).Pada dasarnya kegiatan reklamasi harus seimbang dengan pembukaan tambang, tetapi sering reklamasi lahan yang sudah dilakukan, kembali rusak yang disebabkan oleh penambangan ilegal yang dilakukan masyarakat setempat. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal antara lain hasil penambangan dapat langsung dijual tidak memerlukan waktu yang panjang dan harga menguntungkan, sedangkan tanaman hasil reklamasi belum memberikan nilai ekonomi yang berarti bagi masyarakat. Penanaman tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg) di lahan bekas tambang dinilai merupakan salah satu alternatif utama untuk mengatasi tidak produktifnya lahan tandus bekas tambang timah tersebut, masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh sisa penambangan dan sekaligus memecahkan masalah perekonomian masyarakat. Beberapa hal kenapa tanaman karet berpotensi dikembang di lahan bekas bekas tambang. Pertama, tanaman karet termasuk tanaman multiguna (multipurpose tree species, MPTS), mempunyai adaptasi yang tinggi pada lahan-lahan marginal, seperti di lahan yang berbatu di Sulawesi Selatan. Tanaman karet mempunyai akar tunggang yang dalam secara teoritas lebih mampu mengatasi masalah kekeringan. Tanaman karet bahkan mampu memberikan produktivitas yang lebih tinggi pada lahan berpasir dengan bulan kering yang tegas dibandingkan dengan lahan yang tidak memeiliki bulan kering (Suhendry et al., 1996). Kedua, tanaman karet mampu memperbaiki sifat tanah melalui pekayaan hara dengan karakter fisiologi pengguguran daunnya. Selain itu tanaman karet dapat disadap dan menghasilkan getah hampir setiap hari sehingga menghasilkan pandapatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa setiap tahun daun karet dapat mengembalikan 45-90 kg/ha N, 3-7 kg/ha P, 10-20 kg/ha K dan 9-18 kg/ha Mg. Melalui pengguguran daunnya, ini merupakan karisteristik tanaman karet. Dengan demikian diharapkan pemulihan lahan bekas tambang dapat lebih cepat terjadi. Untuk daerah Bangka- Belitung tanaman karet bukan tanaman baru, petani sudah sangat mengenal budidaya tanaman ini walaupun belum menggunakan benih unggul, selain itu tanaman karet dapat dikatakan menghasilkan pendapatan hampir tiap hari sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga tani sehari-hari. Selain itu saat ini telah tersedia klon karet penghasil lateks- kayu, sehingga selain menghasilkan lateks juga menghasilkan kayu untuk memenuhi kebutuhan kayu pertukangan dan meubiler (Boerhendhy. 2005).Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menurunkan lahan kritis adalah dengan melaksanakan kegiatan reboisasi, memastikan pemegang ijin IPPKH melaksanakan reklamasi dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui program-program Kementerian Kehutanan seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) serta dalam skala besar melalui Hutan Tanaman Industri (HTI).rehabilitasi lahan yang dilakukan Sejak tahun 2003 s.d. 2008 telah tertanam seluas 5.850 ha, dimana seluas 4.470 haberada dalam kawasan hutan dan seluas 1.380 ha berada di luar kawasan hutan.Melalui kegiatan penanaman satu miliar pohon pada tahun 2010 telah tertanam 4.936.050 batang dan pada tahun 2011 tertanam sebanyak 5.635.306 batang.Ada satu contoh nyata reklamasi areal bekas pertambangan timah yang berhasil dilakukan di Pangkalpinang, dengan menyulap areal bekas pertambangan timah menjadi Bangka Botanical Garden (BBG) yang hijau dan telah menjadi tempat ekowisata sekaligus agrowisata yang menarik dan sangat ramai dikunjungi. Kawasan ini telah menjadi pusat pembibitan beragam jenis tanaman, beragam jenis ikan tawar, menciptakan lahan-lahan persawahan yang telah ditanami berbagai jenis palawija, tambak budidaya ikan, maupun peternakan sapi perah dan potong. BBG telah menjadi acuan pengembangan lahan tidur dan lahan bekas penambangan timah menjadi lahan produktif, dan menjadi kawanan ekowisata modern di Indonesia yang menjadi kebanggaan warga Pangkalpinang dan Bangka pada umumnya oleh masyarakat. Di sudut yang lain terdapat area perkebunan sayuran, bermacam buah-buahan, pohon penghijauan, peternakan sapi perah, padang rumput, dan ada sebagian lahan rawa yang dibiarkan tetap alami dengan tanaman bakaunya.

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Restorasi adalah upaya untuk mengembalikan ekosistem hutan yang rusak oeh kegiatan manusia sehingga mencapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Timah merupakan bahan tambang yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sehingga banyak masyarakat yang menyukai profesi sebagai penambang. Hal ini berdampak negatif seperti, penyusutan kawasan hutan untuk lahan penambangan, berkurangnya spesies-spesies makhluk hidup yang mempunyai habitat alami di hutan. Untuk mengembalikan kerusakan hutan akibat pertambangan timah tersebut dengan dilakukannya rekonstruksi tanah, revegetasi, penanganan potensi air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang. B. Saran

Kita sebagai manusia harus menjaga alam, karena dampak dari kegiatan penambangan timah baik tambang konvensional maupun inkonvensional terhadap lingkungan fisik berupa bertambahnya lahan kritis akibat berkurangnya hutan, akan mengakibatkan rusaknya lahan pertanian dan kebun. Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Untuk mencegah terjadinya dampak yang diakibatkan dari pertambangan yaitu dengan rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk.DAFTAR PUSTAKA

Tjahyana, Bambang Eka dan Yulius Ferry. 2011. Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah Dengan Tanaman Karet (Havea brasiliensis).[Online]. Tersedia: http://REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH.pdf. [29 Nopember 2014].

Sukartiningsih. Upaya-Upaya Restorasi Ekosistem Dalam Rangka Pengembalian Dan Peningkatan Produktivitas Hutan Konservasi.[Online]. Tersedia: http:// Bukitsoeharto-sukartiningsih.pdf. [29 Nopember 2014]Suprapto joko subtanto. Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek Konservasi Bahan Galian. [Online]. Tersedia: http:// Makalah Reklamasi Lahan Bekas Tambang.pdf.[29 Nopember 2014]