68
41 BAB II PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Revolusi Libya 1. Pra- Revolusi di Libya Sebelum terjadinya revolusi, seluruh tanah-tanah pertanian yang ada di Libya merupakan milik tuan-tuan tanah, yakni para pangeran, pejabat-pejabat, dan pegawai kerajaan. Kepemimpinan Raja Idris didukung oleh kekuatan negara-negara barat serta dukungan militer Libya dan suku yang setia. Raja Idris juga memberikan respon acuh tak acuh terhadap nasionalisme Arab yang terjadi pada masa itu (Agung, 2011:217), hal inilah yang kemudian menumbuhkan ketidakpuasan dalam diri Khadafi terhadap sistem pemerintahan Raja Idris, yang kemudian bersama 12 orang perwira militer melakukan kudeta, demi merebut kekuasaan Raja Idris. Melalui kudeta militer pada tahun 1969 yang dikenal dengan revolusi Al- Fatah, Khadafi kemudian naik menjadi seorang pemimpin Libya yang baru, menggantikan Raja Idris. Khadafi seorang pemimpin yang sangat mengagumi Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, kemudian muncul sebagai pemimpin Libya bertujuan mempersatukan seluruh Negara Arab dan menentang dominasi Amerika di tanah Arab serta mengusir kaum zionis dari muka bumi, sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Presiden Nasser (Defila, 2011:45). Khadafi menghapus seluruh sistem konstitusi Libya yang digunakan pada masa pemerintahan Raja Idris pada tahun 1951 dan kemudian memperkenalkan falsafah politiknya ke dalam sistem konstitusi di Libya, sesuai dengan buku hijau

BAB II PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Revolusi Libya 1. Pra ... · di Timur Tengah. Negara-negara sebagai kuncup dimana satu persatu kuncup itu ... konstitusional republik dan sebagai

Embed Size (px)

Citation preview

41

BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor Penyebab Revolusi Libya

1. Pra- Revolusi di Libya

Sebelum terjadinya revolusi, seluruh tanah-tanah pertanian yang ada di

Libya merupakan milik tuan-tuan tanah, yakni para pangeran, pejabat-pejabat,

dan pegawai kerajaan. Kepemimpinan Raja Idris didukung oleh kekuatan

negara-negara barat serta dukungan militer Libya dan suku yang setia. Raja Idris

juga memberikan respon acuh tak acuh terhadap nasionalisme Arab yang terjadi

pada masa itu (Agung, 2011:217), hal inilah yang kemudian menumbuhkan

ketidakpuasan dalam diri Khadafi terhadap sistem pemerintahan Raja Idris, yang

kemudian bersama 12 orang perwira militer melakukan kudeta, demi merebut

kekuasaan Raja Idris.

Melalui kudeta militer pada tahun 1969 yang dikenal dengan revolusi Al-

Fatah, Khadafi kemudian naik menjadi seorang pemimpin Libya yang baru,

menggantikan Raja Idris. Khadafi seorang pemimpin yang sangat mengagumi

Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, kemudian muncul sebagai pemimpin

Libya bertujuan mempersatukan seluruh Negara Arab dan menentang dominasi

Amerika di tanah Arab serta mengusir kaum zionis dari muka bumi, sesuai

dengan apa yang dicita-citakan oleh Presiden Nasser (Defila, 2011:45). Khadafi

menghapus seluruh sistem konstitusi Libya yang digunakan pada masa

pemerintahan Raja Idris pada tahun 1951 dan kemudian memperkenalkan

falsafah politiknya ke dalam sistem konstitusi di Libya, sesuai dengan buku hijau

42

karangannya yang kemudian dipublikasikan pada tahun 1970, yang isinya

digunakan untuk memperkuat cita-cita negara sosialis (Defila, 2011:46).

Pergolakan politik di Timur Tengah yang dikenal dengan “Jasmine

Revolution” (Revolusi Melati) mulai timbul di semenanjung Timur Tengah dan

Afrika Utara di penghujung tahun 2010 dan menyebar sangat cepat ke masing-

masing negara di kawasan tersebut hingga tahun 2011 (Karmila, 2012:1).

Dinamakan dengan Revolusi Melati untuk mengindentikkan pergolakan rakyat

di negara-negara Timur Tengah bagaikan bunga melati yang sedang mekar.

Istilah tersebut diberikan oleh masyarakat di Timur Tengah yang mengibaratkan

kawasan yang seperti tangkai melati yang berada satu di Afrika Utara dan satu

di Timur Tengah. Negara-negara sebagai kuncup dimana satu persatu kuncup itu

mulai bermekaran mengeluarkan “baunya”, yaitu peristiwa-peristiwa yang

memicu terjadinya revolusi (Tamburaka, 2011:10).

Bulan Februari 2011, aksi unjuk rasa mulai bergolak di Libya yang

berawal di kota Benghazi dan meluas ke berbagai kota, seperti Tripoli, Tajaura,

Zawiyah, Zintan, Ajdabiyah, Ras Lanuf, Sirte, Al Bayda, Bin Jawed, Bani

Walid, Ar Rajban, dan Misratah (Agastya, 2013:107). Aksi demonstrasi ini

dipicu karena pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan sistem pemerintahan

otoriter yang dilakukan Khadafi (selanjutnya dibaca: Khadafi). Masyarakat

Libya terpecah kedalam dua kubu yang memiliki kepentingan kontradiktif, yaitu

milisi pro-Khadafi yang tetap mendukung Khadafi sebagai presiden Libya, dan

pemberontak anti Khadafi yang menginginkan turunnya Khadafi dari kursi

kepresidenan Libya yang telah didudukinya selama 42 tahun. Ketakutan warga

Libya memuncak dengan cara mengungsi ke negara-negara terdekat, yakni

43

Tunisia dan Mesir (Agastya, 2013:107). Ada juga warga negara asing yang lari

dari Negara Libya, yaitu dari Indonesia, China, Filipina dan lain-lain.

Aksi demonstrasi bukan pertama kali terjadi di Libya. Pada tahun 1993,

Khadafi pernah mengalami percobaan pembunuhan oleh kelompok-kelompok

politik yang menentang pemerintahan Khadafi (Karmila, 2012:1). Khadafi juga

dianggap melanggar hak asasi manusia dalam kerusuhan politik di Benghazi

pada tahun 2006 yang menyebabkan tewasnya 30 orang rakyat Libya dan

beberapa warga asing. Khadafi kerap diduga melarang kebebasan pers dengan

mengontrol seluruh berita yang dapat disiarkan oleh televisi. Pada tahun 1972,

Khadafi mengeluarkan undang-undang pelarangan berdirinya sebuah partai

politik dan mengontrol pembentukan organisasi non-pemerintah. Kebijakan-

kebijakan yang dibuat Khadafi ini dinilai tidak demokratis oleh sebagian rakyat

Libya. Dan hal tersebut menjadi akar dari konflik saudara yang terjadi di tahun

2011 yang menginginkan sebuah revolusi di Libya (Tamburaka, 2011:225). Dari

gambaran umum diatas sejatinya ada beberapa faktor yang menyebabkan

revolusi Libya (Agastya, 2013:108):

Pertama, kemunculan gerakan oposisi didorong oleh motif balas dendam

pada masa lalu. Didalam gerakan revolusi yang terjadi di Libya tahun 2011,

terdapat kelompok-kelompok yang kemudian menjadi pihak oposisi terhadap

rezim Khadafi, Libya sendiri merupakan negara yang terdiri dari banyak suku

dan kelompok. Kelompok-kelompok tersebut secara mayoritas tinggal di

pengasingan di luar negeri, hal ini disebabkan karena rezim Khadafi sangat

menentang adanya kelompok-kelompok yang memiliki pemikiran kritis

terhadap pemerintahan, dan keadaan tersebut sangat mengancam bagi

44

keberadaan kelompok-kelompok ini apabila mereka menetap di dalam negeri.

Para pendukung Raja Idris I ini sejak dulu berkonsentrasi di kota-kota Timur

Libya, persisnya di Bengghozi, Ajdabiya, Baidho, dan Tuburq. Adapun bendera-

bendera yang masih dikibarkan oleh kalangan oposisi adalah bendera pada

kekuasaan Raja Idris I yaitu gerakan oposisinya adalah

a. NLO (Konferensi Nasional Oposisi Libya)

Merupakan organisasi oposisi Libya yang bertujuan untuk

meruntuhkan sistem pemerintahan tirani atas Libya dan penegakan atas

konstitusi baru dan legitimasi demokrasi di Libya. Konferensi Nasional

Oposisi Libya merupakan satu kesatuan organisasi yang pertama kali

membantu dalam hal mengorganisir gerakan protes selama konflik yang

terjadi di Libya. Pada tahun 2005, gerakan ini sempat melakukan konferensi

di London, Inggris. Agenda dari konferensi tersebut keseluruhannya

mengenai semangat demokrasi di Libya, dengan tujuan untuk mengakhiri 36

tahun ke brutalan rezim Khadafi yang merupakan suatu bencana besar bagi

Libya (The National Conference of the Libyan Opposition, 2011 diakses 4

November 2015).

b. NFSL (Front Nasional untuk Keselamatan Libya)

Kelompok ini di dirikan pada tanggal 7 Oktober 1981 dalam sebuah

konferensi pers yang diadakan di Khartoum, Sudan. Pemimpin asli dari

kelompok ini adalah Muhammad Al-Magariaf, yang merupakan mantan duta

besar Libya untuk India. Saat ini kepemimpinan dari kelompok ini di pegang

oleh seorang sekjen yang bernama Ibrahim Abdulaziz Sahad. Tujuan dari

berdirinya kelompok ini adalah sama seperti kelompok-kelompok lain yang

45

ada di Libya, yaitu untuk melawan rezim Khadafi (Eramuslim, 2011:4

November 2015).

Kelompok Front Nasional untuk Keselamatan Libya sangat

menentang kekuasaan milier di Libya, kelompok ini juga kemudian

menyerukan tentang sebuah negara dengan struktur pemerintahan demokratis

dengan jaminan konstitusional, pemilu bebas, kebebasan pers, dan adanya

pemisahan kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Para

pendukung Raja Idris I yang di kudeta oleh Khadafi memanfaatkan

momentum tsunami revolusi Timur Tengah untuk membalas kudetanya pada

1 September 1969 (Agastya, 2013:108).

Dalam gerakannya untuk menentang rezim Khadafi, kelompok ini

menyebarkan kampanye luas untuk menggulingkan pemerintahan Khadafi,

mendirikan stasiun radio gelombang pendek, membentuk camp pelatihan

komando militer, dan juga menerbitkan surat kabar yang isinya propaganda

untuk menjatuhkan Khadafi. Dalam aksi militernya, Front Nasional untuk

keselamatan Libya sempat melakukan sebuah kudeta yang bertujuan untuk

membunuh Khadafi pada tahun 1984, namun aksi tersebut gagal dan berhasil

dihentikan oleh militer Khadafi.

c. Ikhwanul Muslimin Libya

Didirikan pada tahun 1979. Seperti Ikhwanul Muslimin Mesir, sasaran

dan tujuan dasar kelompok ini berprinsip harus adanya “Negara Islam”.

Sesudah tahun 1993 Ikhwanul Islamiyah Libya kemudian mulai menyebut

diri mereka sebagai Ikhwanul Muslimin Libya. Ikhwanul Muslimin Libya

menyatakan bahwa Libya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

46

dunia Islam. Ikhwan Libya melihat pemerintahan Libya di bawah

kepemimpinan Khadafi sebagai rezim yang bertarung melawan Islam,

membatasi kebebasan dan menindas rakyat. Ikhwan Libya mengklaim bahwa

pelarangan berdirinya partai politik dan kegiatan-kegiatannya di Libya oleh

rezim yang berkuasa dan kontrol ketat terhadap peradilan dan semua

organisasi sosial, sangat bertentangan dengan hak asasi manusia (Defila,

2011:44).

Kedua, keinginan rakyat Libya kepada demokratisasi, kebebasan

berpendapat, keadilan, dan ekspresi politik yang selama ini terkekang oleh

sistem tirani (yaitu dipimpin oleh satu orang) selama 4 dekade (Agastya,

2013:108).

Ketiga, revolusi ini dipicu oleh “tangan besi” (diktator) penguasa kepada

sebagian rakyat Libya yang melahirkan pelanggaran HAM berupa penangkapan

dan pemenjaraan tanpa pengadilan terhadap lawan-lawan politik, terutama

peristiwa penembakan 1.000 lebih tahanan politik di Penjara Abu Salim

(Agastya, 2013:108). Diktator berasal dari bahasa latin Dictare, yang

menyatakan sebagai perintah, seorang pemegang kekuasaan mutlak dalam

menjalankan pemerintahan negara (Ensiklopedia Indonesia, 1989:822). Menurut

Franz L. Neuman dalam Jurnal Ilmu Politik (1993:39) diktator adalah

pemerintahan oleh seseorang atau kelompok orang yang menyombongkan diri

dan memonopoli kekuasaan dalam negara dan melaksanakan kekuasaan tersebut

tanpa dibatasi. Pengertian diktator juga dikemukakan oleh (Jules, 1985:19),

diktator adalah seorang penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaan

mutlak tanpa memperhatikan keinginan-keinginan nyata dari rakyatnya.

47

Menurut Miriam Budiardjo (1989:98), pengertian dari diktator itu sendiri

ada dua macam, yaitu: a). Diktator proletar, di mana antara masyarakat kapitalis

dan masyarakat komunis terdapat suatu masa peralihan dalam suatu transformasi

secara revolusioner dan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat komunis, b).

Diktator militer, yaitu seorang atau segolongan perwira yang menentang tanpa

memberi pertanggungjawaban kepada rakyat, sehingga caranya naik ke

pemerintahan dengan mengadakan kudeta. Kadang-kadang suatu diktator militer

perlu sementara waktu untuk memulihkan keadaan kacau balau yang tidak dapat

dikuasai lagi oleh kekuatan sipil yang kurang mampu atau tidak mendapat

dukungan yang memadai.

Jules Archer (1985:21) mengatakan bahwa system kediktatoran

dibedakan menjadi 2 tipe yaitu, “tipe diktator militer, yaitu mendapatkan

kekuasaanya melalui kekuatan militer, dan tipe diktator politik, yaitu

mendapatkan kekuasaannya melalui pemilihan umum”.

Ciri-ciri negara diktator menurut Carl J. Frederick dan Z. Bigriewle

Brezinksky dalam Jurnal Ilmu Politik (1993: 40), adalah sebagai berikut: a).

Suatu ideologi yang menyeluruh yang terdiri dari ajaran-ajaran (doktrin) badan

resmi yang meliputi seluruh aspek vital dan pada kehidupan manusia dalam

masyarakat yang harus dilakukan dan ditaati oleh setiap anggota masyarakat.

Ideologi ini ditujukan untuk membentuk manusia baru paripurna yang berlainan

dengan manusia yang sekarang ada dalam masyarakat, b). Satu partai masa yang

dipimpin oleh seorang manusia diktator dengan anggota terdiri dari prosentase

yang relatif kecil dari jumlah penduduknya, yang terdiri dari laki-laki dan wanita

di mana mengabdikan dirinya secara menyeluruh terhadap ideologi dan bersedia

48

melakukan setiap cara agar supaya diterima oleh umum atau partai tersebut

diorganisir lebih tinggi atau sepenuhnya beserta birokrasi pemerintah, c). Suatu

sistem teror baik psikis maupun fisik yang dilaksanakan melalui partai dan

pengawasan polisi khusus yang ditujukan terhadap musuh-musuh rezim yang

demonstratif dan juga terhadap golongan penduduk yang tidak menyetujuinya.

Teror itu baik yang dilakukan oleh polisi rahasia maupun oleh partai yang

ditujukan untuk menindas masyarakat secara sitematis dengan menggunakan

ilmu modern.

Menurut Sukarna (1981:86), prinsip-prinsip kediktatoran adalah: a).

pemusatan kekuatan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif berada

dalam satu badan, b). Pemerintah tidak konstitusional, c). Pemilihan umum yang

tidak bebas, d). Tidak ada perlindungan hak asasi manusia, e). Menolak

kebebasan pers, f). Peradilan yang tidak bebas dan memihak, g). Tidak ada

pengawasan terhadap administrasi negara, h). Jaminan terhadap kebebasan

individu dibatasi dan, i). Undang-undang dasar tidak lagi demokratis.

Selanjutnya juga dikemukakan mengenai ciri-ciri konstitusi negara

dengan sistem kediktatoran adalah: a). konstitusi dibuat oleh pengikut-pengikut

diktator berdasarkan perintah, b). konstitusi dibuat untuk kepentingan diktator,

c). konstitusi tidak melindungi hak asasi manusia, d). konstitusi tidak mengakui

kebebasan rakyat, e). konstitusi menghapuskan atau tidak mengatur dan

membatasi pemilu yang bebas, f). konstitusi menolak kebebasan pers, g).

konstitusi membatasi kebebasan peradilan, h). konstitusi mengatur pemusatan

kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif dalam satu tangan, i). konstitusi

memperluas dan tidak membatasi fungsi eksekutif, j). perubahan konstitusi

49

berdasarkan petunjuk atau tujuan diktator, k). konstitusi dalam negara dengan

sistem kediktatoran dibuat berdasarkan kekuasaan absolut.

Abu Daud Busroh (1987:67) menyebutkan ciri-ciri negara diktator

adalah sebagai berikut: 1). adanya peradilan khusus untuk mengadili orang yang

melawan rezim yang berkausa, 2). tidak ada kebebasan berserikat dan

berkumpul, 3). tidak ada pemilihan umum. Dalam sistem kediktatoran kegiatan

warga negara adalah terikat oleh penguasa atas negara, sehingga kebebasan yang

melekat pada dirinya adalah memuji sang penguasa (Soehino, 1980:35).

Sebagaimana diungkapkan oleh (Jules, 1985:21) bahwa sistem kediktatoran

dibedakan menjadi 2 tipe yaitu: a). Tipe diktator militer, yaitu mendapatkan

kekuasaanya melalaui kekuatan militer, b). Tipe diktator politik, yaitu

mendapatkan kekuasaannya melalui pemilihan umum.

Nicolo Machiavelli dalam Encyclopedia of Social Sciences (1968:161)

adalah yang pertama kali membedakan antara kediktatoran sebagai lembaga

konstitusional republik dan sebagai bentuk pemerintahan despotik, yang

merekomendasikan untuk diperbaiki penguasa sebagai sarana untuk

memulihkan politik. Monarki absolut umumnya tidak dianggap sebagai diktator,

karena pelaksanaan kekuasaan engenakan legitimasi tradisional. Namun setiap

kali berdaulat mutlak sebenarnya aturan politik, melanggar standart adat otoritas

monarki, pemerintahannya harus disebut diktator.

Keempat, ekonomi semakin melemah diantara kehidupan masyarakat

Libya, padahal Libya produsen minyak terbesar ke-9 dunia. Akan tetapi hasil

dari kekayaan minyak tersebut semata-mata bukan untuk kehidupan rakyat tetapi

hanya dinikmati oleh pejabat dan keluarganya, serta banyak untuk membantu

50

negara-negara Afrika (Agastya, 2013:108). Keinginan rakyat Libya untuk

mengakhiri kepemimpinan Khadafi. Kondisi sosial dalam masyarakat Libya

yang tidak memuaskan secara finansial. Angka pengangguran di Libya mencapai

30 persen dengan total penduduk sebanyak 6.597.960 Jiwa (sensus Juli 2011).

Meskipun satu dekade terakhir, Khadafi mulai melunak dalam kebijakan luar

negerinya, misalnya dengan membatalkan program senjata pemusnah masal dan

menjalin kembali hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat pada tahun

2004 (Adnan, 2008:40), untuk memperbaiki kondisi ekonomi Libya. Khadafi

bahkan mengizinkan kembali adanya penanaman modal asing terutama di

bagian perminyakan bagi para pengusaha asal Amerika Serikat. Akan tetapi, hal

ini ternyata tidak cukup mampu membendung arus demokratisasi yang

diinginkan rakyatnya. Ekonomi menjadi tajuk utama terjadinya revolusi karena

sistem perekonomian Libya menerapkan sistem ekonomi terpusat bukanlah hal

yang baru jika melihat kecenderungan pemikirannya yang beraliran sosialis.

Khadafi sangat mempromosikan pentingnya kesetaraan dalam negara, terutama

dalam hal ekonomi, sebagaimana lazimnya pandangan sosialis.

Berawal dari situ pula Khadafi tidak membiarkan sektor swasta tumbuh,

karena sebagai seorang sosialis fanatik, ia tidak mempercayai sistem ekonomi

liberal yang kapitalis, yang tentu saja ditandai dengan pemberian kesempatan

seluas-luasnya bagi pihak swasta dan pasar untuk menentukan hasil kompetensi

ekonomi. Pandangan yang menempatkan pemerintah hanya sebagai pengawas,

dan bukan pengontrol langsung. Khadafi tidak menyepakati hal ini karena tidak

membawa kesejahteraan dan equity bagi masyarakat (Hatimah, 2013:98).

Meskipun pada faktanya, sistem ekonomi yang ia terapkan berupa “true

51

economic independence” dengan menasionalisasi semua aset dan menolak

investasi asing, juga gagal membawa kesejahteraan yang diinginkan.

Menurut Bloomberg, Gubernur Libya Sentral Bank, Farhat Bengdara,

yang membelot dari pemerintahan Kadhafi, menyatakan bahwa Libya memiliki

banyak cadangan minyak dan gas bumi serta kekayaan lainnya. Minyak jenis

sweet crude yang sangat sulit didapatkan, terdapat dalam jumlah banyak di

Libya. Minyak jenis ini terkenal dengan kandungan sulfur yang rendah. Minyak

mentah ini sangat ideal diolah menjadi bensin dan solar. Meski tak ada data

resmi, diperkirakan hampir 95 persen produksi minyak dan gas alam Libya di

ekspor (Hendrajit, 2011:1).

Kelima, adalah kepentingan asing. Faktor-faktor dalam negeri tersebut

diperparah dengan datangnya kepentingan-kepentingan asing yang berusaha

memanfaatkan momentum untuk menguasai minyak Libya (Agastya, 2013:108).

Selama ini pemerintah Libya sangat ketat dalam kerjasama ekplorasi minyak

dengan perusahaan Eropa dan Amerika Serikat. Kekayaan minyak Libya yaitu

46,4 miliar barel, sangat menggiurkan bagi bangsa Eropa dan Amerika Serikat

untuk menguasanya. Produksi Libya sebelum revolusi mencapai 1,7 juta barel

setiap hari. Produksi ini menyuplai 6 persen kebutuhan minyak dunia. Dengan

kapasitas produksi itu, Libya menempati urutan ke 9 negara produsen minyak

dunia dan urutan ke 5 di Dunia Arab, setelah Arab Saudi, Iran, Irak, dan Bahrain.

2. Kronologi Revolusi Libya

Pemberontakan rakyat Libya sebenarnya telah lama terdengar, pada

Oktober tahun 1993, Khadafi pernah diserang dan hampir dibunuh, insiden ini

diduga dilakukan oleh kelompok politik penentang Khadafi, seperti: Konferensi

52

Nasional Oposisi Libya, Front Nasional untuk Keselamatan Libya, dan Komite

Aksi Nasional Libya di Eropa (Karmina, 2012:109). Bahkan, di tahun 2006,

pemberontakan terhadap Khadafi juga sempat timbul sebagai unjuk rasa atas

digantungnya seorang mahasiswa aktivis HAM dan demokrasi di Libya. Namun,

tidak lama setelah insiden tersebut, gejolak kembali reda. Tindakan otoriter

Khadafi dianggap sebagai hal yang lumrah dalam menjalani kehidupan di Libya,

sampai pada akhirnya, mata rakyat Libya kembali terbuka setelah melihat

revolusi yang dialami negara-negara tetangga Libya. Khadafi barangkali

menyadari bahwa revolusi yang terjadi dikawasan Timur Tengah bisa saja

melanda negaranya. Pencegahan dilakukan dengan pemblokiran social network

dengan tujuan membatasi pengetahuan rakyat Libya dari berita-berita luar untuk

mencegah kemungkinan terjadi hal yang serupa di Libya.

Gelombang protes yang terjadi pada tanggal 15 Februari 2011, 4 hari

sebelum Husni Mubarak digulingkan di Mesir, revolusi Arab bergerak ke kota

terbesar kedua di Libya, Benghazi. Protes yang di suarakan adalah meminta

pertanggungjawaban pemerintahan Khadafi atas penembakan 14 demonstran

pada tahun 2006 (Agastya, 2013:109). Selanjutnya pada tanggal 16 Februari

2011, aksi demonstran semakin bergolak dengan menuntut pertanggung jawaban

Khadafi atas pembunuhan 1.200 tahanan di Penjara Abu Salim. Bentrokan masa

dan aparat mengakibatkan setidaknya fasilitas kantor polisi terbakar. Namun

gerakan ini mendapat respon yang negatif dan cenderung represif dari Khadafi.

Khadafi melalui aparat kepolisian Libya kemudian membubarkan para

demonstran dengan menggunakan kekerasan, yang kemudian menyebabkan

banyak korban yang terluka (Shepart and Robert, 2003:227).

53

Gelombang demonstrasi yang terjadi di Libya kemudian menjadi

semakin kuat dengan bergabungnya kelompok-kelompok yang merupakan pihak

oposisi terhadap rezim yang sudah ada sejak sekian lama. Kelompok-kelompok

ini terdiri dari: Konferensi Nasional Oposisi Libya (NCLO), Front Nasional

untuk Keselamatan Libya (NFSL), Ikhwanul Muslimin Libya, sisa-sisa

pendukung Raja Idris, serta kelompok-kelompok jihad lainnya, yang kemudian

menggunakan momentum ini dar bersatu bersama rakyat Libya menyerukan

agar Khadafi turun dari kekuasaannya. Gelombang demonstrasi semakin kuat

dan menyebar ke seluruh kota di Libya seperti: Tripoli, Tajoura, Zawiyah,

Zintan, Ajdabiyah, Ras Lanuf, Al Bayda, Benghazi, Bin Jawed, Ar Rajban, dan

Misratah Kerusuhan Benghazi Libya, (BBC, 2011 27 Oktober 2011).

17 Februari 2011, pihak oposisi menginginkan turunnya Khadafi dari

puncak pemerintahan dengan menggalang seluruh kekuatan rakyat Libya

kemudian sebagai Hari Kemarahan melalui sebuah situs jejaring sosial Facebook

serta menyebarkan informasi melalui jejaring media sosial (Tamburaka,

2011:226). Jaringan aktivis internet Libya-Amerika-Inggris-Arab terbentuk,

yang targetnya adalah mengumpulkan dan menyebarkan informasi dari lapangan

kepada dunia melalui internet. Hari ini disebut-sebut sebagai peringatan

peristiwa anti-Khadafi pada tahun 2006, yang dapat dihentikan secara sempurna

oleh pihak militer Libya (Agastya, 2013:110).

Setelah kejatuhan rezim-rezim otoriter yang terjadi di negara tetangga

Libya seperti Ben Ali di Tunisia dan Hoesni Mubarak di Mesir, Khadafi mulai

sadar bahwa tantangan yang berasal dari kekuatan seluruh rakyat Libya yang

bergejolak tidak lagi dapat diremehkan. Sebab itu, menjelang tanggal 17

54

Februari 2011 Khadafi mengundang sejumlah aktivis politik, pemimpin media,

dan LSM untuk membujuk mereka agar tidak menggalang kekuatan massa yang

lebih besar untuk melawan kekuasaannya (Tamburaka, 2011:226).

Konflik terus bergejolak hingga tanggal 18 Februari 2011, aksi masa

mencapai kediaman Khadafi di wilayah timur Libya. Khadafi mengerahkan

tentara bayaran (kebanyakan berasal dari Chad), adapun dengan bayaran sebesar

5.000 dinar (Agastya, 2013:110). Konflik meningkat sampai tanggal 19 Februari

2011, dalam konflik itu terlihat helikopter milik pemerintahan Khadafi

menembaki ke arah kerumunan demonstran anti pemerintahan Khadafi. Korban

jiwa mencapai 300 orang demonstran dan 130 anggota pasukan pemerintah

(Tamburaka, 2011:228). Tindakan brutal ini mengundang kecaman dari

kalangan pejabat tinggi dan militer Libya, didalam tubuh militer Libya kemudian

menjadi dua kubu, disatu sisi menjadi loyalis Khadafi dan dikubu lain militer

yang telah membelot kemudian bergabung bersama para demonstran.

Sedangkan di kalangan pejabat-pejabat tinggi Libya, banyak yang kemudian

mengundurkan diri.

Para pengunjuk rasa pada tanggal 21 Februari dimulai dari kota

Benghazi, mengambil alih jalan-jalan, dan senjata dijarah dari markas besar

keamanan utama. Para demonstran juga kemudian menurunkan bendera Libya

yang merupakan bendera pemerintahan Khadafi dari atas gedung pengadilan

utama dan menggantinya dengan bendera tua yang digunakan pada masa

pemerintahan monarki Raja Idris (2011:229).

22 Februari ibunda Mohamed Bouazizi menyatakan dukungan kepada

rakyat Libya. Sementara itu, beberapa kepala suku dan suku kekuatan Werfalla

55

menyatakan dukungan penuh kepada Gerakan Kebangkitan 17 Februari

(Agastya, 2013:111).

23 Februari 2011 mantan menteri keadilan Mustafa Abud Al-Jaleil

menyatakan bahwa secara pribadi Khadhafi yang memerintahkan pemboman

Lockerbie 1988. Di hari yang sama juga terdapat laporan yang menggambarkan

situasi saat itu di Libya sebagai perang saudara atau revolusi telah bergolak

(Tamburaka, 2011:230).

24 Februari 2011 demonstran memegang kendali Kota Tobruk, dimana

tentara dan penduduk kemudian merayakannya dengan mengibarkan bendera

yang pernah digunakan pada masa pemerintahan Raja Idris antara tahun 1951-

1969. Unit angkatan darat di Tobruk bergabung dengan para pengunjuk rasa, hal

ini juga terjadi di tempat lain, para pengunjuk rasa menguasai pelabuhan minyak

kunci yaitu Ras Lanouf, menurut sumber, Kota Ras Lanouf, yang lokasinya

berada 140 kilometer Kota Sirte, jatuh ke tangan pemberontak usai terjadinya

pertempuran sengit dengan pasukan Khadafi yang kemudian melarikan diri

(2011:231).

Pasukan loyalis Khadafi berhasil “menyapu” kota yang dikuasai oleh

para oposisi di dekat Ibu Kota Libya Tripoli, keamananpun semakin diperketat

di sekitar Ibu Kota. Apalagi setelah menyusul kabar, bahwa pasukan

pemberontak telah berhasil menguasai pelabuhan minyak di bagian timur.

Perebutan wilayah antara pasukan pro-Khadafi dan pasukan pemberontak

menimbulkan kekhawatiran, konflik yang ada di Libya tak bisa dihitung dalam

hitungan hari seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia tapi bisa berbulan-bulan

(Kaplan, 2011:38).

56

Tentara yang loyal terhadap Khadafi tetap bertahan di sekeliling Kota

Zawiyah di barat Libya. Setelah dipukul mundur pasukan perlawanan.

Kemudian, pada pagi harinya ratusan milisi yang setia kepada Khadafi masuk

ke pusat kota itu didukung oleh sejumlah tank, pasukan-pasukan pro Khadafi

melakukan serangan fajar yang mengejutkan 200.000 warga Zawiyah (Kaplan,

2011:340). Mereka kemudian menembaki warga dengan mortir dan senapan,

serangan ke Zawiyah ini merupakan salah satu serangan terbesar pendukung

Khadafi.

Suasana di Benghazi sangat menegangkan, terdengar rentetan bunyi

tembakan dan bunyi ledakannya sangat keras. Penyebab ledakan masih menjadi

spekulasi. Dugaan terkuat adalah bom dilepaskan pesawat tempur pasukan

loyalis Khadafi, ada pula kecurigaan bahwa rezim Khadafi menyusupkan orang

untuk meledakkan gedung amunisi tersebut, atau ledakan disebabkan oleh bom

mobil (2011:41).

Benghazi terdapat kelompok yang menamakan diri Revolusi Pemuda 17

Februari menyampaikan pernyataan politik. Mereka menuntut Khadafi mundur

dan diajukan ke Pengadilan Kriminal Internasional di Belanda atas kejahatan

yang dilakukannya terhadap rakyat Libya sejak memerintah tahun 1969. Para

pemuda revolusioner dibantu oleh tentara yang membelot dari rezim Khadafi

terus menekan dari arah timur (2011:345). Di kota seperti El Brega, Ajdabiya,

dan Ras Lanouf, mereka bertempur melawan tentara Khadafi, perang itu

melibatkan artileri dan rudal anti serangan udara. Bendera yang digunakan oleh

para pemberontak berkibar di bundaran pusat Kota Ras Lanouf.

57

Ras Lanouf adalah salah satu kota penghasil minyak terbesar di Libya.

Pertempuran di Libya terbatas di kota-kota yang terdapat kilang minyak tersebut.

Milisi loyalis Khadafi berusaha menguasai kembali kota-kota minyak tersebut

mengingat lokasinya yang strategis. Strateginya adalah, Jika tentara loyalis

Khadafi berhasil menguasai El Brega, Ajdabiya, dan Ras Lanouf, Kota Benghazi

yang dikuasai oleh kelompok anti pemerintah bisa jatuh ke tangan para loyalis

Khadafi lagi. Namun, bila kaum revolusioner memperkuat posisi, terbuka

peluang menyerbu Sirte, kota asal Khadafi (Kaplan, 2011:352).

Sedikitnya 173 orang tewas sebagai korban dari revolusi demi

menyingkirkan Presiden Libya, Khadafi sejak 15 Februari 2011 (2011:43).

Menurut tim medis yang melakukan perawatan terhadap korban, angka tersebut

masih belum lengkap dan juga masih ada orang-orang yang terluka, luka-luka

yang dialami oleh korban menunjukkan penggunaan senjata berat oleh pasukan

Khadafi untuk menyerang para demonstran.

1 Maret 2011, Menteri Pertahanan Australia mendukung upaya

intervensi militer no fly zone. Sedangkan perdana Menteri Kanada, Stephen

Haper, mengirimkan 1 kapal perang ke perairan Libya “untuk mengevakuasi

pengungsi”. Sementara itu, Menteri Pertahanan Amerika Serikat berucap “no fly

zone adalah upaya serangan udara besar untuk menggempur pangkalan udara

Libya, sampai dipastikan pasukan udara Libya tidak bias mengudara” (Agastya,

2013:114).

2 Maret 2011, Khadafi berpidato untuk ketiga kalinya di Tripoli, “Tidak

ada demonstrasi damai di Libya, Benghazi, atau Derma. Tidak ada penembakan

terhadap 1.000-an aksi masa (Agastya, 2013:114). Media-media barat telah

58

memberikan hal-hal yang keliru”. Kadhafi menerima penawaran tawaran

proposal Hugo Chavez, Komite Dama, untuk mediasi perundingan damai

dengan pemberontak Benghazi.

Sekitar pukul 09.00 pagi waktu Libya, empat ledakan besar dekat Tripoli

(Tamburaka, 2011:234). Menurut laporan dari media Internasional, aparat

keamanan dan pendukung Khadafi mencegah wartawan dan penonton untuk

mendekati ledakan, yang berasal dari sebuah truk tangker minyak. Sementara itu

di Brega, pemberontak berhasil menguasai minyak terbesar di Libya dan gudang

persenjataan. Sedangkan, korban meninggal dunia di pertempuran Brega

dilaporkan berjumlah 14 orang (Agastya, 2013:114).

3 Maret 2011, tepatnya di Kota Brega merayakan kemenangan. Peradilan

Kejahatan Internasional (ICC) akan mengadakan penyeledikan dugaan

“kejahatan perang” dan “kejahatan kemanusiaan” terhadap Kadhafi dan orang-

orang di lingkaran kekuasaannya. Liga Arab menyatakan pertimbangan proposal

Hugo Chavez. Adapun pemerintahan Dewan Transisi di Benghazi beraksi

menyatakan menolak bentuk dan upaya apapun dari pihak asing, termasuk

Komite Damai, jalan perundingan yang diajukan oleh Hugo Chavez (2013:114).

4 Maret 2011 para pengunjuk rasa berencana melakukan demonstrasi di

Tripoli dihadapi dengan kekerasan, penangkapan, dan penculikan serangan

dibuka dengan serangan antileri berkepanjangan dan pasukan menyerang di

kedua sisi kota (Tamburaka, 2011:234). Dalam jam pertama pertempuran,

komandan pertempuran oposisi colonel Darbouk Hussein dibunuh. Malam

harinya pemberontak kembali ke alun-alun pusat di Zawiyah, dimana sekitar

2.000 dari mereka bersiap menyerang balik.

59

6 Maret 2011 pasukan Khadafi meluncurkan serangan balasan demi

merebut kembali kota-kota yang diduduki oleh para pasukan pemberontak,

diantaranya kota pelabuhan minyak Ras Lanouf dan Brega. Pasukan Khadafi

juga berusaha merebut kembali Kota Misrata, sehingga terjadi kontak senjata

yang cukup hebat, kali ini pasukan Khadafi mengirimkan pasukan infantri dan

kendaraan lapis baja ke kota demi menggempur kekuatan para pemberontak

(Kaplan, 2011:44).

Dalam perang ini pasukan pemberontak menyergap pasukan Khadafi

ketika pasukan Khadafi sampai di tengah kota, hal ini menyebabkan pasukan

Khadafi dapat sementara ditaklukkan, dalam perang ini sedikitnya 21 orang

tentara pemberontak serta rakyat sipil dan 22 orang tentara Khadafi tewas.

Selama satu malam, pasukan pemberontak berhasil merebut kota tersebut,

namun pada hari berikutnya, yaitu tanggal 8 Maret 2011 serangan balasan dari

pasukan pemerintah kemudian berhasil menghancurkan sebagian besar dari

kota. Pada malam dimana pasukan pemberontak berhasil menguasai kota,

mereka dengan kekuatan sekitar 60 orang menyelinap keluar untuk menyerang

pangkalan militer milik pasukan Khadafi, namun kenyataannya pasukan tersebut

tidak pernah kembali setelah malam tersebut. Khadafi tetap mengontrol kota-

kota seperti Tripoli, Sirte, Sabha, serta beberapa kota lainnya.

Rezim Khadafi memutuskan seluruh jaringan komunikasi sehingga

orang-orang bahkan para jurnalis harus naik ke atap rumah untuk menemukan

sinyal demi melaporkan keadaan. Para saksi mata menggambarkan hujan peluru

diatas kota, dimana perempuan dan anak-anak terbunuh dan beberapa keluarga

terjebak di dalam rumah mereka. Banyak bangunan, termasuk masjid, telah

60

dihancurkan dan pasukan oposisi menggunakan pengeras suara di masjid-masjid

untuk memanggil warga untuk datang membantu mempertahankan oposisi di

pusat kota.

9 Maret 2011, kondisi Kota Zawiyah hampir sepenuhnya berada dibawah

kontrol tentara Khadafi, namun para pasukan oposisi berhasil mengusir mereka

keluar dari kota, pertempuran tersebut memakan korban sebanyak 40 orang yang

berasal dari kedua belah pihak. Dalam perang ini pasukan oposisi berjuang

habis-habisan untuk melawan serangan dari angkatan darat Libya, meski hanya

menggunakan roket dan granat untuk menghancurkan tank-tank milik

pemerintah, pasukan oposisi berhasil memukul mundur mereka keluar dari kota.

Pasukan Khadafi berhasil merebut kembali kota-kota lain dan memukul

mundur pasukan pemberontak, kota-kota seperti, Brega, dan Zuwara berhasil

direbut kembali, pasukan pemberontak terdesak hingga kota Ajdabiya, yang

merupakan kota terakhir yang berhasil dikuasai oleh pemberontak setelah

Benghazi, di kota inilah para tentara pemberontak bertahan dari serangan tank,

kapal perang serta angkatan udara Libya dengan mendapatkan bantuan dari

pasukan oposisi yang berada di Benghazi.

Dalam meneliti tingkat gerakan masa yang terjadi di Libya, penelitin ini

dapat menggunakan suatu analogi Piramida Konflik (Simon, 2011:33).Analogi

ini di gunakan untuk mengidentifikasi pihak-pihak atau para pelaku utama dalam

konflik yang terjadi di Libya yang berasal dari berbagai tingkatan.

3. Pasca Revolusi Libya

Pemerintahan Libya berdasarkan Undang-undang Jamahariiyyah

memiliki kesamaan makna dengan republik, dalam ayat (1) disebutkan, Libya

61

adalah Negara Arab, demokratis dan republik dengan kedaulatan tertinggi di

tangan rakyat. Masyarakat Libya adalah bagian dari negara-negara Arab. Tujuan

mereka adalah kesatuan Wilayah Libya termasuk Afrika. Sejak penghujung

1987, kepala negara, kepala pemerintahan dan panglima angkatan bersenjata

Libya dijabar oleh Khadafi yang berperan penting dalam melakukan revolusi

militer.

Dalam kekuasaan Eksekutif dan Legislatif dijalankan oleh Kongres

Rakyat Umum (General People’s Congres) yang bersidang beberapa kali dalam

setahun (Qaddafi, 2000:89-94). Kongres Rakyat Umum, mengangkat Perdana

Menteri dan Menteri-menteri. Tugas lainnya adalah membuat kebijakan-

kebijakan umum negara. Keanggotaan Kongres Rakyat Umum 1000 orang

berasal dari wakil dewan rakyat, kongres rakyat dan dewan revolusi yang lebih

rendah (tingkat provinsi dan daerah). Kepemimpinan Kongres Rakyat Umum

dipusatkan di Sekertariat Jenderal yang dipimpin seorang sekertaris jenderal.

Fungsi kabinet dijalankan oleh Dewan Rakyat Umum.

Setelah gubernur dilarang pada tahun 1975, Libya dibagi dalam tujuh

sampai sepuluh distrik-distrik militer. Setiap distrik militer dibagi lagi ke dalam

beberapa daerah setingkat kabupaten dan kotamadya, kemudian dibagi lagi

dalam kapasitas wilayah desa atau kota.

Sejak revolusi 1969, hukum Islam telah menggantikan Undang-undang

lainnya. Sistem hukum Libya menganut pula peradilan privat, kriminal dan

perdagangan. Libya terdapat peradilan perorangan (privat). Peradilan

Revolusioner dan Peradilan Militer yang menangani persoalan politik.

62

Keberadaan partai politik dilarang. Oraganisasi masa hampir semua diarahkan

ke Arab Sosialist Union.

Peran pemerintahan terhadap perekonomian Libya pada rezim Khadafi

sangat dominan. Salah satunya adalah sebagai pengontrol perusahaan-

perusahaan minyak asing bahkan menasionalisasi perusahaan-perusahaan

minyak, contohnya pada tahun 1974. Libya menasionalisasi perusahaan Shell.

Sebelumnya, pada bulan November 1969, telah menasionalisasi seluruh bank

milik asing termasuk Arab Bank, Banco di Roma dan Barclay’s Bank (David

dan Bernard, 2002:376). Fasilias umum juga dikuasai oleh negara seperti

perusahaan penerbangan, komunikasi, bangunan dan lainnya.

Buku yang berjudul “buku hijau” pada tahun 1977, merupakan filosofi

politik dan ekonomi Khadafi. Isi dari buku tersebut berisi gagasan-gagasan

tentang pokok-pokok pemerintahan dan kritik keras terhadap keberadaan partai

politik. Sampai sekarang tidak ada partai politik di Libya. Akan tetapi Khadafi

tetap paling menentukan di Libya, berhubung bukan saja ia menjabat sebagai

sekertaris jendral Majelis Rakyat Umum (General People’s Congress), melaikan

juga tetap menjabat sebagai presiden. Hal ini dikarenakan adanya legitimasi

Khadafi di Libya begitu tinggi yang didapat oleh popularitas dan kepercayaan

masyarakat Libya.

a. Kondisi dari segi Sosial

Libya masa pemerintahan Khadafi mendapatkan beberapa kebebasan,

seperti kebebasan mengenai tanah atau lahan. Kemudian Khadafi juga

memberikan kebebasan pada masyarakat Libya untuk memakai dan

mengolah tanah di Libya untuk kepentingan hidup seperti untuk bertani.

63

Lahan tersebut diberikan secara gratis dari pemerintah untuk rakyatnya.

Khadafi melakukan hal tersebut karena dilandaskan dengan hasil pemikiran

yang menyatakan bahwa tanah bukan milik perorangan, setiap orang punya

hak mempergunakan, mengambil untung darinya dan bekerja, bertani dan

mengembala. Hal ini berlaku bagi kehidupan manusia dan kehidupan

penerusnya.

Khadafi menciptakan masyarakat Libya yang sosiolis berdasarkan

pemikirannya. Sosialis dapat terjadi apabila mereka diberikan kebebasan.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meraihnya adalah dengan

memenuhi kebutuhan materi dan spiritual manusia. Dengan memenuhi

kebutuhan manusia tersebut, maka akan menghasilkan kepuasan. Menurutnya

kepuasan-kepuasan tersebut dapat diperoleh tanpa harus mengeksploitasi atau

memperbudak orang lain (Fakih, 2000:66). Bagi Khadafi pembantu rumah

tangga dibayar ataupun tidak dibayar merupakan budak. Khadafi

beranggapan bahwa mereka adalah budak modern.

Pemerintahan Khadafi terdapat pertentanganakan kebijakan yang

dibuat Khadafi. Masyarakat Libya masih sangat konservatif terhadap

perubahan. Masyarakat Libya yang membenci upaya rezim ini untuk

menggantikan kepemimpinan tradisional yang memiliki tujuan untuk

mendaftarkan perempuan ke dalam kehidupan militer dan berpartisipasi

dalam politik, bahkan membuat bangsa yang bertentangan dengan keluarga,

identitas kesukuan atau regional. Seperti yang diketahui dimana ada Khadafi,

maka akan ada pengawal wanita yang selalu mengawal kemana pun Khadafi

pergi. Kebijakan Khadafi tahun 2005 terhadap media surat kabar dan

64

elektonik dinilai telah melanggar HAM, karenakan tidak bebasnya

masyarakat berpendapat dan mengekspresikan diri. Hal tersebut menyatakan

bahwa seluruh media surat kabar dan elektronik adalah milik negara.

Setelah revolusi Libya atas pemerintahan Khadafi, kondisi di Libya

menjadi tidak terkendali. Masyarakat sosialis baru yang ingin diciptakan

Khadafi tidak terealisasi dan kehidupan masyarakat Libya pun dipenuhi

banyak ketidak nyamanan masyarakat akan hal yang terjadi antara pasukan

revolusi Libya dengan pasukan militer pemerintahan Libya. Sulitnya

masyarakat Libya dalam mencari pekerjaan pasca revolusi Libya pada tahun

2011, yang dikarenakan serangan-serangan militer membuat banyak

masyarakat mengalami mogok kerja. Saat ini pasca revolusi masyarakat

Libya bergantung pada sumber penghasilan minyak bumi.

Pasca revolusi Libya pemerintahan Khadafi seperti mengembalikan

Libya pada zaman pemerintahan raja Idris I yang menggantungkan kehidupan

masyarakatnya ke pos-pos yang didirikan pasukan asing. Ditambah lagi kursi

kepemimpinan akibat kurangnya orang yang berkompeten menjadi

perebubutan tersendiri di antara suku-suku di Libya, seperti yang diketahui

suku-suku di Libya memiliki keistimewaan.

Buku karya Lillian Craig Harris dengan judul Libya Qadhafi’s

revolution and Modern State menyatakan bahwa Jacques Roumani dalam

karya Middle East Journal menganalisis perkembangan politik Libya dalam

perspektif sejarah yang menunjukkan bahwa apa pun hasil dari revolusi Libya

dan apapun masa depan politik Libya, revolusi Khadafi sudah diberikan

kepada rakyat Libya, peluang untuk berdamai dengan masa lalu mereka

65

antara masyarakat dan pemerintah khususnya masa colonial memberikan

respon kuat dari pan arabisme dan pan islamisme (Harris, 1986:129).

b. Kondisi dari segi Politik

1) Dalam Negeri

Kebijakan dalam negeri Libya jamahirriyyah (Harris, 1986:58)

dimaksudkan bahwa seluruh kebijakan bersumber pada satu kekuasaan

yakni Khadafi, melaksanakan prosedur pemerintahan kerakyatan dan

memimpin pemerintahan serta menetapkan bahwa seluruh kekuasaan

diatur oleh Khadafi sendiri. Libya lebih dikenal sebagai negara radikal

sejak tahun 1980-an akibat kebijakan dalam negerinya. Ideologinya

didasarkan dari perpaduan antara nasionalisme Arab, aspek

kesejahteraan negara dan yang ia sebut sebagai demokrasi rakyat.

Ideologi yang dicetuskan Khadafi disebut dengan Teori Universal

terbentuk pada tahun 1973. Khadafi menyebutnya sebagai teori universal

ketiga karena menurutnya ada jalan baru untuk menolak materialisme

kapitalis dan atheis komunis. Dasar dari ideologi ketiga, Khadafi

menyebutnya sebagai alternatif untuk materialisme kapitalis dan

atheisme komunis, yaitu jalan untuk keluar dari sifat memperbanyak

materi atau uang serta terbebas dari sikap acuh terhadap keyakinan hidup

beragama.

Sebuah ideologi yang menyerukan manusia agar kembali ke jalan

Allah, Khadafi mengklaim bahwa tidak ada kebutuhan yang lebih besar

dan penting dalam diri manusia selain keimanan kepada Allah, Khadafi

menegaskan terhadapkan rakyatnya bahwa ketaatan beragama adalah

66

kunci hidup bernegara serta memberikan seruan bagi manusia agar

berlaku adil sebagai makhluk yang mengelola bumi. Ideologi yang

dicetuskan oleh Khadafi ini adalah ideologi berdasar asas kemanusiaan

dan bukan teori agresif sebagai teori rasial untuk menghancurkan dunia.

Menurut Khadafi, ideologi tidak dibuat oleh manusia, bukan pemikiran

yang muncul dan dibuat manusia karena maksud yang tidak baik,

Ideologi menurut Khadafi merupakan sebuah kebenaran (Blundy dan

Lycett, 1969:87). Berikut kebijakan yang diterapkan Khadafi dalam

memimpin Libya dari 1969 hingga 2011.

Pemikiran-pemikiran Khadafi diuraikan dalam sebuah buku

berjudul Green Book atau Buku Hijau, yang digunakan untuk

memperkuat cita-cita negara Sosialis. Kebijakan-kebijakan Khadafi

dalam memerintah Libya tertulis dalam Buku Hijau tersebut. Buku

tersebut diterbitkan dalam tiga volume:

a) Buku Hijau volume pertama yang terbit tahun 1976, Khadafi

menyebutnya sebagai solusi dari masalah demokrasi.

b) Buku Hijau volume kedua terbit pada tahun 1978 disebut sebagai

solusi.

c) Buku Hijau volume ketiga yang terbit tahun 1979 disebut sebagai

dasar sosial, di dalamnya diatur mengenai pendidikan dan

kedudukan perempuan dalam masyarakat (Kimberly L, 2008:38).

2) Luar Negeri

Kebijakan Khadafi di masa pemerintahannya salah satunya

adalah melarang adanya partai politik di Libya. Hal ini dilakukan agar

67

posisi Khadafi sebagai pemimpin semakin kokoh. Libya masa

kepemimpnannya Khadafi juga memiliki kebijakan politik yang

berpengaruh kepada bangsa barat. Bangsa barat dan Israel kehadiran

sosok Khadafi adalah sebuah batu sandungan yang sangat besar untuk

mendapatkan sumber daya alam minyak bumi di Libya.

Kebijakan politik yang dibuat oleh Khadafi adalah kebijakan

politik luar negeri anti barat pro-Arab. Seperti yang diketahui Khadafi

berusaha menggabungkan Libya dengan negara-negara Arab yang ada.

Fokus utama kebijakan luar negeri Khadafi adalah persepsi bahwa Libya

sebagai korban sedangkan bangsa Eropa dan Amerika Serikat sebagai

penjahat yang ingin memasuki Libya (Fakih, 2000:83).

Struktur pembentukan kebijakan luar negeri Libya dilakukan

melalui organisasi pemerintah dengan komando Khadafi. Birokrasi

kebijakan luar negeri Libya meliputi sekretariat untuk keamanan

eksternal, sekretariat keadilan, divisi intelijen umum dan intelijen militer.

Sekretariat keamanan eksternal terbentuk pada bulan Februari 1984 oleh

Kongres Rakyat merupakan bagian terpenting dalam menentukan

kebijakan luar negeri Libya dan berfungsi sebagai keamanan dan

intelijen negara (Kimberly L, 2008:84).

Kebijakan luar negeri Libya terutama dengan negara-negara Arab

dan negara anti Barat berjalan dengan baik. Tahun awal Khadafi

memerintah hingga tahun 1990-an, Libya selalu dituduh sebagai kerajaan

terorisme oleh negara Barat dan Khadafi disebut sebagai pencetus teroris

di Libya, sehingga menyebabkan hubungan Libya dengan negara yang

68

anti Barat menjadi baik. Berikut bentuk kebijakan yang dilakukan

Khadafi (Diab, 2010)

a) Ketika Afrika Selatan berada di bawah kekuasaan kolonial dengan

diberlakukannya politik Apartheid, Khadafi selalu mendukung

Presiden Nelson Mandela untuk membebaskan negaranya dari

Politik Apartheid.

b) Khadafi membantu dan mempercayai Saddam Hussein ketika

Amerika Serikat menginvasi Irak di tahun 2003. Bahkan, Saddam

Hussein dianggap sebagai pahlawan dengan mendirikan patung

Saddam Hussein di halaman kediaman Khadafi di Bab al-Aziziyah.

c) Melindungi Palestina dan Lebanon dari kekejaman Israel.

d) Mendukung Presiden Mahmoud Ahmadinejad dalam menentang

setiap kebijakan Amerika Serikat terhadap negara-negara Arab dan

ketika terjadi perang Irak-Iran, meski Republik Iran bukan

merupakan bagian dari negara Arab.

Berikut hubungan Libya dengan negara Arab serta Uni Soviet dan

Amerika Serikat sebagai dua negara adidaya untuk saling berebut

pengaruh di Libya.

a) Hubungan Libya dengan negara Arab

Libya masuk dalam bagian dari wilayah Afrika Utara dan dihuni

oleh mayoritas penduduk Arab memiliki riwayat yang baik dengan

negara Arab lain. Hubungan Libya dengan negara Arab terjalin

dengan baik dikarenakan kesamaan kebudayaan dan pandangan

mengenai ideologi anti Barat yang menyebabkan hubungan Libya

69

dengan negara Arab berjalan cukup harmonis. Hubungan Libya

dengan negara Arab terlihat dari keinginan Khadafi yang ingin

menyatukan seluruh negara Arab setelah Gamal Abdul Nasser wafat,

namun cita-cita tersebut kandas disebabkan oleh kurang solidnya

persatuan antarnegara Arab itu sendiri dan banyaknya intervensi

Barat terhadap persoalan-persoalan intern negara Arab (Tamburaka,

2011:225).

b) Hubungan Libya dengan Uni Soviet

Khadafi yang anti kapitalis menyebabkan Libya jauh dengan negara

Barat, terutama Amerika Serikat. Sehingga menyebabkan sebuah

keterasingan politik Libya dengan Barat, kemudian Libya menjalin

hubungan yang signifikan dengan Uni Soviet sebagai negara adidaya

tandingan Amerika Serikat. Antara kedua negara membuat

kebijakan yang saling menguntungkan, baik jangka panjang maupun

jangka pendek. Berikut bentuk kebijakan Libya dengan Uni Soviet

(Harris, 1986:97).

c) Hubungan Libya dengan Amerika Serikat (AS)

Libya melihat Amerika Serikat sebagai kendala utama dalam

memimpin Libya dan menjalankan ideologinya. Khadafi menilai

bahwa Amerika Serikat adalah negara yang tujuannya mendominasi

dunia, kebijakannya yang mendukung Israel merupakan bentuk

dukungan terhadap teroris Internasional.

Sebenarnya, pada berbagai kesempatan Khadafi telah

memiliki keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan A.S. dan

70

mengurangi ketegangan meski dalam hubungn terbatas saja. Namun,

A.S. menganggap bahwa Libya adalah salah satu negara Arab yang

perlu diwaspadai karena dikhawatirkan mampu membeli para ahli

dan peralatan nuklir bekas Uni Soviet. A.S. takut dengan

kebangkitan fundamentalis Islam di Libya pasca runtuhnya

komunisme Uni Soviet (Sihbudi, 1993:12).

Jelas terlihat bahwa Khadafi sangat anti dengan Amerika

Serikat. Atas nama demokrasi, Amerika Serikat dituduh ingin

menguasai dunia Arab yang kaya minyak serta menggunakan teroris

sebagai kambing hitam untuk mengadu domba pemimpin dengan

rakyat. Sikap Khadafi yang anti Barat dibuktikan dengan

memberikan bantuan, terhadap gerakan-gerakan yang membenci

Amerika Serikat, tercatat Khadafi sebagai pendukung gerakan Islam

militan dan gerakan komunis di Filipina, I.R.A. di Irlandia Utara,

Black Panther, The Nation of Islam, Carlos “Sang Serigala” dan

membantu revolusi Iran 1979, Iran adalah negara yang terkenal anti

Barat (Luka, 2008:203). Hubungan A.S. dan Libya dari awal

memang tidak baik, berikut berbagai ketegangan yang terjadi antara

kedua negara (Harris, 1986:99-100).

Langkah selanjutnya dari A.S. adalah penutupan kantor

diplomatiknya di Libya pada Mei 1980, setelah terjadi pembakaran

kantor kedutaan A.S. di Tipoli pada akhir 1979, dan sebagai balasan

dari A.S., pada 1981 misi diplomatic Libya di Washington ditutup

karena dicurigai memberikan bantuan operasi illegal dan melakukan

71

kegiatan teroris. Agustus 1981, angkatan laut A.S. di Teluk Sidra

mengklaim kekuasaan territorial Libya yang menyebabkan

ditembaknya pesawat AS oleh dua pesawat Libya.

A.S. yang memiliki kekuatan ekonomi besar, melakukan

embargo terhadap Libya sejak tahun 1978 kecuali makanan dan

obat-obatan dan itu pun harus melalui validasi. Khadafi menuduh

A.S. menggunakanekonomi dan sarana politik untuk mengguncang

Libya dan melemahkanposisi internasionalnya. Libya berusaha

untuk membunuh duta besar A.S. di Mesir pada 1978 dan duta besar

Italia pada 1981 (Harris,1986: 99-100) Sebelumnya, di awal era

1970-an ketika Khadafi mulai memimpin Libya, A.S. mulai tidak

menyukai Libya karena penggunaan simbol-simbol Islam untuk

melegitimasi kekuasaan populisnya serta menekan gerakan-gerakan

revolusioner di seluruh wilayah Libya bahkan Afrika. A.S. mulai

terganggu dengan proklamasi Khadafi akan negara Islam (Gerges,

2007:79).

Khadafi juga dianggap sebagai pendukung terorisme

internasional, ia juga dianggap terlibat mendanai Black September

Movement, yaitu gerakan teror pengeboman di Berlin, Jerman pada

bulan Januari 1986.Tiga orang meninggal dan 200 lainnya luka-luka,

sebagian besar korbanadalah warga Amerika Serikat. Hal ini

menyebabkan kemarahan Amerika Serikat, yaitu pada tanggal 15

September 1986 ketika Tentara A.S. menyerang Tripoli dan

Benghazi. Dalam insiden ini mengakibatkan jatuhnya korban 45

72

tentara Libya dan 15 warga sipil meningggal dunia (Tamburaka,

2011:22).

Kemudian pada 1988 terjadi ledakan pesawat Pan Am 103 di

atas kota Lockerbie, Scotlandia. Kecurigaan mengarah pada

Khadafi, akhirnya pada 2001 seorang agen pemerintah Libya

bernama Abdel Basset al-Megrahi dinyatakan bersalah dan pada

2003 Libya mengaku bertanggungjawab dan menyetujui

kompensasi kepada korban (Masruroh, 2012:20).

Kebijakan-kebijakan luarnegeri yang di buat Khadafi

berpengaruh besar terhadap hubungan Libya dengan Afrika dan Arab,

serta hubungan dengan pihak barat. Hubungan Libya dengan Afrika dan

Arab merupakan kepentingan utama untuk Khadafi, sedangkan dalam

hubungannya dengan bangsa barat Khadafi mengatakan ia tidak

membutuhkan sejarah, politik dan teknologi (Harris, 1986:84).

Kebijakan politik luar negeri ini membuat Amerika Serikat menjadi

marah dan melakukan embargo terhadap Libya dan melakukan sanki-

sanksi melalui PBB. Libya mengalami kerugian yang sangat besar akibat

emabargo dan sanksi-sanksi tersebut.

Masa pemerintahan Khadafi merubah peran wanita Libya yang

mana peran wanita pada umumnya mempunyai tugas untuk mengurusi

rumah tangga dan lain sebagainya. Pada kebijakan politik yang dibuat

Khadafi peran wanita diubah menjadi tentara militer pengawal presiden.

Perubahan peran dalam masyarakat Libya tersebut merupakan fenomena

73

yang menarik, nilai-nilai tradisional dari sikap tunduk wanita bersaing

dengan filosofi revosioner (Harris, 1986:33).

Setelah terjadi revolusi dan berhasil menjatuhkan pemerintahan

Khadafi, maka kemudian terjadi perubahan dalam politik di Libya.

Perubahan yang terjadi perubahan dalam politik di Libya. Perubahannya

seperti hilangnya kebijakan luar negeri yang di usung Khadafi untuk

menjaga Libya dari pengaruh barat. Setelah hilangnya kebijakan tersebut

bangsa barat sangat leluasa dan memberikan pengaruh bagi Libya.

Sebagai contoh masuknya NATO ke dalam Libya dengan membawa

kepentingan geopolitik yang berkaitan dengan pergerakan politik di

negara Arab karena Libya masuk politik yang strategis (Rakhmadi,

2011:27).

c. Kondisi dari segi Pemerintahan

Konflik yang terjadi di Libya mendapat pengaruh dari Arab Springs

yang terjadi di negara-negara tetangga Libya. Arab Springs yang terjadi

menuntut perubahan pemerintahan dan kepemimpinan negara masing-masing

yang dinilai terlalu lama masa jabatan mereka padahal mereka merupakan

negara yang dipimpin oleh pesiden. Masyarakat yang terkena efek dari Arab

Springs tersebut melakukan unjuk rasa untuk meminta pergantian

pemerintahan dan kepemimpinan. Unjuk rasa yang dilakukan mendapat

tanggapan yang keras dari pemerintah Libya saat itu. Respon yang diberikan

pemerintah berupa serangan udara yang dijatuhkannya bom-bom di daerah-

daerah terjadinya unjuk rasa. Kemudian terjadilah perang saudara di Libya

antara pemerintah dan pasukan pemberontak.

74

Perang saudara mengakibatkan kerugian dan kematian yang tidak

sedikit ini akhirnya Libya berhasil menjatuhkan Khadafi. Kematian Khadafi

menandai berakhirnya sistem pemerintahan sosialis di Libya. Dewan Transisi

Nasional (NTC) memploklamirkan kemerdekaan pada bulan November

2011. Namun kondisi Libya yang baru saja dilanda peperangan, masih belum

stabil.

Selama Khadafi berkuasa, ia berhasil menjalin hubungan yang baik

dengan beberapa suku besar di Libya. Hubungan tersebut bertujuan untuk

menjaga keseimbangan militer Libya. Akan tetapi Khadafi mempunyai tujuan

tersendiri dibalik hubungannya dengan suku-suku tersebut, yaitu agar suku

berada di pihaknya dan akan di persenjatai.

Sisi lain Libya terancam pecah karena Libya Timur ingin menciptakan

pemerintahan sendiri yang terpisah dari pemerintahan pusat. Hal tersebut

dilakukan sebagai bentuk ancaman kepada pemerintah pusat yang tidak dapat

mempersatukan pemberontak dan kepala suku pasca kematian Khadafi.

Pemerintah tersebut diberi namaBarqa atau Cyrenaica. Pembentukan

pemerintahan baru terjadi di sebuah kota kecil bernama Ajdabiya pada hari

Minggu 3 November 2013. Sebuah stasiun televisi mendukung kelompok

tersebut untuk membentuk pemerintahan baru. Diantara para pemimpin

tersebut ada pemimpin suku pedalaman Ibrahim Jathran, bekas Komandan

Pasukan Pertahanan Petroleum Libya dan Abd-Rabbo Al-Barassu mantan

Komandan Angkatan Udara yang diangkat sebagai Perdana Menteri.

Tahun 2013 Libya dipimpin oleh Mohammed Magriaf. Ia sebgai

presiden baru di negara Libya dalam proses konges pertemuan di PBB

75

meminta maaf kepada semua pihak terhadap kejahatan yang telah dilakukan

Khadafi. Dalam pertemuan tersebut PBB meminta untuk menghapus

diskriminasi kaum perempuan dalam penyusunan UUD yang baru, karena

dengan adanya UUD yang baru maka akan menyelesaikan semua masalah

diskriminasi terhadap wanita. Pada saat yang sama para wanita Libya

meminta kursi perwakilan untuk kaum wanita untuk perencanaan UUD yang

baru.

d. Kondisi dari segi Ekonomi

Pada pemerintahnnya dari segi ekonomi sangat mengalami

kesejahteraan karena sumber daya alam minyak menjadi salah satu sumber

utama dikuasai oleh negara (Harris, 1986:127). Pada tahun 2009 menurut

Wall Stree Journal tanggal 28 Agustus 2009, Libya adalah negara dengan

sumber minyak yang terbanyak di Afrika. Minyak Libya di serahkan kepada

perusahaan-perusahaan minyak yang beberapa diantaranya sudah sangat

terkenal, yaitu British Petroleum, Shell dan Exxo Mobile. Pada tahun 2007,

pemerintah Libya memaksa perusahaan-perusahaan minyak asing untuk

bernegosisi ulang kontrak. Perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak

diharuskan membayar bonus yang sangat besar dan hanya mendapatkan hak

eksplorasi yang sedikit.

Libya mempunyai infrastruktur industri kecil dan persediaan sangat

terbatas serta keterampilan teknologi dan manajerial yang terbatas pula.

Ekonomi Libya sangat lemah mengingat penurunan harga minyak

internasional dan pengganti minyak sebagai sumber pendapatan nasional

belum memadai, hal ini menyatakan bahwa sumber penghasilan utama Libya

76

adalah miyak. Akan tetapi keadaan ekonomi Libya pada masa Khadafi masih

dinilai cukup baik daripada perekonomian saat ini pasca penggulingan

Khadafi. Fenomena tersebut dikarenakan hilangnya mata pencaharian

masyarakat yang bermodalkan pemakaian tanah di Libya secara bebas demi

memenuhi kehidupan masyarakat Libya yang mengalami kerusakan akibat

agresi perang yang terjadi antara pemerintah dengan pasukan revolusi

(Rakhmadi, 2011:107).

e. Kondisi dari segi Keamanan

Pada masa pergerakan revolusi melaan Khadafi, masyarakat libya saat

itu sangat tidak dalam posisi yang aman. Masyarakat Libya merasa tidak

aman terhadap serangan yang dilakukan oleh militer Khadafi terhadap

siapapun yang melawan kebijakan dalam pemerintahannya. Peperangan yang

terjadi antara pemerintah Libya dengan pasukan revolusi Libya sangat

membuat gusar mayarakat sipil. Selain itu, senjata-senjata pasca

penggulingan Khadafi masih dimiliki oleh pasukan revolusioner, kepala

suku, serta milisi bersenjata. Hal tersebut tentunya membuat masyarakat

mengangkat senjata untuk menyuarakan tuntutannya.

Sebagai upaya untuk menjaga keamanan dan dalam rangka menjaga

legitimasi kekuasaan Khadafi, maka pemerintah mengontrol media baik

swasta maupun pemerintah. Partai politik dilarang pada tahun 1972 melalui

Undang-Undang Dasar 1971, pembentukan organisasi non-pemerintah atau

LSM diperbolehkan namun dengan syarat harus sesuai dengan tujuan

revolusi, sehingga jumlahnya sangat kecil bahkan tidak ada. Khadafi juga

membuat rakyatnya bodoh dan mata mereka tertutup. Selama rezim Khadafi,

77

televisi negara menyiarkan tayangan kekejaman terhadap rakyatnya yang

membangkang (Tamburaka, 2011:225).

Keamanan Libya semakin tidak menemui titik aman dikarenakan

terjadi perang antar penguasa pemerintah dengan pasukan revolusi dan milisi

bersenjata. Mereka tidak ingin tunduk pada pemerintah dan tidak ingin ikut

undang-undangnya. Hal ini disebabkan tidak terbiasanya masyarakat dengan

sistem undang-undang yang teratur. Masyarakat Libya memiliki sifat

fanatisme kesukuan, mereka tidak ingin kehilangan senjatanya karena bagi

mereka senjata merupakan cara untuk mencapai kekuasaan.

Adanya kerjasama antara Libya dan NATO yang bertujuan untuk

mencapai keamanan yang stabil. Perdana Menteri Libya Ali Zaidan

melakukan kerjasama dengan NATO guna menciptakan keamanan di Libya.

Bulan Mei 2013, Perdana Menteri Libya Ali Zeidan dan Sekjen NATO

Anders Fogh Rasmussen mengadakan pertemuan di Chicago, Amerika.

Kedatangannya disambut hangat dengan NATO bersedia membantu

menciptakan kestabilan keamanan di Libya. Anders Fogh Rasmussen

mengajukan untuk mendirikan institusi keamanan di Libya. Keadaan

keamanan Libya sampai saat ini masih dibawah pengawasan NATO.

Bagi masyarakat sipil keamanan yang terjadi dengan bantuan NATO

membuat mereka merasa lebih aman, akan tetapi disamping itu tanpa disadari

NATO melakukan intervensi terhadap masyarakat Libya dengan

memanfaatkan alasan keamanan. Maka mereka akan dapat secara perlahan

memberikan pengaruh bagi kehidupan di libaya. Pengaruh tersebut dapat

78

diberikan dalam suatu kondisi dan akan dirasakan perlahan dampaknya oleh

masyarakat di Libya.

Semenjak runtuhnya Khadafi, rasa nasionalisme rakyat Libya turun

drastis. Banyak diantara masyarakat sipil membentuk kelompok dan laskar

militan untuk merebut kekuasaan pemerintah Libya yang baru. Pemerintah

Libya telah mengetahui keadaan rakyat yang terbagi menjadi dua kubu,

diantaranya milisi mayarakat sekuler yang pro-pemerintah dan milisi rakyat

militant Islam yang anti pemerintah. Libya berencana akan memelihara

kelompok sekuler untuk dijadikan “pagar betis” bagi keamanan Libya.

B. Bagaimana bentuk Intervensi NATO di Libya

1. Profil North Atlantic Treaty Organization (NATO)

NATO adalah sebuah organisasi persekutuan di bidang keamanan dan

politik dengan tujuan utama adalah pertahanan kolektif dari semua negara-

negara yang menjadi anggotanya, dan pemeliharaan kedamaian di daerah

Atlantik Utara (NATO, 2010:6). Perjanjian Brussels, yang tercipta di Brussel,

Belgia, atas prakarsa Belgia, Belanda, Prancis, Luksemburg, dan Inggris Raya

pada 17 Maret 1947 dipercaya menjadi awal mula terbentuknya NATO.

NATO merupakan suatu analisa politik dan militer yang anggotanya

terdiri atas 28 anggota Amerika Utara dan Eropa. Yang meliputi Belgia, Prancis,

Kanada, Denmark, Islandia, Italia, Luxembourh, Belanda, Norwegia, Portugal,

Amerika Serikat, Inggris, Yunani, Turki, Jerman, Spanyol, Republik Ceko,

Hongaria, Polandia, Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Rumania, Slovakia,

Slovenia, Albania dan Kroasia (adalah Negara-negara yang menjadi anggota

NATO). Selain itu tujuan NATO adalah melindungi kebebasan dan keamanan

79

negara-negara anggotanya melalui cara-cara politisi maupun militer (Nur,

2012:59). NATO juga berperan penting dalam managemen krisis dan menjaga

perdamaian.

Awal mula pendirian NATO pada 4 April 1949 tersebut tak lepas dengan

ikut campur 12 negara pada saat itu, 5 negara penandatangan Perjanjian Brussels

yaitu Belgia, Belanda, Prancis, Luksemburg, dan Inggris Raya serta 7 negara

pendukung Amerika Serikat, Kanada, Portugal, Italia, Norwegia, Denmark, dan

Islandia (Rimanelli, 2009:67). Berdasarkan Washingthon Treaty atau disebut

juga The North Atlantic Treaty (Frequently, 2009) menyatakan pembentukan

NATO berdasarkan Ayat 51 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Yang isinya

bahwa setiap negara berdaulat memiliki hak untuk membentuk pertahanan

individu maupun kolektif. Prinsip pertahanan kolektif tersebut yaitu

menjelaskan kepada negara anggota NATO wajib untuk melindungi dan

mendukung analis tersebut. Prinsip terbebut juga menjelaskan serangan terhadap

salah satu negara anggota NATO adalah serangan terhadap semua anggota

NATO (Nur, 2012:59). Setiap Negara anggota yang berpartisipasi dalam

kegiatan militer NATO berkontribusi dalam menyumbang pasukan dan

peralatan tempur yang kemudian membentuk struktur militer NATO (2012:60).

Berbagai aset militer NATO tetap berada dibawah kendai masing-masing

Negara anggota hingga dibutuhkan NATO menjada perdamaian. Walaupun

demikian NATO juga memiliki dan mengoperasikan radar pendeteksi

penerbangan (Layuk, 2013:30). NATO dipimpin oleh seorang sekertaris jendral

yang berperan dalam mengkoordinir sebagai tugas analiansi tersebut. NATO

dibentuk sebagai organisasi persekutuan di antara negara-negara pendiri di mana

80

para anggotanya saling membela apabila salah satu dari mereka diserang.

Perjanjian Atlantik Utara sebagai tonggak kelahiran NATO berisi 14 poin

tentang prinsip dan kepercayaan negara-negara pendiri dalam pencapaian tujuan

mereka yaitu kedamaian di antara seluruh manusia dan seluruh negara.

Para anggota setuju bahwa sebuah serangan bersenjata terhadap salah

satu atau lebih dari mereka di Eropa maupun di Amerika Utara akan dianggap

sebagai serangan terhadap semua anggota. Selanjutnya mereka setuju bahwa,

jika serangan bersenjata seperti itu terjadi pada setiap anggota dalam

menggunakan hak untuk mepertahankan diri secara pribadi maupun bersama-

sama seperti yang tertuang dalam Pasal ke-51 dari Piagam PBB, akan membantu

anggota yang diserang jika penggunaan kekuatan semacam itu, baik sendiri

maupun bersama-sama, dirasakan perlu, termasuk penggunaan pasukan

bersenjata, untuk mengembalikan dan menjaga keamanan wilayah Atlantik

Utara (NATO, 2010:5).

Pembentukan NATO sendiri membawa dampak bagi negara-negara

anggota. Hal ini bisa dilihat dari adanya perubahan dalam terminologi, prosedur,

dan teknologi militer, di mana yang paling jelas terlihat adalah negara-negara

anggota dari Eropa mengadopsi penerapan dari Amerika Serikat (Wikipedia, 22

Agustus 2012) yang dianggap sebagai pemilik teknologi militer terdepan dan

kekuatan militer terbesar di antara anggota NATO lainnya Seiring berjalannya

waktu, hal ini membawa negara-negara anggota NATO dalam kerjasama di

bidang persenjataan dan peralatan perang. Perjanjian tersebut

diimplementasikan ke dalam tujuan-tujuan NATO dari 4 bidang utama yaitu

politik, militer, sosial-ekonomi, dan teknologi.

81

Dalam bidang politik, tujuan utama perjanjian ini adalah untuk

meningkatkan persatuan NATO sebagai kunci dari pertahanan dan juga

memperkuat kekuatan poros di mana NATO dikategorikan. Hasil dari perjanjian

ini selama lebih dari 40 tahun NATO adalah program misl Hawk, Sidewinder,

Sea Sparrow, program patroli pesawat maritim Atlantik, program pesawat

tempur multi-peran Tornado, dan program helikopter NATO NH-90 (Layuk,

2013:31). Dalam bidang militer, seperti yang telah dibahas sebelumnya, adalah

adanya penerapan standarisasi perlengkapan militer yang secara langsung

mendukung kemampuan pasukan aliansi dalam berbagai operasi, baik di medan

air, darat, maupun udara. Program ini akan mengambil standar yang paling tinggi

yang bisa dicapai tidak hanya dari segi peralatan, tetapi juga dalam konsep dan

prosedur operasi, sistem komunikasi dan informasi, dan konsumsi di wilayah

operasi (NATO, 1997:905-906).

Penawaran ruang lingkup dan efisiensi sumber daya nasional yang

terbatas menjadi tujuan kerjasama ini pada bidang sosial ekonomi (Layuk,

2013:31). Tujuan dari kerjasama persenjataan dan perlengkapan militer dari

bidang ini juga memberikan batasan bagi negara yang ingin melakukan

pengadaan sumber daya pertahanan agar tetap berpegang pada aturan pasar yang

tetap berkarakter seperti pasar sipil dan sesuai dengan perdagangan komersial.

Tujuan kerjasama yang terakhir adalah dari bidang teknologi, di mana seluruh

negara-negara anggota saling berbagi teknologi agar selalu lebih unggul di

bidang ini dari setiap musuh potensial. Dalam lingkup keamanan dunia yang

baru, NATO lebih sangat bergantung pada teknologi daripada sebelumnya.

Dengan berhasilnya kerjasama di bidang ini, NATO berharap dapat melakukan

82

pengurangan pasukan siaga dan lebih menekankan di pengembangan kekuatan

pendukung militer (NATO, 1997:907-908).

2. Keanggotaan NATO

Pembentukan keanggotaan NATO telah berkembang pesat yang

didirikan pada tanggal 4 April 1949. Terdiri dari 12 negara yaitu Prancis, Belgia,

Inggris Raya, Belanda, Belgia, Luksemburg, Portugal, Denmark, Amerika

Serikat, Italia, Islandia dan Norwegia, saat ini NATO telah memiliki 28 negara

anggota (Layuk, 2013:32). Beberapa negara bahkan adalah negara bekas

anggota fakta Warsawa, pakta pertahanan negara-negara Eropa Timur dan

Balkan bentukan Rusia yang menjadi pihak yang sangat berseberangan dengan

NATO selama masa Perang Dingin dan beberapa tahun setelahnya.

Bergabungnya negara-negara Balkan tersebut disebabkan karena berhasilnya

operasi penciptaan dan penjagaan perdamaian NATO di kawasan Balkan Barat

seperti di Macedonia, yang secara tidak langsung telah mempromosikan “Open

Door Policy” atau Kebijakan Pintu Terbuka NATO bagi negara-negara di

kawasan tersebut (NATO, 2010:22) Kebijakan ini adalah kebijakan NATO yang

memperlihatkan bahwa NATO bersedia untuk menerima negara-negara mana

saja di Eropa yang mau bergabung untuk menciptakan stabilitas dan kerjasama,

guna membangun Eropa yang damai berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi,

apabila memenuhi persyaratan yang tertuang dalam “Membership Action Plan”

atau Rancangan Keanggotaan NATO (2010:34-35).

NATO Member Countries (22 Agustus 2011) menyebutkan beberapa

negara-negara yang kemudian bergabung menjadi anggota NATO yaitu

Hunggaria, Jerman, Rumania, Polandia, Albania, Bulgaria, Slovekia, Ceko,

83

Lithuania, Estonia, Latvia, Kroasia, Slovenia, Spanyol, Yunani, dan Turki.

Negara-negara tersebut bergabung dalam 2 klasifikasi waktu yang berbeda yaitu

pada masa Perang Dingin dan setelah Perang Dingin. Hanya Yunani, Turki,

Jerman (sebagai Jerman Barat), dan Spanyol yang bergabung pada masa Perang

Dingin. Sementara negara-negara anggota lainnya bergabung setelah Perang

Dingin, termasuk Jerman sebagai Jerman Timur.

Negara-negara tersebut, hanya Jerman yang tercatat 2 kali menjadi

anggota NATO. Hal ini disebabkan karena pada saat itu Jerman terbagi atas 2

negara yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur. Sebagai catatan, Prancis juga

pernah menarik semua armada perangnya secara bertahap dari komando militer

NATO pada tahun 1966 (Paul, 2003:2). Sebagai protes terhadap terlalu kuatnya

peranan Amerika Serikat dan Inggris dalam organisasi dan meminta agar Prancis

juga disejajarkan dengan Amerika Serikat dan Inggris dalam struktur organisasi.

Namun Prancis tidak keluar secara resmi dari NATO meskipun markas besar

NATO dipindahkan dari Prancis ke Belgia. Prancis bahkan masih menempatkan

tentaranya di Republik Federal Jerman (Jerman Barat) pada saat itu sebagai

bentuk dukungan untuk pencegahan serangan komunis di Eropa, meskipun di

bawah komando langsung dari Prancis. Melalui beberapa pertemuan dan

pembicaraan rahasia antara pejabat Amerika Serikat dan Prancis, Prancis

akhirnya kembali memasukkan pasukan tentara dan armada perangnya di bawah

komando NATO secara penuh 43 tahun kemudian di bawah pemerintahan

Presiden Nicolas Sarcozy (Layuk, 2013:35).

Perlu dicatat juga bahwa NATO telah menjalin kerjasama dengan Rusia

pada tahun 2002 dengan dibentuknya Dewan NATO - Rusia (2013:36). Dewan

84

ini memungkinkan adanya kerjasama antara negara-negara anggota NATO dan

Rusia untuk bekerjasama dalam masalah keamanan umum. Hal ini sangat

mengejutkan mengingat Rusia yang notabene adalah pihak yang berseberangan

dengan NATO.

Dalam NATO, terdapat komite-komite sebagai berikut: 1). North

Atlantic Council (NAC), 2). Defence Planning Committee (DPC), 3). Nuclear

Planning Group (NPG), 4). Military Committee (MC), 5). Executive Working

Group (EWG), 6). High-Level Task Force on Conventional Arms Control, 7).

Joint Committee on Proliferation (JCP), 8). Politico-Military Steering

Committee/Partnership For Peace, 9.) NATO Air Defence Committee (NADC),

10). Political Committe At Senior Level (SPC), 11). Atlantic Policy Advisory

Group (APAG), 12). Political Committee (PC), 13). NATO Consultation

Command and Control Board (NC3B), 14). NATO Air Command and

Control System (ACCS) Management Organisation (NACMO) Board of

Directors, 15). Mediteranian Cooperation Group (MCG), 16). Verification

Coordinating Committee (VCC), 17). Policy Coordination Group (PCG), 18).

Defence Review Committee (DRC), 19). Conference of National Armaments

Directors (CNAD), 20). NATO Committee for Standardisation (NCS), 21).

Infrastructure Committee, 22). Senior Civil Emergency Planning Committee

(SCEPC), 23). Senior NATO Logisticians Conference (SNLC), 24). Science

Committee (SCOM), 25). Committee On Challenges of Modern Society

(CCMS), 26). Civil and Military Budget Committee (CBC/MBC), 27). Senior

Resource Board (SRB), 28). Senior Defence Group on Proliferation (DGP), 29).

High Level Group (HLG), 30). Economic Committee (EC), 31). Committee on

85

Information and Cultural Relations (CICR), 32). Council Operations and

Exercises Committee (COEC), 33). NATO Air-Traffic Management Committee

(NATMC), 34). NATO Pipeline Committee (NPC), 35). Central European

Pipeline Management Organisation Board of Directors (CEPMO/BOD), 36).

NATO Security Committee (NSC), 37). Special Committee, 38). Euro-Atlantic

Partnership Council (EAPC), 39). NATO-Russia Permanent Joint Council

(PJC), 40). NATO-Ukraine Commission (NUC), 41). Mediterranean

Cooperation Group (MCG).

Dalam seluruh komite tersebut, masing-masing negara anggota memiliki

perwakilan yang akan mewakili mereka dalam pengambilan keputusan pada

tiap-tiap komite tersebut. Dalam beberapa komite khusus, bukan hanya negara-

negara anggota yang menjadi bagian dari komite tersebut tapi juga negara-

negara yang terikat kerjasama dengan komite tersebut, seperti dalam NATO-

Russia Permanent Joint Council (PJC) dan NATO-Ukraine Commision (NUC).

Negara-negara tersebut juga dilibatkan sepenuhnya dalam pengambilan

keputusan komite tersebut (Marco, 2009:671-687).

3. Keputusan NATO

Dalam keputusan NATO, segala pengambilan keputusan dilaksanakan

berdasarkan konsensus (Consensus Decision-Making at NATO, 24 Agustus

2012) atau persetujuan umum di antara semua negara-negara anggota. Meskipun

konsensus merupakan prinsip dasar dalam pengambilan keputusan NATO dan

telah digunakan sejak pertama kalinya dilakukan pengambilan keputusan,

konsensus ini sendiri tidak dicantumkan atau dijelaskan dalam Piagam Atlantik

(Uwe, 2007:3) sebagai dasar pengambilan keputusan dalam NATO. Dalam

86

Perjanjian Atlantik Utara hanya disebutkan konsultasi antar sesama anggota

NATO sebagai setiap awal dalam setiap kegiatan kebijakan keamanan resmi.

Konsensus juga tetap diterima dengan baik oleh negara-negara anggota

walaupun memakan banyak waktu sebagai satu-satunya cara pengambilan

keputusan dalam organisasi sebesar NATO.

Akan tetapi, sistem konsensus harus dibedakan dari sistem kebulatan

suara. Meskipun dalam sistem konsensus kebulatan suara juga menjadi indikator

utama, terdapat perbedaan yang sangat jelas yaitu dimana dalam sistem

kebulatan suara akan pada akhirnya akan dilakukan voting dan dan suara

terbanyak yang akan diikuti atau ditetapkan, sedangkan dalam konsensus, tiap

negara yang tidak sependapat dengan keputusan yang dihasilkan dapat

mengajukan keberatan. Bila hal ini terjadi, akan dilakukan keputusan yang ada

akan ditinjau dan didiskusikan ulang sebelum akhirnya diambil keputusan akhir

(Layuk, 2013:37). Dalam sistem ini, setiap dewan atau komite yang berkaitan

berperan sangat besar dalam penghasilan keputusan akhir.

Dalam sistem ini, tidak ada negara anggota yang bisa dipaksa untuk

menyetujui sebuah keputusan yang berseberangan dengan negara tersebut atau

melakukan hal yang tidak diinginkan oleh negara tersebut. Hal ini merujuk pada

struktur NATO sebagai suatu aliansi dari negara-negara yang merdeka dan

berdaulat (Uwe, 2007:5). Oleh sebab itu, dalam proses pengambilan keputusan

NATO, konsultasi antar sesama negara anggota menjadi sangat penting karena

dengan adanya proses ini, perwakilan negara-negara anggota NATO tersebut

memiliki waktu untuk mempertimbangkan keputusan yang akan diambil yang

pastinya harus sesuai dengan tujuan politik tiap-tiap negara anggota. Dalam

87

proses konsultasi ini juga, para perwakilan negara-negara anggota tersebut akan

menggunakan waktu ini untuk menarik perhatian perwakilan negara anggota lain

yang bisa mempengaruhi keputusan yang dihasilkan (Uwe, 2007:4).

Konsep proposal yang merupakan dasar dari hampir semua keputusan

yang diambil dalam NATO akan dibagikan kepada semua negara anggota oleh

Sekretaris Jenderal NATO yang mengepalai Dewan Atlantik Utara. Konsep

proposal ini dapat diajukan oleh Sekretaris Jenderal NATO itu sendiri atau bisa

pula berasal dari negara-negara anggota. Konsep proposal ini kemudian akan

dibahas melalui konsultasi baik secara bilateral ataupun multilateral dalam

berbagai forum (Leo, 2003:1). Jika telah melalui tahap ini dan ada negara

anggota yang mengajukan keberatan maka Sekretaris Jenderal NATO atau

Ketua Dewan atau komite yang berkaitan dapat membagikan kembali konsep

proposal tapi dalam “Silent Procedure” (2003:1) atau prosedur hening. Prosedur

ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perdebatan dari pihak yang pro dan

pihak yang kontra dengan kebijakan yang akan diambil. Apabila tidak ada

negara yang mengajukan keberatan kepada Sekretaris Jenderal NATO atau Staf

Internasional yang bertugas mencatat keberatan dari negara-negara anggota

sebelum tenggang waktu yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal NATO atau

Ketua Dewan atau komite yang berkaitan, maka konsep proposal itu akan

dianggap telah disetujui. Namun apabila ada satu negara anggota atau lebih yang

mengajukan keberatan, maka konsep proposal akan dikembalikan ke dewan atau

komite yang berkaitan untuk dilakukan perbaikan guna mencapai konsensus.

Sebagai catatan, dalam NATO terdapat peraturan dimana negara-negara yang

mengajukan keberatan tidak akan diumumkan oleh NATO ke publik (Layuk,

88

2013:39).Dalam kasus di Libya, Layuk (2013:40) juga menambahkan bahwa

dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1970 dan No. 1973

mengenai penjatuhan sanksi dan pengesahan intervensi militer sebagai upaya

penghentian kekerasan yang terjadi di Libya dilakukan berdasarkan voting

dalam Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara yang terdiri atas 5

negara anggota tetap (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina) dan

10 negara anggota tidak tetap (Bosnia Herzegovina, Kolombia, Libanon,

Nigeria, Portugal, India, Jerman, Brazil, Gabon, dan Afrika Selatan). 10 dari

negara-negara tersebut menyetujui dilakukannya intervensi dan 5 lainnya yaitu

Cina, India, Rusia, Jerman, dan Brazil menyatakan abstain.

Dewan Keamanan PBB segera mengeluarkan Resolusi Dewan

Keamanan PBB No. 1973 segera setelah pemungutan suara tersebut

mengeluarkan hasil. Resolusi ini sebagai bentuk otorisasi dilakukaknnya

intervensi militer oleh negara-negara anggota PBB di Libya sebagai upaya

terakhir menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di negara tersebut, dengan

bekerjasama penuh dengan Dewan Keamanan PBB sebagai akibat dari sikap

tidak peduli dengan pemerintah Libya atas sanksi embargo melalui Resolusi

Dewan Keamanan PBB No. 1970 terhadap mereka (2013:40).

4. Tujuan NATO di Libya

Sejak didirikan secara resmi di Wahington D.C. pada 9 April 1949,

NATO telah mengusung tujuan bersama dari para negara-negara anggotanya

yaitu sebagai koalisi pertahanan bersama (dari serangan negara-negara pro-

komunis) dan untuk menjaga kedamaian di area Atlantik Utara (NATO, 2010:6).

Selain itu juga sebagai pencegahan munculnya negara-negara baru yang

89

menggunakan sistem militerisme nasional seperti Jerman pimpinan Hitler, dan

mengembangkan kerjasama di bidang politik (Aboutuseconomy.com, 12

Agustus 2012).

Selama Perang Dingin, kekuatan militer negara-negara pro-komunis di

Eropa juga semakin berkembang dan membentuk Pakta Warsawa. NATO

melihat ini sebagai potensi besar akan terjadinya perang dalam skala besar bila

dibiarkan. Hal inilah yang kemudian membuat NATO mengembangkan

tujuannya yaitu untuk mencegah terjadinya perang nuklir. Dalam pencapaian

tujuan ini, NATO mengambil kebijakan “Massive Retaliation”

(Aboutuseconomy.com, 12 Desember 2015) yaitu kebijakan yang

memperbolehkan NATO menggunakan seluruh kekuatan nuklir mereka bila

Pakta Warsawa menyerang. Pengambilan kebijakan ini dengan tujuan untuk

membuat negara-negara Pakta Warsawa untuk berpikir sebelum menyerang

negara-negara anggota NATO dan memungkinkan negara-negara Eropa untuk

berkonsentrasi mengembangkan ekonomi mereka daripada membangun

kekuatan militer dalam skala besar.

Setelah 63 tahun berdiri, tujuan NATO saat ini sudah sangat berkembang.

Peristiwa 9/11 adalah peristiwa dimana Amerika Serikat sebagai salah satu

anggota dewan tertinggi NATO diserang oleh teroris yang secara langsung

memberikan NATO alasan untuk bisa mengambil tindakan militer. Pemicunya

adalah salah satu anggotanya mendapat serangan dari luar, seperti yang

dijelaskan dalam poin ke-5 dalam Perjanjian Atlantik Utara sekaligus menjadi

poin terpenting pembentukan NATO yaitu:

90

“Para anggota setuju bahwa sebuah serangan bersenjata terhadap

salah satu atau lebih dari mereka di Eropa maupun di Amerika Utara

akan dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota. Selanjutnya

mereka setuju bahwa, jika serangan bersenjata seperti itu terjadi setiap

anggota dalam menggunakan hak untuk mepertahankan diri secara

pribadi maupun bersama-sama.” (Leo, 2003:5).

Sejak saat itu, perang melawan terorisme menjadi salah satu tujuan

utama NATO. Sebanyak 84.000 tentara di kirim ke Afghanistan dalam rangka

menjalankan tujuan ini yang bukan hanya dari negara-negara anggota NATO

tetapi juga melibatkan 12 negara non-anggota NATO dan menjadikan operasi di

Afghanistan sebagai operasi militer terbesar NATO. Selain perang melawan

terorisme, NATO juga bertujuan untuk berpartisipasi dalam keamanan dan

perdamaian dunia dengan bekerjasama dengan negara-negara yang bukan

anggota NATO, operasi penanganan negara-negara yang mengalami krisis

seperti di Libya, dan pengendalian ancaman senjata pemusnah masal (Layuk,

2013:46).

Pengembangan tujuan NATO dititikberatkan pada penciptaan dan

penjagaan perdamaian. Penciptaan dan penjagaan perdamaian ini

memungkinkan NATO melakukan intervensi dalam krisis suatu negara bila

diperlukan. Selain dari itu, NATO juga cenderung menjadi lebih mendunia

dalam tujuan penciptaan dan penjagaan perdamaiannya, dimana operasi mereka

tidak hanya dalam lingkup Atlantik Utara. Pengembangan tujuan dan lingkup

operasi NATO dapat dilihat dari beberapa operasi NATO di bawah ini:

91

a. Operasi anti-terorisme NATO di Afghanistan sebagai reaksi terhadap

serangan tanggal 11 September 2001 ke Amerika Serikat. Operasi ini

merupakan operasi militer terbesar NATO. Operasi ini dimulai pada tahun

2001 hingga saat ini (NATO, 2010:18-19).

b. Intervensi militer NATO di Kosovo yang ditujukan untuk menghentikan

tindakan represif Yugoslavia terhadap Kosovo. Operasi ini dimulai dengan

serangan udara terhadap infrastruktur militer dan paramiliter Yugoslavia pada

bulan Maret 1999. Serangan ini berlangsung selama 78 hari dan berhasil

membuat Yugoslavia menghentikan serangannya dan menarik pasukannya

dari daerah Kosovo. NATO kemudian menempatkan 5000 pasukannya

sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian di Kosovo. Pada bulan

Agustus 2011, NATO kembali mengirimkan 600 orang pasukan sebagai

tambahan untuk pasukan penjaga perdamaian di Kosovo seiring dengan

kembali maraknya pertikaian di utara Kosovo (2010:20-21).

c. Operasi NATO pada tahun 2001 di Macedonia adalah untuk pelucutan senjata

separatis etnis Albania yang terus melakukan serangan-serangan bersenjata

di Macedonia. Operasi yang berlangsung selama 30 hari ini dilangsungkan

atas permintaan resmi dari Presiden Macedonia. Dalam operasi ini, NATO

mengirimkan sebanyak 3.500 orang tentara yang akan melakukan tugas

pelucutan senjata di camp-camp sukarela. Setelah operasi ini berakhir,

Pemerintah Macedonia meminta agar NATO tetap menempatkan pasukannya

di sana untuk perlindungan bagi pengawas dari Uni Eropa yang dikirim untuk

memantau keadaan paska pelucutan senjata di Macedonia. Operasi NATO di

92

Macedonia berakhir pada bulan Maret 2003 setelah Uni Eropa mengambil

alih (NATO, 2010:21-22).

d. Operasi NATO di Irak yang dimulai pada tahun 2004 adalah pelatihan militer

standar NATO bagi anggota militer Irak. Operasi ini bertujuan untuk

menyiapkan militer Irak yang baru untuk dapat menjalankan penjagaan

kedamaian di wilayahnya sendiri sepeninggal NATO dan pasukan koalisi

pimpinan Amerika Serikat nantinya. Dalam pelatihan ini, NATO telah

melatih sekitar 15.200 personil militer Irak. Operasi ini berakhir pada tanggal

31 Desember 2011 (2010:24).

e. Pengawasan penerapan zona larangan terbang, intervensi militer, dan

penjagaan perdamaian adalah 3 bagian dari operasi NATO di Bosnia

Herzegovina yang berlangsung dari tahun 1992 hingga tahun 2004. Operasi

ini ditujukan untuk menekan serangan Bosnia etnis Serbia terhadap etnis lain

di Bosnia Herzegovina. Dimulai dengan pengawasan penerapan zona

larangan terbang pada tahun 1992, yang kemudian berubah menjadi

intervensi militer karena tidak adanya itikad baik dari pimpinan-pimpinan

Bosnia etnis Serbia untuk menghentikan serangan dan berdamai. Serangan

udara yang dilancarkan NATO terhadap pasukan Bosnia etnis Serbia pada

bulan Agustus dan September tahun 1995, berhasil memaksa para pemimpin

Bosnia etnis Serbia untuk menerima perjanjian perdamaian. Bulan Desember

tahun yang sama, pasukan penjaga perdamaian pimpinan NATO tiba di

Bosnia Herzegovina. Tahun 1996 penjagaan perdamaian dilanjutkan dengan

tibanya pasukan pengganti yang tidak hanya berasal dari negara-negara

NATO tetapi dari 43 negara termasuk Rusia. Tanggal 2 Desember 2004,

93

pasukan Uni Eropa mengambil alih tugas penjagaan perdamaian namun tetap

dibantu oleh pasukan NATO (NATO, 2010:19-20).

f. Sejak tanggal 17 Agustus tahun 2009, NATO meluncurkan operasi anti-

perompak/bajak laut di Teluk Aden dan Samudera Hindia. Dalam operasi ini

NATO melibatkan kapal-kapal perang Amerika Serikat dan beberapa pesawat

tempur untuk patroli di kawasan tersebut. Operasi tersebut bernama operasi

“Ocean Shield”. Dalam operasi ini NATO juga memberikan pelatihan bagi

negara-negara di kawasan tersebut untuk mengembangkan kemampuannya

melawan perompak/bajak laut (2010:23-24).

g. Operasi NATO di Laut Mediterania dimulai pada tanggal 6 Oktober tahun

2001. Operasi ini adalah sebagai bagian dari operasi anti-terorisme setelah

peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Operasi ini ditujukan untuk membendung

aktivitas terorisme yang melalui atau terjadi di sekitar Laut Mediterania

(2010:23).

Selain itu NATO juga mempromosikan demokrasi (Rebecca, 2007:55)

dengan harapan dapat menciptakan stabilitas di negara-negara yang dibantu

NATO dalam penanganan krisis. NATO juga akan meyakinkan negara-negara

yang dibantunya untuk menerima norma-norma baru yaitu norma-norma

demokrasi bagi negara-negara yang mau menerima penerapan sistem demokrasi

(2007:69-70) dari NATO di wilayah mereka.

5. Bentuk Intervensi NATO diLibya

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1970 dan 1973 merupakan bentuk

dari langkah tegas PBB menyikapi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi

di Libya. Setelah melalui berbagai cara non-militer seperti seruan, himbauan,

94

peringatan keras, dan sejumlah sanksi, tidak berhasil, PBB kemudian

mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 yang mengotorisasi

pelaksanaan operasi militer di Libya dalam rangka intervensi humanitarian di

Libya agar Khadafi menghentikan penggunaan aset militer terhadap rakyatnya

sendiri (Layuk, 2013:46).

Rebecca, (2007:75) Setelah dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan

PBB No. 1970, Khadafi dan pasukannya sama sekali tidak menghentikan

penggunaan kekuatan militer untuk melawan rakyatnya sendiri. Hal ini membuat

intervensi dengan penggunaan kekuatan militer menjadi upaya terakhir. Akan

tetapi, dalam memutuskan pelaksanaan intervensi militer PBB tidak serta-merta

mengeluarkan resolusi. Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara

yang terdiri atas 5 negara anggota tetap (Amerika Serikat, Inggris, Prancis,

Rusia, dan Cina), akhirnya mengadakan voting dan dari 10 negara anggota tidak

tetap (Bosnia Herzegovina, Kolombia, Libanon, Nigeria, Portugal, India,

Jerman, Brazil, Gabon, dan Afrika Selatan) 10 dari negara-negara tersebut

menyetujui dilakukannya intervensi dan 5 lainnya yaitu Cina, India, Rusia,

Jerman, dan Brazil menyatakan abstain.

Hasil tersebut, membuat Dewan Keamanan PBB segera mengeluarkan

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 yang mengotorisasikan

dilakukaknnya intervensi militer oleh negara-negara anggota PBB di Libya

sebagai upaya terakhir menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di negara

tersebut, dengan bekerjasama penuh dengan Dewan Keamanan PBB. Secara

umum, resolusi tersebut memberikan kebebasan menempuh jalur apapun yang

dibutuhkan untuk melindungi warga sipil dan daerah yang dihuni oleh warga

95

sipil dari segala bentuk ancaman dari pasukan pro-Khadafi. Operasi ini meliputi

penetapan zona larangan terbang di atas Libya hingga pengawasan perairan

Libya. Hal ini dimaksudkan untuk menghentikan penggunaan pesawat tempur

oleh Khadafi untuk menyerang rakyat sipil dan pemberontak, mencegah

masuknya penambahan kekuatan militer bagi Khadafi yaitu tentara bayaran dari

luar Libya, juga untuk menghalau masuknya persenjataan ke Libya sekaligus

menegaskan penerapan embargo militer atas Libya. Sekjen PBB, Ban Ki-Moon

menyatakan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 sebagai bentuk

pelaksanaan tanggung jawab dari berbagai komunitas internasional untuk

melindungi warga sipil dari kekerasan oleh pemerintahannya sendiri (UN News

Centre, 25 Desember 2015).

Dua hari setelah Resolusi Dewan Keamanan PBB dikeluarkan, yaitu

pada tanggal 19 maret 2011, pasukan koalisi dari 3 negara dibawah pimpinan

Amerika Serikat yaitu Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris memulai operasi

militer mereka. Masing-masing negara memiliki nama kode masing-masing bagi

operasinya. Amerika Serikat memakai nama kode “Odissey Dawn” sekaligus

sebagai nama kode operasi kesatuan, Prancis dengan nama “Operation

Harmattan”, dan Inggris dengan nama “Operation Ellamy”. Dalam hari pertama

operasi ini, Prancis membawa armada sebanyak 20 pesawat tempur Mirage dan

Rafale, kapal induk Charles de Gaulle yang membawa 26 pesawat tambahan 16

di antaranya adalah pesawat tempur, dan 4 kapal perang pengawal. Sedangkan

dari Inggris, sebuah kapal selam yaitu HMS Triumph dan 1 kontingen pesawat

tempur Tornado GR4 (Jeremiah, 2011:17-19).Amerika Serikat sendiri

membawa 2 kapal perang yaitu USS Barry dan USS Trout, 3 kapal selam, dan

96

15 pesawat termasuk B-2 Spirit Bomber dan 4 AV-8B Harriers(America’s Navy,

25 Desember 2015) Selama jalannya misi ini, armada negara-negara ini terus

bertambah.

Operasi ini dibuka dengan serangan pesawat tempur Prancis, yang

menyatakan kesiapannya untuk turun dalam operasi ini setelah pelaksanaan KTT

22 negara di Paris yang membahas masalah Libya, atas pasukan pro-Khadafi

yang berusaha kembali memasuki Benghazi. Kapal-kapal perang Amerika

Serikat yang telah disetujui keterlibatannya oleh Barrack Obama dalam sebuah

pidato resmi di Brazil yang disiarkan secara resmi ke seluruh Amerika Serikat

(Deutsche Welle, 25 Desember 2015), dan juga kapal-kapal perang Inggris

memberikan bantuan dengan menembakkan rudal-rudal Tomahawk dengan

sasaran ke aset-aset pertahanan Libya, utamanya sistem pertahanan udara Libya.

Keterlibatan Inggris sendiri dalam operasi ini tidak lepas dari keputusan PM

Inggris yang menyatakan siap menurunkan pasukan untuk mendukung

keberhasilan misi ini untuk menerapkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.

1973.

Hasil dari penyerbuan pertama ini adalah hancurnya 5 kendaraan lapis

baja pasukan pro-Khadafi dalam serangan pertama jet tempur Prancis. Armada

udara Prancis juga berhasil menerapkan zona larangan terbang di atas Benghazi

dan sekitarnya di wilayah timur Libya pada akhir misi Odissey Dawn pada

tanggal 31 Maret 2001. Selama misi ini berlangsung, tidak ada pesawat Amerika

Serikat yang digunakan, baik untuk misi pengintaian maupun penyerangan

(Global Security, 25 Desember 2015). Selama misi ini berlangsung, negara-

97

negara lain seperti Kanada, Italia, Belgia, Qatar, dan Arab Saudi juga ikut ambil

bagian dalam operasi ini.

Berakhirnya operasi Odissey Dawn, bukan berarti berakhirnya intervensi

militer di Libya. Pada 31 Maret 2011, seluruh komando intervensi militer di

Libya di bawah komando NATO dan diberi nama kode “Unified Protector”.

Selain negara-negara yang telah lebih dulu melakukan intervensi militer

dibawah pimpinan Amerika Serikat, beberapa negara anggota NATO lainnya

kemudian juga bergabung dalam misi ini yaitu, Bulgaria, Denmark, Yunani,

Belanda, Norwegia, Rumania dan Spanyol, serta beberapa negara non-anggota

NATO tetapi menjadi partner tetap NATO seperti Swedia, Turki, dan Yordania

(IISS, 2011 Operation Unified Protector 16 September 2015).

Operasi Unified Protector memiliki 3 tujuan utama, yaitu pemberlakuan

zona larangan terbang, permberlakuan embargo militer, dan perlindungan

terhadap rakyat sipil. Dalam pelaksanaannya ke-3 misi tersebut dilaksanakan

secara berkelanjutan, mulai dari intervensi pasukan koalisi pimpinan Amerika

Serikat hingga NATO mengambil alih pimpinan komando. Misi pertama adalah

penerapan embargo militer bagi Libya yang dimulai pada 23 Maret 2011, juga

menandai misi pertama NATO dalam krisis di Libya, lalu penerapan zona

larangan terbang pada 25 Maret dan misi perlindungan untuk warga sipil yang

dimulai pada saat NATO mengambil alih komando secara penuh. Pelaksanaan

misi ini, NATO membaginya menjadi 2 kategori misi yaitu dengan penggunaan

kekuatan militer udara dan pengguanaan kekuatan militer laut (NATO,

Operation Unified Protector Fact Sheet 1 Mei 2015).

98

Dalam pelaksanaan misi pertama, NATO melibatkan 25 kapal perang

maupun kapal selam dan 50 pesawat berbagai jenis. Seluruh aset NATO tersebut

bertugas untuk berpatroli di laut Libya dan mencegah masuknya kapal yang akan

membawa senjata ataupun pasukan tentara bayaran untuk Khadafi (Layuk,

2013:49). Selama operasi Unified Protector berlangsung, misi ini berhasil

menangguhkan izin transit 11 kapal yang akan menuju ke Tripoli atau keluar

dari Tripoli karena muatannya yang dianggap berbahaya (NATO, Operation

Unified Protector Fact Sheet 1 Mei 2015). Dalam pelaksanaan misi yang kedua

dan ketiga yaitu penerapan zona larangan terbang dan perlindungan warga sipil,

NATO mulai mengambil alih pada tanggal 25 Maret dan kemudian secara penuh

pada 31 Maret 2011 dan menandai dimulainya pelaksanaan misi ketiga.

Misi dengan penggunaan kekuatan udara ini bertujuan untuk mencegah

atau menetralisir pesawat lain selain pesawat pasukan NATO yang masuk dalam

zona larangan terbang dan menghancurkan pertahanan pasukan Libya, terutama

rudal-rudal anti pesawat Libya yang bisa membahayakan pesawat NATO. Misi

tersebut berpatroli dalam rangka penetapan zona larangan terbang, dan untuk

menghancurkan target-target militer yang dinilai membahayakan warga sipil

Libya (Layuk, 2013:50).Tercatat lebih dari 26.500 kalipenerbangan selama misi

operasi “Unified Protector” berlangsung dan lebih dari 9.700 diantaranya yang

dilakukan dalam rangka serangan udara, selebihnya adalah misi pengintaian dan

lain-lain. Melalui misi ini pulalah NATO berhasil memasukkan lebih dari 2.500

bantuan kemanusiaan melalui udara, darat, dan laut bagi warga sipil Libya.

Dalam pelaksanaan operasi Unified Protector, NATO menggunakan 25

buah kapal berbagai jenis dan sekitar 260 pesawat dengan berbagai jenis dan

99

melibatkan lebih dari 8.000 tentara. Lebih dari 5.900 target militer sah

dihancurkan. Lebih dari 400 artileri dan peluncur roket serta lebih dari 600 tank

dan kendaraan lapis baja yang hancur termasuk di dalamnya (2013:50).

Sementara NATO sendiri kehilangan 1 orang anggota yaitu pilot dari angkatan

udara Inggris yang pesawatnya mengalami kesalahan teknis dan jatuh di

pangkalan udara militer NATO di Napoli, Italia. NATO diperkirakan

menghabiskan dana sekitar 800.000 Euro perbulannya untuk staff di markas

utama selama operasi karena adanya penambahan staff, belum lagi pelaksanaan

di lapangan yang menelan biaya sekitar 5,4 juta Euro (NATO, Operation Unified

Protector Fact Sheet 1 Mei 2015). Selain biaya tersebut di atas, biaya juga

dikeluarkan oleh beberapa negara yang ikut dalam operasi ini seperti Amerika

Serikat, Inggris, dan Prancis. Operasi Unified Protector secara resmi dihentikan

pada tanggal 31 Oktober 2011 (Canada, 25 Desember 2015) melalui Resolusi

Dewan Keamanan PBB No. 2016 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Oktober

201197 dan pernyataan resmi Sekjen NATO, Anders Fogh Rasmussen (NATO,

2011 Secretary General Statement On End of Libya Mission 25 Desember 2015).

Operasi terhitung selesai sejak keberhasilan pasukan pemberontak menduduki

Kota Sirte yang menjadi basis pertahanan terakhir dan terkuat militer pro-

Khadafi pada tanggal 20 Oktober 2011. Namun NATO memutuskan untuk tetap

berada di Libya untuk memantau dan menjaga kondisi keamanan di Libya

hingga adanya mandat resmi untuk keluar dari Libya oleh Dewan Keamanan

PBB.

Intervensi militer NATO di Libya juga bisa dikatakan operasi penciptaan

perdamaian karena bisa dibedakan dengan perang konvensional. Operasi

100

semacam ini pasukan yang akan dikirim untuk melakukan operasi memang harus

bersiap menghadapi segala kemungkinan perang di wilayah tugas, sama seperti

pasukan yang akan dikirim untuk perang konvensional. Namun, ada 4 prinsip

yang seringkali digunakan untuk membedakan perang konvensional dengan

operasi penjagaan perdamaian atau penciptaan perdamaian (Theo, 2002:299).

Hal ini karena ke-4 prinsip dasar tersebut menjadi problematis bila

diimplementasikan ke dalam perang dalam rangka intervensi humanitarian atau

operasi penciptaan perdamaian. Ke-4 prinsip tersebut adalah tujuan, kesatuan,

penggunaan kekuatan militer yang besar, dan elemen kejutan.

Prinsip ke-1 tujuan perang tradisional yang berbeda dengan perang

humanitarian membuat beberapa hal menjadi berbeda. Contohnya seperti dalam

hal pemilihan sasaran serangan. Dalam perang konvensional akan lebih mudah

memilih target serangan, tidak seperti dalam intervensi militer yang harus

memilih target berdasarkan target yang telah ditentukan di dalam mandat Dewan

Keamanan PBB (bila yang mengotorisasi intervensi adalah PBB). Apabila

intervensi militer dilakukan dengan sendirinya oleh suatu negara secara

individual atau koalisi maka sasaran akan ditentukan dalam mandat dari

pemerintah negara-negara yang ikut serta dalam intervensi tersebut. Intervensi

NATO di Libya, sasaran operasi NATO telah ditentukan oleh PBB hanya untuk

target-target aset militer Khadafi agar tidak lagi bisa menyerang rakyatnya

sendiri dengan kekuatan militer Libya (Layuk, 2013:53).

Prinsip ke-2 adalah kesatuan. Kesatuan digambarkan sebagai kesatuan

komando atau perintah. Hal ini sangat berperan penting dalam perang karena

dengan adanya hal ini maka kesalahan dalam koordinasi pergerakan pasukan

101

bisa dihindari. Prinsip ini bisa dikatakan sebagai kunci dari kesuksesan sebuah

operasi militer dan bukan penerapannya tidak hanya terpaku pada perang

konvensional semata. Akan tetapi, dalam intervensi militer yang biasanya

dilakukan oleh berbagai negara, prinsip ini sangat jarang diterapkan karena

setiap negara yang ikut dalam sebuah intervensi militer multilateral, mereka akan

tetap dibawah komando penuh dari negaranya masing-masing dan negara-negara

besar yang ikut dalam suatu operasi militer semacam ini juga membawa arogansi

yang besar mengenai masalah struktur komando (2013:53).

Dalam intervensinya di Libya, NATO mencoba mengupayakan

terlaksananya prinsip ini dengan mengambil alih secara penuh komando operasi

Unified Protector. Hal ini disebabkan karena NATO mengambil pelajaran

penting dari beberapa intervensi militer humanitarian sebelumnya seperti di

Somalia dan Sierra Leone. Dalam kasus di Somalia, kontingen Amerika Serikat

menempatkan 54 pasukannya di bawah PBB akan tetapi tidak demikian dengan

struktur komandonya. Pasukan Amerika Serikat tetap berada dibawah komando

penuh negaranya. Tragedi terburuk dalam sejarah intervensi humanitarian terjadi

karena pasukan Amerika Serikat melakukan operasi militer untuk menangkap

orang-orang dekat Mohammed Farrah Aidid yang dipercaya sebagai kunci

dalam kekacauan di negara itu. Tanpa koordinasi dengan kontingen dari negara

lain, 18 tentara Amerika Serikat tewas pada operasi pada tanggal 3 Oktober 1993

tersebut. Sedangkan dalam kasus di Sierra Leone, komandan dari kontingen

India, Zambia, dan Nigeria berselisih paham karena adanya perbedaan perintah

dari negara masing-masing.

102

Beberapa negara yang ambil bagian dalam operasi Unified Protector

masih berada di bawah komando negaranya akan tetapi untuk operasional misi

sepenuhnya berada di bawah komando NATO yang berarti tidak ada misi yang

berjalan tanpa otorisasi dari komando tertinggi NATO. Dalam operasi Unified

Protector, komando tertinggi dipegang langsung oleh Sekjen NATO Anders

Fogh Rasmussen dari Markas Besar NATO di Belgia lalu turun ke Supreme

Allied Commander Europe atau SACEUR yang merupakan komando strategis

militer tertinggi NATO yaitu Laksamana James A. Stavridis dari angkatan laut

Amerika Serikat 100 yang bermarkas di Mons, Belgia (NATO, 2012 Command

Structure of Operation Unified Protector 25 Februari 2015). Setelah dari

SACEUR barulah turun langsung ke Letnan Jenderal Charles Bouchard dari

Kanada sebagai komandan pasukan koalisi dalam operasi Unified Protector di

Napoli, Italia (NATO,2012 Operation Unified Protector Command and Control

16 Agustus 2015).

Prinsip ke-3 adalah penggunaan kekuatan militer yang besar. Dalam

perang konvensional, prinsip ini digunakan untuk dapat meraih kemenangan,

bahkan apabila bisa semua kekuatan militer harus dikerahkan. Akan tetapi dalam

intervensi humanitarian, penggunaan kekuatan besar sangat bertentangan

dengan syarat melakukan intervensi itu sendiri. Penggunaan kekuatan militer

dalam suatu intervensi humanitarian harus disesusaikan dengan kondisi yang

dibutuhkan dan bila perlu seminimal mungkin. Dalam operasi Unified Protector

bila dilihat secara sepintas dengan jumlah armada yang dikerahkan, prinsip ini

mungkin akan diterapkan oleh NATO dalam menghancurkan pasukan pro-

Khadafi. Apalagi dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 telah

103

ditetapkan bahwa segala upaya dapat dilakukan untuk memastikan warga sipil

tidak lagi diserang oleh pasukan pro-Khadafi. Akan tetapi perlu diingat bahwa

dari sekitar 260 buah pesawat dan 25 buah kapal dan 8.000 orang tentara yang

dikerahkan NATO dalam misi ini tidak semuanya untuk langsung

menghancurkan kekuatan militer Khadafi. Sejumlah pesawat dari seluruh

jumlah tersebut tetap dipangkalan sebagai pesawat cadangan bila eskalasi

operasi meningkat. Sama halnya dengan tentara yang diterjunkan, sebagian

besar hanya untuk pendukung operasi dan tentara yang dipersiapkan apabila

diperlukan adanya penggunaan personil untuk misi di darat yang mana di dalam

operasi Unified Protector sama sekali tidak dilakukan karena hanya

menggunakan kekuatan militer udara dan laut. Sedangkan untuk kekuatan

militer laut, sebagian dari 25 kapal yang digunakan NATO hanya melakukan

patroli untuk mengawasi perairan Libya tanpa melakukan serangan ke kapal lain

ataupun ke sistem pertahanan militer Libya (Layuk, 2013:54).

Prinsip ke-4 adalah elemen kejutan. Elemen kejutan ini merujuk pada

serangan yang tidak diduga oleh musuh. Dalam prinsip ini ada 3 bagian 56

penting yang menentukan terlaksanya penerapan prinsip ini dalam suatu perang,

yaitu kecepatan melakukan serangan, kerahasiaan pergerakan, dan pergerakan

tipuan. Dalam intervensi humanitarian, prinsip ini terbentur dengan elemen

kerahasiaan pergerakan. Negara yang melakukan intervensi harus melakukan

koordinasi dengan kontak atau agensi sipil. Hal ini berpotensi membuat operasi

terungkap karena kebanyakan kontak atau agensi sipil tersebut mempekerjakan

warga lokal dan bisa saja adalah pihak musuh. Seperti yang terjadi dalam

intervensi di Somalia yang menyebabkan operasi UNOSOM II mengalami

104

kebocoran dan diketahui oleh Mohammed Farrah Aidid sehingga ia bisa

mengantisipasi setiap pergerakan pasukan koalisi. NATO sebagai pemegang

komando tertinggi dalam intervensi militer di Libya tidak ingin menempuh

resiko seperti yang terjadi di Somalia. Oleh karena itu NATO hanya

mengandalkan data intelijen dari pengintaian dari darat dan tanpa kontak atau

agen sipil yang terpercaya mengenai daerah sekitar sasaran penyerangan dengan

pesawat tempur. NATO menempuh resiko yang menyebabkan jatuhnya korban

jiwa dari pihak sipil. Hal inilah yang penulis yakini menjadi faktor utama

penyebab adanya korban jiwa dari pihak sipil dalam rangkaian serangan udara

NATO dalam rangka intervensi militer dalam krisis politik di Libya meskipun

NATO telah berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari korban dari

rakyat sipil itu sendiri. Sistem persenjataan NATO juga menjadi salah satu

faktor. Sistem persenjataan NATO yang sangat canggih belum tentu bebas dari

kesalahan fungsi. Hal ini ditunjukkan seperti yang terjadi saat NATO bermaksud

menyerang salah satu sistem pertahanan militer pasukan pro-Khadafi di Tripoli

namun salah satu roket mengalami kesalahan sistem dan mengenai 57 sasaran

yang salah yang mengakibatkan sejumlah warga sipil tewas (NATO, 2011).

Selain itu masuknya tentara pro-Khadafi ke dalam kota yang padat penduduk

dengan struktur bangunan yang saling berdekatan dengan yang lainnya juga

menjadi pemicu tewasnya warga sipil dalam serangan NATO terhadap pasukan

pro-Khadafi (Layuk, 2013:57).

105

6. Dampak Positif dan Negatif Intervensi NATO di Libya

Intervensi militer yang dilakukan NATO dalam krisis politik di Libya

sebagai upaya terakhir menghentikan konflik dan pelanggaran hak asasi manusia

di negara tersebut membawa berbagai dampak besar bagi warga Libya. Dampak-

dampak tersebut ada yang bernilai positif dan ada juga yang merugikan bagi

warga Libya. Mulai dari kehilangan rumah, keluarga, dan juga perubahan dalam

tatanan pemerintahan mereka. Namun yang terpenting bahwa pelanggaran hak

asasi manusia dan serangan terhadap warga sipil Libya oleh rezim Khadafi yang

dapat menelan lebih banyak korban bila dibiarkan dapat dihentikan (Layuk,

2013:88).

Yang paling gampang terlihat adalah dampak material, terutama

rusaknya tempat tinggal rakyat Libya. Rumah-rumah hancur akibat ledakan

serangan pesawat tempur NATO, terutama di daerah perkotaan. Penyerangan ini

ditujukan kepada pasukan pro-Khadafi yang mencoba untuk kembali memasuki

daerah Kota di Libya yang telah diduduki oleh pasukan pemberontak. Namun

sebagian besar dari rumah-rumah tersebut telah lebih dahulu ditinggalkan

pemiliknya untuk mengungsi menghindari perang yang terjadi antara pasukan

pemberontak dan pasukan pro-Khadafi. Hingga saat ini tidak ada yang bisa

memperkirakan besarnya kerugian material di Libya karena intervensi militer

NATO. Rakyat Libya lebih terfokus pada keselamatan mereka dan berakhirnya

masa kekuasaan Khadafi di Libya (2013:89).

Intervensi militer NATO yang juga mempermudah pasukan

pemberontak mengakhiri kekuasaan Khadafi yang membawa perubahan besar

dalam sistem pemerintahan Libya. Negara yang tidak pernah merasakan

106

demokrasi sejak kemerdekaan mereka pada 24 Desember 1951, memiliki

harapan untuk merasakan demokrasi dalam segala bidang di negara mereka

setelah NATO melakukan intervensi militer ke negara mereka akibat kekejaman

Khadafi dan pasukannya. Hal ini bermakna 2 yakni, sebagai bantuan kepada

mereka yang selama ini menderita akibat konflik di negara mereka dan sebagai

salah satu misi NATO untuk memperkenalkan demokrasi. Hal tersebut juga

diperjuangkan oleh pasukan pemberontak. NATO membawa demokratisasi

sebagai salah satu tujuan dalam misinya terutama bagi negara-negara yang

sebelumnya dipimpin oleh rezim pemerintahan yang menindas rakyatnya

dengan kekuasaan mereka dan kadang hingga menggunakan kekerasan agar

kekuasaan mereka tidak tersentuh. Penggarapan amandemen baru Libya yang

sementara ini masih dalam proses oleh Perdana Menteri baru Libya, Ali Zeidan

terbukti sebagai munculnya demokrasi di Libya. Amandemen ini dibuat dengan

penuh kehati-hatian agar dapat dirasa adil bagi rakyat Libya tanpa

mengorbankan kepentingan pihak manapun (NATO, 2012 Command Structure

of Operation Unified Protector 25 Februari 2015).

Dampak intervensi NATO yang paling disayangkan adalah jatuhnya

korban jiwa sipil, dan dari pihak NATO satu orang korban jiwa yang

diperkirakan selama intervensi militer NATO di Libya adalah sebanyak 60 orang

(Amnesty, 2012:6). Hasil ini diperoleh melalui kunjungan dan penelitian

Amnesty International ke Libya. Tewasnya warga sipil dalam intervensi militer

NATO disebabkan karena beberapa faktor seperti tidak adanya agen di darat

untuk memberikan data intelijen yang tepat mengenai kondisi di sekitar sasaran

di darat, target yang banyak di daerah perkotaan dengan bangunan yang padat,

107

dan juga kesalahan fungsi pada sistem persenjataan NATO. Faktor terakhir

adalah faktor yang juga membuat seorang pilot NATO, mengalami kesalahan

fungsi sistem pada pesawat yang diterbangkannya. Berbagai pihak meminta

NATO melakukan penyelidikan atas tewasnya warga sipil dalam intervensi

militer mereka namun hingga kini, belum ada langkah pasti yang diambil NATO

guna melaksanakan anjuran tersebut.

Selain itu yang terjadi di Libya (Fotopoulos, 2011:1) dipicu oleh campur

tangan para elit Transnasional. Para elit Transnasional dan sekutunya telah

berpihak pada kaum pemberontak Libya dengan membiayai secara sukarela baik

berupa senjata maupun perlengkapan militer lainnya untuk melawan rezim

Khadafi. Di samping itu, untuk membantu memperburuk ataupun

menghancurkan citra rezim kekuasaan Khadafi dalam pandangan internasional,

elit transnasional telah melakukan propaganda dengan mengendalikan media

massa dunia. Menurut Fotopoulos, pengaruh besar elit Transnasional dan

sekutunya dalam revolusi Libya, berhasil menghasut warga sipil Libya sehingga

menyebabkan perang saudara di Libya serta menyelamatkan mereka dari

kekejaman tirani rezim Khadafi (2011:2).

Menurut Fotopoulus (2011:3), terkait dengan hal tersebut, Elit

Transnasional dalam melakukan serangannya terhadap rezim Khadafi di Libya

telah melakukan beberapa tahapan sebagai berikut: Tahap pertama, adalah

dengan cara menghasut warga sipil Libya dan mengakibatkan perang saudara di

antara mereka sendiri. Tahap kedua, setelah berhasil menghasut warga Libya,

terjadilah pemberontakan masa dibantu oleh propaganda media masa yang telah

diatur oleh elit transnasional. Tahap ketiga, adanya persetujuan dari DK PBB

108

didukung oleh persetujuan dari Liga Arab juga sehingga diberlakukannya zona

larangan terbang terhadap Libya. Hasilnya sebagai tahap terakhir adalah

pengumuman peluncuran perang oleh inisiatif murni dari NATO yang diawali

oleh negara-negara NATO dan beberapa klien rezim Arab dalam melakukan

invasinya terhadap Libya (Fotopoulus, 2011:6).