60
BAB II Pembahasan 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari usus halus ? Usus halus adalah saluran yang memiliki panjang ± 6 m. Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorpsi chyme dari lambung.. Usus halus memanjang dari pyloric sphincter lambung sampai sphincter ileocaecal, tempat bersambung dengan usus besar (gambar 1,1). Usus halus terdiri atas tiga bagian , yaitu: duodenum, jejunum, ileum. 3 Gambar 1.1 Organ Pencernaan. 3

BAB II LBM II Digestive

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BAB II LBM II Digestive

Citation preview

Page 1: BAB II LBM II Digestive

BAB II

Pembahasan

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari usus halus ?

Usus halus adalah saluran yang memiliki panjang ± 6 m. Fungsi usus halus

adalah mencerna dan mengabsorpsi chyme dari lambung.. Usus halus memanjang dari

pyloric sphincter lambung sampai sphincter ileocaecal, tempat bersambung dengan

usus besar (gambar 1,1). Usus halus terdiri atas tiga bagian , yaitu: duodenum,

jejunum, ileum.3

Gambar 1.1 Organ Pencernaan.

Duodenum, bagian terpendek (25cm), yang dimulai dari pyloric sphincter di

perut sampai jejunum. Berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan

3

Page 2: BAB II LBM II Digestive

ini terdapat pancreas dan duodenal papilla, tempat bermuaranya pancreas dan kantung

empedu. Empedu berfungsi mengemulsikan lemak dengan bantuan lipase. Pankreas

menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi disakarida dan

tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino/albumin dan

polipeptida. Dinding usus halus mempunyai lapisan mukosa yang banyak

mengandung kelenjar brunner yang berfungsi memproduksi getah intestinum.

Gambar 1.2 Duodenum

Jejunum memiliki panjang antara 1,5 m – 1,75 m. Di dalam usus ini, makanan

mengalami pencernaan secara kimiawi oleh enzim yang dihasilkan dinding usus.

Getah usus yang dihasilkan mengandung lendir dan berbagai macam enzim yang

dapat memecah makanan menjadi lebih sederhana. Di dalam jejunum, makanan

menjadi bubur yang lumat yang encer.

Usus penyerapan (ileum), panjangnya antara 0,75m – 3,5m terjadi penyerapan

sari–sari makanan. Permukaan dinding ileum dipenuhi oleh jonjot-jonjot usus/vili.

Adanya jonjot usus mengakibatkan permukaan ileum menjadi semakin luas sehingga

penyerapan makanan dapat berjalan dengan baik.

4

Page 3: BAB II LBM II Digestive

Gambar 1.3 Jejunum dan Ileum

Dinding jonjot usus halus tertutup sel epithelium yang berfungsi untuk

menyerap zat hara. Terdapat sekitar 1000 mikrovili (gambar 3) dalam tiap sel.

Dinding tersebut juga mengeluarkan mucus. Enzim pada mikrovili menghancurkan

makanana menjadi partikel yang cukup kecil untuk diserap. Di dalam setiap jonjot

terdapat pembuluh darah halus dan saluran limfa yang menyerap zat hara dari

permukaan jonjot. Vena porta mengambil glukosa dan asam amino, sedangkan asam

lemak dan gliserol masuk ke sel limfa.2,5

Gambar 1.4 Mikrovilli

5

Page 4: BAB II LBM II Digestive

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan

rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.

Usus besar terdiri dari :

a. Kolon asendens (kanan)

b. Kolon transversum

c. Kolon desendens (kiri)

d. Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)

Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna

beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar

juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk

fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan

gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa

menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.1

FISIOLOGI SALURAN CERNA BAWAH

Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorpsi

bahan-bahan nutrisi dan air. Semua aktivitas lainnya mengatur dan mempermudah

berlangusngnya proses ini. Proses pencernaan dimulai dari mulut dan lambung oleh

kerja ptialin, HCL, pepsin, mukus, renin, dan lipase lambung terhadap makaann yang

masuk. Proses ini berlanjut di duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas

yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih

sederhana. Mukus juga memberikan perlindungan terhadap asam. Sekresi empedu

dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga

memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.

Kerja empedu terjadi akibat sifat deterjen asam-asam empedu yang dapat

melarutkan zat-zat lemak dengan membentuk misel. Misel merupakan agregat asam

empedu dan molekul-molekul lemak. Lemak membentuk inti hidrofobik, sedangkan

asam empedu karena merupakan molekul polar, membentuk permukaan misel dengan

ujung hidrofobik menghadap ke luar menuju medium cair. Bagian sentral misel juga

melarutkan vitamin-vitamin larut lemak, dan kolesterol. Jadi, asam-asam lemak

6

Page 5: BAB II LBM II Digestive

bebas, gliserida, dan vitamin larut lemak dipertahankan dalam larutan sampai dapat

diabsorpsi oleh permukaan sel epitel.

Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim yang terdapat dalam

getah usus (sukus enterikus). Banyak enzim-enzim ini terdapat dalam brush border

vili dan mencerna zat-zat makanan sambil diabsorpsi.

Dua hormon berperan penting dalam pengaturan pencernaan usus. Lemak

yang bersentuhan dengan mukosa duodenum menyebabkan kontraksi kandung

empedu yang dioerantarai oleh kerja kolesitokinin. Hasil-hasil pencernaan protein tak

lengkap yang bersentuhan dengan mukosa duodenum merangsang sekresi getah

pankreas yang kaya-enzim; hal ini diperantarai oleh pankreozimin.

Asam lambung yang bersentuhan dengan mukosa usus menyebabkan

dikeluarkannya hormon lain, yaitu sekretin, dan jumlah yang dikeluarkan sebanding

dengan jumlah asam yang mengalir melalui duodenum. Sekretin merangsang sekresi

getah yang mengandung bikarbonat dari pankreas, merangsang sekresi empedu dari

hati, dan memperbesar kerja CCK.

Pergerakan segmental usus mencampur zat-zat yang dimakan dengan sekret

pankreas, hepatobiliar, dan sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari

salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan absorpsi optimal dan asupan kontinu

isi lambung.

Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan

proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan

elektrolit, yang sudah hampir selesai dalam kolon dekstra. Kolon sigmoid berfungsi

sebagai reservoir yang menampung masa feses yang sudah terdehidrasi hingga

berlangsungnya defekasi.

Pada umumnya usus besar bergerak secara lambat. Gerakan usus besar yang

khas adalah gerakan pengadukan haustral. Kantung atau haustra meregang dan dari

waktu ke waktu otot sirkular akan berkontraksi untuk mengosongkannya. Gerakan ini

tidak progresif tetapi menyebabkan isi usus bergerak bolak-balik dan mermas-remas

sehingga memberi waktu untuk terjadinya absorpsi. Terdapat dua jenis peristaltik

propulsif : (1) kontraksi lambat dan tidak teratur, berasal dari segmen proksimal dan

bergerak ke depan, menymbat beberapa haustra; dan (2) peristaltik massa, merupakan

7

Page 6: BAB II LBM II Digestive

kontraksi yang melibatkan segmen kolon. Gerakan peristaltik ini menggerakkan

massa feses ke depan, akhirnya merangsang defekasi. Kejadian ini timbul dua sampai

tiga kali sehari dan dirangsang oleh refleks gatrokolik setelah makan, terutama setelah

makanan yang pertama kali dimakan pada hari itu.

Propulsi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensi dinding

rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani

eksterna dan interna. Sfingter interna dikendalikan oleh sistem saraf otonom,

sedangkan sfingter eksterna dikendalikan oleh sistem saraf voluntar. Refleks defekasi

terintegrasi pada medula spinalis segmen sakral kedua dan keempat. Serabut

parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splangnikus panggul dan menyebabkan

terjadinya kontraksi rektum dan relaksasi sfingter interna. Pada waktu rektum yang

tergang berkontraksi, otot levator ani berelaksasi, sehingga menyebabkan sudut dan

anulus anorektal hilang. Otot sfingter interna dan eksterna berelaksasi pada waktu

anus tertarik ke atas melebihi tinggi masa feses. Defekasi dipercepat dengan tekanan

intraabdomen yang meningkat akibat kontraksi voluntar otot dada dengan glotis yang

tertutup, dan kontraksi otot abdomen secara terus menerus (manuver atau peregangan

valsalva). Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi voluntar sfingter eksterna dan

levator ani. Dinding rektumsecara bertahap menjadi relaks dan keinginan defekasi

menghilang.4

HISTOLOGI SALURAN CERNA BAWAH

Lapisan usus halus terdiri atas 4 lapisan yang sama dengan lambung, yaitu :

1. Lapisan luar adalah membran selulosa, yaitu peritornium yang melapisi

usus halus dengan erat.

2. Lapisan otot polos terdiri atas 2 lapisan serabut, lapisan luar yang

memanjang (longitudinal) dan lapisan dalam yang melingkar (serabut

sirkuler). Kontraksi otot polos dan bentuk peristaltic usus yang turut serta

dalam proses pencernaan mekanis, pencampuran makanan dengan enzim-

enzim pencernaan dan pergerakkan makanan sepanjang saluran

pencernaan.. Diantara kedua lapisan serabut berotot terdapat pembuluh

darah, pembuluh limfe, dan pleksus syaraf.

3. Submukosa terdiri dari jaringan ikat yang mengandung syaraf otonom,

yaitu plexus of meissner yang mengatur kontraksi muskularis mukosa dan

8

Page 7: BAB II LBM II Digestive

sekresi dari mukosa saluran pencernaan. Submukosa ini terdapat diantara

otot sirkuler dan lapisan mukosa. Dinding submukosa terdiri atas jaringan

alveolar dan berisi banyak pembuluh darah, sel limfe, kelenjar, dan

pleksus syaraf yang disebut plexus of meissner. Pada duodenum terdapat

kelenjar blunner yang berfungsi untuk melindungi lapisan duodenum dari

pengaruh isi lambung yang asam. Sistem kerjanya adalah kelenjar blunner

akan mengeluarkan sekret cairan kental alkali.

4. Mukosa dalam terdiri dari epitel selapis kolumner goblet yang mensekresi

getah usus halus (intestinal juice). Intestinal juice merupakan kombinasi

cairan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar usus (glandula intestinalis)

dari duodenum, jejunum, dan ileum. Produksinya dipengaruhi oleh

hormon sekretin dan enterokrinin. Pada lapisan ini terdapat vili (gambar 3)

yang merupakan tonjolan dari plica circularis (lipatan yang terjadi antara

mukosa dengan submukosa). Lipatan ini menambah luasnya permukaan

sekresi dan absorpsi serta memberi kesempatan lebih lama pada getah

cerna untuk bekerja pada makanan. Lapisan mukosa berisi banyak lipatan

Lieberkuhn yang bermuara di atas permukaan, di tengah-tengah villi.

Lipatan Lieberkuhn diselaputi oleh epithelium silinder.6

Gambar 2.1. Lapisan Usus Halus

9

Page 8: BAB II LBM II Digestive

2. Apa saja tipe tipe dari Diare?

Tipe-tipe diare

Diare terbagi dua berdasarkan mula dan lamanya yaitu :

1) Diare akut

Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung singkat,

dalam beberapa jam sampai 7 atau 14 hari.

a. Etiologi

Infeksi merupakan penyebab utama diare akut, baik oleh bakteri, parasit

maupun virus. Penyebab lain yang dapat menimbulkan diare akut adalah toksin dan

obat, nutrisi eteral diikuti puasa yang berlangsung lama, kemoterapi, impaksi tekal

(overflow diarrhea) atau berbagai kondisi lain.

b. Patogenesis

Diare akibat infeksi terutama ditularkan secara fekal oral. Hal ini disebabkan

masukan minuman atau makanan yang terkontaminasi tinja ditambah dengan

ekresiyang buruk, makanan yang tidak matang, bahkan yang disajikan tanpa dimasak.

Penularannya adalah transmisi orang ke orang melalui aeorosolisasi (Morwalk,

Rotavirus), tangan yang terkontaminasi (Clostridium diffecile), atau melalui aktivitas

seksual. Faktor penentu terjadinya diare akut adalah faktror penyebab (agent) dan

faktor penjamu (host). Faktor penjamu adalah kemampuan pertahanan tubuh terhadap

organisme, yaitu faktor daya tahan tubuh atau lingkungan lumen saluran cerna, seperti

keasaman lambung, motilitas lambung, imunitas, juga mencakup lingkongan

mikroflora usus. Faktor penyebab yang mempengaruhi patogenesis antara lain daya

penetrasi yang merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang

mempengaruhi sekresi cairan di usus, serta daya lekat kuman-kuman tersebut

membentuk koloni-koloni yang dapat menginduksi diare.

Patogenesis diare yang disebabkan infeksi bakteri terbagi dua, yaitu

1. Bakteri noninvasit (enterotoksigenik)

10

Page 9: BAB II LBM II Digestive

Toksin yang diproduksi bakteri akan terikat pada mukosa usus halus, namun

tidak merusak mukosa. Toksin meningkat kadar siklik AMP di dalam sel,

menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang diikuti air, ion

karbonat, kation natrium, dam kalium.

2. Bakteri enteroinvasif

Diare menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi, dan

bersifat sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat bercampur lendir dan darah. Bakteri

yang termasuk dalam golongan ini adalah Enteroinvasive E. Coli (EIEC). S. Paratyphi

B, S. Typhimurium, S. enteriditis, S. choleraesuis, Shigela, Yersinia, dan C.

Pertringens tipe C. penyebab diare lainnya seperti parasit menyebabkan kerusakan

berupa ulkus besar (E. histolytica), kerusakan vilia yang penting untuk penyerapan

air, elektrolit, dan zat makanan (G. Lambdia)

c. Manifestasi klinis

Secara klinis diare karena infeksi akut dibagi menjadi dua golongan yaitu :

1. Koleriform, dengan diare yang terutama terdiri atas cairan saja

2. Disentriform, pada diare di dapat lendir kental dan kadang-kadang darah.

d. Penatalaksanaan

Pada orang dewasa, penata laksanaan diare akut akibat infeksi terdiri dari :

1. Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan

Empat hal penting yang perlu diperhatikan adalah :

1) Jenis cairan

2) Jumlah cairan

3) Jalan masuk atau cara pemberian cairan

4) Jadwal pemberian cairan.

2. Identifikasi penyebab diare akut karena infeksi

3. Terapi simtomatik

11

Page 10: BAB II LBM II Digestive

4. Terapi defenitif

2) Diare kronik

Diare kronik ditetapkan berdasarkan kesepakatan, yaitu diare yang

berlangsung lebih dari tiga minggu. Ketentuan ini berlaku bagi orang dewasa,

sedangkan pada bayi dan anak ditetapkan batas waktu dua minggu.

a. Etiologi

Diare kronik memiliki penyebab yang bervariasi dan tidak seluruhnya

diketahui.

b. Patofisiologi

Proses terjadinya diare dipengaruhi dua hal pokok, yaitu konsistensi feses dan

motilitas usus, umumnya terjadi akibat pengaruh keduanya. Gangguan proses

mekanik dan ensimatik, disertai gangguan mukosa, akan mempengaruhi pertukaran

air dan elektrolit, sehingga mempengaruhi konsistensi feses yang terbentuk.

Diare kronik dibagi tiga yaitu :

1. Diare osmotik

Dijelaskan dengan adanya faktor malabsorpsi akobat adanya gangguan

absorpsi karbohidrat, lemak atau protein, danb tersering adanya malabsorpsi lemak.

Teses berbentuk steatore.

2. Diare sekretorik

Terdapat gangguan tranpor akibat adanya perbedaan osmotif intralumen

dengan mukosa yang besar sehungga terjadi penarikan cairan dan alektrolit ke dalam

lumen usus dalam jumlah besar. Teses akan seperti air. Diare sekresi terbagi dua

berdasarkan pengaruh puasa terhadap diare :

1. Diare sekresi yang dipengaruhi keadaan puasa berhubungan dengan proses

intralumen, dan diakibatkan oleh bahan-bahan yang tidak dapat diabsorpsi,

malabsorpsi karbohidrat, letesiensi laktosa yang mengakibatkan intolerassi

laktosa.

12

Page 11: BAB II LBM II Digestive

2. Diare cair yang tidak dipengaruhi keadaan puasa terdapat pada sidrom

korsinoid, VIP (Vasoactive Inkestinal Polypeptida) oma, karsinoma tiroid

medular, adenoma vilosa, dan diare diabetik.

3. Diare inflamasi

Diare dengan kerusakan kematian enterosit disertai peradangan. Fese

berdarah. Klompok ini paling sering ditemukan. Trbagi dua yaitu nonspesitik dan

spesitik.

c. Penatalaksanaan

a. Simtomatis

1. Rehidrasi

2. Antipasmodik, antikolinergik

3. Obat anti diare

a. Obat antimotilitas dan sekresi usus : Laperamid, ditenoksilat,

kodein fosfat.

b. Aktreotid (sadratatin)

c. Obat anti diare yang mengeraskan tinja dan absorpsi zat

toksin yaitu Arang, campura kaolin dan mortin.

4. Antiemetik (metoklopromid, proklorprazin, domperidon).

5. Vitamin dan mineral, tergantung kebutuhan, yaitu:

a. Vitamin Bie, asam, vitamin A, vitamin K

b. Preparat besi, zinc,dan lain-lain.

6. Obat ekstrak enzim pankreas.

7. Aluminium hidroksida, memiliki efek konstifasi, dan mengikat asam

empedu.

8. Fenotiazin dan asam nikotinat, menghambat sekresi anion usus.

13

Page 12: BAB II LBM II Digestive

b. Kausal

Pengobatan kausal diberikan pada infeksi maupun non infeksi Pada diare

kronik dengan penyebab infeksi, obat diberikan berdasarkan etiologinya.

3. Bagaimana morfologi cacing pada saluran cerna beserta siklusnya ?

Infeksi Cacing Usus

a. Nematoda usus

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau

yang lebih dikenal dengan nama cacing gelang dan yang penularannya dengan

perantara tanah (Soil Transmitted Helmints). Infeksi yang disebabkan oleh

cacing ini disebut Askariasis.

Morfologi

Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Stadium

dewasa hidup dirongga usus halus. Seekor cacing betina dapat bertelur sebayak

100.000-200.000 butir perhari, dimana terdiri dari telur yang dibuahi dan yang

tidak dibuahi.

Gambar : Cacing Ascaris lumbricoides dewasa (A: betina dan B: jantan)

Telur yang dibuahi bentuknya oval melebar, mempunyai lapisan yang tebal

dan berbenjol-benjol, dan umumnya berwarna coklat keemasan, ukuran

panjangnya dapat mencapai 75 μm dan lebarnya 50 μm. Telur yang belum dibuahi

14

Page 13: BAB II LBM II Digestive

umumnya lebih oval dan ukuran panjangnya dapat mencapai 90 μm, lapisan yang

berbenjol-benjol dapat terlihat jelas dan kadang-kadang tidak dapat dilihat.

Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang

mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-300 C. Pada kondisi ini telur

tumbuh menjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3

minggu.

Gambar : Telur Ascaris lumbricoides

Daur Hidup

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi

bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) minggu. Bentuk infektif ini bila

tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus

halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan kejantung,

kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding

pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk ronggas alveolus, kemudian naik ke

trakea melalui bronkiolus dan bronkus.

Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan

pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke

dalam esophagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah manjadi cacing

dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan

waktu kurang lebih 2 (dua) bulan.

15

Page 14: BAB II LBM II Digestive

Gambar : Daur Hidup Ascaris lumbricoides

Patologi dan Gejala Klinis

Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh cacing

dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru.

Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul

gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia. Pada foto

toraks tampak infiltrat. Pada kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena

mirip dengan gambaran TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga)

minggu, setelah diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini disebut

sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.

Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual,

nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.

Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti (1990) mengemukakan

bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa dalam usus manusia mampu

mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gr dan 0,7 gr protein setiap hari. Dari

hal tersebut dapat di perkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi

cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga dapat menimbulkan keadaan

kurang gizi.

16

Page 15: BAB II LBM II Digestive

Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi

sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-

cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).

2. Cacing Cambuk (Trichuris Trichiura)

Infeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) lebih sering terjadi di daerah

panas, lembab dan sering terjadi bersama –sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah

cacing dapat bervariasi, apabila jumlahnya sedikit pasien biasanya tidak

terpengaruh dengan adanya cacing ini.

Morfologi

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira

4cm. Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari

panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina

bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan

terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum

(caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk

masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan

telur setiap hari antara 3000- 10.000 butir.

Gambar : Cacing Trichuris trichiura dewasa (Kiri : betina, Kanan :

jantan)

Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan

dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar

berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih.

17

Page 16: BAB II LBM II Digestive

Gambar : Telur Cacing Trichuris trichiura

Daur Hidup

Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut

manjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu

pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang

berisi larva dan merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara

kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke

dalam usus halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan

masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak

mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai

cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari.

18

Page 17: BAB II LBM II Digestive

Gambar : Daur Hidup Trichuris Trichiura

Patologi dan Gejala Klinis

Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi

dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-

anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di

mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada

waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga

terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada

tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini

menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah

cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri

perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun.

3. Cacing Tambang ( Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

Morfologi

Cacing dewasa jantan berukuran panjang 7-11 mm x lebar 0,4-0,5 mm. Cacing

dewasa Ancylostoma cenderung lebih besar dari pada Necator. Cacing dewasa

19

Page 18: BAB II LBM II Digestive

jarang terlihat, karena melekat erat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya

yang berkembang dengan baik (gigi pada Ancylostoma dan lempeng pemotong

pada Necator).

Gambar : Cacing Ancylostoma duodenale Dewasa

Gambar : Cacing Necator americanus Dewasa

Telur-telur yang keluar bersama feses biasanya pada stadium awal

pembelahan. Bentuknya lonjong dengan ujung bulat melebar dan berukuran kira-

kira, panjang 60 μm dan lebar 40 μm. Ciri khasnya yaitu adanya ruang yang jernih

diantara embrio dengan kulit telur yang tipis.

Daur Hidup

Telur dapat tetap hidup dan larva akan berkembang secara maksimum pada

keadaan lembab, teduh dan tanah yang hangat, telur akan menetas 1-2 hari

kemudian. Dalam 5-8 hari akan tumbuh larva infektif filariform dan dapat tetap

hidup dalam tanah untuk beberapa minggu.

20

Page 19: BAB II LBM II Digestive

Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang terdapat

di tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama larva di bawa

aliran darah vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru-paru. Larva

menembus alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring, kemudian

tertelan sampai ke usus kecil dan hidup di sana. Mereka melekat di mukosa,

mempergunakan struktur mulut sementara, sebelum struktur mulut permanen yang

khas terbentuk. Bentuk betina mulai mengeluarkan telur kira-kira 5 (lima) bulan

setelah permulaan infeksi, meskipun periode prepaten dapat berlangsung dari 6-10

bulan. Apabila larva filariform Ancylostoma duodenale tertelan, mereka dapat

berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa melalui siklus paru-paru.

Gambar : Daur Hidup Cacing Tambang

Patologi dan Gejala Klinis

Gejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung dari

jumlah larva. Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat dengan

kemungkinan infeksi sekunder apabila lesi menjadi vesicular dan terbuka karena

garukan. Berkembangnya vesikel dari ruam papula eritematosa disebut sebagai

”ground itch”. Pneumonitis yang disebabkan karena migrasi larva tergantung dari

pada jumlah larva yang ada. Gejala-gejala infeksi pada fase usus disebabkan oleh

nekrosis jaringan usus yang berada dalam mulut cacing dewasa dan kehilangan

darah langsung dihisap oleh cacing dan terjadinya perdarahan terus-menerus di

21

Page 20: BAB II LBM II Digestive

tempat asal perlekatannya, yang kemungkinan diakibatkan oleh sekresi

antikoagulan oleh cacing.

Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea,

muntah, sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah

yang keluar), lesu dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing

yang banyak pada anak-anak dapat menimbulkan gejala sisa serius dan kematian.

Selama fase usus akut dapat dijumpai peningkatan eosinofilia perifer. Pada infeksi

kronik, gejala utamanya adalah anemia defisiensi besi dengan tanda pucat, edema

muka dan kaki, lesu dan kadar hemoglobin ≤ 5g/dL . Dapat dijumpai

kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik.

4. Cacing Benang Manusia (Strongyloides stercoralis)

Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Cacing ini dapat menyebabkan

penyakit stongilodiasis. Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropik dan

subtropik sedangkan di daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan.

Morfologi

Cacing betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenalum dan yeyunum.

Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira

2mm.

Gambar : Strongyloides Stercoralis

22

Page 21: BAB II LBM II Digestive

Daur Hidup

Cacing ini mempunyai tiga macam daur hidup :

1) Siklus langsung

Sesudah 2 sampa 3 hari di tanah, larva rhabditiform yang berukuran

kira-kira 225 x 16 mikron berubah menjadi larva filariform dengan bentuk

langsing dan merupakan bentuk yang infektif, panjangnya kira-kira 700

mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh , masuk

kedalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke

paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus,

masuk ke trakea dan laring. Setelah sampai di laring terjadi refleks batuk

sehingga perasit tertelan kemudian sampai di usus halus bagian atas dan

menjadi dewasa. Cacing

betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi.

2) Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung, larva rhabditiform di tanah berubah

menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas

ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1mm x

0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor

melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan cacing betina

menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rhabditiform dan selama

beberapa hari menjadi larva filariform yang infektif dan masuk dalam hospes

baru atau larva rhabditiform dapat mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak

langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu

sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk hidup bebas parasit ini.

3) Autoinfeksi

Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus

atau di sekitar anus, misalnya pada pasien yang menderita obstipasi lama

sehingga bentuk rhabditiform sempat berubah menjadi filariform di dalam

usus, pada penderita diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan,

bentuk rhabditiform akan menjadi filariform pada tinja yang masih melekat di

sekitar dubur. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis

menahun pada penderita.

23

Page 22: BAB II LBM II Digestive

Patologi dan Gejala Klinis

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit akan timbul kelainan

kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal

yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda.

Infeksi ringan

pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan

gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di

daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Gejala lain adalah ada terasa mual

dan muntah, diare dan konstipas yang saling bergantian. Pada Strongiloidiasis

juga terjadi

autoinfeksi dan hiperinfeksi.

Sindroma Hiperinfeksi Autoinfeksi merupakan mekanisme terjadinya infeksi

jangka panjang, apabila pada saat-saat tertentu keseimbangan dan imunitas

penderita menurun, maka infeksinya semakin meluas dengan peningkatan

produksi larva dan larva dapat ditemukan pada setiap jaringan tubuh, sehingga

terjadi kerusakan pada jaringan tubuh. Penderita dapat meninggal akibat

terjadinya peritonitis, kerusakan otak dan kegagalan pernafasan.

5. Cacing Kremi ( Enterobius vermicularis)

Morfologi telur cacing E. Vermicularis

Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Mempunyai

ukuran 50 -60 mikron x 20 – 32 mikron. Dinding telur bening dan agak lebih tebal

dari dinding telur cacing tambang. Terdapat 3 lapisan dinding telur, lapisan

pertama (lapisan luar) berupa lapisan albuminous, tranclusent, bersifat sebagai

mekanikal protection, lapisan kedua berupa membran terdiri dari lemak, berfungsi

sebagai chemical protection, lapisan ketiga adalah lapisan dalam telur yang berisi

larva.Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten

terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup

dalam 13 hari.

24

Page 23: BAB II LBM II Digestive

Gambar : Telur Cacing E. Vermicularis

Morfologi Cacing E. Vermicularis

Cacing betina berukuran 8 – 13 mm x 0,4 mm. pada ujung anterior pelebaran

kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus usofagus jelas sekali, ekornya

panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur.Cacing

betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur, berimigrasi ke daerah

perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus.

Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya

melingkar sehingga bentuknya seperti tanda Tanya (?) ; spikulum pada ekor

jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar

dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum.

Gambar : Bentuk cacing kremi jantan (kiri) bentuk cacing betina(kanan)

Siklus Hidup

Siklus hidup dimulai dengan keluarnya cacing betina yang grafid bermigrasi

kedaerah perianal /anus pada waktu malam hari kemudian bertelur dengan cara

25

Page 24: BAB II LBM II Digestive

kotraksi uterus dan melekat pada daerah tersebut (migrasi ini disebut “ Nocturnal

migration”) Telur tersebut bisa menjadi larva infektif terutama pada suhu 23º –

46º C.

Telur cacing kremi dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan akan menjadi telur

yang infektif dapat menetas menjadi larva dan masuk kembali kedalam usus besar

(retrofeksi). Telur cacing yang infektif dapat bertahan lama, dapat

mengkontaminasi lewat makanan, pakaian, tangan karena telur Enterobius

vermicularis yang infektif dapat diterbangkan bersama debu kemana-mana.Telur

yang masuk ke mulut, di dalam duodenum akan menetas menjadi larva kemudian

dewasa di usus besar.

Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang atau bila larva dari telur

yang menetas di daerah perianal berimigrasi kembali ke usus besar. Bila telur

matang yang tertelan, telur menetas di duodenum dan larva rabditiform berubah

dua kali setelah menjadi dewasa di yeyunum dan bagian atas ileum.

Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur

matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang berimigrasi ke daerah perianal

berlangsung 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya berlangsung 1

bulan karena telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5

minggu sesudah pengobatan.Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self

limited). Bila tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir.

26

Page 25: BAB II LBM II Digestive

Gambar : Siklus Hidup Cacing Kremi

Patologi dan Gejala Klinis

Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti.

Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum dan

vagina oleh cacing betina gravid yang berimigrasi ke daerah anus dan vagina

sehingga menyebabkaan pruritus local. Karena cacing berimigrasi ke daerah

anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar

anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi

pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi

lemah. Kadang kadang cacing dewasa mudah dapat bergerak ke usus halus

bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga

menyebabkan gangguan di daerah tersebut. cacing betina gravid mengembara

dan dapat bersarang di vagina dan di tuba fallopii sehingga menyebabkan

radang di saluran telur. Cacing sering di temukan di apendiks tetapi jarang

menyebabkaan apendisitis.

Beberapa gejala infeksi Enterobius vermikularis yaitu kurang nafsu

makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, cepat marah, gigi menggeretak,

insomnia dan masturbasi.

27

Page 26: BAB II LBM II Digestive

b. Trematoda Usus

1. Cacing Daun Raksasa (Fasciolopsis Buski)

Morfologi dan Daur Hidup

Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetri

bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat

beraneka ragam dari 1 mm sampai kurang lebih 75 mm. Tanda khas lainnya

adalah terdapatnya 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut dan batil isap perut.

Beberapa spesies mempunyai batil isap genital. Saluran pencernaan menyerupai

huruf Y terbalik yang dimulai dengan mulut dan berakhir buntu pada sekum. Pada

umumnya Trematoda tidak mempunyai alat pernafasan khusus, karena hidupnya

secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian

posterior. Susunan saraf dimulai dengan gangliondi bagian dorsal esofagus,

kemudian terdapat saraf yang memanjang dibagian dorsal, ventral dan lateral

badan. Cacing ini bersifat hermafrodit denagn alat reproduksi yang kompleks.

Cacing dewasa hidup di dalam tubuh hospes definitif. Telur diletakkan di

saluran hati, rongga usus, paru, pembuluh darah atau dijaringan tempat cacing

hidup dan telur biasanya keluar bersama tinja, dahak atau urin. Pada umumnya

telur berisis sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung

mirasidium (M) yang mempunyai bulu getar. Bila sudah mengandung mirasidium

telur menetas di dalam air (telur matang). Pada spesies trematoda yang

mengeluarkan telur berisis sel telur, telur akan menjadi matang dalam waktu

kurang lebih 2-3 minggu. Pada beberapa spesies Trematoda, telu matang menetas

bila ditelan keong (hospes perantara) dan keluarlah mirasidium yang masuk

kedalam jaringan keong; atau telur dapat langsung menetas dan mirasidium

berenang di air; dalam waktu 24 jam kmirasidium harusn sudah menemukan

keong air agar dapat melanjutkan perkembangannya. Keong air disini berfungsi

sebagai hospes perantara pertama atau HP1. Dalam keong air tersebut mirasidium

berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi embrio, disebut sporokista (S).

Sporokista ini dapat mengandung sporokista lain atau redia (R); bentuknya berupa

kantung yang sudah mempunyai mulut, faring, dan sekum. Didalam sporokista

dua / redia (R) , larva berkembang menjadi serkarian (SK).

28

Page 27: BAB II LBM II Digestive

Serkaria kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua

yang berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu, dan keong air

lainnya, atau dapat menginfeksi hospes definitive secara langsung seperti pada

Schistosoma. Dalam hospes perantara dua serkaria berubah menjadi metaserkaria

yang berbentuk kista. Hospes definitif mendapat infeksi bila makan hospes

perantara dua yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik.

Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes

definitif, yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi

cacing dewasa dalam tubuh hospes.

Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing di

dalam tubuh hospes; selain itu juga ada pengaruh rangsanga setempat dan zat

toksin yang dikeluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi zat

toksin tersebut, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan

lain-lain. Cacing daun yang hidupdi rongga usus biasanya tidaka memberi gjala

atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan

diare. Bila cacing hidup di jaringan paru seperti Paragonimus, mungkin

menimbulkan gejala batuk, sesak nafas, dan batuk darah(hemoptisis). Cacing yang

hidup di salyuran empedu hati seperti Clonorchis, Opistrhorchis dan Fasciola

dapat menimbulakn rangsangan dan menyebabkan penyumbatan aliran empedu

sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainya adalah peradangan hati

sehingga terjadi hepatomegali. Bila ini terjadi berlarut-larut, dapat mengakibatkan

sirosis hati. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, terutama telurnya

mengakibatkan kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya

fibrosis jaringan alat yang di infiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus,

dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain.

c. Cestoda Usus

1. Taenia Saginata (Cacing-Pita Sapi) & Taenia Solium (Cacing-Pita Babi)

Cacing pita adalah parasit pada manusia maupun hewan ternak. Ada dua jenis

cacing pita yang menjadikan manusia sebagai inang antara maupun inang

permanen.

29

Page 28: BAB II LBM II Digestive

a) Taenia Saginata (Cacing-Pita Sapi)

Taenia saginata adalah raksasa di antara semua cacing parasit. Panjang

taenia saginata bisa mencapai 8 meter, hampir sepanjang saluran pencernaan

manusia dewasa. Cacing pita ini berwarna putih pucat, tanpa mulut, tanpa anus

dan tanpa saluran pencernaan. Badannya tidak berongga dan terdiri dari

segmen-segmen. Taenia saginata bisa hidup sampai 25 tahun di dalam usus

inangnya.

Gambar : Taenia Saginata

Daur Hidup

Cacing pita sapi memiliki siklus yang rumit dan berakhir pada manusia

sebagai inang tetapnya. Cacing pita dewasa melepaskan telur-telurnya

bersama segmen badannya. Segmen ini bila mengering di udara luar akan

melepaskan telur-telur cacing yang dapat termakan oleh sapi saat merumput.

Enzim pencernaan sapi membuat telur menetas dan melepaskan zigot yang

kemudian menembus lapisan mukosa saluran pencernaan untuk memasuki

sirkulasi darah. Dari pembuluh darah, zigot akan menetap di otot membentuk

kista, seperti pada cacing cambuk. Bila daging sapi berisi kista tersebut

dimakan manusia dalam keadaaan mentah atau setengah matang, enzim-enzim

pencernaan akan memecah kista dan melepaskan larva cacing. Selanjutnya,

larva cacing yang menempel di usus kecil akan berkembang hingga mencapai

5 meter dalam waktu tiga bulan. Selain masalah gizi, kehadiran cacing pita

umumnya menyebabkan gejala perut ringan sampai sedang (mual, sakit, dll).

30

Page 29: BAB II LBM II Digestive

Gambar : Siklus Hidup Taenia Saginata

b) Taenia Solium (Cacing-Pita Babi)

Gambar : Taenia Solium

Taenia solium (cacing pita babi) adalah cacing pita pipih seperti taenia

saginata yang berwarna putih. Taenia solium adalah kerabat dekat Taenia

saginata yang memiliki siklus hidup hampir sama, namun inang perantaranya

31

Page 30: BAB II LBM II Digestive

adalah babi. Manusia terinfeksi dengan memakan daging babi berisi kista

Taenia solium. Cacing ini sedikit lebih kecil dari Taenia saginata (3-4 m

panjangnya), tetapi lebih berbahaya. Berbeda dengan Taenia saginata yang

hanya membentuk kista di daging sapi, Taenia solium juga mengembangkan

kista di tubuh manusia yang menelan telurnya. Kista tersebut dapat terbentuk

di mata, otak atau otot sehingga menyebabkan masalah serius. Selanjutnya,

jika tubuh membunuh parasit itu, garam kalsium yang terbentuk di tempat

mereka akan membentuk batu kecil di jaringan lunak yang juga mengganggu

kesehatan. Skoleks taenia solium memiliki 4 pengisap besar dengan dua baris

pengait. Cacing pita dewasa tumbuh menjadi sekitar 6 mm lebar dan 2-7 m

panjangnya, dengan sekitar 800 segmen yang disebut proglotida. Saat cacing

pita tumbuh di usus, proglotida matang yang disebut proglotida gravid akan

dilepas keluar tubuh manusia. Setiap proglotida gravid berisi organ reproduksi

jantan dan betina dan 30-40 ribu rumah telur berisi embrio.Taenia solium

memiliki pola penularan yang sangat mirip dengan taenia saginata. Manusia

adalah inang definitif dengan babi sebagai hospes perantara. Infeksi pada

manusia dimulai dengan mengkonsumsi daging babi mentah atau kurang

matang yang terinfeksi.

Daur Hidup

Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Pada saat

proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak, terdapat cairan putih

susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior

proglotid tersebut, terutama jika proglotid berkontraksi pada saat bergerak.

Telur-telur ini akan melekat pada rumput bersama dengan tinja, bila orang

berdefekasi di padang rumput atau karena tinja yang hanyut dari sungai pada

saat banjir. Ternak yang makan rumput ini akan terkontaminasi dan dihinggapi

cacing gelembung, karena telur yang tertelan bersama rumput tersebut akan

dicerna dan embrio heksakan akan menetas di dalam tubuh ternak. Embrio

heksakan yang menetas di saluran pencernaan ternak akan menembus dinding

usus, masuk ke saluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah

ke jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing gelembung

yang disebut sistiserkus bovis, yaitu larva Taenia saginata yang terbentuk

setelah 12 s.d. 15 minggu.

32

Page 31: BAB II LBM II Digestive

Bila cacing gelembung yang ada di otot hewan ini termakan oleh

manusia, karena proses pemasakan yang tidak atau kurang matang, maka

skoleknya akan keluar dari cacing gelembung dengan cara evaginasi. Skolek

akan melekat pada mukosa usus halus seperti jejunum. Cacing Taenia saginata

dalam waktu 8 s.d. 10 minggu akan menjadi dewasa.

Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang

uterus. Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang

tumbuh menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara. Infeksi terjadi jika

menelan larva bentuk infektif atau menelan telur. Pada Cestoda dikenal dua

ordo, yang pertama Pseudophyllidea dan yang kedua adalah Cyclopyllidea.

Gambar : Siklus Hidup Taenia Solium

Patologi dan Gejala Klinis Taenia Saginata dan Taenia Solium

Telur taenia solium (cacing pita babi) bisa menetas di usus halus, lalu

memasuki tubuh atau struktur organ tubuh., sehingga muncul penyakit

Cysticercosis, cacing pita cysticercus sering berdiam di jaringan bawah kulit

dan otot, gejalanya mungkin tidak begitu nyata ; tetapi kalau infeksi cacing

pita Cysticercus menjalar ke otak, mata atau ke sumsum tulang akan

menimbulkan efek lanjutan yang parah.

33

Page 32: BAB II LBM II Digestive

Infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus biasanya disebut

Taeniasis. Ada dua spesies yang sering sebagai penyebab-nya, yaitu Taenia

solium dan Taenia saginata. Menurut penelitian di beberapa desa di Indonesia,

angka infeksi taenia tercatat 0,8–23%., frekuensinya tidak begitu tinggi.

Namun demikian, cara penanganannya perlu mendapat perhatian, terutama

kasus-kasus taeniasis Taenia solium yang sering menyebabkan komplikasi

sistiserkosis.

Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging babi atau sapi

yang mentah atau setengah matang dan me-ngandung larva cysticercus. Di

dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala

gastero- intestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu makan

menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi

penderita bisa menjadi buruk se-hingga terjadi anemia malnutrisi. Pada

pemeriksaan darah tepi didapatkan eosinofilia. Semua gejala tersebut tidak

spesifik bahkan sebagian besar kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala

(asimtomatik).

Cacing dewasa taenia saginata (cacing pita sapi) biasanya

menyebabkan gejala klinis yang ringan, seperti sakit ulu hati, perut merasa

tidak enak, mual, muntah, mencret, pusing atau gugup. Gejala-gejala tersebut

disertai dengan ditemukannya proglotid cacing yang bergerak-gerak lewat

dubur bersama dengan atau tanpa tinja. Gejala yang lebih berat dapat terjadi,

yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang

disebabkan obstruksi usus oleh strobilla cacing. Berat badan tidak jelas

menurun. Eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi.

Meskipun infeksi ini biasanya tidak menimbulkan gejala, beberapa

penderita merasakan nyeri perut bagian atas, diare dan penurunan berat badan.

Kadang-kadang penderita bisa merasakan keluarnya cacing melalui duburnya.

2. Diphyllobothrium Latum (Cacing-Pita Ikan)

Morfologi dan Daur Hidup

34

Page 33: BAB II LBM II Digestive

Gambar : Diphyllobothrium Latum

Cacing ini tergolong Pseudophyllidae yang terdapat sebagai cacing dewasa

pada manusia. Panjangnya sampai 10 m, terdiri dari 3000-4000 proglotid Genital

pore dan uterin pore terletak disentral dari proglotd. Telur mempunyai operkulum

yang berisi sel telur. Telur dikeluarkan bersama tinja. Dalam air, sel telur menjadi

onkosfer dan telur menetas lalu keluar korasidium yaitu embrio yang bersilia.

Korasidium dimakan oleh HP I yaitu Cyclops atau Dioptomus. Di dalam tubuh

HP I, korasidium berubah menjadi procercoid. Bila Cyclops atau Dioptomus yang

mengandung procercoid dimakan oleh ikan sebagai HP II, makam procercoid

akan tumbuh menjadi plerocercoid (sparganum) yang merupakan bentuk infektif.

Gambar : Siklus Hidup Diphyllobothrium Latum

35

Page 34: BAB II LBM II Digestive

Patologi dan Gejala Klinik

Ekskistasi terjadi di usus halus lalu cacing menjadi dewasa dengan memakan

sari makanan dan vitamin B12. Penyakitnya disebut Diphyllobothriasis dengan

gejala gastrointestinal berupa diare, hilang nafsu makan. Karena cacing

mengambil vitamin B12 akan terjadi Anemia makrositer hyperchrom. Tidak semua

orang yang terinfeksi akan menjadi sakit.

3. Hymenolepis Nana (Cacing-Pita Kerdil)

Morfologi

Gambar : Hymenolepis Nana

Hymenolepis nana berbentuk seperti benang dan  mempunyai ukuran terkecil

jika dibandingkan dari golongan cestoda yang ditemukan pada manusia,.

Panjangnya kira-kira 25-40 mm dan lebarnya 1 mm. Terbagi atas kepala

(skoleks), leher dan sederet segmen-segmen yang membentuk rantai (strobila).

Skoleks berbentuk bulat kecil, mempunyai 4 batil isap dan rostellum yang

pendek dilengkapi dengan satu deret kait berjumlah 20-30 kait yang berfungsi

untuk melekatkan diri pada permukaan mukosa intestin inang. Dibelakang kepala

terdapat leher yang merupakan bagian yang bersifat poliferatif untuk membentuk

segmen-segmen baru. Strobila terdiri atas proglotid-proglotid immature (segmen

muda) – mature (segmen dewasa) – dan gravid, kurang lebih 200 segmen. Segmen

dewasa (segmen mature) memiliki satu set alat reproduksi sendiri. Lubang genital

terletak unilateral, terdapat 3 testis dan 1 ovarium.

Ukuran strobila biasanya berbanding terbalik dengan jumlah cacing yang ada

dalam hospes. Strobila dimulai dengan proglotid imatur yang sangat pendek dan

36

Page 35: BAB II LBM II Digestive

sempit, lebih ke distal menjadi lebih lebar dan luas. Pada ujung distal strobila

membulat. Didalam proglotid gravid uterus membentuk kantong mengandung 80-

180 telur.

Telur keluar dari proglotid paling distal  (proglotid gravid) yang hancur.

Bentuknya lonjong, mirip buah lemon (ovoid) berukuran 30-47 mikron,

mempunyai lapisan kulit yang terdiri dari dua membran sebelah dalam dengan

penebalan pada kedua kutub, dari masing-masing kutub keluar 4-8 filamen. Telur

berisi embrio heksakan atau embrio dengan 3 pasang kait (onkosfer).

Penyerapan makanan melalui tegumen (bagian luar tubuh cestoda yang

berfungsi absortif dan metabolit) dan alat ekskresinya berupa sel api (flame cell).

Daur Hidup

Cacing dewasa hidup di usus halus beberapa minggu untuk mengalami

perkembangbiakan dari proglotid immature menjadi mature selanjutnya menjadi

proglotid gravid yang mengandung banyak telur cacing pada uterusnya. Proglotid

gravid akan melepaskan diri dan bila pecah maka keluarlah telur cacing yang bisa

dikeluarkan bersama feses manusia. Telur Cacing ini kemudian termakan oleh

serangga. Cacing ini tidak memerlukan hospes perantara. Bila telur tertelan

kembali oleh manusia (Manusia dan hewan lainnya (tikus) terinfeksi ketika

mereka sengaja atau tidak sengaja makan bahan yang terkontaminasi oleh

serangga), maka di rongga usus halus telur menetas dan membentuk larva

sistiserkoid, kemudian keluar ke rongga usus dan menjadi dewasa dalam waktu 2

minggu atau lebih. Apabila sistiserkoid pecah maka keluarlah skolek yang

selanjutnya akan melekat pada mukosa usus. Skolek akan berkembang lebih lanjut

menghasilkan proglotid immature, dan seterusnya berulang siklus tersebut (Proses

pendewasaan kurang lebih 2 minggu).

Orang dewasa kurang rentan dibandingkan dengan anak. Kadang-kadang telur

dapat menetas di rongga usus halus menjadi sistiserkoid sebelum dilepaskan

bersama tinja. Keadaan ini disebut autoinfeksi internal. Autoinfeksi dapat terjadi

pada infeksi Hymenolepis nana, dimana telur mampu mengeluarkan embrio

hexacanth mereka yang kemudian menembus villus dan meneruskan siklus

infektif tanpa melalui lingkungan luar. Hal ini menyebabkan cacing dapat

37

Page 36: BAB II LBM II Digestive

memperbanyak diri dalam tubuh hospes. Masa hidup cacing dewasa adalah 4-6

minggu, tetapi autoinfeksi internal memungkinkan infeksi bertahan selama

bertahun-tahun. Cacing di dalam usus dapat mencapai jumlah 1.000 sampai 8.000

ekor pada seorang penderita.

Gambar : Siklus Hidup Hymenolepis Nana

Patologi dan Gejala Klinis

Parasit ini biasanya tidak menyebabkan gejala. Jumlah yang besar dari cacing

yang menempel pada dinding usus halus menimbulkan iritasi mukosa usus.

Kelainan yang sering timbul adalah toksemia umum karena penyerapan sisa

metabolit dari parasit masuk kedalam sistem peredaran darah penderita. Pada anak

kecil dengan infeksi berat, cacing ini kadang-kadang menyebabkan keluhan

neurologi yang gawat, berkurang berat badan, kurang nafsu makan, insomnia,

mengalami sakit perut dengan atau tanpa diare, nausea, muntah, kejang-kejang,

sukar tidur dan pusing. Bila supersensitif terjadi alergi. Eosinofilia sebesar 8-16%.

Sakit perut, obstipasi dan anoreksia merupakan gejala ringan.

4. Dipylidium Caninum (Cacing-Pita Anjing)

Morfologi

38

Page 37: BAB II LBM II Digestive

Caninum dipylidium adalah cacing pipih panjang berukuran kurang lebih 15-

17 cm, memiliki 60-175 proglotid. Skolek berbentuk belah ketupat dengan 4 batil

hisap lonjong dan menonjol,serta sebuah rostellum seperti kerucut refraktil yang

dilengkapi 30-150 kait tersusun menurut garis transversal.Proglotid gravid

berukuran 12x3 mm,dipenuhi telur yang bermembran , setiap kapsul berisi 8-20

butir telur. Proglotid hamil ini dapat aktif keluar anus atau keluar bersama tinja

satu persatu atau berkelompok 2-3 proglotid.Telur mengandung embrio yang tidak

tahan terhadap kekeringan. Didalam hospes perantara, oncospher akan

berkembang menjadi larva cysticercoid yang berekor.Manusia tertular secara

kebetulan jika tertelan kutu kucing atau anjing yang mengandung larva.

Gambar : Dipylidium Caninum

Daur Hidup

Segmen cacing yang mengandung telur yang mengandung telur gravid keluar

dari tubuh bersama feses anjing secara spontan. Segmen tersebut secara aktif

bergerak di daerah anus atau jatuh ke tanah dan membebaskan telur cacing.

Kapsul cacing yang berisi embrio akan termakan oleh larva pinjal. Kapsul tersebut

pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di dinding usus larva

pinjal yang selanjutnya berkembang mesnjadi sistiserkoid di dalam jaringan tubuh

larva. Saat pinjal menyelesaikan metamorfosisnya dan menjadi dewasa,

sistiserkoid mejadi infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal maka akan

terinfeksi oleh cacing Dipylidium sp. Di dalam usus akan mengalami evaginasi,

skoleks akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama akan berkembang

sebagai cacing dewasa.

39

Page 38: BAB II LBM II Digestive

Gambar : Siklus Hidup Dipylidium Caninum

Patologi dan Gejala Klinis

Selain menyebabkan rasa gatal di daerah anus karena keluarnya proglotid serta

rangsangan yang timbul oleh melekatnya proglotid tersebut. Rasa gatal tersebut akan

menyebabkan penderita menggosok gosokan bagian rektalnya di tanah. Penderita

dengan infeksi berat memperlihatkan gejala nafsu makan menurun dan berat badan

yang menurun.

Cacing dapat mengakibatkan enteritis kronis, muntah dan gangguan syaraf.

Rasa gatal di daerah anus yang diperlihatkan dengan menggosok-gosokan bagian

yang gatal tersebut serta berjalan dengan tubuh yang tegak merupakan petunjuk kuat

untuk diagnose.

4. Apa saja faktor resiko pada pasien tersebut?

KEADAAN RISIKO DAN KELOMPOK RISIKO TINGGI YANG

MUNGKIN MENGALAMI DIARE INFEKSI

1. Baru saja bepergian/melancong : ke negara berkembang, daerah tropis,

kelompok perdamaian dan pekerja sukarela, orang yang sering berkemah

(dasar berair)

40

Page 39: BAB II LBM II Digestive

2. Makanan atau keadaan makan yang tidak biasa: makanan Taut dan shell fish,

terutama yang mentah, Restoran dan rumah makan cepat saji (fast food),

basket dan piknik

3. Homoseksual, pekerja seks, pengguna obat intravena, risiko infeksi HIV,

sindrom usus homoseks (Gay bowel syndrome) sindrom defisiensi kekebalan

didapat (Acquired immune deficiency syndrome)

4. Baru saja menggunakan obat antimikroba pada institusi: institusi

kejiwaan/mental, rumah rumah perawatan,

rumah sakit.

5. Bagaimana penatalasanaan yang bisa dilakukan?

Penatalaksanaan pada diare akut antara lain :

Rehidrasi. Bila pasien keadaan umum baik tidak dehidrasi, asupan cairan yang

adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, sup dan keripik asin. Bila

pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif

seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung

elektrolit dan gula atau starch harus diberikan. Terapi rehidrasi oral murah, efektif dan

lebih praktis daripada cairan intravena. Cairan oral antara lain: pedialit, oralit dll.

Cairan infus antara lain: ringer laktat dll. Cairan diberikan 50 —200 ml/kgBB/24 jam

tergantung kebutuhan dan status hidrasi.

Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu din ilai dulu derajat dehidrasi.

Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Ringan bila pasien

mengalami kekurangan cairan 2-5% dari berat badan. Sedang bila pasien kehilangan

cairan 5-8% dari Berat Badan. Berat bila pasien kehilangan cairan 8-10% dari Berat

Badan.

Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan

jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan:

41

Page 40: BAB II LBM II Digestive

Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan

peroral (sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama 3 disertai

syok diberikan cairan per intravena.

Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang

nasogastrik atau intravena.

Bila dehidrasi sedang/berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infus

pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan/sedang pada pasien masih dapat

diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik , kecuali bila ada kontra indikasi atau

oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit

yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCI, 2,5 g Natrium Bikarbonat

dan 1,5 g KCI setiap liter. Contoh oralit generik, renalyte, pharolit dl I.

42

Page 41: BAB II LBM II Digestive

Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas:

a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan

cairan menurut rumus BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan

langsung dalam 2 jam ini agar tercapati rehidrasi optimal secepat

mungkin.

b. Satu jam berikut/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan

berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi

inisial sebelumnya. Bila tidal( ada syok atau skor Daldiyono kurang

dari 3 dapat diganti cairan per oral.

c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan

cairan melalui tinja dan Insensible water loss (IWL)

Diet. Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-muntah hebat.

Pasien dianjurkan justru minum minuman sari buah, teh, minuman tidak bergas,

makanan mudah dicerna seperti pisang, nasi, keripik dan sup. Susu sapi hares

dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien yang disebabkan oleh infeksi

virus dan bakteri. Minuman berkafein dan alkohol hams dihindari karena dapat

meningkatkan motilitas dan sekresi usus.

Obat anti-diare. Obat-obat ini dapat mengurangi gejala-gejala. a). Yang paling

efektif yaitu derivat opioid misal loperamide, difenoksilat-atropin dan tinktur opium.

Loperamide paling disukai karena tidak adilctifdan memiliki efek samping paling

kecil. Bismuth subsalisilat merupakan obat lain yang dapat digunakan tetapi

kontraindikasi pada pasien HIV karena dapat menimbulkan ensefalopati bismuth.

43

Page 42: BAB II LBM II Digestive

Obat antimotilitas penggunaannya hams hati-hati pada pasien disentri yang panas

(termasuk infeksi Shigella) bila tanpa disertai anti mikroba, karena dapat memperlama

penyembuhan penyakit. b). Obat yang mengeraskan tinja: atapulgite 4 x 2 tab/hari,

smectite 3 x 1 saset diberikan tiap diare/BAB encer sampai diare berhenti. c. Obat anti

sekretorik atau anti enkephalinase: Hidrasec 3 x 1 tab/hari.

Obat antimikroba. Karena kebanyakan pasien memiliki penyakit yang ringan,

self limited disease karena virus atau bakteri non-invasif, pengobatan empirik tidak

dianjurkan pada semua pasien. Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien-pasien

yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, diare turis (traveler :s diarrhea) atau

imunosupresif. Obat pilihan yaitu kuinolon (misal siprofloksasin 500 mg 2 x/hari

selama 5-7 hari). Obat ini baik terhadap bakteri patogen inyarsif termasuk

Campylobacter, Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Aeromonas species. Sebagai

alternatifyaitu kotrimoksazol (trimetoprim/sulfametoksazol, 160/800 mg 2 x/hari, atau

eritromisin 250 — 500 mg 4 x/hari. Metronidazol 250 mg 3 x/ hari selama 7 hari

diberikan bagi yang dicurigasi giardiasis.

Untuk turis tertentu yang bepergian ke daerah risiko tinggi;Tcuinolon (misal

siprofloksasin 500 mg/hari) dapat dipakai sebagai profilaktik yang memberikan

perlindungan sekitar 90%. Obat profilaktik lain termasuk trimetoprim-

sulfametoksazol dan bismuth subsalisilat. Patogen spesifik yang hares diobati a.l.

Vibrio cholerae, Clostridium difficile, parasit, traveler's diarrhea, dan infeksi karena

penyakit seksual (gonorrhea, sifilis, klamidiosis, and herpes simpleks). Patogen yang

mungkin diobati termasuk Vibrio non kolera, Yersinia, dan Campylobacter, dan bila

gejala lebih lama pada infeksi Aeromonas, Plesiomonas dan E coli enteropathogenic.

Obat pilihan bagi diare karena Clostridium difficile yaitu metronidazol oral 25-500

mg 4 x/hari selama 7-10 hari. Vankomisin merupakan obat alternatif, tetapi lebih

mahal dan hares dimakan oral karena tidak efektif bila diberikan secara parenteral.

Metronidazol intravena diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi

pemberian per oral. Obat antimikroba dapat dilihat pada Tabel 6.

44