14
II.1. Definisi Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch (IDAI, 2012). II.2. Epidemiologi Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spectrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporakan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan. Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai benua, melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid dengan angka kematian 10% (Crump, 2004). Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid,

Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aa

Citation preview

Page 1: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

II.1. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan,

ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial

dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati,

limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch (IDAI, 2012).

II.2. Epidemiologi

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai

negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sukar

ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spectrum klinisnya

sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan

dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah

endemis) dilaporakan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus. Angka yang kurang

lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan. Sebuah penelitian berbasis populasi

yang melibatkan 13 negara di berbagai benua, melaporkan bahwa selama tahun 2000

terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid dengan angka kematian 10% (Crump, 2004).

Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15 tahun.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid, pada kelompok

umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000 penduduk (Ochiai, 2008).

Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai

natural reservoir) manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat

mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu

yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat

hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang

kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. typhi hanya dapat hidup kurang dari 1

minggu pada raw sewage dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi

(temperature 63oC)

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman atau

makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa

kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui oro fekal = jalur oro-

fekal).

Page 2: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada

dala, bekterimia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari

seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan

sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.

II.3. Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram

negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak mempunyai spora, fakultatif

anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar

antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari

polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang

membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi

juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yng berkaitan dengan resistensi multipel

antibiotik.

Gambar 1. Salmonella typhi

II.4. Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan empat proses kompleks mengikuti

ingesti organisme, yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M peyer’s patch, (2)

bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di peyer’s patch, nodus limfatikus

mesenterikus dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri

bertahan hidup di aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan

kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke

dalam lumen intestinal.

Jalur masuknya bakteri ke lumen usus

Page 3: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam

tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (PH<2)

banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti alklorhidria, gastrektomi,

gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamine H2, inhibitor pompa

proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang

masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel

mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di

ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,

merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencappau folikel limfe

usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati

sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES organ hati dan limpa. Salmonella typhi

mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuclear di dalam folikel limfe,

kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya

ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu maka

Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus toraksikus masuk ke

dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun,

akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum

tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung

kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran

retrogard dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang

dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.

Peran endotoksin

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut

terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui

pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi

makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe

mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah

yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vascular yang tidak stabil, demam,

depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem

imunologik.

Respons imunologik

Page 4: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

Pada demam tiofid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di

tingkat local (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme

imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella

typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih

berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan

demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas selular terhadap antigen

Salmonella serotype typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah

besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa

memasuki epitel pejamu.

II.5. Manifestasi klinis

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata

antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis

ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai sangat berat sehingga harus

dirawat. Variasi gejala ini dipengaruhi oleh faktor galur salmonella, status nutrisi dan

imunologik pejamu serta lama sakit di rumahnya.

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada

era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada demam

tifoid mempunyai penampilan khusus yaitu step-ladder temperature chart yang

ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap

harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam

akan bertahan tinggi dan pada minggu keempat demam turun perlahan secara lisis,

kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka

demam akan menetap. Demam lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan

pada pagi harinya. Pada saat demem sudah tinggi, daapat disertai gejala sistem saraf

pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi atau penurunan

kesadaran mulai dari apatis sampai koma.

Gejala sistemik lainnya yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,

malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus

yang berpenampilan klinis berat pada demam tinggi akan tampak toksis atau sakit

berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok

hipovolemik yang disebabkan kurangnya cairan dan asupan makanan. Gejala

gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh

diare, obstipasi, obstipasi kemudian disusul dengan episode diare, pada sebagian

Page 5: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepid an ujungnya

kemerahan. Banyak ditemukan meteorismus dan hepatomegaly.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-

5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung

pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam

ini muncul pada hari ke-7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.

II.6. Komplikasi

Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan

perdarahan usus pada 1-10 % kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi

pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama.

Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan penignkatan

frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada

kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri menyelubung. Kemudian

akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya

keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus

halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.

Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar

bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan

koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan

prognosis buruk. Penyakit neurologi yang lain adalah thrombosis serebral, afasia,

ataksia serebral akut, tuli, myelitis transversal, neuritis perifer maupun kranial,

meningitis, ensefalomielitis, sindrom Gullain-Barre. Dari berbagai penyulit

neurologic yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan

ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.

Hepatitis tifosa asimptomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan

ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau

tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dijumpai,

sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam

tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman

(karier).

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui

urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga

Page 6: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

merupakan penyulit demam tifoid. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada

demam tifoid. Penyulit lain yang sering dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi

intravascular diseminata, hemolytic uremic sekunder (HUS), fokal infeksi di beberapa

lokasi sebagai akibat bakterimia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot,

kelenjar ludah dan persendian.

Gambaran darah tepi

Anemia normokromik normositik terjadi sebagai akibat perdaraham usus atau

supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah

3.000/ml3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat

mencapai 20.000-25.000/ml3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang

berlangsung beberapa minggu.

III.7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan

gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan gangguan kesadaran. Diagnosis pasti

ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit,

kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada

minggu berikutnya. Biakkan yag dilakukan pada urin dan faeces, kemungkinan

keberhasilan lebih kecil jika dibandingkan dengan biakkan dari sumsum tulang yang

memiliki sensitivitas lebih tinggi. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan

specimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup

baik.

Uji serologi Widal suatu metode serologic yang memeriksa antibody

aglutinasi terhadap antigen somatic (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat

diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O agglutinin > 1/40

dengan memakai uji Widal slide agglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %.

Banyak senter mengatur pendapat bahwa apabila titer O agglutinin sekali periksa >

1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kalii maka diagnosis demam tifoid

dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi

masa lampau, sedang Vi agglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi

(karier).

Dapat digunakan pula metoda pemeriksaan menggunakan Polymerase chain

reaction untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi dalam darah. Metoda ini

lebih spesifik dan sensitive dibandingkan dengan biakan darah.

Page 7: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

III.8. Diagnosis banding

Diagnosis banding dari demam tifoid antara lain influenza, gastroenteritis,

bronchitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme intraselular seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis

tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat,

sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat digunakan sebagai diagnosis

banding.

III.9. Tata laksana

Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan demam

tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian

selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus malnutrisi

pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomyelitis akut

dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya

angka relaps dan karier. Namun pada anak, hal tersebut jarang dilaporkan. Beberapa

penelitian melaporkan bahwa kloramfenikol sudah tidak direkomendasikan kembali

karena terdapat Multi Drugs Resistance Salmonella Typhi, adalah resistensi terhadap

lini pertama antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid yaitu kloramfenikol,

ampisilin, dan kotrimoksazol. Penyebab MDRST adalah pemakaian antibiotik yang

tidak rasional (over-used) dan perubahan faktor instrinstik dalam mikroba

(Hadinegoro, 1999)

Ampisilin memberikan respons perbaikian klinis yang kurang apabila

dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan yaitu 200 mg.kgBB/hari

dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100

mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral memberikan hasil yang setara

dengan kliramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Pemberian

sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau

2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200

mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolasi yang rentan. Efikasi

kuinolon baik, namun tidak dianjurkan untuk anak-anak. Cefixim oral 10-15

mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila

jumlah leukosit <2000/ml atau dijumpai resistensi terhadap S> typhi.

Page 8: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

Seftriakson merupakan antibiotik beta-lactamase dengan spektrum luas,

memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan 1-2 kali sehari. Efek

samping yang mungkin ditemukan adalah reaksi alergi, peningkatan fungsi hati,

trombositosis, dan leukopenia (Harrison, 2008). Acharya G dkk (2011) melaporkan

bahwa pasien demam tifoid menunjukkan respons klinis yang baik dengan pemberian

seftriakson sekali sehari. Lama demam turun rata-rata empat hari, semua hasil biakan

menjadi negatif pada hari keempat, dan tidak ditemukan kekambuhan. Hasil

laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin dan hitung leukosit normal, serta tidak

ditemukan gangguan fungsi hati dan ginjal (level of evidence 2b).

Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma,

shock, pemberian deksametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk

dosis awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg diberikan tiap 6 jam sampai 48 jam).

Oleh karena itu, pengamatan keadaan klinis pasien selama mendapat

pengobatan harus dievaluasi dengan cermat terutama mengenai parameter

keberhasilan pengobatan seperti keadaan umum, suhu, gejala intestinal, komplikasi

baik intra maupun ekstra intestinal, hitung leukosit, fungsi hati, dan asupan cairan

serta nutrisi (Sondang, 2010).

III.10. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya da nada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi

antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara berkembang, angka

mortalitasnya > 10 %, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan

pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan

hebat, meningitis, endocarditis dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas tinggi.

III.11. Pencegahan

Untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka setiap individu

harus memperhatikan kulaitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.

Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 \oC untuk beberapa

menit atau dengan proses iodinasi atau klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara

merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu

Page 9: Bab II Laporan Kasus Demam Tifoid Pada Anakaa

negara atau daerah tergantung pada baik dan buruknya pengadaan sarana air dan

pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hyigiene

pribadi. Imunisasi dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.