of 29 /29
7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tingkat Sosial Ekonomi Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat. Sedangkan pada Departemen Sosial menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan dan kesejahteraan sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (KBBI, 1996: 958). Sedangkan dalam konsep sosiologi, manu- sia sering disebut sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan orang lain di sekitarnya, sehingga kata sosial sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat. Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum. Maka secara garis besar ekonomi diartikan

BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6045/2/T2_942011091_BAB II… · LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori ... ekonomi berarti ilmu yang

Embed Size (px)

Text of BAB II LANDASAN TEORI -...

  • 7

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1 Landasan Teori

    2.1.1 Tingkat Sosial Ekonomi

    Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara

    bersamaan. Pengertian sosial dan pengertian ekonomi

    sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial

    dalam ilmu sosial menunjuk pada objeknya yaitu

    masyarakat. Sedangkan pada Departemen Sosial

    menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk

    mengatasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat

    dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup

    pekerjaan dan kesejahteraan sosial. Dalam Kamus

    Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala

    sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (KBBI,

    1996: 958). Sedangkan dalam konsep sosiologi, manu-

    sia sering disebut sebagai makhluk sosial yang artinya

    manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya

    bantuan orang lain di sekitarnya, sehingga kata sosial

    sering diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan

    dengan masyarakat.

    Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari

    kata Yunani yaitu oikos yang berarti keluarga atau

    rumah tangga dan nomos yaitu peraturan, aturan,

    hukum. Maka secara garis besar ekonomi diartikan

  • 8

    sebagai aturan rumah tangga atau manajemen rumah

    tangga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

    ekonomi berarti ilmu yang mengenai asas-asas pro-

    duksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta

    kekayaan (KBBI, 1996: 251).

    Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka

    dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah

    segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan

    kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan,

    perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

    Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan

    penghasilan. Hal ini disesuaikan dengan penelitian

    yang akan dilakukan. Untuk melihat kedudukan sosial

    ekonomi Melly G. Tan mengatakan adalah pekerjaan,

    penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masya-

    rakat tersebut dapat digolongkan ke dalam kedudukan

    sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi

    (Koentjaraningrat, 1981: 35).

    2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Sosial Ekonomi

    Faktor sosial ekonomi terdiri dari tingkat pendi-

    dikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan

    dalam keluarga.

    1. Tingkat Pendidikan

    Dalam Undang-undang Republik Indonesia

    Nomor 20 Tahun 2003, tentang pembaharuan sistem

    pendidikan nasional, pembaharuan dimaksud adalah

    memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan

  • 9

    pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai

    visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata

    sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdaya-

    kan semua warga negara Indonesia berkembang men-

    jadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan

    proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu ber-

    ubah.

    Pendidikan nasional mempunyai misi antara

    lain:

    1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan

    kesempatan memperoleh pendidikan yang ber-mutu bagi seluruh rakyat Indonesia;

    2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan

    potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewu-

    judkan masyarakat belajar;

    3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas

    proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

    4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabili-

    tas lembaga pendidikan sebagai pusat pembu-dayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, peng-

    alaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar

    nasional dan global;

    5. Memberdayakan peran serta masyarakat

    dalam penyelenggaraan pendidikan berdasar-

    kan prinsip otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional

    tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembang-

    kan kemampuan dan bentuk watak serta peradaban

    bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

    kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

  • 10

    potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

    beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa,

    berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

    mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis

    serta bertanggung jawab.

    2. Tingkat Pendapatan

    Salah satu konsep pendapatan yang penting

    dalam seluruh ekonomi adalah konsep pendapatan.

    Dalam hal ini konsep pendapatan yang biasanya

    diwujudkan dalam bentuk Gross National Product

    (GNP) ataupun dalam bentuk pendapatan perkapita

    biasanya dijadikan tolok ukur akan keberhasilan

    dalam sebuah perekonomian.

    Untuk mendapatkan gambaran yang jelas me-

    ngenai pendapatan maka ada baiknya penulis menge-

    mukakan beberapa ahli, antara lain:

    Menurut Sumitro Djojohadikusumo (1960:16),

    memberikan batasan pendapatan sebagai berikut:

    Jumlah barang-barang dan jasa-jasa yang mempe-

    ngaruhi tingkat kehidupan.

    Simanjuntak (1981;21) mengemukakan bahwa

    pendapatan yaitu:

    Semua penghasilan yang diterima oleh setiap orang dalam kegiatan ekonomi pada suatu periode.

    Pendapatan adalah penghasilan yang berupa upah

    atau gaji, bunga, denda, keuntungan, dan suatu

    arus uang yang diukur pada suatu periode waktu tertentu.

  • 11

    Selanjutnya Winardi (1969: 88) berpendapat

    bahwa yang dimaksud dengan pendapatan adalah:

    Cara normal untuk memperoleh suatu pendapatan

    terdiri dari pada tindakan melakukan prestasi

    ekonomi bernilai dengan perkataan lain. Dengan jalan menyelenggarakan jasa-jasa atau produksi

    benda-benda untuk mana terdapat permintaan

    yang bertenaga.

    Dari ketiga batasan yang dikemukakan di atas

    dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pendapatan diarti-

    kan semua barang dan jasa serta uang yang diperoleh

    atau diterima oleh masyarakat dalam satu tahun dan

    biasanya diwujudkan dalam skop nasional (National

    Income) dan adakalanya dalam skop individual yang

    lazim disebut pendapatan perkapita (personal income).

    3. Jumlah Tanggungan

    Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap

    belajar anak adalah jumlah tanggungan orang tua

    siswa. Jika orang tua siswa memiliki latar belakang

    sosial ekonomi yang cukup maka akan terpenuhi

    segala kebutuhan, sebaliknya jika sosial ekonomi

    kurang maka hanya sebagian saja yang mampu

    dipenuhi oleh orang tua.

    Slameto menjelaskan bahwa keadaan ekonomi

    keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak

    sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan

    pokoknya, misalnya makanan, pakaian, perlindungan

    kesehatan dan lain-lain juga kebutuhan fasilitas

  • 12

    belajar seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan,

    alat tulis menulis, buku-buku dan lain-lain. Fasilitas

    belajar ini hanya dapat terpenuhi jika mempunyai

    cukup uang. Jika siswa hidup dalam keluarga yang

    miskin maka kebutuhan siswa akan kurang terpenuhi

    akibatnya kesehatan siswa akan terganggu sehingga

    akan berdampak pada belajar siswa yang juga akan

    terganggu.

    Sardiman (1998) mengemukakan sehubungan

    dengan pemenuhan kebutuhan sebagai berikut:

    Pemenuhan kebutuhan siswa di samping bertu-juan untuk memberikan materi kegiatan secepat

    mungkin, juga materi pelajaran yang sudah

    diselesaikan dengan kebutuhan biasanya menjadi lebih menarik. Dengan demikian maka akan lebih

    membantu pelaksanaan proses belajar mengajar.

    Adapun yang menjadi kebutuhan jasmaniah adalah seperti makan, minum, tidur, pakaian, dan

    lain-lain.

    Keadaan ekonomi yang memadai dapat diukur

    dengan tingkat pendapatan orang tua, jumlah keluar-

    ga, dan besarnya beban tanggung jawab biaya yang

    dikeluarkan untuk masa waktu tertentu. Kemampuan

    orang tua siswa secara positif dapat mendukung

    kemampuan belajar siswa sebagai peserta didik yang

    dilihat dan peningkatan prestasi belajar atau minimal

    mampu berada pada standar nilai prestasi yang cukup

    membanggakan.

  • 13

    2.1.3 Pola Asuh

    Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri

    dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Umum

    Bahasa Indonesia, kata pola berarti model, sistem,

    cara kerja, bentuk (struktur yang tetap), sedangkan

    kata asuh mengandung arti menjaga, merawat, men-

    didik anak agar dapat berdiri sendiri. Orang tua

    adalah pendidik utama dan pertama sebelum anak

    memperoleh pendidikan di sekolah, karena dari

    keluargalah anak pertama kalinya belajar. Jadi

    keluarga tidak hanya berfungsi sebatas sebagai pene-

    rus keturunan saja, tetapi lebih dari itu adalah

    pembentuk kepribadian anak.

    Menurut Kohn, pola asuh merupakan sikap

    orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya.

    Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua membe-

    rikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara

    orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang

    tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap

    anaknya.

    Tarsis Tarmudji menyatakan bahwa pola asuh

    merupakan interaksi antara orang tua dengan anak-

    nya selama mengadakan pengasuhan. Pengasuhan ini

    berarti orang tua mendidik, membimbing, dan men-

    disiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai

    kedewasaan dengan norma-norma yang ada di masya-

    rakat.

  • 14

    Menurut Bjorklund dan Bjorklund, dkk. (1992)

    dalam Daeng Ayub Natuna (2007: 144) bahwa pola

    asuh orang tua adalah cara-cara orang tua berinter-

    aksi secara umum dengan anaknya. Dalam hal ini

    banyak macam klasifikasi yang dapat dilakukan, salah

    satunya adalah klasifikasi berikut: otoriter, permisif,

    dan otoritatif. M. Shochib (1998: 14) mengatakan

    bahwa, pola pertemuan antara orang tua sebagai

    pendidik dan anak sebagai terdidik dengan maksud

    bahwa orang tua mengarahkan anaknya sesuai

    dengan tujuannya, yaitu membantu anak memiliki

    dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Orang

    tua dengan anaknya sebagai pribadi dan sebagai

    pendidik, dapat menyingkap pola asuh orang tua

    dalam mengembangkan disiplin diri anak yang tersirat

    dalam situasi dan kondisi yang bersangkutan.

    Alex Sobur (1991: 23) mengatakan bahwa

    sebenarnya anak-anak yang diasuh secara langsung

    oleh ibu dan ayah adalah anak-anak yang beruntung,

    karena mereka tidak hanya mengalami satu tetapi

    beberapa pendekatan yang membuatnya dewasa.

    Proses pendewasaan ini akan banyak menentukan

    pembentukan kepribadian anak kelak. Ia akan me-

    miliki cara berpikir dan kehidupan perasaan yang

    kaya dan seimbang karena terbiasa menghadapi dua

    macam individu yang berbeda secara dekat dan terus

    menerus.

    Pola asuh terhadap anak hendaknya disesuai-

    kan dengan proses berpikir manusia, Piaget (dalam

  • 15

    Bell, 1981), berpendapat bahwa proses berpikir

    manusia merupakan suatu perkembangan yang

    bertahap dari berpikir intelektual konkrit ke abstrak

    berurutan melalui empat tahap perkembangan sebagai

    berikut:

    1. Periode sensori motor (0-2) tahun. Karakteris-tik periode ini merupakan gerakan-gerakan

    sebagai akibat reaksi langsung dari rang-

    sangan.

    2. Periode pra operasional (2-7) tahun. Operasi yang dimaksud di sini adalah suatu proses

    berpikir atau logik, dan merupakan aktifitas

    mental, bukan aktifitas sensori motor.

    3. Periode operasi kongkret (7-12) tahun. Dalam

    periode ini anak berpikirnya sudah dikatakan

    menjadi operasional. Periode ini disebut ope-rasi konkrit sebab berpikir logiknya didasarkan

    atas manipulasi fisik dari objek-objek.

    4. Periode formal (

  • 16

    dan aturan dari orang tua, tidak adanya hadiah

    ataupun pujian meski anak berperilaku sosial baik,

    tidak adanya hukuman meski anak melanggar

    peraturan.

    Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa orang

    tua yang menerapkan pola asuh permissif memberikan

    kekuasaan penuh pada anak, tanpa dituntut kewajib-

    an dan tanggung jawab, kurang kontrol terhadap

    perilaku anak dan hanya berperan sebagai pemberi

    fasilitas, serta kurang berkomunikasi dengan anak.

    Dalam pola asuh ini, perkembangan kepribadian anak

    menjadi tidak terarah, dan mudah mengalami kesulit-

    an jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada

    di lingkungannya.

    Prasetya dalam Anisa (2005) menjelaskan bahwa

    pola asuh permisif atau biasa disebut pola asuh

    penelantar yaitu dimana orang tua lebih memprioritas-

    kan kepentingannya sendiri, perkembangan kepriba-

    dian anak terabaikan, dan orang tua tidak mengetahui

    apa dan bagaimana kegiatan anak sehari-harinya.

    Dariyo dalam Anisa (2005) juga menambahkan

    bahwa pola asuh permissif yang diterapkan orang tua,

    dapat menjadikan anak kurang disiplin dengan

    aturan-aturan sosial yang berlaku. Namun bila anak

    mampu menggunakan kebebasan secara bertanggung

    jawab, maka dapat menjadi seorang yang mandiri,

    kreatif, dan mampu mewujudkan aktualitasnya.

  • 17

    b. Pola Asuh Otoriter

    Definisi pola asuh otoriter menurut beberapa

    ahli yaitu:

    Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua

    yang mendidik anak dengan menggunakan pola asuh

    otoriter memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: orang

    tua menerapkan peraturan yang ketat, tidak adanya

    kesempatan untuk mengemukakan pendapat, anak

    harus mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh

    orang tua, berorientasi pada hukuman (fisik maupun

    verbal), dan orang tua jarang memberikan hadiah

    ataupun pujian.

    Menurut Gunarsa (2000), pola asuh otoriter

    yaitu pola asuh di mana orang tua menerapkan aturan

    dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa mem-

    beri kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika

    anak tidak mematuhi akan diancam dan dihukum.

    Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat

    hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivi-

    tasnya menjadi kurang, sehingga anak menjadi tidak

    percaya diri pada kemampuannya.

    Senada dengan Hurlock, Dariyo dalam Anisa

    (2005), menyebutkan bahwa anak yang dididik dalam

    pola asuh otoriter, cenderung memiliki kedisiplinan

    dan kepatuhan yang semu.

  • 18

    c. Pola Asuh Demokratis

    Definisi pola asuh demokratis menurut beberapa

    ahli yaitu:

    Hurlock (2006) mengemukakan bahwa orang tua

    yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihat-

    kan ciri-ciri adanya kesempatan anak untuk berpen-

    dapat mengapa ia melanggar peraturan sebelum

    hukuman dijatuhkan, hukuman diberikan kepada

    perilaku salah, dan memberi pujian ataupun hadiah

    kepada perilaku yang benar.

    Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa dalam

    menanamkan disiplin kepada anak, orang tua yang

    menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan

    dan menghargai kebebasan yang tidak mutlak, dengan

    bimbingan yang penuh pengertian antara anak dan

    orang tua, memberi penjelasan secara rasional dan

    objektif jika keinginan dan pendapat anak tidak

    sesuai. Dalam pola asuh ini, anak tumbuh rasa

    tanggung jawab, mampu bertindak sesuai dengan

    norma yang ada.

    Dariyo dalam Anisa (2005) mengatakan bahwa

    pola asuh demokratis ini, di samping memiliki sisi

    positif dari anak, terdapat juga sisi negatifnya, di

    mana anak cenderung merongrong kewibawaan

    otoritas orang tua, karena segala sesuatu itu harus

    dipertimbangkan oleh anak kepada orang tua.

    Diakui dalam praktiknya di masyarakat, tidak

    digunakan pola asuh yang tunggal, dalam kenyataan

  • 19

    ketiga pola asuh tersebut digunakan secara bersama-

    an di dalam mendidik, membimbing, dan mengarah-

    kan anaknya, adakalanya orang tua menerapkan pola

    asuh otoriter, demokratis dan permissif. Dengan

    demikian, secara tidak langsung tidak ada jenis pola

    asuh yang murni diterapkan dalam keluarga, tetapi

    orang tua cenderung menggunakan ketiga pola asuh

    tersebut.

    Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan

    oleh Dariyo dalam Anisa (2005), bahwa pola asuh yang

    diterapkan orang tua cenderung mengarah pada pola

    asuh situasional, di mana orang tua tidak menerapkan

    salah satu jenis pola asuh tertentu, tetapi memungkin-

    kan orang tua menerapkan pola asuh secara fleksibel,

    luwes, dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang

    berlangsung saat itu.

    d. Tipe Penelantar

    Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan

    waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-

    anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk

    keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga

    kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak

    mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku

    penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang

    depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak

    mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis

    pada anak-anaknya.

  • 20

    2. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

    a. Faktor Internal

    Fakor internal, misalnya latar belakang keluarga

    orang tuanya, usia orang tua dan anak, pendidikan

    dan wawasan orang tua, jenis kelamin orng tua dan

    anak, karakter anak dan konsep peranan orang tua

    dalam keluarga.

    b. Faktor Eksternal

    Faktor eksternal, misalnya adalah tradisi yang

    berlaku dalam lingkungannya, sosial ekonomi dalam

    lingkungannya, dan semua hal yang berasal dari luar

    lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi pola

    asuh keuarganya.

    2.1.4 Sikap

    Pada umumnya rumusan-rumusan mengenai

    sikap mempunyai persamaan unsur, yaitu adanya

    kesediaan untuk merespon terhadap suatu situasi.

    Triandis, 1971 (dalam Slameto, 2010) mendefinisikan

    sebagai berikut: An attitude is an idea charget with

    emotion which predis proses a class of actions to a

    particular class of social situations.

    Slameto (2010) mengatakan, sikap terbentuk

    melalui bermacam-macam cara, antara lain:

    1. melalui pengalaman yang berulang-ulang, atau

    dapat pula melalui suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman

    traumatik);

  • 21

    2. melalui imitasi, peniruan dapat terjadi tanpa

    disengaja, dapat pula dengan disengaja. Dalam hal terakhir individu harus mempunyai minat

    dan rasa kagum terhadap mode, di samping itu

    diperlukan pula pemahaman dan kemampuan untuk mengenal dan mengingat model yang

    hendak ditiru; peniruan akan terjadi lebih

    lancar bila dilakukan secara kolektif daripada

    perorangan;

    3. melalui sugesti, di sini seseorang membentuk

    suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan

    dan pemikiran yang jelas, tapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang

    atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam

    pandangannya;

    4. melalui identifikasi, di sini seseorang meniru

    orang lain atau organisasi/badan tertentu

    didasari suatu keterikatan emosional sifatnya; meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti

    berusaha menyamai; identifikasi ini sering

    terjadi antara anak dengan ayah, pengikut

    dengan pemimpin, siswa dengan guru, antara anggota suatu kelompok dengan anggota lain-

    nya dalam kelompok tersebut yang dianggap

    paling mewakili kelompok yang bersangkutan.

    Berkowitz tahun 1972 pernah mendaftarkan

    lebih dari tiga puluh definisi tentang sikap (Azwar,

    2004), namun secara garis besarnya dapat dibagi

    menjadi tiga kelompok pemikiran, yaitu:

    1. Kelompok pertama yang diwakili oleh Louis

    Thurstone (1928), Rensis Likert (1932), Charles Osgood (1975), mengatakan bahwa sikap

    adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi

    perasaan, baik perasaan mendukung atau

    memihak (favorable) maupun parasaan tidak mendukung dan tidak memihak (unfavorable)

    terhadap objek sikap tertentu.

    2. Kelompok kedua yang diwakili oleh Chave (1928), Bogardus (1931), La Piere (1934), Mead

  • 22

    (1934), dan Girdon Allport (1935), mengatakan

    bahwa, sikap adalah semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara

    tertentu, apabila individu dihadapkan pada

    suatu stimulus yang menghendaki adanya respons;

    3. Kelompok ketiga adalah yang mengatakan

    bahwa, sikap merupakan konstalasi kompo-

    nen-komponen kognitif, afektif, dan konatif. Termasuk dalam kelompok ini Secord &

    Backman (1964) mengatakan bahwa, sikap

    adalah sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (efeksi), pemikiran (kognisi), dan pre-

    disposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap

    suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

    Para ahli psikologi sosial mutakhir mengklasifi-

    kasikan pemikiran terhadap sikap dengan dua pende-

    katan atau pemandangan (Azwar, 2006). Pertama

    mengatakan bahwa sikap sebagai kombinasi reaksi

    afektif, perilaku kognitif terhadap suatu objek. Pemi-

    kiran ini terkenal dengan pendekatan skema triadik

    atau pendekatan tricomponent. Kedua, karena tidak

    puas terhadap penjelasan dan terdapatnya inkonsis-

    tensi antara komponen kognitif, afektif, dan perilaku,

    maka muncul pemikiran bahwa konsep sikap tersebut

    hanya terdiri dari satu komponen (single component)

    yaitu pada aspek afektif saja.

    1. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

    Slameto (2010) mengatakan, ada banyak hal

    yang menyebabkan sulitnya mengubah suatu sikap,

    antara lain:

  • 23

    (1) Adanya dukungan dari lingkungan terhadap

    sikap yang bersangkutan. Manusia selalu ingin mendapatkan respon dan penerimaan dari ling-

    kungan, dan karena itu ia akan berusaha menam-

    pilkan sikap-sikap yang dibenarkan oleh lingkung-annya. Keadaan semacam ini membuat orang

    tidak cepat mengubah sikapnya; (2) Adanya peran-

    an tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian

    sesorang (misalnya egodefensive); (3) Bekerjanya asas selektivitas. Seseorang cenderung tidak mem-

    persepsi data-data baru yang mengandung infor-

    masi yang bertentangan dengan pandangan-pandangan dan sikap-sikapnya yang telah ada.

    Kalaupun sampai dipersepsi, biasanya tidak ber-

    tahan lama, yang bertahan lama adalah informasi yang sejalan dengan pandangan atau sikapnya

    yang sudah ada; (4) Bekerjanya prinsip memper-

    tahankan keseimbangan. Bila kepada seseorang disajikan informasi yang dapat membawa suatu

    perubahan dalam dunia psikologinya, maka infor-

    masi itu akan dipersepsi sedemikian rupa, sehing-

    ga hanya akan menyebabkan perubahan-peru-bahan yang se-perlunya saja; (5) Adanya kecende-

    rungan seseorang untuk menghindari kontak

    dengan data yang bertentangan dengan sikap-sikap yang telah ada (misalnya tidak mau meng-

    hadiri ceramah mengenai hal yang tidak disetu-

    juinya); (6) Adanya sikap yang tidak kaku pada sementara orang untuk mempertahankan penda-

    pat-pendapatnya sendiri.

    Sedangkan Azwar (1995) menyimpulkan bahwa

    faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

    adalah:

    (1) Pengaruh orang tua. Orang tua sangat besar

    pengaruhnya terhadap kehidupan anak-anaknya.

    Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya. Misalnya, orang tuanya pemusik,

    maka akan cenderung melahirkan anak-anak yang

    senang musik; (2) Pengaruh kebudayaan. Burrhus Frederic skin, seperti yang dikutip Azwar sangat

    menekankan pengaruh lingkungan (termasuk

    kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang.

  • 24

    Kepribadian merupakan pola perilaku yang kon-

    sisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 1995).

    Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi

    individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaanlah

    yang menanamkan garis pengaruh sikap individu terhadap berbagai masalah; (3) Lembaga pendidik-

    an dan lembaga agama. Lembaga pendidikan serta

    lembaga agama sebagai sesuatu sistem mempu-nyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikare-

    nakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan

    konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara

    sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan,

    diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keaga-maan serta ajaran-ajarannya.

    Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama

    sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidak-

    lah mengherankan kalau pada gilirannya konsep

    tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap

    individu terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat

    sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umum-

    nya orang akan mencari informasi lain untuk mem-

    perkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang

    tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal

    seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga

    pendidikan atau lembaga agama seringkali menjadi

    determinan tunggal yang menentukan sikap.

    a. Komponen Sikap

    Djamarah (2000) berpendapat bahwa sesuatu

    yang belum diketahui dapat mendorong siswa untuk

    mencari tahu. Siswa pun mempunyai keyakinan dan

  • 25

    pendirian serta mengambil sikap tentang apa yang

    harus dilakukan. Jadi, sikap siswa dapat dipengaruhi

    oleh motivasi sehingga ia dapat menentukan sikap

    dalam belajar.

    Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa

    munculnya sikap seorang siswa diiringi oleh minatnya

    terhadap suatu objek. Kemudian diyakini bahwa objek

    yang menarik minat siswa tersebut misalnya proses

    pembelajaran akan terjadi atas dasar motivasi siswa

    sehingga akan menentukan sikap siswa itu untuk

    belajar.

    Menurut Walgito (2004), sikap mengandung tiga

    komponen, yaitu: kognitif (konseptual), afektif

    (emosional), konatif (perilaku) atau action component.

    1. Komponen kognitif yaitu komponen yang ber-

    kaitan dengan pengetahuan, pandangan, keya-kinan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan

    bagaimana orang mempersepsi objek sikap;

    2. Komponen afektif yaitu yang berhubungan rasa senang atau tidak senang terhadap objek

    sikap;

    3. Komponen konatif yaitu komponen yang ber-kaitan dengan kecenderungan untuk berperi-

    laku terhadap objek sikap. Komponen ini

    menunjukkan intensitas sikap, yaitu menun-jukkan besar kecilnya kecenderungan bertin-

    dak atau berperilaku seseorang terhadap objek

    sikap.

    Di antara ketiga komponen sikap tersebut dapat

    dijelaskan bahwa komponen sikap afektif perlu men-

    dapatkan penekanan secara khusus karena sikap

  • 26

    afektif ini merupakan sumber motif yang terdapat di

    dalam diri siswa.

    Slameto (2010), mengemukakan beberapa metode

    yang dipergunakan untuk mengubah sikap, antara

    lain:

    1. Dengan mengubah komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan. Caranya dengan

    memberi informasi-informasi baru mengenai

    objek sikap, sehingga komponen kognitif men-

    jadi luas. Hal ini akhirnya diharapkan akan merangsang komponen efektif dan komponen

    tingkah lakunya;

    2. Dengan cara mengadakan kontak langsung dengan objek sikap. Dalam cara ini komponen

    afektif turut pula dirangsang. Cara ini paling

    sedikit akan merangsang orang-orang yang bersikap anti untuk berpikir lebih jauh tentang

    objek sikap yang tidak mereka senangi;

    3. Dengan memaksa orang menampilkan tingkah laku baru yang tidak konsisten dengan sikap-

    sikap yang sudah ada. Kadang-kadang ini

    dapat dilakukan melalui kekuatan hukum.

    Dalam hal ini kita berusaha langsung mengu-bah komponen tingkah lakunya.

    Meskipun terdapat banyak faktor yang menye-

    babkan sikap cenderung bertahan, namun dalam

    kenyataannya tetap terjadi perubahan-perubahan

    sikap sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan

    sehari-hari.

    b. Peraturan Sekolah

    Setiap sekolah mempunyai aturan-aturan yang

    disebut tata tertib. Dalam tata tertib berisi aturan-

  • 27

    aturan yang harus ditaati oleh warga sekolah. Tata

    tertib bertujuan agar tercipta suasana yang tenang

    dan nyaman dalam belajar. Aturan sekolah ada yang

    secara tertulis dan tidak tertulis.

    Peraturan atau pedoman, pegangan, patokan

    tingkah laku, sering disebut dengan norma (William

    Chang, 2003: 83). Norma adalah formulasi warga

    masyarakat akan nilai-nilai yang dianutnya.

    Norma-norma itu mempunyai dua macam isi,

    dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan.

    Apakah yang dimaksud perintah dan larangan

    menurut isi norma tersebut? Perintah merupakan

    kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh

    karena akibat-akibatnya dipandang baik, sedangkan

    larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk

    tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya

    dipandang tidak baik. Ada bermacam-macam norma

    yang berlaku di masyarakat.

    Macam-macam norma yang telah dikenal luas

    ada empat, yaitu:

    1. Norma Agama

    Peraturan hidup yang harus diterima manusia

    sebagai perintah-perintah, laranganlarangan dan

    ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha

    Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat

    hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa siksa

    kelak di akhirat. Contoh norma agama ini di antaranya

  • 28

    ialah: (a) Kamu dilarang membunuh; (b) Kamu

    dilarang mencuri.; (c) Kamu harus patuh kepada

    orang tua; (d) Kamu harus beribadah; dan (e) Kamu

    jangan menipu.

    2. Norma Kesusilaan

    Peraturan hidup yang berasal dari suara hati

    sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan

    ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesal-

    an. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal,

    dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Contoh

    norma ini di antaranya ialah: (a) Kamu tidak boleh

    mencuri milik orang lain; (b) Kamu harus berlaku

    jujur; (c) Kamu harus berbuat baik terhadap sesama

    manusia; (d) Kamu dilarang membunuh sesama

    manusia.

    3. Norma Kesopanan

    Norma yang timbul dan diadakan oleh masya-

    rakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga

    masing-masing anggota masyarakat saling hormat

    menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma

    ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini

    adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan.

    Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepa-

    tutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masya-

    rakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun,

    tata krama atau adat istiadat. Norma kesopanan tidak

  • 29

    berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan

    bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya

    berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa

    yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat,

    mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh

    norma ini di antaranya ialah: (a) Berilah tempat

    terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api,

    bus dan lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil

    atau membawa bayi; (b) Jangan makan sambil

    berbicara; (c) Janganlah meludah di lantai atau di

    sembarang tempat; dan (d) Orang muda harus

    menghormati orang yang lebih tua.

    Kebiasaan merupakan norma yang keberadaan-

    nya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang

    mengikat walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah.

    Kebiasaan adalah tingkah laku dalam masyarakat

    yang dilakukan berulang-ulang mengenai sesuatu hal

    yang sama, yang dianggap sebagai aturan hidup.

    Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan

    dengan adat istiadat.

    Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial

    yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan

    maksud mengatur tata tertib. Ada pula yang meng-

    anggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun

    yang turun temurun. Pada umumnya adat istiadat

    merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang

    suci (sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat

    yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak

    merupakan tradisi rakyat.

  • 30

    4. Norma Hukum

    Peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat

    oleh lembaga kekuasaan negara, isinya mengikat

    setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan

    dengan segala paksaan oleh alat-alat negara. Sumber-

    nya bisa berupa peraturan perundangundangan,

    yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama.

    Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya

    yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman.

    Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-

    peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat

    dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan

    negara. Contoh norma ini di antaranya ialah:

    (a) Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/

    nyawa orang lain, dihukum karena membunuh dengan

    hukuman setinggi-tingginya 15 tahun; (b) Orang

    yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan,

    diwajibkan mengganti kerugian, misalnya jual beli;

    (c) Dilarang mengganggu ketertiban umum.

    Hukum biasanya dituangkan dalam bentuk

    peraturan yang tertulis, atau disebut juga perundang

    undangan. Perundangundangan baik yang sifatnya

    nasional maupun peraturan daerah dibuat oleh

    lembaga formal yang diberi kewenangan untuk

    membuatnys. Oleh karena itu, norma hukum sangat

    mengikat bagi warga Negara.

  • 31

    c. Hubungan antar-Norma

    Kehidupan manusia dalam bermasyarakat selain

    diatur oleh hukum juga diatur oleh norma-norma

    agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-

    kaidah lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu mengikat

    dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana

    kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan

    kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi. Arti-

    nya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia dalam

    masyarakat dalam hal-hal hukum tidak mengaturnya.

    Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu

    kaidah hukum, misalnya kamu tidak boleh mem-

    bunuh diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah

    agama, kesusilaan, dan adat juga berisi suruhan yang

    sama.

    Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum

    pun dalam masyarakat sudah ada larangan untuk

    membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku

    untuk pencurian, penipuan, dan lain-lain pelang-

    garan hukum. Hubungan antara norma agama,

    kesusilaan, kesopanan dan hukum yang tidak dapat

    dipisahkan itu dibedakan karena masing-masing me-

    miliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumber-

    nya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

    Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil).

    Norma kesopanan sumbernya keyakinan masyarakat

    yang bersangkutan dan norma hukum sumbernya

    peraturan perundang-undangan.

  • 32

    Di dalam setiap masyarakat terdapat pola

    perilaku (pattern of behavior). Pola perilaku merupakan

    cara-cara masyarakat bertindak atau berkelakuan

    sama dan harus diikuti oleh semua anggota masya-

    rakat tersebut. Setiap manusia dalam masyarakat

    selalu mengikuti pola-pola perilaku masyarakat

    sekitarnya. Selain dipengaruhi oleh tindakan bersama,

    pola-pola perilaku masyarakat sangat dipengaruhi

    kebudayaan masyarakatnya. Pola perilaku berbeda

    dengan kebiasaan. Kebiasaan merupakan cara bertin-

    dak seorang anggota masyarakat yang kemudian

    diakui dan mungkin diikuti oleh orang lain. Pola

    perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan dilak-

    sanakan apabila berhubungan dengan orang lain,

    disebut social organization. Sedangkan kebiasaan,

    tidak perlu dilakukan seseorang di dalam hubungan-

    nya dengan orang lain. Khususnya dalam mengatur

    hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan

    pula struktur normatif atau designs for living yaitu

    garis-garis atau petunjuk dalam hidup. Artinya,

    kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang

    perilaku atau blueprint for behavior, yang menetapkan

    peraturan-peraturan tentang apa yang harus dilaku-

    kan, apa yang seharusnya dilakukan, dan apa yang

    dilarang (Koentjaraningrat: 1990).

    Unsur-unsur normatif yang merupakan bagian

    dari kebudayaan adalah sebagai berikut: (1) Unsur-

    unsur yang menyangkut penilaian (valuational

    elements), misalnya apa yang baik dan buruk, apa

  • 33

    yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, apa

    yang sesuai dengan keinginan dan apa yang tidak

    sesuai dengan keinginan; (2) Unsur-unsur yang ber-

    hubungan dengan apa yang seharusnya (prescriptive

    elements), misalnya bagaimana orang harus berperi-

    laku; (c) Unsur-unsur yang menyangkut kepercayaan

    (cognitive elements), misalnya harus mengadakan

    upacara adat pada saat kelahiran, perkawinan dan

    sebagainya.

    Jadi kaidah-kaidah kebudayaan adalah peratur-

    an tentang tingkah laku atau tindakan yang harus

    dilakukan dalam suatu keadaan tertentu. Berlakunya

    kaidah dalam suatu kelompok manusia tergantung

    pada kekuatan kaidah tersebut sebagai petunjuk

    tentang bagaimana seseorang harus berperilaku.

    Artinya sampai seberapa jauh kaidah-kaidah tersebut

    diterima oleh anggota kelompok, sebagai petunjuk

    perilaku yang pantas.

    2.2 Rumusan Hipotesis

    Hasil penelitian studi eksplorasi faktor-faktor

    pembetukan siswa adalah:

    Penelitian yang dilakukan oleh Kristiadi (2000)

    yang meneliti 52 responden dengan menggunakan

    skala sikap yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha

    () sebesar 0,79 diperoleh koefisien korelasi sebesar

    -0,521. Artinya bahwa tingkat pendidikan dan penda-

    patan orang tua siswa memberikan sumbangan tinggi

  • 34

    kategori sikap yang bersifat negatif. Sumbangan

    tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terha-

    dap sikap siswa sebesar 27%.

    Penelitian yang dilakukan Yuniati (2003) yang

    meneliti 59 responden dengan menggunakan skala

    sikap yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha ()

    sebesar 0,94 diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,96.

    Dari penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan

    bahwa tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua

    siswa berbalikan terhadap sikap siswa. Semakin tinggi

    tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua semakin

    tinggi kategori sikap siswa yang bersifat negatif.

    Sumbangan tingkat pendidikan dan pendapatan orang

    tua terhadap sikap siswa sebesar 92%.

    Penelitian yang dilakukan Sasongkowati (2000)

    yang meneliti 122 responden dengan menggunakan

    skala sikap yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha

    () sebesar 0.95 diperoleh koefisien korelasi sebesar

    -0,78. Artinya bahwa tingkat pendidikan dan penda-

    patan orang tua siswa memberikan sumbangan ber-

    balikan terhadap sikap siswa. Semakin tinggi tingkat

    pendidikan dan pendapatan orang tua semakin tinggi

    kategori sikap siswa yang bersifat negatif. Sumbangan

    tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terha-

    dap sikap siswa sebesar 60%.

  • 35

    2.3 Hipotesis Penelitian

    Berdasarkan latar belakang dan teori-teori yang

    ada, hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini

    adalah:

    1. Ada hubungan signifikan antara tingkat sosial

    ekonomi orang tua dengan sikap siswa terhadap

    peraturan sekolah;

    2. Ada hubungan signifikan antara pola asuh

    keluarga dengan sikap siswa terhadap peraturan

    sekolah.

    2.4 Model

    Keterangan bagan:

    X1 = simbol untuk variabel tingkat sosial ekonomi orang tua

    X2 = simbol untuk variabel pola asuh

    Y = simbol untuk variabel sikap siswa

    Tingkat social ekonomi Orang tua (X1)

    Sikap Siswa (Y)

    Pola Asuh (X1)