29
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Darah Darah merupakan suatu komponen tubuh yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia. Darah memiliki fungsi antara lain sebagai pembawa oksigen. Hematopoiesis merupakan proses pembentukan komponen sel darah merah, dimana terjadi proliferasi, maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan peningkatan atau pelipatgandaan jumlah sel dari satu sel hematopoietik pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah, sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat khusus yang berbeda-beda (Lubis, 2006; Christensen, 2016) . Sistem hematopoetik memiliki karakteristik berupa pergantian sel yang konstan untuk mempertahankan populasi leukosit, trombosit dan eritrosit. Sistem hematopoetik dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Stem sel (progenitor awal ) untuk menyokong hematopoesis 2. Colony Forming Unit (CFU) selanjutnya berkembang dan berdiferensiasi dalam memproduksi sel 3. Faktor regulator yang mengatur agar sistem berlangsung teratur. Sel stem merupakan satu sel induk yang mempunyai kemampuan berdeferensiasi menjadi beberapa turunan, membelah diri dan memperbaharui populasi sel stem itu sendiri dibawah pengaruh faktor pertumbuhan hematopoetik. Hematopoetik membutuhkan perangsang untuk memicu pertumbuhan koloni granulosit dan makrofag yang disebut Colony Stimulating Factor (CSF) yang merupakan glikoprotein. Dalam proses selanjutnya diketahui regulasi hematopoesis sangat kompleks dan banyak faktor pertumbuhan yang berfungsi tumpang tindih serta banyak tempat yang memproduksi faktor- faktor tersebut termasuk organ hematopoetik. Dikenal sejumlah sitokin yang mempunyai peranan dalam meningkatkan aktifitas hematopoetik diantaranya IL-3 (interleukin), IL-4, GM-CSF (Granulosit Macrophage Colony Stimulating Factor) (Lubis, 2006).

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

  • Upload
    lethuy

  • View
    218

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Darah

Darah merupakan suatu komponen tubuh yang sangat penting guna kelangsungan hidup

manusia. Darah memiliki fungsi antara lain sebagai pembawa oksigen. Hematopoiesis

merupakan proses pembentukan komponen sel darah merah, dimana terjadi proliferasi,

maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan

peningkatan atau pelipatgandaan jumlah sel dari satu sel hematopoietik pluripotent

menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah,

sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat

khusus yang berbeda-beda (Lubis, 2006; Christensen, 2016) .

Sistem hematopoetik memiliki karakteristik berupa pergantian sel yang konstan untuk

mempertahankan populasi leukosit, trombosit dan eritrosit. Sistem hematopoetik dibagi

menjadi tiga, yaitu :

1. Stem sel (progenitor awal ) untuk menyokong hematopoesis

2. Colony Forming Unit (CFU) selanjutnya berkembang dan berdiferensiasi dalam

memproduksi sel

3. Faktor regulator yang mengatur agar sistem berlangsung teratur.

Sel stem merupakan satu sel induk yang mempunyai kemampuan berdeferensiasi

menjadi beberapa turunan, membelah diri dan memperbaharui populasi sel stem itu sendiri

dibawah pengaruh faktor pertumbuhan hematopoetik. Hematopoetik membutuhkan

perangsang untuk memicu pertumbuhan koloni granulosit dan makrofag yang disebut

Colony Stimulating Factor (CSF) yang merupakan glikoprotein. Dalam proses selanjutnya

diketahui regulasi hematopoesis sangat kompleks dan banyak faktor pertumbuhan yang

berfungsi tumpang tindih serta banyak tempat yang memproduksi faktor- faktor tersebut

termasuk organ hematopoetik. Dikenal sejumlah sitokin yang mempunyai peranan dalam

meningkatkan aktifitas hematopoetik diantaranya IL-3 (interleukin), IL-4, GM-CSF

(Granulosit Macrophage Colony Stimulating Factor) (Lubis, 2006).

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

Gambar 2.1. Sistem Hematopoesis (Haggstrom, 2011).

Hematopoiesis pada manusia terdiri atas beberapa periode :

1. Mesoblastik

Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah fertilisasi. Mula-mula

terbentuk dalam blood island yang merupakan pelopor dari sistem vaskuler dan

hematopoesis. Proses ini diidentifikasi terjadi di dalam yolk sac. Pada masa gestasi 8

minggu blood island mengalami regresi.

2. Hepatik

Dimulai sejak embrio umur 9 minggu dan terjadi di hati, sedangkan pada limpa terjadi

pada umur 12 minggu dengan produksi yang lebih sedikit dari hati. Hematopoesis dalam

hati terutama adalah eritropoesis walaupun masih ditemukan sirkulasi granulosit dan

trombosit

3. Mieloid

Dimulai pada usia kehamilan 20 minggu dan terjadi di dalam sumsum tulang, kelenjar

limfonodi, dan timus. Di sumsum tulang, hematopoiesis berlangsung seumur hidup dan

terutama menghasilkan HbA, granulosit, dan trombosit. Pada kelenjar limfonodi

terutama dihasilkan sel-sel limfosit, sedangkan pada timus yaitu limfosit, terutama

limfosit T (Djajadiman, 2002).

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan sel darah di antaranya adalah

asam amino, vitamin, mineral, hormon, ketersediaan oksigen, transfusi darah, dan faktor-

faktor perangsang hematopoietik.

Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan

sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem kardiovaskular dan tersusun

dari :

1. Komponen korpuskuler atau seluler

Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik

yang terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keping trombosit yang kesemuanya

dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel

darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa hidupnya berakhir. Agar

fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktu tertentu ketiga

butiran darah tersebut akan diganti serta diperbaharui dengan sel sejenis yang baru.

2. Komponen cairan.

Komponen cair yang juga disebut plasma menempati lebih dari 50 % volume organ

darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air dan bagian kecilnya terdiri

dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah

albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk faktor pembekuan dan untuk

fibrinolisis.

Sel darah merah merupakan cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7.5 mikron,

tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1 mikron atau kurang. Sel darah merah

tersusun atas membran yang sangat tipis sehingga sangat mudah untuk difusi oksigen

serta karbon dioksida . Eritrosit dapat mencapai umur 120 hari.

Sel darah merah yang matang mengandung 200-300 juta hemoglobin, terdiri dari

heme (gabungan protoporfirin dengan besi) dan globin yang merupakan bagian dari

protein yang tersusun dari 2 rantai alfa dan 2 rantai beta serta enzim seperti Glucosa 6-

phosphate dehydrogenase (G6PD). Hemoglobin mengandung kira-kira 95% besi dan

berfungsi membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen menjadi oksihemoglobin

dan diedarkan keseluruh tubuh untuk kebutuhan metabolisme.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

2. Transfusi darah merah pada anak dengan penyakit kritis

2.a. Penyakit kritis

Penyakit kritis merupakan penyakit yang membutuhkan pertolongan secepatnya karena

dapat menyebabkan risiko kematian ataupun kecacatan. Menurut Permenkes Nomor

416/Menkes/Per/2011 yang termasuk penyakit kritis atau kriteria gawat darurat adalah

sebagai berikut:

a. Anemia sedang/berat

b. Apnea/ gasping

c. Bayi ikterus/anak ikterus

d. Bayi kecil/ prematur

e. Cardiac arrest/ Payah jantung

f. Diare profus (lebih dari 10 kali perhari) disertai dehidrasi

g. Difteri

h. Ditemukan bising jantung, aritmia

i. Edema/ bengkak seluruh badan

j. Epistaksis, tanda perdarahan lainnya disertai febris

k. Gagal ginjal akut

l. Gangguan kesadaran

m. Hematuria

n. Hipertensi berat

o. Hipotensi/ syok

p. Intoksikasi dengan keadaan umum masih baik ataupun intoksikasi disertai gangguan

fungsi vital

q. Kejang disertai penurunan kesadaran

r. Muntah profus (lebih dari 6 hari) disertai dehidrasi ataupun tidak

s. Panas tinggi lebih dari 40 ° C

t. Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun, sianosis ada retraksi hebat (penggunaan

otot pernafasan sekunder)

u. Sesak tapi kesadaran dan keadaan umum masih baik

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

v. Syok berat : nadi tidak teraba tekanan darah terukur termasuk Dengue Shock

Syndrome

w. Tetanus

x. Tidak kencing lebih dari 8 jam

y. Tifus abdominalis dengan komplikasi ( HIA , 2003; LIA, 2003).

Anak dengan penyakit kritis di ruangan pediatric intensive care unit umumnya

terindikasi untuk mendapatkan transfusi darah dengan berbagai alasan. Para dokter

seharusnya memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai produk darah, indikasi,

dan kontraindikasi serta efek samping yang mungkin ditimbulkan karena transfusi darah

tersebut mengingat anak sangat jauh berbeda dengan keadaan orang dewasa saat masa

pertumbuhan dan perkembangannya. Secara umum indikasi dilakukannya transfusi darah

yakni:

a. Menjaga kadar hemoglobin guna meningkatkan transportasi oksigen dalam tubuh.

b. Menjaga keseimbangan fungsi jantung

c. Menjaga mekanisme hemostasis tubuh (Istaphonous, 2011).

Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan pedoman dalam transfusi pada anak

dengan penyakit kritis ( Nahum ,2002) .

2.b. Transfusi sel darah merah

Transfusi sel darah merah merupakan trasnfusi yang tersering digunakan pada anak dengan

penyakit kritis di ruang Pediatric Intensive Care Unit. Hampir 50% pasien yang dirawat

pada ruangan tersebut mendapatkan transfusi sel darah merah. Batas dari transfusi sel darah

merah masih merupakan hal yang kontroversial pada dunia penelitian kedokteran.

Pemberian transfusi sel darah merah tidaklah terbatas hanya menurut kadar hemoglobin

namun ada beberapa unsur yang harus dipertimbangkan yakni :

a. Kadar Hemoglobin yang rendah antara 7-9 g/dl

b. Nilai saturasi yang rendah

c. Nilai PaO2 yang rendah

d. Rendahnya cardiac output

e. Tingkat keparahan dari suatu penyakit

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

f. Perdarahan yang aktif

g. Tindakan operasi yang bersifat emergensi (Lacroix, 2007; Rieles, 2007; Lacroix,

2014).

Sementara menurut beberapa kepustakaan terdapat beberapa Patofisiologi anemia pada

penyakit kritis , diantaranya : (Didomenico, 2004; Walsh, 2006).

a. Perdarahan

Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. Angka kejadiannya

sekitar 40% dari penderita yang dirawat di ruang intensif dan 33% dari jumlah tersebut

mendapatkan transfusi sel darah. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan pemberian

profilaksis dan pemberian asupan makanan dini guna mencegah terjadinya stress ulcer

yang sering terjadi.

b. Phlebotomi

Kejadian anemia yang tidak diharapkan dari pasien yang mendapatkan perawatan

diruang intensif adalah yang disebabkan phlebotomi. Hal ini dibuktikan dari hasil

penelitian yang menunjukan pasien yang mendapatkan perawatan di ruangan intensif

berpotensi 3 kali lebih sering dilakukan pengambilan darah dibandingkan yang

mendapatkan perawatan di bangsal biasa. Beberapa penelitian menunjukkan pasien yang

dirawat di ruang intensif kehilangan darah 41-70 cc/hari dari tindakan phlebotomi setiap

harinya, dimana hal ini berkorelasi positif dengan lamanya hari tinggal diruang intensif

dan meningkatnya kebutuhan transfusi.

c. Inflamasi

Sekitar 50% anemia pada pasien yang menderita penyakit kritis bukanlah dari suatu

proses yang dikarenakan kehilangan darah yang akut melainkan karena adanya suatu

proses inflamasi yang mendasarinya yakni proses inflamasi yang menggiring ke arah

sepsis. Hal ini dipicu karena adanya pelepasan mediator inflamasi oleh sitokin yang juga

akan memyebabkan penurunan dari sintesis heme dan peningkatan pengahancuran heme.

d. Produksi eritropoetin yang tidak sesuai

Eritropoetin (EPO) merupakan suatu hormon glikoprotein yang merupakan regulator

utama dalam proses eritropoesis yang memproduksi sel darah merah. Ketika terjadi suatu

proses hipoksia, terjadi penurunan Delivery Oxygen ataupun penurunan kadar

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

hemoglobin yang akan menyebabkan produksi EPO meningkat dan menstimuli

pembentukan sel darah merah. Hormon EPO ini terutama diproduksi di sel intersisial

peritubuler korteks ginjal dan juga pada sel hepatosit hepar. Eritropoetin berikatan

dengan reseptor EPO pada sel progenitor eritroid. Sel progenitor ini akan berdiferensiasi

menjadi colony forming unit yang kemudian menjadi proeritroblast lalu eritroblast,

retikulosit dan menjadi eritrosit.

Zat besi digunakan oleh eritroid saat eritropoesis dan EPO pun dipercaya memegang

peranan penting pada metabolisme zat besi. Zat besi yang diperoleh dari nutrisi diserap

di usus halus dan berikatan dengan transferin (protein yang digunakan untuk transportasi

besi). Transferin berikatan dengan transferin reseptor (TfR) pada sel eritroid yang

menyebabkan sel tersebut dapat mengambil zat besi pada transferin. Metabolisme zat

besi diregulasi oleh iron regulatory protein (IRP)-1 dan -2. Protein ini mengatur

penyimpanan, penggunanan dan up take besi. Namun yang terjadi pada pasien yang

kritis adalah konsentrsi EPO lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak menderita

penyakit kritis . Hal lain yang menyebabkan EPO dapat menurun adalah karena pada

penyakit kritis terjadi pelepasan sitokin-sitokin yang menghasilkan IL1β dan tumor

nekrosis-α yang menekan produksi EPO.

Selain itu pada anak dengan penyakit kritis, sitokin inflamasi lainnya juga

mengganggu metabolisme besi. Interleukin 1β, tumor nekrosis-α, IL-6 akan

menyebabkan meningkatnya produksi feritin, yang menyebabkan penurunan cadangan

besi. Pengaruh sitokin ini pula dapat menurunkan absorpsi besi di usus halus. Hal-hal

tersebut diatas menyebabkan menurunnya kemampuan IRP-1 dan IRP-2 dalam

berikatan. Transferin reseptor yang memegang peranan penting dalam metabolisme besi

juga mengalami disfungsi dikarenakan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan

yang berakibat menurunnya up take oleh sel eritroid yang terjadi pada anak dengan

penyakit kritis. Hal tersebut menyebabkan penyimpanan besi yang berbentuk feritin

meningkat, serum besi menurun dan eritropoesis terganggu.

Nitrit oxide juga berperan dalam menyebabkan anemia pada anak dengan penyakit

kritis, dimana proses inflamasi akan meningkatkan produksi nitrit oxide yang akan

menghambat asam klavulanat, menurunkan konsumsi besi, dan menurunkan aktifitas

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

ferrochelatase yang akan menghambat proses akhir eritropoesis. Banyaknya mediator

inflamasi yang dilepaskan seperti tumor nekrosis-α dan IL 1β akan menurunkan masa

hidup dari sel darah merah yang seharusnya mencapai 120 hari.

e. Hemodilusi

Pada penyakit kritis dapat terjadi hipovolemia intravaskular yang disebabkan karena

keadaan pasien yang mengharuskan dilakukannya resusitasi cairan baik menggunakan

cairan koloid maupun kristaloid.

Gambar 2.2. Komposisi plasma dan sel darah merah

f. Malnutrisi

Nutrisi yang adekuat sulit untuk dicapai pada anak dengan penyakit kritis akibat penyakit

yang dideritanya dan ini menyebabkan terjadinya defisiensi. Kurangnya akses enteral,

menurunnya fungsi gastrointestinal dan tidakan pembedahan merupakan hal yang sering

menyebabkan defisiensi nutrisi. Anak dengan penyakit kritis umumnya mengalami

gangguan fungsi gastrointestinal yang menyebabkan gangguan dalam penyerapan

vitamin dan mineral.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

Gambar 2.3. Patofisiologi anemia pada penyakit kritis (Didomenico, 2004)

Anemia dapat bersifat akut ataupun kronik. Pada anemia akut terjadi penurunan nilai

hemoglobin (Hb) dibawah 6 g/dl atau kehilangan darah dengan cepat yaitu lebih dari 30%-

40% volume darah, sehingga umumnya pengobatan terbaik adalah dengan transfusi sel

darah merah. Pada anemia kronik seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi sel

darah merah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronik. Transfusi sel

darah merah juga diindikasikan pada anemia kronik yang tidak responsif terhadap

pengobatan farmakologik. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan segera (darurat)

dengan kadar Hb <10gr/dl perlu dipertimbangkan pemberian Transfusi sel darah merah

sebelum tindakan tersebut (Garry, 2002; Thayyil, 2006; Liumbruno, 2009).

Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain kadar

hemoglobin adalah:

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

a. Gejala, tanda, dan kapasitas vital dan fungsional pasien

b. Ada atau tidaknya penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat

c. Penyebab dan antisipasi anemia

d. Ada atau tidaknya terapi alternatif lain (Christensen, 2011).

Pedoman transfusi sel darah merah pada anak dan remaja tidak serupa dengan pada

dewasa. Dosis pemberian transfusi sel darah merah yang dipergunakan untuk menaikkan Hb

dapat menggunakan modifikasi rumus empiris. Bila yang digunakan sel darah merah pekat

(packed red cells), maka kebutuhannya menjadi. Pemberian jumlah transfusi sel darah merah

didasarkan atas makin anemisnya seorang resipien makin rendah kadar hemoglobin pasien

maka makin sedikit jumlah darah yang diberikan dalam suatu seri transfusi sel darah merah

dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan untuk menghindari komplikasi gagal

jantung. Rumus tersebut adalah :Berat Badan (kg) x 4 x (Hb diinginkan - Hb tercatat)

(Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).

Jika menggunakan packed red cells untuk transfusi darah, maka dosis PRC untuk

transfusinya dapat dilihat pada tabel 1. (Ramelan, 2005).

Tabel 2.1. Dosis transfusi sel darah merah

Hb penderita (g/dl) Jumlah PRC yg diberikan dlm 3-4 jam

7- 10 10 ml/ kgBB

5- 7 5 ml/ kgBB

<5 3 ml/ kgBB

Tujuan utama dari transfusi sel darah merah adalah untuk meningkatkan delivery oxygen

(DO2) dan meningkatkan penggunaan oksigen jaringan guna menjaga kestabilan organ

tubuh . Nilai DO2 tergantung pada tiga faktor :

a. hemoglobin (Hb)

b. cardiac output (CO)

c. proporsi relatif dari oksihemoglobin yaitu persen saturasi oksigen (SaO2) (Soemantri,

2009; Setiati, 2009) .

Oksigen diangkut dalam darah dan dikombinasikan dengan Hb, meskipun terdapat

sejumlah kecil yang secara bebas terlarut dalam fraksi plasma darah. Setiap gram Hb dapat

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

membawa sekitar 1,34 ml oksigen pada suhu tubuh normal. Oksigen terlarut plasma

berbanding lurus dengan PaO2 . Secara teori, dengan menaikkan kadar hemoglobin melalui

transfusi sel darah merah, maka dapat meningkatkan kapasitas pembawa oksigen darah, dan

memberikan cara yang efektif untuk meningkatan pengiriman oksigen kedalam sel-sel dan

menjadikan perbaikan klinis (Rao, 2002; Walsh, 2006).

Batas nilai hemoglobin agar dapat mentransportasikan oksigen pada anak dengan

penyakit kritis tidaklah dapat didefinisikan secara pasti, karena hal tersebut bergantung juga

pada keadaan tiap-tiap individu. Pada anak yang mengalami anemia mekanisme kompensasi

yang dilakukan tubuh adalah dengan meningkatan CO dan mengekstraksi oksigen untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dalam kadar hemoglobin yang sangat rendah.

Namun hal tersebut tidak terjadi pada pasien dengan perdarahan, dimana mekanisme

kompensasi tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.

Menurut penelitian Lackritz et al yang dilakukan secara retrospektif pada 2.400 anak di

rumah sakit Kenya, tercatat bahwa 29 % dari semua anak memiliki kadar hemoglobin < 5

g/dL. Sebagian besar anak-anak ini mengalami sakit malaria dan kasus anemia berat (Hb <

5 g/dL) dikaitkan dengan kematian yang meningkat secara signifikan 18 % pada anemia

berat sementara 8 % di kontrol dengan p = .0001 . Di sisi lain, Bojang dkk melakukan

penelitian prospektif 287 anak yang juga dengan malaria dan anemia berat, pada anak-anak

tersebut terdapat 173 anak dengan gangguan pernapasan atau hematokrit < 12% (n=173)

yang mendapat transfusi sel darah merah, dan sisanya 114 anak mendapat transfusi sel darah

merah atau pengobatan zat besi selama 28 hari secara acak. Dua puluh empat anak dalam

penelitian ini meninggal, dimana 23 anak memiliki hematokrit < 12 % . Dan kelompok yang

mendapat terapi besi, 1 anak meninggal dan 10 anak kemudian memerlukan transfusi sel

darah merah. Setelah 28 hari, kadar hemoglobin pada anak-anak yang mendapat terapi besi

meningkat secara signifikan pada dibandingkan dengan yang mendapat transfusi darah ( p =

.02 ). Meskipun anak-anak dalam studi ini mungkin akan sangat berbeda dari pasien anak di

negara-negara yang lebih maju, tetapi peneliti menggarisbawahi risiko besar dari kadar

hemoglobin sangat rendah sebagai suatu mekanisme fisiologis untuk mempertahankan DO2

dalam pengaturan anemia berat pada populasi anak (Lackritz, 1992; Bojang, 1997) .

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

Pada Symposium On PICU Protocols All India Institute of Medical Sciences dinyatakan

bahwa indikasi dilakukan transfusi sel darah merah pada penyakit kritis adalah sebagai

berikut:

a. Hemoglobin 4 gr/dl atau kurang dari angka tersebut (hematokrit 12%) walaupun

tidak sesuai keadaan klinis

b. Hemoglobin 4-6 g/dl (Hematokrit 13-18%) dengan klinis hipoksia atau asidosis yang

menyebabkan dispneu atau penurunan kesadaran

c. Hematokrit kurang dari 30% atau sedang menggunakan ventilator dengan FiO2 >

0.35

d. Hiperparasitemia pada malaria (> 20%)

e. Klinis decompensasi kordis karena anemia

f. Kondisi anak yang masih belum stabil setelah 2 kali bolus 20cc/kg cairan kristaloid

dan dicurigai adanya kehilangan darah lebih dari 30%.

Pertimbangan transfusi sel darah merah bergantung pada keadaan pasien itu sendiri.

Efek anemia haruslah dibedakan dari keadaan hipovolemia, meskipun keduanya dapat

menghambat pengiriman oksigen jaringan. Kehilangan darah yang lebih dari 30% volume

darah akan menyebabkan gejala klinis yang signifikan, namun resusitasi dengan kristaloid

dapat memberikan hasil yang baik untuk berhasil bahkan kehilangan darah lebih dari 40%

volume darah. Selain itu, anemia normovolemik akut dapat tmbul timbul setelah

mendapatkan resusitasi dengan penggantian volume cairan yang memadai. Oksigenasi

jaringan masih dapat dipertahankan bahkan dengan tingkat hemoglobin serendah 6-7g /dL

pada orang sehat (Uppal, 2010).

Terdapat berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi yang berbeda

mengenai kebijakan transfusi sel darah merah pada anak dengan penyakit kritis. Sebagai

contoh penelitian pada kelompok anak dengan penyakit kritis yang stable yang

membandingkan transfusi sel darah merah saat hemoglobin pasien 7 g / dL dengan

kelompok kontrol yang hemoglobin 9 g / dL dengan hasil mortalitas dan tingkat keparahan

penyakit lebih rendah pada kelompok yang mendapat transfusi sel darah merah setelah

hemoglobin 7g/ dl. Sementara kasus anak dengan penyakit jantung memang belum banyak

diteliti namun Jacques Lacroix, MD et al dalam Red Blood Cell Transfusion : Decision

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

Making in Pediatric Intensive Care Unit menyatakan bahwa batas aman untuk transfusi pada

kasus anak yang stable namun menderita penyakit jantung sianotik, batas kadar hemoglobin

untuk transfusi adalah kurang dari 9 g/dl, sementara pada anak dengan penyakit jantung

asianotik kadar hemoglobin lebih dari 7g/dl. Sedangkan pada anak dengan penyakit jantung

yang unstable tentunya dibutuhkan kadar hemoglobin lebih dari 9 g/dl. Dengan demikian,

transfusi sel darah merah pada penyakit kritis harus disesuaikan dengan kondisi pasien, dan

keputusan untuk transfusi harus dibuat atas dasar karakteristik individu masing-masing

pasien. Sayangnya, ketersediaan uji klinis tentang kebijakan ini belumlah banyak (Tavian,

2005; Lacroix, 2010; Uppal, 2010).

2.c. Komplikasi transfusi sel darah merah

Tidak semua reaksi transfusi sel darah merah dapat dicegah karenanya diperlukan

kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi sel darah merah yang

mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi sel darah merah dan gejalanya

bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih (Bennet,1999).

1. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut

Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan

golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi

karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan

diberikan.Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau

tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urin berkurang,

hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan

(shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan atau gagal ginjal akut yang dapat

berakibat kematian (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).

2. Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat

Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi

yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi sel darah merah dilakukan

karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk

meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya

ekstravaskuler (Buskard,1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

Gejala dan tanda yang dapat timbul pada reaksi transfusi hemolitik lambat adalah

demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal

yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi

dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa

pengobatan (Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005; Buskard, 1987).

3. Reaksi Transfusi Non-Hemolitik

a. Demam

Sembilan puluh persen reaksi transfusi adalah demam dan umumnya bersifat ringan

dan hilang dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi

dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya

sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang

sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula terjadi

demam akibat peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). (Buskard, 1987;Djajadiman, 2002;

Ramelan, 2005).

b. Reaksi alergi

Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak

disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan

transfusi sel darah merah. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan

terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE resipien di

permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin

(Buskard, 1987; Djajadiman ,2002; Ramelan, 2005).

c. Reaksi anafilaktik

Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien

dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer

tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi sel

darah merah dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya

meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran

napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah

angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan

renjatan (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

4. Efek samping lain dan resiko lain transfusi sel darah merah

a. Transfusion Acute Lung Injury (TRALI)

Transfusion acute lung injury merupakan komplikasi yang berpotensi fatal akibat

transfusi produk darah. TRALI dapat terjadi baik pada transfusi satu atau pun lebih

unit produk darah. Berbagai penelitian telah memperkirakan insiden terjadinya

TRALI antara 1 / 1.120 dan 1 / 5.000 unit transfusi (Kleinman, 2004; Toy, 2007;

Marik, 2008).

Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan Canadian

Consensus Conference TRALI adalah cedera paru akut yang baru atau sindrom

gangguan pernapasan akut yang terjadi selama atau dalam waktu enam jam setelah

pemberian produk darah tanpa ada faktor resiko yang dapat menyebabkan cedera

paru. Faktor- faktor resiko ini yakni pneumonia, sepsis yang disebabkan akibat

penyakit paru, aspirasi, transfusi darah berulang , tenggelam, Disseminated

intravascular coagulation, patah tulang panjang atau pelvis, luka bakar, baypass

kardiopulmoner. Untuk menegakkan diagnosis dari TRALI penting untuk kita

ketahui definisi cedera paru akut atau acute lung injury (ALI) menurut the European

Society of Intensive Care Medicine:

- Waktu onset akut: 7 hari

- Rontgen dada gambaran radioopac yang bukan merupakan efusi, kolaps paru

ataupun nodul paru dan edema paru bukan berasal dari gagal jantung.

- Hipoksemia: Rasio PaO2 / FIO2 ≤ 300 mm Hg tanpa menggunakan paek end

expiratory pressure (PEEP) ataupun continous positive airway pressure (CPAP)

≥5 cmH2O (Kleinman, 2004 ;Toy, 2007; Marik, 2008).

b. Penularan penyakit Infeksi seperti infeksi virus hepatitis, AIDS (Acquired Immune

Deficiency syndrome),infeksi CMV, dan penyakit infeksi lain yang jarang. Selain itu

beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi sel darah

merah adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit

chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD (Creutzfeldt Jakob

Disease).

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

c. GVHD(Graft versus Host disease)

GVHD merupakan reaksi atau efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien

dengan imunosupresif atau pada bayi prematur. Hal ini terjadi oleh karena limfosit

donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen

penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian komponen sel darah merah

yang diradiasi atau dengan leukosit rendah (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002;

Ramelan , 2005).

3. Anatomi paru

Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm. Pembentukan paru

dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut. Selanjutnya pada groove ini terbentuk

dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian

proksimal foregut membagi diri menjadi dua, yaitu esophagus dan trakea. Pada

perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung bud. Primary lung

bud merupakan cikal bakal bronki dan cabang-cabangnya. Bronchial tree terbentuk setelah

embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan

jumlahnya terus meningkat hingga anak berusia 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah besar

sesuai dengan perkembangan dinding thoraks.

3.a. Saluran Pernafasan

Pernafasan atau respirasi adalah proses menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen

kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbon dioksida

sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Secara fungsional saluran pernafasan dapat

dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Zona konduksi

Zona ini berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara pernafasan, serta

membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu pernafasan dengan suhu tubuh.

Disamping itu zona konduksi juga berperan pada proses pembentukan suara. Zona ini

terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, serta bronkiolus terminalis.

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

1) Hidung

Rambut, zat mukus serta silia yang bergerak kearah faring berperan sebagai sistem

pembersih hidung. Fungsi pembersih udara ini ditunjang oleh konka nasalis yang

menimbulkan turbulensi aliran udara sehingga dapat mengendapkan partikel-partikel

dari udara yang seterusnya akan diikat oleh zat mukus. Sistem turbulensi udara ini

dapat mengendapkan partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari 4 mikron.

2) Faring

Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernafasan bagian atas.

Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta laringofaring.

3) Trakea

Trakea berarti pipa udara. Trakea juga dapat dijuluki sebagai eskalator mukosiliaris

karena silia pada trakea dapat mendorong benda asing yang terikat oleh zat mukus

kearah faring yang kemudian dapat dikeluarkan.

4) Bronkus

Trakea terbagi menjadi 2 bronkus utama, yaitu bronkus utama kanan dan kiri.

Bronkus utama kanan memiliki rongga yang lebih sempit dan lebih horizontal bila

dibandingkan dengan bronkus utama kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing

lebih mudah masuk ke paru kanan daripada kiri. Trakea dan bronkus terdiri dari

tulang rawan dan dilapisi oleh epitel bersilia yang mengandung mukus dan kelenjar

serosa. Bronkus kemudian akan bercabang menjadi bagian yang lebih kecil dan halus

yaitu bronkiolus. Bronkiolus dilapisi oleh epitel bersilia namun tidak mengandung

jaringan tulang rawan.

b. Zona respiratorik

Zona respiratorik terdiri dari alveoli. Pertukaran udara dan darah terjadi dalam alveoli

melewati membran respiratorius (Budiono, 2008).

3.b. Membran respiratorius

Membran respiratorius atau membran paru atau membran alveolokapiler adalah jaringan

yang memisahkan kapiler darah dari alveoli. Pertukaran gas antara alveoli dan peredaran

darah paru terjadi melalui membran di seluruh bagian terminal paru, tidak hanya dalam

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

alveoli itu sendiri. Membran ini secara bersama-sama dikenal sebagai membran

respiratorius. Membran respiratorius secara ultra struktur, terdiri dari 6 lapisan. Lapisan

pertama adalah surfaktan paru dan cairan yang melapisi alveolar, lapisan kedua merupakan

sel epitel alveolar, lapisan ketiga adalah membrana basalis alveolar, lapisan keempat berupa

ruang interstitial tipis antara epitel dan sel endotel, lapisan kelima adalah membrana basalis

sel endotel kapiler, dan lapisan keenam adalah sel endotel kapiler (Guyton, 2006; Khurana,

2008).

Fungsi utama membran respiratorius adalah untuk pertukaran antara gas darah dan gas

alveolar. Pertukaran gas hanya melibatkan CO2 dan O2, tidak melibatkan nitrogen serta gas

inert lainnya. Pertukaran CO2 dan O2 melalui membran alveolar kapiler adalah dengan cara

difusi pasif dari daerah yang bertekanan gas tinggi ke tekanan gas rendah. Molekul gas di

paru harus berdifusi melewati membran kapiler-alveolar yang terdiri dari cairan yang

membatasi membran intra alveolar, sel epitel alveolus, membran basal alveolus, ruang

interstitium, membran basal endotel kapiler, endotel kapiler, plasma darah di kapiler,

membran eritrosit, dan cairan intraselular dalam eritrosit sampai bertemu dengan molekul

hemoglobin ( Martin, 1999; Jardins, 2002; Guazzi, 2003).

4. Alveolar-Arterial Oxygen Tension Difference (AaDO2)

Perbedaan tekanan parsial oksigen antara dua tingkat disebut sebagai gradien. Perbedaan

antara PAO2 dan PaO2 disebut dengan AaDO2. Selisih antara PAO2 dan PaO2 umumnya

disebut sebagai gradien A-a. Gradien merupakan istilah yang kurang tepat karena perbedaan

tidak terjadi akibat gradien difusi. Perbedaan biasanya terjadi akibat ketidaksesuaian V-Q

(ventilasi-perfusi) dan atau pirau darah dari kanan ke kiri melalui alveoli yang mengalami

ventilasi sehingga selisih O2 A-a merupakan istilah yang lebih tepat (Tisi, 1980; Martin,

2014).

4.a. Tekanan parsial oksigen arteri

Tekanan parsial oksigen arteri mencerminkan pertukaran gas di paru dan menentukan

keadaan oksigenasi darah arteri. Tekanan parsial oksigen arteri ditentukan oleh PiO2, PaCO2

dan arsitektur paru. Gangguan fisiologis arsitektur paru paling banyak adalah kelainan

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

ventilasi perfusi dan jarang oleh karena blok difusi dan pirau anatomis kanan ke kiri.

Tekanan parsial oksigen arteri biasanya menurun sesuai dengan usia karena penurunan

elastisitas paru pada orang tua sehingga menghasilkan ketidaksesuaian V/Q

(ventilasi/perfusi)yang lebih besar. Nilai PaO2 yang diharapkan saat bernapas dengan udara

di permukaan laut dapat dihitung dengan persamaan: PaO2 = 100 - (usia x 0,25) (Tisi,

1980;Verma, 2010).

Nilai PaO2 kurang dari yang diharapkan menunjukkan hipoksemia yang dapat

disebabkan oleh hipoventilasi atau ketidaksesuaian V/Q. Hipoksemia arterial terjadi apabila

PaO2 arterial berada di bawah rentang normal. Kadar PaO2 kurang dari 80 mmHg dianggap

abnormal (Cloutier, 2007; Verma, 2010).

Nilai PaO2 turun sebesar 3 mmHg pada setiap ketinggian 300 meter di atas permukaan

laut. Kenaikan atau penurunan suhu setiap satu derajat celcius, akan menyebabkan nilai

PaO2 meningkat atau menurun sebesar 5%. Tekanan parsial oksigen arteri juga akan

meningkat atau menurun sebesar 10% untuk setiap penurunan atau peningkatan pH sebesar

0,1 (Hore, 2009).

Tekanan parsial oksigen arteri merupakan penentu utama saturasi oksigen arteri (SaO2).

Hubugan antara PaO2 dan SaO2 ditunjukkan dengan kurva disosiasi oksigen yang berbentuk

sigmoid. Saturasi oksigen arteri adalah persentase ikatan hemoglobin dengan oksigen dalam

darah arteri. Kurva disosiasi O2 dipengaruhi oleh PaCO2, suhu tubuh, pH dan berbagai faktor

lain. Anemia tidak mempengaruhi SaO2 karena SaO2 tidak terpengaruh oleh kandungan

hemoglobin. Kurva disosiasi oksihemoglobin memperlihatkan ciri-ciri yang menarik dimana

kurva meninggi pada PaO2 sekitar 50 mmHg dan mendatar pada PaO2 sebesar 70 mmHg.

Pada tekanan parsial di bawah 60 mmHg,O2 siap berikatan dengan Hb sehingga PaO2

mengalami peningkatan. Saturasi 90% akan didapatkan pada PaO2 sebesar 60 mmHg.

Peningkatan PaO2 di atas nilai ini akan memberikan sedikit pengaruh terhadap saturasi Hb

dan peningkatan PaO2 dari 60-100 mmHg akan meningkatkan saturasi Hb sebesar 7% (Tisi,

1980; Cloutier, 2007).

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

4.b. Tekanan parsial oksigen alveolar (PAO2)

Oksigen yang berasal dari atmosfer masuk kedalam alveolar dan akan diedarkan melalui

pembuluh darah. Konsentrasi dari PO2 alveolar diatur oleh keseimbangan absorpsi ke dalam

darah dan proses ventilasi.

Tekanan parsial oksigen arterial yang diharapkan dapat ditentukan dengan menghitung

PAO2. Tekanan parsial oksigen alveolar lebih besar daripada tekanan oksigin arteri bahkan

pada orang normal dan selisih keduanya disebut AaDO2. Oksigen masuk ke dalam kapiler

paru dengan cara difusi sehingga PAO2 harus menjadi penentu utama dari PaO2 dan kapiler

paru. Tekanan parsial oksigen alveolar menentukan batas atas dari PaO2 sehingga nilai PaO2

tidak dapat lebih tinggi daripada PAO2.(Martin 1999,Weinberger 2008)

4.c. Kepentingan menilai AaDO2

Alveolar-arterial oxygen tension difference (AaDO2) adalah suatu cara sederhana untuk

mengukur perubahan antara alveolus dan pembuluh darah arteri. Pengukuran AaDO2

memiliki kegunaan tinggi untuk memprediksi mortalitas jangka pendek. Alveolar-arterial

oxygen tension difference juga sering digunakan dalam mengevaluasi penyakit paru. Hasil

pemeriksaan AaDO2 serial bermanfaat untuk menunjukkan progresifitas penyakit paru,

digunakan sebagai petunjuk untuk memberikan bantuan pernapasan dan memulai

penyapihan ventilator (Sinder, 1973;Casado, 2012; Hsu, 2006).

Gagal napas disebut sebagai tipe I apabila terdapat hipoksemia tanpa retensi CO2 dan

tipe II apabila terdapat hiperkapnea. Penghitungan AaDO2 pada gagal napas tipe II akan

membantu menentukan apakah pasien mempunyai penyakit paru atau karena berkurangnya

usaha pernapasan. Alveolar-arterial oxygen tension difference merupakan dasar untuk

memahami hipoksemia arterial (Williams, 1998; Martin, 2014).

Abnormalitas PaO2 dapat terjadi dengan atau tanpa disertai oleh AaDO2 abnormal.

Hubungan antara PaO2 dan AaDO2 bermanfaat untuk menentukan penyebab abnormalitas

PaO2 dan memperkirakan respons terhadap terapi terutama pemberian suplementasi oksigen.

Nilai AaDO2 harus diukur sebagai bagian dari setiap analisis gas darah. Informasi ini

selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan penyebab dari suatu abnormalitas O2 arterial

(Cloutier, 2007).

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

4.d. Nilai normal AaDO2

Perbedaan PAO2 dan PaO2 pada orang muda yang menghirup udara ruangan normalnya

adalah 5 sampai 15 mmHg. Nilai ini meningkat sekitar 3 mmHg setiap dekade sepanjang

hidup sehingga AaDO2 di bawah 25 mmHg dianggap sebagai batas atas dari nilai normal.

Nilai AaDO2 bervariasi menurut usia dan konsentrasi oksigen inspirasi. Pertambahan usia

akan meningkatan AaDO2 dikarenakan PaO2 menurun secara progesif tanpa perubahan

PAO2. Pada usia 20-70 tahun AaDO2 meningkat sekitar 20 mm Hg (Levintzky, 1999;

Jardins, 2002; Cloutier, 2007; Marino, 2007).

Alveolar-arterial oxygen tension difference dapat ditemukan pada setiap individu karena

dua alasan. Alasan yang pertama yaitu terdapat hubungan anatomis yang menyebabkan

masuknya sejumlah kecil darah vena sistemik dari ventrikel kanan dan vena bronkialis ke

dalam darah vena pulmonal. Darah yang sudah terdesaturasi dari berbagai sumber ini akan

menurunkan tekanan O2 pada darah arteri. Alasan kedua karena gradien ventilasi-perfusi dari

atas sampai dasar paru akan menghasilkan darah yang kurang memperoleh oksigenasi pada

bagian basal paru dikombinasikan dengan darah yang memperoleh oksigenasi lebih baik

pada apek paru. Efek gravitasi pada sirkulasi pulmonal dengan tekanan rendah merupakan

salah satu mekanisme penting yang menyebabkan ketidaksesuaian V/Q (ventilasi/perfusi)

pada orang normal (Sinder, 1973; Weinberger, 2008).

4.e. Penghitungan AaDO2

Penilaian efisiensi oksigenasi membutuhkan pengetahuan mengenai konsentrasi O2 yang

dihirup, PaO2 dan PaCO2 dalam darah arteri. Alveolar-arterial oxygen tension difference

dapat dihitung jika fraksi oksigen udara yang dihirup (FiO2), PB dan PH2O diketahui

(Verma, 2010).

Alveolar-arterial oxygen tension difference dapat dihitung dengan mengurangi antara

PAO2, namun untuk menghitung PAO2 diperlukan mengetahui nilai PaO2 dan PaCO2 dalam

gas darah arteri, menghitung PAO2 . Alveolar-arterial oxygen tension difference orang sehat

yang bernapas pada udara ruang setinggi permukaan laut,PB (tekanan barometrik)= 760 mm

Hg,sementara PH2O (tekanan hidrostatik)= 47 mmHg. Nilai AaDO2 dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut (Conham, 2011; Martin, 2014).:

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

AaDO2 = FiO2 ((PB - Pins) – PH2O)-1.2 (PaCO2)) – PaO2

Tanpa ventilator:

AaDO2 = (FiO2 (PB - PH2O) – 1.2 PaCO2)) – PaO2

5. Rasio PaO2 dan FiO2

Rasio PaO2/FiO2 merupakan perbandingan antara tekanan parsial oksigen arteri dengan

fraksi oksigen inspirasi. Rasio ini merupakan manifestasi efisiensi oksigenasi arterial dengan

kata lain rasio ini merupakan indikator terjadinya hipoksemia pada tubuh. Karenanya rasio

ini banyak digunakan terutama pada pasien dengan penyakit kritis. Rasio ini dapat digunakan

untuk mendefinisikan atau mengetahui adanya acute lung injury ataupun acute respiratory

distress syndrome yang disebabkan baik dari pulmonar ataupun ekstrapulmonar yang salah

satunya transfusi sel darah merah. Selain untuk mengetahui keadaan paru-paru rasio ini

digunakan untuk bahan pertimbangan untuk stategi pengaturan penggunanan alat bantu

pernafasan. Nilai normal dari rasio ini berkisar >300-500mmHg, dibawah dari nilai normal

tersebut menandakan paru mengalami cedera paru yang menyebabkan gangguan dalam

pengedaran oksigen keseluruh tubuh. Cedera paru berdasarkan definisi Berlin memiliki

kriteria (Ferguson et al, 2012; Fanelli, 2013; Broccard, 2013):

1. Waktu: terjadi perburukan selama 1 minggu

2. Radiologi: terdapat bilateral opasitas pada paru

3. Asal edema paru: murni berdasarkan dari paru bukan dari jantung

4. Oksigenasi :

Ringan : 200< PaO2/FiO2≤ 300mmHg dengan PEEP ≥5cmH2O

Sedang : 100< PaO2/FiO2≤ 200mmHg dengan PEEP ≥5cmH2O

Berat : PaO2/FiO2≤ 100mmHg dengan PEEP ≥5cmH2O.

Penyebab tersering yang dapat menyebabkan penurunan rasio PaO2/FiO2 :

1. Pulmonar (direk)

a. Pneumonia

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

b. Aspirasi

c. Aspirasi hidrokarbon

d. Cedera inhalasi

e. Kontusio paru

2. Ekstrapulmonar ( indirek)

a. Sepsis

b. Pankreatitis

c. Trauma

d. Transfusi

e. Nyaris tenggelam

6. Hubungan antara transfusi darah dengan AaDO2 dan Rasio PaO2/FiO2

Pada anak dengan penyakit kritis mengalami kehilangan darah yang bersifat iatrogenic dan

juga dikarenakan penyakit yang mendasarinya. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut maka

transfusi sel darah merah umum dilakukan dan dipercayai dapat memperbaiki status respirasi

pasien. Anak dengan penyakit kritis di ruangan pediatric intensive care unit umumnya

terindikasi untuk mendapatkan transfusi sel darah merah dengan berbagai alasan diantaranya

adalah untuk menjaga kadar hemoglobin guna meningkatkan transportasi oksigen dalam

tubuh. Sel darah merah yang matang mengandung 200-300 juta hemoglobin. Hemoglobin

berfungsi membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen menjadi oksihemoglobin yang

akan diedarkan keseluruh tubuh untuk kebutuhan metabolism (Istaphonous, 2011).

Menurut Martin dalam rules on oxygen theraphy anemia tidak mempengaruhi SaO2

karena SaO2 tidak terpengaruh oleh kandungan hemoglobin. Kurva disosiasi

oksihemoglobin, memperlihatkan ciri-ciri yang menarik, dimana Kurva meninggi pada PO2

sekitar 50 mmHg dan mendatar pada PO2 sebesar 70 mmHg, pada tekanan parsial di bawah

60 mmHg oksigen siap berikatan dengan Hb sehingga PO2 mengalami peningkatan (bagian

linear dari kurva). Hemoglobin tersaturasi 90% pada PO2 sebesar 60 mmHg, peningkatan

PO2 di atas nilai ini akan memberikan sedikit pengaruh terhadap saturasi Hb dan peningkatan

PO2 dari 60-100 mmHg akan meningkatkan saturasi Hb sebesar 7%. Pemeriksaan AaDO2

serial bermanfaat ddigunakan sebagai petunjuk untuk memberikan bantuan

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

pernapasan,dimana terdapat perbedaan bermakna pada saat sebelum transfusi dan 24 jam

sesudah transfusi (Tisi, 1980; Kraner, 2000; Cloutier, 2007;).

Tidak semua reaksi transfusi sel darah merah dapat dicegah. Ada langkah-langkah

tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi sel darah merah,

walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap

reaksi transfusi sel darah merah yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi

dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Salah satu reaksi

transfusi sel darah merah yang memberikan dampak yang berbahaya bagi resipien adalah

transfusion-related acute lung injury (TRALI) yang mana menurut definisi Berlin TRALI

merupakan mild acute respiratory distress syndrome dengan kriteria rasio PaO2/FiO2 200-

300mmHg dengan PEEP ≥5cmH2O . Menurut Food and Drug Administration, TRALI

merupakan penyebab kematian utama akibat transfusi sel darah merah berkisar 5-20% sejak

tahun 2005-2009. Menurut P.Toy, dkk dalam National Heart Lung and Blood Institute

Working Group on TRALI:definition and review, definisi dari TRALI yaitu bila terdapat

bukti radiologis terjadinya edema pulmo dan hipoksia pada pasien setelah mendapatkan

transfusi lebih dari 6 jam. Patofiologi terjadinya TRALI terbaru dikenal dengan “two hit

mechanism” atau dua mekanisme klinis independen, yang pertama adalah terkait dengan

kondisi klinis pasien (infeksi, pelepasan sitokin, operasi, atau penggunaan ventilator) yang

menyebabkan aktivasi endotel paru yang berujung pada edema alveolar. Kejadian kedua

adalah seiring masuknya darah dari donor terdapat pula pemasukan Human Leukosit

Antigen class 1 (HLA) dan Human Netrofil Antigen (HNA) antibodi ataupun bioactive

modifier (misalkan lipid) yang menyebabkan aktivasi neutrofil sehingga dapat merusak

pembuluh darah paru yang menyebabkan kerusakan endotel dan kebocoran kapiler. Namun

akhir-akhir ini ditemukan hipotesis ketiga menunjukkan bahwa terdapat kadar yang tinggi

dari vascular endothelial growth factors (VEGF) atau antibodi terhadap antigen HLA kelas

II yang berada di endotel vaskular paru akibat dari transfusi sel darah merah dapat langsung

menyebabkan perubahan bentuk endotel (Kaner, 2000; Triulzi, 2009; Weiskop, 2012;

Fanelli, 2013).

Pemberian tranfusi tidaklah selalu memberikan efek TRALI, namun pemeberian

transfusi darah dapat memberikan efek pengurangan fungsi paru yang tidak terlihat jelas dan

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

hal inilah yang sering luput dari pemantauan para klinisi dan belum diteliti. Transfusi darah

dapat memicu pelepasaan berbagai sitokin dalam tubuh, dan sitokin yang berpengaruh

terhadap pertukaran oksigen adalah vascular endothelial growth factor (VEGF) yang akan

menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan menyebabkan edema

intersisial serta alveolar (Kaner, 2000; Weiskop, 2012).

Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah protein yang diproduksi oleh sel yang

merangsang vaskulogenesis dan angiogenesis. VEGF umumnya diproduksi pada sel paru

dan dapat memberikan pasokan oksigen ke jaringan ketika sirkulasi darah tidak memadai.

Fungsi utama VEGF adalah untuk menciptakan pembuluh darah baru. Ketika VEGF

diekspresikan berlebihan maka dapat berkontribusi terhadap penyakit dan meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah. Efek tersebut baru terjadi lebih dari 6 jam setelah VEGF

diproduksi (Mura, 2010).

Peningkatan AaDO2 merupakan salah satu penanda pertukaran O2 yang abnormal.

AaDO2 merupakan parameter yang paling menggambarkan pertukaran oksigen pada alveolar

dan kapiler. Peningkatan AaDO2 saat sakit dapat disebabkan karena tiga faktor. Faktor pirau

anatomis akan menyebabkan beberapa darah yang sudah mengalami desaturasi akan

bercampur dengan darah bersaturasi penuh dan menurunkan PO2 pada darah arteri.

Penyebab umum pirau adalah sebagai berikut:

1. Lesi intrakardiak dengan adanya pirau dari kanan ke kiri di atrium atau ventrikel seperti

pada defek septum atrium atau ventrikel. Pirai kiri ke kanan dapat menghasilkan efek

jangka panjang pada jantung namun hal ini tidak mempengaruhi AaDO2 atau PO2

arteri karena efek dasarnya adalah mengolah kembali darah yang sudah mengalami

oksigenasi melalui pembuluh darah paru dan bukan mengencerkan darah yang

sudah mengalami oksigenasi dengan darah yang sudah mengalami desaturasi.

2. Abnormalitas struktural pembuluh darah paru yang menyebabkan terjadinya hubungan

langsung antara sistem arteri dan vena pulmonal seperti pada malformasi

arteriovenosa pulmonal.

3. Penyakit pulmonal yang menyebabkan ruang alveolar terisi cairan seperti pada edema

pulmonal atau kolaps alveolar total. Kedua proses ini dapat menyebabkan hilangnya

proses ventilasi di alveoli yang mengalami kelainan walaupun sejumlah proses perfusi

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

melalui kapiler di sekelilingnya mungkin masih berlanjut (Lee, 2004; Cloutier, 2007;

Weinberger, 2008).

Pertukaran CO2 dan O2 melalui membran alveolar kapiler berjalan dengan cara difusi

pasif dari daerah yang bertekanan gas tinggi ke tekanan gas rendah. Molekul gas di paru

harus berdifusi melewati membran kapiler-alveolar yang terdiri dari cairan yang membatasi

membran intra alveolar, sel epitel alveolus, membran basal alveolus, ruang interstitium,

membran basal endotel kapiler, endotel kapiler, plasma darah di kapiler, membran eritrosit,

dan cairan intraselular dalam eritrosit sampai bertemu dengan molekul hemoglobin.Bila

terjadi edema pulmonal yang disebabkan efek dari transfusi darah yang di induksi oleh

sitokin VEGF maka akan menyebabkan hambatan proses difusi aliran gas dalam paru

sehingga tekanan parsial alveolar lebih tinggi dibandingkan tekanan alveolar di kapiler dan

akan meningkatkan nilai AaDO2 (Martin, 1999; Jardins, 2002; Budiono, 2008).

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

B. Kerangka Berfikir

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain

Keterangan :

Pada anak dengan penyakit kritis dapat terjadi anemia yang disebabkan karena hemodilusi,

iatrogenic anemia, pelepasan interleukin, perdarahan aktif, dan phlebotomi. Hal- hal tersebut

yang menyebabkan tindakan transfusi darah harus dilakukan, namun transfusi darah dapat

menyebabkan reaksi first hit, second hit dan produksi vascular endothelial growth factor

(VEGF) dimana VEGF ini akan memicu peningkatan permeabilitas kapiler yang

menyebabkan peningkatan cairan ekstravaskuler kedalam paru sehingga menyebabkan

edema alveolar yang berujung pada hambatan pertukaran udara di paru yang dapat dilihat

dari nilai AaDO2 dan rasio PaO2/FiO2

C. Hipotesis

Terdapat pengaruh transfusi darah merah terhadap terhadap nilai Alveolar-arterial oxygen

tension Difference (AaDO2) pada anak dengan penyakit kritis.

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108056_bab1.pdf · Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. ... Selain