49
15 BAB II LANDASAN TEORI A. Strategi Pembelajaran Kooperatif Model Student Teams Achievement Division (STAD) 1. Pengertian Strategi Pembelajaran Kooperatif Model Student Teams Achievement Division (STAD) Secara etimologi (bahasa), strategi bisa diartikan sebagai siasat, kiat, trik, atau cara. Sedang secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. 1 Menurut M. Basyiruddin Usman, strategi pembelajaran merupakan pola umum perbuatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar. Pengertian strategi dalam hal ini menujukkan pada karakteristik abstrak perbuatan guru-siswa dalam peristiwa belajar aktual tertentu. 2 Ahmad Sabri mengemukakan bahwa strategi mengajar pada dasarnya adalah tindakan nyata dari guru atau merupakan praktek guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan efisien. 3 Jadi, strategi pembelajaran merupakan taktik yang mencerminkan langkah sistematis yang digunakan guru dalam pembelajaran di kelas sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan dapat tercapai. Salah satu langkah untuk memiliki strategi pembelajaran ini adalah guru harus mampu menguasai model pembelajaran. 1 Hamruni, Strategi Pembelajaran, Insan Madani, Yogyakarta, 2012, hlm. 1. 2 M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 22. 3 Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, Quantum Teaching, Jakarta, 2005, hlm. 2.

BAB II LANDASAN TEORI A. Strategi Pembelajaran Kooperatif ...eprints.stainkudus.ac.id/1628/5/05. BAB II.pdf · 15 BAB II LANDASAN TEORI A. Strategi Pembelajaran Kooperatif Model Student

  • Upload
    halien

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Strategi Pembelajaran Kooperatif Model Student Teams Achievement

Division (STAD)

1. Pengertian Strategi Pembelajaran Kooperatif Model Student Teams

Achievement Division (STAD)

Secara etimologi (bahasa), strategi bisa diartikan sebagai siasat,

kiat, trik, atau cara. Sedang secara umum strategi mempunyai pengertian

suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai

sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar,

strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik

dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang

telah digariskan.1

Menurut M. Basyiruddin Usman, strategi pembelajaran merupakan

pola umum perbuatan guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar

mengajar. Pengertian strategi dalam hal ini menujukkan pada karakteristik

abstrak perbuatan guru-siswa dalam peristiwa belajar aktual tertentu.2

Ahmad Sabri mengemukakan bahwa strategi mengajar pada

dasarnya adalah tindakan nyata dari guru atau merupakan praktek guru

melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan

efisien.3 Jadi, strategi pembelajaran merupakan taktik yang mencerminkan

langkah sistematis yang digunakan guru dalam pembelajaran di kelas

sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan dapat tercapai. Salah satu

langkah untuk memiliki strategi pembelajaran ini adalah guru harus mampu

menguasai model pembelajaran.

1 Hamruni, Strategi Pembelajaran, Insan Madani, Yogyakarta, 2012, hlm. 1.

2 M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Ciputat Pers, Jakarta,

2002, hlm. 22. 3 Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, Quantum Teaching, Jakarta,

2005, hlm. 2.

16

Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman

dan merencanakan pembelajaran di kelas.4 Sedangkan menurut Arends

dalam Agus Suprijono, model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang

akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-

tahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan

kelas.5

Setiap model pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru

mempunyai sasaran tertentu yang ingin dicapai. Untuk tercapainya tujuan-

tujuan itu diperlukan cara-cara menyampaikan materi pembelajaran yang

akan disajikan kepada siswa. Model pembelajaran perlu dipahami guru agar

dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil

pembelajaran.6

Joyce & Weil seperti yang dikutip Rusman mengemukakan bahwa

model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan

untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),

merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di

kelas.7

Menurut Nur Hamiyah dan Muhamad Jauhar, model pembelajaran

merupakan cara, contoh, maupun pola yang mempunyai tujuan untuk

menyajikan pesan kepada siswa yang harus diketahui, dimengerti, dan

dipahami, yaitu dengan cara membuat suatu pola dengan bahan-bahan yang

dipilih oleh guru sesuai dengan materi yang diberikan dan kondisi dalam

kelas.8 Dengan demikian, pengguatan model pembelajaran yang didapat

akan turun menentukan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran

perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan penerapan model pembelajaran

4 Agus Suprijono, Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2009, hlm. 46. 5Ibid., hlm. 46.

6Isjoni, Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta

Didik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 72. 7 Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, Rajawali

Pers, Jakarta, 2012, hlm. 133. 8 Nur Hamiyah dan Muhamad Jauhar, Strategi Belajar-Mengajar di Kelas, Prestasi Pustaka

Jakarta, Jakarta, 2014, hlm. 57-58.

17

yang berpusat pada guru serta lebih menekankan pada siswa dalam

mencapai tujuan pembelajaran.

Salah satu model yang dapat mengarahkan kepada siswa untuk

memberikan pengalaman belajar secara langsung adalah model

pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif ini didasarkan atas

pandangan konstruktivis yang menyatakan bahwa anak secara aktif

membentuk konsep, prinsip dan teori yang disajikan kepadanya. Mereka

mengolahnya secara aktif, menyesuaikan dengan skema pengetahuan yang

sudah dimiliki dalam struktur kognitifnya dan menambahkan atau

menolaknya.

Terdapat beberapa pengertian mengenai pembelajaran kooperatif

yang dikemukakan oleh para ahli. Johnson seperti yang dikutip Supriadi

mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan

pembelajaran yang menekankan adanya kerja sama antar siswa dengan

kelompoknya untuk mencapai tujuan belajar bersama. Model pembelajaran

kooperatif ini dapat melatih siswa untuk menemukan dan memahami

konsep-konsep yang dianggap sulit dengan cara bertukar pikiran atau

diskusi dengan teman-temannya melalui kegiatan saling membantu dan

mendorong untuk mencapai tujuan yang diinginkan.9

Johnson seperti yang dikutip Isjoni menyatakan bahwa pembelajaran

kooperatif sesuai dengan teori motivasi karena struktur tujuan dalam

pembelajaran kooperatif adalah struktur tujuan kooperatif yang menciptakan

suatu situasi dimana satu-satunya cara agar anggota kelompok dapat

mencapai tujuan pribadi mereka hanya apabila kelompoknya berhasil.

Situasi yang tercipta ini akan membuat setiap anggota kelompok harus

saling membantu teman dalam kelompoknya dengan melakukan apa saja

yang dapat membantu kelompok itu agar berhasil dan yang paling penting

adalah saling memberi dorongan kepada teman dalam kelompoknya untuk

melakukan upaya yang maksimum. Dikatakan juga, siswa yang belajar

dalam kelompok ternyata memiliki perolehan pengetahuan yang lebih baik

9 Supriyadi, Pembelajaran Kooperatif, Gramedia, Jakarta, 2001, hlm. 56.

18

dibandingkan siswa yang belajar secara tradisional. Belajar tradisional

dalam hal ini adalah belajar secara individu, dimana setiap siswa

bertanggung jawab memperoleh pengetahuannya sendiri.10

Slavin mendefinisikan bahwa pembelajaran kooperatif adalah

”strategi mengajar di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok

kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi

pelajaran”. 11

Berdasarkan dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan dengan

membentuk kelompok-kelompok kecil, di mana setiap anggota kelompok

saling membantu, berbagi pengetahuan dan bekerjasama untuk

menyelesaikan lembar kegiatan siswa.

Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement

Division) dikembangkan pertama kali oleh Robert Slavin dan teman-

temannya di Universitas John Hopkins.12

STAD merupakan salah satu model

belajar kooperatif yang efektif dan sederhana, sehingga model ini dapat

digunakan oleh guru-guru yang baru menggunakan pendekatan belajar

kooperatif. Slavin menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD

adalah pembelajaran kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang

dengan struktur heterogen, heterogen dari prestasi belajar, jenis kelamin dan

etnis. Materi dirancang untuk belajar kelompok, siswa bekerja

menyelesaikan lembar kegiatan secara bersama-sama berdiskusi dan saling

membantu dalam kelompoknya.13

STAD juga merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif

yang paling sederhana, dan merupakan model paling baik untuk tahap

permulaan bagi guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. Para

guru menggunakan STAD untuk mengajarkan informasi akademik baru

10

Isjoni, Op. cit., hlm. 73. 11

Robert E. Slavin, Cooperative Learning; Teori, Riset dan Praktik, terj. Nurulita Yusron.

Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 4. 12

Isjoni, Op. cit., hlm. 74. 13

Robert E. Slavin, Op. cit., hlm. 143.

19

kepada siswa setiap minggu, baik melalui pengajaran verbal maupun

tertulis.14

Keunggulan belajar kooperatif model STAD terletak pada adanya

kerja sama dalam kelompok, yakni untuk mencapai keberhasilan, setiap

anggota kelompok dituntut kerja sama yang baik. Artinya, anggota yang

satu tidak boleh bergantung kepada anggota yang lain.

Dalam STAD, penghargaan kelompok didasarkan atas skor yang

didapatkan oleh kelompok dan skor kelompok ini diperoleh dari

peningkatan individu dalam setiap kuis. Sumbangan poin peningkatan siswa

terhadap kelompoknya didasarkan atas ketentuan. Dalam menciptakan kerja

sama yang baik, syarat pembentukan kelompok sebaiknya heterogen. Slavin

mengemukakan bahwa pembagian kelompok yang memperhatikan

keragaman siswa dimaksudkan supaya siswa dapat menciptakan kerja sama

yang baik sebagai proses menciptakan saling percaya dan saling

mendukung. Keragaman siswa dalam kelompok mempertimbangkan latar

belakang siswa berdasarkan prestasi akademis, jenis kelamin, dan suku.15

Dalam pelaksanaannya siswa dikelompokkan ke dalam 4-5 orang

tiap kelompoknya. Setiap kelompok harus heterogen terdiri dari laki-laki

dan perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi,

sedang dan rendah. Setiap anggota kelompok saling membantu satu sama

lain untuk memahami materi pelajaran. Selanjutnya secara individual setiap

minggu atau dua minggu siswa diberi kuis. Hasil kuis diberi skor dan

dibandingkan dengan skor dasar untuk menentukan skor peningkatan

individu dan skor kelompok.

Dengan demikian pembelajaran kooperatif tipe Student Teams

Achievement Divisions (STAD) merupakan salah satu tipe belajar kooperatif

dalam kelompok kecil yang menekankan pada aktivitas dan interaksi

diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam

menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi belajar yang maksimal.

14

Abdul Majid, Op. cit, hlm. 184. 15

Robert E. Slavin, Op. cit., hlm. 149.

20

2. Langkah-langkah Pembelajaran Model Student Teams Achievement

Division (STAD)

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan

lima komponen pembelajaran kooperatif model STAD menurut Slavin

diuraikan sebagai berikut: 16

a. Presentasi Kelas

Materi pertama kali yang diperkenalkan dalam STAD adalah

presentasi di dalam kelas. Hal ini merupakan pengajaran langsung

seperti yang sering dilakukan atau didiskusikan yang dipimpin oleh

guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audio-visual. Perbedaan

presentasi kelas dengan pengajaran biasa hanyalah bahwa presentasi

tersebut harus benar-benar fokus pada unit STAD. Dengan cara ini siswa

akan menyadari bahwa mereka harus benar-benar memberikan perhatian

penuh selama presentasi kelas, karena dengan demikian akan membantu

mereka mengerjakan kuis-kuis dan skor kuis untuk menentukan skor tim

mereka.

b. Belajar dalam Tim

Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok terdiri

dari 4-5 orang, dimana mereka mengerjakan tugas yang diberikan. Jika

ada kesulitan, murid yang merasa mampu hanya membantu murid yang

kesulitan. Fungsi utama dari tim ini adalah untuk memastikan bahwa

semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih khusus lagi untuk

mempersiapkan anggotanya agar bisa mengerjakan kuis dengan baik.

Setelah guru menyampaikan materi, tim berkumpul untuk mempelajari

lembar kegiatan atau materi lainnya. Tim adalah ciri yang paling penting

dalam STAD. Pada tiap hal, yang ditekankan adalah membuat anggota

tim melakukan yang terbaik untuk tim, dan tim pun harus melakukan

yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya.

c. Tes Individu

Setelah pembelajaran selesai, dilanjutkan dengan tes individu

16

Ibid., hlm. 143-146.

21

(kuis). Di antara siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu

dalam mengerjakan kuis, sehingga tiap siswa bertanggung jawab secara

individu untuk memahami materinya.

d. Skor Pengembangan Individu

Selanjutnya skor yang didapatkan dari hasil tes dicatat oleh guru

untuk dibandingkan dengan hasil prestasi sebelumnya. Skor tim

diperoleh dengan menambahkan skor peningkatan semua anggota dalam

satu tim. Nilai rata-rata diperoleh dengan membagi jumlah skor

penambahan dibagi jumlah anggota tim.

Adapun perhitungan skor perkembangan individu diambil dari

penskoran perkembangan individu yang dikemukakan Slavin seperti

terlihat pada tabel berikut:17

Tabel 2.1

Pedoman Pemberian Skor Perkembangan Individu

Skor Point Kemajuan

> 10 poin di bawah skor awal 5

10-1 poin di bawah skor awal 10

0-10 poin di atas skor awal 20

> 10 poin di atas skor awal 30

e. Penghargaan Tim

Penghargaan didasarkan nilai rata-rata tim, sehingga dapat

memotivasi mereka. Penggunaan sistem skor dalam model STAD

adalah untuk lebih menekankan pencapaian kenajuan daripada

persentase jawaban yang benar.

3. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Model Student Teams

Achievement Division (STAD)

Kelebihan yang dimiliki dari model pembelajaran STAD adalah

sebagai berikut:

17

Ibid., hlm. 159.

22

a. Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan, sebab mereka sendiri

yang menemukan konsep tersebut.

b. Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut

keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi.

c. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga

pembelajaran lebih bermakna.

d. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang

diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat

meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang

dipelajari.

e. Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa.18

Sedangkan kelemahannya adalah sebagai berikut:

a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan

bahwa masalah yang dipelajari sulit dipecahkan, maka mereka akan

merasakan enggan untuk mencoba.

b. Keberhasilan pembelajaran membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.

c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan

masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa

yang ingin mereka pelajari.19

B. Motivasi Belajar

1. Pengertian Motivasi Belajar

Motivasi berasal dari motive atau dengan bahasa latinnya, yaitu

movere, yang berarti mengerahkan. Seperti yang dikatakan M. Uzer Usman,

motif adalah daya dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk

melakukan sesuatu.20

M. Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa motivasi

adalah suatu usaha yang disadari untuk mempengaruhi tingkah laku

18

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif dan Kontekstual, Kencana,

Jakarta, 2014, hlm. 68. 19

Ibid., hlm. 69. 20

Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung,

2008, hlm. 28.

23

seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu

sehingga mencapai hasil dan tujuan tertentu.21

Thomas M. Risk seperti yang dikutip Zakiah Daradjat, dkk,

mengemukakan bahwa motivasi adalah usaha yang disadari oleh pihak guru

untuk menimbulkan motif-motif pada diri siswa yang menunjang kegiatan

ke arah tujuan-tujuan belajar.22

Dengan demikian, jelaslah bahwa masalah-

masalah yang dihadapi guru adalah mempelajari bagaimana melaksanakan

motivasi secara efektif kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.

Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan

dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam

motivasi terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan,

menyalurkan, dan mengarahkan sikap dan perilaku individu belajar.23

Hal

ini sesuai dengan pendapat Muhibbin Syah yang mengemukakan bahwa

motivasi adalalah “Keadaan internal organisme baik manusia maupun

hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu”.24

Menurut Husaini Usman, motivasi merupakan keinginan yang

terdapat pada seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan

tindakan-tindakan atau sesuatu yang menjadi dasar atau alasan seseorang

berperilaku.25

Sedangkan belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti

luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktik atau latihan.26

Dengan

demikian, belajar merupakan proses untuk mengubah tingkah laku

seseorang yang belajar melalui latihan-latihan.

Menurut Cronbach sebagaimana yang dikutip Sumadi Suryabrata

menyatakan bahwa “Learning is shown by a change behavior as result of

21

M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997, hlm.

71. 22

Zakiah Daradjat, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta,

2007, hlm. 140. 23

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 80 24

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Remaja Rosdakarya,

Bandung, 2008, hlm. 136. 25

Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Bumi Aksara,

Jakarta, 2013, hlm. 276. 26

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 13.

24

experience”, yaitu belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari

pengalaman.27

Menurut Usman belajar diartikan sebagai proses perubahan

tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi adanya individu dan

individu dengan lingkungannya.28

Jadi belajar merupakan kegiatan interaksi

antara individu dengan lingkungannya dalam rangka merubah tingkah laku

individu sebagai akibat dari pengalaman yang diperolehnya.

Senada dengan hal ini, Howard L. Kingskey seperti yang dikutip

Syaiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa “Learning is the process by

which behavior (in the broader sense) is originated or changed through

practice or training”, yaitu belajar adalah proses di mana tingkah laku

(dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.29

Belajar adalah perubahan tingkah laku (change of behaviour) para

peserta didik, baik pada aspek pengetahuan, sikap ataupun keterampilan

sebagai hasil respons pembelajaran yang dilakukan guru. 30

Menurut Gagne seperti yang dikutip Suprijono, belajar adalah

perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui

aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses

pertumbuhan seseorang secara alamiah.31

Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik –sosio menuju

ke perkembangan pribadi seutuhnya, namun realitas yang dipahami oleh

sebagian besar masyarakat tidaklah demikian. Belajar dianggapnya properti

sekolah. Kegiatan belajar selalu selalu dikaitkan dengan tugas-tugas

sekolah. Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip belajar yaitu: 1)

perubahan perilaku sebagai hasil belajar. 2) belajar merupakan proses yang

terjadi karena didorong oleh kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. 3)

belajar merupakan bentuk pengalaman. Pada dasarnya adalah hasil dari

interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya.

27

Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.

231. 28

Moh. Uzer Usman, Op. cit., hlm. 5. 29

Syaiful Bahri Djamarah, Op. cit., hlm. 13. 30

Abdul Majid, Op. cit, hlm. 107. 31

Agus Suprijono, Op. cit, hlm. 3.

25

Berangkat dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

motivasi belajar adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang siswa

secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan kegiatan belajar dengan

sungguh-sungguh dan bersemangat.

2. Tujuan dan Fungsi Motivasi Belajar

Secara umum tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau

menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk

melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan

tertentu.32

Bagi seorang guru, tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan

para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan

prestasi belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai yang

diharapkan dan ditetapkan di dalam kurikulum sekolah.

Adapun fungsi dari motivasi secara rinci adalah sebagai berikut:

a. Memberi semangat dan mengaktifkan siswa agar tetap berminat dan

siaga untuk belajar.

b. Memusatkan perhatian anak pada tugas-tugas tertentu yang berhubungan

dengan pencapaian tujuan belajar.

c. Membantu memenuhi kebutuhan akan hasil jangka pendek dan hasil

jangka panjang belajar.33

Menurut Syaiful Bahri Djamarah, fungsi motivasi dalam belajar

adalah sebagai berikut:

a. Motivasi sebagai pendorong perbuatan

Pada mulanya anak didik tidak ada hasrat untuk belajar, tetapi karena ada

sesuatu yang dicari muncullah minatnya untuk belajar. Jadi motivasi

yang berfungsi sebagai pendorong ini mempengaruhi sikap apa yang

seharusnya anak didik ambil dalam rangka belajar.

32

M. Ngalim Purwanto, Op. cit., hlm. 73. 33

Zakiah Daradjat, dkk., Op. cit., hlm. 141.

26

b. Motivasi sebagai penggerak perbuatan

Dorongan psikologis yang melahirkan sikap terhadap anak didik itu

merupakan suatu kekuatan yang tidak terbendung, yang kemudian

terjelma dalam bentuk gerakan psikofisik.

c. Motivasi sebagai pengarah perbuatan

Anak didik yang mempunyai motivasi dapat menyeleksi mana perbuatan

yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang tidak harus dilakukan. 34

Menurut Tabrani Rusyan, fungsi motivasi antara lain sebagai

berikut:

a. Mendorong timbulnya kelakuan atau perbuatan.

b. Mengarahkan aktivitas pembelajaran.

c. Menggerakkan dan menentukan cepat atau lambatnya suatu perbuatan. 35

Berkaitan dengan proses belajar siswa, motivasi belajar

sangatlah diperlukan. Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses

belajar mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi guru mengetahui

motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan

meningkatkan semangat belajar siswa. Misalnya apabila ada beberapa

siswa yang diketahui mempunyai motivasi yang rendah pada mata

pelajaran tertentu dikarenakan penggunaan metode yang kurang bisa

diterima oleh siswa-siswanya, maka bagi seorang guru dengan

mengetahui tanda-tanda siswa-siswanya tidak bermotivasi dalam

mengikuti kegiatan belajar mengajar, guru tersebut akan

mengintropeksi diri dengan metode yang digunakan dan akan memperbaiki

metode yang digunakan atau bahkan akan menggunakan metode lain untuk

menumbuhkan motivasi belajar siswa-siswanya. Materi pembelajaran

merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang memegang

peranan penting dalam membantu siswa mencapai kompetensi dasar dan

34

Syaiful Bahri Djamarah,Op. cit., hlm. 123. 35

Tabrani Rusyan, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, CV. Remaja Rosdakarya,

Bandung, 1989, hlm, 123.

27

standar kompetensi. 36

Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

setiap tindakan motivasi mempunyai tujuan dan fungsi. Makin jelas tujuan

yang diharapkan atau akan yang dicapai, makin jelas pula bagaimana

tindakan memotivasi itu dilakukan.Oleh karena itu, guru yang akan

memberikan motivasi harus mengenal dan memahami benar kebutuhan dan

kepribadian siswa yang akan dimotivasi.

3. Manfaat Motivasi Belajar

Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa pentingnya

motivasi belajar adalah sebagai berikut:

a. Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil akhir.

Seorang siswa yang memiliki motivasi belajar akan dapat menyadari

tentang kemampuan yang dimilikinya. Dengan mengetahui kemampuan

yang dimilikinya bila dibandingkan dengan temannya, maka ia akan

termotivasi untuk belajar lebih giat lagi. Contohnya, setelah seorang

siswa membaca suatu bab buku bacaan, dibandingkan dengan temannya

sekelas yang juga membaca bab tersebut, ia kurang berhasil menangkap

isi, maka ia terdorong membaca lagi. 37

Jadi, motivasi dapat mendorong

siswa untuk menyadari potensi yang dimilikinya, sehingga dapat

meningkatkan kemandirian siswa.

b. Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, yang dibandingkan

dengan teman sebaya.

Adanya motivasi pada diri siswa akan dapat mendorong mereka untuk

lebih giat belajar. Sebagai ilustrasi, jika terbukti usaha belajar seorang

siswa belum memadai, maka ia berusaha setekun temannya yang belajar

dan berhasil. 38

36

Kokom komalasari, Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi, PT Refika Aditama,

Bandung, 2010, hlm. 28. 37

Dimyati, Op. cit., hlm. 85. 38

Ibid, hlm. 85

28

c. Mengarahkan kegiatan belajar.

Adanya motivasi belajar pada diri seorang siswa akan mampu

mengarahkan kegiatan belajarnya. Ia akan memperhatikan materi

pelajaran yang disampaikan oleh guru. Sebagai ilustrasi, setelah ia

diketahui bahwa dirinya belum belajar secara serius, terbukti banyak

bersendau gurau misalnya, maka ia akan mengubah perilaku belajarnya.39

d. Membesarkan semangat belajar.

Motivasi belajar yang ada pada diri seorang siswa akan mampu

mengarahkan kegiatan belajarnya. Ia akan mendorong siswa untuk

bersemangat dan sungguh-sungguh dalam belajar.

e. Menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar kemudian bekerja yang

berkesinambungan.

Motivasi yang ada dalam diri siswa akan mampu mendorong siswa untuk

belajar secara mandiri dan bekerjasama dengan sesama temannya. Siswa

dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat

berhasil.40

Kelima hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya motivasi

tersebut disadari pelakunya sendiri. Bila motivasi disadari oleh pelaku,

maka sesuatu pekerjaan, dalam hal ini tugas belajar akan terselesaikan

dengan baik.

Motivasi belajar juga penting diketahui oleh seorang guru.

Pengetahuan dan pemahaman tentang motivasi belajar pada siswa

bermanfaat bagi guru. Adapun manfaat itu adalah sebagai berikut:

a. Dapat membangkitkan, meningkatkan, dan memelihara semangat siswa

untuk belajar sampai berhasil.

b. Dapat mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa di kelas

bermacam-macam, ada yang acuh tak acuh, ada yang bersemangat untuk

belajar.

39

Ibid., hlm. 85. 40

Ibid., hlm. 85.

29

c. Dapat meningkatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu di antara

bermacam-macam peran seperti sebagai penasihat, fasilitator, instruktur,

teman diskusi, penyemangat, pemberi hadiah, atau pendidik.

d. Dapat memberi peluang kepada guru untuk unjuk kerja rekayasa

pedagogis. Tugas guru adalah membuat semua siswa belajar sampai

berhasil.41

Dengan demikian, manfaat yang dapat diperoleh guru dari adanya

motivasi belajar siswa adalah dapat mendorong guru untuk selalu

melaksanakan pembelajaran dengan membangkitkan dan menjaga motivasi

belajar siswa, sehingga diharapkan kegiatan belajar akan dapat berjalan

dengan baik, interaksi edukatif berjalan dengan baik, serta siswa selalu

menunjukkan sikap semangat dan antusias dalam belajar.

4. Macam-macam Motivasi Belajar

Dalam dunia pendidikan kita mengenal ada dua macam motivasi,

yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Berikut ini akan penulis

jelaskan kedua macam motivasi belajar tersebut:

a. Motivasi Intrinsik

Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau

berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri

individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.42

Motivasi itu

intrinsik bila tujuannya inheren dengan situasi belajar dan bertemu

dengan kebutuhan dan tujuan anak didik untuk menguasai nilai-nilai

yang terkandung di dalam pelajaran itu.

Hubungannya dalam aktivitas belajar, motivasi intrinsik sangat

diperlukan, terutama belajar sendiri. Siswa yang tidak memiliki motivasi

intrinsik sulit sekali melakukan aktivitas belajar terus menerus.

Seseorang yang memiliki motivasi instrinsik selalu ingin maju dalam

belajar. Keinginan itu dilatarbelakangi oleh pemikirang yang positif,

41

Ibid., hlm. 85-86. 42

Syaiful Bahri Djamarah, Op. cit., hlm. 115.

30

bahwa semua mata pelajaran yang dipelajari sekarang akan dibutuhkan

dan sangat berguna untuk kini dan masa mendatang.

Perlu ditegaskan bahwa anak didik yang memiliki motivasi

instrinsik cenderung akan menjadi orang yang terdidik, yang

berpengetahuan, yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu.

Gemar belajar adalah aktivitas yang tidak pernah sepi dari kegiatan anak

didik yang memiliki motivasi instrinsik. 43

b. Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi

karena adanya perangsang dari luar. 44

Jadi motivasi ekstrinsik berasal

dari luar diri individu. Motivasi belajar dikatakan ekstrinsik bila anak

didik menempatkan tujuan belajarnya di luar faktor-faktor situasi belajar

(resides in some factors outside the learning situation).45

Anak didik belajar karena hendak mencapai tujuan yang terletak

di luar hal yang dipelajarinya. Misalnya, untuk mencapai angka tinggi,

diploma, gelar, kehormatan dan sebagainya. Motivasi estrinsik

diperlukan agar anak didik mau belajar. Berbagai macam cara bisa

dilakukan agar anak didik termotivasi untuk belajar.

Motivasi ekstrinsik diperlukan agar anak didik mau belajar.

Berbagai macam cara bisa dilakukan agar anak didik termotivasi untuk

belajar. Guru yang berhasil mengajar adalah guru yang pandai

membangkitkan motivasi anak didik dalam belajar, dengan

memanfaatkan motivasi ekstrinsik dalam berbagi bentuknya. Kesalahan

penggunaan bentuk-bentuk motivasi ekstrinsik akan merugikan anak

didik. Akibatnya, motivasi ekstrinsik bukan berfungsi sebagai

pendorong, tetapi menjadikan anak didik malas belajar. Karena itu, guru

harus bisa dan pandai mempergunakan motivasi ekstrinsik ini dengan

43

Ibid., hlm. 116. 44

Ibid., hlm. 116. 45

Syaiful Bahri Djamarah, Op. cit., hlm. 117.

31

akurat dan benar dalam rangka menunjang proses interaksi edukatif di

kelas.46

Motivasi ektrinsik tidak selalu buruk akibatnya. Motivasi

ekstrinsik sering digunakan karena bahan pelajaran kurang menarik

perhatian anak didik atau karena sikap tertentu pada guru atau orang tua.

Baik motivasi ekstrinsik yang positif maupun negatif sama-sama

mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik. Diakui, angka, ijazah,

ujian, hadiah dan sebagainya berpengaruh positif dengan merangsang

anak didik untuk belajar. Sedangkan ejekan, celaan, hukuman yang

menghina, sindiran kasar, dan sebagainya berpengaruh negatif dengan

renggangnya hubungan guru dengan anak didik. Jadilah guru sebagai

orang yang dibenci oleh anak didik. Efek pengiringnya adalah mata

pelajaran yang dipegang guru tersebut tidak disukai oleh anak didik.47

Berdasarkan dari uraian di atas, maka sebagai seorang guru

hendaknya mampu memberikan motivasi ekstrinsik yang baik, sehingga

akan menjadi guru yang menjadi idaman dan dambaan dari anak didik.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi belajar

Menurut Ibnu Khaldun seperti yang dikutip Abdul Majid, belajar

merupakan suatu proses mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh

dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam

peradaban masyarakat. 48

Menurut Dimyati dan Mudjiono unsur-unsur

yang mempengaruhi motivasi belajar adalah sebagai berikut:

a. Faktor Individual

Motivasi belajar tampak pada keinginan anak sejak kecil.

Siswa ini lebih menyukai tugas yang menantang dan berusaha

mencari kesempatan untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

Sebaliknya, siswa dengan persepsi diri yang rendah, lebih menyukai

tugas-tugas yang mudah dan sangat tergantung pada pengarahan

46

Ibid., hlm. 117. 47

Ibid., hlm. 117-118. 48

Abdul Majid, Op. cit, hlm. 106

32

guru. Yang termasuk faktor individual yang mempengaruhi

motivasi belajar siswa, antara lain: cita-cita, kemampuan siswa,

kondisi siswa.49

b. Faktor Situasional

Besar kecilnya kelas berpengaruh terhadap pembentukan

ragam motivasi siswa. Kelas yang besar cenderung bersifat formal,

penuh persaingan dan kontrol dari guru. Dengan setting seperti ini

maka setiap siswa cenderung menekankan pentingnya kemampuan

bukan pada penguasaan bahan pelajaran. Motivasi belajar seseorang

akan tercermin pada perilaku. Ada beberapa ciri yang menjadi

indikator orang yang memiliki motivasi belajar yang tinggi.

Individu yang motif belajar tinggi akan menampakkan tingkah laku

dengan ciri-ciri menyenangkan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut

tangung jawab pribadi, memilih pekerjaan yang resikonya sedang

(moderat), mempunyai dorongan sebagai umpan balik (feed back)

tentang perbuatannya dan berusaha melakukan sesuatu dengan

cara-cara kreatif.

Begitu juga dengan lingkungan siswa berupa

keadaan alam, lingkungan tempat tinggal, pergaulan sebaya, dan

kehidupan kemasyarakatan dapat mempengaruhi motivasi belajar

siswa.50

Dapat disimpulkan bahwa terdapat empat buah

karakteristik yang membedakan antara seseorang yang motivasi

belajarnya rendah dengan orang yang yang motivasi belajarnya

tinggi. Motivasi belajar siswa akan terlihat pada sikap perilaku pada

kehidupan sehari-hari antara lain dapat dijabarkan bagaimana

keaktifannya dalam belajar untuk mencapai prestasi, dalam

menyelesaikan tugas, pemanfaatan waktu luang dan waktu libur

serta bagaimana ia bersikap untuk mengatasi hambatan belajar.

Pembelajaran pada hakekatnya adalah interaksi antara peserta didik

49

Dimyati dan Mudjiono, Op. cit., hlm. 97-98. 50

Dimyati dan Mudjiono, Op. cit., hlm. 99.

33

dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah

yang lebih baik. 51

Ciri-ciri orang yang memiliki motivitasi tinggi, akhirnya

dapat dinyatakan bahwa individu akan mempunyai motivasi belajar

tinggi akan mempersepsikan bahwa keberhasilan adalah merupakan

akibat dari kemauan dan usaha. Sedangkan individu yang memiliki

motivasi belajar rendah akan menpersepsikan bahwa kegagalan

adalah sebagai akibat kurangnya kemampuan dan tidak melihat usaha

sebagai penentuan keberhasilan. Seberapa kuat motivasi yang

dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku

yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun

dalam kehidupan lainnya, (prestasi) seseorang. 52

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar

adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar didorong oleh

keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun

yang datang dari luar. Hakekat pembelajaran dapat didefinisikan

sebagi sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar

yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara

sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan

pembelajaran secara efektif dan efisien. 53

C. Prestasi Belajar

1. Pengertian Prestasi Belajar

Istilah prestasi belajar berasal dari dua kata yaitu prestasi dan

belajar. Istilah prestasi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan

sebagai hasil yang dicapai, dilakukan, dikerjakan.54

Dengan demikian,

51

Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Rasail Media Group,

Semarang, 2008, hlm. 11. 52

Ibid., hlm. 11. 53

Kokom Komalasari, Op. cit, hlm. 3. 54

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2008, hlm.

910.

34

prestasi merupakan suatu hasil yang telah dicapai oleh individu yang

melakukan suatu pekerjaan.

Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari

kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan

prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Memahami pengertian

prestasi belajar secara garis besar harus bertitik tolak kepada pengertian

belajar itu sendiri. Untuk itu para ahli mengemukakan pendapatnya yang

berbeda-beda sesuai dengan pandangan yang mereka anut. Namun dari

pendapat yang berbeda itu dapat kita temukan satu titik persamaan.

Menurut I Wayan Nurkancana, prestasi hasil belajar adalah

kecakapan baru yang diperoleh seorang individu yang mempengaruhi

tingkah lakunya.55

Sedangkan menurut Nana Sudjana, prestasi belajar

merupakan bentuk-bentuk kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia

menerima pengalaman belajar.56

Hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan

hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja, artinya, hasil

pembelajaran yang dikategorikan oleh pakar pendidikan. 57

Sehubungan dengan prestasi belajar, Poerwanto memberikan

pengertian prestasi belajar yaitu “Hasil yang dicapai oleh seseorang

dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport”.58

Selanjutnya Winkel seperti dikutip Djamarah mengatakan bahwa “Prestasi

belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang

siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang

dicapainya”.59

Sedangkan menurut S. Nasution prestasi belajar adalah

kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat.

Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni:

55

Wayan Nurkancana, Evaluasi Hasil Belajar, Usaha Nasional, Surabaya, 2002, hlm. 27. 56

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosdakarya, Bandung,

1995, hlm. 30. 57

Agus Suprijono, Op. Cit, hlm. 7. 58

Poerwanto, Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 18. 59

Syaiful Bahri Djamarah, Op. cit., hlm. 117.

35

kognitif, affektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang

memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga

kriteria tersebut. Proses belajar dan mengajar adalah fenomena yang

kompleks, segala sesuatunya berarti, setiap kata, pikiran, tindakan dan

asosiasi sampai sejauh mana mengubah lingkungan belajar, presentasi dan

rancangan pengajaran, sejauh itu pula proses belajar berlangsung. 60

Berdasarkan dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil usaha belajar yang dicapai

seorang siswa berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar yang berupa

ranah pengetahuan, nilai dan sikap serta keterampilan yang diperoleh siswa

dari mengerjakan soal tes formatif yang ditunjukkan dengan nilai dan setiap

akhir semester dilaporkan dengan rapor.

2. Ranah Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa

setelah menerima pengalaman belajar. Menurut Gagne seperti yang dikutip

Agus Suprijono menyatakan bahwa ranah hasil belajar terdiri dari 5 (lima)

kategori, yaitu: (1) informasi verbal, (2) keterampilan intelektual, (3)

strategi kognitif, (4) sikap dan keterampilan motoris.61

Sementara dalam sistem pendidikan nasional menggunakan

klasifikasi hasil belajar dari Benjamin S. Bloom. Secara garis besar

Benjamin S. Bloom dalam bukunya Taxonomy of Educational Objectives

seperti yang dikutip Anas Sudijono membagi hasil belajar menjadi tiga jenis

domain (ranah), yaitu: ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif

(affective domain) dan ranah psikomotorik (psychomotor domain).62

Secara rinci ketiga ranah hasil belajar akan penulis jelaskan sebagai

berikut:

60

Syaiful Sagala, Op. cit, hlm. 108. 61

Agus Suprijono, Op. cit., hlm. 5-6. 62

Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008,

hlm. 49.

36

aa.. Ranah Kognitif (Cognitive Domain)

Ranah kognitif merupakan salah satu ranah psikologis manusia

yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan

pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah,

kesengajaan dan keyakinan. 63

Jadi ranah kognitif adalah ranah yang

mencakup kegiatan mental (otak).

Ranah kognitif ini meliputi keenam jenjang, yaitu: pengetahuan,

pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian. Keenam jenjang

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

11)) Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan atau knowledge merupakan kemampuan

seseorang untuk mengingat-ingat kembali atau mengenali kembali apa

saja yang telah dipelajari, baik yang menyangkut nama, istilah, ide,

gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa mengharapkan

kemampuan untuk menggunakannya.64

Jadi jenjang berpikir ini

menyangkut kemampuan mengetahui apa yang dipelajarinya tanpa

untuk berfikir untuk melakukan sesuatu yang diketahuinya tersebut.

22)) Pemahaman (comprehension)

Pemahaman atau comprehension merupakan kemampuan

seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu

diketahui dan diingat.65

Seorang peserta didik yang memahami

sesuatu apabila ia dapat menjelaskan dengan susunan kalimatnya

sendiri sesuatu yang dibaca atau didengarnya, memberi contoh lain

dari yang telah dicontohkan, atau menggunakan petunjuk penerapan

pada kasus lain.66

Dengan demikian, pemahaman merupakan kemampuan

individu untuk menjelaskan arti dari sesuatu yang telah diketahui

sebelumnya dengan kalimatnya sendiri.

63

Ibid., hlm. 49-50. 64

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 49. 65

Ibid., hlm. 49. 66

Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 25.

37

33)) Penerapan (application)

Penerapan atau aplikasi adalah kesanggupan seseorang untuk

menerapkan atau menggunakan ide-ide umum atau teori-teori dan

sebagainya dalam situasi yang baru dan konkret.67

Jadi penerapan

merupakan kemampuan individu untuk menerapkan pengetahuan yang

dimilikinya dari kegiatan belajar ke dalam kehidupan sehari-hari.

44)) Analisis (analysis)

Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-

unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan atau

susunannya.68

Dengan dimilikinya kemampuan analisis ini, seseorang

akan mampu menguraikan sesuatu hal menjadi beberapa hal yang

lebih detail sehingga mudah dipahami oleh seseorang yang diajak

bicara.

55)) Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah suatu proses memadukan bagian-bagian atau

unsur-unsur secara logis sehingga menjelma menjadi sesuatu unsur

yang berstruktur atau berbentuk pola baru.69

Jadi sintesis merupakan

kebalikan dari analisis.

66)) Penilaian (evaluation)

Penilaian atau evaluasi merupakan pemberian keputusan

tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan,

cara bekerja, pemecahan, metode, atau materi.70

Dengan penilaian,

individu akan mampu memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang

berguna bagi dirinya maupun hal-hal yang tidak berguna bagi dirinya.

bb.. Ranah Afektif (affective domain)

Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap mental

dan kesadaran siswa yang diperoleh siswa melalui proses internalisasi

67

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 50. 68

Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 27. 69

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 51. 70

Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 28.

38

yaitu proses menuju ke arah pertumbuhan batiniah.71

Dalam kaitannya

dengan hasil belajar, ranah afektif (sikap) dapat diungkapkan sebagai

kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu.

Menurut Nana Sudjana, beberapa jenis kategori ranah afektif

sebagai hasil proses belajar antara lain:

1) Recieving/attending atau penerimaan, yakni semacam kepekaan dalam

menerima rangsangan dari luar yang datang kepada siswa dalam

bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain.

2) Responding atau memberi respon jawaban, yakni reaksi yang

diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar.

3) Valuing atau penilaian, yakni berkenaan dengan nilai dan kepercayaan

terhadap gejala atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di

dalamnya menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk

menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.

4) Organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem

organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain,

pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya..

5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua

sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola

kepribadian dan tingkah lakunya yang di dalamnya termasuk

keseluruhan nilai dan karakteristiknya.72

Berdasarkan dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ranah

afektif merupakan ranah prestasi belajar yang berkenaan dengan sikap

dan nilai. Ranah ini meliputi: penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi

dan karakteristik nilai.

cc.. Ranah Psikomotorik (psychomotor domain)

Sedangkan hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk

keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Menurut

Muhibbin Syah, kecakapan psikomotor adalah “Segala amal jasmaniah

71

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 54. 72

Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 30.

39

yang konkrit dan mudah diamati, baik kuantitasnya maupun kualitasnya,

karena sifatnya yang terbuka”.73

Jadi kecakapan psikomotor siswa

merupakan manifestasi wawasan pengetahuan dan kesadaran serta sikap

mentalnya.

Menurut Nana Sudjana, ada 6 (enam) tingkatan keterampilan,

yakni:

11)) Gerakan refleks, yakni keterampilan pada gerakan yang tidak sadar.

22)) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.

33)) Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual,

membedakan auditif, motoris dan lain-lain.

44)) Kemampuan di bidang fisik, misalnya: kekuatan, keharmonisan, dan

ketepatan.

55)) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada

keterampilan yang kompleks.

66)) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive

seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.74

Dengan demikian, prestasi belajar meliputi 3 (tiga) ranah, yaitu

ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap), dan ranah

psikomotorik (keterampilan).

3. Penilaian Prestasi Belajar

Istilah penilaian atau evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu

evaluation, yang artinya penilaian.75

Ada tiga istilah yang sering digunakan

dalam evaluasi, yaitu tes (test), pengukuran (measurement), dan penilaian

(assessment). 76

Tes merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya

kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respons

seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan. Tes merupakan salah satu alat

73

Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 136. 74

Nana Sudjana, Op. cit., hlm. 30-31. 75

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2006, hlm. 220. 76

S. Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

2013, hlm. 1-2.

40

untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi

karakteristik suatu objek, baik yang berupa kemampuan peserta didik, sikap,

minat, dan motivasi.77

Pengukuran (measurement) dapat diartikan sebagai kegiatan yang

dilakukan untuk mengukur sesuatu. Mengukur pada hakikatnya adalah

membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran tertentu. Pengukuran

ini bersifat kuantitatif. Pengukuran yang sering dikenal dalam dunia

pendidikan adalah pengukuran yang dilakukan untuk menilai, yang

dilakukan dengan jalan menguji sesuatu, misalnya mengukur kemampuan

belajar peserta didik dalam rangka mengisi nilai rapor yang dilakukan

dengan menguji mereka dalam bentuk tes hasil belajar.78

Dengan demikian,

esensi dari pengukuran adalah kuantifikasi atau penetapan angka tentang

karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu.

Penilaian (assesment) memiliki arti yang berbeda dengan evaluasi.

The Task Group on Assesment and Testing (TGAT) yang dikutip Eko Putro

Widoyoko mendeskripsikan asesmen sebagai semua cara yang digunakan

untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok.79

Sedangkan menurut

Anas Sudijono, penilaian berarti menilai sesuatu, yaitu mengambil

keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada

ukuran baik atau buruk, pandai atau bodoh dan sebagainya.80

Jadi penilaian

berarti memberikan nilai atas sesuatu berdasarkan ukuran baik atau

buruknya.

Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan tes, pengukuran.

Stufflebeam dan Shinkfield yang dikutip Eko Putro Widoyoko menyatakan

bahwa:

Evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing

descriptive and judgmental information about the worth and merit of

some object’s goals, design, implementation, and impact in order to

guide decision making, serve needs for accountability, and promote

77

S. Eko Putro Widoyoko, Op. Cit., hlm. 1-2 78

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 4. 79

S. Eko Putro Widoyoko, Op. cit., hlm. 2-3. 80

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 4-5.

41

understanding of the involved phenomena. (Evaluasi merupakan suatu

proses menyediakan infomasi yang dapat dijadikan sebagai

pertimbangan untuk menentukan harga dan jasa (the worth and merit)

dari tujuan yang dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk

membantu membuat keputusan, membantu pertanggungjawaban dan

meningkatkan pemahanan terhadap fenomena).81

Edwind Wandt dan Gerald W. Brown seperti yang dikutip Anas

Sudijono mengemukakan bahwa “Evaluation refer to the act or process to

determining the value of somesthing” atau evaluasi adalah suatu tindakan

atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.82

I Wayan Nurkancana dan Sunartana mendefinisikan evaluasi hasil

belajar adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai

keberhasilan belajar seseorang setelah ia mengalami proses belajar selama

periode tertentu.83

Sedangkan Hamzah B. Uno dan Satria Koni,

mendefinisikan evaluasi sebagai proses pemberian makna atau ketetapan

kualitas hasil pengukuran dengan cara membadingkan angka hasil

pengukuran dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut

dengan kriteria tertentu.84

M. Basyiruddin Usman, menjelaskan bahwa evaluasi hasil belajar

adalah penilaian yang berkenaan dengan seluruh kegiatan yang dilakukan

baik kegiatan mengajar maupun kegiatan belajar, sampai sejauhmana tujuan

pembelajaran yang ditetapkan dapat tercapai.85

Evaluasi hasil belajar sebagai suatu tindakan atau proses secara

umum setidak-tidaknya memiliki 3 (tiga) macam fungsi yaitu: (1) mengukur

kemajuan hasil belajar siswa; (2) menunjang penyusunan rencana; dan (3)

memperbaiki atau melakukan penyempurnaan.86

Berdasarkan dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa

evaluasi hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penilaian

81

S. Eko Putro Widoyoko, Op. cit., hlm. 3. 82

Anas Sudijono, Op. cit.,, hlm. 1. 83

I Wayan Nurkancana dan Sunartana, Op. cit., hlm. 11. 84

Hamzah B. Uno dan Satria Koni, Assesment Pembelajaran, Bumi Aksara, Jakarta, 2010,

hlm. 3. 85

M. Basyiruddin Usman, Op. cit., hlm. 130. 86

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 7-8.

42

terhadap tugas atau tes yang dikerjakan oleh siswa. Jadi dalam penelitian ini

lebih menekankan pada pelaksanaan penilaian hasil belajar siswa.

Teknik penilaian dapat dilakukan oleh guru untuk mengetahui

keberhasilan belajar siswa. Pengajaran yang efektif menghendaki

digunakannya alat-alat untuk menentukan apakah suatu hasil belajar yang

diinginkan telah benar-benar tercapai atau sampai dimanakah hasil belajar

tadi telah tercapai. Kita tidak akan dapat memberikan bimbingan yang baik

dalam usaha belajar yang dilakukan oleh anak didik, jika kita tidak memiliki

alat untuk mengetahui kemajuan anak didik dalam mencapai tujuan

pembelajaran yang telah ditetapkan.87

Alat-alat yang dipergunakan dalam rangka melakukan evaluasi hasil

belajar disebut teknik evaluasi hasil belajar. I Wayan Nurkancana dan

Sunartana, menjelaskan bahwa metode yang dapat digunakan untuk

mengetahui kemajuan-kemajuan yang dicapai anak didik dalam proses

belajar mengajar adalah metode tes dan metode observasi.88

Sedangkan

menurut Anas Sudijono, teknik evaluasi hasil belajar secara garis besarnya

dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: teknik tes dan teknik nontes.89

Secara rinci teknik evaluasi hasil belajar akan penulis jelaskan pada bagian

berikut:

a. Teknik tes

Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran,

yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek.

Dalam pembelajaran objek ini bisa berupa kecakapan peserta didik,

minat, motivasi dan sebagainya. Tes merupakan bagian tersempit dari

penilaian.90

Teknik tes merupakan alat pengukur yang mempunyai standar

yang obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas serta dapat betul-

betul digunakan untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis

87

Ibid., hlm. 8. 88

I Wayan Nurkancanadan Sunartana, Op Cit , hlm.33 89

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 62. 90

S. Eko Putro Widoyoko, Op. cit., hlm. 45.

43

atau tingkah laku individu.91

Dengan demikian tes adalah suatu cara atau

serangkaian tugas yang digunakan untuk mengukur dan menilai sesuatu

dengan maksud untuk membandingkan kecakapan individu yang satu

dengan yang lain.

Sebagai alat pengukut, tes dapat dibedakan menjadi beberapa

jenis atau golongan, antara lain:

1) Berdasarkan fungsinya, tes dibedakan menjadi: tes seleksi, tes

awal, tes akhir, tes diagnostik, tes formatif, dan tes sumatif.

2) Berdasarkan aspek psikis yang akan diungkap, tes dibedakan

menjadi: tes intelegensi, tes kemampuan, tes sikap, tes kepribadian,

dan tes hasil belajar.

3) Dari segi banyaknya orang yang mengikuti, tes dibedakan menjadi:

tes individual dan tes kelompok.

4) Ditinjau dari segi cara mengajukan pertanyaan, tes dibedakan

menjadi: tes tertulis dan tes lisan.92

Ada beberapa jenis tes yang dipergunakan dalam melaksanakan

evaluasi hasil belajar siswa, yaitu sebagai berikut:

1) Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan

a) Tes tertulis

Tes tertulis adalah jenis tes di mana tertee dalam mengajukan butir-

butir pertanyaan atau soalnya dilakukan secara tertulis dalam testee

memberikan jawabannya juga secara tertulis. Dengan demikian

dalam tes tertulis ini, soal dan jawaban disampaikan secara tertulis.

b) Tes lisan

Tes lisan adalah tes di mana pertanyaan maupun jawaban

(response), semuanya dalam disampaikan dalam bentuk lisan.

Tester dalam mengajukan pertanyaan atau soalnya disampaikan

secara lisan, dan testee memberikan jawabannya juga secara lisan

pula.93

91

Anas Sudijono, Op. cit., hlm. 66. 92

Ibid., hlm. 67-75. 93

Ibid., hlm. 75.

44

2) Jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya

a) Tes objektif

Tes objektif adalah bentuk tes yang mengandung kemungkinan

jawaban atau respons yang harus dipilih oleh peserta didik. Secara

umum, tes objektif ini terdiri dari 3 (tiga) tipe, yaitu benar salah

(true false), menjodohkan (matching), dan pilihan ganda (multiple

choice).94

Tes ini memiliki kelebihan lebih reprensentatif mewakili isi dan

luas bahan dan lebih mudah dan cepat cara memeriksanya.

Sedangkan kelemahannya adalah membutuhkan persiapan yang

lebih sulit dan butir-butir soal cenderung hanya mengungkap

ingatan atau pengenalan kembali.95

b) Tes subjektif

Tes subjektif pada umumnya berbetuk uraian (esai). Tes bentuk

uraian adalah butor soal yang mengandung perntanyaan atau tugas

yang jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan

cara mengekspresikan pikiran peserta tes. Ciri tes uraian ini adalah

jawaban terhadap soal tersebut tidak disediakan oleh penyusun

soal, tetapi harus disusun oleh peserta tes. Secara umum tes uraian

ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu: tes uraian bebas atau

urain terbuka (extended response) dan tes uraian terbatas (restricted

response).96

b. Teknik Nontes

Teknik non tes merupakan teknik evaluasi hasil belajar yang

digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta didik terutama yang

berkaitan dengan aspek afektif dan psikomotorik anak didik.97

Penilaian

unjuk kerja merupakan salah satu teknik non tes. Penilaian unjuk kerja

94

S. Eko Putro Widoyoko, Op. cit., hlm. 50. 95

Ibid., hlm. 49-50. 96

Ibid., hlm. 78-79. 97

Hamzah B. Uno dan Satria Koni, Op. cit., hlm. 19.

45

merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta

didik dalam melakukan sesuatu.98

Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian

kompetensi yang menuntut peserta didik menunjukkan unjuk kerja.

Unjuk kerja yang dapat diamati seperti bermain peran, memainkan alat

musik, bernyanyi, membaca puisi, menggunakan peralatan laboratorium,

dan mengoperasikan suatu alat.99

Berdasarkan dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tes

objektif yang berbentuk tertulis dan lisan digunakan untuk mengukur

ranah kognitif siswa. Sedangkan teknik nontes digunakan untuk

mengukur ranah afektif dan psikomotorik siswa.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dipengaruhi oleh beberapa

faktor. Muhibbin Syah secara global mengemukakan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga

macam, yaitu: Pertama, faktor internal (faktor dari dalam diri siswa) yakni

keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa. Kedua, faktor eksternal (faktor

dari luar diri siswa, yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. Ketiga, faktor

pendekatan belajar (approach to learning), yang meliputi strategi dan

metode pembelajaran.100

Faktor pendekatan belajar ini merupakan jenis upaya belajar siswa

yang meliputi strategi dan metode yang digunakan guru dan siswa untuk

melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.101

Dengan

demikian, seorang guru yang profesional akan memilih pendekatan atau

metode pembelajaran yang lebih sesuai dengan materi dan kondisi siswa

sehingga diharapkan mampu mempermudah penyampaian materi pelajaran

kepada siswa.

98

Ibid., hlm. 19. 99

Ibid., hlm. 19. 100

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, hlm. 132. 101

Ibid., hlm. 132.

46

Menurut Ngalim Purwanto prestasi belajar dipengaruhi oleh 2 (dua)

faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.102

Senada dengan hal

tersebut, menurut Sumadi Suryabrata dalam bukunya Psikologi Pendidikan,

faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor-faktor yang berasal

dari luar diri siswa dan dari dalam diri siswa. Yang termasuk faktor yang

berasal dari luar diri pelajar adalah faktor nonsosial dan faktor sosial.

Sedangkan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa adalah faktor

fisiologi dan faktor psikologis.103

Berikut ini akan penulis jelaskan kedua

faktor tersebut:

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri pelajar.

Kategori ini dibagi 2 (dua) yaitu: faktor fisiologis dan psikologis dalam

belajar.

1) Faktor fisiologis

Faktor fisiologis terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu keadaan

tonus jasmani dan keadaan fungsi jasmani. Pertama, keadaan tonus

jasmani. Keadaan tonus jasmani merupakan suatu keadaan yang

melatarbelakangi aktivitas belajar seseorang, misalnya nutrisi harus

selalu sesuai dengan kebutuhan tubuh jangan sampai kekurangan.

Juga beberapa ancaman penyakit seperti sakit gigi, influenza, batuk

dan lain-lain.104

Dengan demikian, siswa yang belajar harus selalu

dijaga agar sesuai dengan kebutuhan tubuh jangan sampai kekurangan

gizi. Seorang individu yang kekurangan gizi akan berakibat pada

menurunnya hasil pemahaman belajar.

Kedua, Keadaan fungsi jasmani. Keadaan fungsi jasmani

merupakan kondisi fungsi fisik dari individu, misalnya panca indera

merupakan pintu gerbang masuknya ilmu pengetahuan dalam

102

M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997, hlm.

102. 103

Sumadi Suryabrata, Op. cit., hlm. 233. 104

Ibid., hlm. 235.

47

individu.105

Oleh sebab itu, menjaga dan merawatnya merupakan

suatu kebutuhan yang mutlak demi penunjangan terciptanya tujuan

pembelajaran. Kondisi fungsi fisik siswa yang normal tentu akan

mampu membantu memudahkan siswa untuk memahami materi yang

disampaikan oleh guru.

2) Faktor psikologis dalam belajar

Menurut Muhibbin Syah faktor-faktor psikologis yang

dipandang lebih esensial, yaitu: intelegensi siswa, sikap siswa, bakat

siswa, minat siswa, dan motivasi siswa.106

Intelegensi merupakan kecakapan yang terdiri dari tiga jenis

yaitu: kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan keadaan yang

baru dengan cepat dan efektif, mengetahui konsep-konsep yang

abstrak secara efektif dan mengetahui relasi serta mempelajarinya

dengan cepat.107

Jadi intelegensi (IQ) itu besar pengaruhnya terhadap

kemajuan belajar seseorang, sebab dalam keadaan yang sama siswa

yang mempunyai inteligensi yang lebih tinggi dalam pencapaian

keberhasilan dengan siswa yang kurang inteligensinya (rendah).

Sikap merupakan kecenderungan untuk mereaksi atau

merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek.108

Sikap

siswa bisa berupa sikap positif maupun negatif. Sikap positif yang

timbul pada siswa terhadap mata pelajaran merupakan pertanda awal

yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif

siswa terhadap mata pelajaran akan dapat menimbulkan kesulitan

belajar bagi siswa.

Minat (interest) berarti kecenderungan yang tetap untuk

memegang dan memperhatikan kegiatan tertentu. Minat yang dimiliki

oleh siswa akan mampu menumbuhkan perhatian terhadap mata

pelajaran lebih banyak dari pada siswa yang tidak memiliki minat

105

Ibid., hlm. 236. 106

Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 133-137. 107

Ibid., hlm. 133. 108

Ibid., hlm. 134.

48

belajar. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap

materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat,

sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat.109

Secara umum bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial

yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang

akan datang. Sedangkan motivasi merupakan dorongan untuk berbuat

atau bertindak.110

Timbulnya motivasi disebabkan adanya motif yang

ada pada diri individu. Jika motivasi yang ada pada siswa baik, maka

sangat menunjang pada hasil baik yang akan diperoleh siswa tersebut.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri

siswa. Adapun faktor-faktor yang termasuk dalam faktor ekstenal ini

antara lain sebagai berikut:

1) Faktor-faktor non sosial

Faktor-faktor non sosial merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi belajar seseorang yang terdapat pada alat, tempat, atau

keadaan serta lingkungan tempat dilaksanakannya proses

pembelajaran. Contoh iklim, waktu, tempat, serta alat peraga yang

digunakan.111

Semua faktor tersebut harus diatur sedemikian rupa sehingga

dapat membantu proses belajar secara maksimal. Bangunan tempat

pembelajaran berlangsung harus jauh dari kebisingan dan memenuhi

syarat-syarat kesehatan. Alat atau media yang digunakan harus

memenuhi syarat berdasarkan pertimbangan didaktis, psikologis, dan

paedagogis.

2) Faktor-faktor Sosial

Faktor sosial yaitu faktor yang terjadi karena adanya interaksi

manusia, baik kehadirannya itu dapat disimpulkan ada maupun tidak

langsung hadir. Contohnya ketika siswa belajar sedangkan di luar

109

Ibid., hlm. 136. 110

Ibid., hlm. 137. 111

Sumadi Suryabrata, Op. cit., hlm. 233.

49

terdengar kebisingan atau di sisinya terdapat gambar yang

mengganggu konsentrasi belajar. Semua faktor tersebut sangatlah

menghambat, oleh karena itu maka sedemikian rupa harus diatur demi

terciptanya proses belajar yang ideal.112

Adapun faktor-faktor sosial

ini terdiri dari: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat.113

a) Faktor keluarga

Keluarga adalah lembaga pendidikan yang paling utama.

Keluarga sejahtera sangat besar pengaruhnya untuk pendidikan

dalam lingkup kecil dan juga sangat menentukan dalam lingkup

besar yaitu pendidikan bangsa dan negara. Melihat kenyataan ini

dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga di dalam

pendidikan anaknya.

Di antara faktor ini adalah cara orang tua mendidik, relasi

antar anggota keluarga, susunan keluarga, keadaan ekonomi

keluarga dan pengertian orang tua dalam mendidik anak serta latar

belakang kebudayaan keluarganya akan dapat berpengaruh

terhadap hasil pemahaman belajar yang dicapai oleh siswa.114

Jadi

keluarga yang memberikan perhatian dan bimbingan lebih terhadap

anaknya akan berpengaruh terhadap hasil pemahaman yang

dicapainya.

b) Faktor sekolah

Sekolah merupakan salah satu faktor sosial yang

mempengaruhi pemahaman belajar. Yang termasuk dalam faktor

sosial sekolah ini mencakup metode pengajaran, kurikulum, relasi

guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, peraturan-peraturan

sekolah, misalnya: disiplin sekolah, pelajaran, dan waktu belajar

akan dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. Para guru yang

menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan suri teladan

yang baik dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan

112

Ibid., hlm. 234. 113

Muhibbin Syah, Op. cit., hlm. 137-138. 114

Ibid., hlm. 138.

50

belajar siswa.115

Dengan demikian, faktor lingkungan sosial

sekolah berpengaruh terhadap hasil pemahaman belajar siswa.

c) Faktor masyarakat

Masyarakat merupakan faktor eksternal yang juga

berpengaruh pada proses belajar siswa, pengaruh itu terjadi karena

keberadaan siswa di dalam lingkungan masyarakat. Di antara faktor

ini yang termasuk adalah kegiatan siswa dalam masyarakat, juga

masyarakat bisa dijadikan media informasi dan sarana bergaul yang

berfungsi sebagai tempat curahan hati antar sebaya dalam berbagai

bentuk kehidupan dalam masyarakat.116

Dengan demikian, siswa

akan menemukan kemudahan dalam belajar jika berada di

lingkungan masyarakat yang aman dan kondusif dan juga

sebaliknya, siswa akan menemukan kesulitan belajar ketika berada

lingkungan masyarakat yang kumuh.

Dengan demikian, prestasi belajar yang dicapai seorang siswa

merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya

baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor

eksternal) individu. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam

menentukan tingkat prestasi yang dicapai oleh siswa.

D. Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

1. Pengertian mata pelajaran SKI

Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Ibtidaiyah merupakan salah

satu mata pelajaran PAI yang menelaah tentang asal-usul, perkembangan,

peranan kebudayaan peradaban Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam

sejarah Islam pada masa lampau, mulai dari sejarah masyarakat Arab pra-

Islam, sejarah kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad SAW, sampai

dengan masa Khulafaurrasyidin.

115

Ibid., hlm. 137. 116

Ibid., hlm. 137.

51

Secara substansial, mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk

mengenal, memahami, menghayati sejarah kebudayaan Islam, yang

mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih

kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik. 117

2. Fungsi Mata Pelajaran SKI

Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam berfungsi :

a. Mengenalkan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah perkembangan

Islam.

b. Mengenalkan perubahan-perubahan kehidupan dan peradaban

masyarakat yang dibawa Islam.

c. Menanamkan nilai-nilai Iskam dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.118

3. Tujuan Pembelajaran SKI

Mata Pelajaran SKI bertujuan agar peserta didik memiliki

kemampuan: 1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya

mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang telah

dibangun oleh Rasulullah dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan

peradaban Islam. 2) Membangun kesadaran peserta tentang pentingnya

waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa

kini dan masa depan. 3) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami

fakta sejarah secara benar dengan didasrkan pada pendekatan ilmiah. 4)

Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan pserta didik terhadap peninggalan

sejarah sebagai bukti peradaban umat Islam masa lampau. 5)

Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil ibrah dari

peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprsetasi,

117

Lampiran Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 912 Tahun 2013

Tentang Kurikulum Madrasah 2013, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2013, hlm. 37-38. 118

Direktorat Jenderal Kelembagaan Islam, Penyempurnaan Standar Kompetensi MI,

Depag RI, Jakarta, 2008, hlm. 38.

52

dan mengkaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik ekonomi,

iptek dan seni dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan

peradaban Islam.119

Jadi sejarah kebudayaan Islam di Madrasah Ibtidaiyah merupakan

salah satu mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) yang menelaah

tentang asal-usul, perkembangan, peranan kebudayaan peradaban Islam dan

para tokoh yang berprestasi dalam sejarah Islam pada masa lampau, mulai

dari sejarah masyarakat Arab pra-Islam, sejarah kelahiran dan kerasulan

Nabi Muhammad SAW sampai dengan masa Khulafaurrasyidin. Secara

substansial, mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam memiliki kontribusi

dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mengenal,

memahami, menghayati, sejarah kebudayaan Islam, yang mengandung nilai-

nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk

sikap, watak, dan kepribadian peserta didik.

4. Ruang lingkup Materi Pembelajaran SKI

Ruang lingkup Sejarah Kebudayan Islam di Madrasah Ibtidaiyah

meliputi:

a. Sejarah masyarakat Arab pra-Islam, sejarah kelahiran dan kerasulan Nabi

Muhammad SAW.

b. Dakwah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yang meliputi

kegigihan dan ketabahannya dalam berdakwah, kepribadian Nabi

Muhammad SAW, hijrah Nabi Muhammad SAW ke Thaif, peristiwa

Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

c. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Yatsrib, keperwiraan Nabi

Muhammad SAW, peristiwa Fathul Makkah, dan peristiwa akhir hayat

Rasulullah SAW.

d. Peristiwa-peristiwa pada masa khulafaurrasyidin.

e. Sejarah perjuangan Wali Sanga.120

119

Lampiran Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 912 Tahun 2013

Tentang Kurikulum Madrasah, Op. cit., hlm. 38.

53

Adapun materi pelajaran yang diajarkan di MI khususnya kelas IV,

V, dan VI adalah sebagai berikut: 121

a. Kelas IV

1) Ketabahan Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat dalam

berdakwah.

2) Ciri-ciri kepribadian Nabi Muhammad SAW. sebagai rahmat bagi

seluruh alam.

3) Sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. menganjurkan sahabat hijrah ke

Habasyah dan Thaif.

4) Nabi Muhammad SAW. di-Isra’ Mi’rajkan Allah swt.

5) Keadaan masyarakat Yastrib sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW.

6) Hijrah Nabi Muhammad saw. ke Yatsrib

b. Kelas V

1) Keperwiraan Nabi Muhammad SAW dalam mempertahankan kota

Madinah dari serangan kafir Quraisy.

2) Sebab-sebab terjadinya Fathu Makkah.

3) Upaya yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam membina

masyarakat Madinah (sosial, ekonomi, agama, dan pertahanan).

4) Cara-cara Rasulullah dalam menghindari pertumpahan darah dengan

kaum kafir Quraisy dalam peristiwa Fathul Makkah.

c. Kelas VI

1) Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq.

2) Khalifah Umar bin Khattab.

3) Khalifah Usman bin Affan.

4) Khalifah Ali bin Abi Thalib.

120

Ibid., hlm. 41. 121

Ibid., hlm. 93-96.

54

E. Strategi Pembelajaran Kooperatif Model STAD serta Motivasi Belajar

dalam Meningkatkan Prestasi Belajar SKI

Strategi pembelajaran kooperatif lebih banyak memberikan kesempatan

kepada siswa dalam mengembangkan kreatifitas berfikir, sehingga siswa

termotivasi untuk belajar lebih giat yang akhirnya prestasi belajar akan

meningkat. Strategi pembelajaran model STAD (Student Team Achievement

Division), para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri dari empat orang

yang berbeda dari tingkat kemampuannya, jenis kelamin, dan latar belakang

etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka

untuk memestikan bahwa semua anggota tim telah menguasai materi pelajaran.

STAD adalah memacu siswa agar saling mendorong dan membantu satu sama

lain untuk menguasai keterampilan yang diajarkan guru. 122

Semua siswa mengerjakan kuis mengenai materi secara sendiri-sendiri

dan tidak boleh saling membantu. Tanggung jawab individual seperti

memotivasi siswa untuk memberi penjelasan dengan baik satu sama lain,

karena satu-satunya cara bagi tim untuk berhasil adalah dengan membuat

semua anggota tim menguasai informasi atau kemampuan yang diajarkan

sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Begitu juga dengan motivasi belajar yang merupakan salah satu faktor

internal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Siswa dalam belajar

mempunyai dorongan atau keinginan untuk memperoleh hasil yang baik.

Dorongan atau keinginan tersebut dinamakan motivasi. Motivasi dapat

dipahami sebagai suatu variabel penyelang yang digunakan untuk

menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan,

mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju suatu

sasaran. 123

Motivasi siswa yang timbul dari dalam diri siswa disebut intrinsik,

sedangkan motivasi dari luar diri siswa disebut ekstrinsik. Pada hakekatnya

motivasi belajar siswa dibedakan menjadi motivasi belajar tinggi dan motivasi

122

Rusman, Op. cit, hlm. 214. 123

Syaiful Sagala, Op. cit, hlm. 100.

55

belajar rendah. Prestasi belajar siswa sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya

motivasi. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi mempunyai

kecenderungan prestasi belajarnya tinggi, begitu juga sebaliknya. Siswa yang

memiliki motivasi tinggi mempunyai keinginan yang kuat untuk memiliki

pengetahuan yang banyak, ingin berprestasi lebih baik, adanya kepuasan dalam

belajar, memiliki rasa tanggung jawab dan memiliki rasa tanggung jawab yang

tinggi. Siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, cenderung menerima

apa adanya, mudah menyerah, tidak percaya diri dan tidak memiliki pendirian

dan keyakinan yang kuat, tidak berani mengambil resiko, dan tidak tegas dalam

mengambil keputusan.

Dengan pola pemikiran semacam ini siswa tidak terbiasa berfikir untuk

menemukan banyak alternatif dalam memahami setiap persoalan yang

dihadapi, rasa ingin tahu rendah, sehingga satu alternatif yang dianggap benar

diterapkan dalam memahami suatu permasalahan dan cara pemecahannya

ternyata tidak berhasil maka siswa menjadi kurang percaya diri. Kondisi

demikian akan menurunkan minat belajar siswa yang pada akhirnya hasil

belajarnya yang dicapai tidak memuaskan.

Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa prestasi belajar mata

pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dapat ditingkatkan melalui penerapan

strategi pembelajaran kooperatif model STAD serta dengan adanya motivasi

belajar siswa.

F. Penelitian Terdahulu

Model pembelajaran kooperatif memiliki potensi untuk mengurangi

kelas-kelas pasif ke dalam kelas dinamis dan orientasi kelompok. Banyak

penelitian yang telah dilaksanakan dalam rangka menguji pembelajaran

kooperatif,124

di antaranya adalah yang dilaksanakan oleh De Vries & Slavin

dengan model “games-game tournament”, Aranson, Blaney, Slavin (1983)

dengan model “jigsaw dan jigsaw II”, Lindquist (1995) dengan model “group

124

Isjoni, Pembelajaran Kooperatif: Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta

Didik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 125.

56

investigation”. Hasil-hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa

pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keinginan kelas, prestasi yang

dipertahankan, dan prestasi aktual. Kajian atas STAD telah

mengimplementasikan model ini dalam mata pelajaran seni, matematika,

pelajaran sosial, ilmu pengetahuan ilmiah, dan pelajaran-pelajaran lainnya.

Pengaruh STAD secara konsisten terlihat positif dalam semua mata pelajaran.

Terlebih lagi, kajian di Universitas John Hopkins mencatat bahwa 20 (dua

puluh) dari 29 (dua puluh sembilan) kajian STAD (69%) menemukan

pengaruh positif yang signifikan tidak ada yang negatif terhadap prestasi

belajar siswa.125

Slavin menelaah penelitian dan melaporkan bahwa 45 penelitian telah

dilaksanakan antara tahun 1972 sampai dengan 1986, menyelidiki pengaruh

pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar. Studi ini dilakukan pada

tingkat kelas dan meliputi mata pelajaran bahasa, geografi, ilmu sosial, sains,

matematika, bahasa inggris, membaca, menulis. Studi yang ditelaah itu

dilaksanakan di sekolah-sekolah kota, pinggiran, dan pedesaan di Amerika

Serikat, Israel, Nigeria dan Jerman. Dari 45 laporan tersebut, 37 diantaranya

menunjukkan bahwa kelas kooperatif menunjukkkan hasil belajar akademik

yang signifikan lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Delapan

studi menunjukkan tidak ada perbedaan. Tidak satupun yang menunjukkan

bahwa kooperatif memberikan pengaruh negatif. Lundgren penelitian ini

menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat

positif untuk siswa yang rendah hasilnya. Dan siswa yang bekerja dalam

kooperatif belajar lebih banyak dibandingkan dengan kelas yang

diorganisasikan secara tradisional.

Sementara dari tesis penelitian sebelumnya yang relevan dengan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pertama, tesis yang ditulis oleh Subyakto mahasiswa Universitas

Sebelas Maret yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif

Jigsaw dan STAD (Student Teams Achievements Division) Terhadap Prestasi

125

Ibid., hlm. 45-46.

57

Belajar IPA Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa Kelas VIII SMP Negeri Se

Wilayah Ngawi”.126

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan

pendekatan eksperimen dengan rancangan factorial 2 x 2 dan penyajian data

secara deskreptif analisis. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa Kelas

VIII SMP Negeri se wilayah Ngawi Timur. Teknik pengambilan sampling

menggunakan teknik cluster random sampling. Dalam penelitian ini yang

menjadi sampel penelitian adalah siswa-siswi kelas VIII SMP Negeri 1

Pangkur dan SMP Negeri 1 Kasreman, setiap kelas ada 40 siswa yang di

gunakan sebagai kelas kontrol dan satu kelas untuk kelas eksperimen

berjumlah 40 siswa. Sedangkan teknik pengumpulan datanya menggunakan

teknik angket dan tes. Teknik analisis data yang digunakan Teknik Analisis

Varians (ANAVA) Dua Jalur. Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji

validitas dengan korelasi Product Moment dan reliabilitas menggunakan

Point Biserial.

Hasil uji hipotesis menunjukkan : (1) Terdapat perbedaan pengaruh

antara penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan model

pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap prestasi belajar IPA. Model

pembelajaran kooperatif Jigsaw menghasilkan prestasii belajar IPA yang

lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif STAD. Dapat

disimpulkan bahwa prestasi belajar IPA yang diajar dengan model

pembelajaran Jigsaw lebih baik daripada STAD. Hal ini dibuktikan dari harga

Fhitung=10,72 > Ftabel (α=0,05) = 4,00; (2) Terdapat perbedaan pengaruh antara

siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dengan siswa yang memiliki

motivasi berprestasi rendah terhadap prestasi belajar IPA. Dengan demikian

dapat disimpulkan terdapat perbedaan rata-rata antara motivasi berprestasi

tinggi dan rendah. Dapat disimpulkan bahwa skor prestasi belajar IPA yang

memiliki motivasi belajar tinggi lebih baik dari pada siswa yang memiliki

motivasi belajari rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil pengujian diperoleh

126

Subyakto, “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw dan STAD (Student

Teams Achievements Division) Terhadap Prestasi Belajar IPA Ditinjau dari Motivasi Belajar

Siswa Kelas VIII SMP Negeri Se Wilayah Ngawi”, Tesis, Universitas Sebelas Maret, Surakarta,

2009, hlm. 101-102.

58

Fhitung =9,02 > Ftabel (α=0,05) = 4,00; (3) Tidak terdapat interaksi pengaruh

antara penggunaan model pembelajaran Jigsaw dan motivasi belajar terhadap

prestasi belajar IPA. Hal ini dibuktikan dari hasil pengujian diperoleh Fhitung

1,09. Adapun Ftabel diketahui sebesar 4,00. Karena Fhitung lebih kecil dari Ftabel,

maka hipotesis nol diterima. Hal ini berarti tidak terdapat interaksi antara

pengaruh penggunaan model pembelajaran Jigsaw dan motivasi belajari

terhadap prestasi belajar IPA.

Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti

laksanakan adalah sama mengkaji tentang pengaruh STAD (Student Teams

Achievements Division) dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar.

Sedangkan perbedaannya adalah pada karakteristik populasi dan sampel serta

mata pelajaran yang menjadi fokus penelitian.

Kedua, jurnal penelitian yang ditulis oleh Sri Pujiyati, dkk., yang

berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan

Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VI SD

Gugus Dewi Sartika”.127

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan

menganalisis pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan

motivasi berprestasi terhadap hasil belajar matematika. Populasi penelitian

siswa kelas VI SD Gugus Dewi Sartika tahun pelajaran 2014 – 2015, Sampel

penelitian berjumlah 104 orang dipilih menggunakan teknik Random

Sampling. Rancangan eksperimen dilakukan dengan Post Test Only Control

Group Design. Data dikumpulkan dengan instrumen kuesioner untuk variabel

motivasi berprestasi dan tes untuk variabel hasil belajar matematika. Data

yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian dua jalan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara

siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif

tipe STAD dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model

pembelajaran konvensional, (2) terdapat pengaruh interaksi antara model

127

Sri Pujiyati, dkk., “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Motivasi

Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VI SD Gugus Dewi Sartika”, e-

Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Penelitian dan

Evaluasi Pendidikan, Volume 5, No 1 Tahun 2015.

59

pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar matematika,(3)

pada siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, terdapat perbedaan

hasil belajar matematika siswa antara siswa yang mengikuti model

pembelajaran kooperatif tipe STAD dan siswa yang mengikuti model

pembelajaran konvensional, dan (4) pada siswa yang memiliki motivasi

berprestasi rendah, terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa antara

siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan siswa

yang mengikuti model pembelajaran konvensional.

Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti

laksanakan adalah sama mengkaji tentang pengaruh model STAD dan

motivasi belajar terhadap prestasi belajar. Sedangkan perbedaannya adalah

pada karakteristik populasi dan sampel serta mata pelajaran yang menjadi

fokus penelitian.

Ketiga, jurnal penelitian yang ditulis oleh Sri Adnyani, dkk., yang

berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap

Hasil Belajar Bahasa Indonesia Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa”.128

Penelitian ini tergolong eksperimen semu dengan rancangan faktorial 2x2.

Tujuannya, untuk mengetahui pengaruh implementasi model pembelajaran

kooperatif tipe STAD terhadap hasil belajar bahasa Indonesia ditinjau dari

motivasi belajar siswa. Populasinya siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Seririt

tahun pelajaran 2013/2014 yang tersebar di empat kelas paralel sebanyak 124

orang. Teknik sampling menggunakan random sampling dengan random pada

kelompok untuk menentukan kelas eksperimen dan kontrol. Sampel pada

setiap sel sebanyak 21 orang. Data dikumpulkan dengan kuesioner untuk

motivasi belajar siswa dan dengan tes untuk hasil belajar bahasa Indonesia.

Analisis data menggunakan teknik ANAVA dua jalur dilanjutkan dengan uji

Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) terdapat perbedaan hasil

belajar bahasa Indonesia antara siswa yang mengikuti model pembelajaran

128

Sri Adnyani, dkk., “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap

Hasil Belajar Bahasa Indonesia Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa”, e-Journal Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Administrasi Pendidikan, Volume 5

Tahun 2014.

60

kooperatif tipe STAD dengan yang mengikuti model pembelajaran

konvensional, 2) terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan

motivasi belajar terhadap hasil belajar bahasa Indonesia, di mana model

pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih unggul daripada model

pembelajaran konvensional pada kelompok siswa dengan motivasi belajar

tinggi. Akan tetapi, pada kelompok siswa dengan motivasi belajar rendah

terjadi yang sebaliknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

implementasi model pembelajaran dan motivasi belajar berpengaruh

signifikan terhadap hasil belajar bahasa Indonesia pada siswa kelas VIII SMP

Negeri 3 Seririt tahun pelajaran 2013/2014.

Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti

laksanakan adalah sama mengkaji tentang pengaruh model STAD dan

motivasi belajar terhadap prestasi belajar. Sedangkan perbedaannya adalah

pada karakteristik populasi dan sampel serta mata pelajaran yang menjadi

fokus penelitian.

Berdasarkan dari ketiga penelitian terdahulu sebagaimana di atas,

posisi peneliti dalam penelitian ini adalah melengkapi penelitian terdahulu,

dengan memfokuskan pada pengaruh strategi pembelajaran kooperatif model

STAD (Student Teams Achievements Division) serta motivasi belajar siswa

secara bersama-sama terhadap prestasi belajar SKI pada siswa di MI Mabdaul

Huda Kedungbang Kecamatan Tayu Kabupaten Pati.

G. Kerangka Berpikir

Prestasi belajar merupakan kemampuan atau kecakapan baru yang

diperoleh siswa dari kegiatan belajar. Prestasi belajar yang dicapai siswa

tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari individu sedangkan

faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu/lingkungan.

Salah satu faktor eksternal yang turut serta mempengaruhi prestasi

belajar siswa di antaranya adalah penggunaan strategi pembelajaran yang

tepat. Penggunaan strategi pembelajaran yang tepat akan menjadikan kegiatan

61

pembelajaran lebih menyenangkan dan memudahkan siswa dalam memahami

materi yang disampaikan oleh guru.

Penerapan strategi pembelajaran model STAD (Student Teams

Achievements Division) akan memberikan manfaat kepada siswa yang

sangat besar dalam proses pembelajaran. Strategi pembelajaran kooperatif

difokuskan pada kerjasama siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Siswa

lebih berani memecahkan masalah yang dihadapi karena komunikasi yang

terjadi dari banyak arah. Strategi ini menjadikan hubungan antar pribadi lebih

meningkat, karena disini terjadi kerjasama yang tidak membedakan antar

anggota kelompok. Kondisi yang demikian akan menggairahkan semangat

belajar siswa yang pada akhirnya prestasi belajar siswa meningkat.

Hubungan antar variabel dalam penelitian ini digambarkan dalam

kerangka pikir sebagai berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Berpikir

Hasil

Presentasi kelas

Relevansi

Harapan

Interest

Model

STAD

Motivasi

Belajar

Prestasi

Belajar SKI

Belajar tim

Diskusi kelompok

Kelompok ahli

Penghargaan tim

Tes Formatif

- Ketabahan, dan

kepribadian Nabi

Muhammad SAW

- Hijrah dan

Peperangan pada

masa Nabi SAW

- Khulafaurrasyidin

62

H. Perumusan Hipotesis

Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat

sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data

yang terkumpul. 129

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap

rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian dinyatakan

dalam bentuk pernyataan. 130

Hipotesis merupakan pernyataan dugaan

(conjectural) tentang hubungan antara dua variabel/lebih.131

Dengan

demikian, penulis dapat menyimpulkan hipotesis merupakan suatu pernyataan

yang masih bersifat umum dan harus dirumuskan kembali dan bahkan diuji

kebenarannya antara hubungan dua variabel atau jawaban sementara terhadap

permasalahan penelitian.

Adapun hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah:

Ha : 1. Terdapat pengaruh strategi pembelajaran kooperatif model STAD

(Student Teams Achievements Division) terhadap prestasi belajar

SKI pada siswa di MI Mabdaul Huda Kedungbang Kecamatan

Tayu Kabupaten Pati.

2. Terdapat pengaruh motivasi belajar siswa terhadap prestasi

belajar SKI pada siswa di MI Mabdaul Huda Kedungbang

Kecamatan Tayu Kabupaten Pati.

3. Terdapat pengaruh strategi pembelajaran kooperatif model STAD

(Student Teams Achievements Division) serta motivasi belajar

siswa secara bersama-sama terhadap prestasi belajar SKI pada

siswa di MI Mabdaul Huda Kedungbang Kecamatan Tayu

Kabupaten Pati.

Ho : 1. Tidak ada pengaruh strategi pembelajaran kooperatif model STAD

(Student Teams Achievements Division) terhadap prestasi belajar

SKI pada siswa di MI Mabdaul Huda Kedungbang Kecamatan

129

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta,

Jakarta, 1997, hlm. 64. 130

Sugiyono, Op. cit., hlm. 96. 131

Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral, Gajah Mada University Press,

Jogyakarta, 2006, hlm. 26.

63

Tayu Kabupaten Pati.

2. Tidak ada pengaruh motivasi belajar siswa terhadap prestasi

belajar SKI pada siswa di MI Mabdaul Huda Kedungbang

Kecamatan Tayu Kabupaten Pati.

3. Tidak ada pengaruh strategi pembelajaran kooperatif model STAD

(Student Teams Achievements Division) serta motivasi belajar

siswa secara bersama-sama terhadap prestasi belajar SKI pada

siswa di MI Mabdaul Huda Kedungbang Kecamatan Tayu

Kabupaten Pati.