21
11 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) 2.1.1. Defenisi Fraud (Kecurangan) Fraud menurut Pusdiklatwas BPKP (2002) adalah sebagai berikut, Fraud adalah suatu perbuatan melawan atau melanggar hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau dari luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain." Fraud menurut SPA 240 yang diterbitkan IAPI (berlaku 1 Januari 2013) adalah sebagai berikut, Fraud adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum.” Kecurangan berkenaan dengan adanya keuntungan yang diperoleh seseorang dengan menghadirkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Di dalamnya termasuk unsur-unsur tak terduga, tipu daya, licik, dan tidak jujur yang merugikan orang lain. Kecurangan (fraud) juga perlu dibedakan dengan kekeliruan (error). Faktor yang membedakan antara kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

11

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Fraud (Kecurangan)

2.1.1. Defenisi Fraud (Kecurangan)

Fraud menurut Pusdiklatwas BPKP (2002) adalah sebagai berikut,

“Fraud adalah suatu perbuatan melawan atau melanggar hukum yang

dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau dari luar organisasi, dengan

maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok secara

langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain."

Fraud menurut SPA 240 yang diterbitkan IAPI (berlaku 1 Januari 2013)

adalah sebagai berikut,

“Fraud adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau

lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggungjawab atas tata

kelola, karyawan, dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu

muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau

melanggar hukum.”

Kecurangan berkenaan dengan adanya keuntungan yang diperoleh

seseorang dengan menghadirkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan

yang sebenarnya. Di dalamnya termasuk unsur-unsur tak terduga, tipu daya,

licik, dan tidak jujur yang merugikan orang lain. Kecurangan (fraud) juga perlu

dibedakan dengan kekeliruan (error). Faktor yang membedakan antara

kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

12

berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang

disengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001)

2.1.2. Klasifikasi Fraud (Kecurangan)

Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)

menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini

menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta

ranting dan anak rantingnya. Occupational fraud tree ini memiliki tiga cabang

utama, yaitu:

1. Korupsi (Corruption)

Black’s Law Dictionary dalam Wells (2007) mendefenisikan “corrupt”

sebagai spoiled, tainted, depraved, debased, morally degenerate. Skema

korupsi (corruption schemes) dapat dipecah menjadi empat klasifikasi: (1)

pertentangan kepentingan (conflict of interest), (2) suap (bribery), (3)

pemberian ilegal (illegal gratuity), dan (4) pemerasan ekonomi (economic

extortion).

2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)

Penyalahgunaan aset (asset misappropriation) terbagi menjadi dua

kategori, yaitu: (1) penyalahgunaan kas (cash misappropriation) yang dapat

dilakukan dalam bentuk skimming, larceny, atau fraudulent disbursement, dan

(2) penyalahgunaan non-kas (non-cash missapropriation) yang dapat

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

13

dilakukan dalam bentuk penyalahgunaan (misuse) atau pencurian (larceny)

terhadap persediaan dan aset-aset lainnya.

3. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statement)

Kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement) dapat

dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dengan (1) mencatat pendapatan-

pendapatan fiktif (fictitious revenues), (2) mencatat pendapatan (revenue)

dan/atau beban (expenses) dalam periode yang tidak tepat, (3)

menyembunyikan kewajiban dan beban (concealed liabilities and expenses)

yang bertujuan untuk mengecilkan jumlah kewajiban dan beban agar

perusahaan tampak lebih menguntungkan, (4) menghilangkan informasi atau

mencantumkan informasi yang salah secara sengaja dari catatan atas laporan

keuangan (improper disclosure), atau (5) menilai aset dengan tidak tepat

(improper asset valuation). Statements on Auditing Standards No.99 AU

section 316 menyebutkan bahwa tiga kondisi yang secara umum

menyebabkan kecurangan (fraud) terjadi, yaitu: (1) adanya dorongan atau

tekanan (incentive or pressure) yang menjadi motivasi bagi pelaku

kecurangan (fraud) untuk melakukan kecurangan (fraud), (2) adanya peluang

atau kesempatan (opportunity) yang mendukung pelaku untuk melakukan

kecurangan (fraud), dan (3) adanya rasionalisasi (razionalization), yaitu

pembenaran terhadap perilaku untuk berbuat kecurangan oleh pihak-pihak

yang melakukan tindakan kecurangan tersebut.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

14

2.2. Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

Seorang auditor sangat dituntut akan kemampuannya dalam memberikan jasa

yang terbaik sesuai dengan kebutuhan perusahaan ataupun organisasi. Menurut

Hartan (2016), kemampuan auditor merupakan keahlian dan kemahiran yang

dimiliki untuk menjalankan tugas-tugasnya, termasuk dalam pengumpulan bukti-

bukti, membuat judgement, mengevaluasi pengendalian intern, serta menilai risiko

audit.

Kemampuan auditor dalam menteksi kecurangan adalah kualitas dari seorang

audior dalam menjelaskan kekurangwajaran laporan keuangan yang disajikan

perusahaan dengan mengidentifikasi dan membuktikan kecurangan (fraud)

tersebut (Nasution dan Fitriany dalam Suciati, 2016). Dalam melakukan

pendeteksian kecurangan auditor diharuskan memiliki beberapa

kemampuan/keterampilan yang dapat mendukungnya dalam melakukan tugas

pendeteksian, seperti (1) keterampilan teknis (technical skills) yang meliputi

kompetensi audit, teknologi informasi dan keahlian investigasi, (2)

keahlian/kemampuan untuk dapat bekerja dalam sebuah tim, auditor dapat

menerima ide-ide, pengetahuan, dan keahlian orang lain dengan komunikasi dan

berpandangan terbuka, dan (3) kemampuan menasehati (mentoring skill),

kemampuan ini harus dapat dimiliki oleh auditor senior dimana seorang senior

harus dapat menuntun para juniornya dalam proses investigasi (Nasution dan

Fitriany dalam Suciati, 2016).

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

15

Tanggungjawab dalam mendeteksi kecurangan berada pada tingkat

manajemen, meskipun demikian auditor harus ikut serta dalam memberikan

kontribusi kepada manajemen. Kontribusi auditor dapat dilakukan dengan

memberikan peringatan dini terhadap potensi terjadinya kecurangan serta

rekomendasi perbaikan terhadap kelemahan sistem pengendalian intern.

Rekomendasi tersebut dapat berupa perbaikan kebijakan dan prosedur untuk

mencegah dan mendeteksi kecurangan lebih awal, sehingga dampak atau risiko

kecurangan dapat diminimalisir.

Dalam penelitian ini kemampuan mendeteksi kecurangan berarti proses

menemukan atau menentukan suatu tindakan ilegal yang dapat mengakibatkan

salah saji dalam pelaporan keuangan yang dilakukan secara sengaja. Cara yang

dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan adalah dengan melihat tanda,

sinyal atau red flags suatu tindakan yang diduga menyebabkan atau potensial

menimbulkan kecurangan.

Pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kemampuan

auditor mendeteksi kecurangan adalah keahlian ataupun kemahiran yang dimiliki

auditor dalam menganalisis ada tidaknya kecurangan pada laporan keuangan yang

mungkin dapat terjadi. Kecurangan ini biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang

tidak bertanggungjawab untuk mencari keuntungan dengan cara yang instan.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

16

2.3. Konsep Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)

Banyak pakar yang mengemukakan mengenai konsep penyebab kecurangan,

salah satu konsep penyebab kecurangan yang saat ini sudah digunakan secara luas

dalam praktik Akuntan Publik yaitu konsep segitiga kecurangan. Sedangkan

berdasarkan teori segitiga kecurangan merupakan teori yang harus dimasukkan ke

dalam rencana audit kecurangan. Teori ini menyatakan bahwa kecurangan terjadi

karena adanya tiga elemen seperti tekanan, kesempatan, dan pembenaran. Tiga

elemen kecurangan hidup bersama pada tingkat yang berbeda di dalam organisasi

dan mempengaruhi setiap individu secara berbeda (Karyono dalam Suciati, 2016).

Menurut Donald R. Cressey (1953) dalam Tuanakotta (2010), skema segitiga

kecurangan terdiri dari tekanan (pressure), kesempatan (perceived opportunity),

dan juga pembenaran (rationalization) gambaran dari teori Fraud Triangle dapat

dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)

(Tuanakotta, 2010)

PERCEIVED

OPPORTUNITY

FRAUD

RATIONALIZATION PRESSURE

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

17

Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul elemen tekanan (pressure) yang

merupakan perceived non-shareable financial need. Sudut keduanya elemen

kesempatan (perceived opportunity). Sudut ketiga, pembenaran (rationalization).

1. Elemen Tekanan (Pressure/ incentive)

Elemen tekanan (pressure) adalah tekanan atau dorongan orang untuk

melakukan kecurangan. Dalam hal keuangan, misalnya penggelapan uang

perusahaan yang bermula dari suatu tekanan yang menghimpit, maka orang yang

melakukan hal tersebut sedang mempunyai kebutuhkan keuangan yang mendesak,

yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain. Konsep yang penting di sini

adalah tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang),

padahal ia tidak bisa berbagi dengan oranglain. Sedangkan tekanan dalam hal non

keuangan juga dapat mendorong seseorang untuk melakukan fraud, misalnya

tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk karena tuntutan pekerjaan untuk

mendapatkan hasil yang baik (Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016).

2. Tekanan Kesempatan (Perceived Opportunity)

Elemen kesempatan (perceived opportunity) adalah peluang memungkinkan

terjadinya kecurangan.Menurut Donald R. Cressey dalam Tuanakotta (2010), ada

dua persepsi tentang peluang ini. Pertama, general information, yang merupakan

pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung bahwa kedudukan yang

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

18

mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi.

Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang ia dengar atau lihat, misalnya

pengalaman orang lain melakukan fraud dan tidak ketahuan atau tidak dihukum

atau terkena sanksi. Kedua, technical skill atau keahliah/ keterampilan yang

dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau

keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia mendapat

kedudukan tersebut. Dari ketiga elemen dalam fraud triangle, kesempatan

memiliki kontrol yang posisi paling atas. Organisasi perlu membangun sebuah

proses, prosedur dan kontrol yang membuat karyawan tidak dapat melakukan

kecurangan dan yang efektif mendeteksi aktivitas kecurangan jika hal itu terjadi

(Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016).

3. Elemen Pembenaran (Rationalization)

Elemen pembenaran (rationalization) menjadi elemen penting dalam

terjadinya kecurangan, dimana pelaku mencari pembenaran atas perbuatannya.

Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur

(Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016). Mencari pembenaran sebenarnya

merupakan bagian yang harus ada dari kejahatan itu sendiri, bahkan merupakan

bagian dari motivasi untuk melakukan kejahatan. Rationalization diperlukan agar

si pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap

mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya. Setelah kejahatan

dilakukan, rationalization ini ditinggalkan, karena tidak diperlukan lagi.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

19

Dari ketiga elemen fraud triangle, kesempatan mengendalikan fraud

terbesar adalah opportunity (Tuanakotta dalam Suciati, 2016). Organisasi

seharusnya peduli dan serius serta mampu untuk sebuah proses, prosedur dan

kontrol serta tata kelola yang membuat semua personil dalam organisasi tidak

memiliki kesempatan melakukan fraud dan yang efektif dapat mendeteksi fraud

jika hal ini terjadi. Namun, opportunity sangat berkaitan dengan integritas

seseorang. Jika karyawan dalam perusahaan memiliki integritas yang rendah dan

perusahaan tidak menerapkan pengendalian internal yang kuat sehingga

memunculkan kesempatan melakukan fraud maka resiko terjadinya fraud dalam

perusahaan tersebut akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya (Priantara dalam

Suciati, 2016).

2.4. Skeptisme Profesional (SP)

Skeptisme profesional merupakan sikap auditor yang tidak gampang percaya

pada bukti audit yang diberikan klien, sehingga dalam melakukan tugasnya

auditor selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit

yang diberikan. Bukti audit tersebut dikumpul dan dinilai selama proses audit,

sehingga selama proses audit seorang auditor harus menerapkan sikap skeptisme

profesional.

American Institude of Certified Publik Accountant (AICPA) mendefenisikan

skeptisme profesional sebagai:

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

20

“Profesional skepticism in auditing implies an attitude that includes a

questioning mind and a critical assessment of audit evidence without being

absessively suspicious or skeptical. The auditors are expected to exercise

profesional skepticism in conducting the audit, and in gethering evidence

suffcient to support to rufutr management's assetion.”(AU 316 AICPA)

Dapat diartikan pengertian skeptisme profesional menurut AICPA adalah

sikap yang mencakup pikiran yang selalu bertanya dan penilaian kritis atas bukti

audit tanpa obsesif mencurigakan atau skeptis.

Pemeriksa (auditor) secara profesional bertanggungjawab merencanakan dan

melaksanakan pemeriksaan untuk memenuhi tujuan pemeriksaan. Dalam

melaksanakan tanggungjawab profesionalnya, pemeriksa harus memahami

prinsip-prinsip pelayanan kepentingan publik serta menjunjung tinggi integritas,

objektivitas, dan independensi (Arens dan Loebbecke dalam Suciati, 2016).

Pemeriksaan harus memiliki sikap untuk melayani kepentingan publik,

menghargai dan memelihara kepercayaan publik, dan mempertahankan

profesionalisme. Tanggung jawab ini sangat penting dalam pelaksanaan

pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (SKPN, 2007).

2.5. Independensi Auditor (IA)

Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh

akuntan publik. Independen merupakan tidak mudah dipengaruhi, karena ia

melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (Sukrisno, 2017). Dengan

demikian tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapa pun, sebab

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

21

bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang dimiliki, ia akan kehilangan

sikap tidak memihak yang justru sangat penting untuk mempertahankan

kebebasan pendapatnya. Menurut Arens dan Loebbecke (2004) dalam Suciati

(2016) sikap mental independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan

(in apperance). Sukrisno (2017) mengklasifikasikan aspek independensi seorang

auditor menjadi 3 aspek:

1. Independensi yang dilihat dari penampilannya di struktur organisasi

perusahaan (Independent In Appearance). In appearance, auditor adalah

independen karena merupakan pihak di luar perusahaan sedangkan internal

auditor tidak independen karena merupakan pegawai perusahaan.

2. Independensi dalam kenyataannya/ dalam menjalankan tugasnya (Independent

In Fact). In Fact, auditor seharusnya independen, sepanjang dalam

menjalankan tugasnya memberikan jasa profesional, bisa menjaga integritas

dan selalu mentaati kode etik, profesi akuntan publik dan standar profesional

akuntan publik. Jika tidak demikian, auditor in fact tidak independen. In fact,

internal auditor bisa independen jika dalam menjalankan tugasnya selalu

mematuhi kode etik internal auditor dan professional practise framework of

internal auditor, jika tidak demikian internal auditor in fact tidak independen.

3. Independensi dalam pikiran (Independent In Mind). Auditor mendapatkan

temuan audit yang memiliki indikasi pelanggaran atau korupsi atau yang

memerlukan audit adjustment yang material. Kemudian berpikir untuk

menggunakan audit findings tersebut untuk memeras auditee. Walaupun baru

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

22

dipikikan, belum dilaksanakan, in-mind auditor sudah kehilangan

independensinya.

2.6. Beban Kerja

Beban kerja atau (workload) adalah jumlah pekerjaan yang harus dilakukan

oleh seseorang. Setiawan dan Fitriany dalam Suryanto, dkk (2017) menyebutkan

bahwa beban kerja auditor dapat dilihat dari banyaknya jumlah klien yang harus

ditangani oleh seorang auditor atau terbatasnya waktu auditor untuk melakukan

proses audit.

Beban kerja seorang auditor biasanya berhubungan dengan busy season yang

pada umumnya terjadi pada kuartal pertama awal tahun. Penyebab terjadinya busy

season dari auditor adalah karena banyaknya perusahaan yang memiliki tahun

fiskal yang berakhir pada bulan Desember. Menurut Nasution dalam Suryanto,

dkk (2017) kelebihan pekerjaan pada saat busy season akan mengakibatkan

kelelahan dan ketatnya time budget bagi auditor sehingga akan menghasilkan

kualitas audit yang rendah.

2.7. Pengalaman Kerja

Pengalaman menjadi indikator penting bagi kualifikasi profesional seorang

auditor (AU Seksi 110 Paragraf 04). Pengalaman audit adalah pengalaman yang

diperoleh auditor selama melakukan proses audit laporan keuangan, baik dari segi

lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani (Suraida

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

23

dalam Suryanto, dkk, 2017). Auditor yang telah memiliki banyak pengalaman

tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk menemukan kekeliruan atau

kecurangan yang tidak lazim yang terdapat dalam laporan keuangan tetapi juga

auditor tersebut dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat terhadap temuan

tersebut dibandingkan dengan auditor yang masih sedikit pengalaman (Nasution

dalam Suryanto, dkk, 2017).

Pengalaman auditor akan semakin berkembang dengan bertambahnya

pengalaman audit, adanya diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja, dan

dengan adanya program pelatihan dan penggunaan standar.

2.8. Kompetensi

Kompetensi merupakan kualifikasi yang diperlukan oleh seorang auditor

dalam melaksanakan proses audit secara benar. Standar Audit APIP menyebutkan

bahwa proses audit harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki keahlian dan

pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Sehingga, auditor belum memenuhi

persyaratan apabila ia tidak memiliki pendidikan dan pengalaman yang memadai

dalam bidang audit. Audit dalam pemerintahan menuntut auditor untuk memiliki

serta meningkatkan kemampuan atau keahlian yang tidak sekedar pada metode

dan teknik audit, namun dalam segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan

seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatan pemerintahan.

Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam Elfarini (2007), mendefinisikan bahwa

kompetensi sebagai keahlian seorang yang berperan secara berkelanjutan yang

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

24

mana pergerakannya melalui proses pembelajaran, dari “pengetahuan sesuatu” ke

“mengetahui bagaimana”.

2.9. Teori Disonansi Kognitif

Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung mengambil

sikap-sikap yang tidak bertentangan satu sama lain, serta menghindari melakukan

tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya. Namun demikian, dalam

kenyataannya manusia seringkali terpaksa harus melakukan perilaku yang tidak

sesuai dengan sikapnya (Noviyanti dalam Suciati, 2016). Suciati (2016)

menyatakan arti disonansi adalah adanya suatu inkonsistensi dan perasaan tidak

suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari

ketidaknyamanan tersebut dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur.

Disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat

penyangkalan dari suatu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-

elemen kognitif dalam diri individu. Disonansi kognitif mengacu pada

inkonsistensi dari dua atau lebih sika-sikap individu, atau inkonsistensi antara

perilaku dan sikap. Dalam teori ini, unsur kognitif adalah setiap pengetahuan,

opini, atau apa saja yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau

perilakunya.

Teori disonansi kognitif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan

pengaruh interaksi antara skeptisme profesional auditor dan independensi auditor

terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud).

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

25

2.10. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pendeteksian kecurangan cukup banyak dilakukan oleh

peneliti terdahulu. Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh:

a. Rd. Dewi Arum Suciati (2016) dengan judul “Pengaruh Skeptisme

Profesional dan Independensi Auditor terhadap Kemampuan Auditor dalam

Mendeteksi Kecurangan (Fraud)”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh skeptisme

profesional dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan (fraud).

Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, dua variabel bebas, dan satu

variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional dan

independensi auditor, sedangkan variabel terikat terdiri dari kemampuan

auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil penelitian tersebut,

dinyatakan bahwa kedua variabel bebas berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Perbedaan dari

penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak

pada objek penelitian, dimana objek penelitian terdahulu yaitu pada auditor

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk

penelitian yang diteliti sekarang pada auditor Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sedangkan persamaan penelitian terdahulu dan sekarang yaitu persamaan

variabel, sama-sama membahas mengenai pengaruh skeptisme profesional

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

26

dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi

kecurangan.

b. Trinanda Hanum Hartan (2016) dengan judul “Pengaruh Skeptisme

Profesional, Independensi dan Kompetensi terhadap Kemampuan Auditor

Mendeteksi Kecurangan”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh skeptisme

profesional, independensi, dan kompetensi terhadap kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan.

Pada penelitian ini terdapat empat variabel, tiga variabel bebas, dan satu

variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional,

independensi, dan kompetensi, sedangkan variabel terikat terdiri dari

kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil penelitian

tersebut, dinyatakan bahwa ketiga variabel bebas berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan

peneliti terletak pada objek penelitian, dimana objek penelitian terdahulu

yaitu pada auditor Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk penelitian

yang diteliti sekarang pada auditor Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain objek

penelitian, yang berbeda pada penelitian terdahulu adalah terdapat empat

variabel, sedangkan pada penelitian sekarang nya menggunakan tiga variabel

penelitian. Dan persamaan penelitian terdahulu dan sekarang yaitu persamaan

variabel, sama-sama membahas mengenai pengaruh skeptisme profesional

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

27

dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi

kecurangan.

c. Rudy Suryanto, dkk (2017) dengan judul “Determinan Kemampuan Auditor

dalam Mendeteksi Kecurangan”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh beban kerja,

pengalaman, skeptisme profesional, dan tipe kepribadian NT terhadap

kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Pada penelitian ini terdapat lima variabel, empat variabel bebas, dan satu

variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional, beban

kerja, pengalaman, tipe kepribadian NT, sedangkan variabel terikat terdiri

dari kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil

penelitian tersebut, dinyatakan bahwa hanya dua variabel bebas (pengalaman

auditor dan tipe kepribadian) berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, sedangkan skeptisme

profesional dan beban kerja dinilai tidak mempengaruhi kemampuan auditor

dalam mendeteksi kecurangan. Perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan

penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada objek penelitian, dimana

objek penelitian terdahulu yaitu pada auditor KAP kecil di Yogyakarta dan

Surakarta, untuk penelitian yang diteliti sekarang pada auditor Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah

Istimewa Yogyakarta. Selain objek penelitian, yang berbeda pada penelitian

terdahulu adalah terdapat lima variabel, sedangkan pada penelitian sekarang

nya menggunakan tiga variabel penelitian. Dan persamaan penelitian

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

28

terdahulu dan sekarang yaitu adanya variabel yang sama digunakan, yaitu

skeptisme profesional.

2.11. Kerangka Pengembangan Hipotesis

2.11.1. Skeptisme Profesional dan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi

Kecurangan (Fraud)

Sikap skeptisme profesional merupakan suatu sikap yang penting untuk

digunakan oleh auditor dalam melakukan proses. Dimana sikap ini mencakup

pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis

terhadap bukti audit. Bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama proses audit.

Terkaitan antara skeptisme profesional dengan kemampuan auditor dalam

mendeteksi kecurangan diperkuat dengan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi skeptisme profesional tersebut, seperti faktor etika, faktor

situasi audit, pengalaman serta keahlian audit. Seorang auditor yang

menerapkan skeptisme profesional, tidak akan begitu saja menerima penjelasan

yang diberikan oleh klien, namun akan mengajukan pertanyaan untuk

memperoleh alasan, bukti serta konfirmasi yang berkaitan dengan objek

tertentu. Tanpa penerapan sikap skeptisme profesional, auditor hanya akan

menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan namun akan sulit

menemukan salah saji karena kecurangan.

Ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dan kekeliruan

laporan keuangan merupakan cerminan dari rendahnya skeptisme profesional

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

29

yang dimiliki auditor (Adnyani, dkk dalam Suciati, 2016). Standar Profesional

Akuntan Publik menyatakan skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang

mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara

kritis terhadap bukti audit. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan Adnyani,

dkk (2014) dapat disimpulkan bahwa skeptisme profesional berpengaruh

signifikan terhadap tanggungjawab auditor. Kemudian Hartan (2016)

menyatakan bahwa skeptisme profesional berpengaruh positif terhadap

kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Dari uraian di atas

maka diajukan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Skeptisme Profesional Berpengaruh Positif terhadap Kemampuan Auditor

dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

2.11.2. Independensi Auditor dan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi

Kecurangan (Fraud)

Independensi merupakan salah satu faktor penting dalam proses audit,

karena bila seorang auditor tidak menerapkan sikap independensinya, maka

laporan keuangan yang diaudit tidak dapat dijadikan dasar untuk pengumpulan

keputusan. Sikap independensi diperlukan auditor agar ia bebas dari

kepentingan dan tekanan pihak manapun, sehingga auditor dapat mendeteksi

ada tidaknya kecurangan pada perusahaan yang diauditnya dengan tepat, dan

setelah kecurangan tersebut terdeteksi, auditor tidak ikut terlibat dalam

mengamankan praktik kecurangan tersebut.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

30

American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) (2003)

menyatakan bahwa independensi merupakan kemampuan untuk bertindak

bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Seorang auditor yang

memiliki dan mempertahankan sikap independensi tidak akan mempedulikan

adanya gangguan, ancaman, dan tekanan dari pihak lain untuk mendeteksi

suatu kecurangan yang terjadi karena auditor tersebut berintegritas tinggi.

Semakin tinggi sikap independensi auditor, maka semakin meningkat pula

kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. Dalam penelitian Hartan (2016),

menyimpulkan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap kemampuan

auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Dari uraian di atas maka

diajukan hipotesis sebagai berikut:

H2 : Independensi Auditor Berpengaruh Positif terhadap Kemampuan Auditor

dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

2.12. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan model konseptual tentang bagaimana teori

berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah

yang penting. Kerangka yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan

antara faktor yang diteliti (dalam hal ini faktor independen, faktor dependen).

Dengan mengacu pada beberapa penelitian terdahulu, maka kerangka teoritis

dalam penelitian ini memadukan faktor Skeptisme Profesional yang berpengaruh

terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud) dan faktor

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) Defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/BAB II.pdf · BAB II LANDASAN TEORI 2.1. ... (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper

31

Independensi Auditor yang berpengaruh terhadap Kemampuan Auditor dalam

Mendeteksi Kecurangan (Fraud), adapun kerangka konseptual yang

dikembangkan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2

Kerangka Konseptual

Skeptisme Profesional

(X1)

Independensi Auditor

(X2)

Kemampuan

Auditor dalam

Mendeteksi

Kecurangan

(Fraud)

H1

H2

H3