Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Landasan Teori
1. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan (culture) adalah suatu komponen penting dalam kehidupan
masyarakat, khususnya struktur sosial. Secara sederhana kebudayaan dapat
diartikan sebagai cara hidup atau dalam bahasa inggrisnya ways of life. Cara hidup
atau pandangan hidup itu meliputi cara berfikir, cara berencana, cara bertindak,
disamping segala hasil karya nyata yang dianggap berguna dan dipenuhi oleh
anggota-anggota masyarakat atas kesepakatan bersama (Abdulsyam 1992:45).
Menurut Robert H. Lowie dalam Marjan (1999 : 36) kebudayaan adalah segala
sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat-
istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, kebiasaan yang diperoleh bukan
karena kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang
didapat melalui pendidikan formal atau non formal.
E. B Tylor dalam Prasetya (2004 : 30) mengemukakan bahwa kebudayaan
adalah suatu kesatuan yang kompleks, yang meliputi kepercayaan, kesenian, susila,
hukum, adat-istiadatdan kesanggupan-kesanggupan laiin yang diperoleh seseorang
sebagai anggota masyarakat. Sementara itu Gazalba dalam Prsetya (2004 : 30)
kebudayaan adalah cara berfikirdan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh
segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam
suatu ruang dan suatu waktu.
9
Ralph linton dalam Ihromi (2013: 18) kebudayaan adalah seluruh cara
kehidupan dari masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari
cara hidup itu yaitu bagian dari masyarakat yang dianggap lebih tinggi atau lebih
diinginkan. Pendapat lain dikemukakan oleh Ihromi (2013: 18) kebudayaan
menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kata itu meliputi cara-cara berlaku,
kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia
yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Sedangkan
menurut The Liang Gie dalam Herusatoto (2008 : 13) kebudayaan terdiri dari pola-
pola yang nyata maupun tersembunyi, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan
dipindahkan dengan simbol-simbol, yang menjadi hasil yang tegas dari kelompok-
kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam barang-barang buatan
manusia. Inti yang pokok dari kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan tradisisonal
(yaitu yang diperoleh dipilih secara historis) dan khususnya nilai-nilai yang
tergabung di suatu pihak, sistem-sistem kebudayaan dianggap sebagai hasil-hasil
tindakan, dipihak lainnya sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi tindakan
selanjutnya.
Bikhu Parekh dalam Jannes Alexander (2016 : 6) menyatakan kebudayaan
adalah sebuah sistem arti dan makna yang tercipta secara historis, atau apa yang
menuju pada hal-hal yang sama, sebuah sistem keyakinan dan praktek di mana
suatu kelompok manusia memahami, mengatur dan menstrukturkan kehidupan
individu dan kolektif masyarakat.
Berdasarkan dari berbagai pendapat diatas dapat dikatakan bahwa kebudayaan
merupakan hasil karya manusia dengan menggunkan akal budinya untuk memaknai
10
kehidupan dengan menciptakan segala sesuatu yang berguna bagi dirinya maupun
orang lain.
2. Wujud Kebudayaan
Kebudayaan manusia memiliki wujud, dijelaskan Koentjoroningrat dalam
Herusatoto (2008 : 12-13), kebudayaan setidaknya memiliki tiga wujud yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks, ide-ide, gagasan-gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini berada pada
alam pikiran dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan,
karangan-karangan warga masyarakat yang bersangkutan.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat, wujud ini berupa sistem sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, ia berupa
kebudayaan fisik yang berbentuk nyata yang merupakan hasil karya dari
masyarakat yang bersangkutan.
Dari ketiga wujud kebudayaan tersebut jelas bahwa wujud pertama dan kedua
adalah merupakan hasil dari pemikiran manusia, sedangkan wujud yang ketiga
adalah hasil buah karya manusia.Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
merupakan hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan pola kehidupan
masyarakat. Kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu 1) ide-ide atau gagasan, 2)
aktivitas atau tingkah laku, 3) benda-benda hasil karya manusia. Kebudayaan tidak
dapat diwariskan secara genetis melainkan haruslah dipelajari.
11
3. Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur unsur yang bersifat universal.
Unsur unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada
semua kebudayaan bangsa bangsa di dunia. Menurut Koentjaraningrat dalam
Herusatoto (2008 : 12) ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu 1). Bahasa, 2).
Sistem Pengetahuan, 3). Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial, 4). Sistem
Peralatan Hidup dan Teknologi, 5). Sistem Mata Pencaharian Hidup, 6). Sistem
Religi, 7). Kesenian, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Bahasa, adalah suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan
sekaligus menjadi alat perantara yang utama bagi manusia untuk
meneruskan atau mengadaptasi kan kebudayaan. Bentuk bahasa ada dua
yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan.
2. Sistem Pengetahuan, sistem pengetahuan itu berkisar pada pegetahuan
tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat sifat peralatan yang dipakainya.
Sistem pengetahuan meliputi ruang pengatahuan tentang alam sekitar, flora
dan fauna, waktu, ruang dan bilangan, sifat sifat dan tingakh laku sesama
manusia, tubuh manusia.
3. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial, adalah sekelompok
masyarakat yang anggotanya merasa satu dengan sesamanya. Sistem
kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan, asosiasi
dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup, perkumpulan.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, yang dimaksud dengan teknologi
adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh para anggota suatu
12
masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam
hubungannya dengan pengumpulan bahan bahan menta, pemrosesan bahan
bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian,
perumahan, alat trasportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda
meterial. Unsur teknologi yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik
yang meliputi, alat alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman,
pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta alat alat
transportasi.
5. Sistem mata pencaharian hidup, merupakan segala usaha manusia untuk
mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sistem mata pencaharian
hidup atau sistem ekonomi yang meliputi, berburu dan mengumpulkan
makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, perdagangan.
6. Sistem Religi, diartikan sebagai sebuah sistem yang terpadu antara
keyakinan dan praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal hal suci
dan tidak terjangkau oleh akal. Sistem religi yang meliputi, sistem
kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan,
upacara keagamaan.
7. Kesenian, secara sederhana kesenian dapat diartikan sebagai segala hasrat
manusia terhadap keindahan. Bentuk kendahan yang beraneka ragam itu
timbul dari permainan imajinasi kreatif yang dapat memberikan kepuasan
batin bagi manusia. Secara garis besar, kita dapat memetakan bentuk
kesenian dalam tiga garis besar, yaitu seni rupa, seni suara dan seni tari.
4. Adat/Tradisi
13
Menurut Anton Soemarman (2003: 15) bahwa adat merupakan wujud idil dari
kebudayaan yang berfungsi sebagai pengaturan tingkah laku. Dalam
kebudayaannya sebagai wujud idil kebudayaan dapat dibagi lebih khusus dalam
empat yakni tingkat budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan aturan-aturan
khusus. Pendapat lain tentang pengertian adat dikemukakan oleh Arjono Suryono
(1985: 4) bahwa adat merupakan kebiasaan yang bersifat magis religius dari
kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi kebudayaan, norma dan aturan-aturan
yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau pengaturan
tradisional.
Menurut Funk dan Wagnalls dalam Muhaimin (2001:11) tentang istilah tradisi
di maknai sebagai pengatahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain yang
dipahami sebagai pengatahuan yang telah diwariskan secara turun-temurun
termasuk cara penyampain doktrin dan praktek tersebut.
Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu dimasa kini ketimbang sekedar
menunjukan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu. Menurut Shil dalam
Sztompka (2007:75) tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan
dari masa lalu ke masa kini. Hanafi ( 2003:2) tradisi lahir dari dan dipengaruhi oleh
masyarakat, kemudian masyarakat muncul,dan dipengaruhi oleh tradisi. Tradisi
pada mulanya adalah musabab, namun akhirnya menjadi konklusi dan premis, isi
dan bentuk, efek dan aksi pengaruh dan mempengaruhi.
Menurut Ki Sondong Mandali dalam bukunya Ngelmu Urip (2010 : 101) tradisi
banyak di istilahkan sebagai adat istiadat yang merupakan aturan tak tertulis tentang
14
penyelenggaraan hidup bersama. Maka tradisi juga merupakan bagian dari pranata
sosial yang berlaku dan disepakati bersama pada komunitas masyarakat. Lebih
diperjelas lagi oleh Koentjoroningrat dalam Herusatoto (2008 : 164) tradisi atau
adat-istiadat disebut juga adat tata kelakuan. Adat tata kelakuan dibagi dalam
empat tingkatan yaitu : 1) tingkat nilai budaya, 2) tingkat norma-norma, 3) tingkat
hukum, dan 4) tingkat aturan khusus.
Berikut adalah penjelasan mengenai empat tingkatan adat tata kelakuan
menurut Koentjaraningrat dalam Herusatoto (2008 : 164-165) :
1) Tingkat nilai budaya
Adalah berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai
dalam kehidupan masyarakat, dan biasanya berakar dalam bagian emosional
dan alam jiwa manusia, misalnya gotong-royong atau sifat suka kerja sama
berdasarkan solidaritas yang besar.
2) Tingkat norma-norma
Adalah sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait
kepada peranan mkasing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya,
misalnya peranan sebagai atasan atau bawahan dalam suatu jenjang pekerjaan,
peranan sebagai orang tua atau anak, guru atau murid. Masing-masing peranan
memiiliki sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi tingkah lakunya
masing-masing, yang dalm bahasa jawa disebut anggah-ungguh atau kode etik.
3) Sistem hukum atau tingkat hukum
15
Sistem hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan, hukum
kekayaan.
4) Tingkat aturan-aturan khusus
Adalah aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan terbatas ruang
lingkupnya dan bersifat konkrit, misalnya aturan sopan santun.
5. Upacara Adat Tradisional
Upacara adat salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat Indonesia
pada masa lalu dapat kita jumpai pada upacara-upacara adat merupakan warisan
nenek moyang kita. Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan
untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan
yaitu melalui upacara. Upacara pada umumnya memiliki nilai sakral oleh
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut (Wahyudi Pantja Sunjata, 1997: 1).
Upacara adat tradisional masyarakat merupakan perwujudan dari sistem
kepercayaan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai universal yang dapat
menunjang kebudayaan nasional. Upacara tradisional ini bersifat kepercayaan dan
dianggap sakral dan suci. Dimana setiap aktifitas manusia selalu mempunyai
maksud dan tujuan yang ingin dicapai, termasuk kegiatan-kegiatan yang bersifat
religius.
Menurut Koderi (1991 : 109) upacara ritual adalah upacara yang berkaitan
dengan kepercayaan terhadap kekuatan benda alam dan roh halus atau kekuatan
gaib biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, seperti Suran, Sadranan,
Sedekah Laut, dan Sedhekah Bumi. Sisa-sisa kepercayaan semacam itu juga
16
menyertai dalam kegiatan menuai padi, mendirikan rumah, dan memelihara benda-
benda yang dianggap keramat. Setiap ritual mempunyai fungsi yang berbeda-beda
tapi tujuanya sama yaitu memohon keselamatan kepada Tuhan.
Dengan mengacu pada pendapat tersebut maka upacara adat tradisional
merupakan kelakuan atau tindakan simbolis manusia sehubungan dengan
kepercayaan yang mempunyai maksud dan tujuan untuk menghindarkan diri dari
gangguan roh-roh jahat.
Melakukan upacaramerupakan suatu kegiatan yang bersifat rutin dimana dalam
melakukan upacara tersebut mempunyai arti dalam setiap kepercayaan. Menurut
Koentjaraningat (1992: 221) dalam setiap sistem upacara keagamaan mengandung
lima aspek yakni ( 1) tempat upacara , ( 2) waktu pelaksanaan upacara , ( 3) benda-
benda serta peralatan upacara, (4) orang yang melakukan atau memimpin jalanya
upacara, ( 5) orang-orang yang mengikut upacara.
Pada bagian yang sama Koentjaraningrat (1992 : 223) juga mengatakan bahwa
sistem upacara dihadiiri oleh masyarakat berarti dapat memancing bangkitnya
emosi keagamaan pada tiap-tiap kelompok masyarakat serta pada tiap individu
yang hadir. Upacara yang diselengarakan merupakan salah satu kegiatan yang
mengungkapkan emosi keagamaan yang sudah dianut oleh masyarakat.
Emosi keagamaan ini dialami oleh semua manusia walaupun getaran ini
mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja kemudian akan hilang dan
lenyap lagi. Dimana emosi keagamaan atau getaran jiwa itulah yang mendorong
seseorang untuk berbuat religi. Upacara keagamaan tersebut melibatkan berbagai
17
kalangan masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, pendahulu adat, dan
kelompok sosial masyarakat lainnya. Upacara keagamaan yang bersifat rutin,
dimana bagi masyarakat upacara tersebut mempunyai peranan yang sangat berarti
bagi kepercayaan mereka.
6. Corak dan Alam Pikiran di Belakang Adat Tradisi
1) Corak Adat Tradisi/Hukum Adat
Corak hukum adat Indonesia menurut Hilman Hadikusuma (2014:33-38)yang
normatif pada umumnya menunjukan corak yang tradisional, keagamaan,
kebersamaan, konkret dan visual, terbuka dan sederhana, dapat berubah dan
menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan mufakat. Dengan penjelasan
sebagai berikut:
a. Tradisional, hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional,
artinya bersifat turun-temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke
anak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan
dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
b. Keagamaan, hukum adat itu bersifat keagamaan (magis-religius),
artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan
dengan kepercayaan terhadap yang ghaib dan/atau berdasarkan pda
ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut kepercayaan bangsa
Indonesia bahwa di alam semesta ini benda-benda serba berjiwa
(animisme), benda-benda itu bergerak (dinamisme), di sekitar
kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi
kehidupan manusia (jin, malaikat, iblis, dan sebagainya) dan alam
18
sejagad ini ada karea ada yang mengadakan, yaitu Yang Maha
Pencipta.
c. Kebersamaan, hukum adat mempunyai corak yang bersifat
kebersamaan (komunal) artinya ia lebih mengutamakan kepentingan
bersama, dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan
bersama. “satu untuk semua dan semua untuk satu”. Hubungan
hukum antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain
didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong
dan gotong-royong.
d. Konkrit dan Visual, corak hukum adat adalah “konkrit”, artinya
jelas, nyata dan berwujud. Dan “visual”, artinya dapat dilihat,
tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum
yang berlaku dalam hukum adat itu “terang dan tunai”, tidak samar-
samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain,
dan nampak terjadi.
e. Terbuka dan Sederhana, corak hukum adat itu “terbuka” artinya
dapat menerima unsur-unsur yang datang dari luar asal saja tidak
bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Corak dan sifatnya
yang “sederhana” artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak
administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah
dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling percaya-
mempercayai.
19
f. Dapat Berubah dan Menyesuaikan, hukum adat itu dapat berubah,
menurut keadaan, waktu dan tempat. Orang Minangkabau berkata
“Sakali aik gadang sakali tapian baranja, sakali raja berganti,
sakali adat berubah”. (Begitu air besar, begitu pula tempat
pemandian bergeser, begitu pemerintahan berganti, begitu pula adat
lalu berubah).
g. Tidak Dikodifikasi, hukum adat kebanyakan tidak tertulis, walaupun
ada juga yang dicatat menurut aksara daerah, bahkan ada yang
dibukukan menurut cara yang tidak sistematis, namun hanya sekedar
sebagai pedoman bukan mutlak harus dilaksanakan, kecuali yang
bersifat perintah Tuhan. Jadi hukum adat pada umumnya tidak
dikodifikasi seperti hukum barat (Eropa), yang disusun secara
teratur dalam kitab yang disebut kitab perundangan.oleh karena itu
hukum adat mudah berubah, dan dapat disesuaikan dengan
perkembangan msyarakat.
h. Musyawarah dan Mufakat, hukum adat mengutamakan adanya
musyawarah dan mufakat, di dalam keluarga, di dalam hubungan
kekerabatan dan ketetanggaan, baik dalam memulai pekerjaan
maupun mengakhiri pekerjaan.
2) Alam Pikiran di Belakang Adat Tradisi/Hukum Adat
Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya
merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas suatu kesatuan alam pikiran, begitu
pula hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar pikiran bangsa
20
Indonesia. Hukum adat bertumbuh dan berkembang dalam masyarakat hukum,
hukum adat merupakan kristalisasi dari perasaan keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Kesadaran hukum dan perasaan keadilan itu bergantung atau
ditentukan oleh alam pikiran yang menjadi dasarnya.
Untuk dapat memahami alam pikiran dibelakang hukum adat yang menjiwai
aturan-aturan adat yang kemudian disebut hukum adat. Ada beberapa yang harus
dipahami.
a. Dipandangnya alam semesta sebagai makro kosmos dan manusia sebagai
mikro kosmos sebagai suatu totalitas, yaitu kosmos. Dalam totalitas itu ada
tata tertib dan segala sesuatu dalam totalitas itu mempunyai tempat tertentu
dalam hubungannya dengan gejala-gejala lainnya.
b. Sikap terhadap alam semesta dan semesta harus seimbang supaya
terpelihara keharmonisan. Cara hidup untuk menjaga keseimbangan adalah
dengan cara hidup menurut tradisi, memelihara upacara-upacara adat,
mengindahkan ketentuan-ketentuan tabu.
c. Sifat mistis-magis, mistik adalah upaya manusia untuk mempersatukan diri
dengan alam supra empirik, diatas kenyataan atau alam gaib. Dalam mistik
tidak ada lagi batas antara makhluk dan khalik , dalam mistik manusia luluh
dalam Gusti. Hidup mistik-magis itu bdilaksanakan melalui kultus, ibadat
dan terutama melalui tapa ditempat-tempat yang dianggap keramat.
d. Masyarakat manusia dipandang sebagai suatu totalitas, makro kosmos dan
mikro kosmos dipandang sebagai suatu totalitas. Karena itu manusia dalam
masyarakat haruslah bersifat total, harmoni serta komunal. Harmoni
21
didalam masyarakat dicapai dengan musyawarah mufakat. Dan itu kan
selalu dapat dicapai karena tidak ada pertentangan prinsipal antara gejala
satu dengan yang lain. Gotong royong adalah salah satu perwujudan dari
pandangan ini.
e. Dalam masyarakat ada tata hierarkhi. Walaupun tidak ada perbedaan
prinsipal dan pertentangan antara gejala yang satu dan yang lain, namun
terdapat hierarkhi atau tingkatan. Hierarkhi yang penting adalah antara alam
kenyataan dan alam gaib supra-natural. Karena itu para dewa, roh nenek
moyang, kepala adat, dan kepala agama dalam tata-hierarkhi itu mempunyai
tempat tertinggi. Dalam masyarakat yang merupakan totalitas itu terdapat
heterogenitas, keberanekaragaman yang diklasifikasikan dengan kriteria
alami. Seperti hidup-mati, pria-wanita, atas-bawah, dan sebagainya. Dalam
hierarkhi dan heterogenitas itu masing-masing mempunyai kewajiban atau
dharma sendiri-sendiri. Tiap orang harus tau dan harus melakukan
kewajibannya agar kesimbangan tidak terganggu.
7. Fungsi Upacara Tradisional
Menurut Hartono dalam Dwiyanto (2012:68) penyelenggaraan upacara adat
pada umumnya bertujuan untuk menghormati, mensyukuri pemberian Tuhan,
mohon keselamatan kepada Tuhan melalui arwah leluhur atau nenek moyang atau
kepada kekuatan-kekuatan Illahi yang lain. Sedangkan menurut Abdurrauf
Tarimana (1993: 240) bahwa asas-asas timbal-balik yang tampak dalam upacara
tolak bala antara manusia dengan mahluk halus atau dewa atau Tuhan terjadi
hubungan timbal balik antara satu sama lain. Manusia dalam upacara itu
22
mempersembahkan saji-sajian, mantera dan doa-doa kepada mahluk halus, Tuhan
karena hal itu diperlukan oleh manusia, dan sebaliknya mereka memberi berkah dan
pengampunan kepada manusia atas segala dosanya. Suatu upacara dan sistem
simbol-simbol yang ada mempunyai fungsi tertentu.
Menurut Purwadi (2007 : 1) upacara tradisional adat Jawa dilakukan demi
mencapai ketentraman hidup lahir batin, dengan melakukan upacara tradisional itu,
orang Jawa memenuhi kenutuhan spiritualnya. Kehidupan orang Jawa memang
bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya lokal. Oleh karena itu,
orientasi kehidupan orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang
telah diwariskan nenek moyangnya.
Disamping itu, upacara tradisional dilakukan orang Jawa dengan tujuan
memperoleh solidaritas sosial. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kerja
kolektif, yang tercermin dalam ungkapan gotong-royong nyambut gawe. Dalam
berbagai kesempatan upacara tradisional memang dilaksanakan dengan melibatkan
banyak orang ( Purwadi, 2005 : 5)
8. Nilai-Nilai
Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap
sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang
disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan. Menurut
Horton dan Hunt dalam Narwoko dan Bagong (2011:55) nilai adalah gagasan
mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada
23
hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak
menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.
Menurut Mifflen dalam Hanum (2013:150) suatu nilai adalah suatu
kepercayaan yang stabil sebagai akibat dari suatu penilaian bahwa suatu objek
diingini secara sosial dan perorangan sebagai suatu tindakan yang baik, atau suatu
gaya tindak yang memerlukan kedua gaya gerak itu ke arah obyek dan kehendak
selaras dengan kepercayaan. Nilai dapat merupakan sifat khas dari seseorang atau
kelompok. Dalam hal berkaitan dengan kelompok, maka umumnya nilai dibagi
bersama-sama oleh anggota kelompok itu. Oleh sebab itu, berbagai nilai
masyarakat merupakan nilai-nilai yang memberikan sifat pada masyarakat secara
keseluruhan.
Manusia bukan saja sebagai makhluk individu tetapi juga sebagai makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak terlepas dari kehidupan masyarakat
sekitarnya. Karena kebutuhannya tidak terlepas dari hubungan atau bantuan orang
lain.Hidup manusia berpola pada nilai sosial. Nilai sosial tersebut merupakan
ukuran, patokan, anggapan, dan keyakinan yang dianut oleh orang banyak dalam
suatu masyarakat tertentu mengenai yang benar, pantas, luhur, dan baik untuk
diamalkan.
a. Nilai Sosial
Nilai sosial dapat didefinisikan sebagai sikap dan perasaan oleh masyarakat
sebagai dasar untuk memutuskan apa yang benar dan salah. Selain itu, nilai sosial
dapat dirumuskan sebagai petunjuk secara sosial terhadap objek-objek baik yang
24
bersifat materiil maupun nonmateriil. Nilai sosial bersifat abstrak menyebabkan
harga diri nilai diukur berdasarkan struktur yang ada dalam masyarakat (Waridah,
2004: 88).
Nilai sosial menyangkut hal-hal yang diidam-idamkan oleh masyarakat, baik
yang berupa uang, persaingan bebas, maupun persamaan kesempatan. Meskipun
nilai tersebut mendasari tata sosial, akan tetapi warga masyarakat yang
bersangkutan biasanya tidak menyadari adanya nilai tersebut. Hanya dalam situasi
di mana nilai sosial itu terancam, maka orang segera menyadari pentingnya nilai
sosial bagi kesejahteraan bersama. Lundberg menyatakan suatu hal memiliki nilai
jika orang berperilaku menurut nilai itu, memengangnya teguh dan
meningkatkannya sebagai miliknya (Daldjoeni, 1985: 169-170).
Rangkaian nilai sosial (sistem sosial) menurut Notonegoro dalam Idianto M.
(2004: 110) yang sangat kompleks dapat dikelompokkan seperti berikut :
a) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani
manusia atau benda-benda nyata yang dapat dimanfaatkan
sebagai kebutuhan fisik manusia.
b) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia agar
dapat melakukan aktivitas atau kegiatan dalam kehidupannya.
c) Nilai rohani, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi pemenuhan
kebutuhan rohani (spiritual) manusia yang dapat bersifat
universal.
Nilai rohani dibedakan menjadi:
25
1. Nilai kebenaran dan nilai empiris, yaitu nilai yang bersumber dari proses
berpikir teratur menggunakan akal manusia dan ikut dengan fakta-fakta
yang telah menjadi (logika, rasio).
2. Nilai keindahan, yaitu nilai-nilai yang bersumber dari unsur rasa manusia
(perasaan dan estetika).
3. Nilai moral, yaitu nilai sosial yang berkenaan dengan kebaikan dan
keburukan, bersumber dari kehendak atau kemauan (karsa dan etika).
4. Nilai religius, yaitu nilai ketuhanan yang berisi kenyakinan/kepercayaan
manusia terhadap Tuhan Yang maha Esa.
b. Nilai Budaya
Menurut Koentjaraningrat (1987:85) lain adalah nilai budaya terdiri dari
konsepsi –
konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat
mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam
suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bert indak. Oleh karena itu,
nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan
alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang tersedia.
c. Nilai Ekonomi
Menurut Wuri dan Handanti (2008: 1) bahwa nilai ekonomi merupakan perilaku
manusia dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang banyak dan
beraneka ragam dengan sumber daya yang terbatas untuk mencapainya. Manusia
26
berharap semua kebutuhannya dapat terpenuhi dengan baik. Oleh sebab itu mereka
berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
Sudah banyak yang menulis tentang upacara ritual atau tradisi, namun kajian
yang membahas secara khusus tentang upacara tradisi Merti Dusun di Dusun
Sumurup belum pernah ada yang membahasnya. Adapun karya tulis yang pernah
membahas tentang upacara atau tradisi diantaranya adalah :
Skripsi yang ditulis oleh Wahyu Hidayati (2005) dengan judul penelitian
Upacara Adat Sedekah Rawa Pada Masyarakat Nelayan Di Desa Bejalen
Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang. Hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa upacara sedekah rawa diselenggarakan sebagai upaya memelihara hubungan
harmonis dengan alam karena upacara tersebut ditujukan kepada alam yaitu Rawa
Pening. Upacara sedekah rawa bertujuan untuk mendapatkan keselamatan lahir
batin, sebagai ungkapan terima kasih kepada penguasa, serta menumbuhkan
kembali rasa religiusitas untuk menjaga alam.
Skripsi yang ditulis Ismi Rahayu (2005) degan judul Upacara Merti Deso Di
Dukuh Sambengan Desa Candi Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa upacara Merti Desa merupakan kegiatan sosial
yang melibatkan seluruh warga masyarakat duku Sambengan. Sejarah Tradisi Merti
Desa tidak lepas dari legenda Dewi Sri. Prosesi atau upacara tradisional di desa
Sambengan lebih condong ke arah agama Islam.
27
Penelitian-penelitian di atas juga telah menggambarkan bagaimana sebuah
budaya masih terjaga.Penelitian yang akan dilakukan merupakan
penelitianmengenai salah satu budaya yang ada di tanah Jawa. Penelitian
inibercirikan proses mempertahankan budaya oleh masyarakat Dusun Sumurup
C. KERANGKA BERPIKIR
Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, tradisi merupakan unsur yang cukup
mendasar dalam kehidupan masyarakat. Keadaan ini dapat dipahami mengingat
tradisi merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan
masyarakat, begitu pula masyarakat tidak dapat terlepas dari tradisi-tradisi yang
berlaku didalamnya. Berbagai aktifitas masyarakat sehari-hari maupun aktifitas
berkala, semua dilakukan menurut tradisi yang telah berlangsung dan dilakukan
turun-temurun. Sehingga dengan demikian tradisi menjadi pranata dalam
kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Tradisi dari masyarakat tertentu merupakan bagian dari kebudayaan manusia
yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat pendukungnya. Hadirnya
tradisi merupakan wujud dari kesadaran kolektif suatu kelompok masyarakat.
Tradisi dalam masyarakat bisa menebal dan menipis tergantung dari bagaimana
perspektif masyarakat yang bersangkutan mengenai tradisi yang dilakukan.
Masyarakatlah yang membuat, menerima, atau menolak tradisi.
Semua suku di Indonesia memiliki bentuk adat tardisional yang berbeda-beda.
Salah satunya tradisi Merti Dusun yang dimiliki oleh masyarakat dusun Sumurup,
desa Asinan, kecamatan Bawen, kabupaten Semarang. Tradisi tersebut dilakukan
28
secara rutin tiap tahunnya. Tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun hingga saat
ini. Berikut adalah kerangka berpikir yang harapannya dapat memberikan
gambaran mengenai penelitian ini.
Gambar 1 : Kerangka Berpikir Penelitian Upacara Adat Tradisional Merti Dusun
Upacara Tradisional
Merti Dusun
Pelaksanaan
Upacara Tradisional
Merti Dusun Manfaat Dari
Tradisi Merti
Dusun
Nilai-Nilai Yang
Terkandung
Dalam Merti
Dusun