37
BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak. (Brunner & Suddarth, 2001 : 2010). Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang terjadi karena: fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar / laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intra serebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270). Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan / benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. (Tucker, 1998). Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price, 1995 : 1015). Cedera kepala gangguan traumatik yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai / tanpa disertai perdarahan interstisial dan tidak mengganggu jaringan otak. (www.medicastoro.com ). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat 6

BAB II KONSEP DASAR A. Pengertiandigilib.unimus.ac.id/files//disk1/104/jtptunimus-gdl... · 2016. 1. 5. · BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Cedera kepala adalah cedera yang terjadi

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • BAB II

    KONSEP DASAR

    A. Pengertian

    Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak

    dan otak. (Brunner & Suddarth, 2001 : 2010).

    Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang terjadi

    karena: fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar /

    laserasi) dan perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intra

    serebral, batang otak). (Doenges, 1999 : 270).

    Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan /

    benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.

    (Tucker, 1998).

    Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang

    tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun

    tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang

    mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price, 1995 : 1015).

    Cedera kepala gangguan traumatik yang menyebabkan gangguan

    fungsi otak disertai / tanpa disertai perdarahan interstisial dan tidak

    mengganggu jaringan otak. (www.medicastoro.com).

    Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera

    kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik

    secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat

    6

    http://www.medicastoro.com/

  • 2

    mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan

    kematian.

    Macam-macam cedera kepala

    Cedera kepala dibagi menjadi:

    1. Cedera kepala terbuka

    Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau

    luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh

    velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat

    terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak

    dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam /

    tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen

    memiliki abses langsung ke otak.

    2. Cedera kepala tertutup

    Benturan kranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan

    yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,

    kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan

    tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio

    (memar) dan laserasi.

    (Brunner & Suddarth, 2001 : 2211; Long, 1990 : 203)

    Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:

    1. Cedera kepala ringan

    Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai

    dengan: nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada

    fraktur tengkorak, kontusio / hematoma.

  • 3

    2. Cedera kepala sedang

    Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat

    mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).

    3. Cedera kepala berat

    Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio

    serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.

    (Hudack dan Gallo, 1996 : 226)

    B. Anatomi

    Tengkorak

    Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang

    kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar,

    diploe dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang

    kuat sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan

    dalam membentuk rongga / fosa: fosa anterior (didalamnya terdapat lobus

    frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, oksipitalis), fosa

    posterior (berisi otak tengah dan sereblum).

    Meningen

    Adalah selaput yang menutupi otak dan medula spinalis yang

    berfungsi sebagai pelindung. Pendukung jaringan-jaringan dibawahnya,

    meningen terdiri dari:

  • 4

    1. Durameter (lapisan sebelah luar)

    Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan

    kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan

    darah vena ke otak.

    2. Arakhnoid (lapisan tengah)

    Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter

    membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi

    susunan saraf sentral.

    3. Piameter (lapisan sebelah dalam)

    Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,

    piameter berhubungan dengan araknoid melalui struktur-struktur jaringan

    ikat yang disebut trabekel.

    (Ganong, 2002)

    Otak

    Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:

    a. Sereblum

    Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol.

    Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik

    dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia.

    Sereblum dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau

    celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor. Bagian luar

    hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang disebut sebagai

  • 5

    kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang merupakan bagian

    dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua hemisfer

    saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus

    kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea yang

    disebut ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada masing-

    masing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian

    tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan mengatur bagian

    tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh sebelah

    kanan. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontra lateral.

    Setiap hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari 4, yaitu:

    Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerakan volunteer, terutama fungsi

    bicara, kontrol berbagai emosi, moral tingkah laku

    dan etika.

    Lobus Temporal : Pendengaran, keseimbangan, emosi dan memori.

    Lobus Oksipitalis : Visual senter, mengenal objek.

    Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum, rasa (pengecapan)

  • 6

    Gambar 1 : Anatomi bagian-bagian Otak.

  • 7

    Kerusakan Pada Bagian-Bagian Otak Tertentu

    Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya

    akan mempengaruhi kemampuan berpikir, emosi dan perilaku seseorang.

    Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku

    tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan

    yang terjadi.

    1. Kerusakan Lobus Frontalis

    Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan

    keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat

    tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat

    tangan, daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap

    aktifitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku

    dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan

    lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

    Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya

    tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang

    menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang

    lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang

    inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau

    samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah

    teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan

    kejam, penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

  • 8

    2. Kerusakan Lobus Parientalis

    Lobus parientalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari

    bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil

    kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus

    parientalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya

    dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian

    depan lobus parientalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang

    berlawanan.

    Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

    kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut

    apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa

    mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya

    atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan

    bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau

    jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak

    mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.

    3. Kerusakan Lobus Temporalis

    Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi

    menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus

    temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan

    mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan

    pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan

    akan suara dan bentuk.

  • 9

    Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan

    gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam

    dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita

    dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan

    mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

    kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah

    seksual.

    (Mediastore.Com)

    b. Sereblum

    Sereblum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh

    durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentonium yang memisahkan

    dari bagian posterior serebrum. Serebrum terdiri dari bagian tengah

    (vermis) dan 2 hemisfer lateral. Serebrum dihubungkan dengan batang

    otak oleh tiga berkas serabut yang dinamakan pedunkulus. Pedunkulus

    serebri superior berhubungan dengan kedua hemisfer otak sedangkan

    pedunkulus serebri inferior berisi serabut-serabut traktus spino sereberalis

    dorsalis dan berhubungan dengan medulla oblongata. Semua aktifitas

    serebrum dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai pusat reflek

    yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah

    tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan

    sikap tubuh.

  • 10

    c. Brainstem

    Ke arah kaudal batang otak berlanjut sebagai medulla spinalis dan

    ke rostral berhubungan langsung dengan pusat-pusat otak yang lebih

    tinggi. Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medulla

    oblongata, pors dan mesenfalon (otak tengah). Di seluruh batang otak

    banyak ditemukan jaras-jaras yang berjalan naik dan turun. Batang otak

    merupakan pusat penyampaian dan reflek yang penting dari SSP.

    Selain nervus alfaktorius dan optikus, nuclei nervus kranialis, juga

    terletak dari batang otak. Seringkali terdapat satu saraf kranialis atau lebih

    yang turut terlibat dalam lesi batang otak. Letak dan penyebaran lesi ini

    dapat dideteksi menggunakan pemeriksaan fungsi saraf kranialis. Nervus

    kranialis I (alfaktorius) dan II (optikus) merupakan jaras SSP, nervus

    optikus dapat terkena pada penyakit-penyakit SSP (misal sclerosis

    multiple dan tumor).

    (Sylvia A. Price & Lorrain M. Wilson, 2006)

    Saraf-Saraf Otak:

    a. Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)

    Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah

    lebih lanjut. Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang

    hidung ditutup, penderita diminta membedakan zat aromatis lemah seperti

    vanila, cau de cologne, dan cengkeh. Fungsi saraf pembau.

  • 11

    b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)

    Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum,

    kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk

    dikenali dan diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.

    c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

    Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata).

    Fungsi: sebagai penggerak bola mata.

    d. Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)

    Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.

    e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)

    Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan

    memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan

    otot-otot pengunyah.

    Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:

    - Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik.

    Fungsi: Kulit kepala dan kelopak mata atas.

    - Nervus maksilaris sifatnya sensorik.

    Fungsi : Rahang atas, palatum dan hidung.

    - Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik.

    Fungsi : Rahang bawah dan lidah.

    f. Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)

    Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital.

    Fungsi: Sebagai saraf penggoyang bola mata.

  • 12

    g. Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)

    Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang

    menghantar pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang

    mensarafi semua otot ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan

    dahi dan menyeringai.

    Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga mulut.

    h. Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)

    Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari

    pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.

    i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)

    Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.

    j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)

    Sifatnya majemuk, fungsinya: Sebagai saraf perasa.

    k. Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI)

    Sifatnya motorik, fungsinya: Sebagai saraf tambahan.

    l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)

    Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.

    (Patofisiologi, 2005)

    Fisiologi

    Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan

    darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma

    intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera

    biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma

  • 13

    subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tengkorak

    (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat

    pada CT Scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan

    menimbulkan gejala dalam beberapa menit.

    Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering kali pada usia

    lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah

    beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak,

    menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan

    otak. Hematoma yang luas akan menyebabkan otak bagian atas atau batang

    otak mengalami herniasi.

    Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai

    koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan

    pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi

    kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

    1. Hematoma Epidural

    Berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens

    dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah

    merobek arteri darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi

    sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa

    segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit

    kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan

    lebih parah dari sebelumnya.

  • 14

    Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk,

    kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan

    biasanya tergantung kepada CT Scan darurat. Hematoma epidural diatasi

    sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak

    untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan

    penyumbatan sumber perdarahan.

    2. Hematoma Subdural

    Berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan

    bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat

    kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma

    subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya

    dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran

    perdarahan ini adalah:

    - Sakit kepala yang menetap

    - Rasa mengantuk yang hilang-timbul

    - Linglung

    - Perubahan ingatan

    - Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan

  • 15

    Gambar II : Hematoma subdural dan otak

    C. Etiologi / Prediposisi

    1. Trauma tajam

    Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak,

    misalnya tertembak peluru / benda tajam.

    2. Trauma tumpul

    Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat

    sifatnya.

    3. Cedera akselerasi

    Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan

    maupun bukan dari pukulan.

  • 16

    4. Kontak benturan (Gonjatan langsung)

    Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.

    5. Kecelakaan lalu lintas

    6. Jatuh

    7. Kecelakaan industri

    8. Serangan yang disebabkan karena olah raga

    9. Perkelahian

    (Smeltzer, 2001 : 2210; Long, 1996 : 203)

    D. Patofisiologi

    Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar

    pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan

    terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area

    cedera, dan konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan / kenaikan salah

    satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tdiak

    ada aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi

    menggeser dan mendorong jaringan otak. Bila tekanan terus menerus

    meningkat akibatnya tekanan pada ruang kranium terus menerus meningkat.

    Maka aliran darah dalam otak menurun dan terjadilah perfusi yang tidak

    adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang

    tidak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat, yang berdampak

    adanya vasodilatasi dan edema otak. Edema akan terus bertambah menekan /

  • 17

    mendesak terhadap jaringan saraf, sehingga terjadi peningkatan tekanan intra

    kranial. (Price, 2005).

    Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang akan

    menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak. Dampak dari cedera

    kepala:

    1. Pola pernafasan

    Trauma serebral ditandai dengan peningkatan TIK, yang

    menyebabkan hipoksia jaringan dan kesadaran menurun. Dan biasanya

    menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal, sehingga

    menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan atau resiko

    ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang akan menyebabkan laju

    mortalitas tinggi pada klien cedera kepala. Cedera serebral juga

    menyebabkan herniasi hemisfer serebral sehingga terjadi pernafasan chyne

    stoke, selain itu herniasi juga menyebabkan kompresi otak tengah dan

    hipoventilasi neurogenik central.

    (Long, 1996; Smeltzer 2001; Price, 1996)

    2. Mobilitas Fisik

    Akibat trauma dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh,

    sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu juga dapat

    menyebabkan kontrol volunter terhadap gerakan terganggu dalam

    memenuhi perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari dan terjadi

    gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, sehingga

    menyebabkan masalah kerusakan mobilitas fisik.

    (Doenges, 2000; Price, 2005)

  • 18

    3. Keseimbangan Cairan

    Trauma kepala yang berat akan mempunyai masalah untuk

    mempertahankan status hidrasi hidrat yang seimbang, sehingga respon

    terhadap status berkurang dalam keadaan stress psikologis makin banyak

    hormon anti diuretik dan main banyak aldosteron diproduksi sehingga

    mengakibatkan retensi cairan dan natrium pada trauma yang menyebabkan

    fraktur tengkorak akan terjadi kerusakan pada kelenjar hipofisis /

    hipotalamus dan peningkatan TIK. Pada keadaan ini terjadi disfungsi dan

    penyimpanan ADH sehingga terjadi penurunan jumlah air dan

    menimbulkan dehidrasi.

    (Price, 2005).

    4. Aktifitas Menelan

    Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik dari

    hemisfer cerebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya

    makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya

    dengan gerakan pipi. Selain reflek menelan dan batang otak mungkin

    hiperaktif / menurun sampai hilang sama sekali.

    (Smeltzer, 2001; Price, 2005)

    5. Kemampuan Komunikasi

    Pada pasien dengan trauma cerebral disertai gangguan komunikasi,

    disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada penderita cedera

    kepala, kerusakan ini diakibatkan dari kombinasi efek-efek disorganisasi

    dan kekacauan proses bahasa dan gangguan. Bila ada pasien yang telah

  • 19

    mengalami trauma pada area hemisfer cerebral dominan dapat

    menunjukkan kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam

    beberapa hal bahkan mungkin semua bentuk bahasa sehingga dapat

    menyebabkan gangguan komunikasi verbal.

    (Price, 2005).

    6. Gastrointestinal

    Setelah trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang

    ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca trauma terdapat respon yang bisa

    dan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulasi fagus yang dapat

    menyebabkan hiperkardium. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis

    untuk mengeluarkan kartikosteroid dalam menangani cedera cerebral.

    Hiperkardium terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin dalam

    menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung.

    (Price, 2005)

    E. Manifestasi Klinik

    1. Cedera kepala ringan

    a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan

    sebagian besar pasien mengalami penyembuhan total dalam beberapa

    jam atau hari.

    b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau

    perasaannya berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan kesulitan

    bekerja. (www. Mediastore)

  • 20

    2. Cedera kepala sedang

    a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan

    atau bahkan koma.

    b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit

    neurologik, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan

    pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan

    gangguan pergerakan.

    (Brunner & Suddarth, 2001; www. Mediatore)

    3. Cedera kepala berat

    a. Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan

    sesudah terjadinya penurunan kesehatan (www. Mediastore)

    b. Pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cdera

    terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

    (www. Angelfive)

    F. Komplikasi

    Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematome

    intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari

    cedera kepala adalah:

    1. Peningkatan TIK

    2. Iskemia

    3. Infark

    4. Kerusakan otak irreversibel

  • 21

    5. Kematian

    6. Paralisis saraf fokal seperti anomsia (tidak dapat mencium bau-bauan)

    7. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, septikemia)

    8. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,

    abses otak)

    9. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi-sendi)

    (Smeltzer, 2001; Tucker, 1998)

    G. Penataksanaan

    1. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis

    sesuai dengan berat ringannya trauma.

    2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi

    vasodilatasi

    3. Pemberian analgetik

    4. Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu manitol 20%

    glukosa 40% atau gliserol.

    5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk

    infeksi anaerob diberikan metronidazole.

    6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam

    pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan

    lunak.

    7. Pembedahan

    (Smeltzer, 2001; Long, 1996)

  • 22

    H. Pengkajian Fokus dan Pemeriksaan Penunjang

    Pengkajian fokus menurut Doenges (2000) dan Engram (1998) :

    1. Aktifitas dan Istirahat

    Gejala merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan

    kesadaran, letarghi, hemiparesis, quadreplagia, ataksia, cara berjalan tak

    tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan

    tonus otot dan spastik otot.

    2. Sirkulasi

    Gejala: Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung

    (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi dan distritmia).

    3. Integritas Ego

    Gejala: Perubahan tingkah laku / kepribadian (demam).

    Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan

    impulsif.

    4. Eliminasi

    Gejala: Inkontinensia kandung kemih.

    5. Makanan / Cairan

    Gejala : Mual, muntah dan mengalami penurunan selera makan.

    Tanda: Muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur

    keluar, dan disfagia).

    6. Neurosensorik

    Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,

    vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal dan

  • 23

    ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, displopia,

    kehilangan sebagian lapang pandang, fotofotobia, gangguan pengecapan

    dan penciuman.

    Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental

    (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,

    pengaruh emosi tingkah laku dan emosi). Perubahan pupil (respon

    terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti

    cahaya, kehilangan pengindraan seperti: pengecapan, penciuman dan

    pendengaran, wajah tidak simetris, lemah dan tidak seimbang. Reflek

    tendon dalam tidak ada / lemah, apiaksia, hemiparesis, quadreplagia,

    postur (dekortikasi deselerasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan

    dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh dan kesulitan menentukan

    posisi tubuh.

    7. Nyeri / Kenyamanan

    Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda dan

    biasanya lama.

    Tanda: Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang

    hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat dan merintih).

    8. Pernafasan

    Tanda: Perubahan pola nafas (apneu yang diselingi oleh hiperventilasi),

    nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif (kemungkinan

    karena aspirasi).

  • 24

    9. Keamanan

    Gejala: Trauma karena kecelakaan. Tanda: Fraktur / dislokasi dan

    gangguan penglihatan.

    Kulit: Laserasi, abrasi, perubahan warna seperti “racoon eye” rasa gatal di

    sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan

    (drainase) dari telinga / hidung.

    Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan

    secara umum mengalami paralisis. Demam gangguan dalam regulasi suhu

    tubuh.

    10. Interaksi Sosial

    Tanda: Afasia motorik / sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.

    11. Penyuluhan / Pembelajaran

    Gejala: Penggunaan alkohol / obat lain.

    Rencana pemulangan: Membutuhkan bantuan pada perawatan diri,

    ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan,

    pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang / penempatan

    fasilitas lainnya di rumah.

    Pemeriksaan Penunjang

    1. CT Scan (tanpa / dengan kontras) : mengidentifikasi adanya sol,

    hemoragik, menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

    2. MRI (Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan /

    tanpa kontras. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan

  • 25

    bila bercampur frekuensi radio radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh

    akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis tumor,

    infark dan kelainan pada pembuluh darah.

    3. Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti

    pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan

    untuk mengidentifikasi dan menentukan kelainan serebral vaskuler.

    4. Angiografi Substraksi Digital

    Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik

    komputerisasi untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari

    tulang dan jaringan lunak di sekitarnya.

    5. EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang

    patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisan

    superfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di luar

    tengkorak pasien.

    6. ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elekro fisiologis

    vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem

    saraf pusat.

    7. Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur).

    Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya

    fragmen tulang.

    8. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi korteks

    dan batang otak.

  • 26

    9. PET (Positron Emmision Tomografi): Menunjukkan perubahan aktifitas

    metabolisme batang otak.

    10. Fungsi lumbal, CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan

    subaraknoid.

    11. GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi atau

    oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.

    12. Kimia / elekrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan

    dalam peningkatan TIK / perubahan mental.

    13. Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab

    terhadap penurunan kesadaran.

    14. Kadar anti konvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat

    terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

    (Doenges 2000; Price & Wilson 2006)

  • 32 32

    Tidak mampu menyampaikan kata-kata

    Gangguan komunikasi

    verbal

    Kekacauan pola bahasa

    I. Pathway Keperawatan

    Kerusakan hemisfer motorik

    Penurunan kekuatan dan tahanan otot

    Gangguan mobilitas fisik

    Trauma pada jaringan lunak

    Rusaknya jaringan kepala

    Luka terbuka

    Resiko tinggi terhadap infeksi

    Robekan dan distorsi

    Jaringan sekitar tertekan

    Gangguan nyaman nyeri

    Benturan kepala

    Trauma kepala

    Trauma akibat deselerasi / akselerasi

    Cidera jaringan otak

    Hematoma

    - Perubahan pd cairan lutra dan ekstra sel oedem

    - Peningkatan suplai darah ke daerah trauma vasodilatasi

    Tekanan intra kranial ↑

    Aliran darah ke otak ↓

    Perubahan perfusi jaringan serebral

    Merangsang hipotalamus

    Hipotalamus terviksasi (pada diensefalon)

    ↓ Produksi ADH

    d ld

    Retensi Na + H2O

    Gangguan keseimbangan

    cairan dan elektrolit

    Merangsang inferior hipofise

    Mengeluarkan steroid & adrenal

    Perubahan nutrisi kurang dari

    kebutuhan tubuh

    Sekresi HCl digaster ↑

    Mual, muntah

    Hipoksia jaringan

    Kerusakan pertukaran gas

    Pola nafas tidak efektif

    Pernafasan dangkal

    Penurunan kesadaran

    Gangguan persepsi sensori

  • 33

    J. Diagnosa Keperawatan

    1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia dan edema

    serebral ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik

    atau sensorik, gelisah, perubahan tanda-tanda vital. (Doenges, 1999).

    2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan

    neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis otot pernafasan.

    (Doenges, 1999).

    3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan

    ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema,

    dehidrasi, sindrom kompartemen dan hemoragi. (Carpenito, 2006).

    4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan

    asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan penurunan BB,

    penurunan masa atau tonus otot buruk. (Carpenito, 2006).

    5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral

    dan edema otak ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan nyeri dan

    perubahan tanda-tanda vital. (Engram, 1998).

    6. Resiko infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral ditandai dengan respon

    inflamasi tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).

    7. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan

    penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan

    koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot atau control otot.

    (Doenges, 1999).

  • 34

    8. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai

    dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan terhadap respon

    rangsang. (Doenges, 1999).

    9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan

    kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan kata-

    kata. (Carpenito, 2006).

    K. Fokus Intervensi

    1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia dan edema serebral

    ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik /

    sensorik, gelisah, perubahan tanda vital. (Doenges, 2001).

    Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat kesadaran

    membaik.

    Kriteria Hasil : Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbiakan, tanda-

    tanda vital (TTV) kembali normal dan tanda-tanda peningkatan

    tekanan intra kranial (TIK).

    Intervensi:

    a. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi

    jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.

    Rasional : Untuk mengetahui penyebab cedera, untuk memantau tekanan

    TIK dan atau pembedahan.

    b. Pantau status neurologik secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar

  • 35

    Rasional : Untuk mengetahui perubahan nilai GCS, mengkaji adanya

    kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan

    TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi.

    c. Pantau TTV

    Rasional : Ketidakstabilan TTV mempengaruhi tingkat kesadaran.

    d. Pertahankan kepala pada posisi tengah atau pada posisi netral

    Rasional : Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jogularis

    dan menghambat aliran darah vena

    e. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat.

    Rasional : Petunjuk nonverbal ini mengidentifikasi adanya peningkatan

    TIK atau menandakan adanya nyeri.

    f. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi.

    Rasional : Pembatasan cairan dapat menurunkan edema serebral.

    g. Berikan obat sesuai indikasi.

    Rasional : Dapat menurunkan komplikasi.

    2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, kerusakan

    persepsi dan obstruksi trakeobronkial ditandai dengan kelemahan atau paralisis

    otot pernafasan. (Doenges, 1999).

    Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali

    normal.

    Kriteria Hasil : Mempertahankan pola pernafasan efektif, bebas sanasis, Nafas

    normal (16-24 x / mnt), irama regular, bunyi nafas normal, GDA

    normal, PH darah normal (7,35-7,45). PaO2 (80-100 mmHg),

  • 36

    PaCO2 (35-40 mmHg), HCO2 (22-26). Saturasi oksigen (95-

    98%).

    Intervensi:

    a. Pantau frekuensi pernafasan, irama dan kedalaman pernafasan.

    Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi, pulmonal atau

    menandakan lokasi / luasnya keterlibatan otak.

    b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan, posisi miring sesuai indikasi

    Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru dan menurunkan adanya

    kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas

    c. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik

    Rasional : Untuk membersihkan jalan nafas, penghisapan dibutuhkan jika

    pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi, dan tidak dapat

    membersihkan jalan nafas sendiri.

    d. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara

    tambahan yang tidak normal

    Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis

    kongesti atau obstruksi jalan nafas.

    e. Kolaborasi pemberian oksigen.

    Rasional : Menentukan kecukupan pernafasan, memaksimalkan oksigen

    pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia.

    3. Gangguan keseimbangan cairan dan elekrolit berhubungan dengan peningkatan

    ADH dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema,

    dehidrasi, sindrom, kompartemen dan hemoragi. (Carpenito, 2006).

  • 37

    Tujuan : Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan.

    Kriteria Hasil : Asupan intake dan output seimbang, tidak terjadi edema dan

    dehidrasi.

    Intervensi:

    a. Pantau berat badan (BB)

    Rasional : Satu liter retensi sama dengan penambahan satu kg berat badan.

    b. Pantau kecepatan infus

    Rasional : Pemberian berlebihan menimbulkan kelebihan cairan.

    c. Pantau input dan output cairan

    Rasional : Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema.

    d. Berikan cairan oral dengan hati-hati

    Rasional : Untuk mengatasi edema serebral.

    e. Kolaborasi pemberian diuresis

    Rasional : Untuk menstabilkan cairan

    4. Perubahan nutrisi kebutuhan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

    peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan

    penurunan BB, penurunan masa otot, tonus otot buruk. (Carpenito, 2006).

    Tujuan : Kebutuhan akan nutrisi tidak terganggu.

    Kriteria Hasil : BB meningkat, tidak mengalami tanda-tanda mal nutrisi, nilai

    laboratorium dalam batas normal.

    Intervensi:

    a. Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi

    sekresi.

  • 38

    Rasional : Faktor ini dapat menentukan pemilihan terhadap jenis makanan.

    b. Auskultasi bising usus

    Rasional : Fungsi saluran pencernaan biasanya baik pada kasus cedera

    kepala.

    c. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien lewat NGT

    Rasional : Menurunkan resiko regurgitasi / terjadi aspirasi.

    d. Tingkatkan kenyamanan

    Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan nafsu makan.

    e. Kolaborasi pemberian makan lewat NGT

    Rasional : Makan lewat NGT diperlukan pada awal pemberian.

    5. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral

    dan edema otak ditandai dengan tengangan maskuler, wajah menahan nyeri dan

    perubahan TTV. (Engram, 1998).

    Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang

    atau hilang.

    Kriteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang, TTV dalam batas normal.

    Intervensi:

    a. Kaji karakteristik nyeri (P, Q, R, S, T)

    Rasional : Untuk mengetahui letak dan cara mengatasinya.

    b. Buat posisi senyaman mungkin

    Rasional : Menurunkan tingkat nyeri

    c. Pertahankan tirah baring

  • 39

    Rasional : Tirah baring dapat mengurangi pemakaian oksigen jaringan dan

    menurunkan resiko meningkatnya TIK.

    d. Kurangi stimulus yang dapat merangsang nyeri

    Rasional : Stress dapat menyebabkan sakit kepala dan menyebabkan

    kejang.

    e. Kolaborasi pemberian obat analgetik

    Rasional : Menurunkan rasa nyeri.

    6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral ditandai dengan

    respon inflamasi tertekan, hipertemia. (Doenges, 1999).

    Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak ada tanda-tanda

    infeksi.

    Kriteria Hasil : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi dan mencapai penyembuhan

    luka tepat waktu.

    Intervensi:

    a. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.

    Rasional : Untuk menurunkan terjadinya infeksi nasokomial

    b. Observasi daerah yang mengalami luka / kerusakan, daerah yang terpasang

    alat invasi

    Rasional : Deteksi dini terjadinya perkembangan infeksi, memungkinkan

    untuk melakukan tindakan dengan segera dan mencegah

    komplikasi.

    c. Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran

  • 40

    Rasional : Suhu yang tinggi dapat mengidentifikasi terjadinya infeksi yang

    selanjutnya memerlukan tindakan dengan segera.

    d. Kolaborasi pemberian obat anti biotik

    Rasional : Menurunkan terjadinya infeksi nasokomial

    e. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium

    Rasional : Untuk mengetahui adanya resiko infeksi melalui hasil

    laboratorium darah.

    7. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kepala, pusing dan vertigo

    ditandai dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan

    rentang gerak, penurunan kekuatan atau kontrol otak. (Doenges, 1998).

    Tujuan : Mempertahankan posisi yang optimal.

    Kriteria Hasil : - Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.

    - Mendemonstrasikan teknik yang memungkinkan dilakukan

    aktifitas

    Intervensi:

    a. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-

    4)

    Rasional : Untuk mengetahui tingkat imobilisasi pasien.

    b. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi

    Rasional : Perubahan posisi dapat meningkatkan sirkulasi pada seluruh

    tubuh.

  • 41

    c. Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak

    Rasional : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi / posisi normal

    ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.

    d. Sokong kepala dan badan,, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien

    berada pada kursi roda

    Rasional : Mempertahankan kenyamanan, keamanan dan postur tubuh yang

    normal

    8. Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai

    dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan terhadap respon

    rangsang. (Doenges, 1999).

    Tujuan : Kesadaran mulai membaik dan fungsi persepsi membaik

    Kriteria Hasil : Kesadaran mulai membaik dan nilai GCS meningkat.

    Intervensi:

    a. Kaji kesadaran sensorik pasien seperti sentuhan

    Rasional : Untuk mengetahui peningkatan kesadaran pasien atau penurunan

    sensitivitas untuk berespon.

    b. Pantau perubahan orientasi klien

    Rasional : Fungsi serebral bagian atas biasanya berpengaruh adanya

    gangguan sirkulasi.

    c. Catat adanya perubahan spesifik yang terjadi pada pasien.

    Rasional : Membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami gangguan

    dan mengidentifikasi tanda perkembangan terhadap peningkatan

    fungsi fisiologis

  • 42

    d. Berikan stimulasi yang bermanfaat bagi klien

    Rasional : Untuk menstimulasi pasien koma dengan baik selama melatih

    fungsi kognitif.

    9. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan edema otak

    ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan kata-kata.

    (Carpenito, 2006).

    Tujuan : Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.

    Kriteria Hasil : Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan

    pasien dapat menunjukkan komunikasi dengan baik.

    Intervensi:

    a. Kaji derajat disfungsi

    Rasional : Membantu menentukan daerah / derajat kerusakan serebral yang

    terjadi dan kesulitan pasien dalam proses komunikasi.

    b. Bedakan antara afasia dengan disatria

    Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung tipe kerusakan.

    c. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana seperti buka mata

    Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik.

    d. Anjurkan keluarga untuk berkomunikasi dengan pasien

    Rasional : Untuk merangsang komunikasi pasien, mengurangi isolasi sosial

    dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif.