Author
ngothuy
View
265
Download
5
Embed Size (px)
13
BAB II
KONFLIK, PELA GANDONG,
KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA
A. KONFLIK
1. KONFLIKTUAL HUBUNGAN ISLAM KRISTEN: LINTAS SEJARAH
1.1.Konteks Timur Tengah - Eropa
Hugh Goddard,1 mengungkapkan bahwasannya hubungan Islam-Kristen
dalam bingkai sejarah dunia menorehkan catatan yang panjang dan meyakitkan.
Keduanya lahir dan berkembang di Timur Tengah, dan berangsur-angsur merebah
dan menancapkan pengaruh ke berbagai benua: Kristen di Eropa dan Amerika,
sementara Islam di Afrika dan Asia. Selama dua abad terakhir, sebagai akibat dari
hubungan dagang, migrasi dan pertumbuhan berbagai kerajaan, kedua komunitas
itu berkembang semakin mendunia. Perjumpaan Islam-Kristen cenderung
menimbulkan konflik di Eropa terutama di negara-negara pecahan Yugoslavia.
Asia-Afrika: Filipina, sudan, Nigeria diricuhkan oleh konflik yang melahirkan
sikap saling curiga dan mengikis rasa percaya. Selain itu, warisan konflik mulai
dari ekspansi Islam pada periode awal, perang salib, hinga imperialisme Eropa.
Goddard,2 memberikan pemahaman yang fundamental dalam melihat
hubungan Islam-Kristen melalui penelitian sejarahnya, sebagaimana teruraikan
dalam periodesasi, sebagai berikut:
1.1.1. Periode perkembangan Kekritenan dan awal perjumpaannya dengan
Islam di Timur Tengah (Abad IV)
Pada periode ini, perkembangan yang penting berkaitan dengan asal-usul
gereja Kristen dan komunitas Islam di Timur Tengah yakni, sebagai akibat dari
masuknya Kaisar Romawi, Konstantinus ke dalam agama Kristen. Kekristenan
yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa
pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi agama resmi negara. Konversi
1 Hugh Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua
Komunitas Agama Terebesar di Dunia. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), 17 2 Hugh Goddard , Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),7-190
14
agama konstantinus ke agama Kristen justru melahirkan perpecahan di tubuh
gereja yang semakin lama semakin berkembang dan memunculkan berbagai
komunitas Kristen. Islam sendiri muncul pada abad ketujuh dalam konteks
tercabik-cabiknya kekristenan oleh konflik internal dengan alasan teologis3
maupun geografis. Kondisi ini berperan penting dalam pembentukan peta politik
dan sosial di kawasan Timur Tengah yang kemudian menjadi panggung bagi
kelahiran komunitas Islam.4
1.1.2. Periode setelah wafatnya Muhamad (Abad VII).
Pada periode ini, Negara Islam berkembang dengan sangat pesat. Komunitas
Islam berkembang menjadi kekuatan dominan di Arab dan merambat sepuluh
tahun berikutnya. Ketika berhadapan dengan komunitas Kristen, kaum Muslim
mengambil dua sikap utama: keras atau konfrontatif dan lemah lembut atau
toleran. Dengan dasar ajaran agama (alquran), mereka lebih banyak menerapkan
pendekatan militeris yang sangat keras. Pemeluk agamanya diminta untuk
menerima Islam atau hengkam dari tanah Arab. Akan tetapi, sesekali bersikap
toleran, ketika menerapkan beberapa syarat dan batasan terhadap kaum Kristen,
memberikan jaminan perlindungan atas jiwa dan harta mereka, serta memberikan
kebebasan beribadah. Sikap yang negositif, juga diperlihatkan penguasa muslim
terhadap kaum kristen, seperti kepada Kerajaan Bizantium, meskipun harus
menyerahkan sebagian wilayahnya, tetapi masih memiliki kedudukan yang kuat.5
3 Sama halnya dengan agama-agama lain: Yahudi, agama kristen memandang keberadaan agama
lain dalam sikap eksklusivisme atau antagonisme. Sebaliknya, pandangan Islam terhadap agama
lain: Kristen-Yahudi berdasarkan penafsiran teks Alquran, sebagai orang “kafir“. Islam pun
menolak pengakuan “Ketuhanan Yesus“. Paradigma eklusivis dan biblisentris inilah yang
kemudian memanifestasikan kebencian dan permusuhan. Olehnya, persoalan dalam sejarah
hubungan Islam-Kristen yakni adanya penerapan “Standar Ganda“. Penjelasan mengenai ini dapat
dilihat dalam Goddard, Hugh. Menepis Standar Ganda: Membangun Saling PengertianMuslim-
Krsiten. (Terj). (Yogjakarta: Qalam). 2000. 4 Di Jazirah Arab (pusat Islam), terdapat dua kerajaan adidaya (Bizantium dan Persia), beberapa
suku Arab yang tinggal berbatasan dengan wilayah Bizantium telah menerima agama Kristen sejak
awal abad keempat dan pada abad ke enam kekristenan mendapat peranan politik yang dominan
karena salah satu pimpinan suku arab (Kabilah), Harits ibn Jabalah, diangkat oleh Bizantium
sebagai pemimpin suku. Penyebaran kekristenan sekaligus berarti perluasan kebijakan politik
kerajaan Bizantium (Kristen). Bdg. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen…,2013,39-43 5 Hugd. Goddard. Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),90-102
15
Jhon. L. Esposito,6 juga menekankan hal yang senada, berkaitan dengan
keadaan dunia timur tengah di abad ketujuh, masa lahirnya Islam adalah dunia
yang keras, di mana ada peperangan antar suku. Timur tengah terbagi dua,
diantara dua kekuasaan besar yang saat itu saling berperang yakni kekaisaran
Bizantium dan Persia,yang saling bersaing satu sama lain untuk mendominasi
dunia.
Menurut Crone dan Cook,7 serangan-serangan awal cenderung menampakan
fakta sikap permusuhan terhadap agama Kristen. Seperti yang dialami oleh
pasukan Bizantium, ketika menolak anjuran pasukan Islam untuk beralih agama,
mengingkari Kristus maka mereka semua dibunuh. Contoh sikap antipati lainnya
yakni, pembakaran Gereja, penghancuran Biara, hujatan terhadap Kristus dan
Gereja. Sikap keras negara Muslim terhadap komunitas Kristen masih nampak
terhadap para penduduk di kota-kota taklukan (Toledo, Kordoba), mereka
diberikan pilihan untuk menyerah -dengan jaminan perlindungan nyawa,
kekayaan, memberi kebebasan- atau diperangi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan Islam-Kristen pada
periode pasca wafatnya Nabi Muhamad, dalam konteks bangkitnya negara Islam,
Umat Muslim mengambil sikap keras (memaksa) dan sekaligus toleran (bersyarat)
terhadap orang Kristen yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas di
Arab.
1.1.3. Periode ekspansi Islam (Abad pertengahan).
Periode Abad pertengahan menandai tentang bagaimana kaum Islam memulai
perluasan ekspansinya sampai ke Eropa. Berawal dengan penaklukan Afrika
kemudian ke Spanyol dan Prancis Selatan. Dalam konteks masa spanyol,
hubungan Islam-Kristen semakin pelik ditandai dengan berdirinya kekhalifahan
Bani Umayyah, sehingga agenda Harun al-Rasyhid (khaliah Abbasyiyah)
membina hubungan baik dengan bangsa Frangka untuk mendapatkan dukungan
untuk melawan Bani Umayyah dan menciptakan perlawanan antar sesama Bangsa
Muslim. Raja Karolus Agung (penguasa Roma) mengirimkan pasukan ke spanyol
6 Jhon.L. Esposito. Unholy war: Teror Atas Nama Islam. (Yogyakarta: IkonTeralitera, 2003),33
7 P.Crone dan M.Cook, Hagarisme:The Making of the Islamic World. (Cambridge:University
Press, 1977),120
16
untuk membantu Harun. Namun, ketika kembali ke Prancis, pasukan yang
membantu itu diserang dari belakang dan dibantai oleh kaum Muslim.
Rangkaian peristiwa konfliktual dalam sejarah perjumpaan Islam-Kristen di
Spanyol menimbulkan tanggapan khas Barat yang cenderung negatif terhadap
Islam. Pandangan tersebut dilatari oleh keadaan yang menyakitkan -seperti
larangan beribadah di muka umum, terisolasi dari ilmu pengetahuan agama
mapun sekuler- yang dialami orang Kristen dalam penguasaan kekhalifahan Bani
Umayyah di Spanyol. 8
Pandangan itu akhirnya memicu bangkitnya sebuah gerakan kekristenan,
yakni gerakan kemartiran Spanyol“ yang menganggap Islam sebagai ancaman
bagi kekristenan, sebagai tanda kemunculan “antikritus“ (beberapa Pendeta,
menggunakan bagian-bagian Alkitab seperti: Daniel, Injil, dan Wahyu untuk
melegitimasi pandangan ini), karenanya memerangi Islam berarti memerangi
Iblis, atau mati karena mempertahankan iman adalah mati bagi Kristus, mati
sebagai seorang Martir. 9
Jadi, point penting dalam melihat hubungan Islam-Kristen pada periodesasi
ini yakni bahwa, pandangan negatif umat Kristen Barat terhadap kaum Islam
dilatar belakangi oleh serangkaian sikap dan perilaku kaum Islam yang keras
terhadap Kristen (Barat). Sikap kaum Islam terhadap Kristen inilah yang menjadi
pemicu lahirnya gerakan perlawanan dan permusuhan dengan motif religius.
1.1.4. Periode perang Salib (Abad XI).
Perang Salib (1095-1272) merupakan perang untuk memperebutkan
Yerusalem. Perang ini kemudian meluas menjadi konflik antar agama paling
dasyat sepanjang sejarah. Perang salib diawali dengan munculnya gerakan Kristen
Militan yang juga bagian dari pasukan salib. Pemicu gerakan ini sendiri adalah
pemahaman buruk di masa Spanyol yang kemudian melekat dan mempengaruhi
pikiran kaum Kristen Barat. Pecahnya Perang Salib (1095) dilatarbelakangi
8 R.W.Souther, Westren Views of Islam in the Middle Ages, (Amerika:Harvard University
Press,1992),19-21 9 Hugh. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),153-163
17
dengan motif religius, dalam artian kerinduan untuk merebut tanah suci dari kaum
“kafir“ muslim dan juga motif duniawi yakni mendapatkan harta dan tanah.10
Pada peristiwa penaklukan Yerusalem (1099), terdapat ribuan anggota
pasukan dan bahkan seluruh penduduk Muslim dan orang Yahudi yang melarikan
di ke sinagoge kemudian dibantai habis, dan hanya dalam waktu dua hari, sekitar
40.000 umat Muslim dibantai habis oleh pasukan Salib. Salah satu keanehan
terjadi pada peristiwa tersebut adalah bahwa ketika orang Kristen khususnya para
pendeta yang tetap memilih bertahan ketika terjadi pembantaian itu diusir oleh
pasukan Salib. Fenomena ini mempertegaskan tujuan mereka bahwa Yerusalem
bukan hanya kota Kristen, melainkan kota Kristen Latin/Barat. Hal ini
mengindikasikan bahwa, seruan Perang Salib oleh Paus Ubanus adalah demi
alasan politik dari pada religius. Olehnya, masing-masing komunitas: Islam
maupun Kristen dapat menciptakan spirit dan komitmennya untuk membela
keyakinannya dan berjuang melawan orang “kafir“.11
Senada dengan ini, bagi Amstrong12
, perang salib menjadi gambaran konflik,
prasangka dan tindak kekerasan antara dunia Islam dan Barat. Goddard13
melanjutkan bahwa: warisan perang salib dapat dilihat dalam enam aspek, antara
lain: kecurigaan abadi terhadap kalangan Kristen Barat; mendorong ekspansi
Islam; sentimen bahwa Yeruslem merupakan tempat suci Ketiga bagi Islam;
kecurigaan terhadap kaum Kristen (“dicurigai sebagai pasukan salib berikutnya“)
yang hidup di bawah pemerintahan Islam; meningkatkan perkembangan antara
Islam dan Eropa Barat.
Berdasarkan paparan para hali dapat disimpulkan bahwa hubungan Islam-
Kristen secara menglobal telah menampakan keadaan yang sarat dengan
pertentangan. Isu global yang sentral dalam hubungan kedua agama besar di dunia
ini tidak lain adalah tentang pandangan “standar ganda“ (Goddard) yang dianut
kedua agama ini yang memunculkan prasangka teologis dan memperkeruh
hubungan kedua agama ini.
10
Hugh. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),164 11
John. L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau realita? (Terj). (Bandung: Mizan. 1994),50-51 12
Karen Amstrong. Holly War. (Londong: Maximilian. 1998), xiv. 13
Hugh. Goddard. Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen. . . (2013),164-180
18
Selanjutnya, Konfliktual interaksi Islam dengan Kekristenan Barat, yang
nampak melalui konflik, kekerasan, ditaklukkan dan menaklukan antara
keduanya, (mis, di Timur Tengah, spanyol hingga perang salib, ), sebagaimana
yang diungkapkan Esposito:14
...Baik orang Muslim mapun Nasarani melihat
yang lainnya sebagai suatu ketetapan yang untuk ditaklukan, diajak masuk
agama, atau membasmi yang lainnya dan dengan demikian sebagai musuh
Tuhan“... menimbulkan dampak yang membekas dalam imajinasi kedua
komunitas. Orang Barat memandang Islam sebagai agama pedang, agama jihad.
Sebaliknya, bagi kaum Muslim, Nasarani adalah agama perang salib dan ambisi
hegemoni. Dalam konteks itulah berkembang kecurigaan-kecurigaan: stereotip
yang melatari pandangan Islam di seluruh dunia tentang kekristen barat dan
berimbas sampai ke komunitas kristen di seluruh dunia.
1.2.Konteks Indonesia
Jan S. Aritonang15
, meneliti perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia secara
khusus pada tataran konseptual, dan lebih difokuskan pada perjumpaan bidang
politik di aras Nasional baik dalam konteks zaman pemerintahan penjajahan
maupun pada zaman Indonesia Merdeka. Pada perjumpaan itu, bisa terjadi
persesuaian atau terlihat akrab, tetapi sebaliknya bisa juga terjadi konflik.
Pembabakan perjumpaan Islam-Kristen didasarkan pada periode pemerintahan di
negeri ini, yakni antara lain:
1.2.1. Masa Portugis dan VOC (1511-1799).
Pada masa ini, Portugis (juga spanyol) dan Belanda yang dikenal dengan
negara Kristen Katolik dan protestan hendak meluaskan jaringan perdagangan dan
penyebaran agama mereka. Pada kenyataannya, Maluku sebagai salah satu
kawasan Indonesia Timur telah dihuni oleh Agama Islam yang tersebar oleh
pedagang Islam Timur Tengah melalui kerajaan-kerajaan lokal di Maluku Utara:
Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo, serta menjelma menjadi agama kerajaan.
Islam menguasai perdagangan. Para sultan-sultan Tarnate tercatat sebagai
14
Jhon.L. Esposito. Unholy war. . . (2003),91 15
Jan.S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia. (Jakarta:BPK. G.
Mulia. 2006),1.
19
penakluk wilayah dan penyebar agama Islam. Dalam rangka perluasan jaringan
kekuasaannya ia menuntut pengakuan bahwa kerajaan-kerajaan itu mengakui
kesultanan Tarnate dan menuntut penduduknya menganut agama Islam. Bertolak
dari kepentingan perdagangan inilah maka tak jarang kerajaan-kerajaan ini
beraliansi dengan Portugis bahkan juga Belanda yang menjanjikan keuntungan
dan kekayaan yang lebih besar.16
Salah satu peristiwa pemicu konflik Islam-Kristen yang berkepanjangan pada
masa portugis yang terjadi sampai kedatangan VOC adalah kasus pembunuhan
Sultan Tarnate, seperti dicatat oleh Radjawane:17
Sultan Hairun berkoalisi dengan
raja-raja di Maluku berencana untuk membasmi semua orang Kristen dan orang-
orang asing terutama Portugis dan menanamkan Islam di Pulau Ambon. Atas
keikut sertaan Hitu (1558) mereka melakukan pemberontakan dan mengusir orang
Portugis. Banyak kampung-kapung pesisir di pulau Ambon yang berhasil
diislamkan dengan kekerasan, dan terutama sekali hampir semua negeri di Hitu
yang baru saja di Kristenkan oleh Xaverius dijadikan negeri-negeri Islam.
Bermula dari peristiwa tersebut, banyak juga pertikaian dan perang antara
masyarakat Islam-Kristen terjadi di Pulau Ambon, yaitu setelah penyerbuan
tersebut ada sejumlah pejabat Portugis yang mendukung Sultan Hairun dalam
menghadapi lawannya, yakni kerajaan-kerajaan di Maluku untuk memperoleh
keuntungan bisnis yang besar bagi bisnis pribadi.18
Oleh karena itu, penyebab
pertikaian yang melibatkan Islam-Kristen di Ambon bukan semata-mata karena
masalah agama melainkan juga masalah sosial-politik.19
Kedatangan belanda pada
umumnya tak lepas dari pertarungan di bidang politik, persaingan dagang dan
ekonomi, untuk kepentingan ini berkoalisi dengan Islam untuk menguasai
Portugis.
16
Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia… (2006),13-22 17
A.N. Rajawane, “Islam di Ambon dan Haruku”, dalam Panggilan Kita di Indonesia Dewasa
ini, Editor:W. B. Sidjabat(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1964),78 18
M.P.M. Muskens (red), Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, jilid 1. (Jakarta: Dokpen
MAWI,1974), 223 19
Th. Van Den End. Ragi Carita1. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-6,1996),61
20
1.2.2. Masa Hindia Belanda (1800-1942).
Pada masa ini, eksistensi keberagamaan Islam-Kristen sama-sama mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Kondisi ini didorong oleh semangat kebebasan
beragama yang dirancang H-B (PP 1818 dan 1854) dan buah dari kebangunan
semangat penginjilan yang terjadi di Eropa (Kristen). Akan tetapi, kenyataanya
terdapat campur tangan pemerintah H-B melalui kebijakan yang tidak netral, yang
menguntungkan pihak Kristen dan merugikan serta mendiskriminasikan pihak
Islam.20
Realita ini sering kali menjadi pemicu ketegangan hubungan di antara
umat Kristen dan Islam. Pemerintah H-B juga membatasi dan melarang
penginjilan (mengawasi gerak-gerik para ulama yang dicurigai sebagai fanatik
pemberontak) karena dianggap sebagai ancaman dan demi ketertiban dan
keamanan.21
Khusus di Pulau Jawa, Sumartana,22
mengungkapkan bahwa hubungan di
antara masyarakat pribumi Kristen dan Islam masih sangat terbatas dan terutama
di daerah pedalaman karena sejak awalnya agama Kristen sering dicap sebagai
“Agama Belanda“ atau “Stigma soaial“ sebagai agama kolonial23
. Pelabelan
negatif ini semakin nampak ketika ada dari orang Kristen Jawa itu berlagak
seperti orang Belanda dan ikut-ikutan mencap kaum Islam sebagai “orang kafir“.
Kendati demikian, hubungan keduanya semakin lebih baik ketika tokoh-tokoh
penginjil memperlihatkan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, sehingga
perjumpaan itu bukan lagi terutama berlangsung diantara orang Eropa yang
Kristen dan orang Arab yang Muslim, melainkan di antara sesama orang jawa
yang Kristen dan Islam.
Kebijakan pemerintah H-B di kala ini melahirkan gerakan-gerakan
keagamaan baik di pihak Kristen maupun islam, seperti Pan Islamisme (yang
muncul dari Turki abad ke-18, pada masa dinasi kesultanan Usami) yang hendak
20
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985),19 21
Aritonang. Sejarah Perjumpaan…(2006),73-96 22
Th. Sumartana, Mission At The Groossroads-Indigenous Church, European Missionaries,
Islamic Assocoation Socio-Religious Change in Java1812-1936. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1997),22-27. 23
“Stigma Sosial” agama Kolonial oleh umat Islam terhadap Kekristenan berkaitan dengan
hubungan sejarah Kristen dengan sejarah kolonialisme. Dalam artian bahwa masuknya kekristenan
di Indonesia bersamaan dengan ekspansi bangsa-bangsa barat (Portugis dan Belanda) berdasarkan
kepentingan ekonomi dan perdagangan. Stigma Sosial bertransformasi menjadi Stereotip sosial
pada masa Orde Baru. Lht. Julianus Mojau, Mediakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis
Protestan dengan Islam Politik di Indonesia. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2012),1-4
21
menegakan kembali kekuasaan pada kalifah sebagai penguasa di bidang politik
dan agama. Di mata H-B, Pan Islamisme ditenggarai membangkitkan semangat
melawan penjajah. Gagasan Pan Islamisme kembali dihidupkan di Indonesia pada
masa selanjutnya melalui beberapa partai politik (Era Reformasi 1998). Selain itu,
terdapat juga gerakan dan partai politik Islam yang muncul: Sarekat Islam,
Muhammadiyah; dan Kristen: Perserikatan Kaum Christen, Partai Kaum Masehi
Indonesia.24
1.2.3. Masa Jepang dan Revolusi (1942-1949).
Pada masa ini, Jepang berusaha menjalin hubungan yang baik dengan semua
pihak di Indonesia sebagai jalan untuk mendukung tujuan menopang perang dan
mendominasi ekonomi jangka panjang di Asia Timur dan Tengah. Propaganda
pro Islam dilakukan untuk menarik para pemimpin Islam.25
Melalui politik
mobilisasinya, Jepang merangkul kekuatan Islam Indonesia dan penghubung
antara mereka dengan masyarakat Jawa. Pemerintah Jepang berusaha menghapus
pengaruh-pengaruh Barat, khususnya Belanda dengan mendorong penyebaran
konsep Indonesia kepada rakyat. Pada bulan Maret 1942, Jepang membubarkan
partai politik yang ada, namun khusus buat Islam organisasi kemasyarakatan
seperti NU dan Muhamadiah dibiarkan tetap hidup.26
Sementara itu, terhadap Zending dan kaum Kristen dituduh sebagai kaki
tangan Belanda, mereka dianiaya, ditangkap bahkan dibunuh. Seperti dikatakan
Kahin:27
“...dalam waktu enam bulan sejak kedatangannya, Jepang memenjarakan
semua penduduk Belanda, sebagian besar orang Indo, dan sejumlah orang Kristen
Indonesia yang dicurigai Pro Belanda, ke dalam Kamp Konsentrasi.
Selain itu, kependudukan Jepang membuka ruang bagi proses berdirinya atau
kemerdekaan bangsa Indonesia. Proses perumusan dasar negara dan UUD
didapati ternyata sarat dengan muatan dan kepentingan agama tertentu, bermula
dengan berdebatan antara tokoh Islam dan nasional-sekuler tentang bentuk
24
Aritonang,, Sejarah Perjumpaan... (2006),122-132 25
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Terj), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985),133-
134 26
Aritonang. Sejarah Perjumpaan. . . ,. (2006), 215 27
George Mc Turnan. Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (terj), (Solo: Press,
1995),131
22
Negara. Pertanyaan pokok perdebatan para tokoh BPUPKI adalah: haruskah dasar
resmi untuk negara Indonesia terbentuk dari asas-asas Islam, dinyatakan dengan
peristilahan Islam, ataukah Indonesia didasarkan kepada Pancasila dan menjadi
suatu contoh dari negara yang rakyatnya menganut beranekaragam agama, yang
di dalamnya para pengikut dari berbagai agama hidup dan bekerjasama dengan
saling menghormati?28
Pembahasan terhadap pertanyaan yang menjadi polimek
tersebut kemudian digodok dalam kelompok kecil: “Tim 9“, dijadikan dokumen
politik yang dinamai: “Piagam Jakarta“.
Alwi Hihab29
, melihat persoalan Piagam Jakarta yang kontroversial di
kalangan pemimpin Indonesia pada saat menjelang kemerdekaan itu, mencirikan
ketegangan pertama dalam hubungan Kristen-Muslim di Indonesia selama era
pasca penjajahan. Persoalan tersebut hampir merusak kesatuan dan persatuan
negeri Indonesia.
1.2.4. Masa Orde Lama (1950-1965).
Pada masa ini,kedaulatan penuh yang telah dimiliki oleh Indonesia sebagai
suatu negara pada kurun waktu ini justru memunculkan gejolak internal dan
ancaman dari berbagai gerakan separatis yang sebagian bermuatan atau berlabel
agama: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia (DI/TII/NII).
Kalangan islam “menagih janji“ perwujudan negara (berdasarkan) Islam.
Terutama mereka yang bercorak modernis terus berlanjut. Keadaan ini ikut
mempengaruhi hubungan dan perjumpaan Kristen dan Islam, karena mereka
bersikap paling keras terhadap kalangan Kristen.30
Islam menjadi Ideologi politik yang diperjuangkan kaumnya dalam konteks
perpolitikan dalam pemerintahan Soekarno. Pemilu 1955 merupakan ajang
perjuangan mereka yang pertama. Akan tetapi toh gagal mencapai kemenangan
mayoritas dalam pemilu tersebut. Selain masalah Dasar Negara, Kebebasan
Beragama pun menjadi perdebatan-perdebatan sengit diantara kalangan Kristen
dan Islam. Misalnya, Masyumi yang dengan tegas mengusulkan agar agama resmi
28
B.J. Bolan. Pergumulan Islam di Indonesia (Terj). (Jakarta: Grafiti Pers, 1985),25-26 29
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhhamadiyah terhadap Penetrasi Misi
Kristen di Indonesia (Terj). (Bandung: Mizan, 1998),167 30
Aritonang. Sejarah Perjumpaan… (2006),277
23
negara adalah agama Islam -atas alasan posisi mayoritas kewarganegaraan yang
didominasi Islam- ditentang Parkindo karena ketika Islam dijadikan dasar negara
berarti hukum Islam akan menjadi superior dan ini bertentangan dengan asas
kedudukan yang sama (asas demokrasi). Di dalam negara Islam, golongan non
muslim (zimmi) diperlakukan sebagai golongan inferior.31
1.2.5. Masa Orde Baru (1966-1998).
Pada masa ini, ketegangan antara umat Islam dan Kristen merebak seiring
tudingan umat Islam bahwa umat Kristen lebih diuntungkan oleh pemerintah32
dan adanya semangat kristenisasi yang ditandai dengan bertambahnya jumlah
umat Kristen secara signifikan. Penginjilan kristen dianggap tidak sehat, dengan
masifnya pembangunan Gedung Gereja di berbagai daerah. Contohnya di Aceh.
Kondisi ini memunculkan konflik langsung, seperti yang terjadi di Makasar pada
tanggal 1 oktober 1967, ketika sejumlah pemuda Islam di Makasar merusak
sejumlah gedung Gereja, dan kantor organisasi Kristen, termasuk melukai
beberapa pemuda Kristen. Peristiwa ini dinilai oleh para tokoh Islam, Natzir:33
. . .
sebagai akibat dari kegiatan mengkristenkan orang Islam. Kekuasaan mutlak
dalam materi dan keuangan pihak Kristen yang digunakan untuk mengkristenkan
umat Islam melukai hati umat Muslim.
Ada juga konflik antar umat Kristen dan Islam yang berkaitan dengan
pembangunan Gedung Gereja -yang dilakukan di daerah-daerah yang dikenal
sebagai basis Islam ini- yang membuat sebagian umat Islam merasa terganggu,
bahkan terancam dan yang menuntut pemerintah menerbitkan SKB no. 1/1969.
Keputusan pemerintah ini segera ditanggapi DGI dengan memorandum yang
mencatat bahwa:34
adanya pertentangan di dalam SKB tersebut. Di satu pihak, hak
kebesan beragama dan mengekspresikan kehidupan beragama dijamin, namun
dipihak lain karena tidak ada petunjuk yang jelas tentang implementasi dari
31
Daniel. Sopamena, Perjumpaan Islam dan Kristen pada Pentas Politik di Indonesia 1945-
1985. (Jakarta: STT Jakarta, 1996). (Tesis),133-134 32
Salah satu penulis Muslim. Husein. Mengungkapkan kedekatan hubungan antara penguasa:
Soeharto dengan pengusaha tionghoa (sering diasosiakan dengan orang Kristen) membuat Islam
sangat marah, iri dan curiga dengan orang Kristen. 33
M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia,(Jakarta: Media Da’wah,1988),208-210. 34
Teks lengkap memorandum tsb. Dimuat dalam Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang
Keagamaan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),443-44.
24
peraturan perijinan tentang pendirian rumah ibadah tersebut sehingga kebebasan
mengekspresikan kehidupan beragama menjadi tidak terjamin.
Selanjutnya, pada masa akhir era Orde Baru, terdapat suatu perkembangan
penting yaitu pembentukan ICMI yang memperlihatkan kebangkitan kalangan
Islam dan kedekatan mereka dengan kekuasaan (pemerintah) dan membuat
kalangan Kristen merasa semakin terdesak dan terpinggir.35
ICMI kemudian
menjadi wadah politik bagi tokoh intelektual Islam untuk mencapai kekuasaan.
ICMI dikendalikan oleh penguasa dan peran sentral Habibie. Keberadaan ICMI
oleh Gus Dur36
dipandang sebagai organisasi yang cenderung sektarian dan
eksklusif. Secara tajam, Gus Dur menilai bahwa dengan wataknya yang sektarian
itu, beberapa tokoh ICMI berdiri dibalik berbagai peristiwa kerusuhan dan
pengrusakan rumah ibadah sejak tahun 1996:37
Situbondo, Sidotopo,
Rengasdengklok, Banjarmasin.
1.2.6. Masa Reformasi (1998-2003).
Pada Masa ini, Indonesia mengalami beberapa gejolak politik dalam konteks
pergantian rezim orde baru; peristiwa-peristiwa internasional 2001 di New York;
ledakan bom bali 2002; serangan AS bersama sekutu atas Irak 2003 tak diduga
berdampak negatif nampak pada buruknya hubungan di antara penganut agama
Islam-Kristen. Belum lagi serangkaian kerusuhan, pertikaian dan bencana yang
bersimpah darah, berskala besar memunculkan permasalahan yang isu pokoknya
sudah sebenarnya sangat klasik, yaitu upaya kalangan Islam tertentu untuk
memberlakukan Syariat Islam yang mengarah pada perwujudan negara Islam.
Hancurnya hubungan kedua agama ini dilatari oleh gejolak-gejolak sosial-
ekonomi-politis.38
Gerakan reformasi muncul dalam pemilu, rangkaian krisis dan protes sejak
tahun 1997. Sejak tahun 1997 pula badai krisis perekonomian berkepanjangan
35
Aritonang. Sejarah Perjumpaan… (2006), 453 36
Gus Dur menilai bahwa yang berwatak sectarian itu sebenarnya bukan ICMI-nya, melainkan
sejumlah pengurus dan anggota yang menduduki jabatan strategis di ICMI mapupun di birokrasi.
Dalam Abdul. Aziz. Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Fema Insani
Press. 1996), 94. 37
K.A.Van Dijk, A Country in Despair. Indonesia between 1997-2000. (Leiden. KITLV.
2001),18 38
Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia… (2006),514
25
menerpa Indonesia, disusul krisis politik, sosial, budaya, moral pada pemerintahan
orde baru ini. Serangkaian aksi protes, demonstrasi dari mahasiswa mengkritisi
pemerintah soeharto yang dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan-
persoalan tersebut, maka 1998 soeharto lengser pada tahun 1998. Tercatat dalam
peristiwa kerusuhan itu, terdapat luka fisik maupun batin, penuh keberengisan dan
kebiadaban dilakukan oleh segerombolan orang yang meneriakan yel-yel
keagamaan sambil melecehkan agama lain, kasus pemerkosaan terhadap
perempuan china yang dilakukan oleh umat muslim39
dan pengrusakan dan
pembakaran beberapa fasilitas pemerintah dan juga gedung Gereja.40
Selanjutnya, terjadi beberapa peristiwa dan bencana lanjutan yang melibatkan
penganut kedua agama mewarnai masa transisi pergantian kepemimpinan negara.
Peristiwa kerusuhan sering kali dipicu oleh peristiwa yang sepele dan tidak punya
hubungan dengan masalah agama, tetapi ketika kerusuhan kian berkobar, muatan
keagamaanya semakin meningkat dan menjadi tanda tanya tentang siapa dan
apakah yang menjadi faktor pemicu atau dalang dari peristiwa itu. Adakalanya
peristiwa kerusuhan diakibatkan karena provokasi dari kalangan tertentu di luar
daerah konflik (Jakarta). Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain: Ketapang,
Posso, Ambon, kalimantan barat dan tenggah, peledakan Bom di malam Natal,
Bom Bali 12 oktober 2002.41
Peristiwa Ketapang Jakarta dan Kupang 1998, misalnya yang dipicu oleh
perkelahian antar pribadi, dan para preman yang sebagian besar dari suku
Ambon42
yang menjaga lokasi tempat hiburan bulu tangkas alias judi di jalan. Z.
Arifin. Penyebabnya adalah perebutan tempat parkir, dan ketersinggungan Islam
yang terganggu dengan keramaian di lokasi itu. Terjadi pengeroyokan terhadap
pemuda kampung yang penyelesaiannya berujung pada bentrok dengan para
preman itu. Di keesokan harinya tepat pada hari raya Isra’Mi’raj gerembolan
39
Menurut H. Sudarto Kalangan Islam menilai hal ini sebagai pencitraan buruk yang dilakukan
terhadap barat dan kekristenan, yang mamandang penyebaran agama Islam melalui kekerasan. Lht.
H. Sudarto, Konflik-Islam Kristen- menguak akar Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di
Indonesia. (Semaran: Pustaka Rizki Putra. Cetakan ke2),133 40
Aritonang, Sejarah Perjumpaan…(2006),520 41
Aritonang, Sejarah Perjumpaan. . . (2006),532 42
Seluk beluk preman ambon di Jakarta sejak 1980-an, termasuk akses mereka dengan kalangan
penguasa, dan persaingan diantara penguasa terungkapkan oleh Aditjondro, bahwa Ternyata,
preman Ambon bukan hanya terdiri dari orang Kristen tetapi juga Islam. G. Adhicondro, Orang-
Orang Jakarta Di Balik Tragedi Maluku. 2001, Moluccas International Campaign for Human
Right.
26
preman itu datang menentang warga kampung dan menyerang warga secara
membabi buta, mengrusakan Mesjid dan seorang preman ditahan oleh pihak FPI,
terungkap oleh Tahan bahwa dia bayar untuk melakukan peneroran terhadap umat
Islam di situ. Disusul dengan kerusuhan besar-besaran antara masa dari warga
kampung sekitar Ketapang dengan preman-preman itu.
Pokok isu dibalik amukan masa itu adalah bahwa mesjid telah dibakar (yang
terbukti tidak benar), akibatnya terjadi pengrusakan dan pembakaran gedung
Gereja yang berada di sekitar lokasi preman-preman itu. Melalui peristiwa itu,
preman-preman itu kemudian dipulangkan ke Ambon, dan diduga menjadi
provokator dalam konflik Ambon, disamping ada juga keterlibatan militer. Kasus
ketapang ini kemudian diduga telah diskenariokan oleh kalangan militer, dengan
tujuan mengalihkan isu dan perhatian masyarakat dari tuntutan
pertanggungjawaban mantan Presiden Soeharto, Wakil Presiden Habibie dan
Menhankam/Pangab Wiranto atas tragedi Semanggi dan lainnya, menjadi isu
SARA. Jadi kerusuhan ini di duga adalah skenario, upaya untuk mengalihkan dari
konflik vertikal (Pemerintah vs Masyarakat) menjadi konflik horizontal (Rakyat
vs Rakyat). 43
Berkaitan dengan catatan peristiwa-peristiwa konflik dan kekerasan dalam
hubungan antar Agama Islam-Kristen. Khususnya pada kasus pengrusakan
gedung Gereja. Richard M. Dauly mengkaji tentang dua masalah pokok
pergulatan Kekristenan dalam konteks perkembangan perpolitikan di Indonesia
pada Era Reformasi, antara lain: sikap intoleransi dan pengingkaran terhadap
kebebasan beragama dan politik Syariat Islam dan diskriminasi.44
Untuk itu, menurut Van Klinken,45
konflik atau kekerasan kolektif (konflik
komunal) dalam episode-episode sejarah Indonesia –Sebelum Orde Baru hingga
pasca Orde Baru atau pada masa pergantian rezim politik Soekarno ke Soeharto
hingga Soeharto ke Reformasi- dironai dengan masalah-masalah ideologi politik
bangsa atau kelas yang berbaur dengan identitas-identitas etnis atau religious.
43
PGI Mengeluarkan surat pernyataan keprihatinan atas peristiwa ini, sambil meminta
pemerintah agar mengusutnya dengan tuntas. Lih. Sairin Weinata(peny), Pesan-pesan Kenabian
di Pusaran Zaman. (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2002),171-172 44
Lht. Richard M. Daulay, Agama dan Politik di Indonesia: Umat Kristen di Tengah
Kebangkitan Islam. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015),1-16. 45
Gerry. Van Klinkel. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokrasi Di Indonesia.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007),1-9.
27
Khusus pada masa pasca Orde Baru pertarungan-pertarungan yang terjadi hampir
sepenuhnya berdasarkan identitas-identitas komunal tersebut.
2. Defenisi, Jenis, Penyebab,Dampak, dan Proses Konflik.
2.1. Defenisi Konflik
Cummings, P. W46
mendefenisikan konflik sebagai suatu proses interaksi
sosial di antara dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau
bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka. Oleh S. T. Alisyabana, aspek
perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat
juga dilihat sebagai konflik47
.
Selain aspek perbedaan pendapat dan pandangan, seperti yang dikatakan
kedua ahli diatas, adapun menurut Stoner dan Wankel konflik organisasi adalah
ketidaksesuaian antara dua orang anggota organsisasi yang timbul karena fakta
bahwa mereka harus berbagi dalam hal mendapatkan sumber –sumber daya yang
terbatas, atau aktifitas-aktifitas pekerjaan, dan atau karena fakta bahwa mereka
memiliki status, tujuan, nilai-nilai atau persepsi yang berbeda.48
Menurut Wahyudi, konflik dari prespektif interpersonal atau dalam lingkup
organisasi atau masyarakat yang majemuk adalah sebuah kondisi wajar manakala
ada saling berbenturan kepentingan di antara anggotanya.49
Senada dengan itu,
Wirawan mendefisinikan konflik sebagai proses pertentangan yang diekspresikan
di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik,
menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran
konflik.50
Berdasarkan pemikiran para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa konflik
merupakan salah satu realitas esensial dari kehidupan dan perkembangan manusia
sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial
dan ekomoni, sistem hukum bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik,
46
P.W. Cummings, “Open Management: Guides to Succesful Praktice”, dalam Manajemen
Konflik Organisasi Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner , Editor:Wahyudi. (Bandung: CV.
Alfabeta. 2011),16 47
S.T. Alisjahbana, Antropologi Baru. (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986),41 48
Wahyudi, Manajemen Konflik… (2011),18 49
Wahyudi, Manajemen Konflik… (2011),16 50
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Salemba Humanika,
2010),5-7
28
serta budaya dan tujuan hidupnya. Perbedaan-perbedaan atau keberagaman
tersebut merupakan identitas yang di bawa individu atau kelompok dalam proses
interaksinya dengan pihak lain dapat menimbulkan pertentangan.
2.2. Jenis-jenis Konflik
Konflik memiliki banyak jenis dan dapat dikelompokan berdasarkan berbagai
kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat dikelompokan berdasarkan latar terjadi
konflik, pihak-pihak yang terkait dalam konflik dan substansi konflik:51
2.2.1. Konflik menurut bidang kehidupan: Konflik bidang kehidupan adalah
objek konflik. Sering berdiri sendiri atau saling kait mengaitkan. Contoh,
konflik sosial yang sering kali tidak hanya oleh perbedaan suku, ras, atau
kelompok sosial tetapi disebakan oleh kecemburuan ekonomi, kehidupan
politik dan perbedaan agama. Oleh karena itu sering sulit membedakan
suatu fenomena konflik apakah merupakan konflik sosial, konflik politik,
atau konflik ekonomi. Maka sejak merdeka bangsa dan negara Indonesia
mengalamai berbagai jenis konflik. Berikut adalah contoh konflik
multidimensional yang melandai bangsa Indonesia:52
1. Konflik ekonomi. Konflik ekonomi adalah konfilk yang terjadi karena
perbutan sumber-sumber ekonomi yang terbatas. Seperti, sengketa batas
tanah antara warga dan perusahaan perkebunan, antara warga dengan warga
yang lain; perebutan wilayah pasar oleh para pedagang pada satu daerah.
2. Konflik politik. Konflik politik adalah konflik yang terjadi karena pihak-
pihak yang terlibat konflik berupaya mendapatkan dan mengumpulkan
kekuasaan yang sama pada jumlahnya yang terbatas dan menggunakan
kekuasaan untuk mencapai tujuan atau ideologinya.
3. Konflik agama. Konflik agama adalah konflik diantar pemeluk, bukan konflik
diantara ajaran atau kitab suci agama. Terdapat banyak jenis konflik agama,
salah satunya yakni: konflik antara individu atau komunitas yang menganut
agama yang berbeda. Konflik ini sering menimbulkan konflik fisik dan
kekerasan, seperti perang salib. Ada juga konflik agama yang terjadi karena
pemanfaatan agama untuk tujuan tertentu. Agama dijadikan alat untuk
mencapai tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu kelompok atau
51
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010), 55-93 52
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010), 62-105
29
individu tertentu. Dalam bidang politik, agama dijadikan sebagai ideologi dan
simbol partai untuk mencapai kekuasaan partai: berikut akan dikemukakan
contoh kasus konflik di antara pemeluk agama.
4. Konflik Sosial. Konflik sosial adalah konflik yang dilatarbelakangi oleh
berbagai faktor. Pertama, karena masyarakat terdiri atas sejumlah kelompok
sosial mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain: konflik kelas-
kelas sosial. Kedua, kemiskinan bisa menjadi pemicu terjadinya konflik
ketika ada ketimpangan antara jumlah orang miskin dan orang kaya, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Ketiga, karena migrasi
manusia dari suatu tempat ke tempat yang lain. Orang yang bermigrasi adalah
orang yang ingin memperbaiki kehidupannya: perdagangan, pekerjaan. Pada
konteks ini, konflik sering terjadi antara para imigran dan penduduk asli suatu
daerah. Keempat, konflik sosial terjadi karena kelompok mempunyai
karakteristik dan perilaku yang inklusif. Kelompok-kelompok sosial tersebut
saling terpisah dan ingin mendominasi kehidupan politik, ekonomi dan
kemasyarakatan. Perpisahan ini menimbulkan prototype, prasangka, stigma
dan curiga atau kecemburuan satu antar yang lain.
Salah satu contoh konflik sosial, yakni: Konflik Maluku. Konflik Maluku
merupakan konflik horizontal yang menimbulkan banyak korban jiwa,
rusaknya fasilitas pemerintah, sekolah, rumah penduduk serta terjadi dalam
kurun waktu lama. Konflik kecil terjadi antara warga Kristen-Muslim telah
terjadi semenjak tahun 1995, dan secara terbuka tahun 1999, 2005. Konflik
ini terjadi secara sporadis, bersifat multidimensi, meliputi konflik politik,
konflik sosial, konflik ekonomi, konflik agama, dan konflik budaya. Oleh
karena itu, faktor penyebabnya beragam: Politik. Pencalonan dan pemilihan
kepala daerah yang nepotisme, gerakan separatism RMS. Ekonomi,
penduduk Maluku terdiri dari berbagai suku/ras. Penduduk Maluku, orang
bugis, buton, makasar, cina, arab, dan jawa. Orang pendatang menguasai
perdagangan, ini menimbulkan kecemburuan ekonomi.
Konflik yang terjadi makin memiskinkan sebagian besar warga Maluku.
Agama, Maluku sebelum konflik merupakan pemeluk yang hidup rukun dan
toleransi. Konflik didorong oleh sentiment agama. Kemiskinan, yang
30
bersumber pada penurunan harga cengekh dan pala. Kemiskinan disebabkan
oleh rendahnya jiwa berwirausaha generasi muda. Keterlibatan TNI dan Polri.
Ada kecenderungan TNI membela kelompok-kelompok yang bertikai
berdasarkan hubungan keluarga dan agama. Premanisme, sering kali konflik
terjadi antar kelompok preman maupun individu. Pada akhir November 1999
sejumlah preman Maluku pulang ke Ambon karena kasus bentrok ketapang
Jakarta. Di ambon mereka kemudian ikut memicu konflik. Laskar Jihad, Jilid
satu dipimpin oleh Jafar Umar Talib, yang dibentuk FKAW untuk membantu
umat Islam di Poso dan Ambon yang diserang oleh kelompok FKM dan
untuk mempertahankan NKRI. Mereka membentuk pusat pelatihan militer di
sejumlah kota di Indonesia. Ketika terjadi konflik di Poso dan Ambon,
mereka dikirim. Ada juga jemaah Islamiah yang membangun dan membiayai
kekuatan para militer di Poso dan Maluku untuk mempertahankan umat
Islam. Memudarnya pelaksanaan dan norma adat: pela gandong, masohi dan
badati. Penegakan hukum. Karena lemahnya penegakan hukum. Pada awal
reformasi, terjadi reformasi TNI dan Polri yang sebelumnya merupakan suatu
kesatuan dalam ABRI. Perubahan tersebut menurunkan kemampuan dan
koordinasi dalam penegakan hukum.
2.3. Penyebab Konflik
Menurut Wirawan,53
Konflik dapat terjadi secara alami karena adanya
“kondisi objektif”. Misalnya, keterbatasan sumber; tujuan yang berbeda; saling
tergantung atau interdependensi tugas; diferensiasi organisasi; sistem imbalan
yang tidak layak; komunikasi yang tidak baik; perilaku yang tidak manusiawi,
melanggar hak asasi manusia dan melanggar hukum; beragam interaksi sitem
sosial: perbedaan agama, suku, ideologi; pribadi orang: egoism, curiga, berpikir
negatif, kurang dapat mengendalikan emosi, ingin menang sendiri.
Berkaitan dengan kondisi objektif sebagai penyebab konflik seperti yang
dibahasakan wirawan, Alo liliweri mencatat kondisi-kondisi yang memungkinkan
terjadinya konflik, yakni: ada sejumlah individu atau kelompok yang merasa
bahwa mereka dipisahkan, dibedakan, dianaktirikan dari suatu kebersamaan; tidak
53
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010),7-14
31
ada interaksi antar anggota kelompok. Interaksi mengandalkan kontak dan
komunikasi; ada perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok; ada
kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya yang membuat
banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya
tersebut; karena ada suatu perbedaan yang menyulut ketidaksepakatan dalam
mengambil keputusan bersama antara dua pihak.54
2.4. Dampak Konflik
Konflik mempunyai pengaruh atau berdampak positif dan negatif bagi
kehidupan manusia baik secar aindividu maupun kelompok. 55
Dampak positif,
yakni menciptakan perubahan, misalnya, antara penjajah dan bangsa yang dijajah,
antara ras menciptakan pesamaan hak, konflik dengan orde lama dan baru, baru
dan reformasi; membawa objek konflik kepermukaan; memahami orang lain lebih
baik, memahami adanya perbedaan pendapat, pola pikir, dan karakter;
menstimulus cara berpikir kritis dan meningkatkan kreativitas; konflik
menyebabkan revitalisasi norma.
Sedangkan Pengaruh negatif, yakni seperti menurunnya produktifitas karena
hilangnya jam kerja, penurunan kesehatan fisik dan jiwa; merusak hubungan
komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik; menciptakan rasa tidak
tenang, marah, benci, antipasti dan agresi terhadap lawan konflik; merusak sistem
organisasi; kerusakan sistem menciptakan sinergi negatif; menurunkan mutu
pengambilan keputusan karena kebuntuan diskusi, fitnah, agresi, sabotase dan
hilangkanya rasa saling percaya.
2.5. Proses Konflik
Menurut wirawan, konflik merupakan proses yang berawal dari adanya
sesuatu yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik-objek konflik-sampai
terjadinya solusi. Proses konflik terdiri dari beberapa fase. Fase-fase tersebut
antara lain: Pertama, penyebab konflik. Pada fase ini, perbedaan tujuan terjadi.
Atau tujuan sama, tetapi perbedaan untuk mencapai tujuan tersebut. Kelangkaan
54
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural.
(Yogjakarta: LKIS, 2005), 256-261 55
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…,(2010),109-110
32
sumberdaya terjadi, seperti anggaran, seumberdaya manusia dan alam terbatas.
Terjadi kompetisi dan perbutan sumberdaya dan kemudian menciptakan konflik.
kedua, laten atau tidak terlihat. Pada fase ini, penyebab konflik telah ada.
perbedaan pendapat telah terjadi. Akan tetapi pihak-pihak yang terlibat konflik
diam saja dan belum mengekspresikannya. Konflik belum disadari.
Ketiga, pemicu. Pada fase ini, masing-masing pihak telah mengekspresikan
pertentangan mereka. Ekspresi tersebut merupakan pemicu konflik secara terbuka.
Ekspresi pertentangan berupa: sikap, perilaku dengan menggunakan kata atau
tulisan. Konflik terbuka dan menyadarkan masing-masing pihak akan konflik
tersebut. Masing mencari asal-usul, menentukan posisi dalam konflik, dan
menentukan strategi untuk menghadapi lawan konfliknya. Dalam fase ini terjadi
proses diferensiasi (menyadari perbedaan diantara keduanya. Masing-masing
pihak menganalisis posisi lawan konfliknya). Kemudian menyusun strategi dan
taktik konflik untuk melakukan interaksi konflik.
Keempat, eskalasi. Konflik tidak terselesaikan, perbedaan pendapat semakin
tajam sehingga kedua pihak akan mengalami frustrasi karena tidak dapat
mencapai tujuannya. Masing-masing mengembakan polarisasi. Konflik yang
awalnya konflik interpersonal kemudian berubah menjadi konflik personal
diantara individu atau kelompok yang menjadi aktor dalam konflik. Sikap negatif
terhadap lawan konflik semakin membesar. Masing-masing merasa dirinya yang
benar dan lawannya yang salah. Kekuasaan mulai digunakan untuk mendesak
posisi lawannya.
Kelima, krisis. Jika fase eskalasi tidak menghasilkan solusi, konflik
meningkat menjadi fase krisis. Ciri-ciri fase ini, antara lain: Konflik membesar
dan sering kali melibatkan pihak lainnya yang memihak salah satu pihak yang
terlibat konflik. ; Konflik menjadi emosional dan irasional; Norma dan peraturan
tidak berlaku; Pihak yang merasa kuat melakukan agresi; Pihak yang terlibat
konflik berusaha menghancurkan lawannya dan memenangkan konflik dengan
konsekuensi apapun.
Keenam, resolusi konflik. Pada fase ini terjadi salah satu fenomena: diantara
pihak yang terlibat konflik tidak ada yang menang atau tidak ada yang kalah.
Keduanya akan kehabisan energi. Konflik akan berhenti sementara dan
33
kemungkinan akan terjadi lagi. Terjadi solusi dengan cara mengatur sendiri atau
melalui pihak ketiga. Ketujuh, pasca konflik. Pada fase ini terjadi beberapa
kemungkinan antara lain: Hubungan antar pihak sedikit demi sedikit kembali
harmonis dan membaik. Terjadi win & win solution sehingga ada kepuasan.
Apabila solusi ini diikuti dengan kembalinya saling membutuhkan dan saling
percaya, maka hubungan akan menjadi harmonis kembali; Hubungan antar pihak
kembali renggang. Apabila tidak ada kepuasaan antara pihak-pihak yang terlibat.
3. Manajemen Konflik
3.1. Defenisi dan Tujuan Manajemen Konflik
Wirawan, mendefenisikan manajemen konflik sebagai proses pihak-pihak
yang berkonflik menyusun strategi konflik dan diterapkan untuk mengendalikan
konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan56
. Senada dengan Wirawan,
Otomar J.Bartos dan Paul Wehr Manajemen konflik adalah proses setiap pihak,
termasuk pihak ketiga, untuk menggunakan keahlian dan pengetahuan untuk
menciptkan strategi konflik yang tepat57
. Jadi manajemen konflik merupakan
proses penyusunan strategi konflik yang dilakukan bersama keduabelah pihak
atau pihak ketiga sebagai rencana untuk menangani atau menyelesaikan konflik.
Adapun menurut Ross, manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang
diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan konflik kearah
hasil-hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketegangan,
hali positif, kreatif, bermufakat, kerjasama dan pemecahan masalah (dengan atau
tanpa pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak pihak ketiga. Suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik meunjukan pada
pola komunikasi (termasuk perilaku) dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.58
Jadi sebagai langkah penanganan
konflik, manajemen konflik yang efektif dapat mengarah pada penyelsaiannya
atau sebaliknya tidak efektif maka konflik tidak dapat terselesaikan.
56
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik.. . (2010),129-134 57
Lht. Novri Susan, Penghantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009),123 58
Marc. Howard Ross, The management of conflict: interpretations and interest in comparative.
(Yale University Press. 1993), 3
34
Sementara, tujuan manajemen konflik menurut wirawan antara lain,
mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada
visi, misi dan tujuan organisasi atau kelompok; memahami orang lain dan
menghormati keragaman; meningkatkan kreatifitas; meningkatkan keputusan
melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut
pandang; memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman
bersama, dan kerjasama; menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian
konflik.59
Dalam konteks organisatoris, manajemen konflik betujuan untuk mencapai
kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan
meminilakan akibat konflik yang merugikan; pemeliharaan dan meminimalkan
konflik diperjuangkan dalam hubungan yang baik antar pihak-pihak yang
berkonflik.60
Jadi tujuan manajemen konflik dalam pemikiran para ahli diatas
hendak menjelaskan tentang berbagai langkah-langkah positif penuntun kerjasama
pihak-pihak yang berkonflik pada upaya penyelesaian konflik.
3.2. Gaya Manajemen Konflik
Menurut Wirawan, gaya manajemen konflik atau teknik penyelesaian
konflik61
adalah pola perilaku tertentu yang diekspresikan pihak-pihak berkonflik.
Terdapat beberapa gaya manajemen konflik yang telah dikembangkan oleh para
ahli, diantaranya: Teori Grid, Teori Thomas dan Kilmann62
, dan Teori Rahim.
Ketiganya memiliki masing-masing lima jenis gaya manajemen konflik. pertama,
memaksa, konfrontasi, kompromi, menarik diri, mengakomodasi; kedua,
kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar, mengakomodasi; ketiga,dominasi,
integrasi, kompromi, menghindar, menurut. Salah satu jenis yang sama terdapat
dalam ketiga teori tersebut, yakni kompromi, dengan mencari alternatif titik
tengah yang memuaskan sebagian keinginan dan tujuan masing-masing pihak.
59
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010), 147,173 60
Pemikiran-pemikian terkait tujuan manajemen konflik ini di kemukakan oleh R. E. Walton
dan Hardjana yang dapat dilihat dalam Wahyudi Manajemen Konflik…. (2011), 48 61
Hendrik,W dalam Wahyudi, Manajemen Konflik.. . (2011),61 menyamakan istilah teknik
penyelesaian konflik dengan gaya (Style) manajemen konflik yang dapat diterapkan dalam
penyelesaian konflik. 62
Lht. Wahyudi Manajemen Konflik... (2011), 50
35
Sedangkan, kelima jenis gaya manajemen konflik yang dikembangkan dalam
teori Thomas Killmann–Rahim memiliki kesamaan makna hanya saja berbeda
dari segi pengistilahannya. Kompetisi atau dominasi, dengan kekuasaan yang
dimiliki pihak berkonflik hanya berupaya memenuhi tujuan sendiri dan tidak
memperhatikan kebutuhan lawannya; kolaborasi atau integrasi, menciptakan
resolusi konflik -saling memahami permasalahan atau ketidaksepakatan-yang
secara maksimal memenuhi tujuan dirinya sendiri dan tujuan lawannya; menarik
diri63
atau menghindar, tidak mau menghadapi konflik, menolak untuk berdiskusi
mengenai pokok permasalahan konflik yang terjadi. Ia menolak untuk memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri dan kebutuhan lawannya dengan jalan menunda waktu
penyelesaian; mengakomodasi atau menurut, mengkombinasikan perhatiannya
yang tinggi terhadap lawannya dengan perhatiannya yang rendah terhadap
diirinya sendiri.64
Selanjutnya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gaya manajemen
konflik yang digunakan oleh para pelaku konflik. Menurut wirawan, antara lain:65
Pertama, asumsi mengenai konflik, yakni pendapat pihak-pihak yang terlibat
terhadap suatu konflik akan mempengaruhi perilakunya; Kedua: persepsi
mengenai penyebab konflik, atau pandangan terhadap penyebab konflik
menentukan gaya manajemen yang akan dipilih; Ketiga, ekspektasi atas reaksi
lawan konflik. Kesadaran akan reaksi lawan konflik turut mempengaruhi gaya
manajemen konflik; Keempat, pola komunikasi dalam interaksi konflik. Gaya
manajemen juga ditentukan berdasarkan pola komunikasi yang terjadi dalam
interaksi pihak-pihak yang berkonflik.
Kelima, kekuasaan yang dimiliki. Jika pihak yang terlibat konflik memiliki
kekuasaan maka gaya manajemen yang dipilih juga biasanya ditentukan oleh
pihak yang lebih besar kuasanya. Keenam, pengalaman menghadapi situasi
konflik. pengalaman pihak yang terlibat konflik menentukan gaya manajemen
konflik yang berdasarkan konflik yang dihadapi; Ketujuh, Sumber yang dimiliki.
63
Menurut Blake dan Mouton, Pruit, Walton dan Mckersie, dalam Dr. Wahyudi, Manajemen
Konflik…. 2011. Menarik diri merupakan perilaku reaktif yang paling utama dan sering digunakan
individu atau kelompok yang terlibat konflik 64
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik... (2010),138-144 65
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik... (2010),135-136
36
Sumber daya yang dimiliki turut menentukan bagi pihak yang berkonflik meilih
gaya manajemen konflik yang akan digunakan. Kedelapan, jenis kelamin.
4. Resolusi Konflik
Diskursus penyelesaian konflik umumnya telah menghasilkan definisi yang
beragam tentang resolusi konflik (conflict Resolution). Dalam webster Dictionary
menurut Levine, Resolusi adalah rangkaian tindakan yang dimulai dari penguraian
suatu permasalahan, pemecahan, hingga penghapusan atau penghilangan
permasalahan.66
Sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah dalam konflik,
resolusi konflik menurut Weitzman & Weitman, dilakukan bersama oleh pihak-
pihak yang terlibat konflik (solve a problem together).67
Sementara itu, Fisher et
al mendefenisikan resolusi konflik sebagai upaya menangani sebab-sebab konflik
dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara
kelompok-kelompok yang berseteru.68
Berdasarkan pemikiran para ahli diatas,
dapat dipahami bahwa resolusi konflik merupakan serangkain tindakan yang
mengarah pada upaya penyelesaian konflik melalui hubungan kerjasama yang
dibangun oleh pihak-pihak yang berkonflik.
4.1. Metode Resolusi Konflik
Menurut Wirawan, metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik
yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik. Metode resolusi konflik
dapat dikelompokan menjadi: pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat
konflik untuk menyelesaikan konflik, dan atau melalui intervensi pihak ketiga,
melalui pengadilan, proses adminstratif, dan perselisihan alternatif. Khususnya
dalam metode konflik pengaturan sendiri oleh pihak yang terlibat konflik, mereka
menyusun strategi konflik dan menggunakan taktik konflik untuk mencapai tujuan
terlibat konflik melalui saling pendekatan dan negosiasi.69
66
Levine, Webstern Dictionary, 1998,3 67
Deutch Morton & P. T. Coleman, The Handbooks of Conflict Resolution: Teori & Practice.
(San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. 2000), 89 68
Fisher et al. Mengelolah konflik, Keterampilan dan stategi, Resolusi Konflik Berbasis
Kearifan Lokal, (Terj). (Jogjakarta: Global Pustaka Utama, 2001),7 69
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010),177
37
Sementara itu, Hugh Miall, mengungkapkan konsep negosiasi sebagai alat
bagi masing-masing individu atau kelompok menghasilkan suatu kerjasama atau
konsensus. Miall mendefenisikan negosiasi sebagai suatu proses di mana individu
atau kelompok yang bertikai mencari cara untuk mengakhiri atau menyelesaikan
konflik mereka. Proses ini biasanya melalui mediasi yang melibatkan pihak
ketiga.70
Sejalan dengan Miall, menurut Wirawan, dalam proses pengupayaan
penyelesaian sebuah konflik, mediasi juga merupakan salah satu jenis resolusi
konflik alternatif untuk mencapai penyelesaian konflik. Mediasi adalah proses
manajemen konflik yang dilangsungkan melalui negosiasi untuk mencapai
kesepakatan bersama atau sebagai solusi mengenai objek konflik. Mediasi
memerlukan keinginan dan keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik dengan
bantuan mediator (profesional). Negosiasi sebagai sebuah hubungan sementara,
yang didalamnya terdapat tawar-menawar (bergaining) secara sukarela. Negosiasi
dapat dilakukan secara rahasia –hanya diketahui pihak-pihak yang terlibat– atau
secara terbuka –diketahui oleh masyarakat. Terdapat beberapa tujuan spesifik dari
mediasi, antara lain: menciptakan win-win solution; memfokuskan diri lebih ke
mana depan daripada sebaliknya; kontrol hubungan; menyediakan pilihan-pilihan
alternatif penyelesaian konflik; mencari kesepakatan yang memuaskan bersama.71
Pemikiran diatas hendak menjelaskan tentang resolusi konflik sebagai suatu
metode penyelesaian konflik yang berlangsung atas dasar keinginan bersama
pihak-pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi (perundingan antara kedua belah
pihak), dan atau melalui mediasi (perundingan antar kedua pelah pihak dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral) membangun kesepakatan atau konsensus
bersama. Dengan demikian, maka sebuah penyelesaian konflik merupakan sebuah
kesepakatan bersama antar pihak-pihak yang berkonflik melalui proses negosiasi
dan mediasi.
70
H.Miall, dkk.“Resolusi Damai Konflik Kontemporer:menyelesaikan, mencegah, mengelolah,
dan mengubah konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras.(Jakarta:PTRaja Grafindo
Persada, 2002),31-32 71
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…,(2010),201-202.
38
4.2. Rekonsiliasi
Dalam kamus bahasa Indonesia, rekonsiliasi (to reconsile) merupakan upaya
membangun kembali hubungan erat yang menenangkan, membereskan,
menyelesaikan dan membawa seseorang untuk menerima. Rekonsiliasi juga
berarti perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula.72
Dalam manajemen konflik, rekonsiliasi merupakan proses resolusi konflik yang
mentransformasi ke keadaan sebelum terjadinya konflik, yaitu keadaan kehidupan
yang harmonis dan damai.73
Berkaitan dengan model resolusi konflik, secara khusus rekonsililiasi,
Menurut Wirawan merupakan proses tua yang berakar pada agama dan adat
istiadat masyarakat.74
Ia mencontohkan masyarakat yang berbudaya islam, dimana
rekonsiliasi terdiri atas beberapa ritual antara lain sebagai berikut: Fase pertama
sulh. ritual memilih muslihs atau mediator yang dihormati keduabelah pihak.
Kedua belah pihak mengakui telah terjadi perbuatan kriminal. Fase kedua
Musalaha. Muslihs bekerja untuk menciptakan situasi yang saling memaafkan
dan menyelesaikan. Kedua belah pihak wajib menghormati masyarakat (baik
individu maupun komunal) bahkan ketika terjadi kejahatan. Fase ketiga
rekonsiliasi. Ritual masyarakt dilakukan sehingga membawa masyarakat yang
bersatu sebagai jaminan pemberian maaf. Model rekonsiliasi yang berbasis pada
adat istiadat sebagai penyelesaian konflik mengingatkan kita tentang karakter
bangsa Indonesia sebagai yang memiliki keberagaman budaya. Setiap budaya
memiliki kearifan lokal (local wisdom) sendiri dalam menyikapi permasalahan
hidup, termasuk didalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik.75
Selanjutnya, dalam studi konflik dan perdamaian, Johan Galtung membagi
perdamaian menjadi dua tipe: positif dan negatif peace. Positif peace adalah
keadaan dimana tidak adanya kekerasan langsung di tingkat struktural, sedangkan
72
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) 73
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…. (2010),197 74
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…. (2010),195. 75
Konjtaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Penerbit Djambatan,
1993),31
39
negatif peace adalah keadaan ketika kekerasan yang terjadi secara langsung sudah
tidak ada lagi.76
Oleh Yulius Hermawan, kedua tipe perdamaian dalam pemandangan Galtung,
dijabarkan kedalam tiga tahap proses penyelesaian konflik, antara lain:77
Pertama:
Peacekeeping, adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan
melalui intervensi militer78
yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian
yang netral. Kedua, Peacemaking, adalah proses yang tujuannya mempertemukan
atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui
mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Ketiga,
Peacebuilding, adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial,
politik, dan ekonomi (perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan
ketidakadilan, kecemburuan, kesenjangan, kemiskinan dsb) demi terciptanya
perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative
peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana
masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi dan
keterwakilan politik yang efektif.
76
Johan Galtung and Carl G. Jacobsen, Searching for Peace: The Road to TRANSCEND, (Pluto
Press: London, 2000). 77
Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan
Metodologi, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007), 93 78
Lht. Jhon. Galtung. “Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and
Peacebuilding””. In Editor, J. Galtung. Peace, War and Defence: Essays in Peace Research.
(Copenhagen: Christian Ejlders, 1976),284-288, Ia meneliti tentang pola-pola intervensi PBB
selaku pihak ketiga dalam penanganan konflik struktural, peran militer sebagai peacekeeping
cenderung bersifat memihak. Namun tidak sertamerta Galtung menolak pendekatan ini, baginya,
peacekeeping dapat efektik menghentikan konflik horizontal ketika peacekeeping bisa mengambil
posisi seperti dinding perbatasan antara kedua belah pihak yang berkonflik dengan menolak
kekerasan dari dalam.
40
B. PELA GANDONG
1. Sejarah pembentukan dan Pemaknaan Pela Gandong
Ikatan pela hanya dapat di Maluku Tengah mencakup wilayah pulau Ambon
dan pulau-pulau lease (Saparua, Nusa Laut, Seram). Dieter Bartles membuat
suatu rekonstruksi yang bersifat etnohistoris, dia memulai rekonstruksi tersebut di
masa sebelum ekspansi Islam ke Maluku Tengah, dari suatu masa yang disebut
“masa perburuan kepala manusia“, kemudian masa ekspansi Islam lau berakhir
pada waktu bercokol orang Belanda di Maluku.79
Hubungan pela yang dibangun di Maluku Tengah dalam rekonstruksi Bartles,
dikembangkan oleh John Chr. Ruhulessin80
. Ia membagi tahap-tahap
pembentukan pela dalam 3 Fase, yaitu: sebelum masuknya Islam Kristen; masa
masuknya Islam-Kristen dan sesudah masuknya Islam Kristen; masa sesudah
masuknya kolonialisme Protugis dan Belanda. Kronologis ketiga fase tersebut,
sebagai berikut:
1.1.Masa sebelum masuknya Islam.
Asal mula Pela di Maluku Tengah berkaitan dengan kehidupan sosial yang
berkembang di masyarakat Nunusaku di Pulau Seram. Perkembangan kehidupan
sosial masyarakat Nunusaku yang dari satu segi mengalami pertumbuhan
penduduk yang mengakibatkan keterbatasannya ketersediaan dan pengelolaan
sumberdaya alam. Perkembangan tersebut mengakibatkan perpecahan dan terjadi
migrasi kelompok suku, selain ke daerah timur maupun barat pulau itu, juga ke
arah Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease. Proses migrasi cenderung
mengakibatkan peperangan antar kelompok (Patasiwa dan Patalima) bahkan
internal kelompok sebagai upaya untuk mempertahankan diri dan perebutan
wilayah kekuasaan.81
79
Dieter, Bartels. Guarding the Invisibles Mountain; Inter-village Alliences, Religious
Syncretism and Ethnic Identity Among Ambonese Christian and Moslems In The Moluccas.
(Ithaca: Cornell University (Ph. D. Dissetation),24 80
John.Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. (Salatiga: Satya
Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007),155-170 81
C.M.Pattiruhu dkk. Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon, Ambon: Lembaga
Kebudayaan Daerah Maluku, 1997, 8. Salah satu contoh perpecahan internal (serumpun) yang
terjadi yakni dalam rumpun Patasiwa: Patasiwa Putih dan Patasiwa Hitam. Untuk mengantipasi
perpecahan tersebut maka dibentuklah Lembaga Pendidikan Kakehang. Peperangan sering diatasi
dengan Ikrar atau perjanjian yang selalu disertai dengan nyanyian atau “Kapata” yang hidup di
41
Cerita tentang pemisahan yang terjadi dalam wilayah Pulau Seram itu sering
dikaitkan dengan tiga batang Air Tala Eti Sapalewa. Tempat ini menjadi tempat
terpisahnya adik dan kakak. Contohnya, adik-kakak sekandung yang memutuskan
tinggal berpisah, sebagian di Seram, Saparua, pulau Ambon. Begitu juga antara
adik-kakak sekandung (berbeda ayah) yang memutuskan tinggal di pulau Ambon
dan di Nusa laut. Faktor yang berfungsi menyatukan mereka terletak pada
kesadaran mengenai ikatan genealogis (satu nenek moyang) dan teritorial (pernah
menetap pada satu tempat). Dengan demikian, maka jenis hubungan pela yang
menonjol terbangun pada masa ini dapat dipahami sebagai ikatan persaudaraan
antar negeri-negeri (terpisah secara teritorial) namun berasal dari satu nenek
moyang.
1.2.Masa masuknya Islam-Kristen.
Pada masa ini, hubungan pela antar dua negeri yang pertama-tama terbentuk
yakni antara negeri Passo dan Batu Merah. Pembentukannya terjadi pada masa
pemerintahan kerajaan Ternate yang pada saat itu telah berhasil membangun
kekuasaannya hingga mencapai sebagian pesisir pulau Ambon. Ikatan tersebut
dimulai ketika kora-kora (perahu) milik orang Passo mengalami kecelakaan
sehingga hampir menenggelamkan orang serta isinya. Pada saat itu datang
bantuan dari orang Hatukau (Batu Merah) sehingga mereka (Passo)
terselematkan. Semenjak itulah diangkat janji disertai sumpah yang mengikat
keduanya sebagai orang yang berpela. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
latar belakang terbentuknya hubungan pela pada masa ini secara khusus bukan
karena faktor geneologis melainkan oleh adanya sebuah peristiwa penting yang
dialami bersama antara negeri yang berpela.
1.3. Masa setelah Pemerintahan VOC.
Hubungan pela yang terjadi antara negeri Waai dan Kaibobu82
; Hatuhaha
(Pulau Haruku) dan Tuhaha (Pulau Saparua); Hatuhaha dan Oma; Hatuhaha dan
Pulau Seram yang selanjutnya menjadi prototype dari pela gandong. Implementasi makna
perjanjian pela ditandai dengan saling berpeluk atau berciuman dengan mengosokan hidung (antar
wanita) atau saling menepuk bahu sebagai tanda saling mengasihi dan akrab dalam persaudaraan
sekandung dan persahabatan sejati. 82
C.M. Pattiruhu dkk. Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon... (1997),83-84
42
Tihulale. Hubungan pela terbangun pada masa berlangsungnya perang Hongi
(abad 17-18) yang bergerak dan beroperasi pada wilayah sekitar seram-Leihitu di
pulau Ambon. Diperparah dengan hadirnya para bajak laut orang Tobelo yang
melakukan perampokan barang dan manusia untuk dijadikan budak. Hal tersebut
tidak menguntungkan bagi masyarakat Kaibobu di pesisir pulau Seram Barat yang
sebagian besar nelayan. Untuk menghadapi persoalan itu, Raja Kaibobu
memutuskan untuk meminta bantuan dari VOC agar dibangun sebuah pos
keamanan di daerah pesisir. Di situlah Raja Waai membantu dengan
mempertemukan Raja Kaibobu dengan Pihak VOC di Benteng Victoria (Kota
Ambon). Atas kebaikan budi itu maka Kaibobu mengangkat Waai sebagai
saudara-pelanya.
Lebih lanjut, Pattiruhu, C.M (et al) memberikan catatan tambahan bahwa
pada masa VOC ini, terbentuk juga pela antara negeri akibat perlawanan terhadap
VOC sendiri. Misalnya, pela antara Ema dan Ameth; Iha (Islam) dan Samasuru
(Kristen). Dikisahkan bahwa ketika penduduk Iha terhalau oleh Belanda, mereka
melarikan diri ke Seram. Akan tetapi di sana mereka menghadapi penduduk
Seram. Hanya dengan batuan orang Samasuru, orang Iha diselamatkan.83
Selain itu, pada rentanan abad ke-20 juga terbangun hubungan pela: Galala
(Negeri Kristen) dan Hitu Lama (Negeri Islam) di tahun 1959. Relasi pela ini
dibangun karena kebiasaan bekersajama antara raja dan masyarakat kedua negeri.
Ada juga, hubungan pela yang terbangun antara beberapa negeri, di Ambon
dengan negeri-negeri di pantai Seram. Hubungan ini terbangun karena situasi
ekonomi yang memburuk di kalangan para penduduk Maluku Tengah. Ambon
menjadi wilayah kekurangan makanan, terutama sagu. Sedangkan Seram
memiliki kelimpahan makanan, dan pohon sagu sehingga melalui saling
membantu, bergotong royong maka hubungan pela terbangun.
Selanjutnya, ada juga hubungan pela yang terbangun atas motif kemanusiaan:
cinta. Misalnya, negeri Nolot (di Pulau Saparua) dan Haruku. Dikisahkan, bahwa
pada suatu saat bekas Raja Nolot berangkat ke Tulehu. Di tengah jalan, jangkar
perahu Nolot terputus. Karena itu, perahu Nolot singgah di Haruku untuk
meminjam jangkar. Raja haruku mengabulkan permintaan mereka. Raja Nolot
83
Dieter, Bartels. Guarding the Invisibles Mountain…(1977),134-218
43
kemudian jatuh cinta pada puteri Raja Haruku. Sekembali dari Tulehu, raja Nolot
singgah di Haruku dengan alasan ingin mengembalikan jangkar yang
dipinjamnya. Pada saat itu raja Nolot menyampaikan isi hatinya pada raja Haruku.
Kedua orang itu kemudian diizinkan menikah. Tetapi belum ditentukan kepastian
tanggal menikahnya, dan ketika bekas raja Nolot itu datang kembali ke Haruku
untuk menikah, tetapi ternyata puteri raja Haruku telah meninggal. Karena
cintanya yang luar biasa, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan upacara
pernikahannya sekalipun dengan mayat. Tekad ini yang menyatukan kedua
negeri, Nolot dan Haruku dalam ikatan hubungan berpela.
Perlu disampaikan pula, terkait dengan hubungan pela yang mengakomodasi
penganut agama berbeda (Islam-Kristen). Dalam sejarah pela negeri Booy, Aboru,
Kariuw, dan Huakoy, yang terbangun sebelum masuknya agama ke negeri-negeri
ini, dan berkembang sampai saat masuknya agama ke Maluku. Persaudaraan
natara negeri-negeri ini berawal dari migrasi di Nunusaku. Moyang mereka
bersaudara dan saat migrasi terjadi, mereka melakukan perjalanan bersama
menelusuri air (sungai) Tala dan tinggal di Wae Tuni. Karena kurang betah,
mereka pindah ke daerah selatan, menetap di dusun Wae Lei. Migrasi tetap
mereka lakukan ke desa-desa lainnya, dan akhirnya tiba di Nunu Hatu. Di tempat
itu, mereka berpisah, dan sebelum itu mereka bersumpah “Kapala Soka, Nusa
Soka Mo Tasio Kusue, Nusa Kusue Mo“, artinya “Meskipun kami berpisah ke
berbagai tempat seperti kapal berlayar, namun persekutuan persaudaraan tetap
utuh bagaikan sebuah pulau di tengah samudera“.
Ikatan pela keempat negeri ini semakin mengental sejak peristiwa perang
Mosol Amaika (±14). Amaika (negeri Islam) adalah nama sebuah negeri yang
terletak di pedalaman bagian timur pulau Haruku. Negeri ini merupakan salah satu
pusat perdagangan yang strategis di pulau Haruku; tempat penukaran hasil Hutan:
rotan, damar antara orang pribumi dengan pedagang dari China, dan juga dengan
pedagang dari kepulauan Banda yang beragama Islam.
Peperangan saat itu disebabkan karena beberapa hal seperti, perampokan,
pembunuhan, dan ancaman kekerasan yang sering dilakukan orang-orang Amaika
terhadap orang-orang kariuw dan Aboru. Panglima perang negeri Aboru menahan
gempuran pasukan Amaika. Tetapi karena kesaktian panglima Amaika, maka
44
panglima Aboru meminta bantuan dari ketiga saudaranya, yaitu: Kariuw, Booy,
Hualoy. Mereka berkumpul dan mengatur strategi perang mereka. Akhirnya
panglima Amaika berhasil dibunuh panglima Aboru. Seluruh penduduk kota
Amaika dibunuh, dan semua bangunan dibakar habis.
Aspek yang menonjol yang mewarnai hubungan pela di Maluku Tengah
hingga saat ini adalah kerjasama untuk membangun rumah ibadah milik anggota
dari saudara pela. Dari pengalaman itu, ditemukan bahwa hubungan Islam dan
Kristen di Maluku bersifat ambigu: satu sisi hormanis dan tidak harmonis.
Ketidak harmonisan diperparah dengan konteks masuknya penjajah belanda yang
melanggengkan pola-pola hubungan yang tidak saling menghormati. Sisa-sisa
dari hubungan seperti itu telah mengatur hubungan Islam dan Kristen di Maluku
dalam kemelut sejarah yang kelam dan suram.
Berdasarkan tinjauan perkembangan hubungan pela, ditemukan bahwa
sesungguhnya esensi dari pela ini menerangkan hubungan antar saudara yang
terbatas pada klan atau suku terkait. Latar belakang pemahan ini menimbulkan
persekutuan pela di mana jumlah anggota-anggota dikenal dengan dengan bi-
negeri dan multi-negeri.84
Persekutuan bi-negeri terbentuk karena konteks tertentu
seperti perang dan saling menolong tanpa faktor kedekatan geneologi. Sedangkan
persekutuan pela multi-negeri cenderung memiliki latar belakang mengenai
hubungan-hubungan geneologi.
Nilai dari persekutuan itu dihidupi dan tampak dari tindakan mereka yang
saling membantu untuk menyelesaikan persoalan masing-masing. Aspek lain yang
penting juga adalah makna dari pela sebagai saudara menempatkan masing-
masing anggota pela dalam posisi yang setara, harus dihormati, saling
membutuhkan (mutual). Tindakan kepada orang lain diartikan sama dengan
terhadap dirinya sendiri.
2. Pela Gandong Dalam Tatanan Struktur Sosial Masyarakat Ambon
F.Sahusilawane mengelompokan susunan masyarakat Ambon (Pulau Ambon)
berdasarkan ukuran geneologis atau keturunan dan ukuran teritorial atau
84
Lht. C.M. Pattiruhu, dkk, Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon… (1997),25-26.
Persekutuanan bi-negeri antara lain: perserikatan Halong, Hitu, Hukurila-Kilang. Dan persekutuan
multi-negeri: antara Tulehu, Tial, Asilulu, Hulaliu, Paperu, SIla dan Laimu.
45
kedaerahan. Kedua ukuran ini memang real ada dalam masyarakat adat pada
negeri-negeri di Ambon. Berasaskan geneologis dan teritorial masyarakat adat
pada negeri-negeri tersusun atas beberapa wilayah hukum adat menurut besar-
kecil dan luas kedudukannya yang tergabung atau terpisah. Masing-masing
hukum adat wilayah itu yakni, hukum adat wilayah rumatau, uku, soa, hena,
aman, negeri, uli serta Pela Gandong.85
2.1. Masyarakat Adat Pela
Menurut Ruhulesin86
, sekurang-kurangnya terdapat tiga pengertian mengenai
kata Pela. Pertama, dalam lingkungan kebahasaan daerah Uli Hatuhaha di pulau
Haruku (Pelauw, Kailolo, Kabauw, Ruhumoni dan Hulaliu) kata pela berarti
“sudah“, dan dalam lingkungan kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon
(Tulehu, Tengah-tengah dan Tial), Pela berarti “cukup“. Ada juga Istilah “Pela
nia“ yang berarti “sampe jua“ (atau “berhentilah“). Biasanya hubungan pela yang
muncul dilatari konflik atau perang yang pernah terjadi. Dengan bertolak dari
kedua pengetian tersebut Lestaluhu87
berpendapat bahwa munculnya hubungan
pela disebabkan hancurnya ikatan-ikatan kekeluargaan. Dalam konteks itu pela
dimaksudkan sebagai cara untuk mengakhiri kondisi kehancuran itu.
Kedua, dalam lingkungan kebahasaan masyarakat di Seram kata ini
diaksarakan dengan kata “Peia“ yang menunjuk pada pengertian “saudara“ yang
terambil dari tradisi kakehang. Saudara dalam tradisi kakehang tidak menunjuk
pada suatu hubungan yang didasarkan pada satu hubungan geneologis melainkan
pada keanggotaan suku. Sebuah ikatan yang menyatukan satu dengan yang
lainnya sebagai “orang basudara“. Ketiga. Kata pela berasal dari istilah pela-
laha yang berarti “orang tatua (baca: tua-tua) dulu punya keterkaitan“. Jadi Pela
merupakansuatu yang berasal dari orang orang tua atau leluhur.
Pengormatan terhadap orang tua dalam konsep masyarakat Seram sangat
kuat. Mereka mengaggap apa yang telah dilakukan oleh orang tua (datuk-
datuk)adalah ajaran kebijaksanaan yang bersifat etik. Jadi hubungan pela dalam
85
F.Sahusilawane ,Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong Antara Negeri-negeri Di Pulau Ambon.
(Ambon: Balai Kajian Jarahnita. 2004), 4-12 86
J.Ch. Ruhulesin, Etika Publik… (2007),148-153 87
Maryam R.L.Lestaluhu “Pela Sebagai Perekat Kerukunan Masyarakat Maluku” dalam
Ruhulesin, Etika Publik. . . (2007), 148
46
masyarakat Maluku adalah hubungan yang dihormati karena berasal dari orang
tua. Keempat, dari Bartles, pela didefenisikan sebagai hubungan persahabatan,
atau sistem persaudaraan, atau sistem persekutuan yang dikembangkan antar
seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih.88
Selain itu, Lekahena mengajukan, pengertian kata Pela,Pertama, menurut
Manussama,89
Pela berasal dari akar kata “Ela“ berarti “besar“ atau “sesuatu yang
menjadi besar“. Ada juga yang mengatakan bahwa pela berasal dari kata “Pila“
yang berarti “berbuat sesuatu untuk (kepentingan bersama)“, sering kali kata itu
diberi akhira “tu“ sehingga menjadi “Pilatu“ yang berarti “menguatkan,
mengamankan, mengusahakan agar sesuatu tidak mudah rusak atau pecah“.
Berdasarkan pengertian-pengertian itu, Lekahena menyimpulkan bahwa Pela
berarti “sesuatu yang besar yang diadakan“ dengan tujuan “menguatkan,
mengokohkan“- sesuatu itu agar tidak mudah rusak atau pecah“. Jadi sesuatu yang
dimaksudkan itu adalah ikatan atau persekutuan, karena Pela kenyataannya adalah
hubungan atau ikatan antar negeri. Karena itu, dalam rumusannya, Pela adalah
suatu ikatan persaudaraan antara suatu kelompok masyarakat (negeri) dengan
kelompok masyarakat yang lain, sehingga menjadi suatu kelompok masyarakat
yang besar.
Persekutuan itu dibentuk dengan tujuan membentuk persekutuan yang lebih
besar untuk menjaga, menguatkan, mengokohkan masing-masing kelompok
masyarakat yang kecil itu agar tidak binasa. Jaringan persekutuan antar masing-
masing-kelompok (negeri) inilah yang disebut masyarakat adat Pela. 90
Berdasarkan gambaran pengertian diatas, maka pela dapat dipahami sebagai
suatu sistem kekerabatan (persaudaraan) telah berlangsung sejak masyarakat di
sana menemukan dirinya sebagai sebuah ikatan masyarakat. Pela diharapkan
menjadi cara untuk membangun kedekatan serta solidaritas yang lebih empatik.
Ia berfungsi secara lebih efektik untuk meredam kemungkinan gejolak dan
88
Dieter Bartles, “Guarding the Invisibles Mountain. . . ”, dalam John. Chr. Ruhulessin,. Etika
Publik,,,(2007),153. Lihat juga, F. Coley, Mimbar dan Tahta. . . (Jakarta: Penerbit sinar
harapan, 1987),183-189 89
Dr.Z.J. Manusama, “Hikayat Tanah Hitu”,dalam Herman Lekahena, Studi Terhadap
Pemahaman Masyarakat Adat di Pulau Nusalaut tentang Adat Pela (Salatiga:Universitas Satya
Wacana, 1984) Thesis.51. 90
H. Lekahena,. Studi terhadap pemahaman... (1984),52
47
perpecahan dalam kesatuan sebagai masyarakat suku, serta usaha membangun
intergitas sebagai sebuah masyarakat. 91
Sejalan dengan pemaparan Ruhulessin, tentang pengertian pela dari kata peia,
menurut C. Patiruhhu, Istilah Pela berasal dari kata “Pela Laha luia“ artinya suatu
perjanjian untuk hidup dalam kasih atau saling mengasihi dalam suasana
persaudaraan. Ikatan persaudaraan ini dilembagakan oleh masyarakat Maluku
yang terdiri dari dua negeri atau lebih (di pulau Ambon, leasa dan pulau sera).
Perserikatan Pela Gandong didasarkan pada hubungan persaudaraan sekandung
sejati yang terpahami dalam sapaan ade-kaka-bongso, dengan isi dan tatalaku
perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di mana para
pihak berjanji untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai dasar hukum
bagi implementasi dari waktu ke waktu.92
Segi pembentukan hubungan pela antara negeri-negeri di Ambon (Maluku)
mencirikan kedudukan dan peranan pela dalam masyarakat Adat Maluku. Pela
memiliki fungsi sosial. Pela menghubungkan anak negeri Maluku (individu)
dengan anak negeri yang lain. Menurut Coley, adat pela merupakan bagian dari
adat negeri yang berhubungan dengan seluruh anak negeri.93
Menurut Bartels, fungsi-fungsi pela dalam masyarakat Maluku antara lain:
pertama, negeri-negeri yang yang terikat dalam hubungan pela saling membantu
dalam saat-saat krisis (perang atau bencana alam); kedua, jika dibutuhkan satu
negeri berpela harus membantu sekutu pela nya dalam menangani proyek-proyek
bersama masyarakat, seperti pembangunan gereja, mesjid dan sekolah; ketiga, saat
seseorang mengunyungi negeri pelanya, ia berhak mendapat makanan dan ia tidak
perlu meminta ijin untuk memenuhi kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian
sehingga ia dapat membawanya pulang; keempat, semua anggota negeri yang
termasuk dalam hubungan berpela diperlakukan sebagai satu darah. 94
91
John.Chr. Ruhulessin, Etika Publik … (2007),155 92
C.M. Pattiruhu, Seri Kebudayaan Maluku… (1997), 24 93
Frank.L. Coley, Mimbar dan Tahta, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1987), 238 94
Dieter Bartles, “Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku
Tengah (Indonesia) Setelah Hidup Berdampingan dengan Toleransi dan Kesatuan Etnis yang
Berlangsung Selama Setengah Milenium”,1999/2000.
48
3. Jenis-Jenis Hubungan Pela
Bartles95
membuat klasifikasi pela berdasarkan perkembangan pembentukan
hubungan tersebut, dan dapat dibedakan dalam dua kategori, yakni: pertama,
sejarah: war aliance and peace treaty; kedua, fungsi: muttual assistence.
Klasifikasi pela dalam kategori sejarah dapat dipahami dalam jenis Pela Tuni.
Sedangkan kategori fungsi, terlihat dalam bentuk pela gandong dan pela tempat-
siri. Adapun, berdasarkan sebab-sebab terjadinya pela, dapat dibedakan menjadi
tiga jenis.
Pertama, Pela Tuni96
, atau pela Darah dan Pela Batu Karang. 97
Dalam pela
batu karang98
atau pela darah ini, hubungan pela antar sekutu pela ditetapkan
dengan ketat, melalui sumpah oleh para leluhur dengan cara mengangkat sumpah,
minum darah. Sumpah itu melegitimasi hubungan pela itu untuk selamanya atau
abadi. Termasuk pelarangan perkawinan antar sekutu pela. Anggota-anggota pela
terikat oleh kewajiban saling membantu dalam suka-duka, dalam masa
peperangan atau krisis, memenuhi permintaan sekutu pela untuk kehidupan
bersama sebagai sekutu pela. Pela ini terbentuk karena berbagai peristiwa yang
dasyat seperti musibah dan peperangan.
Kedua, Pela-gandong. Pela Gandong atau disebut gandong saja (pela adik-
kakak, pela saudara). Hubungan pela ini bersifat keras dalam arti hubungan antar
dua negeri dianalogikan sebagai hubungan persaudaraan. Fungsinya untuk saling
membantu dalam hal sosial dan ekonomi. Jenis pela ini dihubungkan dengan
perkawinan. Atau dengan kata lain, hubungan pela ini di dasarkan pada ikatan
keturunan keluarga, yaitu satu atau beberapa suku/marga di negeri-negeri yang
berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Pela ini terbentuk berdasarkan
95
Dieter, Bartels. Guarding... (1977),181-189 96
Istilah tuni berasal dari bahasa Alifuru yang artinya asli atau sejati. 97
Histori lahirnya ikatan pela keras terjadi pada abad ke-15. Ketika Maluku mulai terbuka
kepada dunia luar, ketika Sultan Ternate, Ticore, Bacan, Jailolo bersaing untuk memperluas
kekuasaannya ke wilayah selatan, menguasai wilayah dan tanah di Pulau Seram. Tekanan
bertambah kuat dengan ekspansi Portugis dan Belanda yang dialami orang asli Maluku Tengah.
Situasi itu menimbulkan ketegangan, ketidakstabilan dan perpindahan pemukiman untuk
melepaskan diri dari penindasan politik dan agama. dalam keadaan terjepit, maka dua atau lebih
kelompok mengadakan ikatan diantara mereka dengan sumpah persaudaraan yang ketetapannya
dipertahankan hingga kini. 98
Istilah Batu karang mensifatkan perjanjian-perjanjian pela tersebut yang sekokoh “batu
karang”
49
pengakuan terhadap adanya hubungan darah (genealogis) antara negeri-negeri
berpela.
Ketiga: Pela tempat-siri99
. Hubungan Pela tempat siri yang dibuat pada saat
dua individu yang tidak terlalu bersahabat bertemu untuk menghindari konflik.
Bentuk pela ini bersifat tidak abadi. Untuk itu tidak ditetapkan dengan sumpah,
serta tidak terikat dengan kewajiban yang ketat. Jenis pela ini terbentuk karena
kebiasaan saling membantu untuk kebutuhan pokok yang dibutuhkan masing-
masing negeri berpela. Sesama sekutu pela diperlakukan sebagai saudara sendiri,
dan secara tradisional memiliki hak-hak sesuai kedudukan mereka di dalam fakta
perjanjian hubungan berpela. Jenis pela ini dihasilkan setelah ada peristiwa kecil,
untuk memulihkan kedamaian setelah ada pertikaian, atau setelah satu negeri
memberi bantuan kepada negeri yang lain. Pela ini juga dibuat untuk mendukung
hubungan-hubungan ekonomi atau perdagangan. Berbeda dengan kedua jenis pela
diatas, jenis pela tampa sirih, tidak terkandung prinsip kekerabatan atau
persaudaraan darah, melainkan hanya prinsip persahabtan saja. Akibatnya
perkawinan kedua pelah pihak tidak dilarang oleh adat.100
Sementara itu, Coley,101
membagikan Pela berdasarkan sifatnya, yakni pela
keras dan pela tampat siri. Pembagian ini didasarkan pada eratnya ikatan. Pela
keras menunjuk pada kerasnya larangan serta ancaman-ancaman yang terkandung
di dalam dalamnya. Jenis pela keras ini, kadang-kadang diberi nama pela darah
atau pela minum darah, hal ini berdasarkan akta minum darah sebagai materai
pensyarahan hubungan tersebut. Dengan meminum campuran darah bersama itu
maka kedua belah pihak menjadi orang basudara secara genealogis, sebagaimana
orang yang dilahirkan sekandungan. Konsekuensi keduanya tidak boleh kawin.
Sumpah adalah janji untuk menaati semua hal yang ditetapkan pada waktu itu.
Sumpah terkandng sebuah kewajiban. Sumpah berlaku kepada semua orang
termasuk mereka yang tidak hadir pada saat itu.
Sedangkan, pela tampa siri, karena disahkan dengan dengan makan sirih
pinang, suatu tradisi adat di dalam masyarakat Alifuru sama dengan sekarang
99
Istilah tampa-siri merupakan dua suku kata dalam dialek Ambon untuk menyebutkan kata
tempat-sirih. Bagi masyarakat Ambon, tampat-siri adalah sebuah kotak untuk menyimpan sirih-
pinang, kapur dan tembakau. 100
Dieter, Bartels. Guarding…(1977), 37 101
Frank.L. Coley, Mimbar… (1987), 261
50
orang melayani tamunya dengan menyuguhkan rokok. Siri pinang bukan hanya
kebiasaan belaka, karena bagi orang Alifuru masing-masing ramuan yang
dikunyah itu mempunyai arti tertentu yang menjadikan ramuan itu penting di
dalam upacara-upacara Adat.102
Pandangan kedua ahli diatas secara subsansi adalah sama dan berbeda dari
sisi mana cara pandangnya. Coley sendiri bertolak dari sifatnya. Sedangkan,
Bartels dari latar belakang pembentukannya. Senada dengan itu, C.M. Pattiruhu
pun mengungkapkan tentang, sifat-sifat perserikatan Pela, yakni:persaudaraan
sekandung sejati, persaudaraan sekandung biasa berdasarkan pengakuan bersama;
persaudaraan batu karang; dan persaudaraan tampa-siri.103
4. Panas Pela
Panas pela merupakan salah satu upacara adat antar negeri-negeri berpela
yang bertujuan untuk memperekat kembali ikatan hubungan pela tersebut. Riri &
Pieter menjelas panas pela adalah:
Menghangatkan kembali ikatan pela yang sudah ada sebelumnya agar
nuansa/makna yang terkandung di dalam pela itu tetap terjaga. Dalam
prosesinya, tuan rumah penyelenggaraan upacara akan menghamparkan kain
putih sebagai pelambang kesucian dan keiklasan hati ketika menyambut
saudara pela. Tuan rumah akan menggunakan ikat kepala merah yang
dianggap sebagai pelambang keberanian mempertahankan diri (dan ikatan
pela yang ada). jika dipadukan maka dua warna kain itu menunjukan makna
panas pela untuk menggugah rasa persaudaraan dan kasih sayang, namun
juga mengingatkan untuk selalu mempertahankan diri dan ikatan pela yang
ada. Di antara mereka kemudian ada yang menganut agama Islam dan ada
yang Kristen. Lama mereka diketahui ada dirantau orang, lalu saling
mengadakan hubungan dan kemudian pula berhimpun bersama untuk
mendudukan kembali posisi persaudaraan orang-orang satu kandung itu, yang
sampai sekarang tetap hidup dan berperanan, yang selanjutnya dapat juga
dilihat dalam ikatan Hena dan Uli.104
Upacara panas pela yang selalu diselenggarakan secara teratur (diulang-
ulang) oleh masyarakat adat memiliki dua dimensi pokok, yakni: penegasan dan
102
Dieter, Bartels. Guarding… (1977), 239-240 103
C. M. Pattiruhu dkk, Seri Budaya Pela-Gandong… (1997),5 104
R.Abubakar & M G.Pieter. Manantang Badai Menabur Damai. ( Jakarta: Insos Book.
2007),210
51
pembaruan janji antar negeri berpela; penurun alihan nilai kepada generasi
muda.105
Menurut Coley106
, moment panas pela juga dilaksanakan manakala hubungan
antara kedua pihak mengalami persoalan-persoalan tertentu yang perlu diputuskan
dan diselesakan. Biasanya pihak yang merasa berkepentingan di dalam satu
masalah akan mengundang pihak lain; ada juga karena ketetapan bersama
dilakukan secara periodek, misalnya selama lima tahun sekali, negeri-negeri yang
berpela secara bergantian menjadi tuan dan nyonya rumah, tempat pelaksanaan
upacara panas pela tersebut.
Rachel Iwamony, merunutkan ritual atau upacara panas pela dalam tahapan-
tahapan sebagai berikut:107
pada awal upacara, warga desa pela dimana panas pela
akan diselenggarakan harus mengambil atau menyambut saudara-saudara pela
mereka –tuan rumah membentangkan kain putih “kain gandong”- di gerbang desa.
Dalam lingkaran kain gandong, mereka berarak-arakan pergi ke baileu atau rumah
tua (rumah tua) di mana mereka harus berkomunikasi dengan nenek moyang
mereka. Dalam baileu atau rumah tua upacara adat dilakukan. Berikutnya, dalam
ritual adat itu, tua-tua adat dua desa pela menceritakan kisah hubungan pela
mereka. Kemudian, para tetua membaca ikrar atau sumpah janji panas pela.
Pada akhir upacara adat di baileu, raja-raja setiap desa berpela meminum sopi
- minuman khas lokal yang selalu digunakan dalam setiap seremonial adat-.
Dalam ritual panas pela, “sopi adat”, menurut Y. T sebagai seorang pelaksana
adat negeri Passo mengatakan bahwa sopi itu sebelumnya telah disediakan oleh
masing-masing negeri, dan kemudian dicampur/ diaduk/ dijadikan satu dalam
“tampayang” dan dituangkan ke dalam satu cangkir untuk diminum bersama.
Ritual minum sopi bersama ini melambangkan bagaimana tetenene moyang
mereka meminum campuran darah. Pada akhir upacara panas pela, setiap orang
mengambil bagian dalam pesta yang disebut “makan patita” atau makan bersama.
105
John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik… (2007),266 106
F.L. Coley, Ambonese Adat: A. General Description. (Michigan: The Cellar Book Shop,
1962), 75 107
R. Iwamony, The Reconciliatory Potential Of The Pela In The Moluccas The Role Of The
Gpm In This Transformation Process. (Belanda: Amsterdam University, Disertasi Digital Version
2010),70
52
Dalam upacara panas pela semua warga pela diharapkan hadir terutama Saniri
Negeri dan tua-tua adat. Menurut Cooley, bagian-bagian penting dari upacara
panas pela yakni, antara lain: pembacaan kembali sejarah pela; pengambilan
sumpah dan minum campuran darah bersama (untuk jenis pela keras) atau makan
sirih-pinang bersama (untuk jenis pela tampa-siri). Kedua upacara ini merupakan
inti proses pada saat hubungan itu dibentuk sebelumnya. Tujuannya sebagai
regenerasi atau pewarisan tradisi ini kepada anak-cucu. Sesudah kedua prosesi inti
itu selesai dilakukan, biasanya diadakan rapat Saniri kedua pihak.108
5. Nilai-nilai Budaya Pela Gandong
Pela Gandong sebagai sebuah realitas eksistensi kehidupan orang Maluku
yang berakar historis memiliki nilai guna yang membuktikan hakikat keberadaan
dan kebermaknaannya sebagai sebuah “Jenius Kehidupan (loval genius) yang
khas“. Van Peirsen menegaskan, bahwa suatu realitas itu bukan sekedar realitas
fakta tapi juga realitas nilai, ia mengandung nilai kultural, agama dan sosial.109
Pela dapat dikatakan sebagai momen-moment historis dari cara berada orang
Maluku yang tidak dapat disangkal intrinsik memperlihatkan realitas nilai. Nilai-
nilai Pela antar lain:
Pertama, nilai Persaudaraan: hubungan persaudaraan (adik-kakak), dalam
pela gandong tidak dapat dipisahkan walaupun berbeda tempat hunian atau
berbeda agama seperti antara negeri-negeri Islam-Kristen, seperti negeri
Batumerah-Passo; Hitulama-Nusaniwe; Hutumuri-Tamilau (Seram); Negeri-
tengah-tengah-Abobu (Nusalaut); Morela-Waai; Wakal, Hitumessy-Rumah tiga;
Pelauw-Titaway.110
Pattikayhattu (ed) juga mencatat tentang nyanyian adat atau
kapata “Henamasawaya“ yang mengkisahkan betapa negeri-negeri Islam di
seputar gunung Salahutu, begitu mengenangkan saudara mereka negeri Waai yang
telah turun bermukim di pantai “Honimua“ dan telah berpindah agama Kristen,
108
F.L. Coley, Ambonese Adat… (1962),76 109
Van Peursen, Fakta, Nilai dan Peristiwa. (Terj) Jakarta: Gramedia, 1990, viii 110
Pattikayhattu. J.R.Z. Leirissa, M. Soenjata Kartadarmadja (ed). Sejarah Sosial Di Daerah
Maluku. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai
Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983),5
53
namun mereka tetap bersaudara.111
Terdapat juga hubungan persaudaraan antar
negeri-negeri juga lima negeri: Pelauw, Kailolo, Karbau, Rohomi dan Hulaliu.
Kedua, nilai solidaritas. Menurut Bartles, indikasi nilai solidaritas pela
nampak dalam praktik membantu atau tolong menolong.112
Ketiga, Nilai
kerukunan. Menurut Uhi, kerukunan terjalin karena asas kekerabatan (dikenal
dengan istilah gandong, ade-kakak, bungso) dalam hubungan sosial antara
masyarakat yang satu dengan yang lain, walaupun berbeda agama. Kerukunan
dalam tradisi masyarakat Maluku berarti upaya menjaga dan mempertahankan
eksistensi masyarakat serta memegang teguh ikatan persaudaraan. Kerukunan
disini lebih lebih mempertegaskan adanya upaya mengembangkan nilai-nilai
hidup yang dapat menciptakan kembali keharmonisan, keselarasan dan
keseimbangan hidup. 113
Keempat, nilai Religius. Dalam praktik adat Pela Gandong, tidak terlepas dari
penyembahan kepada leluhur, masyarakat adat Pela mengakui akan adanya suatu
kekuatan adi kodrati. Karena itu, mereka selalu terhubung dan bergantung
kepadanya (Baca leluhur/tetenene-moyang). Manusia Ambon percaya terhadap
leluhur sebagai yang menurunkan kebijakan-kebijakan berupa tata tertib atau adat
untuk menata kehidupan mereka secara selaras, serasi dan harmoni dalam suatu
totalita. Tata tertib yang bersumber dari leluhur karena itu bersifat sakral. Olehnya
pelanggaran adat akan menimbulkan sanksi. Relasi antar masyarakat dan leluhur
yang terwujud dalam seluruh aktivitas atau tindakan masyarakat BerPela Gandong
bertujuan untuk mencapai keharmonisan dan kesatuan masyarakat. Artinya, nilai
religius menjadi pendorong bagi individu-komunitas berPela untuk berbuat
baik.114
111
J.S Pattikayhattu, (ed), Sejarah Sosial... (1983), 5 112
Dieter, Bartels. Guarding... (1977), 203 113
Jannes Alexander Uhi, Filsafat Kebudayaan :konstruksi pemikiran Cornelius Anthonie van
Peursen dan catatan reflektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 129-130. 114
Jhon.Ch. Ruhulesin, Etika Publik… (2007), 253
54
C. KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA
1. Agama dan Budaya
Swidler,115
memahami agama dari akar kata Latin "re-ligare” yang berarti
pemahaman tentang makna akhir dari kehidupan, didasarkan pada gagasan dan
pengalaman transenden seseorang. Agama adalah sistem yang terorganisir dari
keyakinan, praktik, ritual, dansimbol-simbol yang dirancang (a) untuk
memfasilitasi kedekatan transenden, dan (b) untuk mendorong pemahaman
tentang hubungan dan tanggung jawab sosial perseorangan dalam sebuah
komunitas.
Swidler melanjutkan bahwa: agama mengandung empat "C": Creed, Code, Cult,
and Community-structure: a) Creed mengacu pada aspek kognitif agama
yang menjelaskan tentang makna akhir dari kehidupan; b) Code adalah
perilaku atau etika yang mencakup semua aturan dan kebiasaan dari tindakan
manusia; c) Cult berarti semua kegiatan ritual dan devosional yang
berhubungan dengan kepercayaan yang transenden, seperti doa, kebiasaan
ibadah, perilaku terhadap figur otoritas, perayaan, dan lain-lain; d)
Community-structure mengacu pada hubungan antara orang-orang beragama;
ini bisa bervariasi, dari hubungan yang sangat egaliter, melalui sebuah
'struktur dalam suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai makna eksterior
atau eksternal kemanusiaan yang terbentuk dari kehidupaan sosial dan
budaya masyarakat.116
Menurut pandangan Pedersen,117
budaya membentuk perilaku manusia baik
sadar maupun tak sadar mengenai pemikiran, persepsi, nilai, tujuan, moral, dan
proses kognitif. Apa yang diklaim sekelompok orang sebagai bagian dari budaya
dan warisan mereka, tidaklah selalu tampak dengan jelas pada pandangan
pertama. Senada dengan itu, Ramdani118
mendefinisikan kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan yang meliputi sistem idea atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia. Perwujudan dari budaya adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
115
Leonard, Swidler. “Sorting Out Meanings: Religion, Spiritual, Interreligious, Interfaith”,
Etc, dalam J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, (Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 2016), 12 116
Leonard, Swidler. “Sorting Out Meanings: Religion, Spiritual, Interreligious, Interfaith”,
Etc, dalam J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, (Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 2016),12 117
P. Pedersen(Ed. ). Handbook of cross-culturalcounseling and therapy. (New York: Praeger,
1987). 118
Wahyu, Ramdani. Ilmu Budaya Dasar. (Bandung: Pustaka Setia,2007), 97
55
religi, seni, dan-lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Sulistyarini dan Jauhar,119
mengungkapkan sifat budaya ada dua, yaitu:
universal (umum) dan khas (unik). Nilai budaya yang universal yakni nilai-nilai
yang umum dimiliki dan dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Contoh dari nilai
budaya yang universal yakni, manusia bebas menentukan hidupnya sendiri,
manusia anti peperangan, mementingkan perdamaian. Sedangkan budaya yang
unik adalah satu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu, yang berbeda dengan
kelompok atau bangsa lain. Keunikan tersebut menjadi ukuran mengenal karakter
kelompok tersebut.
Dengan demikian, konstruksi pemahaman agama dan budaya di atas,
memperlihatkan adanya keterkaitan antara keduanya. Agama maupun budaya
sama-sama membentuk pola kepribadian, pola bertingkah laku manusia, sehingga
baik agama dan budaya mengatur sistem nilai dan pola hidup manusia dalam
hubungan sekitar individu, keluarga, dan masyarakat. Pemahaman tentang agama
dan budaya terkait dimensi nilai-nilai120
menjadi faktor penting, karena turut
mempengaruhi kesadaran dan pemaknaan hidup manusia. Pemahaman tersebut
akhirnya dapat membuahkan kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai
kebudayaan.
Engel,121
mengkaji beberapa hasil penelitian terbaru tentang spiritual,
spiritualitas dan kemudian menghubungkannya dengan agama dalam kerangka
berpikir Swidler, yang dapat mendukung penggalian nilai-nilai hidup dalam
kearifan lokal yang berakar pada kehidupan sosial dan budaya bangsa Indonesia.
Spiritual dipahami sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup,
bernapas dan bergerak termasuk pikiran, perasaan, tindakan dan karakter kita pada
tataran konseptual.122
Sedangkan, spiritualitas adalah kapasitas dan keunikan,yang
119
Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling. (Jakarta: Prestasi Pustaka,
2014),265. 120
C Klukhohn dalam Jhon W. Berry dkk, Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999), 102, mengungkapkan bahwa Istilah nilai menunjuk pada
“sesuatu konsep yang dikukuhi individu atau satu anggota kelompok secara kolektif mengenai
sesuatu yang diharapkan berpengaruh pada pemilihan cara maupun tujua ntindakan dari beberapa
alternatif”. 121
J.D. Engel,Konseling Pastoral. . . ,(2016),12 122
Ralph.W. Kraus, Religion, Spiritual, Condurcth of Life: Manners Customs dalam J.D. Engel,
Konseling Pastoral. . . . ,(2016),12
56
mendorong seseorang untukbergerak melampauidirisendiri mencari makna dan
menyatu dalam keterhubungan dengan dunia kehidupan nyata. Spiritualitas adalah
mencari dan mengenali hubungan antara diri dan orang lain, dan menganggap
hubungan ini sebagai ungkapan gerakan keluar dari batin dan diri sendiri untuk
mencari makna dalam realitas kehidupan (pengalaman transenden).123
Definisi
tersebut mengacu pada bentuk dari tradisi budaya dan agama, serta substansi yang
berhubungan dengan energi kehidupan yang mencakup pikiran, perasaan,
tindakan dan karakter pribadi setiap individu maupun kelompok.124
Pemaknaan spiritual (sebagai nilai) dan spiritualitas dalam agama dapat
ditemukan dalam falsafah hidup kearifan lokal yang berdasarkan kesepakatan
sosial dan budaya agama masyarakat (civil religion) di Indonesia. Agama sipil
menurut Rosseau merupakan agama masyarakat yang memperhatikan bagaimana
orang harus hidup bersama dengan orang lain dan dengan lingkungan alam
sekitarnya.
Agama sipil adalah kesetiaan warga suatu masyarakat yang terikat pada
kontrak sosial yang mereka bangun sendiri untuk mencapai bersama-sama
kehendak umum mereka (general will), yaitu keadilan dan kesejahteraan
bersama. Kalau kehendak umum tersebut dipahami baik dan memiliki nilai
transendental, maka adalah tugas setiap warga Negarauntuk melakukan
tugasnya dengan baik sehingga berguna bagi sesamanya.125
Menurut Engel, penemuan falsafah hidup dalam kearifan lokal agama
masyarakat dapat menjadi kontribusi dalam menyikapi dilema konseling
(pastoral) secara khusus dalam masyarakat Indonesia yang plural,antara lain:126
1. Falsafah hidup orang Timor, hutan adalah rambut, batu adalah tulang, tanah
adalah tubuh, darah adalah air, alam adalah rahim perempuan, tenun
diidentikkan dengan perempuan Mollo. Merusak alam sama dengan merusak
perempuan, merusak perempuan sama dengan merusak generasi. Nilai-nilai
inilah yang menjadi spiritualitas perempuan Mollo bersama Mama Aleta
melawan masuknya perusahaan asing terutama perusahan tambang Mangan di
123
Stanford. Stoyles, A measure of Spirituality Sensitif of Children, dalam J.D.Engel, Konseling
Pastoral. . . ,(2016),12 124
J.D. Engel, Konseling Pastoral... (2016), 12 125
Jean.J. Rossou, ”On Social Contrat ” dalam Jhon. A. Titaley, Religiotitas Di Alinea Tiga:
Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University
Press, 2013),6 126
J.D. Engel, Konseling Pastoral... (2016), 12
57
NTT, dengan cara yang sangat khas perempuan, melalui tenun sebagai dirinya
sendiri.
2. Filosofi orang Minahasa, si tou timou tumou tou mengandung arti manusia
hidup untuk memanusiakan sesama manusia. Dapat dikatakan manusia jika
sudah dapat memanusiakan manusia. Ungkapan ini berhubungan dengan
solidaritas kemanusiaan dan kesetiakawanan yang menghidupkan, berarti
menghargai kehadirannya, memberdayakan dalam kebersamaan.
3. Mangrambu langi adalah upacara adat di Toraja yang merupakan acara
pembakaran hewan (dalam hal ini kerbau atau babi) yang dilakukan oleh yang
bersalah (berbuat zinah dan membakar kuburan). Mangrambu langi
mengandung makna penerimaan kembali dalam rangka penguatan dan
pemberdayaan orang yang telah melakukan kesalahan.
4. Giwu dalam masyarakat Pamona Sulawesi Tengah adalah sanksi adat bagi
mereka yang melanggar ketentuan adat sebagai kontrak sosial, demi untuk
menjaga keseimbangan kosmos dengan membayar sejumlah kain, binatang dan
uang sesuai besar-kecil pelanggaran. Sanksi adat tersebut memberi pemahaman
ganda tentang dampak psikologis seperti rasa malu, rasa bersalah, tidak layak,
penyesalan, dan di sisi lain memberdayakan mereka yang kena giwu keluar dari
keterpurukan untuk menjalani suatu kehidupan yang diperbaharui.
Kajian diatas hendak mengartikan bahwa dimensi spiritual sebagai nilai-nilai
kehidupan dalam falsafah budaya lokal dari sudut pandang agama masyarakat
Indonesia dapat menjadi fondasi membangun pendekatan konseling berbasis
budaya yang kontekstual untuk mengatasi problematika kemajemukan.
2. Konseling Lintas Agama dan Budaya
Engel,127
mengartikan konseling sebagai proses pertolongan antar seorang
penolong (Konselor) dan yang ditolong (Konseli), dengan maksud untuk
meringankan penderitaan orang yang ditolong. Konseling menempatkan seorang
konselor bersentuhan selalu dengan apa yang disebut relasi terhadap sesamanya.
Kedalaman relasi terbangun jika seorang konselor memandang orang yang
bermasalah itu berharga, yang bukan hanya dikasihani tetapi dicintai. Perwujudan
127
J. D. Engel, Konseling dasar dan pendampingan Pastoral: Pemahaman dan pengalaman
dalam praktek (Salatiga: Widya Sari Press, 2003),1
58
cinta kasih dalam proses konseling adalah tentang bagaimana memperhatikan
orang lain dengan kehadirannya, penuh perhatian, menghargai, mendengarkan,
saling bekerjasama, bersikap lembah lembut, ramah dan penuh kehangatan, serta
menyatakan empati yang tepat, tidak berpura-pura.
Proses konseling bermaksud bukan hanya meringankan penderitaan konseling,
tetapi memberdayakan. Jadi, konseling merupakan suatu relasi pertolongan atau
saling menolong antar-manusia (konselor-konseli) dengan maksud
memberdayakan konseli untuk mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Karena itu, konseli harus dipandang sebagai individu yang berharga untuk
dicintai.
Dalam prespektif lintas budaya, praktik konseling dapat muncul pada suatu
suku bangsa yang sama. Contohnya, konselor yang berasal dari jawa timur
memberikan layanan pada klien yang berasal dari jawa tengah, dimana mereka
berasal dari suku atau etnis jawa. Sekecil apapun perbedaannya, contoh, orang
jawa timur terkesan “kasar”, sedangkan orang Jawa tengah lebih “halus”.
artinyadalam relasi konseling antara konselor-konseli mempunyai nilai-nilainya
sendiri, yang terbungkus dalam kata “kasar/halus”. Perbedaan ini sulit untuk
disatukan, karena itu cenderung akan menjadi permasalahan tersendiri dalam
proses konseling.128
Clemon E. Vontres129
juga mengemukakan bahwa jika konselor dan klien
secara budaya sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka
interaksinya dapat dinamakan lintas budaya. Standar konseling lintas budaya
adalah interaksi yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi
dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Dengan demikian dalam
konseling lintas budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak
pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek
kebudayaan yang lebih luas.
Sue,130
mengidentifikasi beberapa karakter konselor lintas budaya sebagai
berikut: a) konselor sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya (termasuk
128
Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling… (2014), 274. 129
C.E. Vontress,“Existentialism as a cross-culturalcounseling modality”. In P. Pedersen (Ed. ),
Handbook of cross-culturalcounseling and therapy. (New York: Praeger, 1987), 207-212 130
Sulistyarini & Mohamad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling…(2014), 278
59
norma-norma agama dan budaya yang unik) dan asumsi-asumsi terbaru tentang
perilaku manusia. Klien adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma
yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima
nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya; b) konselor sadar
terhadap karakteristik: pengertian dan kaidah konseling secara umum. Kaidah
konseling yang terbaru membantu konselor dalam memecahkan masalah yang
dihadapi oleh klien. Konseling lintas budaya merupakan kekuatan baru dalam
dunia konseling. Terkhusus dalam praktek konseling di Indonesia, harus sadar
bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis dalam keragaman
keagamaan, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Sejalan dengan itu, menurut Pedersen,131
konselor lintas budaya mesti
mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kesadaran,
bahwa ada perbedaan prinsipal antara dia dengan klien yang akan dibantunya.
Konflik mungkin akan timbul dalam konseling lintas budaya. Karena konselor
harus mengerti dan memahami konteks budaya konseling, terutama nilai budaya
yang dimiliki. Kesadaran konselor akan nilai-nilai budaya yang dimiliki klien
dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling; pengetahuan,terkait
dengan budaya sebaiknya harus dikembangkan. Terkait dengan sisi sosio-politik
dan sosio-budaya dari kelompok etnis tertentu; keterampilan, dalam berhubungan
dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Sebagai
contoh, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka ia akan belajar
bagaimana berperilaku sebagai orang jawa.
Berdasarkan pemikiran mengenai dasar konseling dan prespektif konseling
lintas budaya diatas, maka secara spesifik, konseling lintas agama dan budaya
dapat dipahami sebagai suatu proses pemberian bantuan: menolong antara
konselor dan konseli yang berbeda latar belakang agama dan budaya. Penggunaan
istilah lintas agama dan budaya memuat perbandingan antara dua kelompok,
kelompok standar dan kelompok lain yang berbeda agama atau budaya yang
bermuatan nilai-nilai. Individu-individu dalam suatu kelompok dengan
identitasnya yang berbeda memungkinkan terjadinya interaksi antar budaya yang
131
Pederson, “Kompetensi Konselor Lintas Budaya”, dalam Sulistyarini & Mohamad Jauhar,
Dasar-Dasar Konseling… (2014), 284
60
berbeda.132
Engel, melihat aspek-aspek yang harus ada dan diperhatikan dalam
konseling lintas agama dan budaya, antara lain: a) latar belakang agama dan
budaya yang dimiliki oleh konselor; b) latar belakang agama dan budaya yang
dimiliki oleh klien; c) asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama
konseling; dan d) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dan proses
konseling.133
Senada dengan Engel, Prayitno dan Erman Amti134
dengan mengutip hipotesis
Pedersen, menjelaskan bahwa konseling berprespektif lintas budaya harus
memperhatikan berbagai aspek dan seluk beluknya, yaitu: pertama, makin besar
kesamaan harapan tentang tujuan konseling lintas budaya yang pada diri klien dan
konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil; kedua, makin besar
kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, dan berbagai
aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, makin besar
kemungkinan konseling itu akan berhasil; ketiga, makin besar kemungkinan
penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjadi tujuan-tujuan
operasional yang bersifat tingkah laku dalam konseling lintas budaya, makin
efektiflah konseling dengan klien tersebut;
Keempat, makin bersifat personal dan penuh dengan nuansa emosional
suasana konseling lintas budaya, makin mungkinlah klien menanggapi
pembicaraan dalam konseling dengan bahasa ibunya, dan makin mungkinlah
konselor memahami sosialisasi klien dalam budayanya; kelima, keefektifan
konseling lintas budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses
komunikasi pada umumnya (baik verbal maupun non-verbal), dan terhadap gaya
komunikasi dalam budaya klien; keenam, latar belakang dan latihan khusus, serta
pemahamanterhadap permasalahan hidup sehari-hari yang relevan dengan budaya
tertentu, akan meningkatkan keefektifan konseling dengan klien yang berasal dari
latar belakang budaya tersebut;
132
J.D. Engel. Konseling Pastoral… (2016),80 133
D. Rusell. Religious and Values As Cross CulturalIssues in Counseling. Dalam J.D. Engel.
Konseling Pastoral… (2016),80 134
Pederson, “Aspek-aspek Konseling Lintas Budaya”dalam Prayitno & Erman Amti, 1999,
Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dan PT Rineka Cipta),175-176
61
Ketujuh, makin klien lintas budaya kurang memahami proses konseling,
makin perlu konselor atau program konseling lintas budaya memberikan
pengarahan/pengajaran/latihan kepada klien itu tentang keterampilan
berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan transfer (mempergunakan
keterampilan tertentu pada situasi-situasi yang berbeda); kedelapan, keefektifan
konseling lintas budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman (klien dan
konselor) tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya
dengan budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.
Sehubung dengan pemikiran diatas, maka dasar pikir diperlukannya konseling
lintas agama dan budaya, dalam prespektif lintas budaya yang berkaitan dengan
pengembangkan pendekatan konseling, yakni tentang adanya berbagai
keterbatasan, hambatan dalam praktek konseling yang selama ini dilakukan,
terutama pendekatan psikodinamik, behavioristik, eksistensi, dan humanistik,
yang kurang mempertimbangkan aspek budaya; terdapat berbagai pendekatan
konseling yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya asli masyarakat
(indegineous value), yang berkembang dalam praktik konseling di masyarakat.
Olehnya itu, dalam praktek konseling lintas agama dan budaya tidak semua
pendekatan dapat dipraktekkan secara efektif, terutama dalam setting budaya yang
tidak sama dengan budaya barat.135
Selanjutnya, Engel136
merangkum beberapa isu hambatan praktik pelayanan
konseling (pastoral) di Indonesia yang ahistoris, kristenisasi, dan berbenturan-
benturan dengan kearifan lokal. Olehnya itu, diperlukannya Indigenous konseling
yang setidaknya berpijak di atas dua alasan. Pertama, metode konseling pastoral
yang meliputi asumsi-asumsi nilai, preferensi ideologis, apriori kognitif dan
orientasi filsafat Barat, berbenturan dengan falsafah hidup dan nilai-nilai spiritual
dalam kearifan lokal dengan latar sosial dan budaya Indonesia. Kedua, isu ahistori
dan paradigma konseling pastoral yang menekankan kekristenan Barat yang
individualis, egaliter dan otonom berlawanan karakteristiknya dengan sosial
budaya masyarakat Indonesia yang komunal, dan deterministik. Engel
135
M. Jumarin, (2002). Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),23 136
J.D. Engel. Konseling Pastoral…, (2016),14
62
membandingkan pemikiran Kim et.al,137
tentang indigenous psikologi maka
indigenous konseling, adalah suatu pendekatan pada konteks keluarga, sosial,
budaya dan ekologi yang memiliki sistem nilai, makna dan keyakinan. Indigenius
konseling Indonesia merupakan konseling yang berakar dan lahir (native) dari
kearifan lokal serta dirancang untuk masyarakat dan sosial budaya bangsa
Indonesia.
Isu-isu penghambat praktek konseling pastoral dalam analisa sosio-kultural
dalam mensikapi dilema pelayanan konseling (pastoral) dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk, menurut Engel membuka cakrawala berpikir untuk
memiliki kemampuan: 1) mengkaji falsafah dan nilai-nilai hidup dalam kearifan
lokal budaya bangsa Indonesia; 2) mentransformasi, menginternalisasi,
memodifikasi, dan mengintegrasikan teori-teori konseling Barat ke dalam falsafah
hidup dan nilai-nilai kearifan lokal menjadi suatu teori konseling yang kontekstual
dan berpusat budaya Indonesia; 3) mengaplikasikan bidang keahlian dalam
konseling dengan memanfaatkan nilai-nilai spiritual dalam ritus dan simbol-
simbol budaya untuk menyelesaian masalah.
Isu-isu penghambat proses konseling secara khusus dalam pengembangan
pendekatan konseling yang lebih kontekstual (Indonesia) mengartikan bahwa
pemilihan pendekatan konseling mesti fleksibel dan bijaksana. Pendekatan
konseling sebaiknya sesuai dengan dengan paham filsafat atau karakteristik
konteks konseling (setting konseling). Menurut Willis, pengaplikasian
pendekatan-pendekatan konseling yang kontekstual adalah pendekatan yang harus
berdasarkan pada kebutuhan serta kondisi sosial, budaya. Olehnya pendekatan
atau teori konseling bukanlah tunggal untuk semua kasus yang diselesaikan, tetapi
dapat dicoba secara kreatif memilih beberapa pendekatan yang relevan.138
Menurut Engel,139
terdapat tiga pendekatan konseling prespektif lintas
budaya, yakni: pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan
inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua,
pendekatan emik (kekhususan budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik
137
UIchol. Kim, “Indegouneus and Culturl Psychology”dalam J.D. Engel: Konseling Pastoral…
(2016), 15 138
Sofyan S. Willis, Konseling Individual: Teori dan Praktek (Bandung: ALFABETA, 2007),55 139
J. D. Engel. Konseling PastoraL… (2016), 68-69
63
khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus
mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak
diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s. Mereka menggunakan istilah
trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan
bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal.
Pandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula
konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik
anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai,
dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki
perbedaan budaya dominan. Cakupan komponen pendekatan konseling
transcultural, yaitu: pertama, sensitifitas konselor terhadap variasi-variasi dan
bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakan; kedua,pemahaman
konselor tentang pengetahuan budaya konselingnya; ketiga, kemampuan dan
komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang
merefleksikan kebutuhan budaya konseli; dan keempat, kemampuan konselor
untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya. Adapun asumsi yang
mendasari pendekatan ini, yakni bahwa semua kelompok budaya memiliki
kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling.
Selain tiga pendekatan diatas, terdapat pula tiga model konseling lintas
budaya yang diajukan Palmer and Laungani,140
yakni (1) culture centred model,
(2) integrative model, dan (3)ethnomedical model. Pertama, Culture Centred
Model atau model berpusat pada budaya, berfokus pada pemahaman yang tepat
atas nilai-nilai budaya yang telah diyakini dan menjadi pola perilaku individu.
Olehnya itu, penemuan akar budaya menjadi sangat penting, agar dalam proses
konseling ada upaya evaluasi terhadap dirinya masing-masing sehingga terjadi
pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing;
kedua, integrative Model atau model integratif, berfokus pada asesmen yang tepat
terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber
perkembangan pribadi dari beberapa variabel kelas, seperti: reaksi tekanan rasial,
pengaruh budaya mayoritas, pengaruh budaya tradisional, dan pengalaman
keluarga yang saling berkaitan. Olehnya itu, kemampuan mengakses nilai-nilai
140
Stephen, Palmer & Laungani, Pittu, “Tiga Model Konseling Lintas Budaya” dalam J.D.
Engel. Konseling Pastoral…, (2016),69-72
64
budaya tradisional penting Budaya tradisional yang dimiliki individu sangat
penting untuk menentukan keberhasilan konseling;
Ketiga, ethnomedical Model atau model etnomedikal, berorientasi pada
paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitifitas
transkultural. Model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam
budaya sebagai kerangka pikirnya. Artinya seseorang dikatakan sakit apa bila :
melakukan penyimpangan norma-norma budaya, melanggar batas-batas
keyakinan agama dan berdosa, melakukan pelanggaran hukum, mengalami
masalah interpersonal. Penyembuhan terhadap keadan sakit tersebut dapat
dilakukan dengan mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan
konseli. Seseorang dikatakan sehat jika fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan
secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalamkomunitasnya,
memahami permasalahan sesuai dengan konteks, mampu memecahkan
ketidakberfungsian interpersonal, menyadari dan memahami budayanya sendiri
Peninjauan tentang konsepsi agama, budaya dan konseling lintas agama,
memberi arti bahwa dimensi nilai-nilai agama dan budaya dapat mewarnai seluruh
sistem konseling. Sistem nilai mewarnai dan mempengaruhi sistem konseling,
salah satunya yakni, bahwa budaya memberi arah bagi subsistem konsep dasar
konseling yang mencakup landasan filosofis dan tujuan konseling. Landasarn
filosofis konseling pada dasarnya adalah nilai-nilai budaya. Tujuan konseling
yang akan dicapai harus sejalan atau diwarnai nilai budaya, orientasi nilai. Selain
itu, budaya juga menentukan dan mewarnai metode memahami individu dan
metode/teknik konseling.141
Jadi, dalam proses konseling berwawasan lintas
budaya tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masing-masing individu. Bahkan
kebudayaan mempengaruhi pendekatan142
dan teknik layanan konseling.
141
M. Jumarin, Dasar-dasar Konseling… (2002), 61-63 142
Sofyan S. Willis, Konseling Individual:Teori dan Praktek(Bandung: ALFABETA, 2007), 55.
Pendekatan konseling (counseling approach)disebut juga teori konseling merupakan dasar bagai
suatu pelaksanaan konseling. Pendekatan atau teori konseling akan memudahkan dalam
menentukan arah proses konseling.
65
D. Rangkuman
Berdasarkan sejumlah paparan yang telah disajikan sepanjang Bab ini, maka
tampak ada beberapa hal yang menarik untuk disimak, sebagai berikut:
1. Konfliktual hubungan Islam-Kristen dalam lintasan sejarah: konteks timur
tengah-eropa, yang mana kedua agama saling bersikap dan berperilaku keras
(permusuhan, intoleransi, peperangan) telah menciptakan kecurigaan dan
mengikis rasa percaya. Tindak kekerasan pada masa ekspansi Islam (di
Spanyol) telah memicu bangkitnya Gerakan-gerekan berbasis keagamaan
yang memandang Islam sebagai ancaman keberimanan mereka. Karena itu,
harus dilawan atau perangi. Peristiwa perang Spanyol menjadi pemicu
peristiwa perang salib (abad kesebelas), yang bermotif religious, ekonomi,
politik, meluas menjadi konflik antar agama. Perang salib antar dunia Islam
dan Barat yang telah menetapkan streotipe kedua komunitas: Islam sebagai
“agama pedang“ dan kristen sebagai “agama perang“.
Selain itu, pada konteks Indonesia, konfliktual (perpecahan) hubungan
Islam-Kristen, tidak dapat dilihat terlepas dari dinamika politik, sosial,
ekonomi Nasional: pemerintahan penjajah-indonesia. Penjajah dengan tujuan
perluasan jaringan perdagangan dan penyebaran agama berhadapan
(berperang atau berkoalisi) dengan komunitas agama Islam yang telah
menjadi agama kerajaan dan menguasai perdagangan (khusus di kawasan
Timur-Maluku). Konflik berlatar politik (mobilisasi dan dominasi kekuasaan)
dan ekonomi (perebutan sumberdaya, bisnis). Konflik nampak langsung
dalam sikap dan tindakan kekerasan (saling membunuh, mengkristenkan-
mengislamkan wilayah (pada zaman protugis-VOC)). Agama Kristen dicap
sebagai agama kolonial, dan Islam dicap sebagai “orang kafir“.
Pada pemerintahan Orde Baru-Reformasi Islam-Kristen berkembang
menjadi gerakan-gerakan politik berbasis keagamaan (salah satunya
perjuangan ideologi politik Islam telah dimulai pada masa pra kemerdekaan).
Kelengseran resim Orde Baru berimplikasi politis yakni: berdirinya
Organisasi dan Partai Politik berbasis Agama salah satunya Islam yang
mengadopsi Islam sebagai Ideologis mengantikan Pancasila. Politisasi agama
yang demikian cenderung menciptakan batas-batas sektarian dan komunal.
66
Pada masa reformasi sendiri, persoalan hubungan agama lebih cenderung
berkisar antara masalah kebebasan beragama. Konflik dan kekerasan nampak
melalui pengrusakan, penganiayaan, berbuatan amoral golongan-golongan
yang mengatasnamakan agama tertentu. Fenomena kerusuhan Islam-Kristen
(konflik komunal) cenderung dipicu oleh peristiwa yang tidak bersangkutan
dengan agama (hanyalah hasil provokasi), tetapi berkobar dan meningkat
ketika disusupi muatan keagamaan.
Akhirnya, sejarah konfliktual hubungan Islam-kristen: Timur tengah-
Indonesia memperlihatkan adanya sikap dan perilaku negositif, kerjasama,
koalisi dalam menyikapi dinamika sosial, ekonomi, politik terkait hubungan
kedua agama. Kedua agama dapat bersatu (harmonis) atau sebaliknya pecah
(konflik), manakala keduanya berada dalam ikatan sosial dan kultrul yang
sama: sama-sama orang Maluku, orang Jawa yang memperjuangkan tujuan
yang sama, yaitu kemanusiaan dan membebaskan (misalnya, perjuangan
melawan penjajah). Sebaliknya, manakala ikatan sosial itu rentan oleh
kepentingan-kepentingan dan tujuan politik (pribadi, golongan: yang
sektarian) tertentu, sehingga sering kali, terkesan termanfaatkan atau
terpolitisasi pada konteks hubungan-hubungan semu (materialism) yang
eksploitatif, diskrimitaf dan destruktif.
2. Konflik terdefenisikan sebagai suatu proses interaksi sosial di antara dua
orang-kelompok atau lebih (masyarakat), yang berbeda atau bertentangan
dalam pendapat atau tujuan mereka. Secara khusus, dalam konteks organisasi
atau komunal, konflik merupakan ketidaksesuaian anggota organsisasi yang
timbul karena fakta bahwa mereka harus berbagi dalam hal mendapatkan
sumber–sumber daya yang terbatas, memiliki status, tujuan, nilai-nilai atau
persepsi yang berbeda, dan benturan kepentingan.
Selanjutnya, Jenis-jenis konflik dapat terklasifikasikan berdasarkan altar
terjadinya, konflik atau objek konflik, pelaku konflik dan substansinya.
Khususnya dalam konteks Indonesia, antara lain: konflik ekonomi atau
perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas, seperti tanah, perkebunan,
pasar oleh pihak-pihak yang berkepentingan; konflik politik atau konflik yang
67
terjadi karena pihak yang berkonflik perupaya mengumpulkan, mendapatkan
dan menggunakan kekuasaan untuk menggolkan tujuan atau ideologinya;
konflik agama atau konflik diantar pemeluk (individu-komunitas) yang bukan
karena dasar perbedaan ajaran atau kitab suci agama, seperti perang salib.
Agama juga dapat dimanfaatkan atau menjadi alat ideologi golongan
tertentu untuk pencapaian tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu
kelompok atau individu tertentu. Disini, agama bersangkut paut dengan
politik ideologi; konflik sosial atau konflik karena latar multidimensi
(kemiskinan, ketidakadilan, perbedaan cultural, perbedaan pandangan dan
sikap hidup dsb) konflik sosial dapat menimbulkan streotipe, prasangka,
stigma, curiga atau kecemburuan antar suku, seperti konflik Maluku.
Konflik alamiah karena adanya penyebab atau “kondisi objektif”, antara
lain: keterbatasan sumber; tujuan yang berbeda; saling tergantung; sistem
imbalan yang tidak layak; beragam interaksi sitem sosial: perbedaan agama,
suku, ideologi. Penyebab konflik lainnya juga, seperti: ada rasa dipisahkan,
dibedakan, dianaktirikan dari suatu kebersamaan; tidak ada interaksi antar
anggota kelompok; ada perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok;
ada kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya yang
membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi
sumber daya tersebut.
Konflik mempunyai pengaruh atau berdampak positif dan negatif bagi
kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok. Dampak positif,
yakni menciptakan perubahan, pesamaan hak; membawa objek konflik
kepermukaan; memahami orang lain lebih baik, memahami adanya perbedaan
pendapat, pola pikir, dan karakter; konflik menyebabkan revitalisasi norma.
Sedangkan Pengaruh negatif, yakni seperti menurunnya produktifitas karena
hilangnya jam kerja, penurunan kesehatan fisik dan jiwa; merusak hubungan
komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik; menciptakan rasa
tidak tenang, marah, benci, antipasti dan agresi terhadap lawan konflik;
merusak sistem organisasi; kerusakan sistem menciptakan sinergi negatif;
menurunkan mutu pengambilan keputusan karena kebuntuan diskusi, fitnah,
agresi, sabotase dan hilangkanya rasa saling percaya.
68
Konflik sebagai suatu proses sirkul yang berawal dari adanya sesuatu yang
menyebabkan terjadinya konflik-konflik-objek konflik-sampai terjadinya
solusi. Secara bertahap, konflik berproses dari Penyebab Konflik; Laten atau
tidak terlihat; Fase Pemicu; Fase eskalasi; Fase Krisis; Fase resolusi konflik;
Fase Pasca Konflik.
3. Serangkaian upaya menggiring konflik kearah yang positif atau membangun
memerlukan suatu instrument pengelolaan konflik. Manajemen konflik
menjadi alat yang penting untuk pihak-pihak yang berkonflik untuk belajar
mengenali konflik dan cara mengelolah konflik itu. Manajemen konflik
merupakan proses pihak-pihak yang berkonflik menyusun strategi konflik dan
diterapkan untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang
diinginkan. Strategi konflik sebagai bagian dari upaya manajemen konflik
merupakan langkah-langkah penanganan konflik yang terarah pada
penyelesaian atau sebaliknya tidak menyelesaikan konflik.
Manajemen konflik bertujuan untuk mengarahkan fokus pihak-pihak
berkonflik terhadap visi-misi dan tujuan sebuah organisasi; memahami orang
lain dan menghormati keragaman; meningkatkan kreatifitas; meningkatkan
keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi
dan sudut pandang; memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta,
pemahaman bersama, dan kerjasama; menciptakan prosedur dan mekanisme
penyelesaian konflik.
Adapun strategi konflik atau gaya manajemen konflik, diantaranya:
pertama, memaksa, konfrontasi, kompromi, menarik diri, mengakomodasi;
kedua, kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar, mengakomodasi;
ketiga, dominasi, integrasi, kompromi, menghindar.
4. Terakhir, resolusi konflik dapat dipahami sebagai rangkaian tindakan yang
dimulai dari penguraian suatu permasalahan, pemecahan, hingga
penghapusan atau penghilangan permasalahan. Resolusi konflik sebagai
sebuah tindakan pemecahan masalah konflik, dapat dilakukan bersama dalam
kerjasama pihak-pihak yang terlibat konflik (dan atau melalui pihak ketiga
dengan persetujuan pihak-pihak yang terlibat konflik). Resolusi konflik
sebagai bagian dari manajemen konflik, yakni sebagai sebuah metode
69
penyeleasian konflik yang bisa digunaka oleh pihak-pihak yang teliba konflik
atau melaui intervensi pihak ketiga. Metode resolusi konflik, diantaranya
yakni: mediasi, negosiasi untuk mengasilkan kesepakatan bersama
menciptakan win-win solution, fokus kemasa depan, memfokuskan diri lebih
ke mana depan; kontrol hubungan; menyediakan pilihan-pilihan alternatif
penyelesaian konflik.
Salah satu metode resolusi konflik yang lain, yakni rekonsiliasi.
Rekonsiliasi merupakan upaya membangun kembali kerekatan hubungan,
membereskan, dan menyelesaikan konflik. Rekonsiliasi adalah bentuk
akomodatif dari pihak-pihak yang terlibat konflik destruktif untuk saling
menghargai satu sama lain, menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci,
dan bahaya terhadap pihak lawan. Rekonsiliasi merupakan Wirawan adalah
proses tua yang berakar pada agama dan adat istiadat masyarakat. Adat-
istiadat atau budaya Indonesia memiliki kearifan lokal penyelesaian konflik.
Rekonsiliasi atau perdamaian terbagi dalam dua tipe: positif dan negatif
peace. Keduanya dijabarkan dalam tiga tahap, yakni: Peacekeeping,
Peacemaking, dan Peacebuilding
5. Budaya Pela Gandong merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat
Ambon (Maluku). Rekonstruksi sejarah hubungan Pela Gandong, dimulai
dari masa sebelum masuknya Islam, yang berkembang seturut dengan
kemajuan masyarakat Nunusaku (Pulau Seram). Hubungan pela yang
terbangun pada masa ini dapat dipahami sebagai ikatan persaudaraan antar
negeri-negeri (terpisah secara teritorial) namun berasal dari satu nenek
moyang (jenis Pela Gandong); pada masa masuknya Islam-Kristen.
Hubungan Pela terbangun bukan karena faktor geneologis melainkan oleh
adanya sebuah peristiwa penting yang dialami bersama antara negeri yang
berpela; masa setelah Pemerintahan VOC. Hubungan pela terbangun pada
masa ini dilatari pada hubungan kemanusiaan, saling tolong-menolong dan
kerjasama saat peperangan melawan VOC (Jenis Pela Tuni, Keras, Darah,
Tampa-siri).
6. Pela Gandong dalam sistem sosial masyarakat Maluku adalah sebuah jaringan
persekutuan antar masing-masing kelompok (negeri). Hakekat hubungan Pela
70
Gandong yang mengakomodir atau mengintegrasikan masyarakat Maluku
yang berbeda agama (Islam-Kristen) dan etnis dalam perserikatan yakni nilai
Gandong: Sekandung atau sebagai “orang basudara“. Orang Maluku terikat
dengan kesepakatan bersama melalui perjanjian “angkat sumpah“ Pela yang
menjadi hak dan kewajiban atau seperangkat aturan yang harus ditaati oleh
seluruh komponen masyarakat berpela Gandong. Makna kemanusian dalam
Pela Gandong membentuk hakekat manusia Maluku yang setara dan solider.
Pela Gandong juga menjadi alat, media penyelesaian masalah (konflik)
internal sekutu Pela Gandong.
7. Pela Gandong memiliki fungsi sosial, menghubungkan seluruh anak negeri,
orang asli-pendatang dalam wilayah kedua komunitas yang berPela
Gandong. Fungsi dan peranan Pela Gandong bagi masyarakat, yakni:
pertama, negeri-negeri yang yang terikat dalam hubungan pela saling
membantu dalam saat-saat krisis (perang atau bencana alam); kedua, jika
dibutuhkan satu negeri berpela harus membantu sekutu pela nya dalam
menangani proyek-proyek bersama masyarakat, seperti pembangunan gereja,
mesjid dan sekolah; ketiga, saat seseorang mengunyungi negeri pelanya, ia
berhak mendapat makanan dan ia tidak perlu meminta ijin untuk memenuhi
kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian sehingga ia dapat membawanya
pulang; keempat, semua anggota negeri yang termasuk dalam hubungan
berpela diperlakukan sebagai satu darah.
8. Pela Gandong sebagai adat istiadat mengungkapkan jatidiri dan identitas
orang Maluku sebagai “orang basudara“ yang menghargai, menerima
keragaman (kemajemukan) eksistensi individu-komunitas terlestarikan dan
terwariskan dalam ritus panas pela atau “pembaruan pakta Pela“ Ritual panas
pela dilaksanakan secara periodik dan juga manakala hubungan antara kedua
pihak mengalami persoalan-persoalan tertentu yang perlu diputuskan dan
diselesaikan.
9. Manusia adalah insan yang beragama dan berbudaya. Agama dan Budaya
bertumbuh dan berkembang dalam konteks bermasyarakat. Keduanya dapat
membedakan individu-komunitas. Tetapi juga saling terkait sebagai piranti
pembentukan identitas individu-komunitas. Agama dan budaya memiliki
71
mekanisme ritual (berdimensi spiritual) yang memfasilitasi kedekatan dengan
yang transenden dan mengatur pola pikir atau pandangan dan perilaku
masyarakat (nilai budaya universal juga terdapat dalam agama). Karena itu,
dimensi nilai dalam agama dan budaya yang menjadi faktor penting dalam
interaksi manusia yang dapat dipelajari, dipahami dan dikembangkan sebagai
pedoman membentuk karakter manusia (hakekat manusia). Dimensi spiritual
dalam agama dan budaya masyarakat, dapat berkontribusi dalam menyikapi
dilema konseling dalam masyarakat majemuk (konteks Indonesia).
10. Konseling merupakan relasi pertolongan, dan pemberdayaan antar sesama
(konselor-konseli). Keberhasilan proses konseling ditentukan oleh pandangan
bahwa manusia (konseli) adalah orang yang berharga, karena itu harus
dicintai. Perwujudan cinta kasih dalam proses konseling adalah tentang
bagaimana memperhatikan orang lain dengan kehadirannya, penuh perhatian,
menghargai, mendengarkan, saling bekerjasama, bersikap lembah lembut,
ramah dan penuh kehangatan, serta menyatakan empati yang tepat, tidak
berpura-pura.
11. Konseling Lintas Agama dan Budaya merupakan suatu proses pemberian
bantuan: menolong antara konselor dan konseli (individu-komunitas) yang
berbeda latar belakang agama dan budaya. Perbedaan-perbedaan
memungkinkan terjadinya interaksi antar budaya yang berbeda. Olehnya itu,
konseling menurut supriadi adalah perjumpaan antar budaya. Menyikapi
aspek persamaan budaya, konseling lintas agama dan budaya juga dapat
terjadi atas dasar pemahaman bahwa individu-komunitas berbudaya tetapi
memiliki keunikan (sifat unik budaya).
12. Konseling lintas agama dan budaya harus mempertimbangkan aspek latar
belakang agama dan budaya, dan nilai-nilai yang dianut konselor dan konseli.
Latar belakang tersebut mempengaruhi dan menentukan proses, pendekatan
dan teknik konseling. Artinya, berbagai pendekatan yang telah berkembang
secara historis dan dalam konteks budaya barat (Individualtistik) dapat
kurang sesuai dan bahkan menghambat proses konseling khusus dalam
konteks Indonesia yang memiliki sifat-sifat budaya yang kolektif. Karena itu,
72
konseling lintas agama dan budaya mesti memperhitungkan pendekatan-
pendekatan yang bersumber dari budaya asli masyarakat.
13. Konselor lintas agama dan budaya juga harus memiliki kompetensi atau
ketrampilan yang berwawasan lintas agama dan budaya, diantaranya yakni,
sadar dan menerima perbedaan dan persamaan nilai-nilai sosio-budaya yang
dimiliki konselor-konseli; sadar tentang kaidah, terutama tentang
implementasi pendekatan-pendekatan dan teknik konseling; konselor dalam
melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekatan eklektik;
kesadaran konselor akan nilai-nilai budaya yang dimiliki konseli dapat
dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling; menjadi pengetahuan,
terkait dengan budaya yang sebaiknya harus dikembangkan dan tentang
bagaiman konteks sosio-politik dan sosio-budaya dari kelompok etnis tertentu
mempengaruhi proses konseling, dan keterampilan membangun hubungan
dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda.