78
BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN PIDANA DAN UPAYA HUKUM KASASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI 2.1. Kajian Teoritis Sistem Peradilan Pidana 2.1.1. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Khusus bagi sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana 23 . Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran hakim dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas dan wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya (actor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut. 23 Yesmil Anwar dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.

BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

  • Upload
    trantu

  • View
    223

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

BAB II

KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN PIDANA DAN UPAYA

HUKUM KASASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

2.1. Kajian Teoritis Sistem Peradilan Pidana

2.1.1. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya

pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah

melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Khusus bagi

sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana

mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini

berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan

pidana23

.

Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran hakim

dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan

penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya

terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas

dan wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku

sebenarnya (actor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut.

������������������������������������������������������������23 Yesmil Anwar dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan

Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung,

2009.

Page 2: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan

“peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai

suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai

tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi24

, pengertian sistem harus dilihat

dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen

yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract

system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang

satu sama lain saling ketergantungan.

Apabila dikaji dari etimologis, maka”sistem”mengandung arti terhimpun

(antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara

beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana”

merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk

menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam

kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan

dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain

adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.

Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini telah

menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.

Ciri pendekatan ”sistem” dalam peradilan pidana.

���������������������������������������������������������������Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Universitas Diponegoro, Semarang,

1995.�

Page 3: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar

hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat

sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak

hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari

meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa

itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah ”hukum dan

ketertiban” (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks

pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law enforcement”.

Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia

merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System,

yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang

dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain

sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari

Criminal Justice System.

Untuk mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau

criminal justice sistem, di bawah ini penulis ketengahkan beberapa pengertian

sistem peradilan pidana, sebagai berikut :

1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai

”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s

enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman

baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi

Page 4: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan

semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana,

melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum

tersebut dengan membangun suatu jaringan.

2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai

pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan

pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil

interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan

sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung

implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan

dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala

keterbatasannya.

3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan.

4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network)

peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana

formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi

kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu

berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja

akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

Page 5: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal

justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang

yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia

dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang

unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya.

Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala

sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan,

stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia)

dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare

(rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses

penegakan hukum pidana25

. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan

perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum

acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan

penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam

penegakan hukum ”in concreto”.

Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan

pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada

pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang

diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan

������������������������������������������������������������25 Mardjono Reksodipoetro. "Sistem Peradilan Pidana Indonesia:Peran Penegak Hukum

Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994.

Page 6: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan

menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan

bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk,

yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan

dan kompetensi.

Ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam

mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar

merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan

menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih

dahulu (legality principle).

Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum

acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency

principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat

ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas

dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya.

Asas yang ketiga adalah asas perioritas (priority principle) yang

didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Hal ini bisa

berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga

berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat

diterapkan pada pelaku tindak pidana.

Page 7: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Berbagai teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice

system). Ada yang menggunakan pendekatan dikotomi dan atau pendekatan

trikotomi26

. Pendekatan dikotomi umumnya digunakan oleh teoritisi hukum

pidana di Amerika Serikat.

Herbert Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford,

menggunakan pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis

dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana. Terdapat dua model

dalam pendekatan dikotomi. Pertama, crime control model, pemberantasan

kejahatan merupakan fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses

peradilan pidana, sehingga perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi

proses peradilan pidana27

.

Titik tekan pada model ini adalah efektifitas, yaitu kecepatan dan

kepastian. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses

pemeriksaan oleh petugas kepolisian. Presumption of guilty digunakan untuk

mempercepat memproses tersangka atau terdakwa ke sidang pengadilan. Nilai-

nilai yang rnelandasi crime control model adalah tindakan represif terhadap

suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses

peradilan.

������������������������������������������������������������26 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju,

Bandung 1995.

27 Ibid.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan

hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin

atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan. Proses criminal

penegakan hukum harus dilaksahakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas,

dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah

model administratif dan merupakan model manajerial. Asas praduga tak

bersalah akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien. Proses

penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta

administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah pembebasan

seorang tersangka dari penuntutan, atau kesediaan tersangka menyatakan

dirinya bersalah.

Kedua due process model, model ini menekankan seluruh temuan-temuan

fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh melalui prosedur formal yang

sudah ditetapkan oleh undang-undang. Setiap prosedur adalah penting dan tidak

boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari

penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi

untuk setiap tahap pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang

nyata-nyata tidak bersalah akan dapat rnemperoleh kebebasan dari tuduhan

melakukan kejahatan.

Page 9: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Presumption of innocence merupakan tulang punggung model ini28

.

Adapun nilai-nilai yang melandasi due process model adalah mengutamakan,

formal-adjudicative dan adversary fact findings, hal ini berarti dalam setiap

kasus tersangka harus diajukan ke rnuka pengadilan yang tidak memihak dan

diperiksa sesudah tersangka rnemperoleh hak yang penuh untuk rnengajukan

pembelaannya. Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh

mungkin kesalahan rnekanisme administrasi dan peradilan.

Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya

sarnpai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau

memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari

Negara. Memegang teguh doktrin legal audit yaitu: seorang dianggap bersalah

apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh

mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas itu.

Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan

memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada

orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya

dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak. Gagasan persamaan di

muka hukum lebih diutamakan. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan

sanksi pidana.

������������������������������������������������������������28 Romli Atmasasmita, "Kapita ...", Op. Cit., him. 138.

Page 10: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum,

dalam perkara pidana tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas

hukum. Setiap penegakan hukum harus seusai dengan persyaratan

konstitusional, harus menaati hukum, serta harus menghormati the right of self

incrimination. Tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang

memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana. Dilarang mencabut,

menghilangkan hak hidup, kemerdekaan, atau harta benda tanpa sesuai dengan

ketentuan hukum acara.

Setiap orang harus "terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas

pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan. Hak konfrontasi dalam bentuk

pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan, Hak

memperoleh pemeriksaan yang cepat, Hak perlindungan yang sama dan

perlakuan yang sama dalam hukum, Hak mendapat bantuan penasihat hukum29

.

Pendekatan trikotomi, diperkenalkan oleh Denis Szabo, Direktur the

International Centre for Comparative Criminology, the University of Montreal,

Canada dalam Konperensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, Jepang bulan Desember

198230

. Terdapat tiga model dalam pendekatan trikotomi. Pertama, medical

model, pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso, yang menyatakan

penjahat merupakan seorang yang memiliki kepribadian yang menyimpang, dan

������������������������������������������������������������29 M. Yahya Harahap, Pembahasan Perrnasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta 2000.

30 Romli Atmasasmita, "Kapita ..." Op. Cit., him. 139.

Page 11: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

disebut sebagai orang yang sakit. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana harus

menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan rnenjadi manusia yang normal.

Pemikiran ini diperkuat teori social defence, yang dikemukakan oleh

Grammatica yang menyatakan hukum perlindungan social harus menggantikan

hukum pidana yang ada sekarang, dalam tulisan berjudul La lotta contra la

pena sehingga seorang pelaku tindak pidana diintegrasikan kembali dalam

masyarakat bukan diberi pidana terhadap perbuatannya31

, dan di perbaharui

oleh Marc Ancel.

Kedua justice model, model ini melakukan pendekatan pada masalah-

masalah kesusilaan, kemasyarakatan, dan norma-norma hukum serta pengaru-

pengaruh sistem peradilan pidana. Pendekatan justice model, diperkenalkan

oleh Norval Morris, dengan suatu pemikiran yang bertitik tolak pada

mekanisme peradilan dan perubahan hukuman.

Model ini melakukan re-evaluasi terhadap hasil-hasil administrasi

peradilan pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi pidana, moral

dan social cost untuk mencapai tujuan pencegahan dan perlindungan atas

masyarakat dari kejahatan.

Ketiga model gabungan, dari preventive model dan justice model. Model

ini menitik beratkan pada kompensasi atas korban-korban kejahatan. Dasar

������������������������������������������������������������31 Barda Nawawi Arief, kebijakan Legislatif dalam Penanggulangaan Kejahatan, Program

Magister llmu Hukum Undip, Semarang: BP Undip, 1994.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

pemikiran ini menempatkan Negara selain sebagai pemberantas kejahatan dan

perlindungan masyarakat juga memberikan jaminan sosial yang di peroleh dari

pendapatan Negara dari sektor pajak.

Muladi mengemukakan, bahwa dari teori-teori system peradilan pidana

dengan berbagai bentuk model pendekatannya, untuk konteks diindonesia yang

cocok adalah model yang mengacu kepada daad-dader strafrechf, atau model

keseimbangan kepentingan. Model ini merupakan model yang realistik, yang

memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana

yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan pelaku tindak

pidana dan kepentingan korban kejahatan.

Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :

a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan

sebagai berikut :

a) Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan

rehabilitasi pelaku tindak pidana.

Page 13: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

b) Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni

pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal

(Criminal Policy).

c) Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan

masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).

Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai

dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti

sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat

substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural

(cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan

keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam

kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung

makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif

yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu

serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah

yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.

Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono

mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat

bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System.

Page 14: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan

terdapat tiga kerugian yaitu :

a) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-

masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.

b) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap

instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).

c) Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi

maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh

dari Sistem Peradilan Pidana.

Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network)

peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil

maupun hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana

dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas

hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di

dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen

dasar sistem.

1. Susbtansi Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981.

Page 15: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

2. Struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

3. Kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan.

Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem

Peradilan Pidana.

Pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi

yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan

Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi

manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta

masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang

mereka ciptakan.

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan

suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya

akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi)

dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi,

politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem

Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system ).

2.1.2. Kedudukan Hakim Dalam Peradilan Pidana

Menurut KUHAP dalam Pasal 1 ayat (8)32

Hakim adalah pejabat

peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

������������������������������������������������������������32 Pasal 1 ayat (8)Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Page 16: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang judisial,

yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara

yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan

keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan

demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan

makmur.

Lebih lanjut tugas hakim dapat dibedakan menjadi tugas hakim secara

normatif dan tugas hakim secara konkrit dalam mengadili suatu perkara.

Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 yaitu:

1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

(Pasal 4 ayat (1).

2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan

dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat

dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2)).

3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya

(Pasal 10 ayat (1)).

Page 17: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

4. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)).

5. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8

ayat (2)).

Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai tugas

secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan

secara bertahap yaitu:

1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit.

Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan.

Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu

harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh

mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar

terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu

peristiwa konkrit.

2. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa

hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar

terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana.

Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan

hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada

peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada

Page 18: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

undang-undangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan

dengan peristiwanya yang konkrit.

3. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim

menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang

bersangkutan.

Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni

kemampuan dan keterampilan hakim untuk melaksanakan efesiensi dan

efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan

mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan

dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya.

Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang “profesi”,

disamping sisi etika profesi. Jadi, setiap profesi mempunyai dua aspek, yakni

profesionalisme sebagai keahlian teknis dan etika profesi sebagai dasar

moralita.

Profesionalisme mempunyai peranan yang penting, lebih-lebih Hakim

mengemban tanggung jawab dan kewajiban yuridis yang terkait dengan

jabatannya. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1974

jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 mewajibkan Hakim :

Page 19: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

“.....tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan

wajib memeriksa dan mengadilinya”. (Pasal 14 ayat (1)).

Dalam upaya mewujudkan profesionalisme Hakim, maka seyogyanya

para hakim memiliki penguasaan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas,

yang tercermin dalam bobot dan untuk putusan yang dijatuhkan dengan

kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang

berlaku serta mempunyai keberanian menjatuhkan keputusan berdasarkan

hukum dan keadilan33

.

Putusan hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan

kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi

yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah

yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat.

Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan,

namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti

sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim

tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan

mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-

perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan

������������������������������������������������������������33 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006

Page 20: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kebebasan

Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, undang-undang, kepentingan

para pihak dan ketertiban umum.

Hakim dapat mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor

(peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan

putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara

proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagai salah

satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan

menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang.

Tugas hakim pada dasarnya dalam penegakan hukum akan sangat berkait

erat dengan persoalan filsafat hukum sebagaimana dikatakan Roscoe Pound,

bahwa salah satu objek filsafat hukum adalah”The application of law”. Oleh

karena itu, tugas hakim secara kongkret adalah mengadili perkara,yang pada

dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan penafsiran terhadap realitas,

yang sering disebut sebagai penemuan hukum34

.

Penemuan hukum hakim juga terkait erat dengan bisikan hati pada

penilaian yang dikembangkan hakim, yang merupakan motivasi-motivasi bagi

putusan yang berada diluar sistem hukumnya dan juga mendorong terciptanya

konsesus keadilan, sekaligus merupakan temu jiwa antara rasa keadilan hakim,

������������������������������������������������������������34 Otje Salman S, Filsafat Hukum(Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama,

Bandung 2009.

Page 21: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

masyarakat, dan Negara35

. Hal ini memperlihatkn bahwa secara subtansial

penemuan hukum hakim terkait dengan Pembukaan, Alinea Pertama, yang

secara subtansial mengandung pokok pikiran tentang apa yang kita pahami

sebagai “Perikeadilan”.

Penegakan hukum tidak lepas dari konsep hukum yang mendasari

pemikiran hakim dalam menentukan cara-cara yang dijalankan dan

dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Pemahaman

mengenai konsep hukum dan pemikiran itu, telah disadari terdapat perbedaan

paradigmatik diantara para penegak hukum (hakim) dalam memandang hakikat

hukum. Dalam ilmu hukum terdapat berbagai aliran pemikiran yang

menggunakan paradigma-paradigma tertentu. Paradigma tersebut, yaitu :

1. Yuridis - dogmatis, yaitu suatu cara pendekatan di mana diolah peraturan-

peraturan hukum dengan logika akal saja dan selanjutnya pengertian-

pengertian hukum tersebut diberlakukan hanya dengan akal logika tanpa

memperhitungkan kenyataan dan keadilan (dogma adalah ajaran atau

pendapat yang diterima begitu saja tanpa menyelidiki benar tidaknya);

2. Kausal-empiris/sosiologis, ialah suatu cara pendekatan yang menggarap

peraturan-peraturan hukum dengan cara mempelajari sebab akibatnya

dalam hubungannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dalam

masyarakat;

������������������������������������������������������������35 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan

Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009.

Page 22: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

3. Filosofis/idealis/ideologis, yaitu metode pendekatan yang menggarap

peraturan,peraturan hukum dengan mempelajari hubungannya dengan

hal-hal yang timbul dari ide-ide atau cita-cita atau hasil pemikiran

manusia.

Pembedaan terhadap paradigma ini tidak dimaksudkan untuk menyekat

sedemikian rupa sehingga masing-masing model paradigma memisahkan diri

satu sama lainnya. Pemisahan masing-masing model paradigma ini berimplikasi

negatif terhadap proses penegakan hukum oleh Hakim. Sehingga tujuan dari

penegakan hukum oleh Hakim yaitu keadilan yang dicita-citakan atau

dikehendaki oleh masyarakat luas tidak tercapai .

Idealnya Hakim menggunakan ketiga paradigma itu sebagai konsep dasar

pemikiran atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan

ketiga metode pendekatan itu, hendaknya selalu bermuara pada paradigma

filosofi/idealis/ideologis sebagai pertimbangan yang harus digunakan Hakim36

.

Paradigma filosofi meyakini bahwa norma moral tidak akan lepas dari hukum,

terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum

positif.

Ronald Dowrkin pemikir hukum kontemporer, menegaskan hal serupa

namun dengan memberikan penekanan pada isi hukum. Hadirnya pranata

hukum Yurisprudensi dalam proses penegakan hukum oleh Hakim, menjadi

������������������������������������������������������������

�����Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Penerbit

Kanisius, Yogyakarta, 2009.

Page 23: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

bukti yang jelas untuk maksud tersebut. Menurut Dowrkin, yang menjadi

pertimbangan pertama dalam Yurisprudensi bukan persoalan fakta dan strategi

hukum melainkan dengan masalah moral.

Hakim dibenarkan untuk mencari penyelesaian masalah dengan

bimbingan moral yang rasional. Di tengah kebutuhan hukum positif yang

sedang berhadapan dengan kasus berat, Hakim dibenarkan untuk menggunakan

pertimbangan moral dalam penyelesaiannya. Posisi moral dalam hukum bukan

selalu bersifat serba subyektif. Pertanggung jawaban moral selalu menuntut

argumen yang secara rasional dapat diuji oleh siapapun.

Konsekuansi logis terhadap perbedaan paradigma diatas berdampak pada

perbedaan teori-teori yang dibangun dan dikembangkan. Sebagai kelanjutan

dari perbedaan paradigma tersebut, maka metode yang digunakan untuk

memahami keadilan substansinya pun berbeda. Paradigma dipahami sebagai

asumsi-asumsi dasar yang ingin kita kembangkan, yang kita yakini benar dan

yang nantinya menentukan cara pandang kita tentang obyek yang kita telaah.

Asumsi-asunsi dasar inilah, yang menimbulkan perbedaan cara pandang

penegak hukum pada saat dihadapkan dengan perkara yang harus diselesaikan.

Berawal dari perbedaan cara pandang atau paradigma ini, maka menimbulkan

beberapa aliran-aliran yang menggambarkan hubungan hukum dengan Hakim

dalam penegakan hukum, yaitu :

Page 24: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

(1) Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak

boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas.

Hakim hanya sekedar terompet undang-undang. Menurut ajaran ini,

undang-undang dianggap sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi

semua perkara, karena sifatnya rasional.

Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.

(2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.

(a) Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar

undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat

menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang

memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan

undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh Hakim dengan

penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya

dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan

perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum

(konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga

Hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum.

(b) Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan Hakim

dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk

melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang,

tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk

Page 25: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

peraturan dalam putusan Hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang

dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan

dalam keadaan tertentu Hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-

undang, demi kemanfaatan masyarakat.

Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan

perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian

internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau “Pembuka

jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi Hakim untuk

membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam

putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya

itu.

Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.

(c) Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim

seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan

kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan

masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu

dijatuhkan.

Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin

dan G. Gurvitch.

(d) Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem

terbuka, open system van het recht, karena sistem hukum itu

Page 26: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas

dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru

dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut37

.

Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum,

guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan

padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang

telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan

utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat

dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber

utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak

tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian

internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.

Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis)

sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum,

mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara

tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai

dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:

������������������������������������������������������������

����� Yusriyadi, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum di

Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan Undip dalam

rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004, hal. 5

Page 27: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang

mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan

telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut;

b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang

mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan

tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan

melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-

undangan tersebut.

c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang

mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau

belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang

bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan

penalaran logis.

2.1.3. Bentuk-bentuk Putusan Hakim Pengadilan

Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan hakim sangat

diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Dengan adanya putusan

hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat

memperoleh kepastian hukum tentang statusnya sekaligus dapat

mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan

upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya.

Page 28: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Menurut Rusli Muhammad putusan pengadilan merupakan output suatu

proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-

saksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti. Ketika proses

pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil

keputusan. Pasal 1 butir 11 KUHAP38

menyatakan: Putusan pengadilan adalah

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat

berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal

serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Lebih jauh Bagir Manan menyatakan bahwa suatu putusan hakim akan

bermutu, hal ini tergantung pada tujuh hal, yakni:

1. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman Konsep

Keadilan dan Kebenaran;

2. Integritas hakim yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat

dipercaya;

3. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dari

pihak-pihak berpekara maupun tekanan publik;

4. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka

hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai

kekuatan moral;

������������������������������������������������������������38 Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Page 29: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

5. Fasilitas di lingkungan badan peradilan;

6. Sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya

termasuk fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari

hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di

daerah;

7. Kondisi aturan hukum didalam aturan hukum formil dan materiil

masih mengandung kelemahan.

Aktualisasi dari moralitas ini tidak hanya berlaku terhadap para hakim

saja, tetapi termasuk pula para penyidik, penuntut umum sebagai bagian dari

criminal justice system. Memang Putusan hakim akan menjadi putusan majelis

hakim dan kemudian akan menjadi putusan pengadilan yang menyidangkan dan

memutus perkara yang bersangkutan dalam hal ini setelah dilakukan

pemeriksaan selesai39

, maka hakim akan menjatuhkan vonis berupa :

1. Penghukuman bila terbukti kesalahan terdakwa;

2. Pembebasan jika apa yang didakwakan tidak terbukti atau terbukti

tetapi bukan perbuatan pidana melainkan perdata;

3. Dilepaskan dari tuntutan hukum bila terdakwa ternyata tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara rohaninya (ada gangguan jiwa) atau

juga ternyata pembelaan yang memaksa.

������������������������������������������������������������39 R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Penerbit: Tarsito, Bandung, 1981.

Page 30: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Putusan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu :

1. Unsur yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama;

2. Unsur filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan;

3. Unsur sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Ada 3 bentuk putusan pengadilan yang diatur dalam KUHAP pada Pasal

191 dan Pasal 193 yaitu:

1. Putusan Bebas

Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa

apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Hal

ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Pada asasnya, esensi putusan

bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan

Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.

Dakwaan tidak terbukti diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang

menyebutkan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Page 31: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Pasal ini memberi penjelasan bahwa adanya dua alat bukti yang sah

belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana akan tetapi dari dua alat

bukti yang sah itu hakim juga memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak

pidana dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo dakwaan tidak terbukti berarti

bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu

karena:

a. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut

oleh Pasal 184 KUHAP, jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa

diteguhkan dengan bukti lain.

b. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak

mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua

keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan

terdakwa.

c. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.

Mengenai alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: Alat

bukti yang sah ialah:

a. Keterangan saksi.

b. Keterangan ahli.

c. Surat.

Page 32: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

d. Petunjuk.

e. Keterangan terdakwa.

Secara teori (menurut KUHAP) hanya dikenal istilah putusan bebas,

tanpa adanya kualifikasi “ bebas murni” atau “bebas tidak murni.” Putusan

bebas (vrijspraak) yang diputus oleh hakim, dalam nuansa praktek peradilan

berkembang istilah bebas murni dan bebas tidak murni.

Dalam memilah adanya indikasi bebas murni dan bebas tidak murni

berdasar pula atas acuan argumen teoritisi yang mengadakan pengkualifikasian

bentuk-bentuk vrijspraak, seperti yang dikemukakan oleh seorang doktrina

Belanda, J. M. van Bemmelen, sebagai berikut:

1. De zuivere vrijspraak (putusan bebas murni), merupakan putusan akhir,

hakim membenarkan fakta hukumnya (feiten), namun tuduhan Jaksa

Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

2. De onzuivere vrijspraak (putusan bebas tidak murni), yaitu dalam hal

batalnya tuduhan terselubung (bedekte neitigheid van dagvaarding)

atau putusan bebas yang menurut keyakinan kenyataannya tidak

didasarkan pada tidak terbuktinya apa yang dimuat dalam surat

tuduhan.

3. De vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen (putusan

bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya), yaitu putusan

Page 33: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

hakim yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa haruslah

diakhiri atas suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada

hasilnya.

4. De bedekte vrijspraak (putusan bebas yang terselubung), yaitu dalam

hal hakim mengambil putusan tentang fakta hukum (feiten) dan

menjatuhkan putusan ontslag van alle rechtsvervolging (dilepas dari

tuntutan hukum).

Mencermati pembagian vrijspraak oleh J. M. van Bemmelen tersebut

dihubungkan dengan praktek peradilan pidana Indonesia maka jenis vrijspraak

dengan kualifikasi bebas tidak murni (de onzuivere vrijspraak), bebas

berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan (de vrijspraak of grond van doel

matige heid overwegingen) dan bebas yang terselubung (de bedekte vrijspraak)

yang potensial serta dominan menjadi alasan atau justifikasi bagi Jaksa

Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah

Agung.

2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Dasar hukum dari putusan ini dapat dilihat pada Pasal 191 ayat (2)

KUHAP yang berbunyi: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan

suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Page 34: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Dari bunyi Pasal di 191 ayat (2) di atas dapat diartikan bahwa putusan

hakim berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang

dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan di sidang

pengadilan ternyata menurut pendapat majelis hakim perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan

suatu tindak pidana.

Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal

yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut perbuatannya sendiri

maupun yang menyangkut diri pelaku perbuatan itu, misalnya terdapat pada:

a. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa, atau cacat jiwanya.

b. Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (overmacht)

c. Pasal 49 KUHP tentang membela diri (noodweer).

d. Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan untuk menjalankan

peraturan undang-undang.

e. Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang

sah.

Hal-hal yang menghapuskan pidana yang terdapat pada pasal-pasal

tersebut, oleh Soedarjo dikatakan sebagai hal yang bersifat umum. Di samping

itu dikatakan pula terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, yang

diatur secara khusus dalam pasal tertentu dalam undang-undang, misalnya Pasal

Page 35: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

166 dan 310 ayat (3) KUHP. Dengan demikian, terdakwa yang memenuhi

kriteria masing-masing pasal, baik yang mengatur hal-hal yang menghapus

pidana secara khusus maupun yang bersifat umum seperti tersebut di atas, tidak

dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatan yang didakwakan itu

terbukti.

Menurut Pasal 67 KUHAP terhadap putusan lepas dari segala tuntutan

hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan

putusan pengadilan dalam acara cepat terdakwa atau penuntut umum tidak

berhak minta banding. Di atas telah dijelaskan bahwa pelepasan dari segala

tuntutan hukum dibenarkan oleh hukum apabila seseorang melakukan perintah

yang diberikan oleh atasan yang sah.

Tetapi tidak semua perintah yang diberikan oleh atasan bisa lepas dari

segala tuntutan hukum. Hakim menempatkan perintah atasan pada hal-hal yang

meringankan saja. Karena sesuai fakta di persidangan perbuatan terdakwa telah

memenuhi unsur-unsur dari dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa40

.

3. Putusan Pemidanaan

Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang

berbunyi: Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan

pidana. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin

��������������������������������������������������������������Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademi Pressindo, Jakarta 1985.

Page 36: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa

terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan.

Selain itu, dalam penjatuhan pidana jikalau terdakwa tidak dilakukan

penahanan, dapat diperintahkan oleh hakim supaya terdakwa tersebut ditahan,

apabila tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih,

atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21

ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu.

Dalam hal terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat

menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau

membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu. Sedangkan lamanya

pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk

menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang

terbukti dalam persidangan41

. walaupun pembentuk undang-undang memberi

kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus

dijalani terdakwa, bukan berarti hakim bisa seenaknya menjatuhkan pidana

tanpa dasar pertimbangan yang lengkap.

Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan putusan

hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.

Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal dua alat bukti dan

hakim yakin akan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada dan

������������������������������������������������������������41 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif Teoritis dan Praktik, P.T. Alumni,

Bandung, 2008.

Page 37: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim, berarti pula syarat untuk

menjatuhkan pidana telah terpenuhi Dalam hal pengadilan menjatuhkan

putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-

hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa:

Hal-hal yang memberatkan :

1. Program pemerintah gemar memerangi narkoba.

2. Bisa meresahkan masyarakat dan sebagainya.

3. Menghancurkan masa depan generasi muda.

Hal-hal yang meringankan:

1. Terdakwa belum pernah dihukum.

2. Terdakwa menyesali akan perbuatannya.

3. Terdakwa bersikap sopan di pengadilan.

Adapun jenis pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap pelaku

kejahatan diatur di dalam ketentuan pasal 10 KUHP yaitu :

1. Pidana Pokok :

a. Pidana mati

b. Pidana penjara

c. Kurungan

Page 38: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

d. Denda

2. Pidana tambahan :

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu.

Hakim dalam usaha penerapan hukum demi keadilan di persidangan

harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila bertindak dan berbuat

tidaklah sekedar menerima, memeriksa kemudian menjatuhkan putusan,

melainkan keseluruhan perbuatan itu diarahkan guna mewujudkan Keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa42

. Inilah yang harus diwujudkan oleh

hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung

jawabnya.

Berbagai pengertian keadilan, diantaranya keadilan adalah menempatkan

sesuatu pada tempatnya (proporsional), keadilan adalah keseimbangan antara

hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Demikian pula klasifikasi keadilan juga

banyak ditemukan misalnya Aristoteles membagi keadilan komutatif dan

distributif, ada juga membedakan norm gerechtigkeit dan einzelfall

gerechtigkeit dan seterusnya. Demikian ada ahli yang membagi menjadi :

keadilan hukum (legal justice), keadilan secara moral (moral justice) dan

keadilan sosial (social justice).

������������������������������������������������������������42 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), Mandar

Maju, Bandung, 1999.

Page 39: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam

institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori

betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika tidak benar.

Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisen dan rapinya,

harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki

kehormatan yang didasarkan pada keadilan sehingga seluruh masyarakat

sekalipun tidak bisa membatalkanya.

Teori-teori Keadilan Dalam Pandangan Hukum yaitu Teori-teori Hukum

Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan

sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for

justice”. Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.

Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan

dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut : teori keadilan

Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John

Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans

Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.

1. Teori Keadilan Aritoteles

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya

nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku

nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang,

berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat

Page 40: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

keadilan”.

Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak

persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak

persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan

manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami

bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.

Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai

dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua

macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan

distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut

pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap

orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan

peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan ini

Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,

kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah

bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang

berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang

Page 41: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni

nilainya bagi masyarakat.

2. Teori Keadilan John Rawls

Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di

akhir abad ke-20, John Rawls, seperti A Theory of justice, Politcal Liberalism,

dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar

terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.

John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of

social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari

hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan

bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa

keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya

masyarakat lemah pencari keadilan.

Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-

prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang

dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan”

(veil of ignorance43

).

������������������������������������������������������������

����John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah

diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,

Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2006.

Page 42: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat

antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status,

kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,

sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang

seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu

pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas

(rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur

struktur dasar masyarakat (basic structure of society).

Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John

Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan

keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin

tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang

keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring

masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya

disebut sebagai “Justice as fairness”.

Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asli” terdapat

prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni

setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan

kompetabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri

masing-masing individu.

Page 43: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama

(equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion),

kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan

mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip

kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang

menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity

principle).

John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program

penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua

prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas

kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap

orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang

terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.

Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar

masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal

utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan

orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus

diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan

terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan

institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua,

setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan

Page 44: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum

lemah.

3. Teori Keadilan Hans Kelsen

Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,

berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil

apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan

sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya44

.

Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-

nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang

mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan

kebahagian diperuntukan tiap individu.

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa

suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian

sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat

hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti

kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia

yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan

������������������������������������������������������������

�44 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,

Nusa Media, Bandung, 2011.

Page 45: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai,

ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.

Aliran positivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak

berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia,

dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan

sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan

bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari

hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal

dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.

Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran

positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga

pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum

positif dan hukum alam.

Menurut Hans Kelsen :

“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan

karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia

realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya

tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi

menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang

dapat tangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang

tidak tampak.”

Page 46: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

Konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen : pertama tentang

keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional.

Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu

kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik

kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai

melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan

mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu

kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.

Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar

suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen

pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah

“adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum

adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada

kasus lain yang serupa.

Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum

nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional

dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan

hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu

memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam

peraturan hukum tersebut.

Page 47: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara.

Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag)

sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi

negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung

nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila).

Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang

berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai

pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta

menerima Pancasila sebagai suatu bernilai.

Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang

bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan

perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan

itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa

Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah

laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu

sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah

sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada

dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah

Page 48: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber

pada Pancasila.

Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-

pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang

pengertian adil.

(1) “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.

(2)“Adil” ialah : menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain

tanpa kurang.

(3)“Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap

tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan

yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar

hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.

Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum

nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan

keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban.

Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban,

dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus

mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras

yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab

orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana

halnya hak yang ada pada diri individu. Dengan pengakuan hak hidup orang

Page 49: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain

tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya.

Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila

sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya

menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar

manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga

tercipta hubungan yang adil dan beradab.

Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api,

bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi,

maka keadilanpun mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan

sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan

kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai :

(1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.

(2)Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-

pengusaha.

(3)Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,

pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya

dengan tidak wajar”.

Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat

dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-

Page 50: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

hari sering dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan

itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi

ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu.

Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya

individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya

untuk kepentingan Individu yang lainnya. Hukum nasional hanya mengatur

keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum

nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-

keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu.

Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak

individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam

kelompok masyarakat hukum.

Teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui

hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari

hukum. Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan

kesamarataan. Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional.

Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai

dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan, keadilan

“distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan

yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan

Page 51: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa

membeda-bedakan prestasinya.

John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka

program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah

memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu, pertama, memberi hak dan

kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan

yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan

sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat

timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal

dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. John Rawl terhadap konsep

“posisi asli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip

persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal,

hakiki dan kompetabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada

diri masing-masing individu45

.

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui juga bahwa keadilan

mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat

manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pengertian “Keadilan”

bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar

������������������������������������������������������������45 John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan

Sosial dalam Negara,Pusaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

Page 52: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika

diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.

Keadilan dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan sosial

menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang

berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk

kepentingan Individu yang lainnya. Keadilan didalam perspektif hukum

nasional ini adalah keadilan yang menselaraskan keadilan-keadilan yang

bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Keadilan ini

lebih menitikberatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Dengan demikian konsep keadilan sebenarnya sudah banyak

dikemukakan oleh para ahli karena keadilan sesungguhnya sesuatu yang sangat

dekat dengan pemenuhan hak dan kepentingan manusia. Hanya saja yang tidak

mudah dalam praktek adalah merumuskan apa yang menjadi tolok ukur atau

parameter keadilan itu sendiri.

Dalam konteks putusan hakim peradilan, terutama yang sering

disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice)

dan keadilan substantive (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba

memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan

substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada

ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti

mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya.

Page 53: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir

dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.

Dengan kebebasan yang demikian itu, diharapkan hakim dapat

mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan

keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat.

Dengan demikian, maka hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat

berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan

pembinaan tertib hukum46

.

2.2. Upaya Hukum Kasasi Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi

2.2.1 Pengertian dan Penjelasan Upaya Hukum Kasasi

Dalam konteks ini berupa pemberian kesempatan kepada Jaksa Penuntut

Umum untuk memperjuangkan haknya dalam memperoleh keadilan lewat

upaya hukum kasasi terhadap putusan yang mengandung pembebasan yakni

dengan cara melakukan koreksi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh

pengadilan negeri kepada terdakwa sehingga keadilan tersebut dapat dirasakan

oleh semua pihak (terwujudnya keadilan sosial yang secara interen dapat

disebut dengan keadilan Pancasila yakni dengan menggunakan landasan

berpijak pada keadilan distributif melalui sarana keadilan korektif).

������������������������������������������������������������46 Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan Nasional,

Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, diedarkan oleh

Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1986.

Page 54: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Menurut kalangan doktrina ada beberapa pendapat tentang pengertian

upaya hukum tersebut, antara lain, A. Hamzah dan Irdan Dahlan, menyatakan,

“Upaya hukum dimaksudkan merupakan sarana untuk melaksanakan hukum,

yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk tidak menerima penetapan

atau putusan pengadilan karena tidak merasa puas dengan penetapan atau

putusan tersebut.”

Dengan diberikannya kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk

mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) maka

akan dapat dirasakan bahwa upaya hukum yang disediakan oleh KUHAP yang

merupakan hak yang dijamin oleh hukum benar-benar dapat dimanfaatkan,

diwujudkan oleh para pihak (terdakwa/terpidana maupun Jaksa penuntut

Umum) apabila mereka merasa tidak puas akan kualitas putusan atau vonis

yang dijatuhkan oleh pengadilan.

Sebelum menguraikan mengenai definisi atau pengertian upaya hukum

kasasi, penting diketahui mengenai asal kata serta sejarah ringkas

perkembangan dari kasasi tersebut. Kasasi berasal dari kata casser yang artinya

memecah. Lembaga Kasasi berawal di Prancis, ketika suatu putusan hakim

dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Mulanya, kewenangan itu

berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi. Setelah

revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus

yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan

antara yang menjembatani pembuat undang–undang dan kekuasaan kehakiman.

Page 55: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

Lembaga kasasi tersebut lalu diaplikasikan di negeri Belanda yang

kemudian masuk ke Indonesia. pada asasnya, kasasi didasarkan atas

pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah

melampaui kekuasaan kehakimannya. Hadar Djenawi Tahir (2002:8)

menyebutkan dalam bukunya bahwa kasasi merupakan upaya hukum terhadap

putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi. Selama

ini banyak orang keliru menafsirkan bahwa pemeriksaan kasasi adalah

pemeriksaan tingkat tiga. Pemeriksaan tingkat kasasi itu sebenarnya bukanlah

pemeriksaan tingkat ketiga. Kasasi adalah membatalkan atau memecah.

Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan–putusan yang

diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan–pengadilan lain dalam perkara–

perkara pidana maupun perdata, agar dicapai kesatuan dalam menjalankan

peraturan–peraturan dan undang–undang.

Siapa saja yang dapat mengajukan kasasi? Kasasi dapat diajukan oleh :

1. pihak–pihak, yaitu terdakwa atau penuntut umum, pihak–pihak ini

mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, maka pembatalan

keputusan dalam tingkat kasasi mempengaruhi keputusan yang

dimintakan kasasi itu;

2. Jaksa Agung demi kepentingan hukum. jaksa agung menyampaikan

permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung. Kasasi demi kepentingan

hukum ini tidak membawa pengaruh terhadap putusan pengadilan yang

Page 56: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

telah dijatuhkan. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan

penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan

dengan undang– undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

Menurut Yahya Harahap (2006:19), ada beberapa tujuan utama upaya

hukum kasasi.

1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu

tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan

hukum,agar hukum benar–benar diterapkan sebagaimana mestinya serta

apakah cara mengadili perkara benar–benar dilakukan menurut ketentuan

undang–undang.

2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang

dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya

tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk

yurisprudensi.

3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari

pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman”

penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion.

Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan

mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum,

serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan

dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam

Page 57: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. Tidak semua hal

dapat dimintakan pemeriksaan kasasi. kasasi hanya dimungkinkan apabila

mengetahui persoalan– persoalan hukum (rechtsvragen).

Apabila dikaji dari pendapat doktrina maka pengertian “salah menerapkan

hukum” berarti judex facti telah keliru menerapkan suatu peraturan hukum

seperti yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (verkeerde toepossing)

atau telah menerapkan suatu peraturan hukum bertentangan atau berlawanan

dengan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (schending der wet).

Tegasnya, dapat dikonklusikan bahwa adanya kesalahan penerapan

hukum yang dilakukan judex facti baik terhadap hukum acara maupun hukum

materiilnya. Menurut Bagir Manan , terdapat empat kemungkinan kesalahan

dalam penerapan hukum yaitu: kesengajaan sebagai cara menyembunyikan

keterpihakan, kelalaian atau kekurang cermatan, pengetahuan yang terbatas

dalam menggunakan legal reasoning dan kurang dalam pertimbangan hukum.

Hakim Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman harus

mengambil peran yang optimal untuk menjadi pembaru hukum guna

mewujudkan pengadilan yang bersih.

Mahkamah Agung yang bertindak sebagai “judex facti” seperti dalam

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 1565/K/Pid/2004 ada hal yang menarik

dimana putusan tersebut menyatakan “judex facti” telah salah menerapkan

hukum berkenaan dengan putusan bebas dalam perkara korupsi dan begitu pula

Page 58: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

halnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1500/K/Pid/2006, dan juga

putusan Mahkamah Agung Nomor. 2057/K/Pid.Sus/2009 dengan kaidah dasar

bahwasanya :”Mahkamah Agung berwenang memperbaiki dan merubah

tentang putusan bebas yang diputuskan oleh Judex Facti karena Mahkamah

Agung menilai judex facti telah salah dalam menerapkan hukum dan

Mahkamah Agung relatif kurang sependapat terhadap putusan bebas yang

diputuskan oleh judex facti.

Adapun persoalan– persoalan hukum itu adalah:

1. Apabila satu aturan hukum tidak diperlakukan oleh hakim atau,

2. Ada kekeliruan dalam memperlakukan satu aturan hukum atau,

3. Apabila hakim melampaui batas kekuasaan. Apakah suatu hak itu

mengenai persoalan hukum atau tidak diputus oleh Mahkamah Agung

sendiri.

Dalam perundang–undangan Belanda, ada tiga alasan untuk melakukan

kasasi, yaitu;

1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara;

2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada

pelaksanaannya;

3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang

ditentukan undang – undang.

Page 59: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Dalam undang–undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, disebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat

alasan–alasan dan dasar putusan itu, memuat pula pasal–pasal tertentu dari

peraturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili. Ini adalah dasar hukum yang sah bahwa suatu

putusan hakim haruslah memuat alasan–alasan dan dasar–dasar putusan itu.

Dalam tahun 1947 dan 1974, Hoge Raad membatalkan putusan hakim yang

lebih rendah karena alasan–alasan yang kurang cukup dan kelihatan di situ

bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan alasan–alasan yang

dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut.

Berdasarkan alasan–alasan atau pertimbangan–pertimbangan yang

ditentukan oleh undang–undang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang

jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim)

itu. Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi kadang– kadang

tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh undang–undang

(dalam hal ini khususnya yang tercantum pada Undang–Undang Kekuasaan

Kehakiman). Tidak/kurang adanya pertimbangan/alasan–alasan atau pun

alasan–alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu

sama lain, dapat menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu

dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah

Agung dalam putusan kasasi.

Page 60: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Pasal 253 ayat (1) KUHAP dimuat beberapa alasan mengajukan kasasi,

yaitu;

1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan

tidak sebagaimana mestinya;

2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan

undang– undang;

3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus dilakukan menurut

tenggang–tenggang waktu tertentu, yaitu 14 hari setelah putusan pengadilan

yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa atau penuntut

umum, dan kemudian harus disusul dengan mengajukan memori kasasi yang

memuat alasan – alasan permohonan kasasi, dalam tempo 14 hari setelah

mengajukan permohonan tersebut (pasal 245 dan 248).

Jika tenggang waktu sebagaimana dimaksudkan di atas dilampaui, hak

mengajukan permohonan kasasi dan hak menyerahkan memori menjadi gugur

dengan sendirinya (pasal 246 ayat (2) dan pasal 248 ayat (4) KUHP). Cara

mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang–undang,misalnya

pengadilan dilakukan di belakang pintu tertutup tanpa alasan menurut undang–

undang. Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina

dapat disimpulkan bahwa upaya hukum kasasi merupakan suatu hak yang dapat

dipergunakan atau dikesampingkan oleh terdakwa atau penuntut umum.

Page 61: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan yang

dijatuhkan pengadilan tingkat bawahnya maka dapat mengajukan permohonan

pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan dan

penerapan hukum yang telah dijalankan oleh pengadilan di bawahnya kecuali

terhadap putusan yang mengandung pembebasan. Demi keadilan dan kebenaran

maka putusan hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam

putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan.

Mengenai kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap

putusan bebas, bahwa dalam praktek peradilan pidana Indonesia telah terjadi

suatu penerobosan hukum terhadap ketentuan Pasal 244 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang jelas-jelas melarang pengajuan

permohonan pemeriksaan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.

Menurut KUHAP terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan bagi

Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada

Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244 KUHAP,

yang menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada

tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,

terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan

kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”

Dengan demikian secara tataran normatif yudisial, hak atau peluang bagi

Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan

Page 62: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat dikatakan bahwa sebenarnya jalan atau

pintu itu sudah tertutup. Akan tetapi terjadi perkembangan dalam praktek

peradilan pidana Indonesia, yakni terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP

tersebut akhirnya dilakukan suatu penerobosan sehingga terhadap putusan

bebas dapat dimintakan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung.

Hal ini merupakan suatu langkah untuk mengatasi krisis ketidakadilan

menurut persepsi publik akan ekses putusan bebas yang cenderung

mempolakan situasi dan kondisi negatif bagi dunia peradilan khususnya dan

penegakan hukum pada umumnya47

.

Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil gejala negatif

tersebut antara lain berupa kembali ke belakang menoleh dan mempertahankan

yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi seperti yang dianut

pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan Mahkamah Agung melakukan

contra legem terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP melalui putusannya

tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 yang merupakan

yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak

diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum kasasi

kepada Mahkamah Agung atas putusan bebas yang diajukan oleh Jaksa

Penuntut Umum.

������������������������������������������������������������47Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1, Penerbit:

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983��

Page 63: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Dalam menghubungkan tindakan contra legem dari hakim pada moment

tertentu, kalangan doktrina, yakni, H. Ahmad Kamil, menyatakan: Ketentuan

pasal dalam Undang-Undang sudah dipandang tidak mampu atau kurang

menjamin terciptanya kepentingan perlindungan ketertiban umum tampak

adanya keresahan dari pencari keadilan, timbul rasa ketidak adilan,

ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga

dipandang bobot yurisprudensi lebih potensial menegakkan kelayakan dan

perlindungan kepentingan umum, di banding dengan suatu ketentuan pasal

undang-undang, dia (hakim) dibenarkan mempertahankan yurisprudensi.

Berbarengan dengan itu, hakim langsung melakukan contra legem terhadap

pasal-pasal yang bersangkutan.48

Senada dengan pendapat di atas, Komariah Emong Sapardjaja

berpendapat seperti berikut: pencari keadilan, terutama bagi hakim sebagai

penegak hukum dan keadilan, tidak dapat menemukan keadilan hanya dalam

undang-undang, tetapi akhirnya ia juga tidak dapat tidak menerapkan undang-

undang. Karena itu, dalam putusan hakim sering ditemukan kaidah-kaidah baru

seperti mengesampingkan suatu ketentuan peraturan perundang undangan.

Putusan yang demikian kalau telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,

������������������������������������������������������������48 H. Ahmad Kamil, M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Penerbit: Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

Page 64: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

apalagi telah diikuti oleh putusan-putusan berikutnya, dapat disebut

yurisprudensi.49

Ketentuan terhadap putusan bebas yang secara langsung dapat dimintakan

kasasi kepada Mahkamah Agung dapat kita lihat dalam:

1. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07.

03 Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan

KUHAP.

2. Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-

PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983.

3. Yurisprudensi Mahkamah Agung.

Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07.03

Tahun 1982 Tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP,

menyatakan: Mengingat bahwa mengenai masalah “salah atau tidak tepatnya

penerapan hukum” justru merupakan alasan yang dapat dipakai dalam

mengajukan permohonan kasasi (lihat pasal 253), dan melihat pada pasal 244

yang menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan bebas tidak boleh

dimohonkan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa terhadap semua putusan

������������������������������������������������������������49 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana

Indonesia (Studi KasusTentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi),

Penerbit: Alumni, Bandung, 2002.

Page 65: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan banding,

melainkan hanya boleh dimohonkan kasasi.

Terkait dengan esensi Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI

Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tersebut, untuk dapat dimintakan kasasi

secara langsung kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas maka

diperlukan adanya suatu pembuktian bahwa putusan bebas tersebut sebagai

pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum

terselubung). Sedangkan esensi dari butir 19 Lampiran Keputusan Menteri

Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember

198350

, yakni, “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi

berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap

putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada

yurisprudensi.”

Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:M. 14-

PW. 07. 03. Tahun 1983 tersebut maka terhadap putusan bebas,Jaksa Penuntut

Umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung tanpa terlebih

dahulu melalui upaya hukum banding. Keputusan Menteri Kehakiman ini

menjadi titik awal penentu lahirnya yurisprudensi yang sangat bersejarah dalam

konteks penegakan hukum khususnya dalam beracara pidana kita yang

menyangkut persoalan putusan bebas.

������������������������������������������������������������50 Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10

Desember 1983.

Page 66: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

Selanjutnya mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menjadi

dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, yakni, bahwa dalam

waktu singkat berselang 5 (lima) hari sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri

Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 dengan Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun

1983 tersebut, Mahkamah Agung langsung merespon dengan yurisprudensi

pertama, yakni Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal

15 Desember 1983 dengan mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum

atas permohonan kasasi kasus Raden Sonson Natalegawa. Putusan Mahkamah

Agung ini menjadi yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan

Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan

kasasi Jaksa Penuntut Umum.

Upaya hukum atas putusan bebas yang dimohonkan kasasi oleh Jaksa

Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983

tanggal 15 Desember Tahun 1983 tersebut melahirkan dua (2)yurisprudensi

yang isinya , yakni:

1. Putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa dapat diajukan kasasi.

Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tersebut di atas, pada

pertimbangan-pertimbangannya antara lain mencantumkan sebagai

berikut:

“..........sesuai dengan yurisprudensi yang ada apabila ternyata putusan

pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan

Page 67: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP,

permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Sebaliknya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang

keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam surat

dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur

perbuatan yang didakwakan atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu

pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja

wewenang yang menyangkut kompetensi absolut atau relatif, tetapi juga

dalam hal apabila ada unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan

dalam putusan itu, hal mana dalam melaksanakan wewenang

pengawasannya meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi

oleh Jaksa. Mahkamah Agung wajib menelitinya bahwa pembebasan itu

bukan merupakan pembebasan yang murni, Mahkamah Agung harus

menerima permohonan kasasi tersebut.

2. Penafsiran “melawan hukum”, mengenai hal ini Mahkamah Agung dalam

pertimbangannya, antara lain mencantumkan: “Suatu perbuatan dapat

dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tidak semata-mata diukur

dari segi perbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan

yang diancam dengan hukum pidana tertulis maupun asas-asas yang

bersifat umum, tapi juga menurut kepatutan dalam kehidupan dalam

masyarakat perbuatan itu menurut penilaian masyarakat merupakan

perbuatan tercela.” Bertitik tolak dari uraian di atas dapat diketahui

Page 68: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

bahwa, “Putusan bebas” dapat diajukan kasasi agar permintaan kasasi

tersebut berhasil maka penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa

“putusan bebas” tersebut bukan merupakan pembebasan murni.”

Atas cerminan dan panutan dari yurisprudensi Mahkamah Agung

tersebut, dalam praktek peradilan pidana di Indonesia para Jaksa Penuntut

Umum memperoleh nuansa baru dan angin segar berupa hak untuk mengajukan

upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (tanpa perlu terlebih dahulu harus

menempuh upaya hukum banding atau peradilan tingkat kedua) atau dengan

kata lain bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung pertama tersebut menjadi

acuan dan dasar pembenar secara yuridis normatif bagi para Jaksa Penuntut

Umum untuk memanfaatkan hak dan ruang guna meminta pemeriksaan kepada

Mahkamah Agung berupa upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas51

.

Hal ini merupakan salah satu langkah penegakan hukum terkait dengan

adanya berbagai fenomena yuridis sebagai ekses dari kevakuman norma tentang

hak Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan kasasi terhadap putusan bebas

(vrijspraak) tersebut.

2.2.2 Pembuktian Terbalik Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi

Konsep keadilan yang menyatu dengan kehidupan masyarakat menjadi

prinsip yang harus ditegakkan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat.

������������������������������������������������������������

�51 Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit: Sinar

Grafika, Jakarta,1992

Page 69: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Dengan kepercayaan itulah penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.

Krisis di segala bidang bukan disebabkan oleh korupsi tetapi lemahnya

penegakan hukum. Artinya ketika penegakan hukum dapat dilaksanakan maka

kasus korupsi akan dapat di atasi dan krisis�kepercayaan yang selama ini hilang

dapat di munculkan kembali. Tetapi dalam memberantas korupsi bukan hanya

masalah penegakan hukum, tetapi persoalannya ialah membuat sistem itu

berjalan dan mengubah cara orang berperilaku52

.

Secara harafiah, tindak pidana korupsi berasal dari kata "tindak pidana"

dan kata "korupsi". Tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dan bahasa

Belanda Strafbaarfeit" atau "delict" dengan pengertian sebagai sebuah

perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi

pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptie. Corruptie Berasal

dari: kata corumpere yang berarti merusak atau membuat menjadi busuk,

membuat menjadi jelek, membujuk dan menyesatkan dan sering digunakan

untuk istilah penyuapan dan sikap tidak jujur. Dari kata corrumpere inilah

kemudian diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris

menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi

corruptie.

������������������������������������������������������������52 Wasingatu Zakiah, Penegakan Hukum Undang-Undang Korupsi, Makalah, Jakarta 2001.

Page 70: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Wordnet Princenion Education, korupsi, didefinisikan sebagai "lack , of

integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of-

trust for dishonest gain." Selanjutnya, dalam Kamus Collins Cobuild arti dari

kata corrupt adalah "someone who is corrupt behaves in a way that is morally

wrong, especially by doing dishonesty or illegal things in return for money or

power."

Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Leden

Marpaung adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah

(haram). Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung, korupsi diartikan

sebagai : “…penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan

atau sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata “keuangan

negara” biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang

mengelola “keuangan Negara” adalah aparat pemerintah.

Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang "bersih dan bebas dari

korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas

umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepalsuan hukum, asas tertib

penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas

proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas, dapat adalah:

a. Asas kepastian hukum (supremacy of law) adalah asas dalam negara

hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,

Page 71: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

kepatutan, dan keadilan dalam setiap warga. Hukum adalah merupakan

penjaga gawang keberlangsungan suatu Negara secara tertib dan lancar.

Pada� hakikatnya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan

pelanggaran hukum yang berperan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, perbuatan atau tindakan

administrasi harus didasarkan pada atas aturan atau prosedur yang

berlaku.

b. Asas tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan

keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggara negara.

c. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

d. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak

diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dari

rahasia negara.

e. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan

antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.

Page 72: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

f. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang

berlaku.

g. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan

dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau;

h. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak�

diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan

rahasia negara.

i. Pembatasan kekuasaan adalah pembatasan kekuasaan negara dan organ-

organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan

secara vertikal atau perusahaan kekuasaan secara horisontal. Setiap

kekuasaan pasti ada memiliki kecenderugan untuk berkembang secara

sewenang-wenang. Dalam pengadaan barang dan jasa birokrat cenderung

menyalahgunakan kekuasaan.

j. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa sedap kegiatan

dari hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai

Page 73: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

k. Pembatasan kekuasaan adalah pembatasan kekuasaan Negara dan organ-

organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan

secara vertikal atau pemisahaan kekuasaan secara horisontal. Setiap

kekuasaan pasti ada memiliki kecenderungan untuk berkembang secara

sewenang-wenang. Dalam pengadaan barang dan jasa birokrat cenderung

menyalahgunakan kekuasaan.

Pembuktian kasus korupsi baik di Indonesia dan beberapa negara asing

memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut di

samping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan

U.U. yang produknya masih dapat bersifat multi interprestasi, sehingga relatif

banyak ditemukan beberapa kelemahan di dalamnya. Salah satu contoh dapat

dikemukakan di sini adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan UU

disebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa

(extra ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra

ordinary measures).

Page 74: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

���

Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan adanya pengaturan

mengenai beban pembuktian terbalik. Lilik Mulyadi53

mengemukakan bahwa

ada dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang beban

pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, Pasal 38B UU

Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban

pembuktian terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoretis dan praktik?

Menurut penulis, tidak. Secara tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan

perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal

12B UU 31/1999 Jo UU 20/2001.

Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) berbunyi:

"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan-nya dan yang

berlawanan dengan, kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai

berikut: (a) yang nilainya Rp.�10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh

penerima gratifikasi ; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh

.juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh

penuntut umum."

������������������������������������������������������������53 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,

Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Page 75: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di aras

dalam pandangan Lilik Mulyadi yaitu:

Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana (materiele feit) ketentuan

tersebut menimbulkan kesalahan dan ketidak-jelian norma asas beban

pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan

diterapkan kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a

yang berbunyi "....yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau

lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan

oleh penerima gratifikasi", akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan

kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas

mencantumkan redaksional, "setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan

jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya", maka

adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas

dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban

Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang

bersangkutan.

Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran ketentuan

UU dan tiada dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legislasi

merumuskan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut

sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada: Kedua,�

Page 76: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B

UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional "..dianggap pemberian suap".

Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau

penyelenggara negara gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan "....dianggap

pemberian suap" akan tetapi sudah termasuk tindakan "penyuapan". Eksistensi

asas beban pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan

ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional. Akan tetapi, harus kepada dua

unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan

dengan jabatannya (in zijn bediming) dan yang melakukan pekerjaan ini yang

bertentangan dengan kewajiban (in stijd met zijn -plicht).

Ketiga, dikaji dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus

dihubungkan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) yang

diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Hakikatnya, dari

dimensi ini beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan

orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),

bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)

sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah

(presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption).

Selain itu bersimpangan dengan ketentuan hukum acara pidana yang

mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana

ketentuan Pasal 66 KUHAP, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf

Page 77: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

(i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal

Court/ICC), Pasal 11 ayat (l) Deklarasi Universal Hak�Asasi Manusia, Pasal 40

ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Prinsip 36 ayat (1)

kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang dalam bentuk

penahanan apapun atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 43/1739

Desember 1988 dan Konvensi Internasional serta asas legalitas.

Dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebenarnya beban pembuktian

terbalik dalam perundang-undangan Indonesia "ada" ditataran kebijakan

legislasi akan tetapi '"tiada" dan "tidak bisa" dilaksanakan dalam kebijakan

aplikasinya. Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi

memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang

terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau

kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana

korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara54

.

Meskipun demikian, untuk dapat menerapkan pembuktian terbalik

terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji. terlebih dahulu, karena menurut

Topo Santoso, dalam hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu: "Pertama,

bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya.

Kedua, apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktan

terbalik), mulai dari pengacaranya, hakimnya, jaksa penuntut umumnya.

������������������������������������������������������������54 Chairudin dan Syaiful Ahmad Dinar, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak

Pidana Korupsi, Refika Aditama, Jakarta, 2008.

Page 78: BAB II KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN …media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdfmenjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam ... ”the network

��

Ketiga, jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat

pemerasan baru, di mana semua orang dapat saja disudutkan melakukan

korupsi. Dan pihak kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan

berbagai macam-macam korupsi. Orang yang dituduh korupsi disuruh

membuktikan bahwa ia tidak melakukan�korupsi, sehingga banyak sekali orang

yang akan "diperas" karena dituduh melakukan korupsi."

Todung Mulia Lubis mengemukakan bahwa penerapan asas pembuktian

terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat tidak

dibuat. Jadi sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan-

kekayaan "haram" yang dia peroleh. Seharusnya disyaratkan laporan kekayaan

pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga

si pejabat bisa diinvestigasi.