Upload
trantu
View
223
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
���
�
BAB II
KAJIAN TEORITIS SISTEM PERADILAN PIDANA DAN UPAYA
HUKUM KASASI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1. Kajian Teoritis Sistem Peradilan Pidana
2.1.1. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya
pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah
melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Khusus bagi
sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana
mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini
berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan
pidana23
.
Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran hakim
dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan
penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya
terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas
dan wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku
sebenarnya (actor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut.
������������������������������������������������������������23 Yesmil Anwar dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung,
2009.
���
�
Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan
“peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai
suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi24
, pengertian sistem harus dilihat
dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen
yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract
system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang
satu sama lain saling ketergantungan.
Apabila dikaji dari etimologis, maka”sistem”mengandung arti terhimpun
(antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara
beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana”
merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk
menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam
kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan
dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain
adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.
Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System” kini telah
menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.
Ciri pendekatan ”sistem” dalam peradilan pidana.
���������������������������������������������������������������Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP Universitas Diponegoro, Semarang,
1995.�
���
�
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar
hukum pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat
sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak
hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari
meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa
itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah ”hukum dan
ketertiban” (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks
pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law enforcement”.
Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia
merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System,
yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang
dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain
sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari
Criminal Justice System.
Untuk mendapatkan gambaran tentang sistem peradilan pidana atau
criminal justice sistem, di bawah ini penulis ketengahkan beberapa pengertian
sistem peradilan pidana, sebagai berikut :
1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai
”the network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s
enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu pemahaman
baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi
���
�
dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan
semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana,
melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum
tersebut dengan membangun suatu jaringan.
2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil
interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminisrasi dan
sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung
implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan
dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.
3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan.
4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network)
peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana
formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut Muladi
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu
berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja
akan membawa bencana berupa ketidakadilan.
��
�
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal
justice system di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang
yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang
unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya.
Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala
sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa perampasan kemerdekaan,
stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia)
dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare
(rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses
penegakan hukum pidana25
. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan
perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum
acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan
penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam
penegakan hukum ”in concreto”.
Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan
pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada
pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang
diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan
������������������������������������������������������������25 Mardjono Reksodipoetro. "Sistem Peradilan Pidana Indonesia:Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994.
��
�
memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan
menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan
bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk,
yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan
dan kompetensi.
Ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam
mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar
merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan
menyentuh mereka tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih
dahulu (legality principle).
Di samping itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum
acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency
principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat
ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas
dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya.
Asas yang ketiga adalah asas perioritas (priority principle) yang
didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana. Hal ini bisa
berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga
berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat
diterapkan pada pelaku tindak pidana.
���
�
Berbagai teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice
system). Ada yang menggunakan pendekatan dikotomi dan atau pendekatan
trikotomi26
. Pendekatan dikotomi umumnya digunakan oleh teoritisi hukum
pidana di Amerika Serikat.
Herbert Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford,
menggunakan pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis
dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana. Terdapat dua model
dalam pendekatan dikotomi. Pertama, crime control model, pemberantasan
kejahatan merupakan fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses
peradilan pidana, sehingga perhatian utama harus ditujukan pada efisiensi
proses peradilan pidana27
.
Titik tekan pada model ini adalah efektifitas, yaitu kecepatan dan
kepastian. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses
pemeriksaan oleh petugas kepolisian. Presumption of guilty digunakan untuk
mempercepat memproses tersangka atau terdakwa ke sidang pengadilan. Nilai-
nilai yang rnelandasi crime control model adalah tindakan represif terhadap
suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses
peradilan.
������������������������������������������������������������26 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju,
Bandung 1995.
27 Ibid.
���
�
Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan
hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin
atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan. Proses criminal
penegakan hukum harus dilaksahakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas,
dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah
model administratif dan merupakan model manajerial. Asas praduga tak
bersalah akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien. Proses
penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta
administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah pembebasan
seorang tersangka dari penuntutan, atau kesediaan tersangka menyatakan
dirinya bersalah.
Kedua due process model, model ini menekankan seluruh temuan-temuan
fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh melalui prosedur formal yang
sudah ditetapkan oleh undang-undang. Setiap prosedur adalah penting dan tidak
boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari
penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi
untuk setiap tahap pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang
nyata-nyata tidak bersalah akan dapat rnemperoleh kebebasan dari tuduhan
melakukan kejahatan.
���
�
Presumption of innocence merupakan tulang punggung model ini28
.
Adapun nilai-nilai yang melandasi due process model adalah mengutamakan,
formal-adjudicative dan adversary fact findings, hal ini berarti dalam setiap
kasus tersangka harus diajukan ke rnuka pengadilan yang tidak memihak dan
diperiksa sesudah tersangka rnemperoleh hak yang penuh untuk rnengajukan
pembelaannya. Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh
mungkin kesalahan rnekanisme administrasi dan peradilan.
Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya
sarnpai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau
memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari
Negara. Memegang teguh doktrin legal audit yaitu: seorang dianggap bersalah
apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh
mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas itu.
Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan
memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada
orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya
dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak. Gagasan persamaan di
muka hukum lebih diutamakan. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan
sanksi pidana.
������������������������������������������������������������28 Romli Atmasasmita, "Kapita ...", Op. Cit., him. 138.
���
�
Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum,
dalam perkara pidana tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas
hukum. Setiap penegakan hukum harus seusai dengan persyaratan
konstitusional, harus menaati hukum, serta harus menghormati the right of self
incrimination. Tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang
memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana. Dilarang mencabut,
menghilangkan hak hidup, kemerdekaan, atau harta benda tanpa sesuai dengan
ketentuan hukum acara.
Setiap orang harus "terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas
pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan. Hak konfrontasi dalam bentuk
pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan, Hak
memperoleh pemeriksaan yang cepat, Hak perlindungan yang sama dan
perlakuan yang sama dalam hukum, Hak mendapat bantuan penasihat hukum29
.
Pendekatan trikotomi, diperkenalkan oleh Denis Szabo, Direktur the
International Centre for Comparative Criminology, the University of Montreal,
Canada dalam Konperensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, Jepang bulan Desember
198230
. Terdapat tiga model dalam pendekatan trikotomi. Pertama, medical
model, pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso, yang menyatakan
penjahat merupakan seorang yang memiliki kepribadian yang menyimpang, dan
������������������������������������������������������������29 M. Yahya Harahap, Pembahasan Perrnasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta 2000.
30 Romli Atmasasmita, "Kapita ..." Op. Cit., him. 139.
���
�
disebut sebagai orang yang sakit. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana harus
menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan rnenjadi manusia yang normal.
Pemikiran ini diperkuat teori social defence, yang dikemukakan oleh
Grammatica yang menyatakan hukum perlindungan social harus menggantikan
hukum pidana yang ada sekarang, dalam tulisan berjudul La lotta contra la
pena sehingga seorang pelaku tindak pidana diintegrasikan kembali dalam
masyarakat bukan diberi pidana terhadap perbuatannya31
, dan di perbaharui
oleh Marc Ancel.
Kedua justice model, model ini melakukan pendekatan pada masalah-
masalah kesusilaan, kemasyarakatan, dan norma-norma hukum serta pengaru-
pengaruh sistem peradilan pidana. Pendekatan justice model, diperkenalkan
oleh Norval Morris, dengan suatu pemikiran yang bertitik tolak pada
mekanisme peradilan dan perubahan hukuman.
Model ini melakukan re-evaluasi terhadap hasil-hasil administrasi
peradilan pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi pidana, moral
dan social cost untuk mencapai tujuan pencegahan dan perlindungan atas
masyarakat dari kejahatan.
Ketiga model gabungan, dari preventive model dan justice model. Model
ini menitik beratkan pada kompensasi atas korban-korban kejahatan. Dasar
������������������������������������������������������������31 Barda Nawawi Arief, kebijakan Legislatif dalam Penanggulangaan Kejahatan, Program
Magister llmu Hukum Undip, Semarang: BP Undip, 1994.
���
�
pemikiran ini menempatkan Negara selain sebagai pemberantas kejahatan dan
perlindungan masyarakat juga memberikan jaminan sosial yang di peroleh dari
pendapatan Negara dari sektor pajak.
Muladi mengemukakan, bahwa dari teori-teori system peradilan pidana
dengan berbagai bentuk model pendekatannya, untuk konteks diindonesia yang
cocok adalah model yang mengacu kepada daad-dader strafrechf, atau model
keseimbangan kepentingan. Model ini merupakan model yang realistik, yang
memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana
yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan pelaku tindak
pidana dan kepentingan korban kejahatan.
Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan
sebagai berikut :
a) Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan
rehabilitasi pelaku tindak pidana.
���
�
b) Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni
pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal
(Criminal Policy).
c) Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan
masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).
Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai
dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti
sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat
substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural
(cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan
keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam
kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung
makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif
yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah
yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono
mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System.
���
�
Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan
terdapat tiga kerugian yaitu :
a) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-
masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap
instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
c) Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi
maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh
dari Sistem Peradilan Pidana.
Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network)
peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana
dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas
hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di
dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen
dasar sistem.
1. Susbtansi Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981.
��
�
2. Struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
3. Kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan.
Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem
Peradilan Pidana.
Pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi
yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan
Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi
manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta
masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang
mereka ciptakan.
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan
suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya
akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi)
dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi,
politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem
Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system ).
2.1.2. Kedudukan Hakim Dalam Peradilan Pidana
Menurut KUHAP dalam Pasal 1 ayat (8)32
Hakim adalah pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
������������������������������������������������������������32 Pasal 1 ayat (8)Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
��
�
Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang judisial,
yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan
keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan
demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan
makmur.
Lebih lanjut tugas hakim dapat dibedakan menjadi tugas hakim secara
normatif dan tugas hakim secara konkrit dalam mengadili suatu perkara.
Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 yaitu:
1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang
(Pasal 4 ayat (1).
2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2)).
3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
(Pasal 10 ayat (1)).
���
�
4. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)).
5. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8
ayat (2)).
Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai tugas
secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan
secara bertahap yaitu:
1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit.
Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan.
Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu
harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh
mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar
terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu
peristiwa konkrit.
2. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa
hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar
terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana.
Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan
hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada
peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada
���
�
undang-undangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan
dengan peristiwanya yang konkrit.
3. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim
menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang
bersangkutan.
Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni
kemampuan dan keterampilan hakim untuk melaksanakan efesiensi dan
efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan
mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan
dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya.
Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang “profesi”,
disamping sisi etika profesi. Jadi, setiap profesi mempunyai dua aspek, yakni
profesionalisme sebagai keahlian teknis dan etika profesi sebagai dasar
moralita.
Profesionalisme mempunyai peranan yang penting, lebih-lebih Hakim
mengemban tanggung jawab dan kewajiban yuridis yang terkait dengan
jabatannya. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1974
jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 mewajibkan Hakim :
���
�
“.....tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib memeriksa dan mengadilinya”. (Pasal 14 ayat (1)).
Dalam upaya mewujudkan profesionalisme Hakim, maka seyogyanya
para hakim memiliki penguasaan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas,
yang tercermin dalam bobot dan untuk putusan yang dijatuhkan dengan
kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang
berlaku serta mempunyai keberanian menjatuhkan keputusan berdasarkan
hukum dan keadilan33
.
Putusan hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan
kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi
yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah
yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat.
Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan,
namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim
tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan
mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-
perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan
������������������������������������������������������������33 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
���
�
perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kebebasan
Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, undang-undang, kepentingan
para pihak dan ketertiban umum.
Hakim dapat mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor
(peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan
putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara
proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagai salah
satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan
menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang.
Tugas hakim pada dasarnya dalam penegakan hukum akan sangat berkait
erat dengan persoalan filsafat hukum sebagaimana dikatakan Roscoe Pound,
bahwa salah satu objek filsafat hukum adalah”The application of law”. Oleh
karena itu, tugas hakim secara kongkret adalah mengadili perkara,yang pada
dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan penafsiran terhadap realitas,
yang sering disebut sebagai penemuan hukum34
.
Penemuan hukum hakim juga terkait erat dengan bisikan hati pada
penilaian yang dikembangkan hakim, yang merupakan motivasi-motivasi bagi
putusan yang berada diluar sistem hukumnya dan juga mendorong terciptanya
konsesus keadilan, sekaligus merupakan temu jiwa antara rasa keadilan hakim,
������������������������������������������������������������34 Otje Salman S, Filsafat Hukum(Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama,
Bandung 2009.
���
�
masyarakat, dan Negara35
. Hal ini memperlihatkn bahwa secara subtansial
penemuan hukum hakim terkait dengan Pembukaan, Alinea Pertama, yang
secara subtansial mengandung pokok pikiran tentang apa yang kita pahami
sebagai “Perikeadilan”.
Penegakan hukum tidak lepas dari konsep hukum yang mendasari
pemikiran hakim dalam menentukan cara-cara yang dijalankan dan
dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Pemahaman
mengenai konsep hukum dan pemikiran itu, telah disadari terdapat perbedaan
paradigmatik diantara para penegak hukum (hakim) dalam memandang hakikat
hukum. Dalam ilmu hukum terdapat berbagai aliran pemikiran yang
menggunakan paradigma-paradigma tertentu. Paradigma tersebut, yaitu :
1. Yuridis - dogmatis, yaitu suatu cara pendekatan di mana diolah peraturan-
peraturan hukum dengan logika akal saja dan selanjutnya pengertian-
pengertian hukum tersebut diberlakukan hanya dengan akal logika tanpa
memperhitungkan kenyataan dan keadilan (dogma adalah ajaran atau
pendapat yang diterima begitu saja tanpa menyelidiki benar tidaknya);
2. Kausal-empiris/sosiologis, ialah suatu cara pendekatan yang menggarap
peraturan-peraturan hukum dengan cara mempelajari sebab akibatnya
dalam hubungannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dalam
masyarakat;
������������������������������������������������������������35 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan
Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009.
���
�
3. Filosofis/idealis/ideologis, yaitu metode pendekatan yang menggarap
peraturan,peraturan hukum dengan mempelajari hubungannya dengan
hal-hal yang timbul dari ide-ide atau cita-cita atau hasil pemikiran
manusia.
Pembedaan terhadap paradigma ini tidak dimaksudkan untuk menyekat
sedemikian rupa sehingga masing-masing model paradigma memisahkan diri
satu sama lainnya. Pemisahan masing-masing model paradigma ini berimplikasi
negatif terhadap proses penegakan hukum oleh Hakim. Sehingga tujuan dari
penegakan hukum oleh Hakim yaitu keadilan yang dicita-citakan atau
dikehendaki oleh masyarakat luas tidak tercapai .
Idealnya Hakim menggunakan ketiga paradigma itu sebagai konsep dasar
pemikiran atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Penggunaan
ketiga metode pendekatan itu, hendaknya selalu bermuara pada paradigma
filosofi/idealis/ideologis sebagai pertimbangan yang harus digunakan Hakim36
.
Paradigma filosofi meyakini bahwa norma moral tidak akan lepas dari hukum,
terutama karena prinsip moral berperan sebagai uji kritis terhadap hukum
positif.
Ronald Dowrkin pemikir hukum kontemporer, menegaskan hal serupa
namun dengan memberikan penekanan pada isi hukum. Hadirnya pranata
hukum Yurisprudensi dalam proses penegakan hukum oleh Hakim, menjadi
������������������������������������������������������������
�����Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2009.
���
�
bukti yang jelas untuk maksud tersebut. Menurut Dowrkin, yang menjadi
pertimbangan pertama dalam Yurisprudensi bukan persoalan fakta dan strategi
hukum melainkan dengan masalah moral.
Hakim dibenarkan untuk mencari penyelesaian masalah dengan
bimbingan moral yang rasional. Di tengah kebutuhan hukum positif yang
sedang berhadapan dengan kasus berat, Hakim dibenarkan untuk menggunakan
pertimbangan moral dalam penyelesaiannya. Posisi moral dalam hukum bukan
selalu bersifat serba subyektif. Pertanggung jawaban moral selalu menuntut
argumen yang secara rasional dapat diuji oleh siapapun.
Konsekuansi logis terhadap perbedaan paradigma diatas berdampak pada
perbedaan teori-teori yang dibangun dan dikembangkan. Sebagai kelanjutan
dari perbedaan paradigma tersebut, maka metode yang digunakan untuk
memahami keadilan substansinya pun berbeda. Paradigma dipahami sebagai
asumsi-asumsi dasar yang ingin kita kembangkan, yang kita yakini benar dan
yang nantinya menentukan cara pandang kita tentang obyek yang kita telaah.
Asumsi-asunsi dasar inilah, yang menimbulkan perbedaan cara pandang
penegak hukum pada saat dihadapkan dengan perkara yang harus diselesaikan.
Berawal dari perbedaan cara pandang atau paradigma ini, maka menimbulkan
beberapa aliran-aliran yang menggambarkan hubungan hukum dengan Hakim
dalam penegakan hukum, yaitu :
���
�
(1) Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak
boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas.
Hakim hanya sekedar terompet undang-undang. Menurut ajaran ini,
undang-undang dianggap sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi
semua perkara, karena sifatnya rasional.
Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.
(2) Aliran Penemuan Hukum Oleh Hakim.
(a) Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar
undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat
menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang
memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan
undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh Hakim dengan
penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya
dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan
perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum
(konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan bukan sebagai sarana, sehingga
Hakim dapat mengwujudkan kepastian hukum.
(b) Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan Hakim
dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk
melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang,
tetapi juga mencakupi memperluas, mempersempit dan membentuk
��
�
peraturan dalam putusan Hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang
dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan
dalam keadaan tertentu Hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-
undang, demi kemanfaatan masyarakat.
Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan
perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian
internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau “Pembuka
jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi Hakim untuk
membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam
putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya
itu.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.
(c) Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa Hakim
seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan
kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan
masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu
dijatuhkan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin
dan G. Gurvitch.
(d) Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem
terbuka, open system van het recht, karena sistem hukum itu
��
�
membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas
dasar penilaian dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru
dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut37
.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum,
guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan
padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang
telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan
utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat
dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber
utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak
tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian
internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.
Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis)
sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum,
mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara
tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai
dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
������������������������������������������������������������
����� Yusriyadi, Paradigma Positivisme dan Implikasinya Terhadap Penegakan Hukum di
Indonesia, Makalah pada diskusi panel kerjasama Asean Fundation dan Undip dalam
rangka Peringatan Dies Natalis yang ke 46, 2004, hal. 5
���
�
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang
mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan
telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut;
b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang
mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan
tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan
melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-
undangan tersebut.
c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang
mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau
belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang
bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan
penalaran logis.
2.1.3. Bentuk-bentuk Putusan Hakim Pengadilan
Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan hakim sangat
diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Dengan adanya putusan
hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat
memperoleh kepastian hukum tentang statusnya sekaligus dapat
mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan
upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya.
���
�
Menurut Rusli Muhammad putusan pengadilan merupakan output suatu
proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-
saksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti. Ketika proses
pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil
keputusan. Pasal 1 butir 11 KUHAP38
menyatakan: Putusan pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Lebih jauh Bagir Manan menyatakan bahwa suatu putusan hakim akan
bermutu, hal ini tergantung pada tujuh hal, yakni:
1. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman Konsep
Keadilan dan Kebenaran;
2. Integritas hakim yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat
dipercaya;
3. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dari
pihak-pihak berpekara maupun tekanan publik;
4. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka
hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai
kekuatan moral;
������������������������������������������������������������38 Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
���
�
5. Fasilitas di lingkungan badan peradilan;
6. Sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya
termasuk fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di
daerah;
7. Kondisi aturan hukum didalam aturan hukum formil dan materiil
masih mengandung kelemahan.
Aktualisasi dari moralitas ini tidak hanya berlaku terhadap para hakim
saja, tetapi termasuk pula para penyidik, penuntut umum sebagai bagian dari
criminal justice system. Memang Putusan hakim akan menjadi putusan majelis
hakim dan kemudian akan menjadi putusan pengadilan yang menyidangkan dan
memutus perkara yang bersangkutan dalam hal ini setelah dilakukan
pemeriksaan selesai39
, maka hakim akan menjatuhkan vonis berupa :
1. Penghukuman bila terbukti kesalahan terdakwa;
2. Pembebasan jika apa yang didakwakan tidak terbukti atau terbukti
tetapi bukan perbuatan pidana melainkan perdata;
3. Dilepaskan dari tuntutan hukum bila terdakwa ternyata tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara rohaninya (ada gangguan jiwa) atau
juga ternyata pembelaan yang memaksa.
������������������������������������������������������������39 R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Penerbit: Tarsito, Bandung, 1981.
���
�
Putusan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu :
1. Unsur yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama;
2. Unsur filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan;
3. Unsur sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Ada 3 bentuk putusan pengadilan yang diatur dalam KUHAP pada Pasal
191 dan Pasal 193 yaitu:
1. Putusan Bebas
Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa
apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Hal
ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Pada asasnya, esensi putusan
bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan
Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.
Dakwaan tidak terbukti diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang
menyebutkan Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
���
�
Pasal ini memberi penjelasan bahwa adanya dua alat bukti yang sah
belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana akan tetapi dari dua alat
bukti yang sah itu hakim juga memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak
pidana dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo dakwaan tidak terbukti berarti
bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu
karena:
a. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut
oleh Pasal 184 KUHAP, jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa
diteguhkan dengan bukti lain.
b. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak
mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua
keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan
terdakwa.
c. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.
Mengenai alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: Alat
bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan ahli.
c. Surat.
���
�
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.
Secara teori (menurut KUHAP) hanya dikenal istilah putusan bebas,
tanpa adanya kualifikasi “ bebas murni” atau “bebas tidak murni.” Putusan
bebas (vrijspraak) yang diputus oleh hakim, dalam nuansa praktek peradilan
berkembang istilah bebas murni dan bebas tidak murni.
Dalam memilah adanya indikasi bebas murni dan bebas tidak murni
berdasar pula atas acuan argumen teoritisi yang mengadakan pengkualifikasian
bentuk-bentuk vrijspraak, seperti yang dikemukakan oleh seorang doktrina
Belanda, J. M. van Bemmelen, sebagai berikut:
1. De zuivere vrijspraak (putusan bebas murni), merupakan putusan akhir,
hakim membenarkan fakta hukumnya (feiten), namun tuduhan Jaksa
Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
2. De onzuivere vrijspraak (putusan bebas tidak murni), yaitu dalam hal
batalnya tuduhan terselubung (bedekte neitigheid van dagvaarding)
atau putusan bebas yang menurut keyakinan kenyataannya tidak
didasarkan pada tidak terbuktinya apa yang dimuat dalam surat
tuduhan.
3. De vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen (putusan
bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya), yaitu putusan
���
�
hakim yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa haruslah
diakhiri atas suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada
hasilnya.
4. De bedekte vrijspraak (putusan bebas yang terselubung), yaitu dalam
hal hakim mengambil putusan tentang fakta hukum (feiten) dan
menjatuhkan putusan ontslag van alle rechtsvervolging (dilepas dari
tuntutan hukum).
Mencermati pembagian vrijspraak oleh J. M. van Bemmelen tersebut
dihubungkan dengan praktek peradilan pidana Indonesia maka jenis vrijspraak
dengan kualifikasi bebas tidak murni (de onzuivere vrijspraak), bebas
berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan (de vrijspraak of grond van doel
matige heid overwegingen) dan bebas yang terselubung (de bedekte vrijspraak)
yang potensial serta dominan menjadi alasan atau justifikasi bagi Jaksa
Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah
Agung.
2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Dasar hukum dari putusan ini dapat dilihat pada Pasal 191 ayat (2)
KUHAP yang berbunyi: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
���
�
Dari bunyi Pasal di 191 ayat (2) di atas dapat diartikan bahwa putusan
hakim berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang
dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan di sidang
pengadilan ternyata menurut pendapat majelis hakim perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana.
Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal
yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut perbuatannya sendiri
maupun yang menyangkut diri pelaku perbuatan itu, misalnya terdapat pada:
a. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa, atau cacat jiwanya.
b. Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (overmacht)
c. Pasal 49 KUHP tentang membela diri (noodweer).
d. Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan untuk menjalankan
peraturan undang-undang.
e. Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang
sah.
Hal-hal yang menghapuskan pidana yang terdapat pada pasal-pasal
tersebut, oleh Soedarjo dikatakan sebagai hal yang bersifat umum. Di samping
itu dikatakan pula terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, yang
diatur secara khusus dalam pasal tertentu dalam undang-undang, misalnya Pasal
��
�
166 dan 310 ayat (3) KUHP. Dengan demikian, terdakwa yang memenuhi
kriteria masing-masing pasal, baik yang mengatur hal-hal yang menghapus
pidana secara khusus maupun yang bersifat umum seperti tersebut di atas, tidak
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatan yang didakwakan itu
terbukti.
Menurut Pasal 67 KUHAP terhadap putusan lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan
putusan pengadilan dalam acara cepat terdakwa atau penuntut umum tidak
berhak minta banding. Di atas telah dijelaskan bahwa pelepasan dari segala
tuntutan hukum dibenarkan oleh hukum apabila seseorang melakukan perintah
yang diberikan oleh atasan yang sah.
Tetapi tidak semua perintah yang diberikan oleh atasan bisa lepas dari
segala tuntutan hukum. Hakim menempatkan perintah atasan pada hal-hal yang
meringankan saja. Karena sesuai fakta di persidangan perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur dari dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa40
.
3. Putusan Pemidanaan
Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi: Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin
��������������������������������������������������������������Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademi Pressindo, Jakarta 1985.
��
�
berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa
terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan.
Selain itu, dalam penjatuhan pidana jikalau terdakwa tidak dilakukan
penahanan, dapat diperintahkan oleh hakim supaya terdakwa tersebut ditahan,
apabila tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih,
atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21
ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu.
Dalam hal terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat
menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau
membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu. Sedangkan lamanya
pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk
menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang
terbukti dalam persidangan41
. walaupun pembentuk undang-undang memberi
kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus
dijalani terdakwa, bukan berarti hakim bisa seenaknya menjatuhkan pidana
tanpa dasar pertimbangan yang lengkap.
Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan putusan
hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.
Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal dua alat bukti dan
hakim yakin akan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada dan
������������������������������������������������������������41 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif Teoritis dan Praktik, P.T. Alumni,
Bandung, 2008.
���
�
dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim, berarti pula syarat untuk
menjatuhkan pidana telah terpenuhi Dalam hal pengadilan menjatuhkan
putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-
hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa:
Hal-hal yang memberatkan :
1. Program pemerintah gemar memerangi narkoba.
2. Bisa meresahkan masyarakat dan sebagainya.
3. Menghancurkan masa depan generasi muda.
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa belum pernah dihukum.
2. Terdakwa menyesali akan perbuatannya.
3. Terdakwa bersikap sopan di pengadilan.
Adapun jenis pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap pelaku
kejahatan diatur di dalam ketentuan pasal 10 KUHP yaitu :
1. Pidana Pokok :
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Kurungan
���
�
d. Denda
2. Pidana tambahan :
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu.
Hakim dalam usaha penerapan hukum demi keadilan di persidangan
harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila bertindak dan berbuat
tidaklah sekedar menerima, memeriksa kemudian menjatuhkan putusan,
melainkan keseluruhan perbuatan itu diarahkan guna mewujudkan Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa42
. Inilah yang harus diwujudkan oleh
hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung
jawabnya.
Berbagai pengertian keadilan, diantaranya keadilan adalah menempatkan
sesuatu pada tempatnya (proporsional), keadilan adalah keseimbangan antara
hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Demikian pula klasifikasi keadilan juga
banyak ditemukan misalnya Aristoteles membagi keadilan komutatif dan
distributif, ada juga membedakan norm gerechtigkeit dan einzelfall
gerechtigkeit dan seterusnya. Demikian ada ahli yang membagi menjadi :
keadilan hukum (legal justice), keadilan secara moral (moral justice) dan
keadilan sosial (social justice).
������������������������������������������������������������42 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), Mandar
Maju, Bandung, 1999.
���
�
John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam
institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori
betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika tidak benar.
Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisen dan rapinya,
harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki
kehormatan yang didasarkan pada keadilan sehingga seluruh masyarakat
sekalipun tidak bisa membatalkanya.
Teori-teori Keadilan Dalam Pandangan Hukum yaitu Teori-teori Hukum
Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan
sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for
justice”. Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.
Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan
dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut : teori keadilan
Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John
Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans
Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.
1. Teori Keadilan Aritoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya
nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku
nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang,
berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat
���
�
hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan”.
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak
persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak
persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan
manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami
bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.
Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua
macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan
distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap
orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan
peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan ini
Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah
bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang
���
�
adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni
nilainya bagi masyarakat.
2. Teori Keadilan John Rawls
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di
akhir abad ke-20, John Rawls, seperti A Theory of justice, Politcal Liberalism,
dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar
terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of
social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan
bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa
keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya
masyarakat lemah pencari keadilan.
Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-
prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang
dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan”
(veil of ignorance43
).
������������������������������������������������������������
����John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2006.
���
�
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat
antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status,
kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,
sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang
seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu
pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas
(rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur
struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John
Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan
keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin
tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang
keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring
masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya
disebut sebagai “Justice as fairness”.
Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asli” terdapat
prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni
setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan
kompetabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri
masing-masing individu.
���
�
Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama
(equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion),
kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan
mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip
kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang
menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity
principle).
John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program
penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua
prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap
orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal
utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan
orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan
institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua,
setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
���
�
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum
lemah.
3. Teori Keadilan Hans Kelsen
Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil
apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan
sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya44
.
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-
nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang
mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan
kebahagian diperuntukan tiap individu.
Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang
bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa
suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian
sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat
hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia
yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan
������������������������������������������������������������
�44 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
Nusa Media, Bandung, 2011.
��
�
menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai,
ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.
Aliran positivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak
berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia,
dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan
sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan
bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari
hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal
dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.
Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran
positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga
pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum
positif dan hukum alam.
Menurut Hans Kelsen :
“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan
karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia
realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya
tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi
menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang
dapat tangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang
tidak tampak.”
��
�
Konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen : pertama tentang
keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional.
Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu
kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik
kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai
melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan
mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu
kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.
Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar
suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen
pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah
“adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum
adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada
kasus lain yang serupa.
Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum
nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional
dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan
hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu
memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam
peraturan hukum tersebut.
���
�
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara.
Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag)
sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi
negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung
nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila).
Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai
pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta
menerima Pancasila sebagai suatu bernilai.
Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang
bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan
itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa
Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah
laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu
sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah
sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.
Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada
dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah
���
�
apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber
pada Pancasila.
Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-
pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang
pengertian adil.
(1) “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.
(2)“Adil” ialah : menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain
tanpa kurang.
(3)“Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap
tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan
yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar
hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.
Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum
nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan
keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban.
Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban,
dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus
mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras
yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab
orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana
halnya hak yang ada pada diri individu. Dengan pengakuan hak hidup orang
���
�
lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain
tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya.
Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila
sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya
menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar
manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga
tercipta hubungan yang adil dan beradab.
Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api,
bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi,
maka keadilanpun mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan
sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan
kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai :
(1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.
(2)Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-
pengusaha.
(3)Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya
dengan tidak wajar”.
Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat
dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-
���
�
hari sering dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan
itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi
ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu.
Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya
individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya
untuk kepentingan Individu yang lainnya. Hukum nasional hanya mengatur
keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum
nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-
keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu.
Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak
individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam
kelompok masyarakat hukum.
Teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui
hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari
hukum. Baginya, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan
kesamarataan. Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional.
Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.
Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan, keadilan
“distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan
yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan
���
�
commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa
membeda-bedakan prestasinya.
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka
program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah
memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu, pertama, memberi hak dan
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan
yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat
timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal
dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. John Rawl terhadap konsep
“posisi asli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip
persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal,
hakiki dan kompetabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada
diri masing-masing individu45
.
Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang
bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui juga bahwa keadilan
mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat
manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pengertian “Keadilan”
bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar
������������������������������������������������������������45 John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial dalam Negara,Pusaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
���
�
diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika
diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.
Keadilan dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan sosial
menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang
berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk
kepentingan Individu yang lainnya. Keadilan didalam perspektif hukum
nasional ini adalah keadilan yang menselaraskan keadilan-keadilan yang
bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Keadilan ini
lebih menitikberatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dengan demikian konsep keadilan sebenarnya sudah banyak
dikemukakan oleh para ahli karena keadilan sesungguhnya sesuatu yang sangat
dekat dengan pemenuhan hak dan kepentingan manusia. Hanya saja yang tidak
mudah dalam praktek adalah merumuskan apa yang menjadi tolok ukur atau
parameter keadilan itu sendiri.
Dalam konteks putusan hakim peradilan, terutama yang sering
disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice)
dan keadilan substantive (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba
memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan
substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti
mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya.
���
�
Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir
dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.
Dengan kebebasan yang demikian itu, diharapkan hakim dapat
mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan
keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dengan demikian, maka hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat
berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan
pembinaan tertib hukum46
.
2.2. Upaya Hukum Kasasi Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi
2.2.1 Pengertian dan Penjelasan Upaya Hukum Kasasi
Dalam konteks ini berupa pemberian kesempatan kepada Jaksa Penuntut
Umum untuk memperjuangkan haknya dalam memperoleh keadilan lewat
upaya hukum kasasi terhadap putusan yang mengandung pembebasan yakni
dengan cara melakukan koreksi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh
pengadilan negeri kepada terdakwa sehingga keadilan tersebut dapat dirasakan
oleh semua pihak (terwujudnya keadilan sosial yang secara interen dapat
disebut dengan keadilan Pancasila yakni dengan menggunakan landasan
berpijak pada keadilan distributif melalui sarana keadilan korektif).
������������������������������������������������������������46 Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan Nasional,
Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, diedarkan oleh
Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1986.
���
�
Menurut kalangan doktrina ada beberapa pendapat tentang pengertian
upaya hukum tersebut, antara lain, A. Hamzah dan Irdan Dahlan, menyatakan,
“Upaya hukum dimaksudkan merupakan sarana untuk melaksanakan hukum,
yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk tidak menerima penetapan
atau putusan pengadilan karena tidak merasa puas dengan penetapan atau
putusan tersebut.”
Dengan diberikannya kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) maka
akan dapat dirasakan bahwa upaya hukum yang disediakan oleh KUHAP yang
merupakan hak yang dijamin oleh hukum benar-benar dapat dimanfaatkan,
diwujudkan oleh para pihak (terdakwa/terpidana maupun Jaksa penuntut
Umum) apabila mereka merasa tidak puas akan kualitas putusan atau vonis
yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Sebelum menguraikan mengenai definisi atau pengertian upaya hukum
kasasi, penting diketahui mengenai asal kata serta sejarah ringkas
perkembangan dari kasasi tersebut. Kasasi berasal dari kata casser yang artinya
memecah. Lembaga Kasasi berawal di Prancis, ketika suatu putusan hakim
dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Mulanya, kewenangan itu
berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi. Setelah
revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus
yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan
antara yang menjembatani pembuat undang–undang dan kekuasaan kehakiman.
��
�
Lembaga kasasi tersebut lalu diaplikasikan di negeri Belanda yang
kemudian masuk ke Indonesia. pada asasnya, kasasi didasarkan atas
pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah
melampaui kekuasaan kehakimannya. Hadar Djenawi Tahir (2002:8)
menyebutkan dalam bukunya bahwa kasasi merupakan upaya hukum terhadap
putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi. Selama
ini banyak orang keliru menafsirkan bahwa pemeriksaan kasasi adalah
pemeriksaan tingkat tiga. Pemeriksaan tingkat kasasi itu sebenarnya bukanlah
pemeriksaan tingkat ketiga. Kasasi adalah membatalkan atau memecah.
Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan–putusan yang
diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan–pengadilan lain dalam perkara–
perkara pidana maupun perdata, agar dicapai kesatuan dalam menjalankan
peraturan–peraturan dan undang–undang.
Siapa saja yang dapat mengajukan kasasi? Kasasi dapat diajukan oleh :
1. pihak–pihak, yaitu terdakwa atau penuntut umum, pihak–pihak ini
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, maka pembatalan
keputusan dalam tingkat kasasi mempengaruhi keputusan yang
dimintakan kasasi itu;
2. Jaksa Agung demi kepentingan hukum. jaksa agung menyampaikan
permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung. Kasasi demi kepentingan
hukum ini tidak membawa pengaruh terhadap putusan pengadilan yang
��
�
telah dijatuhkan. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan
dengan undang– undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Menurut Yahya Harahap (2006:19), ada beberapa tujuan utama upaya
hukum kasasi.
1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu
tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan
hukum,agar hukum benar–benar diterapkan sebagaimana mestinya serta
apakah cara mengadili perkara benar–benar dilakukan menurut ketentuan
undang–undang.
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya
tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk
yurisprudensi.
3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari
pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman”
penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion.
Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan
mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum,
serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan
dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam
���
�
memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya. Tidak semua hal
dapat dimintakan pemeriksaan kasasi. kasasi hanya dimungkinkan apabila
mengetahui persoalan– persoalan hukum (rechtsvragen).
Apabila dikaji dari pendapat doktrina maka pengertian “salah menerapkan
hukum” berarti judex facti telah keliru menerapkan suatu peraturan hukum
seperti yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (verkeerde toepossing)
atau telah menerapkan suatu peraturan hukum bertentangan atau berlawanan
dengan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (schending der wet).
Tegasnya, dapat dikonklusikan bahwa adanya kesalahan penerapan
hukum yang dilakukan judex facti baik terhadap hukum acara maupun hukum
materiilnya. Menurut Bagir Manan , terdapat empat kemungkinan kesalahan
dalam penerapan hukum yaitu: kesengajaan sebagai cara menyembunyikan
keterpihakan, kelalaian atau kekurang cermatan, pengetahuan yang terbatas
dalam menggunakan legal reasoning dan kurang dalam pertimbangan hukum.
Hakim Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman harus
mengambil peran yang optimal untuk menjadi pembaru hukum guna
mewujudkan pengadilan yang bersih.
Mahkamah Agung yang bertindak sebagai “judex facti” seperti dalam
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 1565/K/Pid/2004 ada hal yang menarik
dimana putusan tersebut menyatakan “judex facti” telah salah menerapkan
hukum berkenaan dengan putusan bebas dalam perkara korupsi dan begitu pula
���
�
halnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1500/K/Pid/2006, dan juga
putusan Mahkamah Agung Nomor. 2057/K/Pid.Sus/2009 dengan kaidah dasar
bahwasanya :”Mahkamah Agung berwenang memperbaiki dan merubah
tentang putusan bebas yang diputuskan oleh Judex Facti karena Mahkamah
Agung menilai judex facti telah salah dalam menerapkan hukum dan
Mahkamah Agung relatif kurang sependapat terhadap putusan bebas yang
diputuskan oleh judex facti.
Adapun persoalan– persoalan hukum itu adalah:
1. Apabila satu aturan hukum tidak diperlakukan oleh hakim atau,
2. Ada kekeliruan dalam memperlakukan satu aturan hukum atau,
3. Apabila hakim melampaui batas kekuasaan. Apakah suatu hak itu
mengenai persoalan hukum atau tidak diputus oleh Mahkamah Agung
sendiri.
Dalam perundang–undangan Belanda, ada tiga alasan untuk melakukan
kasasi, yaitu;
1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara;
2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada
pelaksanaannya;
3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang
ditentukan undang – undang.
���
�
Dalam undang–undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, disebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat
alasan–alasan dan dasar putusan itu, memuat pula pasal–pasal tertentu dari
peraturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili. Ini adalah dasar hukum yang sah bahwa suatu
putusan hakim haruslah memuat alasan–alasan dan dasar–dasar putusan itu.
Dalam tahun 1947 dan 1974, Hoge Raad membatalkan putusan hakim yang
lebih rendah karena alasan–alasan yang kurang cukup dan kelihatan di situ
bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan alasan–alasan yang
dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut.
Berdasarkan alasan–alasan atau pertimbangan–pertimbangan yang
ditentukan oleh undang–undang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang
jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim)
itu. Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi kadang– kadang
tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh undang–undang
(dalam hal ini khususnya yang tercantum pada Undang–Undang Kekuasaan
Kehakiman). Tidak/kurang adanya pertimbangan/alasan–alasan atau pun
alasan–alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu
sama lain, dapat menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu
dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah
Agung dalam putusan kasasi.
���
�
Pasal 253 ayat (1) KUHAP dimuat beberapa alasan mengajukan kasasi,
yaitu;
1. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya;
2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang– undang;
3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus dilakukan menurut
tenggang–tenggang waktu tertentu, yaitu 14 hari setelah putusan pengadilan
yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa atau penuntut
umum, dan kemudian harus disusul dengan mengajukan memori kasasi yang
memuat alasan – alasan permohonan kasasi, dalam tempo 14 hari setelah
mengajukan permohonan tersebut (pasal 245 dan 248).
Jika tenggang waktu sebagaimana dimaksudkan di atas dilampaui, hak
mengajukan permohonan kasasi dan hak menyerahkan memori menjadi gugur
dengan sendirinya (pasal 246 ayat (2) dan pasal 248 ayat (4) KUHP). Cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang–undang,misalnya
pengadilan dilakukan di belakang pintu tertutup tanpa alasan menurut undang–
undang. Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina
dapat disimpulkan bahwa upaya hukum kasasi merupakan suatu hak yang dapat
dipergunakan atau dikesampingkan oleh terdakwa atau penuntut umum.
���
�
Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan yang
dijatuhkan pengadilan tingkat bawahnya maka dapat mengajukan permohonan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan dan
penerapan hukum yang telah dijalankan oleh pengadilan di bawahnya kecuali
terhadap putusan yang mengandung pembebasan. Demi keadilan dan kebenaran
maka putusan hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam
putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan.
Mengenai kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap
putusan bebas, bahwa dalam praktek peradilan pidana Indonesia telah terjadi
suatu penerobosan hukum terhadap ketentuan Pasal 244 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang jelas-jelas melarang pengajuan
permohonan pemeriksaan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.
Menurut KUHAP terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan bagi
Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada
Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244 KUHAP,
yang menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Dengan demikian secara tataran normatif yudisial, hak atau peluang bagi
Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan
���
�
bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat dikatakan bahwa sebenarnya jalan atau
pintu itu sudah tertutup. Akan tetapi terjadi perkembangan dalam praktek
peradilan pidana Indonesia, yakni terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP
tersebut akhirnya dilakukan suatu penerobosan sehingga terhadap putusan
bebas dapat dimintakan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung.
Hal ini merupakan suatu langkah untuk mengatasi krisis ketidakadilan
menurut persepsi publik akan ekses putusan bebas yang cenderung
mempolakan situasi dan kondisi negatif bagi dunia peradilan khususnya dan
penegakan hukum pada umumnya47
.
Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil gejala negatif
tersebut antara lain berupa kembali ke belakang menoleh dan mempertahankan
yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi seperti yang dianut
pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan Mahkamah Agung melakukan
contra legem terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP melalui putusannya
tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 yang merupakan
yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak
diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum kasasi
kepada Mahkamah Agung atas putusan bebas yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum.
������������������������������������������������������������47Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1, Penerbit:
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983��
���
�
Dalam menghubungkan tindakan contra legem dari hakim pada moment
tertentu, kalangan doktrina, yakni, H. Ahmad Kamil, menyatakan: Ketentuan
pasal dalam Undang-Undang sudah dipandang tidak mampu atau kurang
menjamin terciptanya kepentingan perlindungan ketertiban umum tampak
adanya keresahan dari pencari keadilan, timbul rasa ketidak adilan,
ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga
dipandang bobot yurisprudensi lebih potensial menegakkan kelayakan dan
perlindungan kepentingan umum, di banding dengan suatu ketentuan pasal
undang-undang, dia (hakim) dibenarkan mempertahankan yurisprudensi.
Berbarengan dengan itu, hakim langsung melakukan contra legem terhadap
pasal-pasal yang bersangkutan.48
Senada dengan pendapat di atas, Komariah Emong Sapardjaja
berpendapat seperti berikut: pencari keadilan, terutama bagi hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan, tidak dapat menemukan keadilan hanya dalam
undang-undang, tetapi akhirnya ia juga tidak dapat tidak menerapkan undang-
undang. Karena itu, dalam putusan hakim sering ditemukan kaidah-kaidah baru
seperti mengesampingkan suatu ketentuan peraturan perundang undangan.
Putusan yang demikian kalau telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
������������������������������������������������������������48 H. Ahmad Kamil, M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Penerbit: Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
���
�
apalagi telah diikuti oleh putusan-putusan berikutnya, dapat disebut
yurisprudensi.49
Ketentuan terhadap putusan bebas yang secara langsung dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung dapat kita lihat dalam:
1. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07.
03 Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP.
2. Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-
PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983.
3. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07.03
Tahun 1982 Tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP,
menyatakan: Mengingat bahwa mengenai masalah “salah atau tidak tepatnya
penerapan hukum” justru merupakan alasan yang dapat dipakai dalam
mengajukan permohonan kasasi (lihat pasal 253), dan melihat pada pasal 244
yang menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan bebas tidak boleh
dimohonkan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa terhadap semua putusan
������������������������������������������������������������49 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Studi KasusTentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi),
Penerbit: Alumni, Bandung, 2002.
��
�
lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan banding,
melainkan hanya boleh dimohonkan kasasi.
Terkait dengan esensi Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI
Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tersebut, untuk dapat dimintakan kasasi
secara langsung kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas maka
diperlukan adanya suatu pembuktian bahwa putusan bebas tersebut sebagai
pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum
terselubung). Sedangkan esensi dari butir 19 Lampiran Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember
198350
, yakni, “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi
berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap
putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada
yurisprudensi.”
Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:M. 14-
PW. 07. 03. Tahun 1983 tersebut maka terhadap putusan bebas,Jaksa Penuntut
Umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung tanpa terlebih
dahulu melalui upaya hukum banding. Keputusan Menteri Kehakiman ini
menjadi titik awal penentu lahirnya yurisprudensi yang sangat bersejarah dalam
konteks penegakan hukum khususnya dalam beracara pidana kita yang
menyangkut persoalan putusan bebas.
������������������������������������������������������������50 Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10
Desember 1983.
��
�
Selanjutnya mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menjadi
dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, yakni, bahwa dalam
waktu singkat berselang 5 (lima) hari sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri
Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 dengan Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun
1983 tersebut, Mahkamah Agung langsung merespon dengan yurisprudensi
pertama, yakni Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal
15 Desember 1983 dengan mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum
atas permohonan kasasi kasus Raden Sonson Natalegawa. Putusan Mahkamah
Agung ini menjadi yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan
Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan
kasasi Jaksa Penuntut Umum.
Upaya hukum atas putusan bebas yang dimohonkan kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983
tanggal 15 Desember Tahun 1983 tersebut melahirkan dua (2)yurisprudensi
yang isinya , yakni:
1. Putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa dapat diajukan kasasi.
Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tersebut di atas, pada
pertimbangan-pertimbangannya antara lain mencantumkan sebagai
berikut:
“..........sesuai dengan yurisprudensi yang ada apabila ternyata putusan
pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan
���
�
yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP,
permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Sebaliknya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang
keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam surat
dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur
perbuatan yang didakwakan atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu
pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja
wewenang yang menyangkut kompetensi absolut atau relatif, tetapi juga
dalam hal apabila ada unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan
dalam putusan itu, hal mana dalam melaksanakan wewenang
pengawasannya meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi
oleh Jaksa. Mahkamah Agung wajib menelitinya bahwa pembebasan itu
bukan merupakan pembebasan yang murni, Mahkamah Agung harus
menerima permohonan kasasi tersebut.
2. Penafsiran “melawan hukum”, mengenai hal ini Mahkamah Agung dalam
pertimbangannya, antara lain mencantumkan: “Suatu perbuatan dapat
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tidak semata-mata diukur
dari segi perbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
yang diancam dengan hukum pidana tertulis maupun asas-asas yang
bersifat umum, tapi juga menurut kepatutan dalam kehidupan dalam
masyarakat perbuatan itu menurut penilaian masyarakat merupakan
perbuatan tercela.” Bertitik tolak dari uraian di atas dapat diketahui
���
�
bahwa, “Putusan bebas” dapat diajukan kasasi agar permintaan kasasi
tersebut berhasil maka penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa
“putusan bebas” tersebut bukan merupakan pembebasan murni.”
Atas cerminan dan panutan dari yurisprudensi Mahkamah Agung
tersebut, dalam praktek peradilan pidana di Indonesia para Jaksa Penuntut
Umum memperoleh nuansa baru dan angin segar berupa hak untuk mengajukan
upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (tanpa perlu terlebih dahulu harus
menempuh upaya hukum banding atau peradilan tingkat kedua) atau dengan
kata lain bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung pertama tersebut menjadi
acuan dan dasar pembenar secara yuridis normatif bagi para Jaksa Penuntut
Umum untuk memanfaatkan hak dan ruang guna meminta pemeriksaan kepada
Mahkamah Agung berupa upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas51
.
Hal ini merupakan salah satu langkah penegakan hukum terkait dengan
adanya berbagai fenomena yuridis sebagai ekses dari kevakuman norma tentang
hak Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan kasasi terhadap putusan bebas
(vrijspraak) tersebut.
2.2.2 Pembuktian Terbalik Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Konsep keadilan yang menyatu dengan kehidupan masyarakat menjadi
prinsip yang harus ditegakkan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat.
������������������������������������������������������������
�51 Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit: Sinar
Grafika, Jakarta,1992
���
�
Dengan kepercayaan itulah penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.
Krisis di segala bidang bukan disebabkan oleh korupsi tetapi lemahnya
penegakan hukum. Artinya ketika penegakan hukum dapat dilaksanakan maka
kasus korupsi akan dapat di atasi dan krisis�kepercayaan yang selama ini hilang
dapat di munculkan kembali. Tetapi dalam memberantas korupsi bukan hanya
masalah penegakan hukum, tetapi persoalannya ialah membuat sistem itu
berjalan dan mengubah cara orang berperilaku52
.
Secara harafiah, tindak pidana korupsi berasal dari kata "tindak pidana"
dan kata "korupsi". Tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dan bahasa
Belanda Strafbaarfeit" atau "delict" dengan pengertian sebagai sebuah
perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi
pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptie. Corruptie Berasal
dari: kata corumpere yang berarti merusak atau membuat menjadi busuk,
membuat menjadi jelek, membujuk dan menyesatkan dan sering digunakan
untuk istilah penyuapan dan sikap tidak jujur. Dari kata corrumpere inilah
kemudian diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris
menjadi corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, menjadi
corruptie.
������������������������������������������������������������52 Wasingatu Zakiah, Penegakan Hukum Undang-Undang Korupsi, Makalah, Jakarta 2001.
���
�
Wordnet Princenion Education, korupsi, didefinisikan sebagai "lack , of
integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of-
trust for dishonest gain." Selanjutnya, dalam Kamus Collins Cobuild arti dari
kata corrupt adalah "someone who is corrupt behaves in a way that is morally
wrong, especially by doing dishonesty or illegal things in return for money or
power."
Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Leden
Marpaung adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah
(haram). Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung, korupsi diartikan
sebagai : “…penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan
atau sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata “keuangan
negara” biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang
mengelola “keuangan Negara” adalah aparat pemerintah.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang "bersih dan bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas
umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepalsuan hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas, dapat adalah:
a. Asas kepastian hukum (supremacy of law) adalah asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
���
�
kepatutan, dan keadilan dalam setiap warga. Hukum adalah merupakan
penjaga gawang keberlangsungan suatu Negara secara tertib dan lancar.
Pada� hakikatnya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan
pelanggaran hukum yang berperan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, perbuatan atau tindakan
administrasi harus didasarkan pada atas aturan atau prosedur yang
berlaku.
b. Asas tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara negara.
c. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
d. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dari
rahasia negara.
e. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
���
�
f. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
g. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau;
h. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak�
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.
i. Pembatasan kekuasaan adalah pembatasan kekuasaan negara dan organ-
organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan
secara vertikal atau perusahaan kekuasaan secara horisontal. Setiap
kekuasaan pasti ada memiliki kecenderugan untuk berkembang secara
sewenang-wenang. Dalam pengadaan barang dan jasa birokrat cenderung
menyalahgunakan kekuasaan.
j. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa sedap kegiatan
dari hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
���
�
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
k. Pembatasan kekuasaan adalah pembatasan kekuasaan Negara dan organ-
organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan
secara vertikal atau pemisahaan kekuasaan secara horisontal. Setiap
kekuasaan pasti ada memiliki kecenderungan untuk berkembang secara
sewenang-wenang. Dalam pengadaan barang dan jasa birokrat cenderung
menyalahgunakan kekuasaan.
Pembuktian kasus korupsi baik di Indonesia dan beberapa negara asing
memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut di
samping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan
U.U. yang produknya masih dapat bersifat multi interprestasi, sehingga relatif
banyak ditemukan beberapa kelemahan di dalamnya. Salah satu contoh dapat
dikemukakan di sini adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan UU
disebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa
(extra ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra
ordinary measures).
���
�
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan adanya pengaturan
mengenai beban pembuktian terbalik. Lilik Mulyadi53
mengemukakan bahwa
ada dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang beban
pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, Pasal 38B UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban
pembuktian terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoretis dan praktik?
Menurut penulis, tidak. Secara tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan
perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal
12B UU 31/1999 Jo UU 20/2001.
Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) berbunyi:
"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan-nya dan yang
berlawanan dengan, kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut: (a) yang nilainya Rp.�10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi ; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh
.juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum."
������������������������������������������������������������53 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,
Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
�
�
Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di aras
dalam pandangan Lilik Mulyadi yaitu:
Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana (materiele feit) ketentuan
tersebut menimbulkan kesalahan dan ketidak-jelian norma asas beban
pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan
diterapkan kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a
yang berbunyi "....yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi", akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan
kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas
mencantumkan redaksional, "setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya", maka
adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas
dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban
Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang
bersangkutan.
Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran ketentuan
UU dan tiada dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legislasi
merumuskan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut
sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada: Kedua,�
�
�
terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B
UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional "..dianggap pemberian suap".
Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan "....dianggap
pemberian suap" akan tetapi sudah termasuk tindakan "penyuapan". Eksistensi
asas beban pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan
ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional. Akan tetapi, harus kepada dua
unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan
dengan jabatannya (in zijn bediming) dan yang melakukan pekerjaan ini yang
bertentangan dengan kewajiban (in stijd met zijn -plicht).
Ketiga, dikaji dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus
dihubungkan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) yang
diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Hakikatnya, dari
dimensi ini beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan
orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah
(presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption).
Selain itu bersimpangan dengan ketentuan hukum acara pidana yang
mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana
ketentuan Pasal 66 KUHAP, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf
��
�
(i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court/ICC), Pasal 11 ayat (l) Deklarasi Universal Hak�Asasi Manusia, Pasal 40
ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Prinsip 36 ayat (1)
kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang dalam bentuk
penahanan apapun atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 43/1739
Desember 1988 dan Konvensi Internasional serta asas legalitas.
Dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebenarnya beban pembuktian
terbalik dalam perundang-undangan Indonesia "ada" ditataran kebijakan
legislasi akan tetapi '"tiada" dan "tidak bisa" dilaksanakan dalam kebijakan
aplikasinya. Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi
memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang
terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau
kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana
korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara54
.
Meskipun demikian, untuk dapat menerapkan pembuktian terbalik
terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji. terlebih dahulu, karena menurut
Topo Santoso, dalam hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu: "Pertama,
bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya.
Kedua, apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktan
terbalik), mulai dari pengacaranya, hakimnya, jaksa penuntut umumnya.
������������������������������������������������������������54 Chairudin dan Syaiful Ahmad Dinar, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi, Refika Aditama, Jakarta, 2008.
��
�
Ketiga, jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat
pemerasan baru, di mana semua orang dapat saja disudutkan melakukan
korupsi. Dan pihak kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan
berbagai macam-macam korupsi. Orang yang dituduh korupsi disuruh
membuktikan bahwa ia tidak melakukan�korupsi, sehingga banyak sekali orang
yang akan "diperas" karena dituduh melakukan korupsi."
Todung Mulia Lubis mengemukakan bahwa penerapan asas pembuktian
terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat tidak
dibuat. Jadi sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan-
kekayaan "haram" yang dia peroleh. Seharusnya disyaratkan laporan kekayaan
pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga
si pejabat bisa diinvestigasi.