30
7 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Myofascial Pain Syndrome m.upper trapezius Myofascial pain syndrome didefinisikan dengan terdapatnya trigger point yang timbul dari taut band serabut otot yang membentuk seperti jalinan tali dan lunak ketika disentuh dan ketika dipalpasi, menimbulkan respon kejang lokal yang dikenal juga dengan jump sign yang merupakan sebuah pemendekan pada serabut otot yang mengalami fibrous (Simons, 2003). Myofascial pain syndrome dicirikan dengan adanya spasme otot, tenderness, stiffness (kekakuan), keterbatasan gerak, kelemahan otot dan sering pula timbul disfungsi autonomik pada area yang dipengaruhi, umumnya gejala yang timbul cukup jauh dari trigger area (Hurtling, et al., 2005). Faktor-faktor yang mempunyai kontribusi terhadap terjadinya myofascial pain syndrome m.upper trapezius diantaranya adalah (Sugijanto, 2008) : 1. Postur yang jelek Keadaan ini menyebabkan stress dan strain pada otot upper trapezius, misalnya forward head posture yaitu postur dimana posisi kepala terus-menerus kedepan.

BAB II KAJIAN TEORI - sinta.unud.ac.id · respon kejang lokal yang dikenal juga dengan ... critical load yang kemudian akan menimbulkan kelelahan pada otot ... akibatnya akan menjadi

  • Upload
    lamcong

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Myofascial Pain Syndrome m.upper trapezius

Myofascial pain syndrome didefinisikan dengan terdapatnya trigger

point yang timbul dari taut band serabut otot yang membentuk seperti

jalinan tali dan lunak ketika disentuh dan ketika dipalpasi, menimbulkan

respon kejang lokal yang dikenal juga dengan jump sign yang merupakan

sebuah pemendekan pada serabut otot yang mengalami fibrous (Simons,

2003).

Myofascial pain syndrome dicirikan dengan adanya spasme otot,

tenderness, stiffness (kekakuan), keterbatasan gerak, kelemahan otot dan

sering pula timbul disfungsi autonomik pada area yang dipengaruhi,

umumnya gejala yang timbul cukup jauh dari trigger area (Hurtling, et al.,

2005).

Faktor-faktor yang mempunyai kontribusi terhadap terjadinya

myofascial pain syndrome m.upper trapezius diantaranya adalah

(Sugijanto, 2008) :

1. Postur yang jelek

Keadaan ini menyebabkan stress dan strain pada otot upper

trapezius, misalnya forward head posture yaitu postur dimana posisi

kepala terus-menerus kedepan.

8

2. Ergonomi kerja yang buruk

Ketika kebiasaan ini berlangsung berulang-ulang dan dalam

waktu lama akan menimbulkan stress mekanik yang berkepanjangan

misalnya seorang di depan komputer dengan layar yang terlalu tinggi

agak jauh dari kursi duduk.

3. Trauma

Trauma dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma makro dan trauma

mikro. Trauma makro adalah suatu cidera pada otot atau fasia. Ketika

jaringan miofasial mengalami cidera maka akan terjadi proses

inflamasi, diikuti adanya produksi serabut kolagen. Kolagen

memutuskan ikatan produksi serabut kolagen kemudian kolagen

memutuskan ikatan bersama dan cenderung membuat ikatan yang tidak

beraturan. Adanya ketegangan serabut kolagen akan menurunkan

mobilitas dari jaringan miofasial sehingga mudah terjadi pemendekan

serabut kolagen. Karena serabut kolagen memendek maka tekanan di

dalam jaringan miofasial akan meningkat. Peningkatan tekanan di

dalam jaringan miofasial ini akan menekan arteri, vena, dan pembuluh

darah limfe yang akan menyebabkan iskemia dan timbul myofascial

trigger point, sehingga jaringan akan mudah mengalami kontraktur

(Widodo, 2011).

Sedangkan trauma mikro adalah suatu cidera yang berulang

(repetitive injury) akibat dari suatu kerja yang terus menerus dengan

beban yang berlebih. Ketika adanya beban tegangan yang berlebihan

9

yang diterima jaringan miofasial secara intermitten dan kronis, maka

akan menstimulasi fibroblast dalam fasia untuk menghasilkan lebih

banyak kolagen. Kemudian kolagen akan terkumpul banyak di dalam

jaringan tersebut sehingga timbul jaringan fibrous. Ketika jaringan

fibrous ini dipalpasi akan dirasakan keras. Ikatan fibrous berjalan secara

longitudinal sepanjang otot upper trapezius. Hal ini akan mencetuskan

timbulnya myofascial trigger point yang mempunyai ketegangan tinggi

dan lama kelamaan dapat menimbulkan kontraktur (Widodo, 2011).

4. Degenerasi

Perubahan yang jelas pada sistem otot pada usia lanjut adalah

berkurangnya massa otot, terutama mengenai serabut tipe I dan II.

Penurunan massa otot ini lebih disebabkan karena atropi. Perubahan-

perubahan yang timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh disuse.

Efek dari penuaan dan disuse terhadap tubuh pada sistem otot adalah

otot dalam posisi yang statik sehingga otot tidak ada penguluran. Jika

hal ini berlangsung lama maka akan mengakibatkan tightness dan

timbulah myofascial pain syndrome (Widodo, 2011).

Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik basal dan laju

konsumsi oksigen maksimal berkurang 4,5%. Otot menjadi lebih

mudah lelah dan kecepatan kontraksi akan melambat. Selain dijumpai

penurunan massa otot, sering juga dijumpai berkurangnya rasio otot

dengan jaringan lemak. Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem

otot lebih disebabkan oleh disuse. Seseorang yang selalu aktif

10

sepanjang umurnya cenderung lebih dapat mempertahankan massa otot,

kekuatan otot dan koordinasi dibanding dengan mereka dengan pola

hidupnya santai. Pada kelompok usia pertengahan, penyebab nyeri leher

umumnya bersumber dari myofasial pain syndrome dan post traumatic

pain (Widodo, 2011).

Myofascial pain syndrome pada bagian atas tubuh lebih sering

dibandingkan dengan area lain di tubuh. Saat bekerja membutuhkan peran

yang membutuhkan peran yang sangat besar dari otot-otot vertebra dan otot-

otot leher yang mempunyai peran yang cukup besar dalam mempertahankan

posisi leher. Biasanya terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun dan lebih banyak

pada wanita dibanding laki-laki. Biasanya diikuti dengan adanya trauma

ringan yang diakibatkan karena bekerja terus-menerus dalam waktu yang

lama, menggunakan komputer terus-menerus, dan membawa tas dengan

beban berat. Hal tersebut akan menimbulkan strain pada otot-otot leher

terutama otot upper trapezius. Adanya rasa nyeri maka akan sangat

mengganggu aktivitas seseorang yang melibatkan gerakan leher, hal ini

akan menghambat dalam melakukan pekerjaan sehari-hari (Fatmawati,

2013).

2.2 Anatomi m.upper trapezius

Otot upper trapezius adalah salah satu jenis otot rangka dimana

berperan dalam menyusun struktur leher, bahu, dan punggung manusia.

Upper trapezius yang merupakan otot tipe I atau slow twitch ini, memiliki

hubungan insersio pada sepertiga lateralis clavicula. Otot ini berasal dari

11

1/3 medial linea nuchalis superior, protubentia externa occipitalis,

ligamentum nuchalis, dan processus spinosus vertebra C7 (Snell, 2006).

Adapun fungsi dari upper trapezius adalah dalam gerakan elevasi

scapula, dan rotasi keatas dari scapula. Pada saat otot ini melakukan

kontraksi konsentrik bersama dengan otot levator scapula akan

menghasilkan gerak elevasi tulang scapula. Apabila otot upper trapezius

berkontraksi secara unilateral maka akan menghasilkan gerakan lateral

fleksi dari kepala, sedangkan bila dilakukan bilateral maka akan

menghasilkan gerakan ekstensi kepala (Vizniak, 2010).

Disamping itu, otot upper trapezius juga memiliki peran sebagai

fiksator scapula ketika otot deltoid beraktivitas sehingga depresi scapula

saat lengan sedang mengangkat sesuatu dapat dicegah. Otot ini juga bekerja

untuk melakukan fiksasi pada scapula saat lengan bergerak dan bekerja

sebagai fiksator leher serta mempertahankan postur kepala yang cenderung

jatuh kedepan yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi maupun berat kepala itu

sendiri.

12

Gambar 2.1. Otot Trapezius

(Lippert, 2011)

2.3 Patofisiologi Myofascial Pain Syndrome m.upper trapezius

Myofascial pain syndrome m.upper trapezius ditandai dengan adanya

myofasial trigger point yang mempunyai titik sangat peka pada otot atau

fasia yang menyebabkan nyeri dan tenderness saat istirahat atau gerakan

mengulur yang membebani otot upper trapezius. Tanda dan gejala

myofascial pain syndrome m.upper trapezius antara lain (Sugijanto, 2008):

1. Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius

2. Reffered pain umumnya dengan pola yang dapat diprediksi

3. Terdapat taut band pada otot dan fasia serta jaringan ikat longgar

(connective tissue)

4. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan

lingkup gerak sendi

Upper trapezius

Middle trapezius

Lower Trapezius

13

5. Adanya titik tenderness pada atau tempat sepanjang taut band yang

disebut trigger point

6. Spasme otot akibat sekunder dari rasa nyeri yang timbul juga akibat

penumpukan zat-zat iritan atau sisa metabolisme

7. Perubahan otonomik seperti vasokontriksi pembuluh darah yang

mengakibatkan daerah miofasial hiposirkulasi dan nutrisi.

Otot upper trapezius merupakan otot tipe tonik (slow twitch) yang

bekerja secara konstan bersama-sama dengan otot-otot shoulder girdle lain

yaitu memfiksasi scapula dan leher termasuk mempertahankan postur

kepala yang cenderung jatuh ke depan karena kekuatan gravitasi dan berat

kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan meningkat pada kondisi tertentu

seperti adanya postur yang jelek ergonomi kerja yang buruk, degenerasi

otot, tauma atau strain kronis. Akibatnya terjadi kompresi dan ketegangan

yang lebih lama daripada rileksasi, terjadinya suatu keadaan melebihi batas

critical load yang kemudian akan menimbulkan kelelahan pada otot tersebut

(Wagab, 2014).

Ketika otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus-

menerus, akan menimbulkan stres secara mekanis pada jaringan miofasial,

dalam waktu yang lama hal ini akan menstimulasi nosiseptor yang ada di

dalam otot (Wagab, 2014).

Semakin sering dan kuat nosiseptor tersebut terstimulasi maka akan

semakin kuat pula aktifitas reflek dari ketegangan otot tersebut, akibatnya

pada jaringan piofasial terjadi penumpukkan zat-zat nutrisi ke jaringan, dan

14

tidak dapat dipertahankannya jarak antar serabut jaringan ikat sehingga akan

menimbulkan iskemik pada jaringan miofasial. Dengan adanya iskemik

maka akan merangsang substansi P untuk membebaskan zat-zat algogen

yang berupa prostaglandin, histamin, bradikinin dan serotonin yang dapat

menimbulkan nyeri. Proses radang juga dapat menimbulkan respon

neuromuskular berupa ketegangan otot disekitar area yang mengalami

kerusakan, sehingga akan timbul viscous circle of pain, yaitu spasme

menimbulkan iskemik, iskemik menimbulkan nyeri dan nyeri menimbulkan

spasme dan seterusnya. Dalam waktu yang bersamaan akan terjadi proses

perbaikan jaringan miofasial yang mengalami kerusakan dengan cara

menstimulasi fibroblast dalam jaringan miofasial untuk menghasilkan

banyak kolagen. Kolagen yang terbentuk mempunyai susunan yang tidak

beraturan atau cross link sehingga terbenttuk jaringan fibrous yang kurang

elastis (Wagab, 2014).

Adanya iritasi saraf oleh karena rasa nyeri yang berlangsung lama

akan menurunkan ambang rangsang Aα dan C terjadi hyperalgesia dan

allodynia yang akan menimbulkan refleks hiperaktifitas simpatis, sehingga

terjadi vasokontriksi pembuluh darah dan terjadi gangguan sirkulasi. Oleh

karena rasa nyeri umumnya pasien tidak mau menggerakkan bagian tersebut

(immobilisasi) akibatnya akan menjadi kontraktur sehingga akan terbentuk

taut band dan trigger point (Wagab, 2014).

Akibat lebih lanjut dari immobilisasi terhadap jaringan ini adalah

substansi intraseluler yang berisi air menurun 3-4% dan jaringan ikat

15

tampak seperti kayu. Penurunan yang sangat mencolok sebesar 20% terjadi

pada glikosaminoglikan dari substansi intraseluler. Kebalikannya sisa-sisa

kolagen seluruhnya tidak berubah. Hilangnya air dan glikosaminoglikan ini

disamping menyisakan jumlah kolagen juga menurunkan jarak antar serabut

kolagen dalam jaringan ikat yang kemudian akan menghilangkan gerakan

bebas antar serabut. Hilangnya gerakan bebas ini cenderung untuk membuat

jaringan kurang elastis dan kurang lentur. Selanjutnya dengan tidak adanya

tekanan normal selama masa immobilisasi serabut kolagen akan membentuk

seperti pita dengan pola yang tidak beraturan dan cross link dapat terbentuk

pada tempat yang tidak diinginkan sehingga menghambat pergeseran

normal. Karena hilangnya substansi intraseluler akan membuat serabut

menutup secara bersama-sama sehingga cross link akan lebih mudah

terbentuk. Dengan adanya abnormal cross link apabila terdapat regangan

maka akan mengiritasi serabut saraf A α dan C sehingga timbul nyeri

(Wagab, 2014).

2.4 Penanganan Fisioterapi pada Penderita Myofascial Pain Syndrome

m.upper trapezius

Fisioterapi bertanggung jawab terhadap gangguan gerak dan fungsi

akibat myofascial pain syndrome. Penanganan yang umum diberikan dalam

masalah-masalah yang ditimbulkan oleh myofascial pain syndrome, antara

lain adalah mengurangi nyeri, mengurangi spasme otot, meningkatkan

lingkup gerak sendi, meningkatkan kekuatan otot menggunakan modalitas

fisioterapi seperti ultrasound, strain counterstrain dan auto stretching.

16

2.4.1 Ultrasound

a. Pengertian ultrasound (US)

Ultrasoud (US) adalah salah satu modalitas fisioterapi yang

menggunakan gelombang suara dengan getaran mekanis

membentuk gelombang longitudinal dan berjalan melalui medium

tertentu dengan frekuensi yang bervariasi (Bartley&Young, 2009).

Pesawat ultrasound merupakan suatu generator yang

menghasilkan arus bolak-balik dengan frekuensi tinggi (high

frequency alternating current) yang mencapai 0,5-3 Mhz. Arus ini

berjalan menembus kabel koaksial pada tranduser yang kemudian

dikonversikan menjadi vibrasi oleh adanya efek piezoelektrik

(Sugijanto, 2008).

Gelombang dari efek piezoelektrik dikarenakan dari vibrasi

kristal yang terdapat pada tranduser ultrasound. Gelombang suara

apabila di berikan pada kulit akan menyebabkan vibrasi dari

jaringan lokal. Vibrasi ini dalam kasus tertentu terjadi panas dalam

lokal.

b. Efek fisiologis ultrasound

1) Efek Mekanik

Pada saat gelombang ultrasound masuk ke dalam tubuh

maka efek pertama yang terjadi adalah efek mekanik.

Gelombang ultrasound pada saat diserap oleh jaringan tubuh

17

akan menyebabkan kompresi dan regangan dengan gaya

maksimal 4 Bar dalam jaringan tubuh dengan frekuensi yang

sama dengan frekuensi dari gelombang ultrasound yang masuk

tadi. Oleh karena itu terjadi variasi tekanan dalam jaringan

sehingga menghasilkan efek mekanis yang besar sekali di dalam

jaringan tubuh yang tidak didapatkan dari modalitas yang lain.

Jadi dengan adanya variasi tekanan inilah kemudian timbul efek

mekanik yang dikenal dengan istilah micromassage (Sugijanto,

2008).

Secara khusus efek micromassage yang ada menyebabkan

pelepasan struktur sel mikroskopis, friksi pada jaringan yang

menyebabkan efek panas, osilasi partikel pada medium air, dan

massage intraseluler. Efek ini terjadi dengan energi kontinyu

ataupun intermitten (Sugijanto, 2008).

2) Efek Termal (Panas)

Micromassage pada jaringan lunak akan menghasilkan

efek friction yang hangat. Pada saat friksi terjadi di dalam aliran

daerah, maka akan terjadi pengeluaran energi yang terus-

menerus dari ultrasound yang menyebabkan peningkatan suhu.

Kemudian dengan adanya micromassage dan rasa hangat akan

menimbulkan efek sedatif pada pasien. “Lehmann”

mengemukakan bahwa setiap pemberian ultrasound dengan

dosis 1 watt/cm2 secara kontinyu dalam jaringan otot akan

18

menaikkan temperatur sebesar 0,070C per detik (Sugijanto,

2008).

Panas yang dihasilkan untuk setiap jaringan tidak sama,

hal ini bergantung pada beberapa faktor yang dapat ditentukan,

misalnya : bentuk aplikasi ultrasound (kontinyu dan

intermitten), intensitas dan lamanya terapi (Sugijanto, 2008).

Pengaruh panas dari ultrasound dapat membuat panas

yang lain yaitu bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi yang

mengaktifkan penambahan nutrisi, oksigen dan memperlancar

peningkatan sisa metabolisme (Sugijanto, 2008).

Namun demikian efek termal pada ultrasound

pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang diperoleh

hanya 1 (satu) menit pada tiap-tiap jaringan. Tetapi bila

terkonsentrasi pada satu jariingan dapat menimbulkan “heat

burn”, yaitu bila pada tempat menonjol atau tranduser static

(Sugijanto, 2008).

3) Efek Biologis

Efek biologis merupakan hasil fisiologis dari efek

mekanik dan efek panas. Adapun pengaruh biologis yang

dihasilkan ultrasound adalah meningkatkan sirkulasi darah,

rileksasi otot, meningkatkan permeabilitas membran dan

meningkatkan regenerasi jaringan. Dibawah ini akan dijelaskan

19

secara singkat proses timbulnya efek-efek biologis diatas

(Sugijanto, 2008):

1) Meningkatkan sirkulasi darah

Penyerapan dari energi ultrasound antara lain

menghasilkan efek panas. Tubuh akan memberikan reaksi

terhadap efek panas ini yaitu vasodilatasi.

2) Mengurangi nyeri

Pengaruh nyeri terjadi secara tidak langsung yaitu

dengan adanya pengaruh gosokan membantu “venous dan

lymphatic”, sehingga terjadi peningkatan kelenturan jaringan

lemak serta menurunnya nyeri regang dan proses percepatan

regenerasi jaringan.

3) Rileksasi otot

Perbaikan sirkulasi darah akan menyebabkan terjadinya

relaksasi otot-otot karena zat-zat pengiritasi jaringan

diangkut. Vibrasi ultrasound dapat mempengaruhi serabut

saraf afferent secara langsung dan akibatnya adalah relaksasi

otot.

4) Peningkatan permeabilitas membran

Terjadi pada pelaksanaan secara kontinyu dari

intermitten. Melalui getaran ini, cairan tubuh didorong

kedalam membran sel, yang dapat mengakibatkan adanya

20

perubahan konsentrasi ion yang akan berpengaruh juga

terhadap nilai ambang rangsang dari sel-sel.

5) Meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan

Dengan pemberian ultrasound menyebabkan terjadinya

vasodilatasi pembuluh darah sehingga meningkatkan pasokan

bahan makanan pada jaringan lunak dan juga terjadi

peningkatan zat antibodi yang mempermudah terjadinya

perbaikan jaringan yang rusak

6) Pengaruh terhadap saraf perifer

Getaran ultrasound dengan intensitas 0,5-5 watt/cm2

dengan gelombang kontinyu dapat mempengaruhi eksitasi

dari saraf perifer. Efek ini berhubungan dengan efek panas

sedangkan aspek mekanis tidak berpengaruh.

c. Dosis

Dosis adalah hasil perkalian antara intensitas dengan lamnya

terapi ultrasound yang diberikan. Perhitungan dosis yang dapat

dipakai sebagai acuan dengan area 70 cm2 adalah sebagai berikut

(Rahayu, 2014):

1. Untuk mengurangi nyeri 1-2 w/cm2 kontinyu (serabut saraf)

selama 3-5 menit, 0,5-1 w/cm2 kontinyu (akar saraf dan ganglia)

selama 3-4 menit atau pulsed selama 6-8 menit.

21

2. Untuk mengurangi adhesi 1,5-3 w/cm2 kontinyu selama 4-6

menit. Durasi dan frekuensi terapi ultrasound sebaiknya

diberikan setiap hari dalam 3 kali seminggu.

Intensitas ditentukan oleh aktualitas patologi, power

permukaan treatment head (W/cm2), bila ingin memberikan

intensitas dengan dosis rendah maka pemberian dengan pulsasi,

tergantung ukuran ERA dan rasa iritasi adalah hangat ringan, bila

ada keluhan sakit kepala, vertigo, kelelahan dan lain-lain maka

intensitas diturunkan. Pemberian kontinyu intensitas rendah adalah

0,3 W/cm2, bila medium 0,3-1,2 W/cm2, sedangkan intensitas

tinggi adalah 1,2-3 w/cm2 (Rahayu, 2014).

d. Indikasi ultrasound

Indikasi dalam penggunaan ultrasound perlu ditinjau dari

beberapa aspek yaitu efek dari ultrasound, spesifik jaringan yang

mempunyai nilai absorbsi yang berbeda pada tiap-tiap jaringan,

patologi dan luas daerah lesi, serta letak kedalaman jaringan.

Indikasi ultrasound itu sendiri diantaranya (Rahayu, 2014):

(a) Adhesi, tendinitis, sinovitis, sindroma miofasial

(b) Nyeri, spasme otot dan nyeri akibat disfungsi simpatis,

neuroma

(c) Neuralgia prepatelar traumatik, efusi akut lutut akibat trauma

(d) Haematoma, bengkak (swelling)

(e) Fraktur, proses penyembuhan luka dan kondisi bakteria

22

(f) Penyakit sirkulasi darah seperti penyakit raynud dan buerger,

suddeck dysthropie

(g) Kelainan pada kulit seperti jaringan parut operasi, luka bakar,

trauma

(h) Rheumatoid arthritis pada stadium tidak aktif

(i) Penyakit saraf seperti neuropati, phantom pain dan HNP.

e. Kontra Indikasi

1) Absolut : Mata, jantung, uterus wanita hamil, testis, epiphyscal

plate tulang anak yang belum matang, kanker/pasien dengan

pengobatan radioterapi dan penyakit kelainan darah seperti

haemophilia (Rahayu, 2014).

2) Relatif : Post laminektomi, hilangnya sensibilitas, tumor,

tromboplebitis, varises, diabetes melitus, sepsis,

inflamasi/infeksi akut, tuberkulosa tulang (Rahayu, 2014).

f. Mekanisme penurunan nyeri myofascial pain syndrome m.upper

trapezius pada modalitas ultrasound

Pemberian terapi menggunakan ultrasound mempunyai efek

mekanik dan heating. Efek mekanik akan menimbulkan

micromassage sehingga dapat mengenai taut band, menghancurkan

abnormal cross link yang ada pada fasia dan serabut otot yang

kemudian akan mengurangi nyeri regang. Pengaruh mekanik

tersebut juga akan menstimulasi saraf polimodal dan akan

dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “P

23

substance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau

dikenal ”neurogenic inflamation”. Namun dengan terangsangnya

“P substance” tersebut pada prinsipnya akan memacu proliferasi

fibroblast sehingga mempercepar terjadinya penyembuhan jaringan

yang mengalami kerusakan. Adanya pengaruh gosokan juga

membantu “venous dan lymphatic”, sehingga akan menghasilkan

pumping action (Sugijanto, 2008).

Efek heating akan memberikan panas lokal pada daerah otot

ataupun fasia yang dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh

darah dan menghasilkan peningkatan sirkulasi darah ke daerah

tersebut, sehingga zat-zat iritan penyebab nyeri dapat terangkat

dengan baik lalu masuk kembali ke dalam aliran darah, baik vena

dan limfe, sehingga membantu dalam mengatasi spasme otot.

Pengaruh panas dari ultrasound dapat membuat panas yang lain

yaitu bertambahnya aktivitas sel, vasodilatasi pembuluh darah yang

memberikan penambahan nutrisi, oksigen dan memperlancar

pengangkutan sisa metabolisme. Namun demikian efek termal pada

ultrasound pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang

diperoleh hanya 1 (satu) menit pada tiap-tiap jaringan (Sugijanto,

2008).

24

2.4.2 Strain Counterstrain

a. Definisi

Strain counterstrain diperkenalkan oleh Lawrence Jones pada

tahun 1981. Jones mengemukakan pendapatnya bahwa banyak

sindrom gangguan fungsi somatik diiringi oleh trigger point.

Teknik ini menentukan lokasi trigger point kaitannya dengan

gangguan fungsi, kemudian memposisikan pasien sedemikian rupa

sehingga nyeri trigger point berkurang. Posisi dipertahankan

selama 90 detik, kemudia pasien secara perlahan-lahan

dikembalikan ke posisi normal. Jika teknik ini berhasil, maka nyeri

trigger point akan hilang atau berkurang drastis. Evaluasi pada lesi

artikular akan memperlihatkan pengembalian fungsi gerak. Teknik

ini dapat diaplikasikan pada semua area yang teridentifikasi trigger

point (Hartman, 1997).

Menurut Jones (1990), Strain counterstrain adalah teknik

untuk menurunkan nyeri spinal dan atau nyeri sendi lainnya dengan

memposisikan sendi secara pasif kedalam posisi yang

menimbulkan rasa paling enak, atau suatu teknik penurunan nyeri

melalui penurunan dan penahanan aktivitas proprioceptor yang

kurang tepat secara terus menerus. Ketika posisi yang

mengenakkan dapat diperoleh (fine tuning), dimana nyeri dapat

menghilang dari monitoring palpasi pada tender point, maka

jaringan yang dirasakan terstress akan menjadi paling relaks. Strain

25

Counterstrain memungkinkan muscle spindle untuk menghentikan

informasi kontraksi kepada otot sehingga otot dapat rileks. Dengan

otot yang rileks dari sendi dengan sendirinya kembali ke posisi

normal secara spontan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya otot

yang rileks dapat berfungsi secara optimal, meningkatkan ROM,

meningkatkan fleksibilitas. Strain Counterstrain adalah cara yang

efektif dan sangat lembut tritmennya karena SCS menggerakkan

bagian tubuh yang sakit menuju keposisi yang nyaman (Jones,

1990).

Strain Counterstrain dapat meningkatkan sirkulasi lokal,

mempercepat pasokan nutrisi dan pembuangan limbah metabolik

pada jaringan. Perbaikan sirkulasi akan mengurangi pembengkakan

yang dapat menghambat fungsi otot dan iskemia yang dapat

bermanifestasi sebagai TPS atau mempertahankan disfungsi

(Simons, 2003).

Efek sirkulasi dari SCS dimana fibroblast disekresikan oleh

pro-inflamasi interleukin dan sel proliferasi lebih menurun

dibandingkan dengan sel yang beristirahat. Setelah sirkulasi

beristirahat selama satu menit akan terjadi pelepasan posisi dimana

fibroblast disekresikan ke tingkat yang lebih rendah dari pro-

inflamasi interleukin IL-6 dan proliferasi sel menigkat secara

signifikan dibandingkan dengan peregangan. Namun demikian,

tingkat penurunan IL-6, penting untuk menangani penyembuhan

26

inflamsai setelah cedera akut, dimana SCS dapat mempengaruhi

sirkulasi (Wibowo, 2013).

Perubahan yang cepat dalam otot akan memfasilitasi proses

penyembuhan pasien untuk pemulihan lebih cepat dan lebih

lengkap. Kelembutan SCS membuat aman dan efektif untuk

mengobati pasien yang rapuh (misalnya, bayi dengan torticollis,

pasien usia lanjut dengan osteoporosis, patah tulang, stress,

kehamilan atau pasien nyeri panggul, nyeri pasca operasi, dll) dan

rasa sakit yang terkait dengan sendi gerak berlebihan atau

hipermobilitas (Wibowo, 2013).

Strain Counterstrain adalah non-traumatik manual terapi

teknik yang dapat digunakan pada pasien nyeri muskuloskeletal.

Strain Counterstrain sangat efektif untuk mengurangi

hipertonisitas otot, ketegangan fasia, meningkatkakn mobilitas

sendi, meningkatkan sirkulasi lokal dan mengurangi

pembengkakan, menurunkan nyeri, meningkatkan kekuatan.

Kotraindikasi SCS adalah ada luka terbuka, ada jahita, lesi kulit

lokal atau infeksi, hematoma dan hipersensitivitas kulit (Chaitow,

2003).

Strain Counterstrain pada prinsipnya bertujuan untuk

mengurangi nyeri dan menambah jarak gerak sendi dengan

demikian Strain Counterstrain dapat mengoreksi gangguan gerak

secara bertahap dan lembut berdasarkan prinsip biomekanik.

27

Menurut Giammatteo S & Kain J.B. (2005), strain counterstrain

dapat mengurangi nyeri pinggang bawah sampai 70%. Hasil

penelitian Bailey (2002) menunjukkan bahwa pemberian strain

counter strain tanpa pengobatan lain terhadap 25 penderita

whiplash setelah 20 menit beristirahat, 18 orang (72%) diantaranya

mengalami penurunan nyeri dan dapat menggerakkan leher sekitar

53% (Bailey, 2002).

Menurut Jones (1990) dan Chaitow (2003), dengan

memberikan posisi yang nyaman sambil memberikan friksi

sebanyak 20 kali secara bertahap pada setiap penambahan jarak

gerak sendi, ternyata pasien dapat menggerakkan sendinya lebih

longgar ke arah nyeri karena nyerinya berkurang saat itu dan

kekakuan sendi pun semakin berkurang. Menurut Jones (1990),

dengan memberikan penekanan pada trigger point di daerah yang

mengalami strain baik yang bersifat akut maupun kronik dapat

menghilangkan atau mengurangi perasaan nyeri pada daerah yang

dipalpasi, karena itu strain counterstrain merupakan salah satu

metode manipulasi yang efektif untuk mengatasi nyeri myofascial

terutama pada fase akut dalam batas toleransi penderita (Jones,

1990).

28

b. Konsep neurofisiologi strain counterstrain dalam mengurangi

nyeri

1. Penguraian nodul dan taut band

Strain Counterstrain dilakukan dengan cara stretching

secara perlahan dan bertahap ke arah posisi fisiologis sambil

melakukan friction selama 90 detik di titik pada area jaringan

lunak yang mengalami nyeri untuk merangsang orientasi serabut

fibrous melalui pemecahan atau penguraian jaringan parut yang

adhesif atau nodul yang terdapat di dalam serabut otot pada

myofascial pain syndrome. Dengan demikian akan terjadi

pengurangan nyeri dan penambahan jarak gerak sendi

berdasarkan mekanisme monosynoptic reflex dan reflextoar

fasilitation atas jasa Piezo Electric Effect (Chaitow, L. 2003).

Hans (Arysandi, 2001) mengemukakan bahwa friksi merupakan

bagian dari manipulasi untuk melepaskan perlengketan jaringan

yang mengalami adhessive untuk mengurangi spasme otot dan

menghilangkan nodulus pada jaringan lunak. Mannel

mengatakan pemberian friksi menyebabkan terjadinya sedative

effect pada sistem saraf tepi dan juga mungkin pada saraf

motorik (Arysandi, 2001).

2. Efek Piezo Electric Charge

Dengan melakukan strain counterstrain pada myofascial

akan meningkatkan potensial listrik berupa peningkatan molekul

29

cairan di area myofascial tertentu (hydrating area) dikenal

dengan “Piezo Electrical Effect Connective Therapy” (Shea,

1996). Hydrating area connective tissue merupakan tahap awal

proses penyembuhan myofascial dysfunction dan articular

dysfunction. Fascia merupakan bagian dari connective tissue

yang terdiri atas kristal organik, semikonduktor, bersifat piezo

electrical charge. Jika konduktivitas elektriknya menurun, dapat

dicharges antara lain dengan strain counterstrain terhadap

crystal organic myofascia tersebut. Charges atau perangsangan

elektrik secara manual ini sangat penting karena merupakan

modal dasar pembentukan pola aktivitas normal tubuh. Melalui

cara ini sejumlah sel akan terancang dan membentuk connective

tissue dan sejumlah sel lainnya akan mencegah pembentukan

pola aktivitas tubuh yang tidak normal, seperti : nodulus dan

taut band. Karena nodulus dan taut band merupakan

pembentukan cross-link, dan ini tidak dapat dilalui oleh piezo

electric charge pada bagian tubuh tertentu. Pola aktivitas yang

tidak normal ini akan mengakibatkan keterbatasan ROM yang

dapat menghambat ADL dan jika digerakkan dengan paksa akan

menyebabkan cedera pada jaringan myofascial (Makmur, 2011).

3. Efek Reflekstoar atau Myostatic Stretch Reflex Gamma Loop

Konsep neuroreflekstoar adalah suatu konsep yang

ditujukan terhadap bagaimana mengatasi nyeri pada jaringan

30

tertentu dengan cara memberikan stimulasi terhadap jaringan

yang mengalami gangguan dengan memanfaatkan modalitas

fisik, antara lain dengan cara friksi pada myofascial trigger point

sehingga nodul-nodul dan taut band akan memecah dan terurai

di dalam serabut otot sehingga perlengketan jaringan akan

terlepas dan elastisitas jaringan myofascial akan kembali

normal. Setelah tercapai relaksasi, peningkatan vasodilatasi

pembuluh darah, peningkatan sirkulasi O2 dan peningkatan

absorbsi “P”. Adapun mekanisme reflekstoarnya diperoleh

melalui stimulasi friksi yang dilakukan pada myofascial trigger

point tersebut akan merangsang tipe saraf IIIa untuk selanjutnya

direfleksikan ke medulla spinalis secara segmental vegetatif

untuk selanjutnya disampaikan ke sistem saraf pusat untuk

menstimulasi morpin dan endorpin dalam rangka memperkuat

atau lebih menurunkan kualitas nyeri pada jaringan yang

mengalami gangguan, melalui lintasan reflekstoar yang dikenal

dengan pain depressor. Hal mana efek dari terangsangnya tipe

saraf IIIa dan endomorpin tersebut akan membloking nociseptor

dengan demikian akan terjadi penurunan nyeri melalui efek

reflekstoar (Makmur, 2011).

31

c. Mekanisme penurunan nyeri pada myofascial pain syndrome

m.upper trapezius melalui strain counterstrain

Strain Counterstrain (SCS) adalah teknik khusus yang

digunakan untuk mengurangi nyeri pada gangguan myofascial pain

syndrome dengan merileksasi otot dengan memperhambat

hyperaktivitas dari muscle spasme dengan menggerakkan otot yang

spasme dan sendi yang mengalami disfungsi secara pasif keposisi

yang nyaman dimana origo dan insersio didekatkan sehingga otot

ini memendek dan ada tekanan pada muscle spindle kemudian pada

posisi tersebut otot benar-benar dibuat rileks selama 90 detik

(Wibowo, 2013).

Dengan menggerakkan otot upper trapezius yang spasme

yang mengalami disfungsi secara pasif ke posisi yang nyaman

dimana posisi ini otot memendek dan diberikan tekanan pada

muscle spindle. Strain Counterstrain memungkinkan muscle

spindle untuk menghentikan informasi kontraksi kepada otot

sehingga otot dapat rileks. Dengan otot yang rileks, dengan

sendirinya kembali ke posisi yang normal secara spontan. Hal ini

dimungkinkan karena dengan otot yang rileks dapat berfungsi

secara optimal, dan mengurangi nyeri. Dengan relaksasi otot upper

trapezius tersebut maka sirkulasi lancar sehingga perbaikan nutrisi

terhadap jaringan otot jadi lebih baik, selain itu zat-zat

metabolisme akan mudah ditransportasikan kembali sehingga tidak

32

akan ada lagi zat akan merangsang nociceptor. Neuropraxia yang

terjadi akan hilang juga seiring denga rileksnya otot upper

trapezius yang saat terjadi ketegangan. Dengan keadaan seperti itu

maka nyeripun akan hilang (Wibowo, 2013).

2.4.3 Auto Stretching

a. Definisi

Auto stretching adalah metode penguluran yang biasa

dilakukan sendiri oleh pasien setelah diberikan intruksi atau latihan

terlebih dahulu. Stretching secara aktif meningkatkan mobilitas

secara aktif dan menguatkan otot agonis. Alasan penerapan tehnik

ini adalah bahwa kontraksi isotonic yang dilakukan saat auto

stretching dari otot yang mengalami pemendekan akan

menghasilkan otot memannjang secara maksimal tanpa perlawanan

(Rahayu, 2014).

Faktor yang berperan penting pada proses stretching yaitu :

Muscle Spindle atau reseptor stretch merupakan propioseptor

utama di dalam otot. Propioseptor yang lain yang ikut berperan

selama proses stretching terjadi berlokasi ditendon dekat dengan

akhir suatu serabut saraf otot dan disebut dengan golgi tendon

organ (Rahayu, 2014).

1) Muscle Spindle

Adalah organ sensoris pada otot yang terdiri dari serabut

kecil intrafusal yang terletak sejajar dengan serabut ekstrafusal.

33

Muscle spindle berfungsi memonitor kecepatan dan durasi

penguluran. Ketika otot terulur maka serabut intrafusal dan

ekstrafusal otot tersebut akan terulur.

2) Golgi Tendon Organ

Adalah suatu mekanisme proteksi yang meningkatkan

kontraksi otot dan memiliki threshold yang sangat lambat untuk

melaju setelah otot berkontraksi serta mempunyai threshold

yang tinggi pada saat dilakukan penguluran. Golgi tendon

dikelilingi oleh ujuna serabut ekstrafusal yang peka terhadap

tegangan otot yang disebabkan oleh pemberian stretching. Bila

penyebaran tegangan meluas dalam suatu otot, maka golgi

tendon organ melaju dan menimbulkan rileksasi otot.

b. Efek Fisiologis

Propioseptor adalah reseptor yang mendeteksi perubahan

dalam otot untuk diinformasikan kesusunan saraf pusat, dan dari

susunan saraf pusat diintruksikan untuk menyesuaian kondisi otot.

Dari kondisi ini timbul gerak tubuh baru untuk disesuaikan dengan

seluruh rangkaian gerak tubuh secara sistematik. Peran

propioceptor adalah mengirimkan aliran informasi secara terus-

menerus (konstan) kepada susunan saraf pusat. Propioseptor dapat

dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : muscle propioseptor

yang terdiri dari muscle spindle dan golgi tendon organs, joint and

skin propioseptor. Dari ketiga propioseptor tersebut, maka yang

34

berperan terhadap daya regang otot adalah muscle propioseptor,

yang terdiri dari muscle spindle dan golgi tendon organ (Rahayu,

2014).

Muscle spindle terletak di dalam otot yang merupakan suatu

resptor yang menerima rangsangan otot. Regangan yang cepat akan

menghasilkan impuls yang kuat pada muscle spindle. Muscle

spindle sangat berperan dalam proses pergerakan atau pengaturan

motorik. Peran muscle spindle dalam pengaturan motorik. Peran

muscle spindle dalam pengaturan motorik adalah (Rahayu, 2014):

1) Mendekati perubahan panjang serabut otot.

2) Mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot.

Bila panjang serabut ekstrafusal jauh lebih besar dari panjang

serabut intrafusal, maka spindel menjadi terangsang untuk

berkontraksi. Sebaliknya, bila panjang serabut ekstrafusal lebih

kecil dari panjang serabut intrafusal, maka spindel menjadi

terinhibisi (keadaan yang menyebabkan reflek seketika untuk

menghambat terjadinya kontraksi otot) (Rahayu, 2014).

Golgi Tendon Organ (GTO) adalah stretch reseptor yang

terletak di dalalm tendon otot yang berada diluar perlekatan pada

serabut otot. Refleks GTO bisa terjadi akibat tegangan otot yang

berlebihan. Sinyal-sinyal dari GTO merambat ke medula spinalis

yang menyebabkan terjadinya hambatan respon (negative feed-

back) terhadap kontraksi otot yang terjadi. Hal ini untuk mencegah

35

terjadinya sobekan otot sebagai akibat tegangan yang berlebihan.

Selain sebagai perlindungan terjadinya sobekan otot dapat juga

bekerja sama dengan muscle spindle untuk mengontrol seluruh

kontraksi otot dala, pergerakan tubuh. Sedangkan peran golgi

tendon organ dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik

adalah mendekati ketegangan selama kontraksi otot atau

peregangan otot (Rahayu, 2014).

Sinyal dari golgi organ dihantarkan ke medula spinalis untuk

menyebabkan efek refleks pada otot yang bersangkutan. Efek

inhibisi dari golgi tendon organ menyebabkan rileksasi seluruh otot

secara tiba-tiba, terjadi pada waktu kontraksi atau regangan yang

kuat pada suatu tendon. Keadaan ini menyebabkan suatu refleks

seketika yang menghambat kontraksi otot serta tegangan dengan

cepat berkurang. Pengurangan tegangan dengan cepat berkurang.

Pengurangan tegangan ini berfungsi sebagai suatu mekanisme

proteksi untuk mencegah terjadinya robek pada otot atau lepasnya

tendon dari perlengketannya ke tulang (Rahayu, 2014).

c. Mekanisme pengurangan nyeri pada myofascial pain syndrome

m.upper trapezius melalui auto stretching

Pemberian auto stretching dapat mengurangi iritasi terhadap

saraf yang menimbulkan nyeri akibat adanya abnormal cross link.

Hal ini dapat terjadi karena pada saat diberikan auto stretching

serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika

36

hal ini terjadi maka akan membantu meluruskan kembali beberapa

serabut atau abnormal cross link akibat myofascial pain syndrome

(Sugijanto, 2008).

Auto stretching dapat bermanfaat pada serabut otot yang

mengalami nyeri miofasial. Serabut otot yang terganggu akan

menyebabkan penurunan elastisitas di dalam serabut otot akan

mengalami gangguan. Pemberian auto stretching yang dilakukan

secara perlahan akan menghasilkan peregangan pada sarkomer

sehingga peregangan akan mengembalikan elastisitas sarkomer

yang terganggu (Sugijanto, 2008).

Auto stretching dapat mencegah dan atau mengurangi

kekakuan dan perasaan yang tidak nyaman. Auto stretching

merupakan stretching yang efektif, karena berpengaruh terhadap

semua otot upper trapezius yang membatasi gerakan (Sugijanto,

2008).