Upload
nguyenkhuong
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Model Pembelajaran Cooperative Learning
2.1.1 Pengertian Cooperative Learning
Menurut Slavin (dalam Isjoni, 2012:17) menyebutkan cooperative learning
merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, dimana pada saat
itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-
kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran teman sebaya.
Menurut Isjoni (2011 :15) Coopertive Learning berasal dari kata
Cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan
saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok dalam satu tim.
Sejalan dengan itu Agus Suprijono (2011: 54) Pembelajaran kooperatif
adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kelompok termasuk bentuk-
bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru.
Berdasarkan pengertian kooperatif yang telah dikemukakan oleh para ahli
diatas maka dapat disimpulkan bahwa kooperatif learning adalah pembelajaran
yang menekankan siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran yang
mendukung siswa untuk saling membantu dan saling bekerja sama dalam proses
belajar mengajar.
Pada model cooperative learning siswa diberi kesempatan untuk
berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk mencapai tujuan
pembelajaran, sementara guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator aktivitas
siswa. Artinya dalam pembelajaran ini kegiatan aktif dengan pengetahuan
dibangun sendiri oleh siswa dan mereka bertanggung jawab atas hasil kerjanya
Isjoni (2012: 6).
Tabel. 1 Sintak model pembelajaran Coperatif Learning terdiri atas 6 (enam)
fase
FASE-FASE PERILAKU GURU
Fase 1: Present goals and set
Menyampaikan tujuan
dan mempersiapkan
peserta didik
Menjelaskan tujuan pembelajaran dan
mempersiapkan peserta didik siap
belajar
Fase 2: Present Informasi
Menyajikan informasi
Mempresentasikan informasi kepada
peserta didik secara verbal
Fase 3: Organize Student into
learning teams
Mengorganisir peserta
didik kedalam tim-tim
belajar
Memberikan penjelasan kepada
peserta didik tentang cara
pembentukan tim belajar dan
membantu kelompok tim belajar dan
membantu kelompok melakukan
transisi yang efisien
Fase 4: Assist team work and
study
membantu kerja sama
tim
Membantu tim-tim belajar selama
peserta didik mengerjakan tugasnya
Fase 5: Test on the materials
Mengevaluasi
Menguji pengetahuan peserta didik
mengenai berbagai materi
pembelajaran atau kelompok-
kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya.
Fase 6: Provide Recognition Mempersiapkan cara untuk mengakui
Memberikan pengakuan
atau penghargaan
usaha dan prestasi individu maupun
kelompok
Isjoni, (2012; 12)
Slavin dalam Isjoni, (2012: 21) Mengungkapkan tiga konsep sentral yang
menjadi karakteristik Cooperative Learning yaitu penghargaan kelompok,
pertanggungjawaban individu, dan kesempatan bersama untuk berhasil.
1. Penghargaan Kelompok
Cooperative learning mengunakan tujuan-tujuan untuk memperoleh
penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok
mencapai skor diatas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan
pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan
hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling
peduli.
2. Pertanggungjawaban Individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua
anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitik beratkan pada aktivitas
anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya
pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk
menghadapi tes dan tugas-tugas lainya secara mandiri tanpa bantuan teman
sekolompoknya.
3. Kesempatan Yang Sama Untuk Mencapai Keberhasilan
Cooperative learning menggunakan metode skoring yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang
terdahulu. Dengan menggunakan modul skoring ini setiap siswa baik yang
berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memeroleh kesempatan untuk
berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
2.1.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan utama dalam penerapan model Cooperative Learning adalah agar
peserta didik dapat belajar secara kelompok bersama teman-temannya dengan cara
saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara
berkelompok.
Menurut Isjoni (2012: 27-28) Coopertavie Learning dikembangkan untuk
mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yaitu:
a. Hasil belajar akademik
Dalam coopertaive learning meskipun mencakup beragam tujuan sosial,
juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya.
Beberapa para ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa
memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukan,
model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada
belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasi belajar. Di
samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, cooperative
learning dapat memberikan keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah
maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas
akademik.
b. Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu
Tujuan lain model cooperative learning adalah penerimaan secara luas dari
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan dan
ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa
dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung
pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan
belajar saling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan penting ketiga cooperative learning adalah mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan
sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak anak muda masih kurang
dalam keterampilan sosial.
2.1.3 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif dilaksanakan mengikuti tahapan-tahapan sebagai
berikut:
a. Pembelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan
memotivasi siswa untuk belajar.
b. Penyajian informasi baik berupa bahan bacaan maupun informasi verbal
lainnya.
c. Siswa dikelompokkan kedalam kelompok-kelompok belajar.
d. Bimbingan oleh guru pada saat siswa belajar dalam kelompok.
e. Memberikan evaluasi tentang hal-hal yang telah mereka pelajari.
f. Memberikan penghargaan yang telah dilakukan individu maupun kelompok.
2.2 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebuah model belajar
kooperatif yang menitik beratkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk
kelompok kecil.
Lie (dalam Rusman, 2011: 218) bahwa “ pembelajaran kooperatif model
jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam
kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang secara heterogen dan
siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara
mandiri”.
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar
menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke
dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga
setiap anggota bertanggung jawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik
yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing
kelompok yang bertanggung jawab terhadap subtopik yang sama membentuk
kelompok lagi yang terdiri atas dua atau tiga orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya
dalam: (a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; (b) merencanakan
bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya
semula. Setelah itu, siswa itu kembali lagi ke kolompoknya masing-masing
sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam
subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak
serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukan
penguasaanya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan
demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara
keseluruhan. (Rusman, 2011: 217)
Dalam model kooperatif jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan
untuk mengemukakan pendapat dan mengolah informasi yang didapat dan dapat
meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok ini bertanggung
jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang
dipelajari dan dapat menyampaikan informasinya kepada kelompok lain.
(Rusman, 2011: 218)
Jhonson dalam (Rusman, 2011: 219) melakukan penelitian tentang
pembelajaran kooperatif model jigsaw yang hasilnya menunjukan bahwa interaksi
kooperatif memiliki berbagai pengaruh positif terhadap perkembangan anak.
Pengaruh positif tersebut adalah : (a) Meningkatkan hasil belajar; (b)
Meningkatkan daya ingat; (c) Dapat digunakan untuk mencapai tarap penalaran
tingkat tinggi;(e) Mendorong tumbuhnya motivasi instrinsik (kesadaran individu);
(f) Meningkatkan hubungan antarmanusia yang heterogen; (g) Meningkatkan
sikap anak yang positif terhadap guru; (h) Meningkatkan harga diri anak; (i)
Meningkatkan perilaku penyesuaian sosial yang positif; dan (j) Meningkatkan
keterampilan hidup bergotong-royong. (Rusman, 2011: 219)
Pembelajaran model jigsaw ini dikenal juga dengan kooperatif para ahli.
Karena anggota setiap kelompok dihadapkan pada permasalahan yang berbeda.
Tetapi permasalahannya yang dihadapi setiap kelompok sama, setiap utusan
dalam kelompok yang berbeda membahas materi yang sama, kita sebut sebagai
tim ahli yang bertugas membahas permasalahan yang dihadapi, selanjutnya hasil
pembahasan itu dibawa kekolompok asal dan disampaikan pada anggota
kelompoknya. (Rusman, 2011: 219).
Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan membaca untuk menggali informasi. Siswa memperoleh topik-
topik permasalahan untuk dibaca, sehingga mendapatkan informasi dari
permasalahan tersebut
b. Diskusi kelompok ahli. Siswa yang telah mendapatkan topik permasalahan
yang sama bertemu dalam satu kelompok atau kita sebut dengan kelompok
ahli untuk membicarakan topik permasalahan tersebut.
c. Laporan kelompok. Kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan
menjelaskan hasil yang didapat dari diskusi tim ahli.
d. Kuis dilakukan mencakup semua topik permasalahan yang dibicarakan
tadi.
e. Perhitungan skor kelompok dan menentukan peghargaan kelompok.
Stephen dalam (Rusman, 2011: 220), Mengemukakan langkah-langkah
pembelajaran kooperatif model jiksaw sebagai berikut :
a. Siswa dikelompokan ke dalam 1 sampai 5 anggota tim;
b. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda;
c. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan;
d. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/subbab
yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk
mendiskusikan subbab mereka;
e. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali kekelompok
asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang subbab yang
mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan seksama;
f. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi;
g. Guru memberi evaluasi;
h. Penutup.
2.2.1 Keuntungan dan kekurangan Pembelajaran Tipe Jigsaw
Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah sebagai
berikut
1. Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama
dengan siswa lain.
2. Siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan
3. Setiap anggota berhak menjadi ahli dalam kelompoknya (Ibrahim, dkk.
2000; 70)
Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah sebagai
berikut:
1. Membutuhkan waktu yang lama
2. Siswa cenderung tidak mau apabila disatukan dengan temannya yang
kurang panda (Ibrahim, dkk. 2000: 71)
2.3 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Number Head Together (NHT)
Menurut Agus Suprijono (2011: 92) Pembelajaran dengan menggunakan
metode Numbered Heads Together diawali dengan Numbering. Guru membagi
kelas dengan kelompok-kelompok kecil. Jumlah kelompok sebaiknya
mempertimbangkan jumlah konsep yang dipelajari.
Setelah kelompok terbentuk guru mengajukan beberapa pertanyaan yang
harus dijawab tiap-tiap kelompok. Diberikan kesempatan tiap-tiap kelompok
menemukan jawaban atas pertanyaan yang diberikan guru. Hal itu dilakukan terus
hingga semua peserta didik dengan nomor yang sama dari masing-masing
kelompok mendapat giliran mmemaparkan jawaban atas pertanyaan guru.
Berdasarkan jawaban-jawaban itu guru dapat mengembangkan diskusi lebih
mendalam, sehingga peserta didik dapat menemukan jawaban pertanyaan itu
sebagai pengetahuan yang utuh Agus (Suprijono, 201192)
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan
penguasaan akademik. Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran
kooperatif dengan tipe NHT yaitu :
1. Hasil belajar akademik stuktural yang bertujuan untuk meningkatkan
kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
2. Pengakuan adanya keragaman yang bertujuan agar siswa dapat menerima
teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang.
3. Pengembangan keterampilan social yang bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan sosial siswa.
2.3.1 Langkah-langkah Model pembelajaran Kooperatif Tipe Number Head
Together
1. Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat
Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
2 . Pembentukan kelompok
Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT. Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok yang
beranggotakan 3-5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam
kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Kelompok yang dibentuk
merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis
kelamin dan kemampuan belajar. Selain itu, dalam pembentukan kelompok
digunakan nilai tes awal (pre-test) sebagai dasar dalam menentukan masing-
masing kelompok.
3. Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan
Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket
atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKS atau
masalah yang diberikan oleh guru.
4. Diskusi masalah
Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai
bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok setiap siswa berpikir bersama
untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban
dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau pertanyaan yang telah diberikan
oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang bersifat spesifik sampai yang
bersifat umum.
5. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap
kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban
kepada siswa di kelas.
6. Memberi kesimpulan
Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan
yang berhubungan dengan materi yang disajikan.
2.3.2 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran NHT
Kelebihan
a. Setiap siswa menjadi siap semua.
b. Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
c. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai
Kelemahan
a. Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
b. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.
c. Kendala teknis, misalnya masalah tempat duduk kadang sulit atau kurang
mendukung diatur kegiatan kelompok. (Agus Suprijono, 2011: 102)
2.4 Hasil Belajar
Menurut Isjoni (2011: 5) Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-
nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Merujuk
Pemikiran Gagne, Hasil belajar berupa:
1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam
bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis
2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan
lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemmapuan mengategorisasi,
kemampuan analitis sisntesis fakta konsep dan mengembangkan prinsip-
prinsip keilmuan.
3. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitif sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah
dalam memecahkan masalah.
4. Keterampilan motorik yaitu kemmapuan melakukan serangkaian jasmani
dalam urusan dan koordinasi.
5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan
penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan
menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan
kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai sandar perilaku.
Menurut Bloom dalam (Isjoni, 2011: 6) hasil belajar mencakup kemampuan
kognitif, afektif, dan psikomotorik yaitu: (1) Kognitif meliputi, Konowledge
(pengetahuan, ingatan), Comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas,
contoh), Application (menerapkan), Analysis (menguraikan, menetukan
hubungan), Synthesisi (mengorgansasikan, merencanakan, membentuk bangunan
baru), Evaluation (menilai). (2) Afektif meliputi, Receiving (sikap menerima),
Valuing (menilai), Organization (organisasi), characterization (karakterisasi). (3)
Psikomotorik meliputi, Initiatory, pre-routine, dan routinized. Psikomotor juga
mencakup keterampilan produk, tehnik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual.
2.5 Materi Suhu dan Kalor
2.5.1 Pengertian Suhu
Suhu merupakan ukuran mengenai panas atau dinginnya suatu zat atau
benda Suhu dapat mengubah sifat zat, contohnya sebagian besar zat akan memuai
ketika dipanaskan. Sebatang besi lebih panjang ketika dipanaskan dari pada dalam
keadaan dingin.
Alat yang dirancang untuk mengukur suhu suatu zat disebut termometer.
Ada beberapa jenis termometer, yang prinsip kerjanya bergantung pada beberapa
sifat materi yang berubah terhadap suhu. Sebagian besar termometer umumnya
bergantung pada pemuaian materi terhadap naiknya suhu. Untuk mengukur suhu
secara kuantitatif, perlu didefinisikan semacam skala numerik. Skala yang paling
banyak dipakai sekarang adalah skala Celsius, kadang disebut skala Centigrade.
Satu cara untuk mendefinisikan skala suhu adalah dengan memberikan nilai
sembarang untuk dua suhu yang bisa langsung dihasilkan. Untuk skala Celsius
dan Fahrenheit, kedua titik tetap ini dipilih sebagai titik beku dan titik didih dari
air, keduanya diambil pada tekanan atmosfer. Titik beku zat didefinisikan sebagai
suhu di mana fase padat dan cair ada bersama dalam kesetimbangan, yaitu tanpa
adanya zat cair total yang berubah menjadi padat atau sebaliknya.
Secara eksperimen, hal ini hanya terjadi pada suhu tertentu, untuk tekanan
tertentu. Dengan cara yang sama, titik didih didefinisikan sebagai suhu di mana
zat cair dan gas ada bersama dalam kesetimbangan. Karena titik-titik ini berubah
terhadap tekanan, tekanan harus ditentukan (biasanya sebesar 1 atm).
Pada skala Celsius, titik beku dipilih 0 0C (“nol derajat Celsius”) dan titik
didih 100 0C. Pada skala Fahrenheit, titik beku ditetapkan 32
0F dan titik didih 212
0F. Termometer praktis dikalibrasi dengan menempatkannya di lingkungan yang
telah diatur dengan teliti untuk masing-masing dari kedua suhu tersebut dan
menandai posisi air raksa atau penunjuk skala. Untuk skala Celsius, jarak antara
kedua tanda tersebut dibagi menjadi seratus bagian yang sama dan menyatakan
setiap derajat antara 0 0C dan 100
0C. Untuk skala Fahrenheit, kedua titik diberi
angka 32 0F dan 212
0F, jarak antara keduanya dibagi menjadi 180 bagian yang
sama. Untuk suhu di bawah titik beku air dan di atas titik didih air, skala dapat
dilanjutkan dengan menggunakan selang yang memiliki jarak sama.
Setiap suhu pada skala Celsius berhubungan dengan suatu suhu tertentu
pada skala Fahrenheit. Gambar 6.5 menunjukkan konversi suhu suatu zat dalam
skala Celsius dan Fahrenheit. Tentunya sangat mudah untuk mengonversikannya,
mengingat bahwa 0 0C sama dengan 32 F, dan jangkauan 100
0C pada skala
Celsius sama dengan jangkauan 180oC pada skala Fahrenheit.
2.5.2 Pemuaian
Pemuaian adalah bertambah besarnya ukuran suatu benda karena kenaikan
suhu yang terjadi pada benda tersebut. Kenaikan suhu yang terjadi menyebabkan
benda itu mendapat tambahan energi berupa kalor yang menyebabkan molekul-
molekul pada benda tersebut bergerak lebih cepat. Setiap zat mempunyai
kemampuan memuai yang berbedabeda. Gas, misalnya, memiliki kemampuan
memuai lebih besar daripada zat cair dan zat padat.
1. Pemuaian Zat Padat
a. Muai Panjang
Besarnya perubahan panjang dapat dituliskan dalam suatu persamaan
sebagai berikut:
ΔL = αL0 .ΔT
Di mana α adalah konstanta pembanding, disebut koefisien muai linier
(koefisien muai panjang) untuk zat tertentu dan memiliki satuan /oC atau (oC)-1.
L0 = panjang benda mula-mula (m)
α = koefisien muai linier/panjang (/oC)
ΔT = perubahan suhu (oC)
b. Muai Luas
Apabila suatu benda berbentuk bidang atau luasan, misalnya bujur sangkar
tipis dengan sisi L0, dipanaskan hingga suhunya naik sebesar ΔT , maka bujur
sangkar tersebut akan memuai pada kedua sisinya. Luas benda mula-mula adalah
A0 = L0 2 Pada saat dipanaskan, setiap sisi benda memuai sebesar ΔL . Hal ini
berarti akan membentuk bujur sangkar baru dengan sisi (L0 + ΔL ). Dengan
demikian, luas benda saat dipanaskan adalah:
A = (L0 + ΔL )2 = L0 2 + 2L0 ΔL + ( ΔL )2
c. Muai Volume
Apabila suatu benda berbentuk volume atau padatan, misalnya kubus
dengan sisi L0 dipanaskan hingga suhunya naik sebesar ΔT , maka kubus tersebut
akan memuai pada setiap sisinya. Volume benda mula-mula adalah: V0 = V03.
Pada saat dipanaskan, setiap sisi benda (kubus) memuai sebesar ΔL . Hal ini
berarti akan membentuk kubus baru dengan sisi (L0+ ΔL ). Dengan demikian
volume benda saat dipanaskan adalah: A = (L0 + ΔL )3 = L0 3 + 3L0 2 ΔL + 3L0(
ΔL )2 + ( ΔL )3
2. Pemuaian Zat Cair
Sebagian besar zat akan memuai secara beraturan terhadap penambahan
suhu. Akan tetapi, air tidak mengikuti pola yang biasa. Bila sejumlah air pada
suhu 0 0C dipanaskan, volumenya menurun sampai mencapai suhu 4
0C.
Kemudian, suhu di atas 4 0C air berperilaku normal dan volumenya memuai
terhadap bertambahnya suhu, seperti Gambar 6.10. Pada suhu di antara 0 0C dan 4
0C air menyusut dan di atas suhu 4
0C air memuai jika dipanaskan. Sifat pemuaian
air yang tidak teratur ini disebut anomali air. Dengan demikian, air memiliki
massa jenis yang paling tinggi pada 4 0C. Perilaku air yang menyimpang ini
sangat penting untuk bertahannya kehidupan air selama musim dingin. Ketika
suhu air di danau atau sungai di atas 4 0C dan mulai mendingin karena kontak
dengan udara yang dingin, air di permukaan terbenam karena massa jenisnya yang
lebih besar dan digantikan oleh air yang lebih hangat dari bawah. Campuran ini
berlanjut sampai suhu mencapai 4 oC. Sementara permukaan air menjadi lebih
dingin lagi, air tersebut tetap di permukaan karena massa jenisnya lebih kecil dari
4 oC air di sebelah bawahnya. Air di permukaan kemudian membeku, dan es tetap
di permukaan karena es mempunyai massa jenis lebih kecil dari air.
3. Pemuaian Gas
a. Hukum Boyle
Jika tekanan gas digandakan menjadi dua kali semula, volume diperkecil
sampai setengah nilai awalnya. Hubungan ini dikenal sebagai Hukum Boyle
Hukum Boyle juga dapat dituliskan:
dengan:
P = tekanan gas pada suhu tetap (Pa)
V = volume gas pada suhu tetap (m3)
P1 = tekanan gas pada keadaan I (Pa)
P2 = tekanan gas pada keadaan II (Pa)
V1 = volume gas pada keadaan I (m3)
V2 = volume gas pada keadaan II (m3)
b. Hukum charles
Jacques Charles (1746 - 1823) menemukan bahwa ketika tekanan gas tidak
terlalu tinggi dan dijaga konstan, volume gas bertambah terhadap suhu dengan
kecepatan hampir konstan. Pernyataan tersebut dikenal sebagai Hukum Charles,
dan dituliskan:
PV = konstan, atau P1 V1 = P2 V2
............
dengan:
V = volume gas pada tekanan tetap (m3)
T = suhu mutlak gas pada tekanan tetap (K)
V1 = volume gas pada keadaan I (m3)
V2 = volume gas pada keadaan II (m3)
T1 = suhu mutlak gas pada keadaan I (K)
T2 = suhu mutlak gas pada keadaan II (K)
c. Hukum Gay Lussac
Hukum Gay Lussac berasal dari Joseph Gay Lussac (1778 - 1850),
menyatakan bahwa pada volume konstan, tekanan gas berbanding lurus dengan
suhu mutlak, dituliskan:
dengan:
P = tekanan gas pada volume tetap (Pa)
T = suhu mutlak gas pada volume tetap (K)
P1 = tekanan gas pada keadaan I (Pa)
P2 = tekanan gas pada keadaan II (Pa)
T1 = suhu mutlak gas pada keadaan I (K)
T2 = suhu mutlak gas pada keadaan II (K)
d. Persamaan Gas Ideal (Boyle-Gay Lussac)
Hukum-hukum gas dari Boyle, Charles, dan Gay Lussac didapatkan dengan
bantuan teknik yang sangat berguna di dalam sains, yaitu menjaga satu atau lebih
𝑃
𝑇= 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡
𝑃1
𝑇1=𝑃2
𝑇2
2
2
1
1
T
V
T
V
variabel tetap konstan untuk melihat akibat dari perubahan satu variabel saja.
Hukum-hukum ini dapat digabungkan menjadi satu hubungan yang lebih umum
antara tekanan, volume, dan suhu dari gas dengan jumlah tertentu: PV ∝T .
Hubungan ini menunjukkan bahwa besaran P, V, atau T akan berubah ketika
yang lainnya diubah. Percobaan yang teliti menunjukkan bahwa pada suhu dan
tekanan konstan, volume V dari sejumlah gas di tempat tertutup berbanding lurus
dengan massa m dari gas tersebut, yang dapat dituliskan:
Perbandingan ini dapat dibuat menjadi persamaan dengan memasukkan
konstanta perbandingan. Penelitian menunjukkan bahwa konstanta ini memiliki
nilai yang berbeda untuk gas yang berbeda. Konstanta pembanding tersebut
ternyata sama untuk semua gas, jika kita menggunakan angka mol. Pada
umumnya, jumlah mol, n, pada suatu sampel zat murni tertentu sama dengan
massanya dalam gram dibagi dengan massa molekul yang dinyatakan sebagai
gram per mol. n(mol) = massa molekul (g/mol)
Perbandingan tersebut dapat dituliskan sebagai suatu persamaan sebagai
berikut:
Dengan, n menyatakan jumlah mol dan R adalah konstanta pembanding. R
disebut konstanta gas umum (universal) karena nilainya secara eksperimen
ternyata sama untuk semua gas. Nilai R, pada beberapa satuan adalah sebagai
berikut:
R = 8,315 J/(mol.K), ini merupakan satuan dalam SI
= 0,0821 (L.atm)/(mol.K)
PV = n.R.T
PV ∝ mT.
= 1,99 kalori/(mol.K)
2.5.3 Kalor
1. Pengaruh Kalor terhadap suatu zat
a. Kalor dapat mengubah suhu benda
Kalor merupakan salah satu bentuk energi, sehingga dapat berpindah dari
satu sistem ke sistem yang lain karena adanya perbedaan suhu. Sebaliknya, setiap
ada perbedaan suhu antara dua sistem maka akan terjadi perpindahan kalor.
Sebagai contohnya es yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air panas, maka es
akan mencair dan air menjadi dingin. Karena ada perbedaan suhu antara es dan air
maka air panas melepaskan sebagian kalornya sehingga suhunya turun dan es
menerima kalor sehingga suhunya naik (mencair).
2. Kalor sebagai transfer energi
Kalor mengalir dengan sendirinya dari suatu benda yang suhunya lebih
tinggi ke benda lain dengan suhu yang lebih rendah. Pada abad ke-18
diilustrasikan aliran kalor sebagai gerakan zat fluida yang disebut kalori.
a. Kalor Jenis (c) dan kalor kapasitas kalor (C)
Besar kalor Q yang diperlukan untuk mengubah suhu suatu zat yang
besarnya ΔT sebanding dengan massa m zat tersebut. Pernyataan tersebut dapat
dinyatakan dalam persamaan:
dengan:
Q = banyaknya kalor yang diperlukan ( J)
m = massa suatu zat yang diberi kalor (kg)
c = kalor jenis zat (J/kgoC)
ΔT = kenaikan/perubahan suhu zat (oC)
Q = m.c. ΔT
b. Hukum kekekalan energi kalor (Asas Black)
Apabila dua zat atau lebih mempunyai suhu yang berbeda dan terisolasi
dalam suatu sistem, maka kalor akan mengalir dari zat yang suhunya lebih tinggi
ke zat yang suhunya lebih rendah. Dalam hal ini, kekekalan energi memainkan
peranan penting. Sejumlah kalor yang hilang dari zat yang bersuhu tinggi sama
dengan kalor yang didapat oleh zat yang suhunya lebih rendah.
Hal tersebut dapat dinyatakan sebagai Hukum Kekekalan Energi Kalor,
yang berbunyi:
Kalor yang dilepas = kalor yang diserap
Pertukaran energi kalor merupakan dasar teknik yang dikenal dengan nama
kalorimetri, yang merupakan pengukuran kuantitatif dari pertukaran kalor. Untuk
melakukan pengukuran kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu suatu zat
digunakan kalorimeter.
c. Kalor Laten dan perubahan wujud zat
Ketika suatu zat berubah wujud dari padat ke cair, atau dari cair ke gas,
sejumlah energi terlibat pada perubahan wujud zat tersebut. Sebagai contoh, pada
tekanan tetap 1 atm sebuah balok es (massa 5 kg) pada suhu -40 0C diberi kalor
dengan kecepatan tetap sampai semua es berubah menjadi air, kemudian air
(wujud cair) dipanaskan sampai suhu 100 0C dan diubah menjadi uap di atas suhu
100 0C.
Kalor lebur dan kalor penguapan suatu zat juga mengacu pada jumlah kalor
yang dilepaskan oleh zat tersebut ketika berubah dari cair ke padat, atau dari gas
ke uap air. kalor yang terlibat dalam perubahan wujud tidak hanya bergantung
pada kalor laten, tetapi juga pada massa total zat tersebut, dirumuskan:
QL = QS
dengan:
Q = kalor yang diperlukan atau dilepaskan selama
perubahan wujud ( J)
m = massa zat (kg)
L = kalor laten ( J/kg)
3. Perpindahan Kalor
Kalor berpindah dari satu tempat atau benda ke tempat atau benda lainnya
dengan tiga cara, yaitu konduksi (hantaran), konveksi (aliran), dan radiasi
(pancaran).
a. Konduksi (Hantaran)
Ketika sebuah batang logam dipanaskan pada salah satu ujungnya, atau
sebuah sendok logam diletakkan didalam secangkir kopi yang panas, beberapa
saat kemudian, ujung yang kita pegang akan segera menjadi panas walaupun tidak
bersentuhan langsung dengan sumber panas. Dalam hal ini kita katakan bahwa
kalor dihantarkan dari ujung yang panas ke ujung lain yang lebih dingin.
Konduksi atau hantaran kalor pada banyak materi dapat digambarkan sebagai
hasil tumbukan molekul-molekul. Sementara satu ujung benda dipanaskan,
molekul-molekul di tempat itu bergerak lebih cepat. Sementara itu, tumbukan
dengan molekul-molekul yang langsung berdekatan lebih lambat, mereka
mentransfer sebagian energi ke molekul molekul lain, yang lajunya kemudian
bertambah. Molekul molekul ini kemudian juga mentransfer sebagian energi
mereka dengan molekul-molekul lain sepanjang benda tersebut. Dengan
Q = m.L
demikian, energi gerak termal ditransfer oleh tumbukan molekul sepanjang benda.
Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya konduksi.
Konduksi atau hantaran kalor hanya terjadi bila ada perbedaan suhu.
Berdasarkan eksperimen, menunjukkan bahwa kecepatan hantaran kalor melalui
benda yang sebanding dengan perbedaan suhu antara ujung-ujungnya.
Kecepatan hantaran kalor juga bergantung pada ukuran dan bentuk benda.
Untuk mengetahui secara kuantitatif. Besarnya kalor Q tiap selang waktu tertentu
dirumuskan sebagai berikut:
dengan:
Q = kalor yang dihantarkan ( J)
A = luas penampang lintang benda (m2)
ΔT = T1 – T2= beda suhu antara kedua ujung benda 0C)
l = jarak antara kedua bagian benda yang berbeda
suhunya (m)
Δt = selang waktu yang diperlukan (s)
k = konstanta pembanding/konduktivitas termal zat
(J/s.m.oC)
b. Konveksi (Aliran)
Zat cair dan gas umumnya bukan penghantar kalor yang sangat baik.
Meskipun demikian keduanya dapat mentransfer kalor cukup cepat dengan
konveksi. Konveksi atau aliran kalor adalah proses di mana kalor ditransfer
dengan pergerakan molekul dari satu tempat ke tempat yang lain. Bila pada
konduksi melibatkan molekul (atau elektron) yang hanya bergerak dalam jarak
𝑄
∆= 𝑘.𝐴
𝑇1 − 𝑇2
1= 𝑎𝑡𝑎𝑢
𝑄
∆𝑡=
𝑘.𝐴. 𝑡
1
yang kecil dan bertumbukan, konveksi melibatkan pergerakan molekul dalam
jarak yang besar. Contohnya Konveksi dalam kehidupan sehari-hari dapat kita
lihat pada peristiwa terjadinya angin darat dan angin laut. Pada siang hari, daratan
lebih cepat panas dari pada laut, sehingga udara di atas daratan naik dan udara
sejuk di atas laut bergerak ke daratan. Hal ini karena tekanan udara di atas
permukaan laut lebih besar, sehingga angin laut bertiup dari permukaan
laut ke daratan. Sebaliknya, pada malam hari daratan lebih cepat dingin daripada
laut, sehingga udara bergerak dari daratan ke laut, disebut angin darat.
c. Radiasi
Perpindahan kalor secara konduksi dan konveksi memerlukan adanya materi
sebagai medium untuk membawa kalor dari daerah yang lebih panas ke daerah
yang lebih dingin. Akan tetapi, perpindahan kalor secara radiasi (pancaran) terjadi
tanpa medium apapun.
Semua kehidupan di dunia ini bergantung pada transfer energi dari
Matahari, dan energi ini ditransfer ke Bumi melalui ruang hampa (hampa udara).
Bentuk transfer energi ini dalam bentuk kalor yang dinamakan radiasi, karena
suhu Matahari jauh lebih besar (6.000 K) daripada suhu permukaan bumi. Radiasi
pada dasarnya terdiri dari gelombang elektromagnetik. Radiasi dari Matahari
terdiri dari cahaya tampak ditambah panjang gelombang lainnya yang tidak bisa
.dilihat oleh mata, termasuk radiasi inframerah (IR) yang berperan dalam
menghangatkan Bumi.
Kecepatan atau laju radiasi kalor dari sebuah benda sebanding dengan
pangkat empat suhu mutlak (μ ∝ T 4) benda tersebut. Sebagai contoh, sebuah
benda pada suhu 2.000 K, jika dibandingkan dengan benda lain pada suhu 1.000
K, akan meradiasikan kalor dengan kecepatan 16 (24) kali lipat lebih besar.
Kecepatan radiasi juga sebanding dengan luas A dari benda yang memancarkan
kalor. Dengan demikian, kecepatan radiasi kalor meninggalkan sumber tiap selang
waktu tertentu) dirumuskan:
Persamaan (6.23) disebut persamaan Stefan-Boltzmann, dan σ adalah
konstanta universal yang disebut konstanta Stefan-Boltzmann ( σ = 5,67 × 10-8
W/
m2 K
4). Faktor e disebut emisivitas bahan, merupakan bilangan antara 0 sampai 1
yang bergantung pada karakteristik materi. Permukaan yang sangat hitam, seperti
arang mempunyai emisivitas yang mendekati 1, sedangkan bahan yang
permukaannya mengkilat mempunyai e yang mendekati nol sehingga
memancarkan radiasi yang lebih kecil.
Permukaan mengkilat tidak hanya memancarkan radiasi yang lebih kecil,
tetapi bahan tersebut juga hanya menyerap sedikit dari radiasi yang menimpanya
(sebagian besar dipantulkan). Benda hitam dan yang sangat gelap, menyerap kalor
hampir seluruh radiasi yang menimpanya. Dengan demikian, bahan penyerap
kalor yang baik juga merupakan pemancar kalor yang baik.
2.5 Kajian Yang Relevan
Penelitian yang mengunakan kooperatif yang diteliti oleh beberapa orang
diantaranya :
Erni Neslawati Melalo dengan judul “ Perbandingan implementasi hasil
belajar siswa pada mata pelajaran fisika dengan menggunakan model coopertaive
learning Tipe Jigsaw dan Type STAD di SMP Negeri 6 Gorontalo tahun 2011
mengalami peningkatan hasil belajar hal ini dikarenakan bahwa model
pembelajaran tipe Jigsaw ini lebih mendorong siswa aktif dan saling bekerja sama
dan saling bertanggung jawab dalam menguasai materi. hal ini mengindikasikan
bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada mata
𝑄
∆𝑡 = e σ AT
4
pelajaran fisika memiliki pengaruh yang lebih baik dalam proses belajar mengajar
ini juga dapat dilihat dari aspek pemahaman, aspek pengetahuan dan aplikasi serta
dapat dilihat dari rasa tanggug jawab siswa itu sendiri.
Sedangkan penelitian tentang Number Head Together (NHT) yang diteliti
oleh Yusup U. Saboy dengan judul “Pengaruh penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Number Head Togheter (NHT) terhadap hasil siswa di SMA
Negeri 1 Telaga tahun 2011” dari hasil penelitiannya menunjukan bahwa
penggunaan Tipe NHT terhadap hasil belajar siswa hanya memperoleh hasil
62.37%. Dengan demikian rata-rata skor hasil belajar siswa lebih tinggi. Hal ini
karena siswa dapat terlibat langsung dalam proses pembelajaran, adanya truktur
yang jelas dan memungkinkan siswa untuk berbagi dengan satu kelompoknya,
selain itu siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam kelompoknya dan
mengajarkan tugas yang diberikan guru maupun dalam melakukan percobaan
sehingga siswa akan merasa memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam
proses pembelajaran serta mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah
informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Dengan demikian
siswa lebih mudah dalam menerima materi yang telah diberikan sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan
antara hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan model kooperatif
tipe Jigsaw dengan yang menggunakan tipe Number Head Together (NHT).