40
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Lahirnya kajian dialektologi bermula dari ketidakpuasan para pakar ilmu bahasa terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh Jung Grammatiker atau kaum Neo-Grammarian (Petyt, 1980:62). Salah satu pandangan dari kaum Neo- Grammarian adalah adanya hukum perubahan bunyi tanpa terkecuali. Ilmuwan Jerman, George Wenker termasuk salah satu yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap permasalahan ini, yang kemudian melakukan penelitian dialek, atau yang dikenal dengan geografi dialek tahun 1876. Pada dasarnya, kerja atau penelitian Wenker mengenai dialek-dialek bahasa Jerman dimotivasi oleh pandangan para sarjana mengenai sejarah bahasa yang menunjukkan bahwa perubahan bunyi itu bersifat teratur (Ayatrohaedi, 1979:17). Model penelitian ini disebut sebagai aliran Jerman. Percobaan Wenker dilakukan untuk membuktikan hukum kaum Neo- Grammarian dengan mengirim daftar kalimat yang ditulis dalam bahasa Jerman Standar ke guru-guru di Jerman Utara dan meminta mereka untuk mengembalikan daftar tersebut yang ditranskripsi ke dalam dialek lokal. Antara 1877 dan 1887, dia melakukan pengiriman yang sangat banyak, sekitar 50.000 guru dan terdapat 45.000 guru yang mengisi daftar tanyaan itu dengan lengkap. Setiap kuesioner memuat 40 kalimat, dan beberapa dari kalimat tersebut sangat sederhana, dengan kandungan bunyi-bunyi yang relevan. Dari jawaban kuesioner tersebut diketahui bahwa dialek Jerman Utara telah mengalami perubahan. Namun, kajian Wenker 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN, LANDASAN

TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Lahirnya kajian dialektologi bermula dari ketidakpuasan para pakar ilmu

bahasa terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh Jung Grammatiker atau

kaum Neo-Grammarian (Petyt, 1980:62). Salah satu pandangan dari kaum Neo-

Grammarian adalah adanya hukum perubahan bunyi tanpa terkecuali. Ilmuwan

Jerman, George Wenker termasuk salah satu yang menaruh perhatian yang sangat

besar terhadap permasalahan ini, yang kemudian melakukan penelitian dialek,

atau yang dikenal dengan geografi dialek tahun 1876. Pada dasarnya, kerja atau

penelitian Wenker mengenai dialek-dialek bahasa Jerman dimotivasi oleh

pandangan para sarjana mengenai sejarah bahasa yang menunjukkan bahwa

perubahan bunyi itu bersifat teratur (Ayatrohaedi, 1979:17). Model penelitian ini

disebut sebagai aliran Jerman.

Percobaan Wenker dilakukan untuk membuktikan hukum kaum Neo-

Grammarian dengan mengirim daftar kalimat yang ditulis dalam bahasa Jerman

Standar ke guru-guru di Jerman Utara dan meminta mereka untuk mengembalikan

daftar tersebut yang ditranskripsi ke dalam dialek lokal. Antara 1877 dan 1887,

dia melakukan pengiriman yang sangat banyak, sekitar 50.000 guru dan terdapat

45.000 guru yang mengisi daftar tanyaan itu dengan lengkap. Setiap kuesioner

memuat 40 kalimat, dan beberapa dari kalimat tersebut sangat sederhana, dengan

kandungan bunyi-bunyi yang relevan. Dari jawaban kuesioner tersebut diketahui

bahwa dialek Jerman Utara telah mengalami perubahan. Namun, kajian Wenker

12

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

13

ini tidak dapat memetakan garis pemisah Jerman Selatan sebagai dialek tinggi dan

Jerman Utara sebagai dialek rendah.

Penelitian Wenker juga tidak berakhir dengan publikasi atlasnya, sehingga

hasil yang dikerjakan oleh Wenker masih kurang memuaskan. Oleh karena itu,

Ferdinand Wrede kemudian melanjutkan pekerjaan yang dilakukan oleh Wenker.

Akhirnya, publikasi tersebut dapat dimulai tahun 1989, dan dapat dilengkapi

tahun 1912. Kajian dialektologi kemudian terus mengalami perkembangan mulai

dari pemfokusan pada daerah-daerah terpencil sampai pada daerah perkotaan.

Dialektogi yang terkait dengan daerah perkotaan disebut juga sebagai dialektologi

urban. Hal ini, kemudian melahirkan sejumlah perkembangan metodologi

penelitian dialektologi.

Pada tahun 1880, Louis Gillieron melakukan penelitian yang serupa untuk

mengetahui dialek-dialek lokal bahasa Prancis. Hal ini, dikenal juga dengan

pemetaan bahasa aliran Prancis (Ayatrohaedi, 1979:22). Penelitian ini bermula

dari anjuran Gaston Paris tahun 1875 agar melakukan penelitian yang terinci

mengenai dialek-dialek bahasa Prancis. Gaston Paris menyarankan agar dilakukan

penelitian mengenai nama-nama tempat di Prancis dan monografi untuk setiap

lingkungan masyarakat Prancis (Ayatrohaedi, 1979:23). Penelitian Gillieron ini

menggunakan 1920 kosakata, 100 kalimat, dan 639 titik pengamatan. Penelitian

yang dilakukan oleh Gustav Wenker pada tahun 1867 di Jerman dan Jules Louis

Gillieron pada tahun 1880 di Swis membuka babak baru dalam penelitian

dialektologi ini. Perbedaan kedua penelitian tersebut yaitu Wenker menggunakan

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

14

metode pupuan sinurat, sedangkan Gillieron menggunakan pupuan lapangan

dalam mengumpulkan data.

Pada tahun 1897, Gillieron dan Edmont mulai melakukan penelitian di

seluruh wilayah Prancis (Lauder, 1993:28). Pada tahun 1910, penelitian itu sudah

selesai diterbitkan. Peta bahasa Prancis merupakan hasil yang diperoleh dari 639

titik pengamatan. Setiap titik pengamatan dibebani 1920 tanyaan leksikal dan 100

tanyaan kalimat. Semua penelitian yang dikemukakan di atas merupakan kajian

dialektologi yang bertumpu pada variasi bahasa karena perbedaan wilayah. Selain

itu, penelitian-penelitian tersebut selalu menjadi referensi bagi peneliti-peneliti

bidang dialektologi di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia.

Penelitian dialektologi di Indonesia dimulai oleh Teeuw pada tahun 1951

yang ditandai dengan terbitnya ―Atlas Dialek Pulau Lombok (Dialect Atlas van

Lombok)‖ dan analisisnya kemudian diterbitkan pada tahun 1958. Teeuw

memperkenalkan metode madzhab Prancis dengan menggunakan daftar tanyaan

sebanyak 250 kosakata yang dikelompokkan dalam 8 bagian. Penelitian itu

memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan kajian dialektologi di

Indonesia. Ayatrohaedi, kemudian mengembangkan penelitian dialektologi di

Indonesia dengan penelitiannya berjudul ―Bahasa Sunda di Daerah Cirebon‖.

Penelitian itu telah diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1985. Hasil temuan

Ayatrohaedi dalam penelitiannya adalah bahasa Sunda yang digunakan di daerah

Cirebon diberlakukan sebagai bahasa Sunda Cirebon. Secara geografis, bahasa

Sunda Cirebon menerima banyak pengaruh, baik dari bahasa Sunda Standar,

bahasa Sunda lain yang berada di sebelah barat dan selatan daerah pakai bahasa

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

15

Sunda Cirebon maupun bahasa Jawa Cirebon yang terletak di sebelah utara daerah

pakai bahasa Sunda Cirebon.

Sebelumnya, Nothofer (1975) juga pernah melakukan penelitian mengenai

bahasa Sunda di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan judul ―Tinjauan

Sinkronis dan Diakronis Bahasa Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Bagian

Barat)‖. Penelitian itu bertujuan untuk mendeskripsikan bahasa Sunda dan

menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya.

Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik historis komporartif.

Penelitian itu menggunakan daftar tanyaan sebanyak 750 kosakata dan 80 kalimat.

Penelitian itu dilengkapi dengan pemetaannya pada tahun 1980. Salah satu hasil

penelitiannya menunjukan bahwa ada banyak kosakata bahasa Jawa yang

digunakan dalam bahasa Sunda. Selain itu, penelitian tersebut tidak hanya

melibatkan kajian sinkronis tetapi juga kajian diakronis.

Penelitian dialektologi kemudian dikembangkan juga oleh Bawa (1983)

mengenai bahasa Bali dengan judul penelitiannya ―Bahasa Bali di Daerah

Propinsi Bali: Sebuah Analisis Geografi Dialek‖. Penelitian tersebut

memfokuskan pada kajian aspek fonologi dan aspek leksikal dengan penerapan

teori struktural dan dialektologi tradisional (aliran Prancis). Kajian dialektologi

struktural difokuskan pada analisis variasi fonologis dan kajian dialektologi

tradisional digunakan untuk menganalisis variasi leksikal. Penelitian tersebut

menggunakan 25 desa sebagai titik pengamatan dengan rata-rata 3 orang informan

untuk setiap desa/titik pengamatan. Salah satu hasil penelitian tersebut yaitu

berdasarkan variasi fonologis dan leksikal, bahasa Bali dikelompokkan menjadi

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

16

dua, yaitu bahasa Bali dialek Bali Aga/Bali Pegunungan dan bahasa Bali dialek

Dataran.

Kajian dialektologi yang juga memberi sumbangan penting dalam kajian

ini, terutama dalam upaya pemaparan hasil analisis kajian ini adalah Danie (1991)

dalam disertasi yang telah diterbitkan berjudul Kajian Geografi Dialek di

Minahasa Timur Laut. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan

variasi fonologis, leksikal, dan morfologis, dan situasi kebahasaan di daerah

Minahasa Timur, serta melakukan rekonstruksi protobahasa dan penelusuran

unsur relik dan inovasi pada bahasa Minahasa Timur Laut. Danie (1991)

menyusun hasil penelitiannya dalam deskripsi sinkronis dan diakronis dengan

menggunakan teori dialektologi tradisional dan struktural. Walaupun demikian,

Danie (1991) terlebih dahulu menggunakan metode leksikostatistik sebelum

menggunakan metode dialektometri dalam menghitung persentase kekognatan

dengan data 200 kata Swadesh. Berdasarkan perhitungan leksikostatistik diperoleh

persentase kekognatan leksikal sebagai berikut: Tonsea-Tombulu = 71%, Tonsea-

Tolour = 69%, dan Tombulu-Tolour = 71%. Selain itu, juga dilakukan pemetaan

bahasa di Minahasa Timur Laut, berkas isoglos, dan rekonstruksi protobahasa

Minahasa dan protobahasa Minahasa Timur.

Lauder (1993) juga memberikan sumbangsih berharga dalam disertasinya

berjudul ―Pemetaan dan Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang‖. Adapun fokus

penelitian di Tangerang ini adalah bidang leksikon dengan anggapan bahwa walau

bagaimana pun, leksikon merupakan unsur yang mandiri di dalam bahasa mana

pun. Lauder (1993) melakukan penelitian dialektologi mengenai bahasa Jawa,

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

17

Sunda, dan Melayu di Kabupaten Tangerang dengan menggunakan komputerisasi

pemetaan bahasa. Pemetaan bahasa dengan komputer dapat membantu

mempercepat proses pemetaan bahasa di seluruh Indonesia. Dalam perhitungan

dialektometri ini, penelitian itu menggunakan 580 leksikon. Dalam penelitiannya

melalui metode dialektometri, ditemukan bahwa wilayah Tangerang terdiri atas

satu bahasa dengan tiga dialeknya, yakni bahasa Tangerang dialek Barat Laut,

bahasa Tangerang dialek Timur, dan bahasa Tangerang dialek Selatan.

Mahsun (1994) dalam disertasinya yang berjudul ―Dialek Geografis

Bahasa Sumbawa‖ turut mengembangkan penelitian dialektologi. Penelitian

tersebut menggunakan teori dialektologi tradisional. Penelitian Mahsun (1994)

merupakan penelitian geografi dialek yang bersifat sinkronis dan diakronis yang

mengawali analisis datanya dengan variasi fonologis dan leksikal, kemudian

diikuti dengan perhitungan dialektometri, peta bahasa, dan teknik rekonstruksi.

Dengan menggunakan berkas isoglos, bahasa Sumbawa dapat dikelompokkan

atas empat kelompok dialek, yaitu dialek Jereweh, dialek Taliwang, dialek Tongo,

dan dialek Sumbawa Besar. Dialek Sumbawa Besar merupakan dialek yang paling

banyak dijumpai pada titik pengamatan. Penelitian tersebut pada dasarnya

mengikuti pola penelitian yang dilakukan oleh Danie (1991) yang dipelopori oleh

Nothofer (1975). Hal ini, berbeda dengan penelitian yang dikerjakan oleh

Ayatrohaedi, Bawa, dan Lauder yang hanya memfokuskan pada kajian sinkronis.

Dhanawaty (2002) ikut memberikan sumbangsih yang besar bagi kajian

dialektologi dengan warna yang sedikit berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya

dalam penelitiannya berjudul ―Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

18

Transmigrasi Lampung Tengah‖. Penelitian Dhanawaty lebih diarahkan pada

kajian dialek sosial sehingga semakin memperkaya kajian dialektologi di

Indonesia. Penelitian itu menggunakan teori akomodasi dan prototipe dengan

melibatkan tiga macam variabel, yaitu variabel lek, variabel daerah, dan variabel

usia. Cara kerja analisis penelitian dialektologis ini adalah pendeskripsian

fonologis, variasi fonologis, dan persebarannya dalam semua titik banding. Salah

satu hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa variasi fonologis pada bahasa

Bali di Lampung Tengah dapat ditemukan pada tuturan semua kelompok usia di

semua titik pengamatan dengan derajat yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut

muncul akibat adanya konsep akomodasi para penutur bahasa Bali di Lampung

Tengah. Selain itu, dalam penelitian itu, ada upaya pengombinasian teori

dialektologi dan sosiolinguistik dan juga teori akomodasi.

Putra (2007) juga melakukan penelitian dialektologi dalam disertasinya

yang berjudul ―Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu

Kajian Dialektologi‖. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan variasi

bahasa Sumba dan daerah penyebarannya, mengelompokan lek-lek bahasa sumba,

dan melakukan penelusuran bentuk asal dan turunan. Penelitian itu menggunakan

teori dialektologi generatif dengan sampel sebanyak 30 titik pengamatan dengan

90 informan. Selain itu, penelitian ini menggunakan 1050 daftar tanyaan dengan

rincian 936 kosakata, 64 frase, dan 50 kalimat sederhana. Metode dan teknik

penganalisisan yang digunakan dalam penelitian tersebut meliputi metode padan

fonetis, dan selanjutnya menggunakan metode berkas isoglos dan metode

dialektometri, serta penggambaran bentuk asal dan bentuk turunan. Salah satu

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

19

hasil penelitian tersebut berdasarkan penghimpunan berkas isoglos dan

penghitungan dialektometri (leksikal dan fonologis), dan penghitungan permutasi

menunjukkan bahwa BS (bahasa Sumba) di Pulau Sumba dapat dikelompokan

menjadi lima dialek, yaitu (1) dialek Mauralewa-Kambera, dialek Wano Tana, dan

(3) dialek Waijewa-Louli, (4) dialek Kodi, dan (5) dialek Lamboya.

Penerapan teori dialektologi generatif yang dilakukan Putra (2007) dalam

penelitiannya memberikan sumbangan dalam penelitian ini terutama dalam variasi

fonologis dan analisis bentuk asal dan bentuk turunan. Dalam menganalisis variasi

fonologis, Putra melakukan beberapa langkah kerja, seperti identifikasi bunyi,

pembuktian fonem, distribusi fonem, dan karakterisasi fonem bahasa Sumba

dalam ciri pembeda. Selain itu, kebanyakan analisis data dalam penelitian ini

mengikuti cara kerja seperti yang ada dalam penelitian Putra (2007), khususnya

terkait dengan berkas isoglos dan perhitungan dialektometri. Putra (2007)

melakukan pembuatan berkas isoglos dan perhitungan dialektometri baik secara

fonologis maupun leksikal per medan makna dan secara keseluruhan medan

makna. Salah satu perbedaan penelitian Putra (2007) dengan penelitian ini adalah

penggunaan teori, yakni penelitian ini menggunakan teori dialektologi tradisional

dan generatif, sedangkan Putra hanya menggunakan teori dialektologi generatif.

Fautngil (2008) juga pernah melakukan penelitian dialektologi dalam

disertasinya yang berjudul ―Varietas-Varietas Bahasa di Lembah Grime Jayapura:

Kajian Dialektologi Regional‖. Penelitian Fautngil menggunakan teori

dialektologi tradisional dan hanya memfokuskan pada variasi fonologis dan

leksikal dengan menggunakan 700 kosakata yang juga digunakan untuk membuat

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

20

peta isoglos dan melakukan perhitungan dialektometri. Salah satu hasil penelitian

tersebut menunjukan bahwa hasil perhitungan jarak kosakata dengan dialektomeri

yang diperkuat dengan tampilan peta berkas isoglos dalam tingkat leksikal, secara

keseluruhan tergambar adanya tiga kelompok bahasa, satu dialek, dan satu

subdialek, dan beberapa beda wicara sampai tidak ada beda dari 30 titik

pengamatan di wilayah Lembah Grime Jayapura.

Suryati (2012) juga tidak ketinggalan memberikan sumbangsih dalam

kajian dialektologi dalam disertasinya berjudul ―Variasi Fonologis dan Leksikal

Bahasa Lio di Flores, Nusa Tenggara Timur: Kajian Dialektologi Geografi‖.

Penelitian tersebut menggunakan teori dialektologi tradisional dan generatif.

Dalam penelitian tersebut, digunakan sampel sebanyak 26 desa sebagai titik

pengamatan dengan setiap desa menggunakan 3 informan. Selain itu, penelitian

itu menggunakan 900 kosakata yang tercakup dalam 20 medan makna. Metode

dan teknik penganalisisan yang digunakan dalam penelitian tersebut meliputi

metode padan dengan teknik dasarnya teknik pilah unsur penentu yang

dilanjutkan dengan teknik banding. Adapun pengelompokan dialek-dialek dan

subdialeknya dilakukan dengan metode berkas isoglos dan dialektometri.

Penentuan hubungan antartitik pengamatan dilakukan dengan pembuktian secara

kuantitatif yang diawali dengan pembuatan segi tiga dialektometri. Salah satu

hasil penelitian tersebut berdasarkan penghimpunan hasil dialektometri leksikal

antar TP yang berdekatan, dialektometri fonologis, gabungan dialektometri

leksikal dan fonologis, serta gabungan ketiganya ditambah permutasi dapat

diketahui dialek dan kelompok dialek bahasa Lio menjadi 7, yaitu dialek Bahasa

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

21

Lio Timor, dialek Bahasa Lio Tengah, dialek Bahasa Lio Barat, dialek Lio Ende,

dialek Welamosa, dialek Wolele, dan dialek Koanara.

Penelitian Suryati (2012) juga menjadi acuan untuk melakukan

pengelompokan bahasa Wakatobi berdasarkan variasi fonologis dan leksikal, serta

pembuatan berkas isoglos dan dialektometri dalam penelitian ini. Dalam analisis

variasi fonologis, Suryati (2012) melakukan beberapa prosedur kerja, seperti

inventarisasi bunyi, identifikasi fonem, distribusi fonem, karakterisasi ciri

pembeda, karakterisasi bahasa Lio, penentuan bentuk asal, dan variasi fonem,

serta proses dan kaidah fonologis. Adapun dalam penerapan berkas isoglos dan

dialektometri, penelitian tersebut dilakukan baik secara fonologis maupun leksikal

per medan makna dan secara keseluruhan medan makna, dengan teknik segi tiga

dialektometri dan permutasi. Penelitian ini banyak merujuk dan mengikuti model

kerja dalam penelitian tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas, penelitian Putra (2007) dan Suryati (2012)

memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berharga dan dapat dijadikan

sebagai perbandingan dalam melakukan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian

ini banyak mengikuti model atau cara kerja yang dilakukan oleh Putra (2007) dan

Suryati (2012) dalam mendeskripsikan variasi bahasa Wakatobi karena adanya

banyak kemiripan dengan kedua penelitian tersebut. Dengan kata lain, analisis

data dalam penelitian ini banyak merujuk dari kedua penelitian tersebut,

khususnya terkait dengan deskripsi variasi fonologis dan leksikal dengan

penelusuran bentuk asal dan bentuk turunan, pembuatan berkas isoglos, dan

perhitungan dialektometri. Adapun pada variasi fonologis, penelitian ini juga

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

22

menganalisis faktor-faktor intra-linguistik yang memengaruhi terjadinya variasi

fonologis tersebut. Selain itu, aspek ekstra-linguistik juga dianalisis dalam

penelitian ini, khususnya terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi

terjadinya variasi bahasa Wakatobi.

Selain kajian pustaka tentang dialektologi di atas, diuraikan pula kajian

relevan yang pernah dilakukan mengenai bahasa Wakatobi yang menjadi objek

penelitian ini. Penelitian mengenai variasi-variasi bahasa Wakatobi dapat

dikatakan masih sangat jarang dilakukan. Terlebih lagi, studi dialektologi isolek-

isolek dalam bahasa Wakatobi belum pernah dilakukan secara lengkap oleh

penelitian-penelitian sebelumnya sebagimana layaknya prosedur-prosedur

penelitian dialektologi.

Esser (1938) dalam penelitiannya berjudul ―In Atlas van Tropsich

Nederland” sedikit menggambarkan situasi bahasa Wakatobi. Penelitian tersebut

bertujuan untuk mengetahui tingkat kekerabatan bahasa-bahasa daerah di

Sulawesi Tenggara. Dalam penelitian tersebut dilakukan pengelompokan bahasa-

bahasa sekerabat di Sulawesi ke dalam tujuh kelompok. Salah satu dari ketujuh

kelompok tersebut adalah kelompok Muna-Butung sebagai bahasa yang berasal

dari satu kelompok bahasa yang terbagi menjadi empat sub-kelompok bahasa

yaitu: (1) Muna-Buton, (2) Buton Selatan, (3) Kelompok Kepulauan Tukang Besi

(Kalaotoa, Larampa, dan Bonerato), dan (4) Wolio dan Laiyolo. Namun, dalam

penelitian tersebut, kajian secara khusus bahasa Wakatobi beserta dialek-

dialeknya tidak dibicarakan. Namun, Yatim (1981:1) meragukan pembagian

kelompok bahasa Muna-Butung yang dilakukan oleh Esser. Adapun Donohue

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

23

(1999:6) menganggab bahwa penelitian Esser tidak substansial pada bahasa

Wakatobi/Tukang Besi.

Kaseng, et al. (1991) melakukan penelitian mengenai bahasa-bahasa

daerah di Sulawesi Tenggara dengan judul ―Pemetaan Bahasa-Bahasa di Sulawesi

Tenggara‖. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk memetakan bahasa-bahasa

daerah di Sulawesi Tenggara dengan menggunakan metode leksikostatistik dan

teori yang lazim digunakan dalam linguistik historis komparatif, tetapi tidak

secara merata/lengkap. Selain itu, penelitian tersebut hanya bersifat kuantitatif dan

universal terhadap seluruh bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Tenggara, serta

hanya terbatas pada 200 kata Swadesh. Bahkan, penelitian itu hanya melibatkan

isolek Wanci sebagai representatif dari bahasa Wakatobi dan tidak menyinggung

dialek-dialek yang lainnya. Hasil penelitian itu menunjukan bahwa ada 20 isolek

yang masuk kategori bahasa di Sulawesi Tenggara.

Donohue (1999) telah melakukan penelitian yang cukup lengkap mengenai

struktur bahasa Wakatobi, yang disebutnya sebagai bahasa Tukang Besi atau

Kepulauan Tukang Besi dalam disertasinya berjudul ―The Tukang Besi Language

of Southeast Sulawesi, Indonesia. Penelitian tersebut bertujuan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis aspek tatabahasa Bahasa Wakatobi (Tukang

Besi), yang meliputi aspek fonologi, kata, morfologi, frase, klausa, sintaksis,

bahkan tindak tutur, pivot, dan hubungan gramatikal. Walaupun penelitian

tersebut merupakan kajian struktural yang bersifat deskriptif kualitatif dan tidak

menganalisis variasi-variasi bahasa Wakatobi, terdapat banyak informasi yang

sangat penting dan dibutuhkan dalam penelitian ini, khususnya terkait dengan

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

24

analisis aspek fonologi bahasa Wakatobi. Donohue (1999:9) juga sependapat

dengan hasil penelitian SIL bahwa ada dua kelompok bahasa Wakatobi, yaitu

bahasa Tukang Besi Utara dan bahasa Tukang Besi Selatan. Menurut Donohue

(1999:9), perbedaan kedua kelompok bahasa tersebut dapat dilihat pada aspek

leksikon dan alofonnya. Selain itu, Donohue menyebutkan bahwa Wanci

merupakan salah satu dialek bahasa Wakatobi/Tukang Besi yang terdiri atas lima

subdialek, yaitu Rupu, Wanse, Kapota, Mandati, dan Lia. Terkait dengan aspek

fonologi bahasa Wakatobi dalam penelitian tersebut, ada beberapa informasi yang

dijadikan sebagai data pembanding dengan penelitian ini, seperti deskripsi fonem,

bunyi-bunyi unik, proses fonotaktiks variabel, dan morfo-fonologi.

Lauder, et al. (2000) juga pernah melakukan penelitian yang berjudul

―Penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia:

Provinsi Sulawesi Tenggara‖. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui

jumlah dan tingkat kekerabatan bahasa-bahasa tersebut. Penelitian Lauder, et al.

ini menggunakan 200 kata dasar swadesh, 888 kosakata budaya dasar, 62 frase,

dan 41 kalimat sederhana, dan hanya bersifat kuantitatif. Selain itu, penelitian

tersebut menggunakan metode leksikostatistik dan dialektometri. Hasil

perhitungan leksikostatistik menunjukan bahwa terdapat 12 bahasa daerah di

Sulawesi Tenggara. Hasil perhitungan dialektometri diketahui bahwa bahasa Pulo

yang sekarang dikenal dengan bahasa Wakatobi dapat dikelompokan dalam 4

dialek, yaitu Pulo Kapota, Tomia, Kaledupa, dan Binongko.

Marafad, et al. (2001) juga telah melakukan penelitian yang berjudul

―Pengelompokan Genetis Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara‖. Tujuan

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

25

penelitian tersebut pada dasarnya juga bertujuan untuk mengelompokan bahasa-

bahasa daerah di Sulawesi Tenggara, dan melakukan rekonstruksi bahasa asal.

Penelitian itu menggunakan metode sinkomparatif dan diakomparatif (Lass,

1969:15) dengan masing-masing menggunakan metode agih dan metode

leksikostatistik dalam kajian linguistik historis komparatif (LHK). Teori yang

digunakan dalam analisis data yaitu teori-teori yang berhubungan dengan kajian

LHK, seperti adanya perubahan bunyi bahasa, retensi, inovasi, dan korespondensi.

Namun, penelitian itu hanya memfokuskan pada beberapa bahasa saja di Sulawesi

Tenggara. Dalam artian, penelitian tersebut hanya diuraikan secara genetis dan

sepintas mengenai hubungan-hubungan antarbahasa di Sulawesi Tenggara dan

tidak menyinggung hubungan antardialek, khususnya dialek-dialek dalam bahasa

Wakatobi sebagai salah satu bahasa di Sulawesi Tenggara dengan variasi dialek

yang sangat banyak dan populasi penduduk yang cukup besar. Instrumen yang

digunakan dalam penelitian tersebut yaitu 200 kata Swadesh sebagai data awal

dan 1645 kata Holle untuk keperluan data lanjutan. Hasil penelitian tersebut

menunjukan bahwa ada dua kelompok bahasa di Sulawesi Tenggara, yaitu

kelompok Bungku-Tolaki, yang beranggotakan bahasa Wawonii, Kulisusu,

Morunene, dan Tolaki, dengan kelompok Muna-Buton yang beranggotakan

bahasa Bosowa, Kambowo, Muna, Wolio, CiaCia, dan Wakatobi. Penelitian

tersebut juga memperlihatkan adanya hubungan keseasalan kelompok bahasa

Wawonii, Kulisusu, Moronene, Tolaki, Bosowa, Kambowa, Muna, Ciacia, dan

Wakatobi dengan Proto Austronesia (PAN).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

26

SIL (2006), Kantor Bahasa Sultra (2006), dan Pusat Bahasa (2008) juga

telah memberikan deskripsi mengenai hubungan bahasa-bahasa di Sulawesi

Tenggara, termasuk bahasa Tukang Besi (Wakatobi). SIL (2006) pernah

melakukan penelitian berjudul ―Bahasa-Bahasa di Indonesia‖. Tujuan penelitian

tersebut untuk mengetahui jumlah bahasa dan dialek di Indonesia, termasuk

tingkat kekerabatannya. Penelitian tersebut menggunakan metode leksikostatistik

yang diawali dengan menanyakan langsung ke masyarakat yang didatangi

mengenai nama bahasa masyarakat tersebut. Salah satu hasil penelitian tersebut

menunjukan bahwa ada 2 bahasa di Wakatobi yaitu bahasa Wakatobi Utara dan

Wakatobi Selatan. Bahasa Wakatobi utara/Tukang Besi Utara terdiri atas dialek

Wanci dan Kaledupa, dan bahasa Wakatobi Selatan/Tukang Besi Selatan terdiri

atas dialek Tomia dan Binongko.

Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara (2006) juga pernah melakukan

penelitian berjudul ―Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di

Sulawesi Tenggara‖. Tujuan penelitian tersebut yaitu untuk membuat analisis

jumlah bahasa, dialek, atau subdialek yang terdapat di Sulawesi Tenggara, serta

analisis hubungan kekerabatan antarbahasa-bahasa daerah tersebut. Penelitian

tersebut menggunakan metode leksikostatistik dengan teori yang lazim digunakan

dalam kajian perbandingan bahasa. Salah satu hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa ada 8 kelompok isolek yang berstatus sebagai bahasa

tersendiri di Sulawesi Tenggara. Kemudian, Pusat bahasa (2008: 89) juga

melakukan penelitian berjudul ―Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia‖ dengan

tujuan untuk mengetahui jumlah bahasa dan dialek/subdialek yang ada di

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

27

Indonesia. Penelitian tersebut menggunakan metode dialektometri dengan teori

yang lazim digunakan dalam dialektologi tradisional. Selain itu, penelitian

tersebut hanya berupa statistik atau bersifat kuantitatif. Sala satu hasil penelitian

tersebut menyebutkan bahwa perbedaan isolek yang digunakan antarkeempat

daerah di Wakatobi berada dalam kategori beda subdialek, yaitu berkisar 33-45%.

Semua penelitian yang dikemukakan di atas merupakan kajian

perbandingan bahasa atau linguistik historis komparatif, yakni penelusuran

kekerabatan bahasa yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan ini, yakni

kajian dialektologi, kecuali penelitian Lauder, et al. (2000) yang menggabungkan

kajian linguistik historis komparatif dan dialektologi, dan penelitian Pusat Bahasa

(2008) yang menggunakan kajian dialektologi tradisional. Namun, kajian Lauder,

et al. (2000) lebih memfokuskan pada analisis kuantitatif, sehingga analisis variasi

fonologis baik yang bersifat teratur maupun sporadis, kaidah-kaidah fonologis,

penyusunan bentuk asal dan turunan, serta penyusunan berkas isoglos masih

kurang mendapat perhatian. Demikian pula, Pusat Bahasa lebih memfokuskan

pada analisis kuantitatif dan hanya menerapkan teori dialektologi tradisional.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Donohue (1999) sebagaimana

yang telah digambarkan sebelumnya juga berbeda dengan penelitian ini.

Penelitian Donohue lebih menfokuskan pada dialek Wanci, khususnya subdialek

Rupu (Donohue, 1999:1 dan 532), sedangkan penelitian ini meliputi seluruh

dialek bahasa Wakatobi. Penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisi variasi

fonologis baik yang bersifat teratur maupun sporadis, serta penyusuan bentuk asal

dan turunan, yang tidak ditemukan dalam penelitian Donohue. Selain itu, data

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

28

penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian Donohue. Donohue (1995:1)

mengambil data dari cerita-cerita tradisional dan percakapan yang direkamnya

dari informan, sedangkan penelitian ini menggunakan daftar sejumlah kosakata

dan frase.

Semua penelitian yang dikemukakan di atas berbeda dengan penelitian

yang dikerjakan ini karena penelitian-penelitian tersebut belum mengkaji bahasa

Wakatobi secara lengkap sebagaimana lazimnya langkah-langkah penelitian

dialektologi dan hanya terbatas pada pemanfaatan teori dialektologi tradisional.

Adapun penelitian ini lebih memfokuskan pada kajian dialektologi bahasa

Wakatobi dengan menerapkan prosedur dan langkah-langkah dalam kajian

dialektologi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan menerapkan teori

dialektologi generatif dan tradisional. Walaupun penelitian-penelitian tersebut

belum melakukan penelitian dialektologi dalam bahasa Wakatobi secara lengkap,

penelitian-penelitian tersebut juga memberikan konstribusi dalam penelitian ini

terkait dengan informasi situasi kebahasaan di Sulawesi Tenggara, khususnya

bahasa Wakatobi. Oleh karena itu, penelusuran daftar pustaka mengenai kajian-

kajian bahasa Wakatobi yang pernah dilakukan merupakan hal yang sangat

penting dan dibutuhkan dalam penelitian ini.

Hal-hal yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka ini menunjukkan

bahwa penelitian-penelitian tersebut hanya menggunakan hasil perhitungan

leksikostatistik atau dialektometri dalam pengelompokan variasi-variasi dalam

bahasa Wakatobi. Dalam kajian dialektologi, hasil analisis kuantitatif masih

dianggap belum memadai jika tanpa adanya dukungan analisi kualitatif. Dengan

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

29

kata lain, belum ditemukan literatur yang mengkaji atau menyinggung variasi-

variasi bahasa Wakatobi berdasarkan penggabungan kajian dialektologi generatif

dan tradisional, khususnya melalui deskripsi dan analisis secara kualitatif.

2.2 Konsep

Ada sejumlah konsep yang perlu untuk dijelaskan dalam penelitian ini

sehingga diperoleh pemahaman yang sama tentang konsep tersebut. Konsep-

konsep yang dimaksud adalah (1) variasi bahasa; (2) dialek, subdialek, dan isolek;

(3) isoglos; (4) bentuk asal dan bentuk turunan; (5) ciri pembeda; dan (6) peta

bahasa sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

2.2.1 Variasi Bahasa

Variasi merupakan sifat hakiki dari setiap sistem linguistik; baik secara

sintopik maupun diatopik, dan tidak ada bahasa yang homogen tanpa variasi

(Grijns, 1976:2). Pada dasarnya, variasi bahasa mengarah pada ragam-ragam

bahasa. Variasi bahasa tersebut diabstraksikan dalam sebuah peta bahasa dengan

bantuan lambang-lambang atau sistem tertentu dan garis isoglos yang menyatukan

persamaan, serta heteroglos yang memisahkan perbedaan variasi bahasa tersebut.

Menurut Halliday (2001:184), variasi bahasa dapat diklasifikasikan dalam

dua bentuk, yaitu dialek dan register. Dialek merupakan variasi bahasa yang

terjadi disebabkan oleh perbedaan berdasarkan pemakai/penutur bahasa,

sedangkan register adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan

pemakaiannya. Adapun, Kridalaksana (1980:12-13) menyatakan bahwa variasi

bahasa juga ditentukan oleh faktor waktu, faktor tempat, faktor sosioliguistik, dan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

30

faktor situasi. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari masa ke masa.

Variasi regional membedakan bahasa yang dipakai di suatu tempat dengan yang

ada di tempat lain. Variasi sosio kultural membedakan bahasa yang dipakai suatu

kelompok sosial dari kelompok sosial yang lain. Variasi situasional timbul karena

pemakai bahasa memilih ciri-ciri bahasa tertentu dalam situasi tertentu.

Variasi bahasa yang dimaksudkan dalam penelitian ini ada dua, yaitu

variasi elemen kebahasaan dan variasi tingkat perbedaan dalam bahasa. Variasi

elemen kebahasaan yaitu variasi fonologis dan variasi leksikal bahasa Wakatobi.

Adapun, variasi tingkat perbedaan dalam bahasa, yaitu tingkat bahasa, dialek,

subdialek, wicara, dan tidak beda.

2.2.2 Dialek, Subdialek, dan Isolek/Lek

Istilah dialek yang bersaal dari kata bahasa Yunani, dialektos pada

mulanya hanya dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya

(Ayatrohaedi, 1979: 1). Meillet (1967: 69) mencirikan dialek sebagai seperangkat

bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan

masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain

dari bahasa yang sama, dengan mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah

bahasa. Dari ciri tersebut dapat dipahami bahwa dialek adalah variasi bahasa,

khususnya variasi di bawah tingkatan bahasa. Adapun Putra (2007:32)

menyebutkan bahwa dialek merupakan variasi bahasa yang terjadi disebabkan

oleh perbedaan pemakai/penutur bahasa. Dialek dalam pengertian yang lebih luas

diartikan sebagai varietas yang tidak saja ditentukan berdasarkan perhitungan

dialektometri, tetapi juga untuk semua varietas intrabahasa tanpa mempersoalkan

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

31

apakah derajat kebervariasiannya secara dialektometris, telah mencapai tahap

dialek atau belum (Dhanawaty, 2002:29). Sebuah bahasa terkadang terdiri atas

beberapa dialek. Perbedaan variasi dalam tataran dialek lebih sedikit

dibandingkan dengan perbedaan variasi pada tataran bahasa. Dalam kajian

dialektometri, bahasa dan dialek memiliki jarak persentase yang berbeda, yaitu

81-100% (beda bahasa) dan 51-80% (beda dialek) (Guiter, 1973 dalam

Ayatrohaedi, 1979: 31).

Sebuah bahasa dapat terdiri atas beberapa dialek. Sebuah dialek terkadang

terdiri atas beberapa subdialek. Perbedaan variasi bahasa dalam tataran subdialek

lebih sedikit dibandingkan dengan perbedaan variasi bahasa pada tataran dialek.

Dalam kajian dialektometri, dialek dan subdialek memiliki jarak persentase yang

berbeda, yaitu 51-80% (beda dialek) dan 31-50% (beda subdialek) (Guiter, 1973

dalam Ayatrohaedi, 1979: 31).

Istilah isolek mengacu pada suatu bentuk tanpa memperhatikan statusnya,

baik sebagai bahasa atau sebagai dialek (Hudson, 1970: 302-303). Dari pengertian

ini, isolek/lek merupakan istilah yang digunakan untuk sesuatu yang belum jelas

statusnya, apakah sebagai tingkatan bahasa, dialek, subdialek, atau pun wicara.

Dengan kata lain, istilah isolek merupakan istilah netral yang dapat digunakan

untuk menunjuk pada bahasa, dialek, subdialek, atau wicara. Penggunaan istilah

isolek karena adanya perbedaan pendapat para peneliti sebelumnya tentang status

variasi bahasa Wakatobi yang terdiri atas Wanci, Kaledupa, Tomia, dan

Binongko. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa keempat variasi tersebut berada

pada tataran dialek, sedangkan peneliti lainnya menyebutkannya pada tataran

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

32

bahasa, dan bahkan subdialek. Oleh karena itu, ketika disebutkan isolek-isolek

bahasa Wakatobi, hal itu memiliki beberapa makna, yaitu bahasa Wakatobi,

dialek-dialek bahasa Wakatobi, termasuk subdialek-subdialeknya atau wicara-

wicaranya.

2.2.3 Isoglos

Pada umumnya, orang beranggapan bahwa suatu bahasa amat erat

hubungannya dengan keadaan alam, suku, dan keadaan politik di daerah-daerah

yang bersangkutan (Ayatrohaedi, 1979:5). Oleh karena itu, di dalam usaha

menentukan batas-batas pemakaian suatu bahasa pun, hal itu didasarkan pada

kenyataan-kenyataan tersebut. Alat bantu yang sangat penting dalam kajian

geografi dialek ialah isogloss atau (garis) watas kata, yaitu (garis) yang

memisahkan setiap gejala bahasa dari dua lingkungan dialek atau bahasa

berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan yang berbeda, yang dinyatakan

pada peta bahasa (Dubois, dkk, 1973). Garis atau watas kata yang kadang juga

disebut heteroglos (Kurath, 1972) itu sebenarnya adalah garis imajinari yang

dibuat oleh para peneliti kajian geografi dialek berdasarkan berian yang

diterimanya di lapangan. Istilah yang berbeda ini muncul karena cara pandang

yang berbeda. Isoglos digunakan untuk menyatukan persamaan, sedangkan

heteroglos digunakan untuk memisahkan perbedaan variasi bahasa.

Chambers dan Peter (1980:112) selanjutnya memperkenalkan istilah

tingkatan isoglos. Tingkatan isoglos digambarkan berdasarkan tingkat struktur

linguistik, yang meliputi isoglos leksikal dan isoglos pelafalan (Chambers dan

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

33

Peter, 1980:113). Isoglos leksikal menggambarkan perbandingan dalam aspek

kata yang digunakan oleh penutur yang berbeda untuk menyifatkan objek atau

tindakan yang sama. Adapun isoglos pelafalan/pengucapan yang kadang dianggap

selalu bersama dengan isoglos leksikal. Namun, isoglos pelafalan ini lebih

memfokuskan pada bunyi-bunyi fonem pada kata yang sama atau mirip dengan

makna yang sama pula.

Isoglos dalam penelitian ini digunakan dalam pembuatan peta bahasa

Wakatobi, baik untuk memisahkan berian-berian yang berbeda secara fonologis

maupun yang berbeda secara leksikal. Isogloss memiliki bentuk yang

beranekaragam yang disesuaikan dengan tujuan pembuatannya, sehingga berian-

berian yang sama atau berbeda, baik secara fonologis maupun leksikal dapat

terlihat dengan jelas.

2.2.4 Bentuk Asal dan Bentuk Turunan

Penelitian ini yang juga melibatkan penelusuran bentuk asal (BA), maka

konsep bentuk asal dan turunan (BT) perlu untuk diuraikan, terlebih lagi

penelitian ini menggunakan kajian dialektologi generatif. Dalam kajian

dialektologi generatif diterapkan konsep ciri pembeda sebagai unit bahasa terkecil

yang menggunakan transkripsi fonetik. Analisis suatu bahasa secara generatif

melibatkan penentuan bentuk asal dari suatu morfem dan pernyataan kaidah yang

menghubungkan dengan bentuk turunannya sebagai gambaran fonetiknya (Putra,

2007:37). Hal ini, menunjukkan bahwa kaidah fonologis yang telah dibuat dapat

menghubungkan bentuk asal dan bentuk turunannya.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

34

Bentuk asal dapat agak berbeda dari bentuk turunan, yaitu boleh lebih

abstrak daripada bentuk turunannya. Dalam bentuk yang abstrak, bentuk asal

memperlihatkan keteraturan struktur yang tidak selalu terlihat dalam bentuk

turunan. Schane (1973: 82) menyatakan bahwa, jika ada bentuk yang berselang-

seling dari suatu morfem dan ada kaidah-kaidah yang dapat dinyatakan bagi

kejadian varian-varian itu, maka morfem itu mempunyai satu bentuk asal yang

khas.

Bentuk asal dalam penelitian ini merupakan bentuk dasar atau bentuk

pertama yang menurunkan satu atau beberapa bentuk turunan. Dengan kata lain,

bentuk turunan merupakan bentuk yang diturunkan dari bentuk asalnya.

Penentuan bentuk asal dan turunan dalam bahasa Wakatobi memperhatikan

beberapa kriteria para ahli dan proses perubahan bunyi bahasa yang umum dan

wajar terjadi dalam bahasa tersebut. Hal ini dijelaskan secara lebih mendetail pada

landasan teori.

2.2.5 Ciri Pembeda

Ciri pembeda adalah unsur terkecil dari bahasa. Adapun fonem

digambarkan sebagai kumpulan ciri pembeda yang tidak memiliki status linguistik

tertentu. Ciri-ciri pembeda dapat mendeskripsikan ciri-ciri fonetik secara

artikulatoris karena mengacu kepada bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh titik

artikulasi tertentu (anterior dan koronal); bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh

artikulator (tinggi, rendah, belakang, bulat); sementara secara akustik karena

melibatkan tingkat kenyaringan suatu bunyi, seperti sonoran dan obstruen

(Pastika, 1990: 19).

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

35

Dalam menggambarkan ciri pembeda dapat digunakan sistem biner, yaitu

tanda (+) dan tanda (-). Sistem biner ini digunakan untuk memperlihatkan ciri-ciri

yang memperlhatkan sifat-sifat yang berlawanan (apakah sifat itu ada atau tidak).

Jika sifat itu ada, maka diberi tanda (+); dan jika sifat itu tidak ada, maka diberi

tanda (-). Sifat-sifat yang berlawanan tersebut, seperti bersuara dan tak bersuara,

atau bunyi nasal dan oral.

Schane (1973: 20) mengelompokan ciri-ciri pembeda menjadi 7 macam,

yaitu: (1) ciri-ciri golongan utama: silabis, sonoran, dan konsonantal; (2) ciri-ciri

cara artikulasi: malar, pelesapan tak bersuara, kasar, nasal, dan lateral; (3) ciri-ciri

tempat artikulasi: anterior dan koronal; (4) ciri-ciri punggung lidah: tinggi,

rendah, belakang; (5) ciri-ciri bentuk bibir: bulat dan tidak bulat; (6) ciri-ciri

prosodi; dan (7) ciri-ciri tambahan: tegang dan bersuara. Dalam mendeskripsikan

cirri pembeda bahasa Wakatobi digunakan acuan pengelompokan yang disarankan

oleh Schane di atas.

2.2.6 Peta Bahasa

Salah satu alat bantu utama untuk bidang ilmu dialektologi adalah peta

bahasa. Peta bahasa dapat membantu para ahli dialektologi untuk melakukan

analisis karena peta bahasa dengan jelas menampilkan visualisasi distribusi variasi

bahasa secara spasial. Isoglos adalah garis imajiner yang telah diterangkan di atas

yang digunakan dalam peta bahasa. Apabila puluhan atau ratusan peta bahasa

yang sudah dibubuhi isoglos ditumpuk menjadi satu, maka menjadi sebuah berkas

isoglos. Alur garis-garis berkas isoglos yang dominan merupakan alat bantu untuk

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

36

menganalisis dan menginterpretasikan distribusi gejala kebahasaan secara spasial.

Adapun konsep isoglos dan heteroglos telah dijelaskan pada subbagian di atas.

Pemetaan sebagaimana disinggung sebelumnya sangat penting dalam

menampilkan gejala kebahasaan. Artinya, pemetaan dan kajian geografi dialek

merupakan suatu kesatuan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Ayatrohaedi

(1985:31–32) berpandangan bahwa peta bahasa atau peta dialek merupakan alat

bantu untuk menggambarkan kenyataan yang terdapat dalam dialek-dialek, baik

itu persamaan maupun perbedaan di antara dialek-dialek tersebut. Sejalan dengan

itu, penulis berpandangan bahwa pemetaan dialek harus selalu diawali dengan

pendeskripsian dialek atau ciri-ciri dialek sebagaimana ditunjukkan oleh tradisi

awal penelitian dialektologi yang dilakukan Gillieron dan Wenker. Hal ini, diakui

pula oleh Saussure (1988:332–333) bahwa penelitian ciri-ciri dialek adalah titik

tolak usaha memetakan bahasa.

Peta bahasa bisa berupa peta peragaan (display maps) dan peta tafsiran

(interpretive maps). Peta peragaan sungguh-sungguh mentransfer jawaban

tertabulasi untuk masalah tertentu ke atas peta dan meletakkan tabulasi ke

perspektif geografis. Peta tafsiran mencoba membuat pernyataan yang lebih

umum dengan menunjukkan distribusi variasi utama dari satu daerah ke daerah

lain (Chambers dan Peter Trudgill, 1980:29). Peta peragaan dapat dibedakan dari

peta tafsiran. Misalnya, pada peta tafsiran terdapat garis isoglos yang

menunjukkan variasi-variasi utama, sedangkan pada peta peragaan tidak. Pada

peta tafsiran varian-varian dikelompokkan berdasarkan etimonnya. Kedua jenis

peta ini biasanya terdapat bersama-sama, peta tafsiran mengikuti peta peragaan.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

37

Walaupun bukan merupakan tujuan utama, pembuatan peta menjadi penting untuk

penelitian yang dilakukan selain memberikan gambaran perspektif geografis

terhadap data yang diteliti, juga bisa menjadi sumber untuk penelitian lainnya atau

menjadi sumber informasi yang berkaitan dengan distribusi unsur kebudayaan

atau unsur kesenian tertentu.

Peta bahasa dalam penelitian ini meliputi peta semua berian bahasa

Wakatobi, baik yang berbeda secara fonologis maupun leksikal. Terkait dengan

pembuatan peta berkas isogloss, penelitian ini hanya menfokuskan pada variasi

fonologis yang bersifat teratur dan variasi leksikal, baik per medan makna

maupun keseluruhan medan makna. Peta bahasa juga menampilkan hasil

perhitungan dialektometri dan pengelompokan bahasa Wakatobi.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori dialektologi generatif dan dialektologi

tradisional. Penerapan kedua teori itu disesuaikan dengan tujuan penelitian yang

ingin dicapai. Deskripsi dan analisis variasi fonologis, serta proses dan kaidah

fonologis menggunakan teori dialektologi generatif, yaitu teori fonologi generatif.

Deskripsi dan analisis variasi leksikal menggunakan teori dialektologi tradisional.

Pengelompokan bahasa Wakatobi berdasarkan berkas isoglos dan metode

dialektometri menggunakan teori dialektologi generatif dan tradisional. Sebelum

menguraikan penggunaan setiap teori tersebut dipandang perlu untuk memaparkan

secara ringkas kedua teori dimaksud. Hal ini dilakukan karena kajian dialektologi

atau dialek geografi tidak dapat terpisahkan dari fenomena perubahan bahasa.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

38

Bahasa merupakan sesuatu yang sifatnya senantiasa berubah-ubah

sehubungan dengan perubahan-perubahan yang ada di sekelilingnya, baik yang

sifatnya internal maupun eksternal. Dengan kata lain, perubahan bahasa itu adalah

suatu fenomena yang bersifat umum dan dapat berlaku pada bahasa apa saja di

dunia. Sebagaimana yang disebutkan oleh Crowley (2010:23) dan Chambers dan

Peter Trudgill (1980:37) bahwa semua bahasa dapat berubah dari masa ke masa

dengan berbagai cara yang mirip dan pantas untuk ditelaah. Hal senada juga

disampaikan oleh Guiraud (1970) bahwa anasir kebahasaan yang berbeda-beda

selalu terbentuk dari masa ke masa (Ayatrohaedi, 1979: 3).

Berdasarkan tujuan dalam penelitian ini, teori dialektologi generatif

digunakan untuk mendeskripsikan variasi fonologis, penelusuran bentuk asal dan

bentuk turunan, dan pembuatan berkas isoglos secara fonologis, sedangkan teori

dialektologi tradisional digunakan untuk mendeskripsikan variasi leksikal dan

pembuatan berkas isoglos dan dialektometri secara leksikal. Kedua teori tersebut

digunakan dalam menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian. Berikut ini

adalah rincian teori dialektologi tradisional, struktural, dan generatif. Uraian

dialektologi struktural perlu dilakukan untuk mengetahui perkembangan teori

dialektologi yang berawal dari dialektologi tradisional sampai pada dialektologi

generatif.

Dialektologi sebagai cabang linguistik selalu bertumpu pada konsep-

konsep yang dikembangkan dalam linguistik. Konsep-konsep yang dimaksud

berkaitan dengan konsep-konsep yang digunakan dalam bidang-bidang kajian

linguistik (umum) seperti konsep fonem, alofon untuk bidang fonologi atau

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

39

konsep fitur distingtif untuk fonologi generatif, konsep-konsep morfologi,

morfem, alomorfemis, morfofonemis, dan termasuk juga bidang sintaksis.

Konsep-konsep kebahasaan tersebut dimanfaatkan di antara daerah pengamatan

dalam penelitian mengenai deskripsi ciri-ciri kebahasaan yang menjadi penanda

atau pembeda antara dialek/subdialek yang satu dengan lainnya dalam bahasa

yang diteliti.

Kajian dialektologi dapat dilakukan, baik secara sinkronis maupun

diakronis. Adapun penelitian ini hanya menggunakan analisis dialektologi

sinkronis. Dialektologi sinkronis dalam penelitian ini menggunakan prinsip yang

telah disebutkan oleh Mahsun (1995), yakni sebagai berikut.

Beberapa hal yang menjadi telaah sinkronis, yaitu: (a) pendeskripsian

perbedaan unsur-unsur kebahasaan (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan

semantik); (b) pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda; (c) penentuan

isolek sebagai dialek atau subdialek; dan (d) membuat deskripsi yang berkaitan

dengan pengenalan dialek atau subdialek melalui pendeskripsian unsur-unsur

kebahasaan yang ada (Mahsun, 1995:13-14).

Salah satu cara untuk mengetahui tingkat perbedaan dari setiap variasi

bahasa dalam kajian dialektologi yaitu dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif melalui metode dialektometri. Metode dialektometri yang digunakan

dalam penelitian ini mengacu pada tingkat perbedaan variasi bahasa yang

ditetapkan oleh Guiter dan Crowley. Guiter (1973, dalam Ayatrohaedi, 1979:31)

dan Crowley (2010:139) memberikan tingkat perbedaan variasi-variasi bahasa

yang dibandingkan secara dialektometri sebagaimana pada tabel 2 berikut.

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

40

Tabel 2

Perbedaan Variasi-Variasi Bahasa

Tingkat Perbedaan Jarak Kosakata (%)

Perbedaan bahasa 81-100

Perbedaan dialek 51-80

Perbedaan subdialek 31-50

Perbedaa wicara 21-30

Tidak ada perbedaan 0-20

Munculnya teori-teori baru dalam bidang tata bahasa juga menandai

berkembangnya kajian dialektologi di samping masuknya berbagai disiplin ilmu

dalam kajian tersebut. Teori tata bahasa struktural yang digagas oleh Ferdinand de

Saussure dan teori tata bahasa generatif oleh Noam Chomsky melahirkan dua

jenis kajian dalam dialektologi: dialektologi struktural dan dialektologi generatif.

Adapun penelitian ini hanya menggunakan dialektologi tradisional dan generatif

dalam penganalisian data. Namun, ketiga jenis dialektologi tersebut (tradisional,

struktural, dan generatif) perlu untuk disebutkan sebagaimana uraian di bawah ini.

Teori dialektologi tradisional digunakan untuk menganalisis variasi

leksikal bahasa dan pembuatan berkas isoglos dan dialektometri secara leksikal.

Teori ini beranggapan bahwa setiap kata memiliki sejarahnya masing-masing.

Pada dasarnya, dialektologi tradisional merupakan dialektologi yang paling awal

diterapkan dalam mengkaji variasi-variasi bahasa yang diakibatkan faktor

geografis atau wilayah penutur. Adapun Chambers dan Peter Trudgill (1980:207)

memunculkan istilah geolinguistik sebagai alternatif bagi dialektologi tradisional

akibat konsep yang terkandung di dalam dialektologi, dalam perkembangan

berikutnya, mengalami penyempitan. Istilah tersebut diusulkan dengan munculnya

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

41

metode baru dalam penanganan dialektologi, yakni dialektologi perkotaan yang

dipelopori William Labov.

Dialektologi tradisional merupakan cabang dialektologi yang mempelajari

hubungan yang terdapat dalam ragam-ragam bahasa dengan bertumpu kepada

satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut (Dubois et al. dalam

Ayatrohaedi, 1985:29). Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa

dialektologi tradisional merupakan kajian linguistik yang berobjek dialek regional

atau dialek geografis. Selain itu, dialektologi tradisional beranggapan bahwa

semua perbedaan antarvariasi bahasa memiliki sifat dasar yang sama atau

perbedaan tersebut diperlakukan sama pentingnya. Dialektologi tradisional

mengabaikan perbedaan fonologis dan morfologis, dan hanya lebih memfokuskan

pada kontras leksikal. Dalam dialektologi tradisional banyak perhatian telah

diberikan pada variasi intrasistemik. Alam dan manusia dianggap berpotensi

menjelaskan lokasi batas dialek sebagai hasil dari divergensi dialek.

Adanya sejumlah kritikan pada dialektologi tradisional, maka munculah

dialektologi struktural. Weinreich (1954) menegaskan bahwa tidak semua

perbedaan antardialek memiliki sifat dasar yang sama. Setiap dialek mempunyai

sistem kebahasaan tersendiri termasuk pada bagian aspek perbedaan-perbedaan

fonologi atau fonetik. Adapun Deutsch (1980:119-120) mengatakan bahwa

dialektologi struktural adalah sebuah pendekatan yang menguji ciri-ciri dialek

dalam kaitannya dengan sistem-sistem kebahasaan dari dialek-dialek tersebut.

Menurut Weinreich (1954) dalam artikelnya ―Is a Structural Dialectology

Possible‖ mengatakan bahwa tugas dialektologi struktural adalah meneliti di

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

42

dalam satu rangka sistem-sistem bahasa yang pada satu pihak merupakan sistem

tersendiri dan pada pihak lain menunjukkan kesamaaan dalam bagian-bagian

setiap sistem itu.

Salah satu hal yang membedakan teori dialektologi struktural dan

tradisional yaitu dialektologi struktural membedakan segala jenis fonetik sesuai

dengan pengaruhnya pada struktur fonologi dari dialek-dialek yang khusus,

sedangkan dialektologi tradisional menganggap semua perbedaan antardaerah titik

pengamatan diperlakukan sama pentingnnya. Perbedaan lainnya adalah

dialektologi tradisional, misalnya, lebih memperhatikan kontras leksikal,

sedangkan dialektologi struktural lebih menekankan pada fonologi (Petyt, 1980:

171; dan Chambers dan Peter Trudgill, 1980:37-46). Dialektologi struktural telah

mampu menginventarisasi perbedaan variasi dalam suatu bahasa. Namun,

perbedaan-perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan generalisasinya, terlebih bila

penelitian melibatkan lebih dari dua variasi bahasa. Adapun penjelasan tersebut

dapat diungkap dengan dialektologi generatif.

Penelitian ini menggunakan teori dialektologi generatif, tentunya

mengarah pada teori fonologi generatif, yakni sebagai subbidang teori bahasa

yang dikenal sebagai tatabahasa generatif transformasi. Dengan kata lain, teori

dialektologi generatif ini menerapkan gagasan teori linguistik generatif, yakni

teori Tata Bahasa Generatif Transformasional (TGT). Dalam TGT, komponen

fonologi digunakan untuk memproses struktur lahir sehingga menghasilkan

gambaran fonetik (Pastika, 1990:9). Dengan demikian, semua unsur atau

gambaran fonetik secara geografis dapat digambarkan dengan jelas. Oleh karena

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

43

itu, teori ini sangat bermanfaat dalam mendeskripsikan variasi fonologis bahasa

Wakatobi.

Chomsky (1965:16—17) membedakan tiga komponen utama dalam tata

bahasa generatif. Ketiga komponen itu adalah komponen sintaksis (syntactic

component), komponen fonologi (phonological component), dan komponen

semantik (semantik component). Di antara komponen itu, komponen sintaksis

merupakan komponen sentral, sedangkan komponen fonologi dan komponen

semantik bersifat interpretatif (Kenstowich dan Charles Kosseberth, 1978:2-7; dan

Putra, 2007:41). Setiap komponen itu memuat kaidah, yakni komponen sintaksis

memuat kaidah-kaidah sintaksis yang berkaitan dengan pembentukan kalimat;

komponen fonologi mengandung kaidah-kaidah fonologis yang berhubungan

dengan pelafalan; sedangkan komponen semantik memuat kaidah-kaidah

semantik yang berkaitan dengan makna.

Dialektologi generatif adalah kajian tentang berbagai dialek yang

menerapkan kerangka teori transformasi generatif yang meliputi bentuk dalaman

dan bentuk permukaan. Perbedaan dari dialek-dialek yang dikaji adalah hasil dari

pelaksanaan rumus fonologi ke atas bentuk dalaman ini. Oleh karena itu, bahasa

sumber itu dianggap sebagai bentuk dalaman dan dialek-dialek turunannya

dianggap sebagai representase permukaannya. Dialektologi generatif menafsirkan

perubahan itu sebagai kesan daripada pelaksanaan rumus fonologi.

Chambers dan Peter Trudgill (1980:41) menyebutkan bahwa dialektologi

generatif menerapkan konsep dan temuan-temuan dari tata bahasa generatif

transformasional yang digagas Noam Chomsky, terutama fonologi generatif

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

44

dengan tujuan untuk mendeskripsikan dan membandingkan variasi bahasa atau

dialek yang diteliti. Terdapat dua tahap pendekatan dalam fonologi generatif,

yaitu bentuk dasar sebagai bentuk-bentuk leksikal yang terdaftar dalam kosakata,

dan kaidah-kaidah fonologis yang mengubah bentuk dasar ke bentuk yang

diucapkan oleh penutur asli. Hal ini menunjukkan bahwa fonologi generatif

meyakini perwujudan bentuk-bentuk dalam berbagai variasi penggantian dalam

suatu variasi bahasa, seperti bunyi tertentu dalam sebuah kata berubah ketika kata

tersebut dalam keadaan-keadaan tertentu.

Teori dialektologi generatif, khususnya fonologi generatif difokuskan

untuk mengkaji variasi fonologis bahasa Wakatobi, dan faktor-faktor yang

memengaruhi terjadinya keanekaragaman variasi fonologis tersebut. Berdasarkan

variasi fonologis tersebut ditelusuri perubahan bentuk turunan dari bentuk asalnya

dengan menerapkan prinsip-prinsip teori generatif, yaitu (1) adanya struktur lahir

dan struktur batin yang diaplikasikan pada BT dari BA; (2) unit bunyi bahasa

terkecil bukan fonem, melainkan ciri pembeda; (3) perubahan bunyi disebabkan

tidak hanya oleh perubahan bunyi bahasa, tetapi oleh perbatasan morfem dan kata;

(4) adanya kaidah-kaidah berurutan di samping kaidah-kaidah fonologis tertentu

(Schane, 1973).

Lebih jauh, kajian dialektologi generatif terkait dengan bentuk asal,

penelitian ini menggunakan beberapa kriteria dalam menentukan bentuk asal,

seperti yang disarankan oleh Ahmad (1993:68—71), yaitu (a) keselarasan pola,

(b) kesederhanaan, (c) keteramalan, (d) kealamiahan, (e) frekuensi, dan (f) kriteria

sintaksis atau keintian. Putra (2007:37-38) kemudian memberikan perbedaan yang

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

45

cukup jelas mengenai kriteria-kriteria di atas. Kriteria keselarasan pola merupakan

pola yang jelas memberi petunjuk untuk menafsirkan pola bunyi yang belum jelas.

Hal ini sangat terkait dengan kesemetrian suatu pola tertentu. Kesederhanaan

merupakan kriteria yang mengacu pada konsep ekonomis, yakni semakin sedikit

kaidah yang digunakan untuk menerangkan suatu varian semakin besar

kemungkinan menjadi bentuk asal. Adapun kriteria keteramalan mencakupi

pemilihan kaidah yang mampu meramalkan dengan tepat secara fonologis tentang

proses perubahan bentuk suatu varian. Kaidah yang dikemukakan untuk

menjelaskan perubahan-perubahan bentuk varian haruslah bersifat alamiah

merupakan penjelasan kriteria kealamiahan. Kealamiahan juga mengandung

maksud kewajaran perubahan-perubahan bentuk fonologis. Kriteria frekuensi

adalah kadar kemunculannya dalam pemakaian dan luas lingkungan fonetiknya.

Terakhir, kriteria sintaksis atau keintian digunakan apabila kriteria tersebut di atas

tidak dapat memecahkan penentuan bentuk asal. Keintian maksudnya suatu

bentuk yang dipakai dalam kalimat inti memiliki kemungkinan yang lebih besar

sebagai bentuk asal daripada bentuk yang dipakai dalam kalimat transformasi.

Selain itu, dalam penentuan bentuk asal juga diperhatikan kriteria yang disarankan

oleh Schane (1992:63) bahwa kebanyakan proses fonologis dapat dijelaskan

sebagai gejala artikulatoris dan perseptual. Asimilasi merupakan proses perubahan

fonologis dari segi koartikulatsi. Gejala artikulatoris sangat terkait dengan

kemudahan dalam pengucapan. Terkait dengan gejala perseptual, vokal

bertekanan lebih kuat daripada vokal tak bertekanan, sehingga perubahan

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

46

cenderung dari vokal bertekanan ke vokal tak bertekanan, atau dari vokal tak

bertekanan ke vokal pepet (Schane, 1992:63).

Berdasarkan keterangan di atas, teori fonologi generatif dapat

dimanfaatkan untuk menelusuri bentuk asal dari suatu ungkapan ke dalam bentuk

turunan, yang sesuai dengan sifat-sifat fonetik yang diramalkan. Hal ini juga

didasarkan pada konsep dasar fonologi generatif, yaitu setiap morfem memiliki

satu bentuk dasar di dalam bentuk asalnya, sekalipun boleh memiliki lebih dari

satu bentuk fonetik. Pastika (1990:12) menegaskan bahwa semua varian morfem

yang terjadi dalam lingkungan yang berbeda dapat diderivasikan dari bentuk

asalnya dengan kaidah-kaidah fonologis. Selain itu, perlu ditambahkan bahwa

dalam menghadapi morfem-morfem yang berselang-seling secara fonologis, harus

dapat ditentukan kaidah-kaidah yang paling wajar, yang dapat diterapkan

sehingga penentuan bentuk asal dan bentuk turunan yang biasanya memiliki lebih

dari satu bentuk fonetik menjadi wajar pula.

Schane (1973:74-75) mengemukakan bahwa konsep bentuk asal (BA)

yang digunakan dalam fonologi generatif didasarkan atas beberapa pertimbangan,

yaitu (1) jika suatu morfem yang bervariasi digambarkan dengan satu BA, maka

seorang peneliti telah memberikan suatu bentuk khas kepada suatu morfem yang

khas pula; (2) kaidah-kaidah yang mengubah BA menjadi BT-lah yang menandai

dengan tegas proses-proses suatu bahasa; dan (3) BT-lah yang langsung

mengemukakan beberapa perwujudan morfem yang fonetis (Pastika, 1990: 1).

Berdasarkan pernyataan ini, jika suatu morfem tidak digambarkan dengan khas,

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

47

maka semua varian harus didaftarkan satu per satu dalam leksikon dengan suatu

pernyataan mengenai distribusinya.

Dialektologi generatif membangun pendekatan ini dan menangani atau

mengkaji perbedaan antardialek dengan cara yang sama seperti perbedaan-

perbedaan fonologi dan morfologi di antara bentuk-bentuk yang ada (Chambers

dan Peter Trudgill (1980:46). Atas asumsi dasar tatabahasa generatif yang ―dua

unsur itu berbeda‖ (Parera, 1991:84), dialektologi generatif menilai perbedaan-

perbedaan yang terjadi dalam suatu dialek yang berhubungan dapat dijelaskan

melalui suatu bentuk dasar. Perbedaan tersebut dapat berupa kaidah fonologis

yang diterapkan pada bentuk dasar dan/atau lingkungan diterapkannya kaidah

(Chambers dan Peter Trudgill (1980:46).

Penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip dalam dialektologi generatif.

Adapun prinsip-prinsip tersebut yang diterapkan dalam penelitian ini, yaitu (1)

memilah bunyi bahasa Wakatobi, khususnya variasi fonologis, (2)

mengidentifikasikan bunyi dan fonem bahasa Wakatobi, (3) mengidentifikasikan

karakter segmen dalam ciri pembeda, (4) memilah variasi fonologis bahasa

Wakatobi yang muncul akibat adanya konvergensi dan divergensi, dan (5)

menelusuri bentuk turunan yang merupakan variasi yang muncul dari bentuk asal.

Berdasarkan keterangan di atas, cara kerja teori dialektologi generatif

dalam penelitian ini, yaitu menelusuri dan mengidentifikasi bunyi dan fonem

bahasa Wakatobi, mengidentifikasi dan menganalis ciri-ciri pembeda dari setiap

fonem tersebut, dan mendeskripsikan dan menganalisis variasi fonologis baik

yang bersifat teratur maupun parsial. Hasil variasi fonologis tersebut dijadikan

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

48

acuan dalam penyusunan bentuk asal dan bentuk turunan dengan memperhatikan

proses dan kaidah-kaidah fonologis yang dianggap paling wajar.

2.4 Model Penelitian

Atas dasar abstraksi dan sistesis rumusan permasalahan dan tujuan

penelitian disusun rumusan model penelitian. Model penelitian dibuat untuk

memudahkan peneliti membentuk suatu alur pikir yang sistematis. Rumusan ini

memberikan arahan pokok masalah dan tujuan penelitian berdasarkan teori dan

metode yang digunakan. Hal ini, membantu menjelaskan kajian yang ingin

dikerjakan. Model ini menjadi dasar pijakan dalam menganalisis data kebahasaan

Wakatobi, sehingga semua pokok permasalahan dapat tergambar dengan jelas.

Model ini juga menjadi pegangan peneliti dalam menghubungkan tujuan, teori,

dan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, model

penelitian sangat diperlukan bagi peneliti, baik sebelum penelitian, saat penelitian,

maupun saat penganalisaan data. Berikut ini adalah model penelitian yang disusun

berdasarkan tahapan-tahapan penelitian, sehingga dapat diperoleh hasil sesuai

dengan yang diinginkan dalam tujuan penelitian.

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

49

Bagan 1 Model Penelitian

Keterangan:

Tujuan penelitian saling berhubungan untuk menghasilkan temuan

penelitian.

Metode dan teori yang digunakan secara bersama untuk

mendeskripsikan dan menganalisis tujuan penelitian.

Menggambarkan atau menghasilkan.

Saling berhubungan.

Metode Agih dan

Padan

Dialektologi

Tradisional dan

Generatif

Deskripsi dan

variasi fonologis,

serta proses dan

kaidah fonologis

bahasa Wakatobi

Variasi leksikal

bahasa Wakatobi

Pengelompokan

bahasa Wakatobi

berdasarkan berkas

isoglos dan metode

dialektometri

Temuan Penelitian

DIALEK GEOGRAFI BAHASA WAKATOBI DI LEPAS

PANTAI SULAWESI TENGGARA

Dialektologi

Generatif

Metode Agih dan Padan

Data

Metode Berkas Isoglos

dan Dialektometri

Dialektologi

Tradisional

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

50

Penjelasan Bagan

Penelitian berjudul ―Dialek Geografi Bahasa Wakatobi di Lepas Pantai

Sulawesi Tenggara‖ memiliki empat tujuan penting yang ingin dicapai. Keempat

tujuan tersebut terkait dengan: (1) deskripsi dan variasi fonologis bahasa

Wakatobi; (2) proses dan kaidah fonologis bahasa Wakatobi; (3) variasi leksikal

bahasa Wakatobi; dan (4) pengelompokan bahasa Wakatobi berdasarkan berkas

isoglos dan metode dialektometri. Dengan teori dan metode yang lazim digunakan

dalam dialektologi/dialek geografi dicermati data penelitian berupa bahasa

Wakatobi (kosakata dan frase), sehingga diperoleh pengklasifikasian data untuk

dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.

Secara khusus, penelitian bahasa Wakatobi melibatkan dua jenis data,

yaitu data kosakata dan frase yang diperoleh dari hasil penyimakan dan

wawancara kepada informan. Lebih jauh, deskripsi dan variasi fonologis sebagai

tujuan pertama, serta proses dan kaidah fonologis sebagai tujuan kedua penelitian

ini dianalisis menggunakan teori dalam generatif. Adapun tujuan ketiga, yaitu

variasi leksikal bahasa Wakatobi dianalisis menggunakan teori dialektologi

tradisional. Walaupun demikian, dalam penerapan dialektologi tradisional,

penelitian ini tidak menganalisis atau mendeskripsikan sejarah kata, tetapi hanya

mendeskripsikan variasi-variasi leksikal yang terjadi pada setiap titik pengamatan

di Wakatobi. Artinya, penelitian ini tidak sepenuhnya menerapkan prinsip

dialektologi tradisional. Tujuan keempat, pengelompokan bahasa Wakatobi

berdasarkan metode berkas isoglos dan dialektometri digunakan teori dialektologi

tradisional dan generatif. Metode agih dan padan digunakan untuk menganalisis

variasi fonologis dan leksikal bahasa Wakatobi. Sebagai kesimpulan, data

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP PENELITIAN ......menelusuri perkembangan bahasa tersebut (refleks fonem) dari bahasa protonya. Penelitian tersebut menggunakan teori dan metode linguistik

51

penelitian dianalisis, baik secara kuantitatif (dialektometri) maupun kualitatif

(deskripsi dan variasi fonologis, proses dan kaidah fonologis, variasi leksikal, dan

peta bahasa/berkas isoglos). Oleh karena itu, analisis ini diharapkan dapat

memberikan gambaran yang jelas mengenai aspek fonologis dan leksikal bahasa

Wakatobi, serta pengelompokan bahasa Wakatobi.