Upload
vuque
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
1.1 Kajian Pustaka
Kajian mengenai uang kepeng merupakan suatu fenomena yang
menarik. Uang kepeng merupakan alat pertukaran yang digunakan di Bali sejak
jaman dahulu, yang hingga kini masih tetap digunakan di Bali walaupun telah
mengalami transformasi fungsi. Pemanfataan uang kepeng dari jaman kuna
hingga jaman masyarakat Bali kontemporer, merupakan bukti uang kepeng yang
tidak lekang oleh waktu. Daya tarik itulah yang membuat banyak peneliti meneliti
uang kepeng di Bali. Beberapa tulisan mengenai uang kepeng, dan hasil karya
ilmiah lainnya yang berkaitan dengan sosial budaya,maupun teori-teori yang
mendukung dijadikan sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini.
“Uang Kepeng (Pis Bolong) dalam Masyarakat Kamasan Klungkung:
Perspektif Kajian Budaya”, merupakan kajian mengenai uang kepeng yang
disusun oleh Anak Agung Gede Dira (2011). Permasalahan yang diangkat dalam
tulisan ini adalah mengenai bentuk, fungsi, dan makna uang kepeng yang
diproduksi oleh masyarakat di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung. Uang
kepeng dalam masyarakat Desa Kamasan terdiri dari tiga jenis yaitu jinah koci,
wadon dan lanang wadon. Uang kepeng dalam masyarakat Desa Kamasan, selain
sebagai sarana upakara, juga mengalami komodifikasi sebagai barang komoditi.
Uang kepeng dalam masyarakat Desa Kamasan, yang berkaitan dengan upakara
14
menggunakan aksara Bali dan berbahan unsur panca datu sehingga disebut
dengan jinah upakara yadnya. Uang kepeng selain sebagai sarana upakara, juga
dikembangkan sebagai produk kerajinan. Jika dilihat dari fungsinya, uang kepeng
dalam masyarakat Desa Kamasan memiliki beberapa fungsi yaitu: fungsi estetika
atau seni, fungsi pendidikan, fungsi religi, fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan
fungsi pelestarian. Keseluruhan fungsi-fungsi tersebut saling berkaitan satu sama
lain mewujudkan bentuk uang kepeng dalam masyarakat Desa Kamasan. Jika
dilihat dari segi makna, penelitian ini mengungkapkan bahwa uang kepeng dalam
masyarakat hindu di Bali memiliki beberapa makna yaitu: makna religi dalam
kaitannya dengan uang kepeng sebagai jinah upakara,makna estetis, makna seni,
dan makna pelestarian budaya.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas adalah
sama-sama melakukan penelitian uang kepeng, dan lokasi penelitian yaitu UD
Kamasan, Desa Kamasan, Kab. Klungkung. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah penelitian ini merupakan pengembangan secara
lebih mendalam mengenai uang kepeng, tidak hanya terbatas pada uang kepeng
yang diproduksi di Desa Kamasan, tapi cenderung lebih konstruktif dengan
mengkaji fenomena dinamika dan eksistensi uang kepeng dalam kehidupan
masyarakat Bali kontemporer.
Penelitian mengenai fenomena mengenai uang kepeng di Bali, juga
dilakukan oleh I Wayan Mudra, A.A Rai Kalam, I Nyoman Ngidep Wiyasa, dan I
Wayan Sukaryasa (2007). Penelitian disajikan dalam sebuah laporan hasil
penelitian fundamental yang berjudul “Studi Uang Kepeng Sebagai Produk Seni
15
Kerajinan dan Hubungannya dengan Konsep Ajeg Bali”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui penggunaan uang kepeng sebagai seni kerajinan tangan. Selain
itu, peneliti juga berkeinginan untuk mengetahui proses pencetakan uang kepeng
di Bali, dikaitkan dengan konsep Ajeg Bali. Penelitian ini dilakukan seiring
dengan perkembangan wacana Ajeg Bali yang berkembang di masyarakat.
Dari hasil penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa pencetakan
uang kepeng di Bali merupakan upaya pemenuhan kebutuhan uang kepeng Cina
yang kini telah langka di Bali. Dalam kaitannya dengan konsep ajeg Bali, peneliti
menyampaikan bahwa hal tersebut tidak secara jelas terungkap dari narasumber,
hanya mengindikasikan bahwa pencetakan uang kepeng tersebut merupakan
upaya pelestarian budaya Bali.
Sama halnya dengan penelitian I Wayan Mudra, dkk (2007), penelitian
ini juga memiliki kesamaan objek penelitian dan lokasi penelitian, sama-sama
melakukan kajian mengenai uang kepeng, dengan lokasi penelitian UD Kamasan,
Desa Kamasan, Kab. Klungkung dan UD Mulya, Desa Mengwi, Kab. Badung.
Perbedaaan utama penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian
sebelumnya mengkaji uang kepeng dari kajian estetika dan dikaitkan dengan
konsep ajeg Bali, selain itu penelitian ini telah mengembangkan lokasi penelitian
yang meliputi tiga lokasi penelitian yaitu UD Kamasan, Desa Kamasan, Kab.
Klungkung, UD Mulya, Desa Mengwi Kab. Badung dan Pasar Badung di Kota
Denpasar. Penelitian ini mencoba mengamati fenomena uang kepeng dengan lebih
menyeluruh dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer.
16
Penelitian mengenai uang kepeng tentunya tidak terlepas dari integrasi
budaya Tionghoa di Bali. Penelitian mengenai uang kepeng dan budaya Tiongkok
di Bali juga ditulis oleh Sulistyawati (2008), dalam tulisannya yang berjudul
“Pengaruh Kebudayaan Tionghoa terhadap Peradaban Kebudayaan Bali”. Tulisan
ini disajikan sebagai materi Kuliah Umum di hadapan 250 orang calon wisudawan
XXVI Universitas Ngurah Rai Denpasar, pada Dies Natalis XXIX, tanggal 17 Mei
2008, di Ruang Serba Guna UNR. Dalam tulisan ini dipaparkan mengenai bentuk-
bentuk pengaruh kebudayaan Tiongkok terhadap kebudayaan Bali. Terdapat tujuh
pengaruh kebudayaan Tiongkok terhadap kebudayaan lokal di Bali yaitu: (1)
Sistem religi dan upacara keagamaan; (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan;
(3) Sistem pengetahuan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (6) Sistem mata pencaharian
hidup; (7) Sistem teknologi dan peralatan. Uang kepeng dalam tulisan ini
disebutkan sebagai salah satu bentuk pengaruh dalam sistem religi dan upacara
keagamaan, serta dalam sistem pengetahuan. Beradasarkan pengaruh-pengaruh
tersebut disimpulkan, bahwa masyarakat Bali bersifat sangat terbuka dan selektif
dalam menerima pengaruh dari luar Bali, sehingga tidak pernah kehilangan
kepribadian budaya dan bangsanya.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Sulistyawati (2007),
terletak pada pengamatan mengenai pemanfaatan uang kepeng dalam kehidupan
masyarakat Bali. Pengetahuan mengenai uang kepeng sebagai salah satu bentuk
budaya Tiongkok yang masuk ke Bali, menjadi referensi dalam penelitian ini.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih
17
bersifat cultural studies dengan mengungkap eksistensi dan menggali makna uang
kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer.
Fenomena uang kepeng di Bali juga menarik perhatian I Dewa
Nyoman Putra Harthawan, dalam bukunya “Uang Kepeng Cina dalam Ritual
Masyarakat Bali” (2011). Buku ini memberikan pemahaman mengenai
pemanfaatan uang kepeng dalam sarana upakara di Bali. Buku ini membahas
secara mendetail setiap penggunaan uang kepeng dalam upakara masyarakat
Hindu di Bali. Selain itu buku ini juga membahas sejarah uang kepeng Cina dari
berbagai Dinasti dan alasan penggunaan uang kepeng Cina dalam kegiatan ritual
masyarakat Hindu di Bali.
Penelitian yang berkaitan dengan budaya Tiongkok juga disusun ke
dalam sebuah buku. Buku Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali
(Sebuah Bunga Rampai) disusun oleh I Gusti Made Ardana, dkk dengan editor
Made Sulistyawati (2008). Terdapat beberapa tulisan dalam buku ini yang
memaparkan bentuk-bentuk integrasi budaya Tionghoa ke dalam budaya Bali.
Salah satu tulisan karya Made Sulistyawati dalam buku ini berjudul “Nilai
Budaya Pis Bolong Dalam Upakara di Bali” membahas mengenai sejarah
masuknya uang kepeng (pis bolong) ke Bali, dan nilai budaya yang ada dalam pis
bolong dan pemanfaatannya dalam upakara masyarakat Hindu di Bali.
Kedua buku tersebut di atas merupakan sumber informasi dan referensi
yang penting berkaitan dengan sejarah masuknya uang kepeng ke Bali dan
pemanfaatan uang kepeng dalam ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali.
Perbedaan penelitian ini dengan pembahasan dalam buku ini tentunya penelitian
18
ini merupakan suatu kajian kritis yang berupaya untuk mengungkap eksistensi
uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Penelitian ini tidak
hanya memfokuskan pada nilai religi dari uang kepeng,dan pemanfaatan dalam
ritual keagamaan tetapi juga berupaya melihat unsur-unsur lainnya yang
mendukung eksistensi uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali
kontemporer, serta dinamikanya.
2.2 Konsep
Terdapat dua konsep yang dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu
uang kepeng dan masyarakat Bali kontemporer, yang dapat dijelaskan sesuai
dengan anak subbab di bawah ini.
1.2.1 Uang Kepeng
Uang kepeng dalam masyarakat Bali biasa dikenal dengan sebutan
pipis bolong. Pipis dalam bahasa Bali berarti uang, sedangkan bolong berarti
lubang, pipis bolong berarti uang yang berlubang dibagian tengahnya. Dalam
kehidupan sosial masyarakat Bali, istilah pipis biasa disingkat dengan pis,
sehingga dikenal istilah pis bolong. Harthawan (2011: 12) menyatakan bahwa
kepeng merupakan penyebutan oleh orang Bali terhadap uang logam Cina yang
mereka gunakan sebagai alat pembayaran pada masa itu. Uang kepeng yang
disebut oleh masyarakat Bali, berbentuk pipih dengan lubang dibagian tengahnya
yang berbentuk segi empat, sekeliling permukaan bertuliskan huruf Cina. Jadi
uang kepeng atau pis bolong merupakan nama untuk mata uang logam Cina yang
19
masuk dan dikenal di Bali sebagai alat pembayaran, yang merupakan akibat dari
transaksi perdagangan masyarakat Bali dengan pedagang-pedadang dari Cina.
Sulistyawati (2008: 145) menyatakan bahwa terdapat suatu fakta
sampai saat ini, dimana orang Bali menyebut uang logam Cina sebagai pis bolong,
dengan tidak menyertakan kata Cina di belakangnya. Hal ini dikarenakan
masyarakat Bali telah menganggapnya sebagai bagian dari budaya Bali, sehingga
masyarakat Bali mengidentifikasinnya sebagai pis Bali. Hal ini dilakukan untuk
membedakannya dengan uang logam lain yang pernah beredar di Bali seperti uang
emas dan uang perak dan juga uang logam Negara Indonesia.
Menurut Harthawan (2011: 30), Pada tahun 1300-an, uang kepeng
digunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Seiring dengan perkembangan
zaman, uang kepeng mengalami perubahan fungsi. Tahun 1950-an, uang kepeng
di Bali berubah fungsi sebagai sarana upakara. Uang kepeng sebagai alat
pembayaran sah, diketahui dari sumber tertulis dan berita-berita Cina, sedangkan
penggunaan uang kepeng sebagai sarana upakara diketahui dari sumber tertulis
berupa lontar-lontar yadnya.
Uang kepeng yang digunakan di Bali, merupakan suatu bentuk
percampuran budaya, yang pemanfataannya tidak lekang oleh waktu dan
perubahan zaman. Uang kepeng dalam penelitian ini, meliputi uang kepeng yang
beredar dipasaran, baik berupa uang kepeng yang diproduksi kembali bertuliskan
huruf cina, aksara Bali, maupun uang kepeng lainnya seperti uang kepeng tiruan
berbahan seng yang juga dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi kreatif dan religi
masyarakat Bali kontemporer.
20
2.2.2 Masyarakat Bali Kontemporer
Masyarakat (jika diterjemahkan dari istilah society) adalah sekelompok
orang yang membentuk suatu sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka),
dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada
dalam kelompok tersebut. Masyarakat juga dapat disebut sebagai sebuah
komunitas ruang interdependen, atau saling tergantung sama lain. Istilah
masyarakat juga digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup
bersama dalam suatu komunitas yang teratur
(http://id.m.wikipedia.org/wiki/Masyarakat diunduh pada 20 Januari 2015).
Kontemporer dapat diartikan sebagai kekinian, atau lebih tepatnya
sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Kontemporer
juga dapat diartikan sebagai kekinian mencerminkan bahwa adanya kebebasan
dalam menentukan sesuatu apa yang berlaku saat itu. Jadi masyarakat
kontemporer dapat diartikan sebagai masyarakat kekinian
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/prof-dr-suharjanamkes/
pengertian-or-kontemporer.pdf diunduh pada 05 Januari 2015)
Masyarakat kontemporer erat kaitannya dengan globalisasi. Globalisasi
menurut Barker (2011: 409) adalah koneksi global ekonomi, sosial, kultural dan
politik yang mengarah ke seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran
kita atas mereka. Produk global atas produk lokal dan lokalisasi produk global.
Diasosiasikan dengan institusi modernitas dan penyempitan ruang dan waktu.
Menurut pandangan Appadurai dalam Lull (1998: 180-181), terdapat lima faktor
yang membetuk dinamika kebudayaan kontemporer yaitu (1) ethnoscape: yaitu
21
pergerakan manusia melintasi batas negara, meliputi wisatawan, imigran,
pengungsi dan sebagainya, (2) finanscape: yang mengacu pada pola transfer uang
global, (3) ideoscape: yang mengacu pada citra yang secara spesifik mengacu
pada aspek-aspek politik yakni kontur kebudayaan yang bersifat ideologis, (4)
mediascape: mengacu pada perangkat keras media massa dan elektronik serta
citra-citra yang dihasilkan, (5) technoscape: menggambarkan pemindahan
teknologi industri melintasi batas-batas nasional.
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa
globalisasi masuk ke Bali sejalan dengan perkembangan industri pariwisata di
Bali yang kemudian membentuk dinamika kebudayaan temporer dalam
masyarakat Bali. Masuknya globalisasi ke Bali pada era 1990an, yang ditandai
perkembangan industri pariwisata sebagai bentuk ethoscape, berdirinya pusat
perbelanjaan (supermarket) dan perusahaan franchaise seperti Mc. Donalds di
Bali sebagai bentuk finance scape telah menyebabkan terjadi perubahan sosial
pada masyarakat Bali yang semula merupakan masyarakat Bali kuna, menjadi
masyarakat Bali kontemporer atau masyarakat Bali era kekinian. Globalisasi juga
menyebabkan masyarakat Bali kontemporer jauh lebih berkembang dibanding
masyarakat Bali kuna. Perkembangan arus informasi, teknologi, dan industri
pariwisata di Bali turut berpengaruh terhadap perkembangan sosial masyarakat
Bali.
Masyarakat Bali kotemporer dalam penelitian ini, dikhususnya pada
masyarakat kontemporer di Bali yang beragama Hindu. Masyarakat Bali
kontemporer adalah masyarakat yang hidup pada era globalisasi, ditengah
22
derasnya arus perkembangan kapitalisme di Bali. Agama Hindu sebagai agama
mayoritas masyarakat di Bali, tetap dipertahankan dengan berbagai tradisi
budayanya. Faktor pariwisata budaya, secara langsung dan tidak langsung juga
telah membantu eksistensi tradisi masyarakat Hindu di Bali dalam melakukan
ritual keagamaan tetap terjaga. Fokus penelitian ini adalah masyarakat Hindu di
Bali, yang hingga dewasa ini masih tetap melakukan ritual keagamaan yang sudah
berjalan secara turun temurun. Masyarakat Hindu di Bali pada era kekinian,
dinyatakan sebagai masyarakat Bali kontemporer, merupakan batasan penelitian
ini.
1.3 Landasan Teori
Penelitian mengenai uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali
kontemporer, dilandasi oleh tiga teori yaitu: Teori Praktik, Teori Ideologi, dan
Teori Semiotika. Ketiga teori tersebut akan digunakan secara ekletik untuk
menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Praktik
Teori Praktik dikemukakan oleh Pierre Bourdieu (1930). Bourdieu
berhasil meramu pemikiran dari para pemikir besar mulai dari Aristoteles,
Thomas Aquinas, Hegel, Marx, Durkheim, Max Weber, Picasso, Franz Fanon,
Jean Paul Sartre, Husserl, Ferdinand de Saussure, Levi Strauss, Michel Faoucault
dan lain-lain menjadi satu bentuk pemikiran baru, khususnya mengenai “metode
23
strukturalisme konstruktif”. Metode ini dianggap dapat mensintesiskan antara
teori yang terlalu menekankan pada “struktur”dan ‘objektivitas” versus teori yang
menekankan “actor” dan :subjektivitas” (Lubis, 2014: 95). Bourdieu menyatakan
sebuah rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan :
(Habitus x Modal) +Ranah = Praktik (Bourdieu dalam Takwin, 2009: xxi).
Berdasarkan pemikiran Bourdieu, praktik dinyatakan sebagai suatu
produk relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang yang juga
merupakan produk sejarah. Pada saat yang bersamaan, habitus dan ranah juga
merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat. Dalam suatu
ranah ada pertaruhan kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal
dan orang yang tidak memiliki modal (Takwin, 2009: xx). Bourdie memandang
kehidupan sosial sebagai relasi dialektis antara struktur dan agensi. Pandangan ini
menyebabkan hubungan sosial menjadi sangat kompleks, dan memang begitu
kenyataannya menurut Bourdieu. Bourdieau mengembangkan pendekatan
strukturalisme generatif yang ditawarkannya sebagai kerangka teori dan metode
untuk memahami kompleksitas realitas sosial (Takwin, 2009: xxiii).
Berdasarkan teori praktik yang dikemukakan oleh Bourdieu, habitus
dinyatakan sebagai struktur kognitif yang menjadi perantara individu dan realitas
sosial. Habitus juga dinyatakan sebagai struktur subjektif yang terbentuk dari
pengalaman individu yang berhubungan dengan individu lain dalam jaringan
struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus dinyatakan sebagai
ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tidak sadar dianggap
alamiah. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan
24
berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu (Takwin, 2009:
xviii- xix).
Modal menurut Bourdieu merupakan sebuah konsentrasi kekuatan,
suatu kekuatan speesifik yang beroperasi didalam ranah. Setiap ranah menuntut
individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan
bertahan didalamnya (Takwin, 2009: xx). Bagi Bourdieu definisi modal sangat
luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan
berbagai atribut “yang tak tersentuh”, namun memiliki siginifikansi secara
kultural, misalnya prestise, status, otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik),
serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-
pola konsumsi) (Bourdieu dalam Harker, 2006: 16).
Ranah merupakan metafora yang digunakan Bourdieu untuk
menggambarkan untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan
dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya (Takwin, 2009: xix). Adib (2012:
102) menyatakan bahwa ranah merupakan arena kekuatan sebagai upaya
perjuangan untuk memperebutkan modal dan juga memperoleh akses tertentu.
Ranah juga dinyatakan sebagai semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa
disadari mengatur posisi-posisi individu dalam kelompok tatanan masyarakat
secara spontan. Bourdieu dalam Harker (2009: 10) menyatakan bahwa ranah
merupakan ranah kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga
merupakan suatu ranah yang didalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi.
Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan.
25
Penggunaan uang kepeng dalam sebagai sarana upakara merupakan
warisan turun temurun dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Segala bentuk
tradisi dalam kehidupan beragama di Bali merupakan warisan leluhur yang
dilanjutkan dan dipakai hingga saat ini dinyarakan sebagai habitus. Eksistensi
uang kepeng dalam kehidupan masyarakat kontemporer, tentunya dilatar
belakangi oleh kekuatan dari modal ekonomi kapitalis yang menyebabkan uang
kepeng tetap diproduksi kembali hingga saat ini. Modal simbolik dan modal
budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer
tentunya menjadi modal yang berperan dalam praktik sosial yang terjadi.
Kehidupan sosial budaya masyarakat Bali kontemporer merupakan tempat dimana
praktik sosial dilakukan merupakan ranah dimana praktik sosial terjadi.Teori
praktik dalam penjabarannya melalui konsep (habitus x modal) + ranah = praktik,
akan digunakan untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai uang kepeng
dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Teori praktik dalam penelitian ini
akan digunakan secara eklektik dengan teori lainnya untuk menjawab rumusan
masalah pertama dan rumusan masalah kedua dari penelitian ini.
2.3.2 Teori Ideologi
Kata ideologi berasal dari bahasa Yunani yang dapat dibagi menjadi
dua kata yaitu idea dan lugas. Idea berarti gagasan, sedangkan lugas berarti ilmu.
Sehingga ideologi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu tentang ide-ide
sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan ilmu, dan pengetahuan
(Sukanto dalam Darma, 2009: 56). Istilah ideologi pertama kali diperkenalkan
26
oleh seorang filsuf Perancis Destutt de Tracy untuk menjelaskan ilmu tentang ide,
yaitu sebuah disiplin ilmu yang memungkinkan orang untuk mengenali
prasangka-prasangka dan bias-bias mereka (Cavallaro, 2004: 135).
Para kritikus dan filsuf telah mengusulkan sejumlah definisi ideologi,
antara lain: ideologi didefiniskan sebagai suatu proses dimana sebuah budaya
memproduksi makna dan peran-peran bagi subjek-subjeknya. Ideologi juga
disebut sebagai gabungan budaya dan bahasa, serta perwujudan konstruksi budaya
sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Ideologi dapat didefinisikan baik secara
netral, sebagai seperangkat ide tanpa konotasi-konotasi politis yang secara jelas
atau terang-terangan, maupun secara kritis, sebagai perangkat ide melalui mana
orang membiasakan dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks sosio historis
yang spesifik, dan melalui mana kemakmuran kelompok-kelompok tertentu
dikedepankan (Cavallaro, 2004: 137).
Pandangan mengenai konsep ideologi dalam kajian budaya
dikemukakan oleh dua pemikir yang memiliki pengaruh yaitu Althusser dan
Gramsci. Menurut Althusser, ideologi memiliki peran dalam masuknya kita ke
dalam suatu tatanan simbolis (bahasa) dan dalam konstritusi kita sebagai subjek
(seseorang). Althusser juga menyatakan bahwa subjek tidak dipandang sebagai
agen yang membentuk dirinya sendiri tapi sebagai efek dari suatu struktur.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas ideologi adalah memunculkan subjek,
karena pada dasarnya tak ada praktik yang berada diluar dan yang bukan
dilakukan oleh ideologi. Dapat dikatakan bahwa wacana ideologis akan
mengkonstruksi posisi-posisi subjek atau tempat-tempat yang dijadikan pijakan
27
oleh subjek tersebut untuk memahami dunia. Althusser juga menyatakan bahwa
ideologi memiliki dua sisi. Sisi yang pertama, ideologi membentuk kondisi-
kondisi dalam kehidupan nyata, dan membentuk pandangan dunia yang dipakai
orang untuk hidup dan mengalami dunia, sehingga dalam pengertian ini ideologi
dapat dikatakan tidak palsu. Disisi lain, ideologi dikatakan merepresentasikan
hubungan khayal antara individu dengan kondisi eksistensi yang sebenarnya
(Barker, 2005: 74-76).
Analisis Gramsci kemudian muncul sebagai respon atas teori
Althusserian. Dalam analisis Gramsci, ideologi dipahami gagasan, makna, praktik,
yang meski tak tampak kebenaraan universalnya, sebenarnya merupakan peta-peta
makna yang menyokong kekuasaan kelompok-kelompok sosial tertentu. Hal yang
paling penting dari analisis Gramsci adalah ideologi dinyatakan bukan sebagai
sesuatu yang terpisah dari aktivitas-aktivitas praktis kehidupan, melainkan
fenomena material yang memiliki akar dalam kondisi sehari-hari (Gramsci dalam
Barker, 2005: 78-79).
Satu sumbangan Althusser yang paling vital dalam perdebatan
mengenai ideologi adalah dalam pernyataan bahwa ideologi tidak semata-mata
merefleksikan basis ekonomi masyarakat tetapi ideologi memiliki eksistensi
materinya tersendiri sebagai sebuah praktik atau aktivitas produksi. Produk utama
dari ideologi adalah subjek manusia. Melalui institusi-institusi dan ritual-ritual,
ideologi mentransformasikan individu menjadi makhluk sosial. Ideologi sampai
kepada kita sebagai agen bebas dengan pusat dan batas-batas dan membangkitkan
28
ilusi bahwa dunia yang kita huni dirumuskan dengan baik dan bermakna
(Cavallaro, 2004: 149-150).
Eksistensi uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali, yang
bertahan hingga saat ini tentunya didorong oleh ideologi yang berkembang dalam
masyarakat. Eksistensi uang kepeng dari jaman dahulu hingga saat ini, dilator
belakangi oleh suatu ideologi yang sangat kuat, yang menyebkan uang kepeng
tidak tergerus oleh perkembangan jaman. Sejalan dengan perkembangan jaman,
ideologi-ideologi yang ada dalam perkembangan uang kepeng tentunya beraneka
ragam, sehingga menjadi penting untuk dikaji secara lebih mendalam. Teori
ideologi dalam penelitian ini akan digunakan untuk mengetahui secara lebih
mendalam penyebab dibalik eksistensi uang kepeng dalam kehidupan masyarakat
Bali kontemporer. Teori ideologi juga akan digunakan secara eklektik dengan
teori-teori lainnya yang ada untuk menjawab rumusan masalah kedua dalam
penelitian ini.
2.3.3 Teori Semiotika
Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.
Yang mana dapat diartikan semua yang hadir dalam kehidupan kita dapat dilihat
sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri tanda (Hoed 2008: 3). Semiotika
memulai dari suatu premis bahwa semua aspek dalam budaya dapat dianggap
sistem tanda. Memahami sebuah budaya berarti menemukan dan menafsirkan
sistem tanda budaya tersebut. Tanda tidak mengandung makna atau konsep
tertentu. Tanda menjadi bermakna manakala diuraikan isi kodenya (decode)
29
menurut konvensi dan aturan budaya yang dianut orang secara sadar maupun tidak
sadar (Cavallaro, 2004: 30).
Para strukturalis salah satunya Ferdinand de Saussure (1961) melihat
tanda sebagai pertemuan antara bentuk (sesuatu yang tercitra dalam kognisi
seseorang) dengan makna (isi yang dipahami oleh pemakai petanda)
(Hoed, 2008: 3). Salah satu pengikut ajaran de Saussure adalah Rolland Barthes.
Teori semiotika Barthes secara harfiah merupakan turunan dari teori bahasa De
Saussure. De Saussure mengemukakan empat konsep teoritis, yaitu konsep
langue-parole, significant-signifie, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni-
diakroni (Hoed, 2008: 9).
Barthes menyatakan bahwa terdapat dua macam pemaknaan yaitu
konotasi dan denotasi. Denotasi dinyatakan sebagai tingkat makna deskriptif dan
literal yang mana dipahami oleh semua anggota dalam suatu kebudayaan.
Sedangkan konotasi merupakan tingkat kedua, makna tercipta dengan cara
menghubungkan antara petanda dan penanda dengan aspek kebudayaan yang
lebih luas yang meliputi ideologi-ideologi, keyakinan, kerangka kerja, sikap dan
sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa disuatu tanda makna baru akan
tercipta terus sampai tanda itu penuh dengan beragam makna (Barker, 2005: 93).
Pada tulisan-tulisan periode post-strukturalisnya, Barthes sendiri
membongkar sistem pertandaannya. Barthes merombak rantai pertandaannya
sedemian rupa, sehingga pertandaan tidak menjadi absolut lagi, bahkan menjadi
terbalik sama sekali. Pembongkaran yang dilakukan Barthes menempatkan dua
tingkat sistem penandaannya dalam posisi terbalik. Dalam hal ini, sebuah penanda
30
pada tingkat denotasi, sebetulnya sudah langsung mengandung makna konotasi
atau ideologis. Makna ideologis sedemikian rupa menjadi menggantungkan
dirinya pada penanda yang cenderung berubah-ubah. Hal ini menyebabkan yang
dibongkar oleh Barthes tidak hanya relasi dan tingkatan pertandaan, tetapi juga
konsep ideologi itu sendiri (Piliang, 2010: 161-162).
Barthes merupakan keturunan strukturalisme, namun mencoba melihat
pemaknaan tanda secara lebih dinamis. Perbedaan pokoknya adalah Barthes
mengembangkan teorinya terutama menjadi teori konotasi yang justru dimiliki
oleh masyarakat budaya tertentu (bukan secara individual). Barthes mengkritik
masyarakatnya dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap wajar dalam
suatu kebudayaan, sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila konotasi
menjadi tetap maka ia akan menjadi mitos, dan bila mitos menjadi tetap maka ia
akan menjadi ideologi (Hoed, 2008: 16).
Uang kepeng memiliki peran dalam kehidupan masyarakat Bali, bukan
hanya dari segi keagamaan tetapi juga dari segi sosial, ekonomi dan sebagainya.
Besarnya peranan uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer
tentunya menimbulkan berbagai pemaknaan didalamnya. Makna uang kepeng
dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer dikaji melalui Teori Semiotika
dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji hubungan antara penanda dan
petanda berkaitan dengan makna uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali
kontemporer. Pemaknaan menurut Barthes, dapat dikategorikan menjadi makna
denotasi dan makna konotasi, makna konotasi merupakan segi ideologi petanda
(Hoed, 2008: 12). Hal tersebut menyebabkan kajian mengenai hubungan penanda
31
dengan petanda untuk mengungkap makna uang kepeng perlu dikaji daengan teori
semiotika. Uang kepeng merupakan salah satu benda bernilai historis, yang
memiliki makna besar dalam kehidupan masyarakat Bali. Sejalan dengan teori
lainnya, teori Semiotika dalam penelitian ini akan digunakan secara eklektik untuk
menjawab rumusan masalah ketiga dalam penelitian ini.
2.4 Model Penelitian
Penelitian mengenai uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali
kontemporer dapat digambarkan dalam model berikut.
32
Gambar 2.1 Model Penelitian
Berdasarkan model penelitian ini (Gambar 2.1) dapat dilihat bahwa
dalam kebudayaan lokal mengandung unsur-unsur religius, estetika, tradisi, adat-
istiadat maupun ekonomi tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat. Ditengah
gempuran globalisasi yang di dalamnya tumbuh dan berkembang kapitalisme,
modernitas, perkembangan industri pariwisata, dan rasionalisme, kebudayaan
lokal secara langsung maupun tidak langsung turut terkena pengaruh globalisasi.
Lokal
Globalisasi
- Religius - Estetika - Tradisi - Adat isitiadat - Ekonomi
- Kapitalisme - Modernitas - Pariwisata - Rasionalisme
Eksistensi uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali
kontemporer
Dinamika uang kepeng dalam
kehidupan masyarakat Bali
Latar eksistensi uang kepeng dalam kehidupan
masyarakat Bali
Makna uang kepeng bagi masyarakat
Bali kontemporer
33
Dalam teori modernisasi, diketahui bahwa unsur tradisional atau
budaya lokal akan hilang tergerus oleh kekuatan modernitas dan globalisasi.
Namun tidak demikian halnya dengan uang kepeng. Uang kepeng sebagai salah
satu bentuk budaya lokal di Bali, masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat
Bali kontemporer. Uang kepeng berkembang sejalan dengan globalisasi yang
menimbulkan berbagai dinamika, uang kepeng mengalami transformasi dari segi
bentuk, fungsi dan makna dalam kehidupan masyarakat Bali. Transformasi yang
terjadi dalam uang kepeng merupakan suatu bentuk strategi dan adaptasi sebagai
respon masyarakat dalam perkembangan sosial budaya yang terjadi. Eksitensi
uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer akan dipahami
dengan pendekatan cultural studies, dikaji dengan teori-teori kritis yang relevan.
Melalui pendekatan tersebut diharapkan pemahaman mengenai eksistensi uang
kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer menjadi lebih baik.