Upload
haminh
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
26
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam peneliian ini memuat berbagai teori dari para ahli,
hasil penelitian ornag lain dan publikasi umum yang berhubungan dengan
masalah-masalah penelitian. Sugiyono (2013:58) mengemukakan bahwa kajian
pustaka merupakan kegiatan mendalami, mencermati, menelaah dan
mengidentifikasi pengetahuan-pengetahuan. Penelitian ini menggunakan berbagai
sumber dan literature baik berupa buku maupun referensi lain sebagai dasar teori
dalam analisis perhitungan.
2.1.1 Pengertian Manajemen
Manajemen merupakan suatu ilmu untuk mengelola perusahaan yang
sangat dibutuhkan oleh seorang manajer dalam mencapai tujuan perusahaannya.
Manajemen merupakan ilmu yang berperan dalam menginenditikasi,
menganalisis, sekaligus mengkoordinasikan secara efektif dan efisien seluruh
sumber daya yang dimiliki oleh organisasi atau perusahaan.
Berikut ini adalah definisi manajemen menurut beberapa ahli. Irham
Fahmi (2013:2) mendefinisikan manajemen adalah suatu ilmu yang mempelajari
secara komprehensif tentang bagaimana mangarahkan dan mengelola orang-orang
dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda dengan tujuan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
Definisi lain dikemukakan oleh Jhon Kotter (2014:8) bahwa “Management
27
is a set of processes that can keep a complicated system of people and technology
running smoothly. The most important aspect of management include planning,
budgeting, organizing, staffing, controlling, and problem solving” yang berarti
manajemen adalah serangkaian proses yang dapat membuat sistem teknologi yang
rumit dari orang-orang dan berjalan dengan lancar. Aspek yang paling penting
dari manajemen meliputi perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pegawai,
pengendalian, dan pemecahan masalah.
Pendapat John Kotter sejalan dengan pendapat manajemen menurut Malayu
S.P Hasibuan (2014:2) yang menyatakan bahwa manajemen adalah ilmu dan seni
mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya
secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Pengertian manajemen juga didefinisikan oleh Ricky W. Griffin (2015:5)
yang berpendapat sebagai berikut:
“Management is a set of activities (including planning and decision
making, organizing leading, and controlling) directed at an organization‟s
resources (human, financial, physical, and information) with the aim of
achieving organization goals in an efficient and effective manner.”
Hal tersebut bermaksud bahwa Manajemen adalah serangkaian kegiatan
(termasuk perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian, pemimpin,
dan pengendalian) yang diarahkan pada sumber daya organisasi (manusia,
keuangan, fisik,, dan informasi) dengan tujuan mencapai tujuan organisasi dengan
cara yang efisien dan efektif.
Manajemen menurut Gareth R. Jones dan Jennifer M. George (2012:5)
adalah:
“Management is the plannin, organizing, leading, and controlling of
28
human and other resources to achieve organizational goals efficciently
and effectively.”
Hal tersebut bermaksud bahwa Manajemen adalah perencanaan,
pengorganisasian, mengarahkan, dan mengawasi sumber daya manusia dan
lainnya untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif."
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan diatas, manajemen adalah
ilmu yang dipelajari oleh seseorang untuk mengelola sumber daya perusahaan
baik sumber daya manusia atau sumber daya lainnya dengan menerapkan fungsi-
fungsi manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.1.1.1. Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen dalam hal ini adalah serangkaian kegiatan yang
dijalankan dalam manajemen berdasarkan fungsinya masing-masing dan
mengikuti satu tahapan-tahapan tertentu dalam pelaksanaannya. Martono dan
Agus (2010:4) berpendapat mengenai fungsi dari manajemen itu sendiri, yaitu:
a. Fungsi Perencanaan
Perencanaan berarti penentuan lebih dahulu suatu program kepegawaian yang
akan menunjang tujuan tujuan yg ditetapkan bagi perusahaan.
b. Fungsi Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasikan semua karyawan,
dengan menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang,
integrasi, dan koordinasi dalam bagan organisasi.
c. Fungsi pengarahan
Pengarahan adalah kegiatan mengarahkan semua karyawan, agar mau bekerja
sama dan bekerja efektif serta efisien dalam membantu tercapainya tujuan
29
perusahaan, karyawan dan masyarakat.
d. Fungsi pengawasan
Pengawasan, yakni mengadakan penyelidikan dan perbandingan dari pada
tindakan dengan rencana rencana serta mengadakan pembetulan dari pada
penyimpangan penyimpangan yang mungkin terjadi
Pendapat lain mengenai fungsi manajemen dikemukan oleh George R.
Terry yang diterjemahkan oleh S.P Hasibuan (2014:21) menyatakan bahwa fungsi
manajemen sebagai berikut:
1. Perencanaan (Planning)
Planning adalah penetapan tujuan, kebijakan, program, prosedur, metode,
sistem, anggaran, dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Organizing adalah proses penentuan, pengelompokan dan pengaturan
bermacam-macam aktivitas berdasarkan yang diperlukan organisasi guna
mencapai tujuan.
3. Penggerakan (Actuating)
Actuating adalah proses menggerakan para karyawan agar menjalankan suatu
kegiatan yang akan menjadi tujuan bersama.
4. Pengawasan (Controling)
Controling adalah proses mengamati berbagai macam pelaksanaan kegiatan
organisasi untuk menjamin semua pekerjaan dapat berjalan sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
Berdasarkan berbagai definisi diatas menunjukkan bahwa dungsi
manajemen merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh manajemen
30
yang terdiri dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan
pengawasan.
2.1.1.2. Manajemen Keuangan
Salah satu fungsi perusahaan yang sangat penting bagi keberhasilan
usahanya dalam mencapai tujuan salah satunya adalah kondisi manajemen
keuangan perusahaan tersebut. Manajemen kauangan dapat berpengaruh secara
langsung terhadap kehidupan setiap orang dan perusahaan, oleh karena itu
perusahaan harus memberi perhatian khusus terhadap kemajuan keuangannya
demi tercapainya tujuan perusahaan.
Manajemen keuangan menurut James C Van Horne dan Jhon M.
Wachawicz Jr. (2012:2) dalam bukunya Fundamentals of Financial Management
yang telah dialih bahasa menjadi prinsip-prinsip manajemen keuangan adalah
manajemen keuangan berkaitan dengan perolehan aset, pendanaan dan
manajemen aset didasari beberapa tujuan umum.
Definisi yang diajukan James C Van Horne dan Jhon M. Wachawicz Jr. di
atas sejalan dengan definisi yang diungkapkan oleh Kasmir (2015:5) yaitu bahwa
manajemen keuangan adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan
perolehan, pendanaan, dan pengelolaan aktiva dengan beberapa tujuan
menyeluruh.
Sedangkan menurut Irham Fahmi (2013:12), mengemukakan bahwa :
Manajemen keuangan merupakan penggabungan dari ilmu dan seni yang
membahas, mengkaji dan menganalisis tentang bagaimana seorang
manajer keuangan dengan menggunakan seluruh sumber daya perusahaan
untuk mencari dan, mengelola dana dan membagi dana dengan tujuan
31
memberikan profit atau kemakmuran bagi para pemegang saham
suistainability (keberlanjutan) usaha bagi perusahaan.
Definisi lain dikemukakan oleh Gitman dan Zutter (2015) menyatakan
bahwa manajemen keuangan adalah:
Finance can be defined as the art and science of money,. Virtually all
individuals and organiszations earn or raise money an spend or invest
money. Finance is concerned with the process, institutions, markets, and
instrument involved in the transfer of money among and between
individuals, business and goverment, artinya keuangan dapat didefinisikan
sebagai suatu seni dan ilmu pengetahuan dari pengelolaan uang.
Sesungguhnya setiap individu dan organjsasi menghasilkan uang dan
membelanjakan atau menginvestasikan uang. Keuangan berhubungan
dengan proses, institusi, pasar dan instrumen yang terlibat dalam
perpindahan atau transfer uang antara individu, bisnis dan pemerintah.
Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Brigham dan Joel (2014:6) bahwa
manajemen keuangan adalah:
Financial management, also called corporate finance, focuses on
decisions relating to how much and what types of assets to acquire,how to
raise the capital needed to purchase assets, and how to run the firm so as
to maximize its value,
Artinya manajemen keuangan, disebut juga keuangan perusahaan, fokus
pada keputusan yang berkaitan dengan berapa banyak dan jenis aset apa untuk
diperoleh, bagaimana untuk meningkatkan kebutuhan modal untuk membeli aset,
dan bagaimana untuk menjalankan perusahaan sehingga dapat memaksmalkan
nilai.
Berdasarkan penyataan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, maka
manajemen keuangan adalah salah satu bidang manajemen fungsional yang
berperan penting dalam pengelolaan keuangan perusahaan yang menyangkut
beberapa keputusan yaitu keputusan investasi dan keputusan pendanaan yang
memiliki tujuan untuk memaksimalkan nilai perusahaan
32
2.1.1.3. Fungsi Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan dalam suatu perusahaan melaksanakan segala
aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan bagaimana memperoleh dana,
menggunakan dana dan mengelola aset untuk mencapai tujuan perusahaan.
Sehinga manajemen keuangan tentunya memiliki fungsi utama agar setiap
kegiatan yang dilakukan oleh manajer keuangan tidak menyimpang dari fungsinya
serta lebih terarah. Menurut Agus Harjito dan Martono (2010:4), terdapat 3 (tiga)
fungsi utama dalam manajemen keuangan, yaitu :
1. Keputusan Investasi (Investment Decision)
Keputusan investasi merupakan keputusan terhadap aktiva apa yang akan
dikelola oleh perusahaan. Keputusan investasi ini merupakan keputusan yang
paling penting di antara keting fungsi lainnya. Hal ini dikarenakan keputusan
investasi berpengaruh secara langsung terhadap besarnya rentabilitas investasi
dan aliran kas perusahaan untuk waktu yang akan datang. rentabilitas
investasi merupakan kemampuan perusahaan memperoleh laba yang
dihasilkan oleh suatu investasi.
2. Keputusan Pendanaan (Financing Decision)
Keputusan pendanaan menyangkut beberapa hal. Pertama, keputusan
mengenai penetapan sumber dana yang diperlukan untuk membiayai invetasi.
Sumber dana yang akan digunakan untuk membiayai investasi tersebut dapat
berupa hutang jangka pendek, hutang jangka panjang, dan modal sendiri.
Kedua, penetapan perimbangan pembelanjaan yang terbaik atau sering
disebut struktur modal yang optimum. Oleh karena itu perlu ditetapkan
apakah perusahaan menggunakan sumber modal ekstern yang berasal dari
33
hutang dengan menerbitkan obligasi, atau menggunakan modal sendiri
dengan menerbitkan saham baru sehingga beban biaya modal yang
ditanggung perusahaan minimal.
3. Keputusan Pengelolaan Aset (Assets Management Decision)
Manajer keuangan bersama manajer-manajer lain di perusahaan bertanggung
jawab terhadap berbagi tingkatan operasi dari aset-aset yang ada. Apabila aset
telah diperoleh dengan pendanaan yang tepat, maka aset-aset tersebut
memerlukan pengelolaan secara efisien. Pengalokasian dana yang digunakan
untuk pengadaan dan pemanfaatan aset menjadi tanggung jawab manajer
keuangan. Tanggung jawab tersebut menuntut manajer keuangan untuk lebih
memperhatikan pengelolaan aktiva lancar daripada aktiva tetap
Fungsi manajemen keuangan lainnya menurut I Made Sudana (2011:6)
menyatakan ada 2 (dua) fungsi keuangan yang pokok, dan berkaitan dengan
keputusan keuangan, yaitu sebagai berikut:
1. Keputusan Investasi (Investment Decision)
Berkaitan dengan proses pemilihan satu atau lebih alternatif investasi yang
dinilai menguntungkan dari sejumlah alternatif investasi yang tersedia bagi
perusahaan. Hasil dari keputusan investasi yang diambil oleh manajemen
perusahaan akan tampak di neraca sebelah aktiva berupa aktiva lancar dan
aktiva tetap.
2. Keputusan Pendanaan (Financing Decision)
Berkaitan dengan proses pemilihan sumber dana yang dipakai untuk
membelanjai investasi yang direncanakan dengan berbagai alternatif sumber
dana yang tersedia, sehingga diperoleh suatu kombinasi pembelanjaan yang
34
paling efisien. Hasil dari keputusan pembelanjaan tampak pada neraca pada
sisi pasiva, yaitu berupa utang lancar, utang jangka panjang dan modal.
Modal perusahaan dapat berasal dari sumber dana di luar perusahaan, yaitu
saham dan sumber dana dari dalam perusahaan, yaitu laba ditahan
2.1.1.4. Tujuan Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan yang efisien membutuhkan tujuan dan sasaran yang
digunakan sebagai standar dalam memberikan penilaian keefisienan keputusan
keuangan. pengambilan keputusan-keputusan keuangan yang benar, manajer
keuangan perlu menentukan tujuan yang harus dicapai. Keputusan yang benar
adalah keputusan yang akan membantu mencapai tujuan tersebut. Tujuan
manajemen keuangan menurut Martono dan Agus (2010:13) adalah
memaksimalkan nilai perusahaan (memaksimumkan kemakmuran pemegang
saham) yang diukur dengan harga saham perusahaan. Sedangkan pendapat lain
diutarakan oleh Jamen C Van Horne dan John M Wachawicz Jr. (2012:4)
mengatakan mengenai tujuan manajemen keuangan ialah sama dengan tujuan
perusahaan yaitu memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan yang ada saat
ini.
2.1.2 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan menurut Scott dalam Megahelgawati (2017:27) adalah
Ukuran organisasi yaitu suatu variabel konteks yang mengukur tuntutan pelayanan
atau produk organisasi. Pendapat lain dikemukan oleh Kurniasih (2012:148)
35
menyatakan ukuran perusahaan merupakan nilai yang menunjukan besar kecilnya
perusahaan.
Menurut Nora (2016) Ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat
mengklasifikasikan perusahaan besar dan kecil. Ukuran suatu perusahaan
menggambarkan seberapa besar total aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Perusahaan yang memiliki total aset yang besar menunjukan sinyal yang positif
bagi kreditur sebab perusahaaan akan mudah melakukan diversifikasi dan mampu
melunasi kewajiban di masa depan, sehingga perusahaan dapat menghindari
terjadinya financial distress
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 53 Tahun 2017, ukuran
perusahaan dapat diklasifikasikan berdasarkan total aset, yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.1
Klasifikasi Ukuran Perusahaan Berdasarkan Total Aset
Jenis Emiten Total Aset
Skala Kecil ≤ Rp. 50 Miliar
Skala Menengah Rp. 50 Miliar – Rp. 250 Miliar
Skala Besar ≥ Rp. 250 Miliar
Sumber: Peraturan OJK No. 53 Tahun 2017
Ukuran perusahaan menggambarkan besarnya aktiva yang dimiliki
perusahaan. Penggunaan total aset sebagai proksi ukuran perusahaan dikarenakan
aset merupakan gambaran kekayaan yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada
waktu tertentu. Perhitungan ukuran perusahaan diproksikan dengan nilai logaritma
dari total aset Jogiyanto dalam Megahelgawati (2017), yaitu :
irm i e ln otal et
Penelitian ini dalam penentuan ukuran perusahaan menggunakan total
asset dikarenakan nilai total aset yang disajikan secara historis dianggap lebih
36
stabil dan lebih dapat mencerminkan ukuran perusahaan, dibandingkan dengan
total penjualan maupun kapitalisasi pasar yang nilainya selalu berubah mengikuti
kondisi pasar. Ukuran perusahaan yang diproksikan dengan logaritma natural dari
total aset dengan tujuan untuk mengurangi fluktuasi data yang berlebih sehingga
membuat data total aset tetap terdistribusi normal, serta mengurangi perbedaan
signifikan antara ukuran perusahaan yang terlalu besar dengan yang terlalu kecil.
Oleh sebab itu, dengan menggunakan logaritma natural, seberapa besar total aset
akan dapat disederhanakan, tanpa mengubah proporsi dari total aset yang
sesungguhnya.
2.1.3 Corporate Governance
Menurut Lawrance J. Gitman dan Chad J. Zutter (2015:20) mendefinisikan
Corporate Governance refers to the rules, processes, and laws by which
companies are aperated, controlled, and regulated, yang berarti ata Kelola
Perusahaan mengacu pada aturan, proses, dan hukum di mana perusahaan
diaplikasi, dikendalikan, dan diatur.
Definisi lain dikemukakan oleh Muh. Arief Effendi (2016:11) dalam,
definisi Tata Kelola Perusahaan adalah sebagai berikut :
“ ata kelola peru ahaan yang baik dapat didefini ikan ebagai i tem yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah
bagi setiap stakeholders. Ada dua hal yang ditekankan dalam mekanisme
ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham atau investor untuk
memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya,
dan kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara
akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kinerja
peru ahaan,kepemilikan dan takeholder.”
Menurut The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG
(2010)), Good Corporate Governance adalah :
37
“ truktur, i tem dan pro e yang digunakan organ peru ahaan ebagai
upaya yang memberikan nilai tambahan perusahaan secara
berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap memberikan
kepentingan stakeholders lainnya berdasarkan norma, etika, budaya dan
aturan yang berlaku.”
Corporate Governance secara umum dapat diartikan sebagai sistem,
proses dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak
yang berkepentingan terutama dalamarti sempit, hubungan antara pemegang
saham,dewan komisaris, dan dewandireksi demi tercapainya tujuan organisasi
(Triwahyuningtias, 2012)
Berdasarkan agency theory, adanya pemisahan antara kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan konflik. Perusahaan pada umumnya
dibentuk dari perjanjian antar dua komponen utama, pemilik sumber daya
(principal) dan pengelola sumber daya (agent). Agen diberi kepercayaan oleh
principal untuk mengelola perusahaan dengan sumber daya yang dimilikinya.
Penunjukan ini didasari karena agen pada umumnya merupakan pihak yang
memiliki kemampuan dalam mengelola sumber daya tersebut agar tercipta
keefisienan dalam pengelolaan. Masalah muncul ketika masing-masing pihak
memiliki kepentingan sendiri-sendiri atas perusahan. Agen yang telah memiliki
kepercayaan dari pemilik sumber daya dapat menggunakan kepercayaan tersebut
untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dan bukan kepentingan pemilik
sumber daya sehingga kemungkinan terjadi financial distress Jensen dan
Meckling dalam sipatuhar (2014).
Jensen dan Meckling (1976) dalam sipatuhar (2014).menggambarkan
hubungan keagenan (agency relationship) sebagai hubungan yang timbul karena
38
adanya kontrak yang ditetapkan antara principal yang menggunakan agent untuk
melaksanakan jasa yang menjadi kepentingan principal dalam hal terjadi
pemisahan kepemilikan dan kontrol perusahaan. Teori keagenan merupakan dasar
yang digunakan untuk memahami corporate governance. Permasalahan yang
muncul akibat adanya perbedaan kepentingan antara agen dan principal disebut
agency problem.
Salah satu penyebab agency problem adalah adanya Asymmetric
Information. Asymmetric Information adalah informasi yang yang tidak seimbang
yang disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan
agen yang berakibat dapat menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan
adanya kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap
tindakan-tindakan agen.
Jensen dan Meckling menyatakan permasalahan tersebut adalah :
a. Moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak
melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.
b. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana principal tidak dapat
mengetahui apakah suatu keputusan diambil oleh agen benar-benar
didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai
sebuah kelalaian dalam tugas.
Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat
mensejajarkan perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak. Mekanisme
corporate governance bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua
pihak yang berkepentingan, sehingga tidak terjadi konflik antara pihak agen dan
principal yang berdampak pada penurunan agency cost. Corporate governance
diperlukan untuk mengurangi agency problem antara pemilik dan manajer
39
sehingga timbul keselarasan kepentingan antara pemilik perusahaan dan manajer
(Triwahyuningtias, 2012
2.1.3.1 Prinsip Dasar Good Corporate Governance
Prinsip-prinsip dasar dari GCG, pada dasarnya memiliki tujuan untuk
memberikan kemajuan terhadap kinerja suatu perusahaan. Secara umum,
penerapan prinsip GCG secara konkret menurut OECD (2004:3), memiliki tujuan
terhadap perusahaan sebagai berikut :
1. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing;
2. Mendapatkan cost of capital yang lebih murah;
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja
ekonomi perusahaan;
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari stakeholders terhadap
perusahaan;
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.
Prinsip-prinsip utama dari GCG yang menjadi indikator, sebagaimana
ditawarkan oleh OECD adalah :
1. Transparency/Disclosure (Transparansi/Keterbukaan)
Transparansi adalah adanya pengungkapan yang akurat dan tepat pada
waktunya serta transparansi atas hal penting bagi kinerja perusahaan,
kepemilikan, serta pemegang kepentingan. Untuk menjaga objektivitas dalam
menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material
dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku
kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan
40
tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang - undangan,
tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang
saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas menekankan pada pentingnya penciptaan sistem pengawasan
yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi, dan
pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian
terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai
dengan kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan
lainnya. Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai
kinerja yang berkesinambungan.
3. Responsibility (Responsibilitas)
Responsibility (responsibilitas) adalah adanya tanggung jawab pengurus
dalam manajemen, pengawasan manajemen serta pertanggungjawaban
kepada perusahaan dan para pemegang saham. Prinsip ini diwujudkan dengan
kesadaran bahwa tanggungjawab merupakan konsekuensi logis dari adanya
wewenang, menyadari akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari
penyalahgunaan wewenang kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung
etika dan memelihara bisnis yang sehat.
41
4. Independency (Independensi)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diinter-vensi oleh pihak lain. Independen
diperlukan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan yang
mungkin timbul oleh para pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini
menuntut adanya rentang kekuasaan antara komposisi komisaris, komite
dalam komisaris, dan pihak luar seperti auditor. Keputusan yang dibuat dan
proses yang terjadi harus obyektif tidak dipengaruhi oleh kekuatan pihak-
pihak tertentu. Prinsip-prinsip transparansi, keadilan, akuntabilitas,
responsibilitas dan independen GCG dalam mengurus perusahaan, sebaiknya
diimbangi dengan good faith (bertindak atas itikad baik) dan kode etik
perusahaan serta pedoman GCG, agar visi dan misi perusahaan yang
berwawasan internasional dapat terwujud.
5. Fairness (Keadilan)
Prinsip keadilan (fairness) merupakan prinsip perlakuan yang adil bagi
seluruh pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan
pemegang saham asing dari kecurangan, dan kesalahan perilaku insider.
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan (OECD, 2004:22).
2.1.3.2 Struktur Kepemilikan
Para peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan perusahaan
42
memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Tujuan perusahaan sangat ditentukan
oleh struktur kepemilikan, motivasi pemilik dan kreditur. Corporate Governance
dalam proses insentif yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha
membuat berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, setelah strategi
ditentukan maka langkah selanjutnya akan mengimplementasi strategi dan
mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan
perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dapat
dikatakan bahwa peran pemilik sangat penting dalam menentukan
keberlangsungan perusahaan. Dalam hal ini struktur kepemilikan dibedakan
menjadi dua yaitu kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional.
a. Kepemilikan manajerial
Kepemilikan manajerial merupakan proporsi kepemilikan perusahaan oleh
manejemen (direksi), semakin besar proporsi kepemilikan oleh manajemen maka
semakin besar pula tanggung jawab manajemen tersebut dalam mengelola
perusahaan, Kepemilikan manajerial memberikan keuntungan bagi fungsi
monitoring karena kepemilikan yang terdiri atas kepemilikan oleh direksi dan
komisaris akan memberi insentif untuk melakukan yang terbaik dan
memaksimalkan nilai perusahaan.
Mekanisme insentif melalui kepemilikn langsung saham dan kontrak
kompensasi oleh manajemen mampu menurunkan konflik keagenan antara
manajer dan pemegang saham perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan
perusahaan mengalami Financial distress. Menurut Marcus, Kane dan Bodie
(2006:8), pengertian kepemilikan manajerial adalah:
“Kepemilikan manajerial akan men ejajarkan kepentingan manajemen dan
43
pemegang saham, sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari
keputusan yang diambil serta menanggung kerugian sebagai konsekuensi
dari pengambilan keputusan yang salah. Pernyataan tersebut menyatakan
bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajerial pada perusahaan,
maka manajemen cenderung lebih giat untuk kepentingan pemegang
saham yang notabene adalah dirinya endiri.”
Struktur kepemilikan manajerial dapat dihitung dengan rumus :
Kepemilikan anajerial Jumlah aham manajemen
otal aham beredar 100
Total saham manajerial yang dimaksud adalah jumlah presentase saham
yang dimiliki oleh manajemen pada akhir tahun. Sedangkan total saham yang
beredar, dihitung dengan menjumlahkan seluruh saham yang diterbitkan oleh
perusahaan tersebut pada akhir tahun (Marcus, Kane dan Bodie, 2006:9).
b. Kepemilikan institusional
Gitman dan Zutter (2015:20) berpendapat bahwa intitutional investors,
adalah:
Investment professionals, such as banks, insurance companies, mutual
funds, and pension funds, that are paid to manage and hold large
quantities of securities on behalf of others. Artinya investor profesional
atau perusahaan, diantaranya bank, perusahaan asuransi, reksadana, dan
dana pensiun, yang dibayar untuk mengelola dan memegang saham dalam
jumlah besar atas nama atau untuk kepentingan oranglain
Pendapat lain dikemukakan Marcus, Kane dan Bodie (2006:10),
pengertian ke pemilikan intitusional (institusional ownership) adalah:
“Kepemilikan in titu ional merupakan kondi i dimana in titu i memiliki
saham dalam suatu perusahaan. Institusi tersebut dapat berupa institusi
pemerintah, institusi swasta, domestik maupun asing. Kepemilikan
institusional dapat mengurangi agency costdengan cara mengaktifkan
pengawasan melalui investor-investor institusional. Hal tersebut dapat
terjadi dikarenakan dengan keterlibatan instirusional dalam kepemilikan
aham.”
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang
44
dimiliki oleh institusi seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan
kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja perusahaan (Triwahyuningtias,
2012). Investor institusional tidak menarget performa jangka pendek dan performa
tahunan perusahaan, namun investor ini berfokus pada jangka panjang dan
membantu manajemen dalam meningkatkan performa jangka panjang sehingga
menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami Financial distress, kepemilikan
institusional dapat dihitung dengan rumus :
Kepemilikan n titu ional Jumlah aham in titu ional
otal aham beredar 100
Total saham institusional yang dimaksud adalah jumlah presentase saham
yang dimiliki oleh insttitusi pada akhir tahun. Total saham yang beredar, dhitung
dengan menjumlahkan seluruh saham yang diterbitkan oleh perusahaan pada akhir
tahun (Marcus, Kane dan Bodie, 2006:11)
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat dinyatakan bahwa struktur
kepemilikan dapat menetukan tercapai atau tidaknya tujuan perusahaan, struktur
kepemilikan ini dibagi menjadi dua yaitu kepemilikan manajerial dan kepemilikan
institusional.
2.1.4 Financial distress
Financial distress merupakan kondisi yang dapat dijelaskan secara luas
dan bervariasi. Berbagai penilaian yang telah dilakukan oleh para peneliti atas
kondisi ini memunculkan beragam pandangan mengenai pengertian kondisi
financial distress. Menurut Debarshi Bhattacharyya (2012:445) Distress means
45
acute financial hadship/crisis. Corporate distress/sickness means such a situation
of a firm when it is unable to meet its debt. In other words, when value of total
asset of a company is insufficient to discharge its total external liabilities,
company can be said a „‟distress company‟‟. Artinya: distress merupakan
kesulitan keuangan atau krisis yang akut. Perusahaan mengalami kesulitan atau
dalam keadaan sakit memiliki arti bahwa situasi perusahaan ketika itu tidak
mampu memenuhi hutang, dengan kata lain, ketika nilai total asset perusahaan
tidak cukup untuk membayar total kewajiban ekternal, maka dapat dikatakan
perusahaan mengalami kesulitan.
Stephen A. Ross, Randolph W. Westerfield, dan Jeffrey Jaffe (2010:917)
mengungkapkan bahwa “Financial distress is a situation where a firm‟s
operating cash flow are not sufficient to satisfy current obligations (such as trade
credits or interest expenses) and the firm is forced to take corrective action” hal
tersebut bermaksud bahwa kondisi kesulitan keuangan (Financial distress)
merupakan situasi di mana arus kas operasi perusahaan tidak cukup untuk
memenuhi kewajiban saat ini (seperti kredit perdagangan atau biaya bunga) dan
perusahaan dipaksa untuk mengambil tindakan korektif.
Corret dkk (2012:655) berpendapat bahwa financial distress mempunyai
banyak arti, dan membanginya menjadi tiga tipe yaitu:
a. Business failure, is a type of financial distress in which a firm no longer
stay in business. However financial distress does not automatically mean
the end of the firm.
b. Econimic failure, is a type of financial distress in which the return on a
46
firm‟s assets is less then the firm‟s cost of capital. Thus, the firm is not
earning enough on its assets to pay the fund suppliers their promised
payments.
c. Technical insolvency, is a type of financial distress in which firm‟s
operating cash flow are not sufficient to pay its liabilities as they come
due.
Artinya yaitu :
1. Business failure (kegagalan bisnis) adalah jenis kesulitan keuangan
dimana perusahaan tidak lagi berada dalam bisnis. Bagaimanapun
financial distress tidak secara otomatis berarti akhir dari perusahaan.
2. Economic failure (kegagalan ekonomi) adalah jenis kesulitan keuangan
dimana pengembaliaan aset suatu perusahaan kurang dari biaya modal
(cost of capital). Dengan demikiran, perusahaan tidak cukup produktif
pada aset untuk membayar pemasok dana pembayaran yang mereka
janjikan.
3. Technical insolvency (kegagalan teknis) adalah jenis kesulitan keuangan
dimana arus kas operasi perusahaan tidak cukup untuk membayar
kewajiban yang jatuh tempo.
Plat dan Plat dalam Fahmi (2013:158) mendefinisikan Financial distress
sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya
kebangkrutan ataupun likuidasi. Financial distress dimulai dengan
ketidakmampuan memenuhi kewajiban-kewajibannya, terutama kewajiban yang
bersifat jangka pendek termasuk kewajiban likuiditas, dan juga termasuk
kewajiban dalam kategori solvabilitas.
47
Fahmi (2013) mengemukakan secara kajian umum ada empat kategori
pengolongan persoalan Financial distress yang bisa kita buat yaitu:
a. Pertama, Financial distress kategori A atau sangat tinggi dan benar-benar
membahayakan. Kategori ini memungkinkan perusahaan dinyatakan untuk
berada diposisi bangkrut atau pailit.
b. Kedua, Financial distress kategori B atau tinggi dianggap berbahaya. Pada
posisi ini perusahaan harus memikirkan berbagai solusi realistis dalam
menyelamatkan berbagai aset yang dimiliki
c. Ketiga, Financial distress kategori C atau sedang, dan ini dianggap
perusahaan masih mampu/ bisa menyelamatkan diri dari tindakan tambahan
dana yang bersumber dari internal dan eksternal.
d. Keempat, Financial distress kategori D atau rendah, pada kategori ini
perusahaan hanya dianggap mengalami fluktuasi financial temporer yang
disebabkan oleh berbagai kondisi eksternal.
Berdasarkan pernyataan diatas maka dapat dikatakan bahwa financial
distress yaitu suatu kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan dalam
membayar kewajibannya dan jika hal tersebut berlangsung secara
berkesimambungan dikhawatirkan perusahaan akan menuju pada kebangkrutan.
2.1.4.1 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Financial distress
Kondisi kesulitan keuangan, seperti yang telah dikemukanan pada bagian
definisi, banyak terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan perusahaan
mengalami kondisi kesulitan keuangan. Bhattacharyya (2012:446)
mengemukakan faktor-faktor kesulitan keuangan perusahaan yang dapat
48
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal,
berikut merupakan rincian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesulitan
keuangan perusahaan menurut Bhattacharyya (2012:446):
Tabel 2.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Financial distress
No. Klasifikasi Faktor-faktor
1 Internal a. Proses produksi yang kurang modern(outdated)
b. Biaya bahan baku yang tinggi
c. Rendahnya produktivitas karyawan
d. Kurangnya karyawan yang memiliki keterampilan
e. Pemborosan waktu dalam proses produksi
f. Pergantian tenaga kerja yang tinggi
g. Lemahnya kualitas pemimpin
h. Salah pemilihan lokasi/tempat
i. Perencanaan keuangan yang buruk
j. Manajemen yang tidak efisien
k. Struktur Kepemilikan yang buruk
l. Manajemen persediaan yang buruk
m. Manajemen arus kas yang buruk
n. Manajemen piutang yang buruk
2 Eksternal a. Kekurangan/terbatasnya ketersediaan bahan baku
b. Kekurangan kekuatan/daya listrik
c. Masalah transportasi
d. Pemberlakuan control harga dari pemerintah
e. Kebijakan pajak dari pemerintah
f. Fluktuasi nilai tukar
g. Kebijakan ekspor dan impor
h. Ancaman dari perusahaan multinasional
i. Bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tornado
dsb
j. Keresahaan politik
Kesulitan keuangan perusahaan terjadi karena berbagai faktor yang
beberapa diantaranya telah dikemukakan oleh Bhattacharyya pada tabel 2.2 yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal dapat mempengaruhi kondisi
kesulitan keuangan pada beberapa industri sekaligus, namun banyak peneliti yang
menemukan bahwa kondisi kesulitan keuangan perusahaan lebih banyak berasal
49
dari faktor internal perusahaan dimana perusahaan tidak memiliki manajemen
yang baik dan tanggap dalam menghadapi permasalahan.
2.1.4.2 Model Prediksi Financial distress (Model Altman)
Altman (1968) adalah orang yang pertama yang menerapkan Multiple
Discriminant Analysis, analisis diskriminan ini merupakan suatu teknik statistik
yang mengidentifikasikan beberapa macam rasio keuangan yang dianggap
memiliki nilai paling penting dalam mempengaruhi suatu kejadian, lalu
mengembangkannya dalam suatu model dengan maksud untuk memudahkan
menarik kesimpulan dari suatu kejadian.Analisa diskriminan ini kemudian
menghasilkan suatu dari beberapa pengelompokan yang bersifat apriori atau
mendasarkan teori dari kenyataan yang sebenarnya.
Dasar pemikiran Altman menggunakan analisa diskriminan bermula dari
keterbatasan analisis rasio yaitu metodologinya pada dasarnya bersifat suatu
penyimpangan yang artinya setiap rasio diuji secara terpisah sehingga pengaruh
kombinasi dari beberapa rasio hanya didasarkan pada pertimbangan para analis
keuangan, oleh karena itu untuk mengatasi kekurangan dari analisa rasio maka
perlu kombinasikan berbagai rasio agar menjadi suatu model prediksi yang
berarti.
Berdasarkan penelitian analisis diskriminan Altman melakukan penelitian
untuk mengembangkan model baru untuk memprediksikan kebangkrutan
perusahaan. Model yang dinamakan Z-score dalam bentuk aslinya adalah model
linier dengan rasio keuangan yang diberi bobot untuk memaksimalkan
kemampuan model tersebut dalam memprediksi. Model ini pada dasarnya hendak
50
mencari nilai “Z” yaitu nilai yang menunjukkan kondisi perusahaan, apakah
dalam keadaan sehat atau tidak dan menunjukkan kinerja perusahaan yang
sekaligus merefleksikan prospek perusahaan dimasa mendatang
Penelitiannya menyusun model Z Altman mengambil sampel 33
perusahaan manufaktur yang bangkrut pada periode 1960 sampai 1965 dan 33
perusahaan yang tidak bangkrut dengan lini industri dan ukuran yang sama.
Dengan menggunakan data laporan keuangan dari 1 sampai 5 tahun sebelum
kebangkrutan, Altman menyusun 22 rasio keuangan yang paling memungkinkan
dan mengelompokkannya dalam 5 kategori: likuiditas, profitabilitas, leverage,
solvabilitas dan kinerja. Lima macam rasio dari lima variabel yang terseleksi akan
di kombinasikan bersama untuk memperoleh prediksi yang paling akurat tentang
kebangkrutan.
Penggunaan model Altman sebagai salah satu pengukuran kinerja
kebangkrutan tidak bersifat tetap atau stagnan melainkan berkembang dari waktu
kewaktu, dimana pengujian dan penemuan model terus diperluas oleh Altman
hingga penerapannya tidak hanya pada perusahaan manufaktur publik saja tapi
sudah mencakup perusahaan manufaktur non publik, perusahaan non manufaktur,
dan perusahaan obligasi korporasi. Setelah melakukan penelitian terhadap variabel
dan sampel yang dipilih, Altman menghasilkan model kebangkrutan yang
pertama. Persamaan kebangkrutan yang ditujukan untuk memprediksi sebuah
perusahaan public manufaktur.
Cornett dkk (2012:663) menyatakan bahwa :
“Linear discriminant models divide firms into high or low banktuptcy risk.
Classes based on their observed financial characterictic (Xj). Awidely
51
used discriminant model is the Z-Score model developed by Edward
Altman. The incidator variable is Z is an overall measure of a firm‟s
bankruptcy risk classification. This classification, in turn, depends on the
values ratios based on the observed experienced of bankrupt versus
nonbankrupt firms derived from a discriminant analysis model”.
Artinya, model diskriminan linier membagi perusahaan kedalam risiko
kebangrutan yang tinggi atau rendah berdasrkan karakteristik keuangan
yang diamati (Xj). Model diskriminan yang banyak digunakan adalah
model Z-score yanf dikembangkan oleh Edward Altman. Indikator
variabel Z adalah ukuran keseluruhan klasifikasi risiko kebangkrutan
perusahaan. Kelasifikasi ini, pada gilirannya tergantung pada nilai-nilai
rasio berdasarkan observasi yang diamati pada perusahaan yang bangkrut
dengan perusahaan yang tidak bangkrut dan berasal dari model analisis
diskriminan.
Persamaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model Z-score
(Altman, 1968) dalam Cornett dkk (2012:663) yaitu :
Keterangan:
Z = bankrupcy index
= working capital / total asset
= retained earnings / total asset
= earning before interest and taxes/total asset
= market value of equity / book value of total debt
= sales / total asset.
Nilai Z adalah indeks keseluruhan fungsi multiple discriminant analysis.
Menurut Altman, terdapat angka-angka dari nilai Z yang dapat menjelaskan
apakah perusahaan akan mengalami kegagalan atau tidak pada masa mendatang
dan ia membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. Jika nilai Z<1,8 maka termasuk perusahaan yang bangkrut.
b. Jika nilai 1,8< Z<2,99 maka termasuk grey area (zona aman namun terdapat
52
kemungkinan perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan).
c. Jika nilai Z>2,99 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.
2.1.5 Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menjadi referensi dalam
penelitian yang akan dilakukan. Tabel berikut memaparkan persamaan dan
perbedaan anatara penelitian terdahulu dengan penelitian ini. Sehingga jelas
bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya.
Tabel 2.3
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Judul penelitian dan
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Perbedaan
Penelitian 1 Oktita Earning Hanifah
dan Agus Purwanto
2013, Pengaruh struktur
Corporate Governance dan financial indicator
terhadap kondisi
Financial distress
Hasil penelitian ukuran
dewan direksi,
kepemimpinan manajerial,
kepemilikan institusional, leverage dan operating
capacity berpengaruh
terhadap Financial
distress Penelitian ini tidak berhasil membuktikan
pengaruh ukuran dewan
komisaris, komisaris
independen, ukuran komite audit, likuiditas,
dan profitabilitas terhadap
kemungkinan terjadinya
Financial distress
Variable penelitian
Corporate
Governance dan
financial indikator terhadap kondisi
Financial distress
Terdapat
perbedaan tahun
penelitian pada
tahun 2013 dan terdapat variable
penelitian yang
berbeda,
diantaranya dewan direks ,
ukuran dewan
komisaris,
komisaris independen,
ukuran komite
audit, dan
operating capacity
2 (Santy surya
Sipatuhar 2014)
Analisis pengaruh
Ukuran Perusahaan
dan Corporate
Governance terhadap
terjadinya kondisi
Financial distress
(studi pada
perusahaan yang
terdaftar di Bursa
Efek Indonesia selain
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
leverage, profitabilitas
dan rasio aktivitas
.memiliki pengaruh
signifikan terhadap
kondisi Financial
distress. Penelitian ini
tidak berhasil
membuktikan pengaruh
likuiditas, kepemilikan
manajerial dan
kepemilikan
institusional terhadap
kemungkinan terjadinya
Menggunakan
variable penelitian
yang sama yaitu,
Ukuran
Perusahaan,
Corporate
Governance dan
Financial distress
Penelitian
pada
perusahaan
yang terdaftar
di BEI selain
sector
keuangan
periode 2010-
2012)
53
No Judul penelitian dan
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Perbedaan
Penelitian
sektor keuangan
periode 2010 - 2012)
Financial distress
3 Selfi Anggraeni
Fauziah Hadi,
Mekanisme
Corporate
Governance dan
Ukuran Perusahaan
pada perusahaan yang
mengalami Financial
distress
Jurnal Ilmu & Riset
Akuntansi Vol. 3 No.
5 (2014)
kepemilikan
institusional tidak
berpengaruh terhadap
Financial distress,
kepemilikan manajerial
tidak berpengaruh
terhadap Financial
distress, dewan direksi
tidak berpengaruh
terhadap Financial
distress, dewan
komisaris berpengaruh
negatif terhadap
Financial distress,
likuiditas tidak
berpengaruh terhadap
Financial distress,
leverage tidak
berpengaruh terhadap
Financial distress, dan
operating capacity
berpengaruh positif
terhadap Financial
distress
Variable penelitian
yang digunakan
sama yaitu,
kepemilikan
konstitusional,
kepemilikan
manajerial, rasio
likuiditas, dan
rasio leverage.
Variable
penelitian
yang lainnya
yaitu : dewan
direksi, dan
dewan
komisaris
4 I Gusti Agung Ayu
Pritha Cinantya, Ni
Ketut Lely Aryani
Merkusiwati,
Pengaruh Corporate
Governance, financial
indicators dan ukuran
perusahaan terhadap
financial pada
perusahaan property
& real estate terbesar
di Indonesia yaitu PT
Bakrieland
Development, Tbk
E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana
10.3(2015): 897-915
897)
hasil analisis ditemukan
bahwa kepemilikan
institusional dan
likuiditas berpengaruh
pada Financial distress.
Sedangkan kepemilikan
manajerial, proporsi
komisaris independen,
jumlah dewan direksi,
leverage dan ukuran
perusahaan tidak
berpengaruh pada
kesulitan keuangan
Menggunakan
variable penelitian
yang sama yaitu :
kepemilikan
institusional,
kepemilikan
manajerial, rasio
leverage
Studi pada
perusahaan
property &
real estate
terbesar di
Indonesia
yaitu PT
Bakrieland
Development,
Tbk, variable
indicator yang
berbeda yaitu
nilai
perusahaan
5 (Shahab Udin,
Muhammad Arshad
Khan, Attiya Yasmin
Javid, (2017) ,
The effects of
ownership structure
on likelihood of
Institutional ownership,
insider‟s ownership,
Foreign ownership dan
Government ownership
berpengaruh terhadap
Financial distress
Variable yang
sama yaitu :
Institutional
ownership
Government
ownership
Terdapat
variable
lainnya yng
berbeda yaitu:
insider‟s
ownership,
Foreign
Lanjutan Tabel 2.3
54
No Judul penelitian dan
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Perbedaan
Penelitian
Financial distress: an
empirical evidence.
Corporate
Governance: The
International Journal
of Business in
Society, Vol. 17
Issue: 4, pp.589-612
ownership
6 Mega, Helgawari,
(2017),
Pengaruh Penerapan
Tata kelola
Perusahaan, ukuran
perusahaan dan
Leverage terhadap
Financial distress
pada perusahaan
peserta CGPI yang
terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI)
periode 2011-2014,
Berdasarkan hasil
penelitian Tata kelola
perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap
Kesulitan Keuangan
(Financial distress),
Ukuran Perusahaan
berpengaruh signifikan
terhadap Kesulitan
Keuangan (Financial
distress, Leverage
berpengaruh signifikan
terhadap Kesulitan
Keuangan (Financial
distress)
Variable yang
sama yaitu :
Leverage dan tata
kelola perushaan
Variable yang
berbeda yaitu :
ukuran
perusahaan
7 Mohamed Shahwan,
(2015) ,
"The effects of
Corporate
Governance on
financial performance
and Financial
distress: evidence
from Egypt", Tamer
Corporate
Governance, Vol. 15
Issue: 5, pp.641-662
Firm size, Leverage,
Book-to-market ratio,
Capital intensity, ,
Return on sales,
Ownership
concentration,
Institutional ownership,
tidak berpengaruh
terhadap Financial
distress sedangkan
Current ratio dan
Ownership type
berpengeruh terhadap
financial disress
Variable yang
sama yaitu
Leverage, current
ratio, dan
Institusional
ownership
Variable yang
berbeda yaitu
Firm size,
Book-to-
market ratio,
Capital
intensity, ,
Return on
sales,
Ownership
concentration,
Ownership
type
8 (Mutiara Muhtar,
2017),
Pengaruh Ukuran
Perusahaan terhadap
kesulitan keuangan
(Financial distress)
Pada perusahaan
Telekomunikasi di
Indonesia.
Hasil peneltian
menyebutkan bahwa
Ukuran Perusahaan
berpengaruh terhadap
Financial distress
Variable yang
sama yaitu :
Ukuran Perusahaan
dan Financial
distress
Variable yang
berbeda
terdapat
perusahaan
telekounikasi
dan Corporate
Governance
9 Irawati Manurung
2015,
Hasil penelitian
menyebutkan bahwa
Variable yang
sama yaitu
Variable yang
berbeda yaitu
Lanjutan Tabel 2.3
55
No Judul penelitian dan
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Perbedaan
Penelitian
Analisis pengaruh
struktur kepemilikan,
likuiditas dan
leverage terhadap
Financial distress
pada perusahaan
manufaktur yang
terdaftar di BEI tahun
2009-2014.
kepemilikan maajerial,
kepemilikan asing,
likuiditas dan leverage
berpengaruh terhadap
Financial distress
kepemilikan
manajerial,
likuiditas, leverage
dan Financial
distress
kepemilikan
asing, dan
Corporate
Governance.
10 Triwahyuningtias,
(2012),
Analisis Pengaruh
Struktur Kepemilikan,
Ukuran Dewan,
Komisaris
Independen,
Likuiditas Dan
Leverage Terhadap
Terjadinya Kondisi
Financial distress.
Hasil penelitian
menyetakan bahwa
Kepemilikan
manajerial, kepemilikan
institusional, ukuran
dewan direksi,
likuiditas berpengaruh
negatif dan signifikan
terhadap Financial
distress. Sedangkan
leverage berpengaruh
positif signifikan
terhadap Financial
distress.
Variable yang
sama yaitu:
Kepemilikan
manajerial,
kepemilikan
institusional
Leverage, dan
Financial distress
Variable yang
berbeda
yaitu:ukuran
dewan direksi,
likuiditas
11 (Wiwin Putri Rahayu
dan Dani Sopian
2016)
Pengaruh Rasio
Keuangan dan
Ukuran Perusahaan
terhadap Financial
distress (Studi
empiris pada
Perusahaan Food and
Beverage di BEI
periode 2013-2015)
- Secara simultan
likuiditas, leverage,
sales growth, dan
ukuran perusahaan
berpengaruh
signifikan terhadap
financial distress.
- Secara parsial
likuiditas, leverage
dan ukuran
perusahaan
berpengaruh tidak
signifikan terhadap
financial distress.
- Sales growth
berpengaruh positif
signifikan terhadap
financial distress
Variabel penelitian
yang sama yaitu
ukuran perusahaan
dan financial
distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu
likuiditas,
leverage, sales
growth dan
studi empiris
pada
perusahaan
food and
beverage serta
tahun
penelitian
2013-2015
12 Alfi Rista Nora. 2016.
Pengaruh Financial
Indicators, Ukuran
Perusahaan, dan
Kepemilikan
Institusional Terhadap
Financial distress.
Variabel likuiditas tidak
berpengaruh signifikan
terhadap kondisi
financial distress,
Variabel leverage tidak
berpengaruh signifikan
terhadap kondisi
financial distress,
Variabel profitabilitas
berpengaruh signifikan
terhadap kondisi
Variabel penelitian
yang sama yaitu
ukuran perusahaan,
kepemilikan
isntirusional dan
financial distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu Financial
Indicators
Lanjutan Tabel 2.3
56
No Judul penelitian dan
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Perbedaan
Penelitian
STIE Perbanas
Surabaya
financial distress,
Variabel operating
capacity tidak
berpengaruh signifikan
terhadap kondisi
financial distress,
Variabel sales growth
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
kondisi financial
distress, Variabel
ukuran perusahaan tidak
berpengaruh signifikan
terhadap kondisi
financial distress.
danVariabel
kepemilikan
institusional tidak
berpengaruh signifikan
terhadap kondisi
financial distress.
13 I Gusti Agung Ayu
Pritha Cinantya dan
Ni Ketut Lely Aryani
Merkusiwati. 2014.
Pengaruh Corporate
Governance,
Financial Indicators
Dan Ukuran
Perusahaan Pada
Financial distress.
E-Journal Udayana.
Vol. 10 N0. 3
- kepemilikan
institusional dan
likuiditas memiliki
pengaruh negatif dan
signifikan pada
kemungkinan
perusahaan
mengalami financial
distress.
- Kemudian, hasil
pengujian untuk
kepemilikan
manajerial, proporsi
komisaris
independen, jumlah
dewan direksi,
leverage, dan ukuran
perusahaan tidak
berpengaruh
signifikan pada
kemungkinan
terjadinya financial
distress
Variabel penelitian
yang sama yaitu
ukuran perusahaan,
kepemilikan
isntirusional,
kepemilikan
manajerial dan
financial distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu likuiditas
proporsi
komisaris
independen,
jumlah dewan
direksi,
leverage
14 Robert Gitau Muigai
dan Jane Gathigia
Muriithi
The Moderating
Effect of Firm Size on
the Relationship
Between Capital
Firm size has a
significant moderating
effect on this
relationship. The
implication is tht large
scale firms are capable
to employ high level of
debt and impove their
financial distress status.
Variabel penelitian
yang sama yaitu
Ukuran perusahaan
dan financial
distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu struktur
modal
Lanjutan Tabel 2.3
57
No Judul penelitian dan
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Perbedaan
Penelitian
Structure and
Financial distress of
Non-Financial
Companies Listed in
Kenya.
Journal of Finance
and Accounting 2017,
5(4): 151-158
The study also found
thar debt maturity as
measured by the
duration that debt
remains outstanding
has no significant effect
on financial distress of
non-financial firms.
15 Puji Astuti,Sugeng
Pamudji 2015,
Analisis Pengaruh
Opini Going Concern,
Likuiditas, umur
perusahaan dan
Ukuran Perusahaan
terhadap
Kemungkinan
Financial distress.
ejournal-
s1.undip.ac.id/
Volume 4, Nomor
1,Tahun 2015
- opini audit going
concern berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap
kemungkinan
financial distress
- likuiditas (LIKD)
pengaruh signifikan
positif terhadap
kemungkinan
financial distress
- nilai solvabilitas yang
dimiliki tidak
mempengaruhi
kemungkinan
financial distress
- arus kas berpengaruh
negative dan
signifikan terhadap
kemungkinan
financial distress
- ukuran perusahaan
berpengaruh positif
signifikan terhadap
kemungkinan
financial distress, dan
- umur perusahaan
menunjukkan
pengaruh positif dan
tidak signifikan
terhadap
kemungkinan
financial distress
Variabel penelitian
yang sama yaitu
Ukuran Perusahaan
dan
Financial distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu Opini
Going
Concern,
Likuiditas,
umur
perusahaan
16 Gathecha john
Wangige, 2016
Effect of Firm
Characteristics on
Financial distress of
Non-Financial Firms
Listed at Nairobi
Securities exchange,
Kenya.
negative non significant
relationship between
the dependable variable
(financial distress) and
independent variables (,
size of the company,
foreign ownership,
BOD local, liquidity)
and positive correlation
Variabel penelitian
yang sama yaitu
Ukuran perusahaan
dan financial
distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu foreign
ownership,
BOD local,
liquidity,
efficiency,
Tobin Q, local
Lanjutan Tabel 2.3
58
No Judul penelitian dan
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Perbedaan
Penelitian
non-significant
relationship between
the dependable variable
(financial distress) and
independent variables
(efficiency, Tobin Q,
local ownership, BOD
foreign and Leverage).
ownership,
BOD foreign
and Leverage
17 Inten Puji Rianti,
Winwin Yandiati,
2018
How Financial
distress Influence By
Firm Size.
International Journal
of Scientific&
technology research
volume 2, issue 1,
January 2018
The size of the
company (X) does not
significantly influence
financial distress (Y)
Variabel penelitian
yang sama yaitu
Ukuran perusahaan
dan financial
distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu
Corporate
Governance
18 Irawati Manurung C
Handoyo Wibisono
2016
Analisis Pengaruh
Struktur Kepemilikan,
Likuiditas dan
Leverage terhadap
Financial distress
pada Perusahaan
manufaktur yang
terdaftar di Bursa
Efek Indonesia tahun
2009-2014
variabel bebas yang
terbukti signifikan
dapat memprediksi
kondisi financial
distress suatu
perusahaan adalah
struktur kepemilikan
dengan indikator
kepemilikan manajerial
dan kepemilikan asing,
likuiditas dengan
indikator Current Ratio,
Qucik Ratio dan
Leverage dengan
indikator Debt Ratio
dan Debt Equity Ratio.
Penelitian ini juga
menemukan bahwa
Kepemilikan Institusi
tidak dapat digunakan
untuk memprediksi
kondisi Financial
distress
Variabel penelitian
yang sama yaitu
struktur
kepemilikan
dengan indikator
kepemilikan
manajerial,
Kepemilikan
Institusi dan
Financial distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu
kepemilikan
asing,
likuiditas
dengan
indikator
Current Ratio,
Qucik Ratio
dan Leverage
dengan
indikator Debt
Ratio dan Debt
Equity Ratio
19 Syed Basharat
Hussain Shah, 2016
The impact of
corporate governance
on financial distress;
Evidence from
Pakistan
corporate governance
like (institutional
shareholder, board
structure, CEO duality
and transparency
disclosure) and of effect
on financial distress
andcorporate
governance
mechanisman
insignificant impact on
Variabel penelitian
yang sama yaitu
institutional
ownership dan
financial distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu
board
structure, CEO
duality and
transparency
disclosure
Lanjutan Tabel 2.3
59
No Judul penelitian dan
Nama Peneliti Hasil Penelitian
Persamaan
Penelitian
Perbedaan
Penelitian
financial distress, but in
cross sectional some
attributes of corporate
governance have
significant effects (e.g.
CEO duality and
institutional
ownership).
20 Werner Ria Murhadi,
Felicia Tanugara, &
Bertha Silvia Sutejo,
2018.
The influence of good
corporate governance
on financial distress.
Advances in Social
Science, Education
and Humanities
Research (ASSEHR),
volume 186
- The study findings
suggest that the
proportion of
independent outside
directors, audit
opinion, size, and
ownership type from
the category of good
corporate governance
are incorporated into
the model. All the
variables are
significant. The
results suggest that
the accuracy of this
bankruptcy prediction
model was 99.7%
- From the model, it
can be seen that one
variable has a
negative influence on
financial distress that
is size. In contrast,
independent director,
audit opinion, and
financial leverage
have a positive
influence on financial
distress
Variabel penelitian
yang sama yaitu
size, and
ownership type
from the category
of good corporate
governance and
Financial distress
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu
independent
outside
directors,
audit opinion
21 I Ketut Sunarwijaya
2015
Pengaruh Likuiditas,
Kepemilikan
Manajerial dan
Kepemilikan
Institusional terhadap
Kemungkinan
terjadinya Financial
distress.
- Likuiditas tidak
berpengaruh terhadap
financial distress
- Leverage tidak
berpengaruh terhadap
financial distress
- Kepemilikan
manajerial tidak
berpengaruh terhadap
financial distress
- Kepemilikan
institusional tidak
berpengaruh terhadap
financial distress
Variabel penelitian
yang sama yaitu
financial distress,
Kepemilikan
manajerial dan
Kepemilikan
institusional
Variabel
penelitian
yang berbeda
yaitu
Likuiditas
Dan Leverage
Sumber : berbagai jurnal
Lanjutan Tabel 2.3
60
Penelitian ini, peneliti menggunakan variabel yaitu Ukuran Perusahaan,
serta Corporate Governance dan Financial distress. Penelitian berbeda dengan
penelitian terdahulu karena menggunakan metode analisis regresi data panel
2.2 Kerangka Pemikiran
Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diindentifikasi sebagai masalah
penting (Sugiyono, 2012:88)
2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Financial distress
Ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengklasifikasikan
perusahaan besar dan kecil. Ukuran suatu perusahaan menggambarkan seberapa
besar total aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki
total aset yang besar menunjukan sinyal yang positif bagi kreditur sebab
perusahaaan akan mudah melakukan diversifikasi dan mampu melunasi kewajiban
di masa depan, sehingga perusahaan dapat menghindari terjadinya financial
distress (Nora, 2016)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert (2017) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap terjadinya financial distress,
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan leh Puji Astuti (2015)
yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpegaruh positif terhadap financial
distress. Hal ini menunjukkan Perusahaan yang memiliki asset besar
menunjukkan bahwa perusahaan mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh
tempo,dengan demikian perusahaan yang memiliki asset yang lebih besar lebih
61
kecil mengalami kondisi financial distress karena memiliki asset yang cukup
melimpah dibanding dengan perusahaan yang lebih kecil. Sedangkan penelitian
lain menunjukkan hal yang berbeda yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wiwin
(2016) menyatakan bahwa secara parsial variabel ukuran perusahaan berpengaruh
tidak signifikan terhadap financial distress, penelitian ini sejalan dengan I Gusti
(2015) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh pada
kesulitan keuangan.
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Financial distress
Kepemilikan manajerial merupakan proporsi kepemilikan perusahaan oleh
manejemen (direksi), semakin besar proporsi kepemilikan oleh manajemen maka
semakin besar pula tanggung jawab manajemen tersebut dalam mengelola
perusahaan. Teori agensi yang dikemukakan oleh Jensen dalam Sipatuhar (2014)
menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh direksi dan komisaris dapat
membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Hal ini
berarti semakin meningkatnya proporsi kepemilikan saham oleh direksi dan
komisaris maka semakin baik kinerja perusahaan sehingga kemungkinan
mengalami Financial distress juga semakin kecil.
Teori Agensi yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976) dalam
sipatuhar (2014) Teori tersebut menyatakan bahwa agency problem adalah adanya
Asymmetric Information. Asymmetric Information adalah informasi yang yang
tidak seimbang yang disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak sama
antara prinsipal dan agen yang berakibat dapat menimbulkan dua permasalahan
yang disebabkan adanya kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan
62
kontrol terhadap tindakan-tindakan agen yang dapat meningkatkan potesi
terjadinya kondisi kesulitan keuangan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Shahab (2017) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan
negatif terhadap kondisi Financial distress. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan kepemilikan manajerial akan mampu mendorong turunnya
kemungkinan terjadinya Financial distress. Hal ini juga diperkuat oleh hasil
penelitian Hanifah (2013), Werner (2018) dan Manginge (2016) yang menyatakan
bahwa Kepemilikan Manajerial berpengaruh terhadap financial Distres.
Sedangkan hasil penelitian yang berbeda dikemukakan oleh I Gusti Agung Ayu,
Prita Ginantia dan Ni Ketut Leli Aryani Merkusiwati (2015) bahwa kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh terhadap terjadinya kondisi financial distress.
2.2.3 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Financial Distress
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang
dimiliki oleh institusi seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasidan
kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja perusahaan
(Triwahyuningtias,2012).
Teori keagenan yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976)
dalam sipatuhar (2014) Teori tersebut menyatakan bahwa agency problem adalah
adanya Asymmetric Information. Asymmetric Information adalah informasi yang
yang tidak seimbang yang disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak
sama antara prinsipal dan agen yang berakibat dapat menimbulkan dua
63
permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan principal untuk memonitor dan
melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen yang dapat meningkatkan
potesi terjadinya kondisi kesulitan keuangan. Penelitian Hanifah (2013)
menyatakan bahwa kepemilikan institusional mempunyai pengaruh yang negatif
terhadap Financial distress (kesulitan keuangan) perusahaan. Hal ini berarti
bahwa peningkatan kepemilikan institusional dalam perusahaan akan mendorong
semakin kecilnya potensi kesulitan keuangan. Semakin besar kepemilikan,
semakin banyak pengawasan, maka kemungkinan terjadinya Financial distress
akan semakin kecil. Penelitain lain juga menyatakan hal yang sama yaitu menurut
I gusti (2015), Syed (2016) dan Shahab (2017). Sedangkan penelitian yang bebeda
dikemukakan oleh Irawati (2015) bahwa kepemilikan institusional tidak
berpengaruh terhadap terjadinya kondisi financial distress.
2.2.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Corporate Governance terhadap
Financial distress
Ukuran Perusahaan serta Corporate Governance dapat bersama-sama
mempengaruhi Financial distress. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti.. Penelitian yang dilakukan
oleh Werner (2018) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan corporate
governance secara simultan berpengaruh signifikan terhadap financial distress
dengan prediksi sebesar 99.7%
Berdasarkan latar belakang, kajian pustaka dan hasil penelitian terdahulu,
maka paradigma penelitian ini adalah seperti gambar berikut
64
Werner (2018)
Gambar 2.1
Paradigma Penelitian
Keterangan:
------ Berpengaruh secara Simultan
Berpengaruh secara Parsial
2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dapat diartikan sebagai pernyataan tentang sesuatu yang akan
diteliti sebagai jawaban sementara dari suatu masalah. Berdasarkan kerangka
pemikiran tersebut maka diajukan hipotesis sebagai berikut :
Hipotesis Simultan :
a. Terdapat pengaruh Ukuran Perusahaan dam Corporate Governance
Ukuran Perusahaan
(Jogiyanto dalam
Megahelgawati (2017)
Corporate Governance:
Kepemilikan
Manajerial
(Marcus, Kane dan
Bodie, 2006:9)
Kepemilikan
Institusional
(Marcus, Kane dan
Bodie, 2006:9)
Financial
distress
(Corret dkk,
2012:655)
Teori Agensi (Jensen dan
Meckling (1976) dalam sipatuhar
(2014), Hanifah (2013),
Manginge (2016), Irawati
(2016), Shahab 2017, dan
werner (2018)
Teori Agensi (Jensen dan
Meckling (1976) dalam sipatuhar
(2014), Hanifah (2013), Syed
(2016), I gusti (2015), werner
(2018) dan Shahab (2017)
Puji Astuti (2015), Robert Gitau
(2017), mutiara (2017) Werner
(2018) dan Manginge (2016)
65
terhadap terjadinya kondisi Financial distress.
Hipotesis Parsial :
a. Terdapat pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap terjadinya kondisi
Financial distress
b. Terdapat pengaruh Corporate Governance yaitu Kepemilikan Manajerial
terhadap terjadinya kondisi Financial distress
c. Terdapat pengaruh Corporate Governance yaitu Kepemilikan Institusional
terhadap terjadinya kondisi Financial distress