Upload
lamduong
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian dalam bidang morfologi memang telah banyak dilakukan oleh para
linguis. Hal ini membantu penelitian ini sehingga dapat membuka wawasan topik
yang sama. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian ini.
Penelitian Chattri Sigit Widyastuti (2008) dalam tesisnya yang berjudul
“Nomina Deverba dalam Bahasa Indonesia” membahas pembentukan nomina dari
dasar verba yang berkaitan dengan verba meng-D, meng-D-i, dan meng-D-kan
serta kemungkinannya bertalian dengan nomina peng-D, peng-D-an, dan D-an.
Penelitian tersebut berusaha mencari kaidah penominalan yang digunakan secara
umum dan wajar di dalam bahasa Indonesia.
Pembahasan mengenai pembentukan nomina juga telah dilakukan oleh Edi
Subroto pada tahun 2012 dalam bukunya yang berjudul “Pemerian Morfologi
Bahasa Indonesia Berdasarkan Perspektif Derivasi dan Infleksi Proses Afiksasi”.
Dalam tulisan itu dibahas tentang konsep teoretik masalah derivasi dan infleksi
serta penerapan konsep tersebut dalam morfologi bahasa Indonesia.
Penelitian Widyastuti dalam Jurnal Humanika yang berjudul “Proses
Pembentukan Nomina Bahasa Muna Dialek Gu-Mawasangka” mendeskripsikan
proses pembentukan nomina berdasarkan bentuk morfologis, perangai sintaksis,
dan perangai semantik. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam bahasa
14
Muna Dialek Gu-Mawasangka terjadi proses pembentukan nomina melalui
prefiks, sufiks, dan konfiks yang diturunkan melalui kelas kata adjektiva, verba,
atau nomina itu sendiri.
Pembahasan yang berkaitan dengan pembentukan nomina dengan afiksasi
telah dilakukan oleh Ida Basaria dalam tulisannya berjudul “Morfologi Nomina
dalam Bahasa Pakpak Dairi”. Tulisan itu memberikan deskripsi tentang ciri-ciri
nomina bahasa Pakpak Dairi, proses morfologi nomina, dan bentuk-bentuk
nomina bahasa Pakpak Dairi. Dalam tulisan tersebut dinyatakan bahwa proses
morfologi nomina mencakup proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses
pemajemukan.
Berdasarkan kajian-kajian di atas, penelitian tentang derivasi dan infleksi
dalam bahasa Indonesia terutama tentang pembentukan nomina yang berasal dari
nomina lain menurut penulis masih perlu dilakukan. Hal ini akan menambah
keragaman penelitian tentang kajian morfologi. Meskipun penelitian tentang
pembentukan nomina telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, tetapi penelitian
ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian-
penelitian sebelumnya menggunakan objek bahasa daerah, misalnya bahasa
Pakpak Dairi di atas, sedangkan penelitian ini menggunakan objek bahasa
Indonesia. Meskipun penelitian Chattri S. Widyastuti juga menggunakan bahasa
Indonesia, namun pembahasan yang dilakukan berbeda. Chattri S. Widyastuti
membahas tentang pembentukan nomina yang berasal dari verba, sedangkan
penelitian ini membahas tentang pembentukan nomina yang berasal dari nomina
lain. Meskipun Edi Subroto juga telah menerbitkan buku yang di dalamnya
15
membahas tentang pembentukan nomina yang berasal nomina lain, tetapi penulis
merasa penelitian tentang hal itu masih perlu dilakukan secara mendalam.
B. Landasan Teori
Dalam bab ini penulis menguraikan pengertian-pengertian pokok yang
digunakan sebagai acuan dalam menganalisis data.
1. Morfologi
Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasikan satuan-
satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal (Verhaar, 2010:97).
Kridalaksana menyatakan bahwa morfologi dipandang sebagai subsistem
yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata (Kridalaksana,
2009:10). Adapun menurut M. Ramlan yang dimaksud dengan morfologi
adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari
seluk-beluk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap
golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-
perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik
(Ramlan, 1985:19). Morfologi adalah salah satu studi kebahasaan yang
membicarakan atau mempelajari seluk-beluk struktur kata serta pengaruh
perubahan-perubahan struktur kata terhadap kelas dan arti kata (Putrayasa,
2008:3).
Morfologi di dalam kajian linguistik menurut Abdul Chaer berarti ilmu
mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata (Chaer, 2008:3). Pendapat
lain juga dikemukakan oleh John Lyons yang menyatakan bahwa
16
“morphology deals with the internal structure of words” (morfologi
berurusan dengan struktur dalam kata-kata), artinya morfologi hanyalah
penyelidikan bentuk-bentuk (Lyons, 1968:194). Pernyataan itu senada dengan
pendapat Katamba (1993:14) yang menyebutkan bahwa “morphology, the
study of the internal structure of words” (morfologi, studi tentang struktur
internal kata).
Morfologi adalah cabang linguistik yang menyelidiki morfem bahasa dan
penggabungan morfem tersebut menjadi satuan lingual yang dikenal dengan
kata polimorfemik (Rohmadi dkk, 2012:5). Nida mengungkapkan
“morphology is the study of morphemes and their arrangements in forming
words” (Morfologi adalah studi tentang morfem dan susunan-susunannya
dalam membentuk kata) (Nida, 1949:1). Adapun morfologi menurut Edi
Subroto ialah cabang linguistik yang meneliti dan memerikan aturan-aturan
pembentukan kata dalam suatu bahasa (Subroto, 2007:29).
Dengan demikian dapat ditarik suatu pengertian bahwa morfologi
sebagai salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang pembentukan
kata dan pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya perubahan-perubahan
tersebut.
2. Kata dan Leksem
Derivasi dan infleksi berkaitan dengan kata dan leksem. Istilah kata dan
leksem sering dibedakan oleh para ahli bahasa. Edi Subroto (2011:40)
membagi pengertian kata menjadi tiga, yaitu pengertian kata secara fonologis,
pengertian kata sebagai kata gramatikal, dan pengertian kata sebagai leksem.
17
Pengertian kata secara fonologis adalah satuan terkecil yang memiliki arti
yang tersusun dari fonem-fonem yang jenis dan urutannya berbeda. Misalnya,
“palu”, “panu”, “paku” diperlakukan sebagai kata yang berbeda karena jenis
fonem pendukungnya berbeda. Jenis fonem pendukung yang berbeda itu
terlihat pada fonem /l/ pada “palu”, fonem /n/ pada “panu”, dan fonem /k/
pada “paku”. Contoh lainnya, misalnya, “ramah”, “marah”, dan “haram”.
Satuan tersebut dianggap sebagai kata yang berbeda meskipun jenis fonem
pendukungnya sama, yaitu fonem /r/, /a/, /m/, /a/, dan /h/. Satuan-satuan itu
dianggap sebagai kata berbeda meskipun jenis fonem pendukungnya sama
karena susunan atau urutan fonem-fonem itu berbeda.
Pengertian kata sebagai kata gramatikal menurut pendapat Edi Subroto
dapat dijelaskan sebagai bentuk kata yang berbeda dari leksem yang sama.
Kemunculan bentuk-bentuk yang berbeda itu karena tuntutan sintaksis bahasa
yang bersangkutan. Edi Subroto mencontohkan dengan leksem WRITE (V)
dalam bahasa Inggris yang membentuk beberapa kata yang berbeda, yaitu
write, writes, wrote, writing, dan written. Berkaitan dengan hal ini, Katamba
menyatakan bahwa “…pockling and pockle, pockles and pockled are all in
sense different manifestations of the „same‟ abstract vocabulary item”
(…pockling dan pockle, pockles dan pockled merupakan perwujudan yang
berbeda dari satuan abstrak yang „sama‟) (1993:17).
Katamba menyebutkan bahwa leksem adalah the same abstract
vocabulary item (Katamba, 1993:18). Leksem merupakan satuan terkecil
(tidak dapat diperkecil lagi), baik simpel maupun kompleks. Lyons (1968:23)
menyatakan “lexemes are the words that a dictionary would list under a
18
separate entry” yang berarti bahwa leksem merupakan kata yang menjadi
entri dalam kamus.
Pendapat lain tentang pengertian kata juga diungkapkan oleh banyak ahli
bahasa. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Kata merupakan satuan terbesar dalam morfologi dan sekaligus satuan
terkecil dalam sintaksis (Kridalaksana, 2009:8). Muslich menyatakan bahwa
kata adalah satuan ujaran bebas terkecil yang bermakna (Muslich, 2014:5).
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bloomfield bahwa “…a word is a
minimum free form”.
Verhaar menyatakan bahwa kata adalah satuan atau bentuk bebas dalam
tuturan (Verhaar, 2010:97). Lebih lanjut Abdul Chaer menyatakan kata dalam
morfologi merupakan satuan terbesar, dibentuk melalui salah satu proses
morfologi (afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi)
(Chaer, 2008:5).
3. Kelas Kata
Beberapa ahli bahasa yang membicarakan tentang kelas kata dalam
bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Pembagian kelas kata menurut Kridalaksana (2005:51-121) yaitu (1)
verba, (2) adjektiva, (3) nomina, (4) pronomina, (5) numeralia, (6) adverbia,
(7) interogativa, (8) demonstrativa, (9) artikula, (10) preposisi, (11)
konjungsi, (12) kategori fatis, dan (13) interjeksi.
Hasan Alwi (dalam TBBBI, 2003: 87-304) membagi kelas kata menjadi
(1) verba, (2) adjektiva, (3) adverbial, (4) nomina, (5) pronomina, (6)
numeralia, (7) kata tugas, (8) interjeksi, dan (9) artikula.
19
Adapun M. Ramlan (1985) membagi kelas kata menjadi 12, yaitu (1)
kata verbal, (2) kata nominal, (3) kata keterangan, (4) kata tambah, (5) kata
bilangan, (6) kata penyukat, (7) kata sandang, (8) kata tanya, (9) kata suruh,
(10) kata penghubung, (11) kata depan, dan (12) kata seruan.
C.A. Mess (1953) membagi kelas kata menjadi sepuluh, yakni (1) kata
benda, (2) kata keadaan, (3) kata ganti, (4) kata kerja, (5) kata bilangan, (6)
kata sandang, (7) kata depan, (8) kata keterangan, (9) kata sambung, dan (10)
kata seru.
Abdul Chaer (2008) mengklasifikasikan kata menjadi dua, yaitu (1) kata
kelas terbuka yakni nomina, verba, dan ajektifa, dan (2) kata kelas tertutup
yakni adverbial, pronominal, numeralia, preposisi, konjungsi, artikulus,
interjeksi, dan partikel.
4. Morfem, Afiks, dan Proses Morfologis
Pendapat mengenai definisi morfem memang banyak. Namun, definisi
umum tentang morfem yang lazim digunakan adalah satuan (unit) tata bahasa
terkecil yang memiliki arti. Sehubungan dengan itu, Nida (1949:6)
menyebutkan morfem sebagai “the minimal meaningful units” yang berarti
bahwa morfem sebagai satuan terkecil yang memiliki arti. Katamba
menambahkan dengan mengemukakan “the term morpheme is used to refer to
the smallest, indivisible units of semantics content or grammatical function
which words are made up of” (istilah morfem digunakan untuk menunjuk
satuan terkecil yang tak dapat dibagi lagi yang memiliki arti atau fungsi
gramatika yang mana kata dibentuk darinya) (1993:20).
20
Edi Subroto (2012:20) menyebutkan bahwa secara umum morfem
dibedakan atas morfem dasar dan morfem afiks. Morfem dasar adalah
morfem yang ditempeli oleh morfem afiks dalam pembentukan kata,
sedangkan morfem afiks bersifat menempel pada morfem dasar dalam
pembentukan kata.
Kaitannya dengan afiks, Katamba mengemukakan bahwa “An affix is a
morpheme which only occurs when attached to some other morpheme or
morpheme such as a root or stem or base” (1993:44). Pendapat lain
dikemukakan oleh Verhaar (2010:107) dengan menyebutkan bahwa afiks
terdiri dari empat macam, yaitu prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks. Contoh
dari afiks-afiks tersebut, misalnya, prefiks (laut pe-laut), infiks (getar
gemetar), sufiks (ikat ikat-an), dan konfiks (menteri ke-menteri-an).
Proses morfologis merupakan proses pembentukan kata. Salah satu yang
termasuk proses morfologis yaitu proses afiksasi.
5. Nomina
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (2013:966)
dijelaskan bahwa nomina adalah kelas kata yang dalam bahasa Indonesia
yang ditandai oleh tidak dapatnya bergabung dengan kata tidak, biasanya
dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa. Nomina juga dapat
disebut sebagai kata benda seperti yang diungkapkan oleh Hasan Alwi dkk.,
yaitu kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau
pengertian (Hasan Alwi dkk, 2003:213).
Nomina menurut Kridalaksana adalah kategori yang secara sintaksis
tidak mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, tetapi
21
mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari, yang menurut
bentuknya dapat dibedakan menjadi nomina dasar, nomina turunan, nomina
paduan leksem, dan nomina paduan leksem gabungan (Kridalaksana,
2005:68). Lebih lanjut Kridalaksana menyebutkan bahwa nomina berbentuk:
a. Nomina dasar, misalnya: batu, kertas, radio, udara, dan lain sebagainya.
b. Nomina turunan. Nomina turunan terbagi lagi atas nomina berafiks
(misalnya: keuangan, perpaduan), nomina reduplikasi (misalnya: rumah-
rumah, pohon-pohon), nomina hasil gabungan proses (misalnya: batu-
batuan, kesinambungan), dan nomina yang berasal dari berbagai kelas kata
lain.
c. Nomina paduan leksem, misalnya, daya juang, loncat indah, jejak langkah,
dan lain sebagainya.
d. Nomina paduan leksem gabungan, misalnya, kejaksaan tinggi,
pendayagunaan, dan lain sebagainya.
6. Pembentukan Nomina
Nomina dapat dibentuk dari kelas kata yang lain. Menurut Edi Subroto,
nomina dapat dibentuk dari verba, nomina yang lain, adjektiva, numeralia,
dan adverbia (Subroto, 2012:37-62). Hal ini tentunya tidak terlepas dari
proses afiksasi.
1. Pembentukan nomina yang berasal dari verba dapat dibentuk melalui
verba kelas I (V I) dan verba kelas II (V II).
a. Pembentukan melalui V I meliputi (1) pembentukan nomina kategori
peng-D, peng-D-an, dan D-an, (2) pembentukan nomina deverba pe-
D, dan (3) nomina deverba kategori ke-ter-D-an.
22
b. Pembentukan melalui V II meliputi (1) nomina deverba kategori peng-
D, (2) nomina deverba peng-D-an, (3) nomina deverba D-an, (4)
nomina deverba pe- atau per-D, (5) nomina deverba pe- atau per-D-
an, dan (6) nomina deverba ke-D-an.
2. Pembentukan nomina dari nomina lain meliputi:
a. Nomina kategori D menjadi ke-D-an
b. Nomina D menjadi nomina pe- atau per-D-an
c. Nomina D menjadi D-wan atau D-wati
d. Nomina D menjadi D-isme atau D-is
e. Nomina D menjadi D-isasi
f. Nomina D menjadi D-an
3. Pembentukan nomina yang berasal dari adjektiva
a. Penurunan D Adj. menjadi nomina kategori ke-D-an
b. Adj. menjadi nomina kategori peng-D
c. Penurunan D Adj. menjadi nomina kategori D-isasi dan D-isme
d. Penurunan D Adj. menjadi nomina kategori ke-D dan pe-D
4. Pembentukan nomina yang berasal dari numeralia (kata bilangan)
a. Numeralia menjadi nomina kategori D-an
b. Penurunan D Num. menjadi nomina kategori ke-D-an
5. Pembentukan nomina yang berasal dari D Adv. yaitu adverbia menjadi
nomina kategori ke-D-an.
7. Derivasi dan Infleksi
Verhaar dalam bukunya Asas-asas Linguistik Umum membedakan antara
infleksi dan derivasi sebagai berikut.
23
Fleksi adalah perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas
leksikal dari kata yang bersangkutan, dan derivasi adalah perubahan
morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang lain.
Misalnya, Inggris friend and friends termasuk leksem yang sama,
sedangkan friend dan befriend merupakan leksem-leksem yang berbeda.
Verba to befriend adalah hasil derivasi dari nomina friend, bukan hasil
infleksi, karena kedua kata itu tidak sama kelasnya yaitu verba dan
nomina. Jikalau dua kata dengan dasar yang sama termasuk kelas kata
yang sama, tetapi berbeda maknanya, kedua kata itu juga berbeda
secara leksikal. Misalnya, friend dan friendship dalam bahasa Inggris,
atau kata Indonesia pengajar dan pengajaran, yang sama-sama
kelasnya dan dasarnya ({:ajar}) (Verhaar, 2010:143)
Berkaitan dengan hal itu, pendapat John Lyons tentang derivasi dan
infleksi yakni “inflexion is a change made in the form of a word to express its
relation to other words in the sentence” (infleksi didefinisikan sebagai
perubahan yang dibuat pada bentuk kata untuk mengatakan hubungannya
dengan kata-kata lain dalam kalimat), sedangkan “derivation will list various
processes whereby new words are formed from existing words” (derivasi
mendaftar berbagai proses pembentukan kata-kata baru dari kata-kata yang
ada) (Lyons, 1968:195). Adapun infleksi dan derivasi menurut Katamba
“inflectional morphology deals with syntactically determined affixation
processes while derivational morphology is used to create new lexical items”
(morfologi infleksional menentukan proses afiksasi sedangkan morfologi
derivasional digunakan untuk membentuk leksem baru) (1993:205).
Bauer dalam Widyastuti (2008: 94) menyatakan bahwa ada sejumlah cara
untuk mengetahui apakah sebuah afiks bersifat derivasional atau infleksional,
yakni:
(a) Jika sebuah afiks mengubah kelas kata bentuk kata dasarnya, afiks itu
bersifat derivasional. Afiks-afiks yang tidak mengubah kelas kata
bentuk dasarnya biasanya termasuk afiks infleksioanl. Contoh: form
24
adalah nomina, formal adalah adjektiva; berarti, al telah mengubah
kelas kata sehingga termasuk afiks derivasional. Formalise adalah
verba dan formalizes juga verba berarti –s tidak mengubah kelas kata,
sehingga kemungkinan termasuk afiks infleksional.
(b) Afiks-afiks infleksional selalu menampakkan makna yang teratur atau
dapat diprediksikan; sebaliknya, makna dari afiks-afiks derivasional
tidak dapat diramalkan. Sebagai contoh afiks infleksional –s yang
menunjukkan makna jamak dalam bahasa Inggris, seperti: dogs,
bycycles, shoes, trees. Lain halnya dengan perubahan makna secara
derivasional seperti age dalam bandage „pembalut‟, cleavage
„perpecahan‟, mileage „jarak mil‟, shortage „kekurangan‟.
(c) Terdapat suatu kaidah umum bahwa bila dapat menambahkan afiks
infleksional pada salah satu anggota dari sebuah kelas kata, maka akan
dapat menambah afiks infleksional pada semua anggota kelas yang
lain, sedangkan afiks derivasional tidak dapat ditambahkan pada
setiap anggota kelas. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa afiks-
afiks infleksional itu bersifat produktif, sedangkan afiks derivasional
bersifat tidak produktif.
Selain itu, Nida dalam Subroto (1985:269) juga menguraikan tentang
perbedaan antara pembentukan secara derivasional dan infleksional.
(1) Pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata
tunggal (dari suatu sistem jenis kata tertentu) (misalnya, singer (nomina)
dari (to) sing (verba) termasuk jenis kata yang sama dengan boy
(nomina)), sedangkan pembentukan infleksional tidak (misalnya, verba
25
kompleks atau polimorfemis walked tidak termasuk jenis kata yang sama
dengan verba tunggal yang mana pun).
(2) Secara statistik, afiks derivasional lebih beragam (misalnya, dalam bahasa
Inggris terdapat afiks-afiks pembentuk nomina: -er, -ment, -ion, -ation, -
ness (singer, arrangement, correction, nasionalization, stableness);
sedangkan afiks infleksional dalam bahasa Inggris kurang beragam atau
tertentu: -s, -ed1, -ed2, -ing, (walks, walked, walked, walking).
(3) Afiks-afiks derivasional dapat mengubah jenis kata, sedangkan afiks-afiks
infleksional tidak.
(4) Afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang lebih terbatas
(misalnya, -er tidak dapat diramalkan selalu terdapat pada dasar verba),
sedangkan afiks infleksional mempunyai distribusi yang lebih luas.
(5) Pembentukan derivasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan
berikutnya (singer singers), sedangkan pembentukan infleksional tidak.
C. Kerangka Pikir
Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan mendeskripsikan proses
pembentukan nomina denomina ke-D-an, pe- atau per-D-an, dan D-an dari
nomina dasar dalam bahasa Indonesia serta kaitannya dengan derivasi dan
infleksi. Analisis terhadap data menggunakan metode agih sehingga dapat
menjelaskan proses pembentukan nomina denomina ke-D-an, pe- atau per-D-an,
dan D-an dari nomina dasar dalam bahasa Indonesia serta kaitannya dengan
derivasi dan infleksi tersebut. Kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan
sebagai berikut.
26
Nomina Denomina
D-an Nomina Denomina
ke-D-an
Nomina Denomina
pe- atau per-D-an
Temuan
1. Berkorelasi dengan arti
„kompleks atau
lingkungan D‟
2. Berkorelasi dengan arti
„seluk-beluk/hal-hal
yang berkaitan dengan
D‟
3. Berkorelasi dengan arti
„proses, cara, perbuatan
D/me-D/me-D-kan/me-
D-i‟
1. Berkorelasi dengan
dengan arti
„kompleks atau yang
berkaitan dengan D‟
2. Berkorelasi dengan
dengan arti „segala
sesuatu yang
berkaitan dengan D‟
1. Berkorelasi dengan arti
„tiap-tiap D‟
2. Berkorelasi dengan arti
„hasil me(N)-D‟
3. Berkorelasi dengan arti
„sesuatu yang di-D/di-
D-kan/di-D-i‟
Analisis dengan metode agih
1. Teknik substitusi
2. Teknik perluas
Derivasi Infleksi
Nomina Denomina