29
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Hakikat Novel Berbagai pendapat mengenai novel telah banyak dikemukakan oleh para ahli sastra, tetapi hingga kini belum dibakukan yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini karena novel terlalu luas cakupanya dan tidak hanya mencakup satu masalah saja, tetapi banyak hal. Berikut ini peneliti sampaikan beberapa definisi tentang novel, meskipun masih bersifat umum. Istilah novel berasal dari bahasa Italia yakni novella yang artinya cerita pendek dalam sebuah bentuk prosa (Wardani 2009: 15). Menurutnya novel adalah fiksi yang terdiri dari 50.000 kata atau lebih dan mengungapkan cerita tentang kehidupan tokoh dan nilai-nilainya. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Stanton (2012: 90) menurutnya novel memiliki bentuk yang panjang. Artinya bentuk cerita dengan alur yang cukup panjang, berisi satu buku atau lebih yang mengisahkan suatu kehidupan dan bersifat imajinatif. Selain itu, novel tidak memiliki bentuk tema yang menonjol seperti cerpen. Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Dengan begitu novel mampu menciptakan satu semesta yang lengkap terdiri dari beberapa episode rumit karena menampung dari berbagai peristiwa dan pengalaman. Sayuti (1997: 7) menyatakan bahwa sebuah novel jelas tidak dapat dibaca selesai dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel secara khusus cukup mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan waktu. Jadi salah satu efek perjalanan waktu dalam novel ialah pengembangan karakter tokoh. Secara ringkas Nurgiyantoro (2005: 11) menyebutkan bahwa novel adalah sebuah cerita yang panjang mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, rinci, detail, dan lebih melibatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian ... · KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Hakikat Novel ... yang membangun novel. Dengan

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

1. Hakikat Novel

Berbagai pendapat mengenai novel telah banyak dikemukakan oleh para

ahli sastra, tetapi hingga kini belum dibakukan yang dapat diterima oleh semua

pihak. Hal ini karena novel terlalu luas cakupanya dan tidak hanya mencakup

satu masalah saja, tetapi banyak hal. Berikut ini peneliti sampaikan beberapa

definisi tentang novel, meskipun masih bersifat umum. Istilah novel berasal

dari bahasa Italia yakni novella yang artinya cerita pendek dalam sebuah

bentuk prosa (Wardani 2009: 15). Menurutnya novel adalah fiksi yang terdiri

dari 50.000 kata atau lebih dan mengungapkan cerita tentang kehidupan tokoh

dan nilai-nilainya.

Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Stanton (2012: 90)

menurutnya novel memiliki bentuk yang panjang. Artinya bentuk cerita dengan

alur yang cukup panjang, berisi satu buku atau lebih yang mengisahkan suatu

kehidupan dan bersifat imajinatif. Selain itu, novel tidak memiliki bentuk tema

yang menonjol seperti cerpen. Novel mampu menghadirkan perkembangan

satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau

sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun

silam secara lebih mendetail. Dengan begitu novel mampu menciptakan satu

semesta yang lengkap terdiri dari beberapa episode rumit karena menampung

dari berbagai peristiwa dan pengalaman.

Sayuti (1997: 7) menyatakan bahwa sebuah novel jelas tidak dapat

dibaca selesai dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel secara

khusus cukup mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan

waktu. Jadi salah satu efek perjalanan waktu dalam novel ialah pengembangan

karakter tokoh. Secara ringkas Nurgiyantoro (2005: 11) menyebutkan bahwa

novel adalah sebuah cerita yang panjang mengemukakan sesuatu secara bebas,

menyajikan sesuatu secara lebih banyak, rinci, detail, dan lebih melibatkan

9

berbagai permasalahan yang kompleks hal itu mencakup berbagai unsur cerita

yang membangun novel. Dengan demikian, novel merupakan prosa panjang

yang menyuguhkan tokoh-tokoh, menampilkan serangkaian peristiwa, dan latar

secara tersusun. Panjang, tebal, dan halaman sebuah novel tidak bisa

ditentukan tetapi biasanya lebih panjang dari cerita pendek.

Novel merupakan karya sastra yang banyak mengandung nasihat, teladan

kehidupan, agama, bahkan juga ilmu pengetahuan. Sebuah novel dapat

memperluas pengalaman manusia karena didalamnya terdapat banyak nilai

kehidupan yang diungkapkan. Selain sebagai seni sastra, novel juga berperan

sebagai penyampai misi-misi kemanusiaan yang tidak terkesan menggurui

sebab, sangat halus dan mendalam. Pendapat lain dikemukakan oleh Ratna

(2014: 630) yang menyebutkan bahwa novel adalah proses reduksi masyarakat

dalam bentuk kreativitas imajinatif yang paling sempurna. Kesempurnaan yang

terdapat dalam novel tersebut karena adanya berbagai macam konflik yang

terjadi di masyarakat disertai dengan pemecahan masalah.

Pada umumnya novel berupa karangan yang berisi kisah realitas dan

merupakan refleksi dari kehidupan kontemporer dengan karakter dan

kepedulian akan masalah-masalah esensial dari kehidupan masyarakat

perkotaan (Putra, 2015: 12). Karangan prosa yang panjang mengandung

rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan

menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku. Untuk itu daya imajinasi

pengarang membuat sebuah cerita dalam novel sangat diperlukan untuk

membuat pembaca tertarik untuk membaca.

Dengan demikian, dapat dikatakan hakikat dari novel adalah suatu cerita

fiksi yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang yang

menggambarkan pengalaman, pemikiran, dan mengungkapkan konflik

kehidupan para tokohnya. Pengarang membuat novel sebagai tanggapan dan

menyikapi realitas kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Nilai-nilai yang

terkandung dalam novel tersebut pada akhirnya oleh pembaca dapat diambil

hikmah atau sebuah pelajaran yang bermanfaat bagi kehidupan.

10

Dengan demikian, penelitian yang akan dikaji oleh peneliti memiliki

persamaan yang telah dilakukan oleh Windha Dwi Lestari (2015) dengan judul

“Analisis Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Novel

Ngulandara Karya Margana Djajaadmaja dan Relevansinya sebagai Materi

Ajar Apresiasi Sastra Jawa di SMA. Persamaannya terdapat pada objek yang

dikaji yakni sama-sama mengkaji novel berbahasa Jawa, akan tetapi pengarang

dan judul novelnya berbeda. Perbedaan lainnya terletak pada unsur yang

membangun karya sastra tersebut, jika penelitian sebelumnya dikhususkan

pada penokohan saja, penelitian ini akan mengkaji struktur intrinsik secara

keseluruhan, selain itu perbedaan juga terletak pada nilai pendidikan, jika

penelitian sebelumnya mengkaji nilai pendidikan budi pekerti, penelitian ini

mengkaji nilai pendidikan karakter.

2. Hakikat Kajian Struktural

Strukturalisme sastra tumbuh subur di tahun 1960-an sebagai usaha untuk

menerapkan kesusastraan metode dan kemampuan memahami dari pendiri

linguistik struktural modern. Pada akhirnya, strukturalisme tidak hanya

memikirkan segala sesuatu sebagai bahasa; strukturalisme memikirkan segala

sesuatunya secara keseluruhan seakan-akan bahan subjeknya memang bahasa

(Eagleton, 2007: 139).

Secara etimologis struktur berasal dari bahasa Latin, structura yang

berarti bentuk atau bangunan. Asal muasal strukturalisme seperti sudah

dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam

kaitaannya dengan tragedi (Semi, 1990: 67). Struktur itu sendiri merupakan

elemen paling utama dan merupakan prinsip kesatuan lakuan (unity of action)

dalam karya sastra (Satoto 2012: 9). Dengan demikian, pendekatan struktural

juga sering disebut dengan pendekatan objektif karena menjelaskan kaitan

unsur-unsur dalam struktur sebuah cerita. Strukturalisme memberikan

perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya sastra. Setiap unsur karya sastra,

baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda memiliki unsur-

unsur yang tidak sama.

11

Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap,

yaitu formalisme dan strukturalisme dinamik (Ratna, 2015: 76). Meskipun

demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan

tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan

strukturalisme. Strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya

hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan

dalam strukturalis. Disatu pihak, para pelopor formalis terlibat dalam

strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka

mendirikan strukturalisme, dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan yang

terkandung dalam formalisme diperbaiki kembali ke dalam strukturalisme.

Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu

sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antar hubungan

unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, di pihak yang lain hubungan antara

unsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat

positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman tetapi, juga negatif

seperti konflik dan pertentangan.

Pada dasarnya kajian struktural bertujuan memaparkan secermat

mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara

bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Sangidu (2004: 17) menegaskan

kembali bahwa strukturalisme adalah suatu disiplin yang memandang karya

sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling

berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Teknik yang dikerjakan untuk

melaksanakan metode struktural tidak pernah dapat dirumuskan dengan pasif.

Karena itu cenderung bekerja dengan unsur tokoh, plot, alur, tema, sudut

pandang, dan amanat.

Mengutip pengertian strukturalisme yang digunakan untuk menganalisis

sebuah novel disebutkan oleh Ikaningrum (2010: 84) sebagai berikut.

in analyzing a novel there many steps as follows according to

structuralism analysis. Incentive moment is the starting point a story.

After that, play enters the rising action in a series of conflicts. They

are, to mention the major ones. The highest point in the rising action

present the climax, there is a fast falling action. Finally it is which

ended in resolution.

12

Dari kutipan jurnal di atas untuk menganalisis sebuah novel berdasarkan

analisis struktural ada beberapa langkah yang harus diperhatikan. Pertama,

mendeskripsikan cerita dari awal perkenalan konflik, setelah itu kita bisa

mengungkapkan berbagai permasalahan konflik yang menjelaskan cerita.

Setelah itu, pembaca mengalami ketegangan yang disebut dengan klimaks,

setelah ketegangan mereda, pembaca menemui adanya resolusi atau tahap

penyelesaian.

Bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif

memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri

sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar dirinya. Dengan kata lain,

bila hendak dikaji atau diteliti, yang paling utama adalah aspek yang

membangun karya tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan,

gaya bahasa, serta hubungan harmonis antar aspek yang mampu membuatnya

menjadi sebuah karya sastra. Hal-hal yang bersifat ekstrinsik seperti penulis,

pembaca, atau lingkungan sosial budaya harus dikesampingkan, karena ia tidak

punya kaitan langsung dengan struktur karya sastra tersebut.

Dengan demikian, strukturalisme merupakan salah satu pendekatan

kajian kesusastraan yang menitikberatkan pada hubungan antar unsur

pembangun karya sastra. Unsur pembangun dapat berupa alur, tokoh dan

penokohan, serta latar. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan

memaparkan secara cermat, teliti, mendetail, dan mendalam dalam hal

keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang menghasilkan

makna. Hal ini memberikan pengertian bahwa struktural mencoba memahami

makna esensi hakikat karya sastra berdasarkan unsur intrinsik yang

membangunnya.

Analisis struktural perlu dilakukan karena karya sastra merupakan dunia

dalam kata yang mempunyai kebulatan intrinsik yang hanya dapat digali dari

karya sastra itu sendiri (Utomo, 2001: 96). Kebulatan intrinsik dilakukan jika

peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya, karena karya sastra

dianggap memiliki otonomi dan bisa dipahami tanpa harus dikaitkan dengan

lingkungan pendukungnya, seperti pengarang, penerbit, dan pembaca. Dengan

13

demikian, yang menjadi kajian unsur intrinsik antara lain tema, tokoh, alur,

bahasa, dan sudut pandang.

Konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya

anggapan bahwa di dalam karya sastra merupakan struktur otonom yang dapat

dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur

pembangunnya yang saling berkaitan. Dengan demikian, ciri aliran

strukturalisme menurut Siswantoro (2010: 21) yaitu dunia ini tersusun dari

jalinan hubungan dan bukan benda-benda yang berdiri sendiri, makna setiap

unsur ditentukan oleh hubunganya dengan unsur lain, dan makna keseluruhan

unsur tidak dapat dipahami jika tidak diintegrasikan ke dalam struktur.

Sehubungan dengan beberapa pendapat tentang strukturalisme di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa strukturalisme merupakan analisis yang

didasarkan pada unsur dalam karya sastra itu atau sering disebut dengan unsur

intrinsik yang meliputi penokohan dan perwatakan, alur, latar, sudut pandang,

tema, dan amanat. Berkaitan dengan pendekatan struktural yang akan

diterapkan, maka pemahaman makna dari sebuah karya sastra menjadi tujuan

utama. Untuk memahami isi dari sebuah novel secara terperinci, harus

diketahui struktur unsur intrinsik pembangun novel. Unsur-unsur tersebut

saling terkait satu sama lain, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh.

Nurgiyantoro (2005: 12) menyebutkan bahwa unsur-unsur pembangun

sebuah novel yang terdiri dari plot, tema, penokohan, dan latar. Selain itu,

Endraswara (2003: 52) juga menyatakan bahwa suatu novel terdiri dari artefak

seperti ide, tema, plot, latar, watak, amanat, dan tokoh. Berdasarkan standar

kompetensi yang harus dikuasai anak dalam pemahaman novel yang

mengidentifikasi unsur intrinsik yang terdiri dari unsur-unsur pembangun

struktur seperti tokoh, sifat/karakter, alur, latar/setting, serta amanat.

a. Penokohan dan Perwatakan

Penokohan mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan.

Kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama, yaitu tokoh atau suatu

peran. Istilah penokohan merujuk pada pelaku cerita. Sedangkan perwatakan

menunjuk pada sifat tokoh-tokoh dalam cerita. Ratna (2014: 246)

14

mengatakan bahwa tokoh adalah pelaku suatu peristiwa. Sebaliknya dapat

dikatakan bahwa peristiwa selalu melibatkan tokoh. Tidak ada peristiwa

tanpa tokoh, demikian juga sebaliknya tidak ada tokoh tanpa menampilkan

suatu peristiwa. Dengan demikian, kehadiran tokoh dalam cerita sangat

penting.

Tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan

perwatakan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan

watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005: 165).

Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada

tokoh dan perwatakan sebab, penokohan sekaligus mencakup masalah-

masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana

penempatan serta pelukisannya dalam sebuah cerita. Sehingga, sanggup

memberikan gambaran yang jelas pada pembaca. Penokohan sekaligus

menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam

sebuah cerita.

Lebih jelas, Suharianto via Sangidu (2004:132) menyebutkan bahwa

penokohan adalah penggambaran para tokoh cerita, baik keadaan lahir

maupun batinnya yang meliputi sifat, sikap, tingkah laku, pandangan hidup,

keyakinan, adat istiadat, dan lain sebagainya. Sedangkan, yang disebut

dengan tokoh adalah para pelaku dalam cerita. Oleh karena itu, melalui

penggambaran tokoh-tokoh itulah sebuah cerita menjadi nyata dalam angan-

angan pembaca.

Lewat penokohan, kita bisa mengetahui watak diri, watak tokoh lain,

peristiwa-peristiwa yang mendahului, peristiwa-peristiwa yang sedang

terjadi, dan peristiwa-peristiwa yang akan datang. Satoto (2006: 12) juga

menjabarkan cara melukiskan watak tokoh dalam cerita menjadi dua, yakni

secara analitik (inrect, langsung) pengarang menjelaskan atau menceritakan

secara terperinci watak tokoh-tokohnya dan secara dramatik (indirect, tak

langsung) yaitu pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak

tokoh-tokohnya, tetapi menggambarkan watak tokoh-tokohnya dengan cara

gerak maupun lewat percakapan.

15

Kurniawan (2009: 73) membedakan jenis tokoh menjadi dua, yakni

tokoh utama (tokoh sentral) dan tokoh tambahan. Tokoh utama (tokoh

sentral) merupakan tokoh yang menjadi pusat perhatian cerita. Tokoh ini

merupakan tokoh yang mempunyai karakter bulat, yaitu tokoh yang

memiliki posisi dominan yang banyak terlibat dalam peristiwa cerita dan

memiliki kepribadian serta karakter yang kompleks, sedangkan tokoh

tambahan ialah tokoh yang keberadaannya hanya sebagai penambah,

pelengkap dari tokoh utama. Sehingga, karakter yang ada bersifat datar,

sederhana, dan tidak kompleks.

Selain itu, masih banyak pembagian lagi khususnya pembicaraan dari

segi perkembangannya, seperti tokoh statis dan tokoh dinamis. Pemahaman

lain membedakannya menjadi tokoh bulat dan tokoh pipih, tipologis, dan

psikologis. Sementara itu, Wardani (2009: 40) membedakan tokoh lebih

terperinci, antara lain tokoh protagonis dan antagonis, tokoh wirawan dan

antiwirawan, serta tokoh bulat dan tokoh sederhana. Adapun kutipannya

sebagai berikut.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang merupakan pengejewantahan

norma-norma dan nilai-nilai. Tokoh antagonis bagi manusia adalah

tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik, sementara itu yang

dimaksud dengan tokoh wirawan adalah tokoh yang umumnya

memiliki kegunaan pikiran dan keluhuran budi pekerti serta

bertindak mulia. Tokoh antiwirawan adalah tokoh yang

berkepribadian rendah, jahat, penghasut, dan culas. Terakhir adalah

tokoh bulat dan tokoh sederhana tokoh bulat disebut tokoh yang

memiliki watak yang kompleks, sementara itu tokoh pipih adalah

tokoh yang memiliki watak statis, sederhana, dan tidak kompleks.

Kutipan di atas menjelaskan beberapa karakter yang dimiliki oleh

tokoh ada pada sebuah cerita yang bertugas membawa cerita yang

dikehendaki pengarang dengan watak yang berbeda tiap tokohnya. Satoto

(2006:17) mengemukakan penggambaran perwatakan menjadi tiga, yaitu

berdasarkan keadaan fisik tokoh, berdasar pada keadaan psikis dan

berdasarkan keadaan sosiologis.

Dengan demikian, dapat disimpulkan pengertian penokohan ialah

penggambaran tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita. Lewat penokohan

16

kita bisa mengetahui watak diri dan watak orang lain, sedangkan yang

dimaksud dengan perwatakan ialah penjelasan mengenai karakter tokoh-

tokoh tersebut. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembaca

dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin

disampaikan pengarang kepada pembaca dalam menampilkan tokoh,

pengarang berusaha menjadikan tokoh seperti benar-benar hidup yang

mempunyai perasaan, etika, dan keterkaitan dengan lingkungannya.

b. Alur

Alur dapat disebut juga sebagai plot (Stanton, 2012: 26) yang artinya

rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa tersebut

merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai

peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada

keseluruhan cerita.

Mengenai pengertian alur, Wardani (2009: 38) menyebutkan bahwa

alur merupakan rangkaian kejadian yang dihubungkan berdasarkan sebab

akibat. Secara konvensional alur dijiwai oleh konflik antara tokoh

protagonis dan antagonis. Peristiwa-peristiwa cerita dalam alur

dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku para tokoh, dan sikap-sikap

para tokoh. Alur merupakan cerminan, atau bahkan perjalanan tingkah laku

para tokoh dalam bertindak, berfikir, berasa, dan bersikap dalam

menghadapi berbagai masalah kehidupan.

Dengan demikian, alur merupakan rangkaian peristiwa yang saling

berhubungan dan ada sebab akibatnya. Pendapat tersebut juga didukung

oleh Putra (2015: 95) yang menyebutkan alur ialah peristiwa yang

membentuk cerita, terutama karena peristiwa satu dengan yang lain

berhubungan, berurutan melalui sebab dan akibat bagaimana pembaca

mengikuti cerita. Menurut Stanton (Kurniawan 2009: 71) alur dalam novel

ada tiga, yakni awal, tengah, dan akhir. Bagian awal mengandung elemen

eksposisi dan instabilitas. Eksposisi digunakan untuk mendeskripsikan

informasi dalam cerita yang menyebabkan peristiwa lain dan instabilitas

17

yakni awal perkenalan konflik. Bagian tengah menghadirkan konflik dan

klimaks, dan bagian akhir berisi pemecahan masalah.

Alur dalam sebuah novel merupakan unsur yang penting, dikarenakan

alurlah yang membangun jalannya cerita dan akan dibawa menuju kemana

sebuah cerita. Aristoteles (Nurgiyantoro 2005: 142) mengungkapkan bahwa

untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita haruslah terdiri dari tiga

tahap, yakni tahap awal, tengah, dan akhir. Berikut tahapan alur dipaparkan

di bawah ini.

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap

perkenalan yang biasanya berisi informasi penting yang berkaitan

dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap

berikutnya. Tahap tengah cerita juga disebut tahap pertikaian,

menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai

dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat,

semakin menegangkan. Tahap akhir (end) sebuah cerita dapat juga

disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai

akibat klimaks.

Konflik merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi alur

cerita. Hal tersebut dikarenakan adanya alur memungkinkan munculnya

sebuah konflik, dari konflik yang terjadi, dapat dengan mudah memahami

alur yang terdapat pada cerita. Dengan demikian, Putra (2015: 81)

mengungkapkan dalam novel setidaknya ada lima macam konflik yang

dapat dikembangkan, yaitu.

character vs self (tokoh dalam cerita yang ragu-ragu, bertarung

melawan dirinya sendiri), character vs character (tokoh utama dan

tokoh lawan saling berhadapan), character vs society (karakter,

atau tokoh berhadapan dengan adat-istiadat atau tradisi dalam suatu

masyarakat), character vs nature (karakter berhadapan dengan

kekuatan alam), dan character vs fate (karakter berhadapan dengan

sesuatu yang tidak dapat dicegahnya atau nasibnya).

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah

kerangka jalannya cerita dari tahap permulaan hingga penyelesaian yang

disusun dengan hubungan sebab akibat. Dari alur inilah pembaca dapat

melihat dan menilai logis tidaknya sebuah cerita dalam sebuah karya sastra.

Alur memiliki bagian-bagian yang secara sederhana dapat dilihat sebagai

permulaan, perumitan, puncak, peleraian, dan akhir.

18

c. Latar

Dalam sebuah karya sastra, latar merupakan elemen pembentuk cerita

yang penting. Cerita pada sebuah novel harus terjadi pada suatu tempat dan

dalam suatu waktu seperti halnya kehidupan ini yang juga berlangsung

dalam ruang dan waktu. Kurniawan (2009: 74) juga mengungkapkan bahwa

latar adalah lingkungan dunia cerita sebagai tempat terjadinya peristiwa.

Jadi, dalam latar inilah segala peristiwa yang menyangkut hubungan antar

tokoh terjadi.

Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat (ruang), waktu, dan

suasana sebagai lokasi dan situasi di sekitar tokoh-tokoh dalam karya sastra

(Wibowo, 2013: 43). Dengan demikian, latar adalah tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-

peristiwa itu terjadi dalam latar, tempat, dan waktu. Latar memberikan

informasi mengenai situasi ruang dan tempat serta berfungsi sebagai

proyeksi keadaan batin para tokoh. Latar adalah penggambaran situasi

tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa.

Pendapat lain mengenai latar dikemukakan oleh Satoto (2012: 14)

menurutnya istilah setting sering diterjemahkan latar akan tetapi, pengertian

setting mencakup tidak hanya latar, tetapi mencakup aspek ruang dan waktu.

Dengan demikian, istilah setting lebih luas makna cakupannya dibandingkan

dengan latar yang hanya mencakup istilah waktu dan tempat saja, sedangkan

setting mencakup keadaan dan suasana. Namun demikian, pendapat tersebut

berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Waluyo (2006: 23) yang

menyebutkan bahwa setting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut

latar cerita. Setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan

waktu.

Secara sederhana Wardani (2009: 42) mengungkapkan setting dapat

dinyatakan sebagai tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam

karya sastra. Setting meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan

rumah, kesibukan sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun, lingkungan,

19

agama, moral intelektual, dan sosial para tokoh. Oleh sebab itu dengan

adanya latar dapat menghidupkan suasana dalam cerita.

Latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu latar tempat

(menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

karya) sastra. Latar waktu (menyarankan pada “kapan” terjadinya peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya sastra misalnya tahun, musim, hari,

dan jam). Latar sosial (menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan

perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan

dalam karya sastra, misalnya kebiasaan hidup, cara berfikir, dan bersikap)

(Nurgiyantoro 2002: 227).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setting/latar yaitu

pelukisan suatu keadaan yang memberikan gambaran peristiwa dalam cerita

berupa tempat, waktu, dan suasana. Latar berfungsi untuk

menginformasikan tentang situasi yang sebenarnya, meskipun latar tidak

dapat berdiri sendiri. Latar dapat menentukan tipe tokoh cerita, sebaliknya

tipe tokoh berbeda tentunya menghendaki latar yang berbeda pula. Latar

dapat membangun suasana yang diharapkan serta dapat menghasilkan

kualitas keterangan dan efek suatu cerita.

d. Sudut Pandang

Dalam menciptakan novel, pengarang menggunakan sudut pandang

atau cara pengarang berposisi dalam cerita. Kenny (Wardani, 2009: 43)

menyatakan point of view merupakan pandangan yang dipergunakan

pengarang sebagai sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai

peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah fiksi kepada pembaca.

Nurgiyantoro (2005: 248) mengungkapkan bahwa sudut pandang juga

disebut dengan point of view yang menyarankan pada cara sebuah cerita

dikisahkan. Pada hakikatnya sudut pandang merupakan teknik, strategi,

siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan

ceritanya. Sudut pandang (titik pandang, pusat pengisahan) merupakan

posisi pencerita dalam sebuah cerita (Sangidu, 2004: 142). Dengan

demikian, sudut pandang mengarahkan dari mana pengarang bercerita,

20

apakah dia bertindak sebagai orang pertama, atau sebagai pengobservasi

yang berdiri di luar tokoh-tokoh sebagai orang ketiga.

Sudut pandang atau point of view akan menjawab pertanyaan siapa

yang akan menceritakan kisah dalam cerita tersebut. Sudut pandang adalah

penempatan penulis dalam cerita (Semi, 1990: 69). Dari sudut pandang yang

telah diketahui maka seorang pembaca akan mudah dalam menyimpulkan

siapakah yang membuat atau menuliskan cerita tersebut.

Berdasarkan pendapat di atas yang berkaitan dengan sudut pandang

Putra (2015: 68) dalam penelitiannya mengemukakan sudut pandang

menjadi lima, yakni orang pertama, orang kedua, orang ketiga objektif,

orang ketiga terbatas (limited omniscient), dan orang ketiga serba tahu

(omniscient) seperti kutipan di bawaha ini.

Orang pertama, narator menjadi karakter dalam sebuah cerita.

Orang kedua, cara mengenalnya melalui tokoh dengan kata ganti

orang kedua tunggal (anda, kamu) maupun orang kedua jamak

(kalian). Orang ketiga objektif, narator adalah orang di luar cerita

yang mengisahkan hanya apa yang dia lihat dan dengar. Orang

ketiga terbatas adalah orang di luar kisah yang melihat ke dalam

pikiran salah satu karakter, namun tidak pada semua karakter.

Orang ketiga serba tahu (omniscient), narator yang serba tahu.

Narator menceritakan karakter dan dapat mengevaluasi karakter

bagi pembaca.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sudut

pandang adalah cara yang digunakan pengarang untuk mengisahkan

tokohnya dalam sebuah cerita. Dari pendapat Putra tersebut orang pertama

dapat menjelma hanya melalui perasaan dan pikiran. Orang kedua selalu

menggunakan kata ganti (Anda, kamu). Orang ketiga objektif, narator

berada di luar cerita hanya dengan mendengar dan melihat. Orang ketiga

sera tahu, narator menceritakan kejadian dan dapat mengevaluasi karakter

bagi pembaca.

21

e. Tema

Menurut Stanton (2012: 36) tema merupakan aspek cerita yang sejajar

dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu

pengalaman begitu mudah diingat. Jadi, tema menyorot dan mengacu pada

aspek-aspek kehidupan, sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang

melingkupi cerita. Sayuti (1997: 118) menambahkan bahwa tema adalah

makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Dari pendapat tersebut yang

dimaksud tema berarti gagasan utama yang mendasari sebuah cerita serta

makna keseluruhan yang mendukung cerita, dengan sendirinya ia akan

tersembunyi dibalik cerita yang mendukungnya.

Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang

bersangkutan serta menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan

situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita Tema

secara ringkas didefinisikan sebagai masalah pokok dalam suatu aktivitas

tertentu (Ratna, 2014: 257). Dalam karya sastra tema melukiskan masalah

pokok dan isi secara keseluruhan, tercermin dalam judul, dijabarkan melalui

narasi dari awal hingga akhir cerita. Jadi, tema adalah simpulan dari apa

yang sudah ditulis. Satoto (2012: 9) menyebutkan bahwa tema berupa pokok

pikiran atau dasar suatu cerita yang dipersoalkan atau dipermasalahkan serta

dicari jawabannya. Dengan demikian, di dalam sebuah tema terkandung

berbagai macam pokok permasalahan yang membuat semakin hidup dan

menarik sebuah cerita.

Endraswara (2003: 53) mengungkapkan bahwa tema adalah jiwa dari

karya sastra itu yang mengalir ke dalam setiap unsur. Dengan demikian,

tema harus dikaitkan dengan dasar pemikiran karya satra secara

menyeluruh. Tema terdapat dalam isi sebuah cerita yang berhubungan dan

saling berkaitan dengan unsur intrinsik pembangun cerita. Tema merupakan

pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau

rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun karya sastra

atau gagasan utama dari karya sastra. Tema juga sering tersembunyi dan

22

terbungkus rapat pada bentuk karya sastra. Karena itu, pembacaan berulang-

ulang akan membantu dalam menganalisis tema karya sastra.

Dalam menganalisis tema yang terdapat pada karya sastra novel

tidaklah sama. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa permasalahan yang

terjadi di masyarakat. Shipley (Nurgiyantoro, 2005: 80-82) menggolongkan

tema menjadi lima tingkatan sebagai berikut.

Pertama tema tingkat fisik, tema ini lebih ditujukan oleh aktivitas

fisik daripada tokoh cerita yang bersangkutan, kedua tema tingkat

organik (kejiwaan) tema ini menyangkut aspek kejiwaan tokoh

cerita, ketiga tema tingkat sosial, tema ini mengangkat masalah

sosial, ekonomi, politik, budaya, perjuangan, cinta kasih,

propaganda, hubungan atasan bawahan. Keempat, tema tingkat

egois (persona) tema ini mengangkat masalah martabat, egoistis,

harga diri, dan sifat batin, dan kelima tema tingkat devince

(manusia sebagai makhluk tingkat tinggi), masalah yang

hubungannya antara manusia dengan pencipta alam, masalah

religiusitas, atau masalah bersifat filosofis seperti pandangan hidup,

visi, dan keyakinan.

Dengan demikian, tema dapat berupa persoalan agama, etika, sosial

budaya, teknologi, tradisi yang berhubungan erat dengan manusia. Biasanya

pengarang merumuskan tema sebelum menulis cerita karya sastra.

Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tema

adalah sebuah dasar yang digunakan pengarang untuk membuat cerita

berupa gagasan, ide, pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra yang

hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui jalinan cerita

yang dibuatnya.

f. Amanat

Karya sastra pada umumnya mempunyai suatu pesan moral, atau

pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, itulah yang

disebut dengan amanat (Ratna 2014: 257). Dengan demikian, amanat adalah

semacam wejangan, perintah yang disampaikan kepada seseorang atau

23

kelompok tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam

hubungan ini karya sastra berfungsi sebagai amanat. Pengertian amanat atau

pesan ialah materi yang terkandung dalam tema untuk disampaikan kepada

para pembaca yang datangnya selalu dari pencipta (Satoto, 2012: 50).

Amanat terkandung dalam tema dengan demikian, jika pembaca ingin

mengetahui amanat apa yang tersirat maka harus memahami tema cerita

dengan baik. Amanat merupakan pesan apa yang hendak disampaikan

pengarang.

Amanat dalam sebuah karya sastra dapat diketahui secara tersurat

maupun tersirat. Bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin

bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung, namun adanya pesan moral

yang bersifat langsung dalam sebuah karya sebenarnya justru dapat

diketahui secara langsung. Pembaca atau penonton harus mencari sendiri

amanat yang terdapat dalam cerita itu. Namun demikian, menurut

Nurgiyantoro (2003: 336) tidak semua amanat dapat dengan mudah diterima

penikmat. Ada amanat yang tersembunyi dan ada pula amanat yang

disampaikan langsung dengan menonjolkannya dalam cerita.

Waluyo (2006: 29) menyatakan bahwa amanat merupakan pesan yang

hendak disampaikan pengarang melalui sebuah cerita yang harus dicari oleh

pembaca. Dengan demikian, pembaca harus teliti agar dapat menangkap apa

yang tersirat dibalik yang tersurat, dikarenakan amanat berhubungan dengan

makna, maka amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Jadi, setiap

pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna cerita dalam sebuah karya

sastra.

Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa amanat adalah suatu pesan dari pengarang yang terdapat

di dalam karya sastra yang ingin disampaikan kepada pembaca baik secara

tersirat maupun tersurat dari jalan cerita yang dapat memberikan tambahan

pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup yang

memberikan hiburan, kepuasan, dan kekayaan batin kita terhadap hidup.

24

Dengan demikian, penelitian yang akan dikaji oleh peneliti memiliki

beberapa persamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yenie Rahmawati (2006) dalam

skripsinya yang berjudul “Kajian Strukturalisme dan Feminisme pada Novel

Saman Karya Ayu Utami” Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dengan

hasil bahwa novel Saman memiliki unsur-unsur yang saling mendukung

dalam membangun cerita. Tema penelitian ini adalah konflik sosial budaya,

sedangkan novel yang akan dikaji oleh peneliti berjenis novel detektif.

Amanat yang disampaikan oleh tokoh utama memberikan manfaat bagi

masyarakat agar bisa bercermin dan mampu melihat fenomena kehidupan

yang lebih luas dan dewasa. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-

sama menggunakan kajian strukturalisme. Sementara itu, perbedaannya

ialah sumber data berupa novel yang diteliti.

3. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra

a. Hakikat Nilai Pendidikan

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas,

dan berguna bagi manusia. Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang

artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan

sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat, dan paling besar menurut

keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Selain itu, nilai juga dapat

diartikan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi yang dapat mewarnai dan

menjiwai tindakan seseorang (Adisusilo, 2013: 56). Jadi, nilai adalah hal

penting yang berguna bagi kemanusiaan. Dengan nilai, manusia dapat

merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah.

Definisi nilai sebagai hakikat dari suatu hal yang menyebabkan hal itu

pantas dikejar oleh manusia. Nilai-nilai dalam diri seseorang bersifat

kompleks, maka nilai-nilai itu bersifat kait-mengkait sehingga, menjadi

sistem nilai. Nilai merupakan sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai

subjek mengenai kebaikan dan keburukan dan sebagai pandangan dari

pengalaman dengan seleksi perilaku ketat. Artinya, jika nilai tersebut

25

dihayati oleh seseorang, maka akan mempengaruhi cara berpikir dan cara

bersikap orang tersebut dalam mencapai tujuan hidupnya.

Nilai dapat dikembangkan melalui pendidikan. Nilai selalu menjadi

ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan sehingga, tidak pernah

lepas dari sumber asalnya, yaitu berupa nilai ajaran agama, logika, dan

norma-norma yang berlaku di masyarakat (Widiyono, 2013: 233). Dalam

hal ini, nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra diresepsi oleh anak

dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian. Mengenai

karya sastra selain sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter, juga

merangsang imajinasi kreativitas anak berpikir kritis lewat apa yang ia rasa

akan jalan cerita di dalamnya melalui jalur pendidikan.

Membahas mengenai pendidikan Ratna (2014: 19) menyatakan

definisi pendidikan secara sederhana dan aplikatif sebagai berikut.

Pendidikan adalah proses pemeliharaan, perkembangan, dan

pertumbuhan, baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Pendidikan

berasal dari bahasa Latin, dari akar kata e, ex (keluar) dan ducere,

duct, duco (memimpin, mengadakan, membangunkan). Dalam

bahasa Indonesia pendidikan dari kata dasar “didik”, diartikan

sebagai proses perubahan pikiran dan perasaan, perilaku secara

keseluruhan, baik terhadap individu maupun kelompok. Dalam

pengertian luas pendidikan juga melibatkan lingkungan sosial,

struktur sosial, dan institusi sosial. Ratna juga menyatakan bahwa

pendidikan karakter terkandung baik dalam sastra lisan maupun

tulisan.

Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya terencana dalam

mengembangkan potensi siswa. Sehingga, mereka memiliki sistem berpikir,

nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakat dan

mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan

masa kini dan masa yang akan datang. Lebih lanjut, pendidikan merupakan

suatu proses enkulturasi yang berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi

masa lalu ke generasi mendatang.

Pendidikan menurut Wibowo (2012: 18) adalah kegiatan yang

dilakukan dengan terencana oleh orang yang memiliki ilmu dan

keterampilan kepada anak didik demi terciptanya manusia sempurna yang

berkarakter. Sebagai alternatif, pendidikan diharapkan dapat

26

mengembangkan kualitas generasi muda dalam berbabagai aspek, serta

dapat memeperkecil penyebab berbagai masalah budaya dan karakter

bangsa.

Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta

didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungan,

dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang

mungkin berfungsi dalam kehidupan masyarakat (Hamalik, 2014: 3). Hal

tersebut berarti bahwa pendidikan yang menjadi alat dalam masyarakat,

bukan hanya untuk meneruskan nilai dari satu angkatan ke angkatan

lainnya, melainkan juga untuk mengolah kembali tata nilai sehingga, lebih

sesuai dengan harkat dan martabat hidup manusia.

Poerwati dan Amri (2013: 157) dalam penelitiannya juga menyatakan

bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan dalam upaya untuk mengubah

tingkah laku objek didik ke arah positif. Pendidikan merangkum segi-segi

intelektual, afektif, dan psikomotorik manusia, juga menyentuh cipta, rasa,

dan karsa. Pendidikan juga merangsang pikiran-pikiran, perasaan, dan

kehendak manusia untuk bertindak secara bijaksana dengan

mempertimbangkan lingkungan.

Pendidikan merupakan investasi terpenting dalam kehidupan manusia,

baik secara individual maupun kelompok seperti bangsa dan negara. Satuan

pendidikan apabila dilakukan dengan baik dan jelas akan menghasilkan

berbagai manfaat, baik material maupun spiritual. Pendidikan adalah upaya

sadar dan terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi

individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang mandiri,

bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak (berkarakter)

mulia (UU No. 20 tahun 2003). Suhardan, dkk. (2014: 87) mendefinisikan

pengertian pendidikan menjadi dua yaitu, pendidikan merupakan proses

interaksi manusiawi dan pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek

didik menghadapi lingkungan. Dengan demikian, dengan adanya pendidikan

meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat.

27

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan

merupakan segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan seseorang melalui

proses perubahan pola pikir dan sikap untuk mencapai tujuan hidup yang

lebih baik. Nilai pendidikan akan membawa seseorang untuk lebih

menghayati nilai-nilai kemanusiaan dan membangun nilai tersebut pada

kepribadiaannya.

b. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra

Membahas mengenai karakter, dalam kutipannya Suyadi (2013: 5)

menyatakan sebagai berikut.

Karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang

meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan

dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, maupun dengan

lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,

perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,

hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Dari pendapat yang dikemukakan Suyadi tesebut dapat ditegaskan

bahwa karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang

yang terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan

digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap, dan

bertindak. Dengan demikian, karakter akan membentuk motivasi yang

dibentuk lewat proses yang bermartabat. Karakter yang baik mencakup

pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, serta

meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku kehidupan moral.

Ratna (2014: 73) mengungkapkan pendidikan karakter yaitu

pendidikan yang bertujuan untuk mendidik watak, akal budi, dan aspek-

aspek kejiwaan lainnya. Menurutnya pendidikan karakter lebih mudah

diterapkan pada usia dini karena pendidikan karakter dianggap dapat

membersihkan sistem saraf sehingga, sering disebut dengan istilah cuci

otak. Mengutip pendapat Krishenbaum (Setiawan, 2010: 55) menyatakan

bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan nilai yang melibatkan aspek

pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Jadi,

supaya dapat membangun pendidikan karakter tiga komponen tersebut harus

terbangun secara terkait.

28

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan, cara berfikir dan

berperilaku individu untuk hidup dan kerja sama serta membantu orang lain

untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabakan (Widiyono,

2013:234). Pendidikan karakter mengajarkan peserta didik untuk berfikir

cerdas, karena pendidikan karakter bersumber dari nilai moral universal

agama. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang

hal mana yang baik sehingga, siswa menjadi paham (kognitif) tentang benar

dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa

melakukannya (psikomotor).

Tujuan pokok pendidikan karakter adalah menumbuhkan karakter

nalar distingtif agar anak dapat mencerna bahwa kebajikan berbeda secara

diametral dengan kejahatan (Wibowo, 2013: 134). Melalui nalar distingtif,

pendidikan karakter membentuk kesadaran bahwa ada serangkaian faktor

dan sederet variabel penyebab timbulnya kebajikan maupun kejahatan.

Pendidikan karakter membentuk kesadaran di kalangan anak didik untuk

memahami bahwa kebajikan atau kejahatan tidak muncul dari ruang vakum,

tetapi akibat logis sebab dan akibat melalui proses panjang, rumit, dan

berliku.

Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya sadar dan terencana

dalam mengetahui kebenaran atau kebaikan, mencintainya dan

melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter menurut

Asmani (2011: 31) adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk

mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu dalam membentuk

watak peserta didik dengan cara memberikan keteladanan, cara berbicara

atau menyampaikan materi yang baik, toleransi, dan berbagai hal lainnya.

Dengan demikian, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai

karakter kepada warga sekolah (Prasetyo dan Rivasintha, 2011: 2).

Penanaman nilai meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan,

dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan

Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan.

29

Nilai-nilai pendidikan karakter yang bersumber dari Kemendiknas

sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan

Karakter Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan

Pengembangan Pusat Kurikulum (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010)

menyatakan ada delapan belas komponen nilai pendidikan karakter, yakni

religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis,

rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,

komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,

dan tanggung jawab.

Dalam karya sastra banyak ditemukan nilai-nilai pendidikan karakter.

Karya sastra dikatakan berguna jika dengan membaca karya sastra, pembaca

bisa menarik pelajaran berharga, yaitu nilai-nilai luhur yang terkandung di

dalamnya serta bentuk implementasi dalam kehidupan. Hal tersebut

dikemukakan oleh Sutardi (2013: 485) sebagai berikut.

This suggests that literary work is closely related to the practice

of education. To approach the values in literary texts with respect

to values of education should be used didactic approach. Didactic

approach is an approach that seeks to find and understand ideas,

evaluative responses, and attitudes’ author towards life. Ideas,

responses, and attitudes in this case would be able to manifest in

an approach to ethical, philosophical, or religious that will

contain values which can enrich the spiritual life of the readers.

Dengan demikian, pendidikan karakter dapat didefiniskan sebagai

jenis pendidikan yang bertujuan untuk memelihara perilaku dan kepribadian

anak melalui pendidikan moral dan etika. Siswa dibimbing mengaktualisasi

diri dalam dunia sastra dalam rangka membentuk karakter melalui tokoh,

tema, amanat, bahasa, dan alur. Pendidik menggunakan novel sebagai media

untuk mengungkap nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui

diskusi. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan

pendidikan karakter untuk mempengaruhi anak didiknya.

Pembentukan karakter tidak hanya didasarkan pada nilai yang

terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif dapat

dilakukan dengan kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton.

30

Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang pernah

dilakukan oleh Ani Dessy Arifianie (2015) dalam tesisnya yang berjudul

“Analisis konflik psikis tokoh utama dan nilai-nilai pendidikan karakter

dalam novel Asmarani karya Suparto Brata (kajian psikologi sastra). Dalam

penelitian tersebut ia menggunakan kajian psikologi sastra guna

menganalisis konflik psikis tokoh utama, serta nilai pendidikan karakter

yang terkandung dalam novel Asmarani karya Suparto Brata. Hal yang sama

dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah kesamaan dalam

nilai pendidikan serta pengarang dalam objek kajian novel, yakni Suparto

Brata. Hal yang membedakan adalah jenis kajian dan novel yang dikaji.

Berdasarkan penelitian Ani Dessy Arifianie tersebut dapat diketahui

bahwa terdapat banyak nilai pendidikan karakter, diantaranya gemar

membaca, rasa ingin tahu, bersahabat/komunikatif, mandiri, jujur, kerja

keras, cinta damai, menghargai prestasi, dan semangat kebangsaan.

Penelitian ini juga merupakan salah satu usaha untuk mengungkap nilai

pendidikan karakter yang didasarkan pada novel. Tujuan penelitian ini

adalah mengungkapkan struktur yang membangun novel Pethite Nyai

Blorong dan penggalian nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam

novel, dengan harapan nilai pendidikan karakter yang ada dapat

diaplikasikan pada pembelajaran sastra Jawa di sekolah.

4. Hakikat Materi Ajar

a. Pengertian Materi Ajar

Materi ajar adalah segala bentuk materi yang digunakan untuk

membantu guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar kepada peserta

didiknya (Putranti, 2015: 32). Dapat disimpulkan bahwa materi ajar

merupakan seperangkat substansi pelajaran yang disusun secara sistematis,

menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam

kegiatan pembelajaran. Dengan materi ajar yang sesuai memungkinkan

siswa dapat mempelajari suatu kompetensi secara runtut dan sistematis.

31

Majid (2007: 174) mengungkapkan materi pembelajaran yaitu, segala

bahan, informasi, alat, dan teks baik tertulis maupun tidak tertulis yang

digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar

mengajar. Artinya, dengan materi ajar yang menarik akan membuat peserta

didik antusias dalam menerima pelajaran sehingga, prestasi belajar mereka

juga akan lebih maksimal.

Materi ajar adalah suatu alat yang digunakan dalam pembelajaran untuk

mencapai tujuan instruktusional (Winkel, 1996: 261). Materi ajar ini

diharapkan dapat membangkitkan motivasi belajar para peserta didik. Hal

senada juga dikemukakan oleh Widodo (2008: 40) menurutnya materi ajar

yang baik harus dirancang dan ditulis sesuai kaidah instruksional, hal ini

diperlukan karena materi ajar akan digunakan pendidik untuk membantu

tugas mereka dalam proses belajar mengajar.

Tujuan dari penggunaan materi ajar adalah membantu guru

menyajikan materi ketika proses belajar-mengajar selain itu, untuk para

peserta didik, materi ajar dapat meningkatkan motivasi dalam belajar.

Dengan adanya motivasi tersebut timbullah ketertarikan untuk memahami

materi pelajaran dengan baik.

b. Materi Ajar Apresiasi Karya Sastra Jawa

Istilah Apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang memiliki

arti mengindahkan atau menghargai (Ismawati, 2013: 73). Selain

mengindahkan atau menghargai, apresiasi juga memiliki arti menilai.

Apresiasi sastra Jawa menjadi bagian dari muatan kurikulum dalam

mata pelajaran bahasa Jawa sebelum memasuki tahap pengapresiasian karya

sastra, seorang peserta didik harus diperkenalkan terlebih dahulu dengan

karya sastra seperti prosa, puisi, drama, dan novel.

Dewasa ini, minat siswa terhadap sastra dalam pembelajaran apresiasi

sastra Jawa khususnya novel di sekolah menurun. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pemilihan materi ajar

yang kurang sesuai. Oleh karena itu, perlu adanya kreatifitas guru untuk

memilih materi ajar yang sesuai dengan usia peserta didik.

32

Materi ajar novel digunakan dalam kegiatan pembelajaran apresiasi

sastra Jawa dikarenakan novel memiliki nilai-nilai pendidikan karakter yang

terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai materi ajar yang

membentuk karakter dan kepribadian siswa.

c. Pembelajaran Apresiasi Satra Jawa di SMK

Menurut pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan (2013: 3) kurikulum 2013 merupakan

kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang untuk mengantisipasi

kebutuhan kompetensi abad 21. Kurikulum 2013 juga digalakkan

pendidikan karakter yang berdasarkan 18 pilar nilai pendidikan karakter

yaitu, religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,

demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,

menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca,

peduli sosial, dan tanggung jawab.

Pembentukan karakter peserta didik didasarkan pada 18 pilar

pendidikan tersebut tidak diajarkan dalam mata pelajaran tersendiri, namun

terintegrasikan dalam materi pelajaran yang diajarkan. Mata pelajaran yang

dianggap mampu membawa nilai-nilai pendidikan karakter salah satunya

bahasa dan sastra.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di sekolah yang akan

dijadikan tempat penelitian oleh peneliti, diperoleh informasi bahwa sekolah

tersebut menggunakan kurikulum 2013. Berikut ini merupakan pemetaan

Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pembelajaran apresiasi sastra Jawa

novel.

33

Tabel 2.1 Pemetaan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar

Pembelajaran Apresiasi Sastra Jawa Novel

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

KI 1: Menghayati dan

mengamalkan

ajaran agama

yang dianutnya.

1.2.Menerima, mensyukuri,

menghayati, dan mengamalkan

anugerah Tuhan berupa

bahasa Jawa dan

menggunakannya melalui teks

novel lisan maupun tulisan.

KI 2:Menghayati dan

mengamalkan

perilaku jujur,

disiplin,

tanggungjawab,

peduli (gotong

royong), kerjasama,

toleran, damai,

santun, responsif dan

pro-aktif dan

menunjukkan sikap

sebagai bagian dari

solusi atas berbagai

permasalahan dalam

berinteraksi secara

efektif dengan

lingkungan sosial

dan alam serta

dalam menempatkan

diri sebagai

cerminan bangsa

dalam pergaulan

dunia.

2.2 Menunjukkan perilaku mulia,

percaya diri, tanggung jawab,

dan santun dalam

menggunakan bahasa Jawa

melalui teks novel lisan

maupun tulisan.

KI 3: Memahami, menerapkan,

menganalisis, dan

mengevaluasi

pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural,

dan metakognitif

berdasarkan rasa ingin

tahunya tentang ilmu

pengetahuan, teknologi,

seni, budaya, dan

humaniora dengan

wawasan kemanusiaan,

3.2 Menganalisis unsur-unsur

pembangun; menyimpulkan

nilai-nilai yang terkandung

di dalam; dan mengevaluasi

relevansi pitutur luhur

dengan kondisi masyarakat

saat ini petikan teks novel

secara lisan atau tulisan.

34

kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait

penyebab fenomena dan

kejadian, serta

menerapkan

pengetahuan prosedural

pada bidang kajian yang

spesifik sesuai dengan

bakat dan minatnya

untuk memecahkan

masalah

KI 4: Mengolah, menalar,

menyaji, dan mencipta

dalam ranah konkret dan

ranah abstrak terkait

dengan pengembangan

dari yang dipelajarinya di

sekolah secara mandiri

serta bertindak secara

efektif dan kreatif, dan

mampu menggunakan

metode sesuai kaidah

keilmuan.

4.2 Menginterpretasi isi dan

menceritakan kembali

petikan novel yang

dibacanya.

Dari pemetaan silabus mengenai pembelajaran karya sastra novel di

atas, dalam kurikulum 2013 pembelajaran karya sastra novel berada di kelas

XI semester ganjil mencakup empat kompetensi yaitu kompetensi spiritual,

kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi ketrampilan.

Guru harus lebih menguasai materi pembelajaran apresiasi karya sastra

novel dan mampu memotivasi siswa untuk menuangkan daya imajinasinya

sesuai dengan pengalaman yang telah dimilikinya. Pada Sekolah Menengah

Kejuruan, apresiasi sastra tidak lagi bertolak pada patokan suka atau tidak

suka, tetapi lebih diarahkan pada keterlibatan pengamatan yang peka dan

kritis terhadap lingkungannya.

Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang pernah

dilakukan oleh Dyah Ayu Meilindasari dalam penelitian skripsi (2015) yang

berjudul “Analisis Struktural Dan Nilai Pendidikan Novel Kembang Kantil

Karya Senggono serta Relevansinya Sebagai Materi Pembelajaran Bahasa

Jawa di SMA”. Persamaan tersebut terletak pada materi ajar yang bertujuan

35

untuk menganalisis unsur intrinsik yang terkandung dalam novel Jawa.

Perbedaannya terletak pada novel yang digunakan serta jenis nilai

pendidikanya. Jika peneliti yang terdahulu hanya nilai pendidikan saja,

penelitian ini akan mengkaji nilai pendidikan karakter pada anak.

B. Kerangka Berfikir

Berdasarkan kajian teori tentang strukturalisme, novel, nilai pendidikan

karakter, dan relevansinya sebagai materi ajar sastra Jawa di Sekolah

Menegah Kejuruan dapat dibuat suatu kerangka berfikir seperti gambar di

bawah ini.

Gambar 2.1. Kerangka Berfikir

Nilai

Pendidikan

Unsur Intrinsik

a. Penokohan

dan

Perwatakan

b. Alur

c. Latar

d. Sudut pandang

e. Tema

f. Amanat

Nilai-nilai

pendidikan

karakter dalam

novel Pethite

Nyai Blorong

karya Peni

Relevansi novel

Pethite Nyai Blorong

karya Peni sebagai

materi ajar apresiasi

sastra Jawa

Karya Sastra

Novel Pethite

Nyai Blorong

Karya Peni

Pendekatan

Strukturalis

me

36

Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan

cermin realitas kehidupan masyarakat. Untuk memahami dan menangkap

makna karya sastra, maka dibutuhkan suatu pendekatan. Pendekatan harus

disesuaikan dengan tujuan kita mengapresiasi karya sastra. Pendekatan

strukturalisme tepat digunakan untuk mengkaji novel. Dikarenakan terjadi

keterkaitan antara karya sastra dengan unsur-unsur pembangunnya.

Karya sastra juga sebagai media pembelajaran yang efektif bagi

pengarang menyampaikan pesan untuk menanamkan pendidikan dalam

benak pembaca. Pembelajaran sastra dalam prosesnya tentu membutuhkan

sebuah karya sastra yang bermutu. Dalam hal ini mutu karya sastra dapat

dilihat dari nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya.

Salah satu karya sastra yang dimaksud yaitu novel. Di dalam novel terdapat

beberapa unsur intrinsik yang saling berkaitan seperti penokohan, alur, latar,

sudut pandang, tema dan amanat. Semua memiliki unsur keterjalinan yang

tidak bisa dipisahkan satu dengan lain.

Dalam setiap kejadian atau peristiwa yang tertuang dalam novel

pastilah ada nilai pendidikan yang bisa diambil. Selanjutnya nilai

pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut dapat diaplikasikan dan

direlevansikan dengan pembelajaran apresiasi karya sastra Jawa di sekolah.

Karya sastra yang dibahas pada penelitian ini adalah novel PNB karya Peni.

Novel tersebut mengandung beberapa nilai pendidikan karakter yang dapat

diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya sebagai alternatif

materi ajar apresiasi karya sastra Jawa ditingkat satuan pendidikan.