27
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Penelitian Terdahulu Aspek kependudukan merupakan hal paling mendasar dalam pembangunan.Dalam nilai universal, penduduk merupakan pelaku dan sasaran pembangunan sekaligus yang menikmati hasil pembangunan.Dalam kaitan dengan peran penduduk tersebut, maka kualitas mereka perlu ditingkatkan melalui berbagai sumber daya yang melekat, dan perwujudan keluarga kecil yang berkualitas, serta upaya untuk menskenario kuantitas penduduk dan persebaran kependudukan (Lucas, 2006: 29). Kuantitas penduduk yang terlalu tinggi dan tidak diimbangi dengan kualitas yang baik dapat menyebabkan permasalahan sosial, untuk itu perlu adanya upaya atau program peningkatan kualitas penduduk dengan mengontrol jumlah penduduk yang ada (Arief, 2009). Hasil sensus (Badan Pusat Statistik) BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363 orang, terdiri atas 119.507.600 laki-laki dan 118.048.783 perempuan dengan laju tumbuh penduduk 1,49% per tahun. Dengan pertumbuhan penduduk 1,64 % dan Total Fertility Rate (TFR) 2,6. Dari segi kuantitas jumlah penduduk Indonesia cukup besar tetapi dari sisi kualitas melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kondisi Indonesia sangat memprihatinkan karena dari 117 negara, Indonesia di posisi 108. Tingginya laju

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/35219/3/jiptummpp-gdl-deanggapar-47357-3-babii.pdfAspek kependudukan ... sedangkan dalam perspektif mikro bertujuan

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Penelitian Terdahulu

Aspek kependudukan merupakan hal paling mendasar dalam

pembangunan.Dalam nilai universal, penduduk merupakan pelaku dan

sasaran pembangunan sekaligus yang menikmati hasil

pembangunan.Dalam kaitan dengan peran penduduk tersebut, maka

kualitas mereka perlu ditingkatkan melalui berbagai sumber daya yang

melekat, dan perwujudan keluarga kecil yang berkualitas, serta upaya

untuk menskenario kuantitas penduduk dan persebaran kependudukan

(Lucas, 2006: 29).

Kuantitas penduduk yang terlalu tinggi dan tidak diimbangi dengan

kualitas yang baik dapat menyebabkan permasalahan sosial, untuk itu

perlu adanya upaya atau program peningkatan kualitas penduduk dengan

mengontrol jumlah penduduk yang ada (Arief, 2009).

Hasil sensus (Badan Pusat Statistik) BPS pada bulan Agustus 2010,

jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363 orang, terdiri atas

119.507.600 laki-laki dan 118.048.783 perempuan dengan laju tumbuh

penduduk 1,49% per tahun. Dengan pertumbuhan penduduk 1,64 % dan

Total Fertility Rate (TFR) 2,6. Dari segi kuantitas jumlah penduduk

Indonesia cukup besar tetapi dari sisi kualitas melalui Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) kondisi Indonesia sangat memprihatinkan

karena dari 117 negara, Indonesia di posisi 108. Tingginya laju

9

pertumbuhan yang tidak diiringi peningkatan kualitas penduduk ini akan

berpengaruh kepada tingkat kehidupan dan kesejahteraan penduduk.

Hartanto (2013: 27) juga menambahkan bahwa tingginya jumlah

penduduk di Indonesa dengan tingkat persebaran yang tidak merata

menyebabkan banyaknya masalah kependudukan yang belum bisa teratasi

hingga saat ini.Permasalahan kependudukan di Indonesia tersebut menurut

diantaranya ketersediaan lahan perumahan yang semakin sempit,

meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya jumlah kaum urban

diperkotaan, dan berdampak pada tingginya kaum tunawisma dan angka

kriminal.

Peningkatan jumlah penduduk yang cukup pesat di Indonesia

tersebut, membuat pemerintah menyadari pentingnya penduduk yang

berkualitas sebagai modal utama dalam mempercepat pembangunan yang

pada akhirnya akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah

melakukan berbagai program pembangunan Sumber Daya Manusia, salah

satunya adalah dilaksanakannya program Keluarga Berencana (KB).

Secara makro, Keluarga Berencana (KB) berfungsi mengendalikan

kelahiran, sedangkan dalam perspektif mikro bertujuan untuk membantu

keluarga dan individu dalam mewujudkan hak-hak reproduksi,

penyelenggaraan pelayanan, pengaturan, dan dukungan untuk membentuk

keluarga dengan usia kawin ideal, mengatur jumlah, jarak dan usia ideal

melahirkan anak, serta pengaturan kehamilan dan pembinaan ketahanan

kesejahteraan keluarga (BKKBN, 2008). Menurut Sulistyowati (2011),

progam KB yang baru didalam paradigma ini misinya sangat menekan

10

pentingnya upaya menghormati hak–hak reproduksi sebagai integral

dalam meningkatkan kualitas keluarga.

Program KB yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut tidak serta

merta diikuti oleh seluruh penduduk yang ada di Indonesia.Terdapat

banyak faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi pasangan suami istri

dalam keluarga berencana. Faktor-faktor yang mendukung partisispasi

pasangan usia subur dalam KB menurut Kurnia (2008), meliputi

kurangnya pengetahuan pasangan usia subur tentang KB, social sosial

budaya, akses pelayanan KB dan kualitas pelayanan KB.

Pemakaian alat KB lebih banyak di daerah perkotaan dengan

tingkat sosial ekonomi relative tinggi. Berbagai macam kontrasepsi yang

digunakan oleh pasangan usia subur dalam tingkat yang rendah. Faktor

lain yaitu akseptor khawatir terhadap efek samping yang ditimbulkan dari

alat kontrasepsi seperti terjadinya peningkatan berat badan, Peningkatan

berat badan yang tidak terkontrol merupakan sesuatu yang ditakuti

akseptor karena struktur tubuh menjadi jelek, tidak menarik dan menjadi

faktor resiko timbulnya penyakit jantung, diabetes melitus,hipertensi.

Purwanti (2003) juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal

yang dipertimbangkan masyarakat sebelum memutuskan menggunakan

KB. Diantaranya adalah faktor ekonomi atau pendapatan rumah tangga,

pendidikan, umur, pekerjaan dan jumlah konsumsi. Faktor ekonomi atau

pendapatan menjadi salah satu yang dipertimbangkan masyarakat sebelum

menggunakan KB, dimana pendapatan dapat berupa gaji dan upah.

11

Bila dihubungkan dengan tingkat keikutsertaan pada program

keluarga berencana, maka seseorang dengan tingkat pendapatan yang

tinggi akan lebih mudah menerima dan mengikuti program KB.

Sebaliknya seseorang dengan pendapatan rendah akan sangat sulit dalam

mengikuti program KB. Hal ini dikarenakan pada program KB, akseptor

menanggung sendiri biaya yang dikenakan bila dia menggunakan salah

satu alat kontrasepsi. Sehingga semakin tinggi pendapatan maka semakin

tinggi pula kemungkinan seseorang untuk mengakses program KB.

Selain pendapatan, pendidikan juga menjadi salah satu

pertimbangan masyarakat dalam melaksanakan program KB. Semakin

tinggi pendidikan masyarakat, maka transformasi pengetahuan, teknologi

dan budaya akan mudah dan cepat diterima. Orang yang mempunyai

pendidikan tinggi akan memberikan tanggapan yang rasional

dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih rendah.

Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan

salah satu yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap terhadap

metode kontrasepsi. Menurut Green (2008) perilaku seseorang untuk

menggunakan kontrasepsi dipengaruhi oleh faktor PRECEDE yaitu

Presdiposing, Enabling, Reinforcing, dimana salah satu faktor

Presdiposing adalah pendidikan.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi pasangan suami istri

berpartisipasi terhadap program KB adalah pengetahuan dan usia atau

umur. Usia seseorang dalam berumah tangga dapat mempengaruhi

kehidupan keluarga. Usia yang sudah matang akan memberikan

12

kenyamaman dalam mengambil suatu keputusan dan mengatasi masalah.

Hal tersebut juga berdampak pada pemelihan akseptor KB, usia yang

sudah matang akan mudah untuk memilih kontrasepsi yang baik. Hasil

penelitian Suprihastuti (2002) menunjukkan bahwa dari segi usia,

pemakaian alat kontrasepsi PUS (Pasangan Usia Subur) cenderung pada

umur yang lebih tua dibandingkan umur muda. Indikasi ini memberi

petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi untuk saling

mengerti dalam kehidupan keluarga. Sedangkan menurut Kusumaningrum

(2009), pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi

dalam program KB, dimana seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi

memiliki hubungan positif terhadap partisipasi KB dan pengetahuan yang

rendah dapat membuat seseorang tidak ingin menggunakan KB.

Penelitian mengenai pelaksanaan program kependudukan di Kota

Malang khusunya di Kelurahan Lowokwaru Kecamatan Klojen adanya

beberapa alasan. Pertama, di Kota Malang terdapat keseimbangan PUS

(Pasangan Usia Subur) yang menjadi peserta KB aktif pada setiap

Kecamatan. Kota Malang memiliki 5 Kecamatan dengan sektor wilayah

yang berbeda-beda, ada yang sebagian wilayahnya berada pada sektor

perdagangan, perkantoran, dan ada pula yang sektor pertanian. Perbedaan

wilayah tersebut tentunya akan berpengaruh kepada perbedaan pekerjaan

masyarakat, dan tentunya masyarakat yang bekerja pada sektor industri

mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor

pertanian.

13

Adanya perbedaan pendapatan maka berpengaruh juga terhadap

konsumsi, tingkat konsumsi antara pendapatan tinggi dengan pendapatan

rendah tergantung pada preferensi seseorang, yaitu digunakan untuk

konsumsi atau ditabung. Apabila lebih banyak digunakan untuk konsumsi

di masa sekarang, maka tingkat konsumsi pendapatan tinggi akan lebih

besar dibanding pendapatan rendah. Perbedaan tersebut menjadi alasan

apakah benar faktor- faktor kondisi sosial ekonomi masyarakat

berpengaruh terhadap pelaksanaan program kependudukan yaitu program

KB.

Alasan kedua, adanya perbedaan penelitian terdahulu dimana

penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Purwanti (2003) lebih

memfokuskan pada tingkat kelahiran yang di dorong oleh faktor

pendapatan, umur, pendidikan, dan status pekerjaan. Sedangkan peneliti

dalam penelitian ini ingin memfokuskan penelitian pada partisipasi

pasangan usia subur program KB yang diduga dipengaruhi oleh faktor

ekonomi yaitu pendapatan, pendidikan, umur, dan pengetahuan.

Penelitian terdahulu dapat digunakan sebagai perbandingan hasil

penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian yang sedang dilakukan

oleh peneliti, berikut beberapa penelitian terdahulu yang mendukung judul

penelitian ini dalam bentuk tabel;

1. Penelitian yang dilakukan oleh Ken Sudarti, Puji Prasetyaningtyas(2011)

Judul “Peningkatan Minat Dan Keputusan Berpartisipasi Akseptor Kb”.

Mengunakan metode Kuantitatif (Regresi linier Berganda).hasil

penelitian menunjukkan bahwa Kualitas layanan program konseling dan

14

budaya lingkungan dalam program keluarga berencana mempunyai

dampak positif terhadap ketertarikan dan keputusan untuk berpartisipasi

terhadap program keluarga berencana. Kualitas layanan ditemukan

sebagai kontribusi terbesar terhadap peningkatan ketertarikan dan

partisipasi dalam program keluarga berencana.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Gita Sari dan Ahmad Hidir (2013)

“Peningkatan Sosial ekonomi Peserta Keluarga Berencana”.

Mengunakan Metode penelitian survey (Regresi linier Berganda).hasil

penelitian menunjukkan bahwa Pengaruh pelaksanaan program KB dan

partisipasi terhadap social ekonomi masyarakat peserta program KB di

Kecamatan Rengat Kabupaten Kabupaten Indragiri Hulu adalah

signifikan dan pelaksanaan KB yang baik merupakan faktor yang

dominan dibandingkan dengan partisipasi KB.

3. Menurut Suandi (2010) “Hubungan antara Karakteristik Rumah Tangga

dengan Partisipasi dalam Keluarga Berencana di Provinsi Jambi”

Menggunakan Metode crosstab analysis.hasil penelitian menunjukkan

bahwab Factor karakteristik umur, tingkat pendidikan, daerah tempat

tinggal,dan factor karakteristik indeks kesejahteraan PUS tidak

berhubungan dengan kesertaan KB.

4. Niken Septihandini Puspaningtyas, Hardi Warsono, Aufarul Marom

“Partisipasi Masyarakat dalam Program Keluarga Berencana di

Kecamatan Pedurungan” Menggunakan metode Kuantitatif (Regresi

linier Berganda) hasil penelitian menunjukkan bahwa Tingkat

pendidikan dan buta huruf pada masyarakat, jenis kelamin, dan faktor

15

eksternal yang berasal dari UPTB Kecamatan Pedurungan dan

Bapermasper dan KB Kota Semarang berpengaruh terhadap partisipasi

masyarakat terhadap program keluarga berencana di Kecamatan

Pedurungan.

B. Tinjauan Teori

1. Keluarga Berencana

a. Pengertian Keluarga Berencana (KB)

Menurut WHO (World Health Organization) adalah tindakan yang

membantu individu atau pasangan suami istri untuk mendapatkan objek-objek

tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran

yang memang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol

waktu saat saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri, dan untuk

menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hartanto, 2013).

Akses terhadap pelayanan Keluarga Berencana yang bermutu merupakan

suatu unsur penting dalam upaya pencapaian pelayanan kesehatan

Reproduksi.Secara khusus dalam hal ini termasuk hak setiap orang untuk

memperoleh informasi dan akses terhadap berbagai metode kontrasepsi yang

aman, efektif, terjangkau dan akseptabel.(Saifuddin, 2010).

Dalam konteks Indonesia, definisi family planning dapat dilihat dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan

adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui

pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan

keluarga, serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga

16

kecil, bahagia dan sejahtera. Dalam era reformasi dewasa ini program keluarga

berencana nasional menjadi perhatian dan komitmen pemerintah sehingga

program ini masih tercantum dan diamanatkan pula dalam Peraturan Presiden RI

Nomor 7 Tahun 2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) tahun 2004-2009.Di dalam Peraturan Presiden ini disebutkan bahwa

pembangunan program keluarga berencana nasional diarahkan untuk

mengendalikan pertumbuhan penduduk, serta meningkatkan pelembagaan

keluarga kecil berkualitas (BKKBN, 2005).

Badan koordinasi keluarga berencana Nasional seiring dengan perubahan

paradigma di masyarakat dalam pengelolaan keluarga berencana nasional, ingin

menyesuaikan dengan kondisi disekitar. Pembangunan di Indonesia sejak awal

reformasi, hingga era desentralisasi dan globalisasi, serta good government, akan

banyak mewarnai program keluarga berencana ke depan (Meilani, 2010).

Keluarga Berencana menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992

(tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera)

adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui

pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan

keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera

(Handayani, 2010) Sasaran utama dari pelayanan KB adalah Pasangan Usia Subur

(PUS). Pelayanan KB diberikan di berbagai unit pelayanan baik oleh pemerintah

maupun swasta dari tingkat desa hingga tingkat kota dengan kompetensi yang

sangat bervariasi. Pemberi layanan KB antara lain adalah Rumah Sakit,

Puskesmas, dokter praktek swasta, bidan praktek swasta dan bidan desa.

17

Misi BKKBN dibangun untuk mengemban tugas membangun keluarga

Indonesia sebagai keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Untuk itu, maka misi

yang diemban oleh BKKBN tidak lain adalah: “Mewujudkan Keluarga Kecil

Bahagia Sejahtera”. Dengan fokus melalui Grand Strategy yang akan dilakukan

meliputi: Pertama yaitu menggerakkan dan mamberdayakan seluruh masyarakat

dalam program keluarga berencana, Kedua yaitu menata kembali pengelolaan

program keluarga berencana, Ketiga yaitu memperkuat sumber daya manusia

(SDM) operasional program keluarga berencana, Keempat yaitu meningkatkan

ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui pelayanan keluarga berencana dan

Kelima yaitu meningkatkan pembiayaan program keluarga berencana (BKKBN,

2009).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992, Keluarga Berencana

adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui

pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kehamilan, pembinaan ketahanan

keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil

bahagia sejahtera.

Pengertian keluarga berfungsi sosial, yang dimaksud bahwa keluarga yang

kaya tidak pada tempatnya mempunyai anak yang banyak karena kemampuannya,

tetapi selalu berorientasi pada sila kelima Pancasila keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.Dengan keadilan sosial dan melalui gerakan keluarga berencana

Indonesia ingin mengurangi kemiskinan dengan berbagai usaha, sosial-politik dan

bantuan ekonomi sehingga masyarakat makin dapat menikmati arti keadilan sosial

dengan meningkatkan keluarga sejahtera (Manuaba, 1999).

18

Pencegahan kehamilan pada pasangan usia subur dilakukan melalui

kontrasepsi. Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti mencegah atau melawan,

sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang

dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Tujuan dari kontrasepsi

adalah menghindari dan mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan

antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut. Macam – macam

kontrasepsi meliputi kontrasepsi sterilisasi, kontrasepsi tehnik, kontrasepsi

mekanik dan kontrasepsi hormonal (Trisnawarman., Erlysa, 2008)

Menurut Hanafi (2004), macam – macam metode kontrasepsi meliputi :

1) Metode Sederhana

a. Tanpa alat Metode KB ini tidak menggunakan alat dan tanpa biaya, metode

ini terdiri dari KB alamiah, meliputi pantang berkala, metode kalender

(OginoKnaus), metode suhu badan basal (Termal), metode lendir serviks

(billings), metode simpto Termal.

b. Dengan alat Metode ini menggunakanalat seperti kondom pria, barier intra

vagina contoh diafragma, kap serviks (Cervicalcap), spons(sponge),

kondomwanita.

2) Metode Modern Metode KB ini sekarang sering digunakan para istri dalam

mengikuti progam KB yaitu metode kontrasepsi hormonal seperti pil oral,

suntikan (DMPA, NET-EN, Microspheres, Microcapsules), Implant dan IUD

( Intra Uterine Devices).

b. Tujuan Keluarga Berencana (KB)

Keluarga Berencana Secara umum tujuan lima tahun kedepan yang ingin

dicapai dalam rangka mewujudkan visi dan misi program KB adalah membangun

19

kembali dan melestarikan pondasi yang kokoh bagi pelaksana program KB

nasional yang kuat dimasa mendatang, sehingga visi untuk mewujudkan keluarga

berkualitas 2015 dapat tercapai. Secara filosofis tujuan program KB adalah:

1) Meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil

yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pengendalian

pertumbuhan penduduk Indonesia.

2) Terciptanya penduduk yang berkualitas, sumber daya manusia yang bermutu

dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

c. Sasaran Program Keluarga Berencana (KB)

Menurut Sulistyowati (2011) Keluarga Berencana merupakan usaha untuk

mengukur jumlah dan jarak anak yang di inginkan melalui beberapa cara atau

alternatif untuk mencegah ataupun menunda kehamilan. Progam keluarga

berencana nasional merupakan investasi jangka panjang, hasilnya tidak dapat

dilihat satu atau dua tahun, dampak keberhasilan dan kegagalan progam sangat

menentukan nilai manfaat dan nilai guna dari keberhasilan pembangunan lainnya.

Terdapat beberapa sasaran program keluarga berencana sesuai dengan

PRJMN 2004-2009 yang meliputi:

1) Menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14

persen per tahun.

2) Menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi sekitar 2,2 per perempuan.

3) Menurunnya PUS yang tidak ingin punya anak lagi dan ingin menjarangkan

kelahiran berikutnya, tetapi tidak memakai alat/cara kontrasepsi (unmet need)

menjadi 6%.

20

4) Meningkatnya pesertaKB laki-laki menjadi 4,5persen.

5) Meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi yang rasional, efektif, dan

efisien.

6) Meningkatnya rata-rata usia perkawinan pertama perempuan menjadi 21

tahun.

7) Meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak.

8) Meningkatnya jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera-1 yang

aktif dalam usaha ekonomi produktif.

9) Meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan

Program KB Nasional.

d. Manfaat Program Keluarga Berencana (KB)

1) Manfaat bagi Ibu untuk mengatur jumlah dan jarak kelahiran sehingga dapat

memperbaiki kesehatan tubuh karena mencegah kehamilan yang berulang

kali dengan jarak yang dekat. Peningkatan kesehatan mental dan sosial karena

adanya waktu yang cukup untuk mengasuh anak, beristirahat dan menikmati

waktu luang serta melakukan kegiatan lainnya.

2) Manfaat bagi anak yang dilahirkan, anak dapat tumbuh secara wajar kerena

ibu yang hamil dalam keadaan sehat. Setelah lahir, anak akan mendapatkan

perhatian, pemeliharaan dan makanan yang cukup karena kehadiran anak

tersebut memang diinginkan dan direncanakan.

3) Manfaat bagi anak-anak yang lain, dapat memberikan kesempatan kepada

anak agar perkembangan fisiknya lebih baik karena setiap anak memperoleh

makanan yang cukup dari sumber yang tersedia dalam keluarga.

Perkembangan mental dan sosialnya lebih sempurna karena pemeliharaan

21

yang lebih baik dan lebih banyak waktu yang dapat diberikan oleh ibu untuk

setiap anak. Perencanaan kesempatan pendidikan yang lebih baik karena

sumber-sumber pendapatan keluarga tidak habis hanya untuk

mempertahankan hidup semata.

4) Bagi suami program KB bermanfaat untuk memperbaiki kesehatan fisik,

mental dan sosial karena kecemasan berkurang serta memeliki lebih banyak

waktu luang untuk keluarganya.

5) Manfaat bagi program KB bagi seluruh keluarga adalah dapat meningkatkan

kesehatan fisik, mental dan sosial setiap anggota keluarga. Dimana kesehatan

anggota keluarga tergantung dari kesehatan seluruh keluarga. Dan setiap

anggota keluarga akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk

memperoleh pendidikan (Handayani, 2010).

e. Strategi Program Keluarga Berencana (KB)

Strategi program keluarga berencana (KB) terbagi menjadi dua yaitu; 1) strategi

dasar; dan 2) strategi operasional. Strategi dasar berisi antara lain,

meneguhkan kembali program di daerah dan menjamin kesinambungan

program. Sedangkan strategi operasional terdiri dari;

1) Peningkatan kapasitas sistem pelayanan Program KB Nasional

2) Peningkatan kualitas dan prioritas program

3) Penggalangan dan pemantapan komitmen

4) Dukungan regulasi dan kebijakan

5) Pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas pelayanan.

Sesuai dengan strategi program yang sudah disusun maka diharapkan output

yang bisa terjadi adalah program keluarga berencana memberikan dampak pada

22

penurunan angka kematian ibu dan anak; penanggulangan masalah kesehatan

reproduksi; peningkatan kesejahteraan keluarga; peningkatan derajat kesehatan;

peningkatan mutu dan layanan KB-KR; peningkatan sistem pengelolaan dan

kapasitas SDM; pelaksanaan tugas pimpinan dan fungsi manajemen dalam

penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan berjalan lancar.

f. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Dalam Keluarga

Berencana

1) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah seseorang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan adalah penentu yang

sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.Pengetahuan juga dapat

membentuk suatu keyakinan Pengetahuan seseorang biasanya dipengaruhi oleh

pengalaman baik informasi dari media masa, teman ataupun teaflet.Dalam

penelitian Kusumaningrum (2009), pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang

untuk ber KB dan pengetahuan yang rendah dapat membuat seseorang tidak ingin

menggunakan KB.

2) Pendidikan

Tingkat pendidikan tidak saja mempengaruhi kerelaan menggunakan KB tetapi

juga pemilihan suatu metode.Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa metode

kelender lebih banyak digunakan oleh pasangan yang lebih

berpendidikan.Dihipotesiskan bahwa pasangan suami istri yang berpendidikan

menginginkan KB yang efektif dengan efek samping yang sedikit.

3) Ekonomi

23

Ekonomi adalah kebutuhan sehari-hari yang diperlukan oleh manusia, dalam

melakukan aktifitas sehari-hari, manusia harus membutuhkan suatu alat untuk

mencapai suatu keinginan, alat itu berasal dari keadaan ekonomi seseorang

tersebut, seseorang yang mempunyai ekonomi kurang atau rendah sulit untuk

mempunyai alat untuk mencapai keingianan tersebut Dalam penelitian Triningsih

(2005), ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dan pendidikan

dengan kemandirian dalam praktek ber KB pada aseptor di desa Ngaruaru

kecamatan Banyudono.

4) Usia

Usia seseorang dalam berumah tangga dapat mempengaruhi kehidupan keluarga.

Usia yang sudah matang akan memberikan kenyamaman dalam mengambil suatu

keputusan dan mengatasi masalah. Hal tersebut juga berdampak pada pemelihan

akseptor KB, usiayang sudah matang akan mudah untuk memilih kontrasepsi

yang baik. Hasil penelitian Suprihastuti (2002) menunjukkan bahwa dari segi

usia, pemakaian alat kontrasepsi PUS cenderung pada umur yang lebih tua

dibandingkan umur muda. Indikasi ini memberi petunjuk bahwa kematangan pria

juga ikut mempengaruhi untuk saling mengerti dalam kehidupan keluarga.

2. Teori Partisipasi

Mardikanto (2003), mengatakan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan

seorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Mikkelsen

dalam Soetomo (2006), menginventarisasi adanya 6 tafsiran dan makna yang

berbeda tentang partisipasi, yaitu:

24

a. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa

ikut serta dalam pengambilan keputusan.

b. Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam

meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-

proyek pembangunan.

c. Partisipasi adalah kemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para

staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek agar

memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.

d. Partisipasi adalah proses yang aktif yang mengandung arti bahwa orang atau

kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk

melakukan hal itu.

e. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan

yang ditentukannya sendiri.

f. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,

kehidupan dan lingkungan mereka.

Mikkelsen dalam Soetomo (2006), mengembangkan asumsi teoritik sebagai

berikut :

a. Tujuan pembangunan dapat dicapai secara harmonis dan konflik antara

kelompok-kelompok masyarakat dapat diredam melalui pola demokrasi

setempat. Oleh karena itu partisipasi masyarakat adalah hal yang

memungkinkan.

b. Pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat.

c. Pemberdayaan masyarakat mutlak perlu mendapatkan partisipasinya karena

pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk program pembangunan

25

yang ditetapkan masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri mempunyai

kemampuan untuk memaksa pemerintahnya.

d. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti

adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri

dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program.

Notoatmodjo (2007), mengatakan metode partisipasi masyarakat adalah :

a. Partisipasi dengan paksaan (Enforcement participation)

Artinya memaksa masyarakat untuk berkontribusi dalam suatu program,

baik melalui perundang-undangan, peraturan-peraturan maupun dengan perintah

lisan saja. Cara ini akan lebih cepat hasilnya dan mudah. Masyarakat akan takut,

merasa dipaksa dan kaget, karena dasarnya bukan kesadaran (awareness), tetapi

ketakutan. Akibatnya lagi masyarakat tidak akan mempunyai rasa memiliki

terhadap program.

b. Partisipasi dengan persuasi dan edukasi.

Yakni suatu partisipasi yang didasari pada kesadaran. Sukar ditumbuhkan

dan akan memakan waktu yang lama. Tetapi bila tercapai hasilnya ini akan

mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara. Partisipasi ini dimulai dengan

penerangan, pendidikan, dan sebagainya, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Menurut Margono dalam Mardikanto (2003), menyatakan bahwa tumbuh

kembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat ditentukan oleh 3

(tiga) unsur pokok, yaitu :

a. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi

b. Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi

26

c. Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi

Tentang hal ini, adanya kesempatan yang diberikan, sering merupakan

faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat menentukan

kemampuannya. Sebaliknya, adanya kemauan akanmendorong seseorang untuk

meningkatkan kemampuan dan aktif memburu serta memanfaatkan setiap

kesempatan.

a. Kesempatan untuk berpartisipasi

Dalam kenyataan, banyak program pembangunan yang kurang

memperoleh partisipasi masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan

kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Informasi yang disampaikan kepada

masyarakat mengenai kapan dan dalam bentuk apa mereka dapat atau dituntut

untuk berpartisipasi juga terasa masih kurang.

b. Kemauan untuk berpartisipasi

Kemauan untuk berpartisipasi merupakan kunci utama bagi tumbuh dan

berkembangnya partisipasi masyarakat.Kesempatan dan kemampuan yang cukup

belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi

masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk (turut)

membangun. Kemauan untuk membangun ini, ditentukan oleh sikap mental yang

dimiliki masyarakat, yang menyangkut :

1) Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas diri.

2) Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki

mutu hidupnya.

c. Kemampuan untuk berpartisipasi

Yang dimaksud dengan kemampuan disini adalah :

27

1) Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan

untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun

(memperbaiki mutu hidupnya).

2) Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.

3) Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan

menggunakan sumber daya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia

secara optimal.

Adapun bentuk – bentuk partisipasi antara lain :

1. Sumbangsihnya terhadap usaha pembangunan

2. Penerimaan manfaat secara merata.

3. Pengambilan keputusan yang menyangkut pelaksanaan program

pembangunan sosial dan ekonomi.

Mengacu pada pandangan ini, partisipasi dibedakan menjadi dua hal,

authentic participation (partisipasi otentik) yang merujuk pada terpenuhinya

ketiga kriteria tersebut. Jika seluruh kriteria tersebut tidak dapat dipenuhi maka

hal ini akan disebut pseudo participation (partisipasi semu) (Rohman, 2009 ).

a) Tingkatan Partisipasi

Sherry R Arnstein dalam membuat skema tingkatan partisipasi masyarakat

dalam memutuskan kebijakan. Ada tiga tingkat utama dan delapan sub-tingkatan,

yaitu:

1. Citizen control: yaitu masyarakat mengendalikan kebijakan publik mulai dari

perumusan, implementasi hingga evaluasinya.

28

2. Delegated power: Berarti pemerintah memberikan kewenangan kepada

masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa keperluannya dalam suatu

program pembangunan.

3. Partnership: adanya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam

program pembangunan.

4. Placation: melibatkan warga untuk menjadi anggota komite dalam program

namun hak memutuskan tetap berada pada pemerintah

5. Consultation: Adanya komunikasi dua arah seperti survey sikap, pertemuan

warga, dan dengar pendapat.

6. Information: Hanya ada komunikasi satu arah dari pemerintah kepada

masyarakat seperti pengumuman, pamflet, poster, laporan tahunan.

7. Therapy : Bertujuan tidak untuk mendorong rakyat untuk berpartisipasi

melainkan untuk mendidik rakyat.

8. Manipulation : Masyarakat diarahkan agar tidak merasa dipaksa untuk

melakukan sesuatu, namun sesungguhnya diarahkan untuk berperan serta.

b) Faktor-faktor yang mempengaruhi Partisipasi

Menurut Plumer dalam (Suryawan, 2004), beberapa faktor yang

mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah:

1. Pengetahuan dan keahlian

Dasar pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi seluruh lingkungan

dari masyarakat tersebut. Hal ini membuat masyarakat memahasmi ataupun tidak

terhadap tahap-tahap dan bentuk dari partisipasi yang ada.

2. Pekerjaan masyarakat

29

Biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akan dapat lebih

meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpun waktunya untuk

berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasarpada

masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan

dengan keinginan untuk berpartisipasi.

3. Tingkat pendidikan dan buta huruf

Faktor ini sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat

untuk berpartisipasi sertauntuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan

bentuk partisipasi yang ada.

4. Jenis kelamin

Sudah sangat diketahui bahwa sebagian masyarakat masihmenganggap

faktor inilah yang dapat mempengaruhi keinginan dan kemampuan masyarakat

untuk berpartisipasi beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan akan

mempunyai persepsi dan pandangan berbeda terhadap suatu pokok permasalahan.

5. Kepercayaan terhadap budaya tertentu.

Masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, terutama dari segi

agama dan budaya akan menentukan strategi partisipasi yang digunakan serta

metodologi yang digunakan. Seringkali kepercayaan yang dianut dapat

bertentangan dengan konsep-konsep yang ada.

6. Faktor-faktor Eksternal

Faktor-faktor eksternal ini dapat dikatakan petaruh (stakeholder), yaitu

semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program

ini.Petaruh kunci adalah siapa yangmempunyai pengaruh yang sangat signifikan,

atau mempunyai posisi penting guna kesuksesan program.

30

C. Hubungan Antar Variabel

1. Hubungan Pengetahuan terhadap Partisipasi KB

Dasar pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi seluruh

lingkungan dari masyarakat tersebut. Hal ini membuat masyarakat

memahasmi ataupun tidak terhadap tahap-tahap dan bentuk dari partisipasi

yang ada.Pengetahuan juga dapat membentuk suatu keyakinan Pengetahuan

seseorang biasanya dipengaruhi oleh pengalaman baik informasi dari media

masa, teman ataupun leafet.Dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh

Suprihastuti (2002) menunjukkan bahwa dari segi usia, pemakaian alat

kontrasepsi PUS (Pasangan Usia Subur) cenderung pada umur yang lebih tua

dibandingkan umur muda. Indikasi ini memberi petunjuk bahwa kematangan

pria juga ikut mempengaruhi untuk saling mengerti dalam kehidupan

keluarga. Sedangkan menurut Kusumaningrum (2009), pengetahuan dapat

mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi dalam program KB, dimana

seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi memiliki hubungan positif

terhadap partisipasi KB dan pengetahuan yang rendah dapat membuat

seseorang tidak ingin menggunakan KB.

Sesuai dengan hasil perhitugan dan analisis data yang telah dilakukan

dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara responden yang memilikki

pengetahuan lebih tinggi daripada mereka yang memilikki pengetahuan yang

kurang, dilihat dari hasil perhitungan crosstab bahwa pengetahuan responden

sangat baik terhadap KB, ini juga dibuktikan oleh pendidikan yang

mempengaruhi pengetahuan dan dibuktikan dengan pengguna KB aktif lebih

banyak lulusan dari perguruan tinggi, dengan semakin baiknya pengetahuan

31

maka hal tersebut berdampak pada pendapatan responden yang juga lebih

tinggi, partisipasi KB lebih banyak di usia produktif dengan rentang 20-30

tahun.

2. Hubungan Pendidikan terhadap Partisipasi KB

Menurut YB Mantra yang dikutip Notoadmodjo, bahwa pendidikan

dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola

hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam

pembangunan pada umumnya, makin tinggi pendidikan seseorang makin

mudah menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2010: 16-17). Hal ini sejalan

dengan penelitian yang ditulis oleh Rahmayanti (2015) menyatakan bahwa

tingkat pendidikan berpengaruh terhadap partisipasi program keluarga

berencana.Hal tersebut dapat diartikan bahwa tingkat pendidikan seseorang

dapat membawa pola berpikir seseorang terutama pada aspirasinya terhadap

pendidikan itu sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Maiharti (tanpa tahun) menyimpulkan

bahwa rendahnya pendidikan pasangan usia subur di Kecamatan Jenu

dan Kecamatan Jatirogo sangat menentukan dalam pola pengambilan

keputusan dan penerimaan berbagai informasi tentang Keluarga Berencana

dan kontrasepsi. Pada PUS dengan tingkat pendidikan rendah,

keikutsetaannya dalam program KB hanya ditujukan untuk mengatur

kelahiran. Sementara itu pada PUS dengan tingkat pendidikan tinggi,

Keikutsertaannya dalam program KB selain untuk mengatur kelahiran

32

juga untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga karena dengan cukup

dua anak dalam satu keluarga bahkan terwujud keluarga kecil bahagia

dan sejahtera sehingga mereka lebih memikirkan tingkat efektifitas dari

metode kontrasepsi yang digunakan.

3. Hubungan Ekonomi terhadap Partisipasi KB

Penelitian yang ditulis oleh Rahmayanti (2015) menyatakan bahwa

pendapatan berpengaruh terhadap partisipasi program keluarga berencana.

penelitian yang dilakukan oleh Maiharti (tanpa tahun) menyatakan bahwa

orang pada tingkat penghasilan tinggi akan lebih mudah menerima dan

mengikuti program ini dan akan memilih metode kontrasepsi yang efektif.

Sebaliknya orang dengan penghasilan rendah akan sangat sulit ikut

dalam program KB karena pada program KB, akseptor menanggung

sendiri biaya yang dikenakan bila dia menggunakan salah satu alat

kontrasepsi. Hal ini diperkuat dengan pendapat Notoadmojo (1997) yang

mengutip pendapat dari Andeersen yang menyatakan bahwa penghasilan

memiliki pengaruh terhadap keikutsertaan seseorang dalam memanfaatkan

pelayanan kesehatan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan di atas, hal

ini dibuktikan dengan hasil analisis dalam penelitian ini bahwa terdapat

perbedaan hubungan yang signifikan dimana orang yang ikut KB memiki

pendapatan yang lebih baik dari pada orang yang tidak ikut KB. Dari hasil

tersebut dapat diketahui bahwa seseorang yang memiliki pendapatan yang

lebih tinggi akan cenderung mengikuti KB dari pada orang yang memiliki

33

pendapatan lebih rendah. Sehingga dapat ditarik kesimpulan pendapatan yang

lebih tinggi berpengaruh positif terhadap partisipasi KB.

4. Hubungan Usia terhadap Partisipasi KB

Usia seseorang dalam berumah tangga dapat mempengaruhi kehidupan

keluarga. Usia yang sudah matang akan memberikan kenyamaman dalam

mengambil suatu keputusan dan mengatasi masalah. Hal tersebut juga

berdampak pada pemelihan akseptor KB, usia yang sudah matang akan

mudah untuk memilih kontrasepsi yang baik. Hasil penelitian Suprihastuti

(2002) menunjukkan bahwa dari segi usia, pemakaian alat kontrasepsi PUS

cenderung pada umur yang lebih tua dibandingkan umur muda. Indikasi ini

memberi petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi untuk

saling mengerti dalam kehidupan keluarga.

Pada analisa yang telah dilakukan menggunakan crosstab yaitu perbandingan

antara responden yang ikut dengan yang tidak ikut KB, usia yang ikut KB

adalah PUS usia muda atau produktif dengan rentang 30-40 tahun, dari

crosstab tersebut diketahui PUS yang tidak ikut KB lebih banyak daripada

responden yang ikut KB, sebaliknya dengan rentang usia lebih muda 20-30

tahun orang yang ikut KB lebih banyak.

D. Kerangka Penelitian

Hipotesis merupakan sebuah kesimpulan sementara yang masih harus

dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan

diatas dan didukung oleh beberapa teori, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut:

34

keterangan

: pengaruh parsial

: pengaruh simultan

E. Hipotesis:

1. H1: diduga terdapat pengaruh signifikan variabel pengetahuan terhadap

partisipasi KB

2. H2: diduga terdapat pengaruh signifikan variabel pendidikan terhadap

partisipasi KB

3. H3: diduga terdapat pengaruh signifikan variabel ekonomi terhadap

partisipasi KB

4. H4: diduga terdapat pengaruh signifikan variabel usia terhadap partisipasi

KB

X1 (Pengetahuan)

X2 (Pendidikan)

Y (Partisipasi KB)

H1

H2

H3

H4

X3 (Ekonomi)

X4 (Usia)