30
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Vitiligo 2.1.1 Definisi Vitiligo Vitiligo secara umum adalah suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang ditandai dengan makula depigmentasi berbatas tegas yang terjadi akibat adanya kerusakan selektif pada melanosit (Alikhan dkk., 2011). Menurut Jain dkk vitiligo merupakan gangguan kulit hipomelanotik didapat yang umum terjadi dan ditandai dengan makula berwarna putih susu berbatas tegas dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kerusakan melanosit yang menyebabkan hilangnya produksi pigmen pada kulit dan permukaan mukosa (Jain dkk., 2011). Adanya berbagai definisi dan perbedaan dalam metode penilaian klinis vitiligo mendorong dibentuknya Vitiligo European Task Force (VETF) pada tahun 2003 yang mengajukan suatu konsensus mengenai definisi dan klasifikasi vitiligo. Vitiligo European Task Force mengklasifikasikan vitiligo menjadi dua kelompok besar yaitu vitiligo vulgaris atau vitiligo non segmental dan vitiligo segmental. Menurut VETF vitiligo vulgaris atau common generalized vitiligo atau vitiligo non-segmental didefinisikan sebagai suatu gangguan pigmentasi kronik didapat, yang ditandai dengan makula putih, seringkali simetris dan bertambah luas seiring waktu, yang terjadi akibat kehilangan yang bermakna dari fungsi melanosit epidermal dan kadang melanosit folikel rambut. Kelompok ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Vitiligo 2.1.1 Definisi Vitiligo · 2017. 4. 1. · 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Vitiligo 2.1.1 Definisi Vitiligo Vitiligo secara umum adalah suatu kelainan

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 9

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Vitiligo

    2.1.1 Definisi Vitiligo

    Vitiligo secara umum adalah suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan

    mukosa yang ditandai dengan makula depigmentasi berbatas tegas yang terjadi

    akibat adanya kerusakan selektif pada melanosit (Alikhan dkk., 2011). Menurut

    Jain dkk vitiligo merupakan gangguan kulit hipomelanotik didapat yang umum

    terjadi dan ditandai dengan makula berwarna putih susu berbatas tegas dengan

    berbagai bentuk dan ukuran. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kerusakan

    melanosit yang menyebabkan hilangnya produksi pigmen pada kulit dan

    permukaan mukosa (Jain dkk., 2011).

    Adanya berbagai definisi dan perbedaan dalam metode penilaian klinis

    vitiligo mendorong dibentuknya Vitiligo European Task Force (VETF) pada

    tahun 2003 yang mengajukan suatu konsensus mengenai definisi dan klasifikasi

    vitiligo. Vitiligo European Task Force mengklasifikasikan vitiligo menjadi dua

    kelompok besar yaitu vitiligo vulgaris atau vitiligo non segmental dan vitiligo

    segmental. Menurut VETF vitiligo vulgaris atau common generalized vitiligo atau

    vitiligo non-segmental didefinisikan sebagai suatu gangguan pigmentasi kronik

    didapat, yang ditandai dengan makula putih, seringkali simetris dan bertambah

    luas seiring waktu, yang terjadi akibat kehilangan yang bermakna dari fungsi

    melanosit epidermal dan kadang melanosit folikel rambut. Kelompok ini

  • 10

    mencakup vitiligo fokal, vitiligo mukosal, vitiligo akrofasial, vitiligo generalis,

    dan vitiligo universalis. Sedangkan, vitiligo segmental didefinisikan sama dengan

    vitiligo non-segmental di atas kecuali untuk distribusinya yang unilateral yang

    dapat sebagian atau seluruhnya mengikuti pola dermatomal (Taieb dan Picardo,

    2007). Klasifikasi dari VETF yang direvisi menambahkan kelompok vitiligo

    campuran (mixed vitiligo) yang didefinisikan sebagai kombinasi dari lesi awal

    vitiligo segmental yang kemudian berkembang dengan munculnya lesi

    depigmentasi bilateral dari vitiligo non-segmental dalam beberapa bulan hingga

    tahun kemudian (Ezzedine dkk., 2012).

    2.1.2 Epidemiologi

    Vitiligo adalah kelainan depigmentasi yang paling umum ditemukan, dapat terjadi

    pada semua umur, dan jenis kelamin (Birlea dkk., 2012; Alikhan dkk., 2011).

    Prevalensi vitiligo pada populasi diperkirakan berkisar dari 0,1%-2% dan

    menunjukkan adanya variasi yang luas diantara kelompok etnis yang berbeda.

    Prevalensi vitiligo pada populasi Kaukasia di Amerika Serikat dan Eropa Utara

    diperkirakan sebesar 0,38%, sedangkan pada populasi di Cina diperkirakan

    sebesar 0,19%. Insiden tertinggi dilaporkan dari India (1,25%-8,8%), diikuti

    Meksiko (2,6%-4%), dan Jepang (1,64%). Adanya perbedaan ini kemungkinan

    dihubungkan dengan lebih tingginya pasien vitiligo yang melapor terutama

    berkaitan dengan kontras warna kulit yang tampak dan stigma yang diterima oleh

    pasien yang mendorong untuk mencari pengobatan. Vitiligo dilaporkan lebih

    sering pada wanita dibandingkan pria yang kemungkinan menunjukkan

  • 11

    peningkatan pelaporan kasus oleh wanita akibat lebih besarnya konsekuensi sosial

    yang diterima (Alzolibani dkk., 2011). Anak dan dewasa dapat mengalami vitiligo

    secara sama rata, dimana prevalensi vitiligo pada kelompok umur anak/dewasa

    muda dengan kelompok umur dewasa tidak terdapat perbedaan (Alzolibani dkk.,

    2011; Kruger dan Schallreuter, 2012). Sebagian besar kasus vitiligo dilaporkan

    saat berkembang aktif dengan 50% pasien datang sebelum usia 20 tahun dan 70-

    80% datang sebelum usia 30 tahun. Walaupun tidak ada usia yang imun terhadap

    vitiligo, kondisi ini sangat jarang ditemukan saat lahir (Alzolibani dkk., 2011).

    Kasus vitiligo pernah dilaporkan terjadi pada usia 6 minggu setelah lahir (Nanda

    dkk., 1989). Rerata onset vitiligo didapatkan lebih awal pada pasien dengan

    riwayat keluarga yang positif, yang berkisar antara 7,7% sampai lebih dari 50%

    (Alikhan dkk., 2011).

    2.1.3 Etiologi dan Patogenesis

    Vitiligo adalah kelainan yang bersifat multifaktorial dan poligenik, dengan

    patogenesis kompleks yang belum diketahui sepenuhnya. Berbagai teori

    dihubungkan dengan patogenesis kondisi ini, dengan faktor genetik dan non-

    genetik yang berinteraksi sehingga mempengaruhi fungsi dan survival melanosit

    dan selanjutnya menyebabkan kerusakan autoimun terhadap melanosit. Berbagai

    teori tersebut mencakup antara lain gangguan pada adhesi melanosit, kerusakan

    neurogenik, kerusakan biokimia, dan autotoksisitas.

  • 12

    2.1.3.1 Peranan Genetik pada Vitiligo

    Survey epidemiologi dalam skala besar menunjukkan bahwa sebagian

    besar kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun terdapat 15-20% pasien

    yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga tingkat pertama yang juga

    mengalami vitiligo. Secara umum, pola penurunan pada vitiligo tidak mengikuti

    pola penurunan Mendelian yang menunjukkan penurunan yang bersifat poligenik

    dan multifaktorial. Kasus vitiligo pada kembar monozigot didapatkan sebesar

    23% menunjukkan bahwa baik peran genetik dan non genetik, terutama peranan

    lingkungan memainkan peranan yang sama penting dalam patogenesis vitiligo.

    Beberapa gen yang dihubungkan dengan fungsi imunitas diduga berperan dalam

    kejadian vitiligo, seperti lokus MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan

    NALP1.

    Baru-baru ini dilakukan suatu studi genetik yang luas dilakukan pada

    penderita vitiligo dari ras Eropa Kaukasia beserta keluarganya dan mendapatkan

    sedikitnya 10 lokus genetik yang berbeda yang kemungkinan berhubungan dengan

    risiko vitiligo, dimana 7 lokus ini ternyata juga dihubungkan dengan penyakit

    autoimun lainnya. Vitiligo segmental tampaknya secara genetik sedikit berbeda

    dengan vitiligo vulgaris, dengan kejadiannya yang lebih sporadik, dan distribusi

    yang unilateral, menunjukkan kemungkinan mozaikisme somatik yang muncul

    secara de novo (Birlea dkk., 2012).

    2.1.3.2 Hipotesis Autoimun

    Terdapat berbagai bukti biologis yang menunjukkan adanya peranan

    autoimun pada vitiligo. Secara epidemiologi, vitiligo dikaitkan dengan beberapa

  • 13

    penyakit autoimun baik pada pasien sendiri maupun pada keluarganya, yang

    menunjukkan adanya kemungkinan kelainan autoimun yang diturunkan. Awalnya

    sistem imunitas humoral dikaitkan dengan patogenesis vitiligo dengan

    ditemukannya antibodi antimelanosit yang menargetkan berbagai antigen

    melanosit seperti tirosinase, tyrosinase-related protein-1, dan dopachrome

    tautomerase yang dapat menyebabkan kerusakan melanosit secara in vitro dan in

    vivo. Saat ini, diduga bahwa antibodi ini adalah suatu respon humoral sekunder.

    Peranan yang lebih besar diduga dimainkan oleh infiltrat inflamasi yang

    ditemukan pada tepi lesi yang terutama terdiri atas limfosit T sitotoksik. Sel T ini

    menghasilkan profil sitokin tipe 1 dan terdapat secara bersamaan dengan

    melanosit epidermal, sehingga dihipotesiskan bahwa sel ini bersifat sitolitik aktif

    terhadap melanosit yang ada melalui granzyme/perforin pathway (Birlea dkk.,

    2012).

    2.1.3.3 Hipotesis Biokimia

    Terdapat beberapa bukti bahwa vitiligo adalah penyakit yang terjadi di

    seluruh epidermis, kemungkinan melibatkan baik melanosit dan keratinosit.

    Kelainan morfologi dan fungsional yang terjadi pada melanosit dan keratinosit

    kemungkinan memiliki peranan faktor genetik. Abnormalitas ultrastruktural dari

    keratinosit pada bagian perilesional kemungkinan berhubungan dengan gangguan

    aktivitas mitokondria yang diduga mempengaruhi produksi dari faktor

    pertumbuhan dan sitokin spesifik dari melanosit yang mengatur survival

    melanosit. Temuan biokimia yang penting adalah adanya peningkatan hidrogen

    peroksida pada lesi yang kemungkinan sebagian disebabkan oleh menurunnya

  • 14

    aktivitas antioksidan keratinosit dan melanosit. Gangguan sistem antioksidan

    menyebabkan melanosit lebih rentan baik terhadap sitotoksisitas imunologis

    maupun toksisitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS) (Birlea

    dkk., 2012).

    2.1.4 Manifestasi Klinis

    Manifestasi klinis yang khas dari vitiligo adalah adanya makula berwarna putih

    susu dengan depigmentasi yang homogen berbatas tegas, dengan tepi konveks,

    yang tersebar secara diskret. Walaupun biasanya asimptomatis, keluhan gatal pada

    lesi vitiligo pernah dilaporkan. Lokasi predileksi adalah pada area yang terpapar

    sinar dan biasanya mengalami hiperpigmentasi seperti daerah wajah,

    periorifisium, permukaan dorsal tangan dan kaki, puting susu, daerah lipatan

    seperti aksila dan inguinal, serta regio anogenital, walaupun semua area tubuh

    dapat terkena. Berbagai faktor pemicu pernah dilaporkan antara lain trauma fisik,

    paparan sinar matahari, stres psikologis, inflamasi, kehamilan, kontrasepsi,

    defisiensi vitamin, dan banyak lagi. Pada vitiligo didapatkan adanya fenomena

    Koebner dimana lesi dapat muncul pada area kulit yang mengalami trauma.

    Secara umum lesi vitiligo berkembang perlahan, baik dari pelebaran secara

    sentrifugal dari lesi yang lama atau adanya pembentukan lesi yang baru.

    Leukotrikia (depigmentasi pada rambut yang terdapat pada lesi vitiligo) dapat

    terjadi secara bervariasi antara 10-60% dan dianggap sebagai indikasi kerusakan

    reservoir melanosit di dalam folikel rambut dan dihubungkan dengan respon

    terapi yang lebih buruk. Perubahan rambut menjadi putih atau uban dilaporkan

  • 15

    terjadi pada sekitar 37% pasien dengan vitiligo, walaupun hubungan klinis dari

    kedua kondisi ini belum dapat dipastikan (Alikhan dkk., 2011; Birlea dkk., 2012).

    2.1.5 Diagnosis

    Diagnosis dari vitiligo ditegakkan umumnya berdasarkan penilaian klinis

    yang mencakup distribusi, luas lesi dan perjalanan penyakit. Vitiligo European

    Task Force telah menetapkan suatu lembaran evaluasi dan sistem penilaian yang

    dapat sebagai digunakan sebagai standar penilaian klinis vitiligo. Rangkuman data

    yang terdapat dalam formulir penilaian vitiligo oleh VETF dapat dilihat pada tabel

    berikut.

    Tabel 2.1 Rangkuman informasi yang diperlukan berdasarkan formulir penilaian

    vitiligo menurut VETF (dikutip dari Taieb dan Picardo, 2007)

    Fenotip kulit (Tipe kulit berdasarkan Fitzpatrick’s)

    Etnisitas

    Umur onset

    Durasi penyakit

    Aktivitas penyakit berdasarkan opini pasien (progresif, regresif, stabil dalam 6

    bulan terakhir)

    Episode repigmentasi sebelumnya, dan jika ada apakah spontan atau tidak

    (jabarkan detailnya)

    Depigmentasi pada skar (Fenomena Koebner)

    Stres sebagai faktor pemicu (saat onset penyakit atau memperburuk saat

    terjadinya flare)

    Apakah terdapat gatal sebelum flare?

    Penyakit tiroid, jika ada jabarkan detailnya termasuk adanya autoantibodi tiroid

    Riwayat keluarga dengan prematur hair graying

    Riwayat keluarga dengan vitiligo (jika ada, jabarkan pohon silsilah keluarga)

    Tipe dan durasi pengobatan sebelumnya (termasuk opini pasien apakah terapi

    berguna atau tidak)

    Terapi saat ini (termasuk tanggal dimulainya terapi)

    Riwayat penyakit lain dan terapinya

    Riwayat penyakit autoimun lainnya

    Riwayat penyakit autoimun dalam keluarga (jabarkan detailnya)

    Adanya nevus halo (jika ada, berapa jumlahnya)

    Vitiligo pada area genital

    Pemeriksaan Global quality of life

    Referensi berdasarkan foto klinis

  • 16

    Pemeriksaan biopsi kulit jarang diperlukan dalam menegakkan vitiligo.

    Beberapa diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan saat diagnosis vitiligo

    dapat dilihat pada tabel 2.2. Umumnya, secara histopatologi vitiligo akan

    menunjukkan kehilangan melanosit epidermis pada area yang terkena, dan kadang

    disertai infiltrat limfosit jarang pada dermis, perivaskular, dan perifolikuler

    terutama pada bagian tepi lesi awal dan lesi aktif yang kemungkinan menunjukkan

    adanya proses imunologis yang diperantarai oleh sel yang menyebabkan

    kerusakan melanosit in situ (Gawkrodger, 2008; Birlea dkk., 2012).

    Pemeriksaan laboratorium bersifat tidak spesifik untuk diagnosis vitiligo,

    tetapi beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan sebagai skrining mengingat

    banyaknya kelainan autoimun yang dapat menyertai vitiligo. Beberapa

    pemeriksaan tersebut antara lain hitung sel darah lengkap, kadar hormon tiroid,

    dan antibodi antinuklear. Klinisi juga perlu mempertimbangkan pemeriksaan

    antitiroglobulin serum dan antibodi peroksidase antitiroid terutama jika penderita

    menunjukkan tanda dan gejala ke arah penyakit tiroid (Gawkrodger, 2008; Birlea

    dkk., 2012).

    Tabel 2.2 Diagnosis Banding Vitiligo (dikutip dari Birlea dkk., 2012)

    DIAGNOSIS BANDING VITILIGO VULGARIS

    Hipomelanosis yang Diturunkan

    Piebaldisme

    Sindrom Waardenburg’s

    Tuberosklerosis

    Hipomelanosis Ito

    Penyakit Infeksi

    Tinea versikolor

    Sifilis sekunder

    Kusta (tuberkuloid/lepromatosa)

    Hipopigmentasi Pasca Inflamasi

  • 17

    Lupus eritematosus diskoid, skleroderma, liken sklerosus et atropikus, psoriasis

    Hipomelanosis Paramaligna

    Mikosis fungoides

    Melanoma kutaneus

    Reaksi autoimun terhadap melanoma

    Kelainan Idiopatik

    Hipomelanosis gutata idiopatik

    Depigmentasi Akibat Toksin

    Depigmentasi akibat obat

    DIAGNOSIS BANDING VITILIGO SEGMENTAL

    Nevus Depigmentosus

    Nevus Anemikus

    2.1.6 Penilaian Derajat Keparahan dan Aktivitas Penyakit Pada Vitiligo

    Saat ini terdapat berbagai metode untuk penilaian klinis vitiligo. Penilaian klinis

    vitiligo mencakup metode subjektif seperti penilaian langsung dengan cahaya

    tampak dan digital fotografi hingga penilaian yang objektif seperti colorimetry

    dan reflectance confocal microscopy. Beberapa peneliti mencoba membuat suatu

    sistem penilaian secara semi-kualitatif yang dapat digunakan dalam praktek klinis

    untuk membantu dalam menilai derajat keparahan serta aktivitas penyakit dan

    respon terhadap terapi pada vitiligo. Beberapa sistem penilaian tersebut antara lain

    Vitiligo European Task Force Assessment (VETFa), Potential Repigmentation

    Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity Index (VETI), Vitiligo Area Severity

    Index (VASI), dan Vitiligo Disease Activity (VIDA). Sayangnya hingga saat ini

    belum terdapat konsensus yang disepakati mengenai sistem penilaian klinis

    vitiligo ini (Kawakami dan Hashimoto, 2011; Alghamdi dkk., 2012; Benzekri,

    2013; Feily, 2014).

  • 18

    Sistem penilaian dari Vitiligo European Task Force, VETFa, terdiri dari

    luas lesi, stadium penyakit (staging), dan progresivitas penyakit (spreading). Luas

    lesi dinilai menggunakan metode rule of nine, staging dinilai berdasarkan

    pigmentasi pada kulit dan rambut dan dibagi menjadi stadium 0-3, sedangkan

    spreading digunakan untuk menilai progresivitas penyakit dan dibagi menjadi +1

    (progresif), 0 (stabil), -1 (regresif) (Taieb dan Picardo, 2007; Kawakami dan

    Hashimoto, 2011).

    Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi dkk dan merupakan metode yang

    telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan persentase dari

    depigmentasi dan repigmentasi. Skor VASI ini secara konseptual analog dengan

    skor psoriasis area severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis. Menurut

    Alghamdi dkk, skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine

    merupakan metode yang paling baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi

    dan mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam

    penelitian dan uji klinis (Alghamdi dkk., 2012). Dalam penghitungan skor VASI

    tubuh penderita dibagi menjadi 5 bagian yaitu tangan, ekstrimitas atas (tidak

    termasuk tangan), badan, ekstrimitas bawah (tidak termasuk kaki), dan kaki.

    Regio aksila dimasukkan dalam ekstrimitas atas sedangkan regio inguinal dan

    bokong dimasukan dalam ekstrimitas bawah. Satu hand unit, yang mencakup

    telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1%

    dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap regio. Derajat

    depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0%,

    10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Derajat 100% depigmentasi berarti tidak ada

  • 19

    pigmen yang tampak, pada 90% terdapat bercak pigmen yang tampak, pada 75%

    area depigmentasi melebihi area pigmentasi, pada 50% area yang mengalami

    depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama banyak, pada 25%

    area pigmentasi melebihi area depigmentasi, pada 10% hanya terdapat bercak

    depigmentasi, dan 0% tidak terdapat bercak depigmentasi. Panduan penilaian

    gambaran depigemntasi/repigmentasi dapat dilihat pada gambar 2.1. Untuk setiap

    bagian tubuh skor VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam

    hand units dan derajat depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan

    skor minimal 0 sampai dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut

    (Hamzavi dkk., 2004; Kawakami dan Hashimoto, 2011):

    .

    Gambar 2.1 Gambar panduan yang telah distandarisasi untuk memperkirakan

    derajat pigmentasi pada vitiligo (dikutip dari Hamzavi dkk., 2004).

    VASI = Ʃ (semua bagian tubuh) Hands Unit x Depigementasi

  • 20

    Skor VIDA menggunakan skala 6 poin untuk menilai stabilitas dan

    progresivitas penyakit seiring berjalannya waktu. Sistem skoring ini dapat

    digunakan untuk membantu menilai efektivitas pengobatan dalam menghentikan

    dan mengembalikan area depigmentasi. Skor ini menggunakan penilaian pasien

    sendiri mengenai bagaimana perjalanan penyakitnya melalui teknik wawancara.

    Skor VIDA yang semakin rendah menunjukkan aktivitas penyakit yang semakin

    menurun (Bhor dan Pande, 2006; Alghamdi dkk., 2012).

    Tabel 2.3. Tabel Sistem Skor Vitiligo Disease Activity (VIDA) dalam skala 6 poin

    (Dikutip dari Njoo, 1999)

    Aktivitas Penyakit Skor Vida

    Aktif dalam 6 minggu terakhir

    Aktif dalam 3 bulan terakhir

    Aktif dalam 6 bulan terakhir

    Aktif dalam 1 tahun terakhir

    Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir

    Stabil dalam minimal 1 tahun terakhir,

    dan terjadi repigmentasi spontan

    +4

    +3

    +2

    +1

    0

    -1

    Keterangan: Vitiligo aktif mencakup adanya perluasan lesi lama maupun

    munculnya lesi baru

    2.1.7 Penatalaksanaan

    Mekanisme etiopatogenesis dari vitiligo yang belum dipahami dengan pasti

    menyebabkan hambatan dalam penatalaksanaan kondisi ini. Terdapat berbagai

    modalitas terapi yang dapat digunakan namun belum terdapat konsensus yang

    digunakan secara luas untuk pedoman dalam penatalaksanaan vitiligo. Vitiligo

    European Task Force membuat suatu panduan dalam penatalaksanaan vitiligo

    non-segmental dan segmental berdasarkan rekomendasi evidance based dan

    expert-based. Rangkuman rekomendasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4.

  • 21

    Tabel 2.4 Rangkuman Pedoman Pengobatan pada Vitiligo (dikutip dari Taieb

    dkk., 2013)

    Tipe Vitiligo Tingkat Penanganan

    Vitiligo segmental

    atau vitiligo non

    segmental yang

    terbatas (< 2-3%

    BSA)

    Vitiligo non

    segmental

    Lini pertama

    Lini kedua

    Lini ketiga

    Lini pertama

    Lini kedua

    Lini ketiga

    Lini

    keempat

    Menghindari faktor pemicu, terapi lokal

    (kortikosteroid, penghambat kalsineurin).

    Terapi NB-UVB lokal, terutama dengan

    menggunakan laser atau lampu excimer

    monokromatik.

    Pertimbangkan terapi pembedahan jika

    repigmentasi tidak memuaskan.

    Menghindari faktor pemicu, stabilisasi

    dengan terapi NB-UVB sedikitnya selama 3

    bulan. Durasi optimal setidaknya dalam 9

    bulan. Kombinasi dengan terapi

    sistemik/topikal, termasuk dengan terapi

    UVB lokal jika memungkinkan.

    Steroid sistemik (terapi dengan dosis denyut

    kecil selama 3-4 bulan) atau dengan

    imunosupresi pada penyakit yang sangat

    progresif atau tidak mengalami stabilisasi

    dengna terapi NB-UVB.

    Graft pada area yang tidak berespon

    terutama pada daerah dengan dampak

    kosmetik yang besar, namun adanya

    fenomena koebner membatasi penggunaan

    graft. Kontraindikasi relatif pada area

    dorsum manus.

    Teknik depigmentasi (hidroqquinone

    monobenzyl ether atau 4-methoxyphenol

    tersendiri atau dengan kombinasi Q-

    switched ruby laser) pada lesi yang luas dan

    tidak berespon (>50%) atau pada daerah

    yang sangat terlihat (wajah/tangan) dan

    bersifat rekalsitran.

    Kortikosteroid topikal telah digunakan sejak tahun 1950an karena efek

    anti-inflamasi dan imunomodulasinya. Pilihan terapi ini banyak digunakan

    sebagai pilihan terapi pertama pada bentuk vitiligo yang terbatas bersama dengan

    inhibitor kalsineurin topikal. Kortikosteroid topikal memiliki hasil yang paling

    baik yaitu sebesar 75% repigmentasi pada daerah yang terpapar sinar matahari

  • 22

    seperti wajah dan leher, sedangkan lesi pada akral berespon buruk. Inhibitor

    kalsineurin topikal telah digunakan sejak tahun 2002 terutama pada area dimana

    kortikosteroid topikal tidak dianjurkan untuk digunakan jangka panjang.

    Efektivitas inhibitor kalsineurin topikal dikatakan baik terutama pada area kepala

    dan leher (Taieb dkk., 2013).

    Fototerapi yang saat ini menjadi pilihan pada vitiligo adalah menggunakan

    narrowband UVB (311 nm) terutama pada vitiligo aktif dengan lesi yang luas.

    Fototerapi menggunakan NB-UVB ini memiliki efek samping yang lebih rendah

    dibandingkan fotokemoterapi menggunakan psoralen dan UVA (PUVA) atau

    khellin dan UVA (KUVA) dengan efektivitas yang setara. Dalam suatu studi

    didapatkan 64% pasien dengan terapi NB-UVB mencapai lebih dari 50%

    perbaikan dibandingkan hanya 36% kelompok yang diterapi dengan PUVA untuk

    mencapai perbaikan yang setara. Saat ini dikembangkan alat targeted

    phototherapy menggunakan excimer atau lampu yang menghasilkan sinar dalam

    range UVB (puncak pada 308 nm) yang dapat menjadi pilihan pada lesi yang

    lebih terlokalisir (Majid, 2010; Taieb dkk., 2013).

    Kostikosteroid oral dikatakan dapat menghambat aktivitas penyakit namun

    tidak efektif dalam repigmentasi vitiligo yang telah stabil. Adanya efek samping

    yang dihubungkan dengan penggunaan steroid jangka panjang membatasi

    penggunaan agen ini. Studi mengenai efektivitas kortikosteroid sistemik masih

    terbatas. Penggunaan oral pulse therapy dikatakan dapat meningkatkan efektivitas

    terapeutik steroid dan mengurangi efek sampingnya. Studi oleh Radakovic-Fijan

    mendapatkan adanya hambatan terhadap aktivitas penyakit pada 88% penderita

  • 23

    vitiligo aktif dengan menggunakan dexametason minipulse oral (Radakovic-Fijan

    dkk, 2001). Imunosupresan dan agen biologis lain yang dapat digunakan adalah

    siklofosfamid, siklosporin, dan anti-TNFα (Majid, 2010; Taieb dkk., 2013).

    Adanya stres oksidatif di tingkat seluler selama progresivitas vitiligo

    menjadi dasar rasionalitas penggunaan antioksidan baik topikal maupun sistemik.

    Beberapa jenis antioksidan yang banyak digunakan pada vitiligo antara lain

    pseudokatalase, vitamin E, vitamin C, ubikuinon, asam lipoat, kombinasi

    katalase/superoxide dismutase dan ginkgo biloba. Terapi ini digunakan secara

    tunggal namun lebih banyak digunakan dengan kombinasi bersama fototerapi

    dengan tujuan untuk menghambat stres oksidatif yang dapat diinduksi oleh

    fototerapi itu sendiri sehingga dapat meningkatkan efektivitasnya. Uji terbuka

    menunjukkan antioksidan dapat menghambat progresi penyakit dan memicu

    repigmentasi. Namun dari beberapa studi yang dilakukan jumlah subjek terbatas

    dan parameter hasil yang diukur belum konsisten sehingga belum dapat dilakukan

    perbandingan. Konfirmasi dengan penelitian lebih lanjut masih diperlukan

    sebelum merekomendasikan terapi antioksidan pada vitiligo (Taieb dkk., 2013).

    Lebih spesifik mengenai pengobatan dengan menggunakan preparat SOD,

    terdapat beberapa studi yang menilai efektivitasnya sebagai terapi vitiligo.

    Kastovic dkk melakukan uji klinis dengan preparat SOD topikal yang

    dikombinasikan dengan pesudocatalase dan terapi UVB dan mendapatkan bahwa

    kombinasi ini dapat menjadi pilihan karena menyebabkan repigmentasi pada lebih

    dari 75% subjek penelitiannya (Kastovic dkk., 2007). Doghim dkk

    membandingkan terapi topikal kombinasi SOD, katalase, dan UVB dengan

  • 24

    kombinasi kalsipotriol, betametason, dan UVB mendapatkan bahwa terapi

    menggunakan kombinasi SOD dan katalase tampaknya tidak memberi efek

    tambahan yang signifikan (Doghim dkk., 2011). Sedangkan Naini dkk melakukan

    studi pilot randomized, double-blind, placebo-controlled dengan preparat SOD

    topikal dan mendapatkan belum ada perubahan yang signifikan pada area lesi dan

    repigmentasi perifolikular setelah diamati selama 6 bulan (Naini dkk., 2012).

    Pembedahan dapat menjadi pilihan terutama pada kondisi vitiligo yang

    stabil dan terlokalisir. Pembedahan dilakukan dengan transplantasi melanosit pada

    lesi vitiligo dengan kulit normal yang berasal dari donor autolog. Beberapa

    metode pembedahan dapat dilakukan secara lokal dengan perawatan rawat jalan,

    namun transplantasi pada area yang luas memerlukan anestesia general. Resiko

    adanya kekambuhan setelah pembedahan juga harus menjadi pertimbangan dan

    dijelaskan kepada pasien sebelum dilakukan tindakan (Majid, 2010; Taieb dkk.,

    2013).

    2.1.8 Perjalanan Penyakit dan Prognosis

    Perjalanan penyakit dari vitiligo seringkali tidak dapat diprediksi, tetapi sebagian

    besar kondisi bersifat progresif lambat dan sulit untuk dikontrol dengan terapi.

    Beberapa lesi berkembang seiring waktu, tetapi lesi lainnya dapat menetap dalam

    kondisi stabil dalam jangka waktu yang lama. Beberapa parameter seperti durasi

    penyakit yang lama, adanya fenomena koebner, adanya leukotrikia, dan

    keterlibatan mukosa dikatakan dapat menjadi faktor prognostik buruk pada

    penderita (Birlea dkk., 2012).

  • 25

    2.2 Stres Oksidatif

    Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara oksidan

    dan antioksidan akibat pembentukan radikal bebas yang berlebihan atau akibat

    berkurangnya sistem pertahanan antioksidan. Radikal bebas sendiri adalah atom

    atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya.

    Keadaan ini menyebabkan atom atau molekul tersebut sangat reaktif mencari

    pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di

    sekitarnya (Morris dan Trenam, 1995; Winarsi, 2007). Oksidan sendiri

    didefinisikan sebagai reaktan yang menghilangkan elektron dalam suatu reaksi

    oksidasi, sedangkan reactive oxygen species (ROS) mencakup semua molekul

    yang mengandung oksigen yang bersifat reaktif dan merupakan produksi normal

    dari proses metabolisme pada semua organisme aerob yang bersifat sebagai

    oksidan (Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012).

    Pada kondisi badan yang sehat, oksidan yang terbentuk dengan sistem

    pertahanan antioksidan berada dalam titik keseimbangan. Dalam kondisi fisiologis

    ini, sistem pertahanan antioksidan melindungi sel dan jaringan melawan ROS.

    Adanya ketidakseimbangan antara sistem pertahanan antioksidan dengan ROS

    yang terbentuk akan dapat menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap organel

    penyusun sel seperti lipid, protein, dan DNA (Allesio, 2006; Atukeren, 2013).

    Mekanisme terjadinya stres oksidatif untuk dapat menyebabkan kondisi patologis

    dapat dilihat pada gambar di bawah (Krishnamurty dan Wadhani, 2012).

  • 26

    Gambar 2.2 Mekanisme Stres Oksidatif dapat menyebabkan Kerusakan Patologi

    (Dikutip dari Krishnamurty dan Wadhani, 2012)

    Kerusakan pada molekul biologi seperti lipid, protein, dan DNA akibat

    radikal bebas akan menghasilkan produk oksidan yang oleh klinisi dapat

    digunakan sebagai penanda terjadinya stres oksidatif. Membran sel merupakan

    salah satu lokasi yang paling rentan terhadap kerusakan akibat ROS. Radikal

    bebas dapat bereaksi dengan asam lemak membran sel dan membentuk peroksida

    lipid. Akumulasi peroksida lipid ini dapat menghasilkan agen karsinogenesis

    seperti malondialdehid. Kerusakan membran melalui peroksidasi lipid dapat

    mengganggu fluiditas dan elastisitas membran secara permanen dan dapat

    menyebabkan lisisnya sel (Briganti dan Picardo, 2002; Khansari, 2009).

    Selain membran sel, protein merupakan target utama lainnya dari radikal

    bebas. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi oksidasi

  • 27

    dengan protein asam amino dan terjadinya cross-linking. Reaksi radikal bebas

    dengan protein dapat mengganggu fungsi protein seluler dan ekstraseluler seperti

    enzim dan protein jaringan ikat secara permanen (Atukeren, 2013). Komponen

    DNA dari sel juga sangat rentan terhadap serangan radikal bebas. Kerusakan

    DNA ini dapat berefek letal pada organisme (Fang, 2002; Khansari 2009).

    2.2.1 Reactive Oxygen Species (ROS)

    Pada kondisi fisiologis yang normal, hampir 2 persen oksigen yang

    dikonsumsi oleh tubuh diubah menjadi oksigen melalui respirasi mitokondria,

    fagositosis dan lain-lain. Persentase ROS meningkat selama infeksi, latihan,

    paparan polutan, sinar ultraviolet, dan radiasi terionisasi (Fuchs, 2001; Fang,

    2002).

    Secara umum dikenal tiga tipe ROS yaitu superoksida (O2•-), hidrogen

    peroksida (H2O2), dan hidroksil (OH•). Radikal superoksida terbentuk bila terjadi

    kehilangan elektron saat proses rantai transpor elektron. Ion hidroksil bersifat

    sangat reaktif yang bereaksi dengan purin dan pirimidin sehingga menyebabkan

    lepasnya rantai DNA dan berakhir dengan kerusakan DNA (Yoshikawa dan Naito,

    2002; Atukeren, 2013).

    Reactive oxygen species bersifat tidak stabil dan sulit diukur secara

    langsung, namun ROS cenderung membentuk peroksidasi lipid yang dapat

    digunakan secara tidak langsung untuk mendeteksi keberadaannya dan dikenal

    sebagai biomarker. Kedua oksidan ini dapat menyebabkan kerusakan pada

    membran sel, protein, dan DNA. Biomarker kerusakan pada membran sel dapat

  • 28

    diketahui melalui pengukuran malondialdehid (MDA) dan F2-isofrostan.

    Biomarker kerusakan inti sel dapat diketahui melalui pengukuran protein karbonil,

    sedangkan biomarker kerusakan pada tingkat DNA dapat diketahui melalui

    pengukuran kadar 8-hydroxy-deoxyguanosine (OHdG) (Alessio, 2006; Valko

    dkk., 2007).

    Reactive oxygen species juga dapat terbentuk saat aktivitas fisik yang

    berat, kondisi yang meningkatkan metabolisme seluler misalnya inflamasi kronis,

    adanya paparan bahan alergen, serta penggunaan obat-obatan dan bahan toksik

    seperti asap rokok, polutan, dan pestisida (Devasagayam, 2004; Winarsi, 2007).

    2.3 Antioksidan

    Antioksidan adalah suatu substan dengan konsentrasi yang rendah yang

    dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron sehingga efektif melindungi sel

    tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh oksidan. Adanya paparan radikal

    bebas dari berbagai sumber menyebabkan terjadinya serangkaian mekanisme

    pertahanan antara lain mekanisme pencegahan, mekanisme perbaikan, pertahan

    fisik dan pertahanan antioksidan. Pada kondisi normal, antioksidan berperan

    dalam mengubah ROS menjadi H2O untuk menghindari penumpukan ROS yang

    berlebihan. Di dalam tubuh manusia terdapat dua jenis antioksidan yaitu

    antioksidan enzimatik dan antioksidan non-enzimatik (Winarsi, 2007; Amit dan

    Priyadarsini, 2011).

  • 29

    Tabel 2.5 Antioksidan Enzimatis dan Non-enzimatis (Atukeren dan

    Yigitoglu, 2013). Antioksidan Enzimatik Antioksidan Non Enzimatik

    Superoxide dismutase (SOD)

    Katalase

    Glutathione peroxidase (GPx)

    Glutathione reductase (GR)

    Glutathione-s-transferase (GST)

    Vitamin E

    Vitamin C

    Vitamin A

    Alpha-Lipoic Acid

    Flavonoid

    Uric acid

    Bilirubin

    Albumin

    Glutathione

    Ubiquinone

    Selenium

    Haptoglobin

    Seruloplasmin

    Transferin

    Laktoferin

    Antioksidan enzimatik merupakan antioksidan yang dapat menetralkan

    kelebihan ROS dan mencegah kerusakan struktur sel dengan mereduksi hidrogen

    peroksida menjadi air dan alkohol. Anion superoksida dihasilkan melalui reduksi

    senyawa-senyawa yang memiliki elektron tunggal terutama dari molekul oksigen

    dan selanjutnya akan menginisiasi pembentukan reaksi rantai radikal bebas.

    Superoxide dismutase berperan dalam sistem antioksidan enzimatik dengan cara

    mengubah anion superoksida menjadi hidrogen peroksida yang merupakan reaksi

    awal sistem pertahan antioksidan (Briganti dan Picardo, 2002).

    Antioksidan non enzimatik merupakan suatu molekul dengan berat jenis

    yang rendah dan bertindak sebagai pertahanan lini kedua dalam melawan radikal

    bebas. Antioksidan non enzimatik meliputi vitamin C, vitamin E, selenium, seng,

    taurin, hipotaurin, glutation, beta karoten, dan karoten. Antioksidan non enzimatik

    ini berperan dalam melawan efek toksik radikal bebas (Fang, 2001; Briganti dan

    Picardo, 2002).

  • 30

    Gambar 2.3 Mekanisme pertahanan antioksidan enzimatik dan non enzimatik

    (dikutip dari Atukeren dan Yigitoglu, 2013)

    Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stres oksidatif antara

    lain umur, merokok, aktivitas olahraga, kehamilan, konsumsi antioksidan atau

    suplemen, serta menderita penyakit kronis. Peningkatan umur sejalan dengan

    peningkatan stres oksidatif melalui pembentukan ROS pada mitokondria (Alessio,

    2006). Usia juga mempengaruhi aktivitas oksidatif dan stimulasi fagosit, dimana

    dari penelitian didapatkan bahwa aktivitas oksidatif seluler awalnya akan

    meningkat seiring usia kemudian akan menurun pada usia di atas 70 tahun.

    Adanya perubahan dalam eritrosit CuZn-SOD juga mengikuti pola yang sama

    (Alexandrova dan Bochev, 2010).

    Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa obat-obatan yang tergolong

    dalam anti inflamasi non steroid seperti aspirin, ibuprofen, dan celecoxib memiliki

    aktivitas sebagai antioksidan ataupun pro-oksidan pada konsentrasi yang berbeda.

    Seperti misalnya pada aspirin, setelah pemberian secara oral, aspirin akan

  • 31

    dikonversi menjadi asam salisilat yang dapat menurunkan stres oksidatif dan

    bersifat pro-inflamasi seiring dengan meningkatnya aktivitas glutation peroksidase

    (Alessio, 2006).

    Merokok dapat mempengaruhi atau meningkatkan stres oksidatif dengan

    meningkatkan kadar oksidan. Tingkat peroksidasi lipid pada perokok didapatkan

    lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan perokok. Perokok mengalami

    oksidasi dari inhalasi sejumlah besar asap tembakau yang mengandung

    hidrokarbon polisiklik aromatis dan radikal bebas lainnya yang dapat

    menyebabkan peningkatan kerusakan oksidatif. Sebuah penelitian di Denmark

    tahun 2004 menyatakan bahwa kelompok perokok yang mengkonsumsi rokok

    setidaknya 5 batang/hari memiliki kadar SOD yang lebih rendah daripada bukan

    perokok (Lykksfeldt dkk., 2004).

    Pada kondisi kehamilan yang normal ditemukan adanya peningkatan stres

    oksidatif, peroksidasi lipid pada sirkulasi darah maternal dan jaringan plasenta,

    serta peningkatan kadar antioksidan (Madazli dkk, 2002). Pada penelitian oleh

    Adiga tahun 2009 didapatkan adanya penurunan kadar total antioksidan serum

    pada wanita hamil dibandingkan dengan wanita tidak hamil (Adiga, 2009).

    2.3.1 Superoxide Dismutase

    Superoxide dismutase adalah enzim antioksidan yang secara alami terdapat

    pada semua organisme aerob termasuk pada mamalia dan tanaman, serta pada

    beberapa organisme anaerob. Superoxide dismutase tersedia dalam beberapa

    isoform yang berbeda tetapi memiliki bentuk yang sama. Perbedaan antar isoform

  • 32

    ini terdapat pada struktur protein, kofaktor logam yang diperlukan, serta lokasi

    kompartementalisasi dalam selnya yang berbeda. Terdapat tiga isoform enzim

    yang diproduksi oleh mamalia, yaitu SOD1 yang dikodekan dengan CuZn-SOD

    karena mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor logam dan memiliki sifat

    sitosolik, SOD2 yang dikodekan dengan Mn-SOD karena mengandung logam Mn

    dan merupakan isoform mitokondria, dan SOD3 yang dikodekan dengan ECSOD,

    yang memiliki struktur serupa dengan CuZn-SOD dan juga mengandung kofaktor

    logam Cu dan Zn tetapi merupakan bentuk ekstraseluler (Briganti dan Picardo,

    2002).

    Superoxide dismutase merupakan salah satu mekanisme pembelaan

    antioksidan lini pertama dalam tubuh manusia yang dikenal sebagai antioksidan

    primer. Sebagai suatu enzim, menunjukkan laju reaksi katalitik yang sangat tinggi

    dan memperbaharui dirinya sendiri secara konstan. Sifat-sifat antioksidan ini

    sangat berbeda dengan antioksidan sekunder seperti vitamin C, vitamin E,

    glutation, karotenoid, polifenol, mineral, dan lain sebagainya yang sangat cepat

    mengalami kelelahan dan tidak memiliki kemungkinan untuk memperbaharui diri

    (Le Quere, 2014).

    Superoxide dismutase bekerja dengan mengubah anion superoksida O2•-

    yang sangat reaktif menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Dengan mengubah O2•- ,

    SOD menghambat pelepasan ion besi bebas dan pembentukan ROS yang

    berbahaya seperti OH•. Pada saat yang bersamaan, SOD juga melindungi

    signalisasi vaskular dari NO• dengan melakukan hambatan ikatan ion ini dengan

    O2•- dan menghambat pembentukan peroksinitrat ONOO

    -, yang merupakan

  • 33

    reactive nitrogen species yang berbahaya. Hidrogen peroksida sendiri masih

    merupakan radikal bebas yang bersifat toksik terhadap sel, termasuk melanosit.

    Hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh aktivitas SOD selanjutnya akan diubah

    oleh antioksidan enzimatik katalase menjadi metabolit yang tidak berbahaya yaitu

    air dan oksigen (Le Quere, 2014).

    2.4 Peranan Superoxide Dismutase pada Vitiligo

    Peranan SOD pada vitiligo tidak lepas dari hipotesis biokimia yang

    menyebutkan adanya stres oksidatif sebagai salah satu faktor yang berperan dalam

    kerusakan melanosit. Hal ini didasarkan pada fungsi sintesis melanin dari

    melanosit yang melibatkan reaksi oksidasi dan pembentukan anion superoxide dan

    hidrogen peroksida (H2O2) sehingga melanosit terpapar oleh stres oksidatif.

    Terbatasnya sintesis melanin dalam melanosom melindungi organel sel lainnya

    dari kerusakan oksidatif. Tirosinase, enzim yang berperan dalam sintesis melanin

    akan mengoksidasi tirosin menjadi dopa, kemudian menjadi dopaquinon. Reaksi

    katalitik ini akan menyebabkan pelepasan O2-. Dopaquinon kemudian diubah

    menjadi dopachrome melalui suatu reaksi pertukaran redoks. Setelah mengalami

    dekarboksilisasi spontan, dopachrome dapat menghasilkan dihidroxyindole (5,6-

    DHI) yang kemudian mengalami oksidasi menjadi indolequinone, atau

    menghasilkan dihydroxyindole carboxylic acid (5,6-DHICA) yang kemudian

    diubah menjadi quinone setelah mengalami tautomerisasi dengan tyrosine related

    protein 2 (TRP2). Siklus redoks dari indole menjadi quinone ini menghasilkan

    ROS. Polimerisasi dari quinone reaktif ini akan membentuk eumelanin berwarna

    coklat/hitam (Denat, 2014).

  • 34

    Gambar 2.4 pembentukan ROS dalam berbagai tahapan sintesis melanin (dikutip

    dari Denat, 2014)

    Terdapat bukti adanya stres oksidatif sebagai faktor kunci untuk kejadian

    dan progresivisitas vitiligo. Kerentanan sel melanosit terhadap kematian sel yang

    diakibatkan paparan sinar UVB dibandingkan melanosit orang normal

    menunjukkan adanya ketidakmampuan untuk mempertahankan diri dari stres

    oksidatif. Bukti selanjutnya menunjukkan bahwa kerentanan melanosit terhadap

    stres oksidatif fisik dan biokimia pada vitiligo juga terjadi kulit non lesi. Pasien

    vitiligo diketahui memiliki kadar H2O2 yang tinggi pada epidermisnya dan kadar

    hidrogen peroksida yang tinggi ini diketahui dapat menurunkan aktivitas katalase

    sebagai sistem antioksidan sehingga semakin memperberat stres oksidatif yang

    terjadi (Denat, 2014). Kadar H2O2 yang tinggi dapat menginaktivasi dan

    mengurangi kadar methionine sulfoxide reductase A dan B serta

    thioredoxin/thioredoxin reductase sehingga semakin memperberat stres oksidatif

    yang terjadi dan menyebabkan kematian melanosit pada vitiligo (Schallreuter

  • 35

    dkk., 2008; Zhou dkk., 2009). Lebih jauh lagi kadar H2O2 yang tinggi pada

    epidermis diketahui dapat menyebabkan reaksi oksidasi dari peptida bioaktif

    ACTH dan α-MSH yang berasal dari propiomelanokortin, dimana kedua peptida

    ini memiliki peranan sebagai antioksidan dan dapat mempengaruhi survival

    melanosit (Kadekaro dkk., 2005; Spencer dkk., 2007). Walaupun merupakan

    antioksidan enzimatik, peningkatan aktivitas SOD juga dianggap salah satu

    sumber akumulasi hidrogen peroksida dalam sel karena SOD sendiri bekerja

    dengan mengubah radikal superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen

    (Laddha dkk., 2014)

    Gambar 2.5 Induksi pembentukan ROS oleh sumber eksogen dan endogen serta

    mekanisme pembelaan antioksidan untuk mengembalikan keadaan redoks yang

    seimbang dalam melanosit (dikutip dari Denat, 2014)

    Pengukuran kadar SOD pada vitiligo telah banyak dilakukan dalam

    penelitian sebelumnya. Chakraborty dkk melakukan investigasi awal aktivitas

    SOD pada model depigmentasi hewan percobaan dan mendapatkan aktivitas SOD

    yang tinggi dan mendapatkan hasil yang sama dimana didapatkan aktivitas SOD

    yang lebih tinggi pada pasien vitiligo dibandingkan pasien kontrol (Chakroborty,

  • 36

    1996). Yildirim dkk membandingkan peranan oksidan dan antioksidan pada

    pasien dengan vitiligo vulgaris dan mendapatkan peningkatan kadar SOD eritrosit

    yang signifikan antara kelompok pasien dengan kontrol sehat (Yildirim dkk.,

    2003). Agrawal dkk juga menemukan hal yang serupa dimana didapatkan kadar

    SOD dalam darah yang lebih tinggi pada kelompok dengan vitiligo dibandingkan

    dengan kelompok normal pada semua umur (Agrawal dkk., 2004). Studi oleh

    Hazneci juga mendapatkan hasil serupa dimana didapatkan adanya peningkatan

    aktivitas SOD eritrosit pada pasien vitiligo (Hazneci, 2004). Ines dkk mencoba

    membandingkan aktivitas SOD pada kelompok vitiligo yang stabil dengan yang

    aktif dan mendapatkan adanya peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada kelompok

    dengan vitiligo aktif dibandingkan dengan yang stabil (Dammak dkk., 2006).

    Dammak dkk juga melakukan penelitian terhadap enzim antioksidan dan

    peroksidasi lipid pada level jaringan pasien dengan vitiligo aktif dan stabil dan

    mendapatkan bahwa aktivitas SOD meningkat pada pasien dengan vitiligo

    dibandingan kontrol normal, dan lebih tinggi secara signifikan pada vitiligo yang

    aktif dibandingkan dengan vitiligo stabil (Dammak dkk., 2009). Lebih lanjut

    Sravani dkk meneliti stres oksidatif pada kulit lesi dan non lesi pasien vitiligo

    dengan mengukur SOD dan katalase dan mendapatkan bahwa kadar SOD pada

    kulit pasien vitiligo baik yang diambil pada lesi maupun non lesi secara signifikan

    lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan kadar SOD pada lesi dan

    non lesi pasien vitiligo tidak berbeda secara bermakna. Hal ini menunjukkan

    bahwa stres oksidatif yang terjadi tidak hanya pada lesi tetapi terjadi pada seluruh

    epidermis (Sravani dkk., 2009). Adanya peningkatan kadar SOD pada pasien

  • 37

    vitiligo ini mencerminkan aktivitas enzim SOD yang meningkat yang

    kemungkinan disebabkan oleh mekanisme adaptasi atau sebagai respon dari stres

    oksidatif yang terjadi. Kadar SOD yang tinggi yang disertai dengan penurunan

    kadar katalase dapat menyebabkan terjadinya akumulasi H2O2 yang bersifat toksik

    terhadap melanosit (Hazneci, 2004; Dammak dkk., 2009; Sravani dkk., 2009).

    Gambar 2.6 Peranan SOD dalam Kerusakan Melanosit pada Patogenesis Vitiligo

    Untuk mengetahui penyebab peningkatan aktivitas SOD pada vitiligo ini,

    Laddha dkk mencoba menganalisis gen dari ketiga isoform SOD untuk melihat

    adanya variasi genetik dan level transkripsinya. Penelitian ini mendapatkan

    adanya polimorfisme pada gen yang mengatur SOD2 dan SOD3 yang secara

    signifikan berhubungan dengan vitiligo. Polimorfisme pada gen SOD2 Thr581le

    (rs35289490) dan Leu84Phe (rs11575993) memiliki hubungan yang signifikan

  • 38

    dengan pasien vitiligo, sedangkan polimorfisme Val16Ala dihubungkan dengan

    pasien vitiligo dengan lesi yang aktif. Aktivitas SOD2 yang tinggi yang

    dihubungkan dengan polimorfisme genetiknya ini disertai dengan peningkatan

    dalam level transkripsinya pada pasien vitiligo. Sedangkan untuk SOD3

    didapatkan adanya polimorfisme pada Arg213Gly (rs8192291) yang juga

    dihubungkan dengan peningkatan level transkripsinya pada pasien vitiligo.

    Aktivitas dari isoform SOD yang meningkat ini dihubungkan dengan progresi dan

    aktivitas penyakit. Dari studi ini disimpulkan bahwa polimorfisme pada gen yang

    mengatur SOD2 dan SOD3 dapat sebagai faktor risiko genetik untuk kerentanan

    dan progresivitas vitiligo karena aktivitas SOD yang meningkat yang tidak

    disertai dengan aktivitas enzim katalase akan menyebabkan akumulasi hidrogen

    peroksida dalam sitoplasma, mitokondria, dan kompartemen ekstraseluler yang

    dapat menyebabkan kerusakan oksidatif yang lebih tinggi pada melanosit (Laddha

    dkk., 2013).