31
16 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Dalam PTK (Penelitian Tindakan Kelas), teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan masalah penelitian, sebagai dasar mengembangkan penelitian. Oleh karena itu, kajian teori memegang peranan sangat penting dalam membangun kerangka pikir atau konsep yang akan digunakan dalam penelitian. Kajian teori dapat berupa kutipan, devinisi masalah penelitian, temuan penelitian sebelumnya yang mengungkap teori, temuan dan penelitian lain yang reevan dan mendukung pilihan tindakan (Treatment) untuk memecahkan masalah PTK (Mulyasa, 2011:65). Berdasarkan penjelasan tersebut penulis pada bab ini akan menjelaskan berbagai teori yang berhubungan dengan penilitian yang akan dilakukan di kelas 5 SD N 1 Kemiri. Teori-teori tersebut antara lain adalah teori tentang pembelajaran matematika, teori mengenai Realistic Mathematic Education dan media visual non proyeksi, teori tentang kekatifan dan aktifitas siswa, teori pembelajaran dan hasil belajar serta teori mengenai hubungan penggunaan Realistic Mathematic Education dengan bantuan media visual non proyeksi dan pengaruhnya terhadap keaktifan dan hasil belajar siswa. Semua teori tersebut dikutip dan dikaji dari berbagai sumber yang disampaikan oleh para ahli pendidikan untuk melihat sisi ideal yang harus dicapai dalam sebuah pembelajaran. 2.1.1. Pembelajaran Matematika Matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar. Menurut pengalaman penulis sebagai guru wiyata bhakti, dalam proses pemebelajaran, biasanya guru hanya menyampaikan berbagai cara memecahan masalah matematika di tiap bab. Selama ini cara-cara seperti pemberian tugas berupa soal-soal masih sangat sering digunakan guru dalam mengajar matematika. Apakah hal tersebut sesuai dengan pembelajaran matematika yang seharusnya? Berikut ini akan dijelaskan bagaimana teori mengenai pembelajaran matematika.

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori · 2. Teori Ausubel Teori makna (meaning theory) dari Ausubel (Brownell dan Chazal) mengemukakan pentingnya pembelajaran bermakna dalam mengajar

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 16

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Kajian Teori Dalam PTK (Penelitian Tindakan Kelas), teori-teori yang relevan dapat

    digunakan untuk menjelaskan masalah penelitian, sebagai dasar mengembangkan

    penelitian. Oleh karena itu, kajian teori memegang peranan sangat penting dalam

    membangun kerangka pikir atau konsep yang akan digunakan dalam penelitian.

    Kajian teori dapat berupa kutipan, devinisi masalah penelitian, temuan penelitian

    sebelumnya yang mengungkap teori, temuan dan penelitian lain yang reevan dan

    mendukung pilihan tindakan (Treatment) untuk memecahkan masalah PTK

    (Mulyasa, 2011:65).

    Berdasarkan penjelasan tersebut penulis pada bab ini akan menjelaskan

    berbagai teori yang berhubungan dengan penilitian yang akan dilakukan di kelas 5

    SD N 1 Kemiri. Teori-teori tersebut antara lain adalah teori tentang pembelajaran

    matematika, teori mengenai Realistic Mathematic Education dan media visual non

    proyeksi, teori tentang kekatifan dan aktifitas siswa, teori pembelajaran dan hasil

    belajar serta teori mengenai hubungan penggunaan Realistic Mathematic

    Education dengan bantuan media visual non proyeksi dan pengaruhnya terhadap

    keaktifan dan hasil belajar siswa. Semua teori tersebut dikutip dan dikaji dari

    berbagai sumber yang disampaikan oleh para ahli pendidikan untuk melihat sisi

    ideal yang harus dicapai dalam sebuah pembelajaran.

    2.1.1. Pembelajaran Matematika

    Matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah

    dasar. Menurut pengalaman penulis sebagai guru wiyata bhakti, dalam proses

    pemebelajaran, biasanya guru hanya menyampaikan berbagai cara memecahan

    masalah matematika di tiap bab. Selama ini cara-cara seperti pemberian tugas

    berupa soal-soal masih sangat sering digunakan guru dalam mengajar matematika.

    Apakah hal tersebut sesuai dengan pembelajaran matematika yang seharusnya?

    Berikut ini akan dijelaskan bagaimana teori mengenai pembelajaran matematika.

  • 17

    2.1.1.1. Definisi Matematika

    Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

    teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan

    memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi

    informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di

    bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit.

    Untuk menguasai dan mencipta teknologi dimasa depan diperlukan penguasaan

    matematika yang kuat sejak dini. Mata pelajaran matematika perlu diberikan

    kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta

    didik dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif,

    serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik

    dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi

    untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan

    kompetitif (BSNP, 2006:146).

    Menurut BSNP (2006:147) mata pelajaran matematika memiliki tujuan

    sebagai berikut:

    1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan

    mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan

    tepat dalam pemecahan masalah.

    2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

    matematika dalam membuat generasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

    gagasan dan pernyataan matematika.

    3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memhami masalah,

    merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi

    yang diperoleh.

    4. Mengomunikasi gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

    untuk keadaan atau memperjelas masalah.

    Ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI

    meliputi aspek-aspek sebagai berikut: bilangan, geometri dan pengukuran,

    pengolahan data.

  • 18

    2.1.1.2. Landasan Pembelajaran Matematika

    Guru matematika yang profesional dan kompeten mempunyai wawasan

    landasan yang dapat dipakai dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran

    matematika. Wawasan itu berupa dasar-dasar teori belajar yang dapat diterapkan

    untuk pengembangan dan perbaikan pembelajaran matematika (Muhsetyo,

    2007:1.8-1.12) sebagai berikut.

    1. Teori Thorndike Teori Thorndike disebut teori penyerapan, yaitu teori yang memandang peserta didik sebagai selembar kertas putih, penerima pengetahuan yang siap menerima pengetahuan secara pasif. Pandangan belajar semacam ini mempunyai dampak terhadap pandangan mengajar. Mengajar dipandang sebagai perencanaan dari urutan bahan pelajaran yang disusun secara cermat, mengkomunikasikan bahan kepada peserta didik, dan membawa mereka untuk praktik menggunakan konsep atau prosedur baru. Konsep dan prosedur baru itu akan semakin mantap jika makin banyak praktik (latihan) dilakukan. 2. Teori Ausubel Teori makna (meaning theory) dari Ausubel (Brownell dan Chazal) mengemukakan pentingnya pembelajaran bermakna dalam mengajar matematika. Kebermaknaan pembelajaran akan membuat kegiatan belajar lebih menarik, lebih bermanfaat, dan lebih menantang, sehingga konsep dan prosedur matematika akan lebih mudah dipahami dan lebih tahan lama diingat oleh pesera didik. Kebermaknaan yang dimaksud dapat berupa struktur matematika yang lebih ditonjolkan untuk memudahkan pemahaman. 3. Teori Jean Piaget Menyatakan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang secara bertingkat atau bertahap, yaitu (a) sensori motor (0-2 tahun), (b) pra operasional (2-7 tahun), (c) operasional konkret (7-11 tahun), dan (d) operasional (≥ 11 tahun). Teori ini merekomondasikan perlunya mengamati tingkatan perkembangan intelektual anak sebelum suatu bahan matematika diberikan, terutama untuk menyesuaikan “keabstrakan” bahan matematika dengan kemampuan berfikir abstrak anak pada saat itu. Teori peaget juga menyatakan bahwa setiap makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi belajar atau lingkungan. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa orang selalu belajar untuk mencari tahu dan memperoleh pengetahuan, dan setiap orang berusaha untuk membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya. 4. Teori Vygotsky Teori Vygotsky berusaha mengembangkan model kontruktivistik belajar mandiri dari piaget menjadi belajar kelompok. Dalam membangun sendiri pengetahuannya, peserta didik dapat memperoleh pengetahuan melalui

  • 19

    kegiatan yang beranekaragam dengan guru sebagai fasilitator. Kegiatan itu dapat berupa diskusi kelompok kecil, diskusi kelas, mengerjakan tugas kelompok. Dengan kegiatan yang beragam, peserta didik akan membangun pengetahuannya sendiri melalui membaca, diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, pengamatan, pencatatan, pengerjaan dan presensi. 5. Teori Jerome Bruner Teori ini berkaitan dengan perkembangan mental, yaitu kemampuan mental anak berkembang secara bertahap mulai dari sederhana ke yang rumit, mulai dari yang mudah ke yang sulit, dan mulai dari yang nyata konkret ke yang abstrak. Urutan tersebut dapat membantu peserta didik untuk mengikuti pelajaran dengan lebih mudah. Urutan bahan yang dirancang juga biasanya terkait usia dan umur anak. Dari berbagai teori diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

    matematika yang tepat bagi siswa sekolah dasar adalah dengan pengenalan hal-hal

    yang konkret menuju hal-hal yang bersifat abstrak atau dari sederhana menuju

    yang lebih sulit. Pembelajaran matematikan dilakukan dengan merealisasikannya

    dalam kehidupan sehari-hari sehingga proses belajar siswa lebih bermakna.

    2.1.1.3. Langkah Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

    Sebagaimana dikemukakan oleh Heruman (2012:3) berikut adalah

    pemaparan pembelajaran yang ditekankan pada konsep-konsep matematika.

    1. Penanaman konsep dasar (Penanaman Konsep) Yaitu pembelajaran suatu konsep baru matematika. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. 2. Pemahaman Konsep Yaitu lanjutan pembelajaran dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan dari pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya. 3. Pembinaan Keterampilan Yaitu pembelajaran lanjutan dari pemahaman konsep dan penanaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika. Seperti halnya pada pemahaman konsep, pembinaan keterampilan juga terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dan pemahaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pembinaan keterampilan dilakukan pada pertemuan yang

  • 20

    berbeda, tapi masih merupakan lanjutan dari penanaman dan pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman dan pemahaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya.

    Berdasarkan ulasan tersebut dapat disimpulkan bahwa langkah

    pembelajaran matematika di Sekolah Dasar dimulai dengan menanamkan konsep

    dasar dilanjutkan dengan pemahanan konsep agar siswa lebih memahami konsep

    matematika kemudian pembinaan keterampilan agar siswa lebih terampil dalam

    menggunakan berbagai konsep matematika.

    2.1.2. Model Pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME) atau Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

    Sebelum mengenal lebih jauh bagaimana bentuk serta wujud dari Realistic

    Mathematic Education terlebih dahulu akan dijelaskan bagaimana devinisi dari

    model pembelajaran. Hal ini perlu dijelaskan untuk memperjelas bagaimana posisi

    RME dalam pembelajaran.

    2.1.2.1. Devinisi Model Pembelajaran

    Strategi menurut Kemp (dalam Rusman, 2012:132) adalah suatu kegiatan

    pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran

    dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selain itu, Dick and Carey (dalam

    Rusman, 2012:132) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu suatu

    perangkat materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-

    sama untuk menimbulkan hasil belajar pada peserta didik atau siswa. Berbeda

    dengan strategi, pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang

    kita terhadap proses pembelajaran (Rusman, 2012:132).

    Joyce and Weil (dalam Rusman, 2012:132) mengemukakan bahwa

    model-model pembelajaran sendiri biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip

    atau teori pengetahuan. Para ahli menyusun model pembelajaran berdasarkan

    prinsip-prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis, analisis sistem atau teori-teori

    lain yang mendukung. Winataputra (2003:82) menyimpulkan bahwa model

    pembelajaran itu merupakan inti atau jantungnya strategi mengajar.

    Joyce and Weil (dalam Winataputra, 2003:8) mengatakan, setiap model

    pembelajaran memiliki unsur-unsur sebagai berikut.

  • 21

    1) Sintakmatik,

    2) Sistem sosial,

    3) Prinsip reaksi,

    4) Sistem pendukung,

    5) Dampak instruksional dan pengiring

    Dengan demikian, RME (Realistic Mathematic Education) dapat disebut sebagai

    model pembelajaran bila telah memiliki kesemua unsur model pembelajaran

    tersebut.

    Berbeda dengan Joyce and Weil, Rusman menyebutkan bahwa bagian-

    bagian model hanya ada empat yaitu sintakmatik, prinsip reaksi, sistem sosial dan

    sistem pendukung. Dampak pengiring menurut Rusman ada dalam titik pandang

    yang berbeda sebagai salah satu ciri dari model pembelajaran. Beberapa ciri-ciri

    model pembelajaran menurut Rusman (2012:236) antara lain.

    1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu 2) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu 3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di

    kelas 4) Memiliki bagian-bagian model yaitu urutan langkah-langkah

    pembelajaran (syntax), adanya prinsip reaksi, sistem sosial dan sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu pembelajaran

    5) Memiliki dampak sebagai terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi dampak pembelajaran (hasil belajar terukur) dan dampak pengiring (hasil belajar jangka panjang)

    6) Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya

    2.1.2.2. Realistic Mathematics Education yang dikenal sebagai Pendidikan

    Matematika Realistik di Indonesia

    Gerakan matematika modern pada tahun 1950-1960 menekankan perlunya

    makna (meaning), terutama dari sudut pandang materi (subject masser), yaitu

    pemusatan perhatian pada pemahaman (pemahaman). Struktur atau sistem formal

    matematika lebih diutamakan untuk dipahami dari pola latihan, pengerjaan dan

    keterampilan komputasional, dengan harapan harapan peserta didik lebih mudah

    dan lebih mampu menggunakan matematika pada situasi yang beragam

    (Muhsetyo dkk, 2007:1.6). Dengan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa

  • 22

    pembelajaran matematika tidaklah seperti pembelajaran untuk mengingat nama-

    nama tempat namun lebih dari itu harus terjadi kebermaknaan dalam

    pembelajaran. Dengan demikian pemilihan model pembelajaran yang akan

    dipakai dalam proses pembelajaran matematika sangatlah menentukan.

    Dalam matematika terdapat sebuah model pembelajaran yang hanya dapat

    dipakai dalam pembelajaran matematika yaitu RME (Realistic Mathematics

    Education). Menurut Muhsetyo dkk (2007:1.20) teori ini (RME) dimaksudkan

    untuk memulai pembelajaran matematika dengan cara mengaitkannya dengan

    situasi dunia nyata disekitar siswa. Hal ini menandakan bahwa RME memiliki

    semangat yang sama dengan pembelajaran bermakna dimana matematika dapat

    disesuaikan dengan berbagai situasi yang beragam.

    Freundental dan Trafers adalah tokoh-tokoh yang mengembangkan RME,

    yang pada awalnya terjadi di Belanda, dan digunakan sebagai pendekatan untuk

    meningkatkan mutu pembelajaran matematika, melalui kegiatan yang disebut

    dengan pematematikaan. Pematematikaan horisontal dimaksudkan untuk memulai

    pembelajaran matematika secara kontekstual yaitu mengaitkannya dengan situasi

    dunia nyata disekitar siswa atau keadaan kehidupan sehari-hari. Dengan cara

    seperti ini, siswa merasa dekat dan tertarik terhadap materi pelajaran matematika

    (Muhsetyo dkk, 2007:1.16). Pandangan ini menyatakan bahwa RME berusaha

    membangun ketertarikan peserta didik terhadap materi matematika.

    Sejalan dengan pandangan Muhsetyo, Hamdani (2011:110) menjelaskan

    bahwa RME dilakukan dengan mengaitkan dan melibatkan siswa, pengalaman

    nyata yang pernah dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan

    matematika sebagai aktifitas siswa. Dengan RME, siswa tidak hanya dibawa ke

    dunia nyata, melainkan juga berhubungan langsung dengan masalah situasi nyata

    yang ada dalam pikiran siswa. Dengan kata lain matematika tidak begitu abstrak

    lagi sehingga siswa pada usia operasional konkret akan dapat menyelesaikan

    masalah matematika dengan mudah.

    Pendidikan Matematika Realistik (RME) mulai diterapkan di Indonesia

    dengan nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sejak tahun

    2001. PMRI dikembangkan oleh Institut Pengembang PMRI (IP PMRI) yang

  • 23

    diketuai oleh Sembiring (Wijaya, 2012:3). RME atau PMRI di Indonesia sudah

    dikembangkan selama 12 tahun namun masih belum banyak dikenal oleh

    kalangan guru Sekolah Dasar, sehingga tentu belum banyak guru yang

    mempraktekkannya dalam pembelajaran.

    Muhsetyo dkk (2007:1.16) kemudian melengkapi pemikiran tentang

    berbagai pendapat pematematikaan dan mengatakan bahwa pematematikaan

    horisontal saja belum cukup, mereka (para siswa) perlu mendalami dan

    memahami konsep-konsep matematika dengan benar, melalui kegiatan

    pematematikaan vertikal. Berdasarkan pendapat ini berpikir matematika abstrak

    mulai dikembangkan dari konsep-konsep yang dapat dibayangkan siswa.

    Dalam pelaksanaannya, matematisasi atau pematematikaan secara vertikal

    dan horisontal dilakukan dalam berberapa tahapan atau tidak dalam satu kali

    proses. Wijaya (2012:43) menyebutkan bahwa proses matematisasi horisontal

    dapat dicapai dengan kegiatan sebagai berikut.

    1) Identifikasi masalah dalam suatu konteks umum

    2) Skematisasi

    3) Formulasi dan visualisasi masalah dalam berbagai cara

    4) Pencarian keteraturan dan hubungan

    5) Transfer masalah nyata ke dalam model matematika

    Dari penjelasan diatas, tahapan pelaksanaan matematisasi secara horisontal

    dapat diterapkan guru pada awal pembelajaran sehingga pembelajaran matematika

    tidak langsung masuk pada penyelesaian masalah. Selain itu perlu diperhatikan

    bahwa ditahap terakhir diperlukan sebuah model matematika sebagai alat transfer

    masalah nyata ke model matematika.

    Matematisasi vertikal merupakan bentuk proses formalisasi (formalizing)

    dimana model matematika yang diperoleh pada matematisasi horisontal menjadi

    landasan dalam pengembangan konsep matematika yang lebih formal melalui

    matematisasi secara vertikal (Wijaya, 2012:43). Matematisasi tersebut terjadi

    dalam beberapa proses pembelajaran yang bertahap. Adapun proses matematisasi

    vertikal seperti yang dikemukakan Wijaya (2012:43) terjadi melalui serangkaian

    kegiatan berikut.

  • 24

    1) Representasi suatu relasi kedalam suatu rumus atau aturan 2) Pembuktian keteraturan 3) Penyesuaian dan pengembangan model matematika 4) Penggunaan model matematika yang bervariasi 5) Pengkombinasian dan pengorganisasian model matematika 6) Perumusan suatu konsep matematika baru 7) Generalisasi

    Dari tahapan antara kedua proses matematisasi yaitu secara horisontal

    menuju vertikal peranan model sangat menentukan. Dengan demikian model

    matematika dalam bentuk masalah realistik maupun contoh visual akan sangat

    membantu.

    Setelah penjelasan mengenai bentuk matematisasi dalam RME, maka kita

    perlu mengetahui bagaimana karakteristik dari RME. Treffers (dalam Wijaya,

    2012:21) merumuskan adanya lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik

    (RME), antara lain.

    1) Penggunaan Konteks Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.

    2) Penggunaan Model untuk Matematika Progesif Dalam pendidikan matematika realistik, model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progesif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkret menuju matematika tingkat formal. Dalam hal ini model yang dimaksud bukanlah model pembelajaran melainkan alat bantu atau semacam media pembelajaran yang membantu pematematikaan secara vertikal.

    3) Pemanfaatan Hasil Kontruksi Siswa Mengacu pada pendapat Freundental bahwa matematika tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap dipakai tetapi sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa, maka dalam pendidikan matematika realistik siswa ditempatkan sebagai subyek belajar. Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi.

    4) Interativitas Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka. Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika bermanfaat dalam

  • 25

    mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara simultan.

    5) Keterkaitan Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep matematika tidak dikenalkan secara terpisah atau terisolasi satu sama lain.

    Dari penjelasan tersebut, dapat diambil benang merah beberapa unsur khas

    sebuah model pembelajaran telah ada dalam RME atau Pendidikan Matematika

    Realistik. Dari salah satu unsur model pembelajaran yaitu sistem sosial, dapat

    dilihat dalam interativitas yang dibangun RME dimana siswa dilibatkan dalam

    sebuah kerjasama antar individu dan ini juga berarti mengurangi otoritas guru

    didalam pembelajaran RME. Selanjutnya dari salah satu unsur model

    pembelajaran yaitu adanya sistem pendukung, maka dapat dilihat bahwa dalam

    RME diperlukan adanya model matematika yang progresif dimana model ini

    diperlukan sebagai alat bantu menjembatani proses berpikir siswa secara vertikal.

    Dari lima unsur model unsur yang lain adalah adanya dampak yang

    ditimbulkan dari penggunaan model RME dalam pembelajaran. Dampak yang

    ditimbulkan baru dapat dilihat setelah proses pembelajaran dilangsungkan, hanya

    saja dampak yang diinginkan tentunya tercantum dalam tujuan dari penggunaan

    model RME. Pada penjelasan sebelumnya maka dapat kita simpulkan bahwa

    tujuan dari pemanfaatan RME adalah pembentukan pola pikir yang matematis.

    Dengan demikian boleh kita simpulkan ketika pola pikir siswa matematis maka

    siswa tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar dan berdampak baik pada

    hasil belajar.

    Ketiga unsur telah lengkap maka perlu dibahas wujud dan sintaks dari

    pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran RME (Realistic

    Mathematics Education). Pembahasan sintaks dari RME akan langsung dikaitkan

    sesuai dengan amanat standar proses untuk membagi kegiatan inti pembelajaran

    menjadi eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.

    Permendiknas RI Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses

    mengamanatkan bahwa proses pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui proses

    eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Jika dipandang dari sudut pandang

  • 26

    Pendidikan Matematika Realistik, ketiga macam proses tersebut merupakan

    karakteristik dari Pendidikan Matematika Realistik. Oleh karena itu, bisa

    dikatakan penerapan Pendidikan Matematika Realistik untuk pembelajaran

    matematika sejalan dengan kurikulum (Wijaya, 2012:28).

    Menurut Wijaya (2012:28) penerapan pembelajaran dengan model RME

    atau Pendidikan Matematika Realistik yang sesuai dengan Standar Proses adalah

    sebagai berikut.

    1) Kegiatan eksplorasi merupakan fokus dari karakteristik Pendidikan Matematika Realistik yang pertama yaitu penggunaan konteks. Dalam pembelajaran menggunakan RME, konteks yang digunakan di awal pembelajaran ditujukan untuk titik awal pembangunankonsep matematika dan untukmemberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi strategi penyelesaian masalah.

    2) Hasil kegiatan eksplorasi selanjutnya dikembangkan menuju penemuan dan penemuan konsep melalui elaborasi. Begitu juga dalam Pendidikan Matematika Realistik, penerjemahan konteks situasi melalui matematisasi horisontal dielaborasi menjadi penemuan matematika formal dari konteks situasi melalui matematisasi vertikal.

    3) Proses terakhir dari rangkaian proses pembelajaran adalah proses konfirmasi yang ditujukan untuk membangun argumen untuk menguatkan hasil proses eksplorasi dan elaborasi.

    Dari penjelasan tersebut, karena penjelasannya masih kurang spesifik

    maka langkah pembelajaran masih dapat dipecah-pecahkan lagi. Langkah

    pembelajaran yang akan dijelaskan sesuai dengan pembelajaran PMRI atau nama

    lain RME di Indonesia. Langkah-langkah pembelajaran PMRI menurut Darsono

    (2010:2) dijabarkan dalam aktivitas guru adalah sebagai berikut.

    1. Guru memberikan siswa masalah kontekstual. 2. Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberi kesempatan

    untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif. 3. Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan

    selanjutnya mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.

    4. Guru mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya. 5. Guru mengenalkan istilah konsep. 6. Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau

    membuat masalah cerita. Sedangkan langkah-langkah pembelajaran PMRI menurut Darsono (2010:2)

    dijabarkan dalam aktivitas siswa adalah sebagai berikut.

  • 27

    1. Siswa secara mandiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.

    2. Siswa memikirkan strategi yang paling efektif. 3. Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah

    tersebut. 4. Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis, melalui diskusi kelas,

    jawaban siswa dikonfrontasikan. 5. Siswa merumuskan bentuk matematika formal. 6. Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.

    Penjelasan yang disampaikan Darsono tersebut merupakan penjabaran dari proses

    pembelajaran dengan model RME dengan detail yang lebih rinci.

    Setelah keempat unsur model pembelajaran ada dalam RME, maka prinsip

    reaksi dalam pembelajaran RME sebagai salah satu unsur dari model

    pembelajaran juga perlu dikaji. Untuk mengkaji prinsip reaksi maka kita perlu

    tahu bagaimana peran guru dalam pembelajaran menggunakan RME ini.

    Dalam pendekatan tradisional guru dianggap sebagai pemegang otoritas

    yang mencoba memindahkan pengetahuannya kepada siswa, sedangkan dalam

    pendekatan PMRI guru dipandang sebagai fasilitator, moderator dan evaluator

    yang menciptakan situasi dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk

    menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan cara mereka sendiri.

    Oleh karena itu guru harus mampu menciptakan dan mengembangkan

    pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk memiliki aktivitas baik untuk

    dirinya sendiri maupun bersama siswa lain (interaktivitas). Akibatnya guru tidak

    boleh hanya terpaku pada materi dalam kurikulum dan buku teks, tetapi harus

    terus menerus memutakhirkan materi dengan masalah-masalah baru dan

    menantang. Jadi peran guru dalam pendekatan PMRI dapat dirumuskan sebagai

    berikut (Hartono, 2007:7):

    1) Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar.

    2) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif.

    3) Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberi

    sumbangan pada proses belajarnya.

    4) Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan masalah-

    masalah dari dunia nyata.

  • 28

    5) Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia

    nyata, baik fisik maupun sosial.

    Peran guru didalam PMRI atau sama dengan Realistic Mathematics Education

    diatas merupakan wujud dari salah satu unsur model pembelajaran yaitu prinsip

    reaksi. Usaha-usaha yang harus dicapai guru tersebut merupakan cara untuk

    mendapatkan aktifitas siswa dan hasil pembelajaran yang dikehendaki dari RME.

    2.1.3. Media Pembelajaran Visual non Proyeksi Kata “media” berasal merupakan bentuk jamak dari kata “medium”, yang

    secara harfiah berarti “perantara atau pengantar”. Dengan demikian, media

    merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan (Zain dan

    Djamarah, 2010:210). Pengertian media tersebut ditinjau secara etimologi bahasa

    saja sehingga pengertiannya masih sangat sederhana.

    Gerlach dan Ely (dalam Arsyad, 2011:3) mengatakan bahwa media apabila

    dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang

    membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,

    ketrampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan

    sekolah merupakan media.

    Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar

    cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis atau elektronis untuk

    menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal

    (Arsyad, 2011:3). Merujuk pada pengertian ini maka media lebih spesifik dapat

    kita simpulkan sebagai alat bantu pembelajaran.

    Heinich, dkk (dalam Arsyad, 2011:4) mengemukakan istilah medium

    sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima, jadi

    televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan

    cetakan dan sejenisnya adalah media komunikasi. Apabila media itu membawa

    pesan-pesan atau informasi bertujuan intruksional atau mengandung maksud-

    maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran.

    Berbeda dari pengertian sebelumnya, Nana Sudjana menyebut alat bantu

    pengajaran sebagai alat peraga. Sudjana (2011:110) mengatakan alat bantu

  • 29

    pengajaran atau lebih populer disebut alat peraga pengajaran harus menjadi bagian

    integral dari proses belajar mengajar terutama dalam metode mengajar. Alat

    peraga berfungsi untuk memperjelas bahan pengajaran yang diberikan guru atau

    yang sedang dipelajari siswa.

    Media yang dikenal dewasa ini tidak hanya terdiri dari dua jenis, tetapi

    sudah lebih dari itu. Klasifikasinya bisa dilihat dari jenisnya, daya liputnya dan

    dari bahan serta cara pembuatannya (Zain dan Djamarah, 2010:124). Menurut

    Zain dan Djamarah (2010:124) media dilihat dari jenisnya terbagi menjadi tiga

    yaitu media auditif (media yang mengandalkan kemampuan suara saja), media

    visual (media yang mengandalkan kemampuan penglihatan saja) dan media

    audio-visual (media yang mempunyai unsur suara dan gambar). Dilihat dari daya

    liputnya, media juga dibagi tiga yaitu media dengan daya liput luas dan serentak,

    media dengan daya liput terbatas oleh ruang dan tempat serta media untuk

    pengajaran individual. Dilihat dari bahan pembuatannya media dibagi menjadi

    dua yaitu media sederhana dan media kompleks.

    Manfaat dari pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar

    mengajar menurut Sudjana dan Rivai (2010:2) antara lain:

    1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat

    menumbuhkan motivasi belajar.

    2) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih

    dipahami oleh para siswa dan memungkinkan siswa menguasai tujuan

    pengajaran lebih baik.

    3) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi

    verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru.

    4) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan sebabtidak hanya

    mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktifitas lain seperti mengamati,

    melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain.

    Dalam penlitian ini, media yang akan digunakan adalah visual non

    proyeksi. Alasan pemilihan jenis media visual non proyeksi adalah karena model

    yang digunakan adalah RME atau PMRI yang mana pembelajaran ini lebih

    berhubungan dengan benda-benda realistik.

  • 30

    Pengajaran akan lebih efektif apabila objek dan kejadian yang menjadi

    bahan pengajaran dapat divisualisasikan secara realistik menyerupai keadaan yang

    sebenarnya, namun tidaklah berarti bahwa media harus selalu menyerupai

    keadaan yang sebenarnya (Sudjana dan Rivai, 2010:9). Dari pendapat ini maka

    bukan berarti peraga visual atau media visual yang akan ditampilkan harus persis

    dengan keadaan nyatanya.

    Hamdani (2011:248) membagi media visual terdiri atas media yang tidak

    dapat diproyeksikan (non-projected visual) dan media yang dapat diproyeksikan

    (project visual). Media visual tersebut diklasifikasikan berdasarkan cara

    menampilkan medianya. Menurut Hamdani (2011:248) Media yang diproyeksikan

    adalah media yang menggunakan alat proyeksi (proyektor) sehingga gambar atau

    tulisan tampak pada layar (Screen). Ini berarti bahwa media non proyeksi berarti

    media visual yang tidak memerlukan alat proyeksi dalam penggunaannya.

    Macam-macam contoh media yang tidak diproyeksikan menurut Hamdani

    (2011:188) antara lain:

    1) Realita, yaitu benda nyata yang digunakan sebagai bahan belajar,

    2) Model, yaitu benda tiga dimensi yang merupakan representasi dari benda

    sesungguhnya,

    3) Grafis, gambar atau visual yang penampilannya tidak diproyeksikan

    (grafik, chart, poster, kartun),

    4) Display, medium yang penggunaanya dipasang ditempat tertentu sehingga

    informasi dan pengetahuan di dalamnya dapat dilihat.

    Berkaitan dengan Realistic Mathematics Education, maka peran media

    pembelajaran sangat penting sekali sebagai wujud pemodelan matematisasi.

    Model dalam RME sangat vital dalam mengembangkan kemampuan siswa.

    Dengan bentuk media yang diwujudkan dalam media visual non proyeksi, model

    matematika yang dikehendaki diharapkan dapat mempermudah siswa dalam

    memformalkan bentuk realistik matematika.

    Wijaya (2012:46) mengatakan bahwa ada beberapa pihak menganggap

    bahwa model merupakan bagian dari matematisasi, namun ada juga yang

    berpandangan bahwa matematisasi terjadi didalam pengembangan model atau

  • 31

    pemodelan matematika. Yang perlu diperhatikan, kata “model” disini tidak berarti

    alat peraga, melainkan suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah

    (Maaß dalam Wijaya, 2012:46).

    Berdasarkan pendapat tersebut peran model matematika bukan sebagai alat

    peraga namun sebagai alat bantu matematisasi. Hal ini tentu hampir sama dengan

    pengertian media pembelajaran karena media pembelajaran bukan berarti alat

    peraga saja melainkan juga alat bantu yang mendukung proses penyampaian

    informasi. Selanjutnya seperti dirangkum oleh Maaß (dalam Wijaya, 2012:46-47),

    alasan pengembangan kemampuan pemodelan dalam pembelajaran matematika

    antara lain:

    1) Pemodelan memiliki peran dalam mengembangkan kepekaan siswa

    tentang manfaat matematika sehingga mereka bisa menerapkan konsep

    matematika dalam kehidupan,

    2) Matematika merupakan suatu alat yang seharusnya membantu siswa

    dalam memahami kehidupan dan model adalah jembatan antara dunia

    nyata dengan matematika,

    3) Pemodelan merupakan aspek penting dalam pemecahan masalah

    (problem solving),

    4) Pemodelan membantu siswa memahami dan juga menguasai konsep

    matematika dengan lebih mudah,

    5) Pemodelan dapat mengembangkan sikap positif siswa terhadap

    matematika.

    2.1.4. Keaktifan Belajar Siswa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 19 (ayat

    1) yang berbunyi: “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan

    secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik

    untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarasa,

    kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik

    serta fisiologis peserta didik.” Dalam peraturan tersebut dapat digaris bawahi

    bahwa proses pembelajaran harus diselenggarakan untuk berbagai kebaikan

  • 32

    peserta didik agar mereka dapat berpasrtisipasi aktif. Wujud partisipasi peserta

    didik ini dapat disebut sebagai keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.

    Prinsip pembelajaran aktif berawal dari kredo John Locke (1690-an)

    denngan prinsip tabula rasa yang menyatakan bahwa knowledge comes from

    experience, pengetahuan berpangkal dari pengalaman. Dengan kata lain, untuk

    memperoleh pengetahuan, seorang harus aktif mengalaminya sendiri (Warsono

    dan Hariyanto, 2012:4). Dapat diartikan bahwa sebenarnya konsep belajar aktif

    sudah ada sejak zaman dahulu dimana belajar harus melalui sebuah aktifitas.

    Bobie DePorter dan Mike Hernacki (dalam Warsono dan Hariyanto,

    2012:4) menyatakan bahwa belajar dapat terjadi dengan cara:

    1) 10% dari apa yang kita baca;

    2) 20% dari apa yang kita dengar;

    3) 30% dari apa yang kita lihat;

    4) 50% dari apa yang kita lihat dan dengar;

    5) 70% dari apa yang kita katakan;

    6) 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.

    Dari penjelasan tersebut melakukan sesuatu sebagai pengalaman belajar

    memiliki presentase lebih besar daripada yang lain. Beranjak dari penelitian

    tersebut, maka keaktifan siswa merupakan faktor pemegang keberhasilan belajar

    karena belajar dengan mengatakan dan melakukan dapat memungkinkan

    terjadinya belajar hingga 90%.

    Pembelajaran yang melibatkan aktifitas siswa secara langsung merupakan

    implementasi dari gaya belajar yang mengaktifkan siswa. Karena dengan aktifitas

    langsung dalam proses pembelajaran, maka siswa secara otomatis melibatkan

    gerakan fisik, indera, mental dan intelektual secara bersama (Rusman, 2012:388).

    Keterlibatan siswa sebagai wujud aktifitas dan keaktifan siswa memang perlu

    diwujudkan dalam setiap pembelajaran. Hal ini tentu untuk memicu kolaborasi

    antara gerak fisik sekaligus otak siswa.

    Menurut pendapat Rusman (2012:399) proses pembelajaran dikatakan

    sedang berlangsung apabila ada aktifitas siswa didalamnya. Untuk itu pendekatan

    pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan pembelajaran berpusat pada

  • 33

    siswa (student centered). Hal ini sejalan dengan slogan yang sering dibawa oleh

    John Dewey (dalam Warsono dan Hariyanto, 2012:4) yaitu belajar dengan

    melakukan (learning by doing) yang bermakna siswa harus aktif dalam

    pembicaraannya. Jadi, pembelajaran bukanlah komunikasi satu arah (one way

    comunication) transformasi dari guru kepada siswa, melainkan harus berupa

    komunikasi timbal balik secara interaktif antara siswa dengan guru (Rusman,

    2012:389).Dengan berbagai penjelasan yang ada, pembelajaran dikatakan aktif

    ketika siswa dijadikan sebagai subyek belajar.

    Selanjutnya, seperti yang dijelaskan Rusman (2012:388) penerapan

    pembelajaran yang mengaktifkan siswa dapat dilakukan melalui pengembangan

    berbagai keterampilan belajar esensial secara eklektif yang antara lain sebagai

    berikut, 1) berkomunikasi lisan dan tertulis secara efektif, 2) berpikir logis, kritis

    dan kreatif, 3) rasa ingin tahu, 4) penguasaan teknologi dan informasi, 5)

    pengembangan personal dan sosial, dan 6) belajar mandiri. Penjelasan tersebut

    menunjukan bahwa keaktifan siswa tidak hanya ditunjukkan oleh aktifitas saja

    melainkan juga pengembangan pola berpikir aktif.

    Mc Keachie (dalam Warsono dan Haryanto, 2012:8) mengemukakan

    adanya tujuh dimensi implementasi pembelajaran siswa aktif yang meliputi:

    1) Partisipasi siswa dalam menentukan tujuan kegiatan pembelajaran, 2) Penekanan kepada aspek afektif dalam pembelajaran, 3) Partisipasi siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar, terutama

    yang berbentuk interaksi antar murid, 4) Penerimaan guru terhadap perbuatan atau sumbangan siswa yang

    kurang relevan atau karena siswa berbuat kesalahan, 5) Keeratan hubungan kelas sebagai kelompok, 6) Kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil

    keputusan yang penting dalam kegiatan sekolah, 7) Jumlah waktu yang digunakan menangani masalah pribadi siswa,

    baik yang berhubungan atau yang tidak berhubungan dengan materi pelajaran.

    Dalam penelitian ini, karena subyek yang akan diteliti adalah keaktifan siswa

    maka dimensi-dimensi yang berhubungan dengan guru tidak akan ditiliti.

    Secara historis, pembelajaran aktif diperkenalkan di Indonesia pada satuan

    pendidikan dasar dan menengah pada tahun 1980-an sebagai pendekatan CBSA

  • 34

    (Cara Belajar Siswa Aktif). Berkembangnya pendekatan ini seiring dengan

    pergeseran paradigma dari instructor-centered instruction (teacher-centered

    teaching) menuju student centered instruction (Warsono dan Haryanto, 2012:7).

    Pernyataan ini menunjukkan bahwa keinginan meningkatkan keaktifan siswa

    dalam pembelajaran sudah ada sedari dulu hanya saja kenyataannya tidak semua

    guru mau melibatkan siswa dalam pembelajaran secara aktif.

    Selanjutnya Warsono dan Haryanto (2012:9) menjelaskan peran siswa

    dalam CBSA antara lain.

    1) Belajar secara individual maupun kelompok untuk mempelajari dan menerapkan konsep, prinsip dan hukum keilmuan.

    2) Membentuk kelompok untuk memecahkan masalah (problem solving).

    3) Berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.

    4) Berani bertanya, mengajukan pendapat serta mengungkapkan kritik-kritik yang relevan.

    5) Tidak sekedar melaksanakan pemikiran tingkat rendah (lower order thinking), tetapi juga melaksanakan pemikiran tingkat tinggi (higher order thinking).

    6) Menjalin hubungan sosial sebagai bentuk interaksi pembelajaran. 7) Berkesempatan menggunakan berbagai sumber belajar dan media

    belajar yang tersedia atau dibawahnya sendiri dari rumah sebagai hasil improvisasinya, karena telah diberitahu sebelumnya oleh guru tentang jenis pembelajaran apa yang akan dilaksanakan pada hari itu.

    8) Berupaya menilai proses dan hasil belajarnya sendiri, walau tidak secara formal.

    Rusman (2012:389) membagi 3 macam keterlibatan siswa dalam

    pembelajaran antara lain:

    1) Keterlibatan siswa dalam proses perencanaan meliputi, 1) perumusan tujuan pembelajaran, 2) penyusunan rancangan pembelajaran, 3) memilih dan menentukan sumber belajar, 4) menentukan dan mengadakan media pembelajaran yang akan digunakan.

    2) Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran meliputi, 1) kegiatan fisik, mental, intelektual, 2) kegiatan eksperimental, 3) keinginan siswa untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif, 4) keterlibatan siswa untuk mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang ada, 5) adanya interaksi multiarah (siswa dengan guru, siswa dengan siswa).

    3) Keterlibatan siswa dalam proses evaluasi pembelajaran dapat meliputi, 1) mengevaluasi sendiri hasil pembelajaran yang telah dilakukan, 2) melaksanakan kegiatan semacam tes dan tugas-tugas yang harus

  • 35

    dikerjakan baik secara terstruktur maupun tugas mandiri yang diberikan guru, 3) menyusun laporan hasil belajar baik secara tertulis maupun lisan.

    2.1.5. Pengertian Belajar, Pembelajaran dan Hasil Belajar Pada bab ini penjelasan mengenai teori belajar, pembelajaran dan hasil

    belajar akan dikaji secara teori. Setelah mengkaji teori tersebut maka diharapkan

    nanti penulis dapat menentukan bagaimana hasil belajar yang harus dicapai

    setelah pelaksanaan pembelajaran di tiap siklus.

    2.1.5.1. Belajar

    Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

    memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai

    hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto,

    2010:2). Definisi belajar tersebut membuka mata kita bahwa belajar tidak hanya

    mengenai proses latihan namun harus disertai adanya hasil berupa perubahan.

    Belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang

    yang belajar, apakah itu mengarah kepada yang lebih baik atau pun yang kurang

    baik, direncanakan atau tidak. Hal lain yang juga selalu terkait dalam belajar

    adalah pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau

    lingkungannya (Sukmadinata, 2009:155).

    Vesta dan Thompson (dalam Sukmadinata, 2009:156) menyatakan bahwa

    belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil dari

    pengalaman. Hampir sama dengan pendapat tersebut, Hilgard (dalam

    Sukmadinata, 2009:156) mengatakan belajar adalah suatu proses di mana suatu

    perilaku muncul atau berubah karena adanya respon terhadap sesuatu situasi.

    Dari beberapa pendapat dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari belajar

    adalah terjadinya perubahan. Dengan kata lain karena garis besar pandangan

    mengenai belajar tersebut menekankan aspek perilaku maka hasil dari

    perubahannya dapat teramati.

    Cronbach (dalam Sukmadinata, 2009:157), mengemukakan adanya tujuh

    unsur utama dalam proses belajar yaitu tujuan, kesiapan, situasi, interprestasi,

    respons, konsekuensi dan reaksi terhadap kegagalan. Unsur-unsur tersebut selalu

  • 36

    ada dalam diri setiap pemebelajar atau individu yang belajar.

    Selain unsur dari belajar, terdapat beberapa prinsip belajar secara umum.

    Beberapa prinsip umum belajar (dalam Sukmadinata, 2009:161) antara lain.

    1) Belajar merupakan bagian dari perkembangan. 2) Belajar berlangsung seumur hidup. 3) Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh faktot-faktor bawaan. 4) Belajar mencangkup semua aspek kehidupan. 5) Kegiatan belajar berlangsung pada setiap tempat dan waktu. 6) Belajar berlangsung dengan guru atau tanpa guru. 7) Belajar yang direncana atau disengaja menuntut motivasi yang tinggi. 8) Perbuatan belajar bervariasi dari yang paling sederhana sampai

    dengan yang sangat kompleks. 9) Dalam belajar dapat terjadi hambatan-hambatan. 10) Untuk kegiatan belajar tertentu diperlukan adanya bantuan atau

    bimbingan dari orang lain. 2.1.5.2. Pembelajaran

    Menurut Brings (dalam Rifa’i dan Anni, 2009:191) pembelajaran adalah

    seperangkat peristiwa (events) yang mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa

    sehingga peserta didik itu memperoleh kemudahan. Seperangkat peristiwa

    tersebut membangun suatu pembelajaran yang bersifat internal jika peserta didik

    melakukan self instruction dan di sisi lain kemungkinan juga bersifat eksternal,

    yaitu jika bersumber antara lain dari pendidik.

    Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

    dengan pembelajaran adalah suatu peristiwa dari hasil interaksi antara peserta

    didik, pendidik dan sumber belajar sehingga peserta didik memperoleh

    pengetahuan baru. Pembelajaran juga secara sederhana dapat diartikan sebuah

    proses belajar dan mengajar karena melibatkan peran guru dan murid.

    Dalam matematika pembelajaran dapat diwujudkan dengan berbagai cara.

    Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada

    peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik

    memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari (Muhsetyo,

    2007:1.26). dengan pandangan ini, berarti bahwa apapun cara yang akan

    digunakan dalam mengajarkan materi matematika, maka harus melibatkan

    pengalaman belajar dan kegiatan peserta didik dalam pembelajaran.

  • 37

    Pembelajaran selalu menyangkut suatu kompetensi atau tujuan yang akan

    dicapai. Muhsetyo (2007:1.26) membagi beberapa prinsip pembelajaran agar

    siswa mempunyai kompetensi yang sesuai sesuai perkembangan saat ini dan

    mendatang antara lain.

    1) Berorientasi pada siswa. 2) Mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat dan beragam. 3) Memperhatikan teori pendidikan dan teori belajar. 4) Mengusahakan suasana demokratis, partisipatif dan kooperatif. 5) Mengembangkan penilaian (evaluasi) yang menyeluruh dan beragam. 6) Memperhatikan ciri pokok keilmuan dari bidang studi atau materi yang

    dipelajari. 2.1.5.3. Pengertian Hasil Belajar

    Ada dua pendekatan didalam pelaksanaan pengajaran di sekolah, yaitu

    pendekatan yang mengutamakan proses dan pendekatan yang mengutamakan

    hasil belajar. Sesungguhnya antara kedua pendekatan tidak terdapat perbedaan

    prinsipil, sebab suatu hasil belajar yang baik akan diperoleh melalui proses belajar

    yang baik dan sebaliknya, proses belajar yang baik akan memberi hasil yang baik

    pula. Dalam kenyataan seringkali terjadi kekeliruan, karena yang diutamakan hasil

    maka proses belajar kurang diperhatikan, dengan demikian juga sebaliknya karena

    yang diutamakan proses maka hasil diabaikan (Sukmadinata, 2009:172).

    Mengutamakan hasil dan proses belajar secara bersama-sama memang

    sangat perl diperhatikan dalam sebuah perencanaan pembelajaran. Kenyataannya

    hasil yang baik selalu didambakan oleh siswa sebagai pembelajar maupun guru

    sebagai pengajar akan tetapi, hasil belajar yang baik perlu dibarengi dengan

    proses belajar yang baik pula. Dalam penelitian ini pun peneliti akan mencoba

    memasukkan sebuah model pembelajaran yang sangat menekankan sekali pada

    proses pembelajaran khususnya pembelajaran matematika. Dengan demikian

    diharapkan siswa benar-benar dapat menguasai materi yang diberikan sehingga

    hasil belajarnya pun baik.

    Disamping tinjauan dari segi proses, keberhasilan pengajaran dapat dilihat

    dari segi hasil. Asumsi dasar ialah proses pengajaran yang optimal

    memungkinkan hasil yang optimal pula. Makin besar besar usaha menciptakan

  • 38

    kondisi proses pengajaran, makin tinggi pula hasil atau produk dari pengajaran itu

    (Sudjana, 2011:37). Pendapat ini tentu semakin meyakinkan peneliti bahwa hasil

    dan proses adalah 2 hal yang saling mengait dalam pembelajaran.

    Ketercapaian hasil belajar yang diinginkan tidak pernah lepas dari tujuan

    pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan merupakan komponen utama yang

    terlebih dahulu harus dirumuskan guru dalam proses belajar mengajar. Peranan

    tujuan sangat penting sebab menentukan arah proses belajar mengajar. Tujuan

    yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap pemilihan bahan

    pelajaran, pemilihan metode mengajar dan alat bantu pengajaran serta memberi

    petunjuk terhadap penilaian. (Sudjana, 2011:56)

    Sesuai dengan tingkatannya, dalam penjabaran lebih lanjut Sudjana

    (2011:57) mengklasifikasikan tujuan pendidikan menjadi empat yaitu:

    1) Tujuan umum pendidikan

    2) Tujuan institusional atau lembaga pendidikan

    3) Tujuan kurikuler atau mata pelajaran

    4) Tujuan instruksional

    Lebih lanjut, tujuan institusional kulikuler dan mata pelajaran biasanya

    dicantumkan dalam pedoman kurikulum, sedangkan tujuan instruksional umum

    (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK) terdapat di pedoman instruksional

    (Nasution, 2006:60). Pendapat ini juga mengartikan bahwa tujuan instruksional

    sendiri masih dibagi 2 yaitu tujuan instruksional umum dan khusus. Tujuan

    instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.

    Sebagaimana ketentuan dalam PP No. 19 Th. 2005 tentang Standar

    pendidikan nasional, kurikulum yang berlaku di Indonesia adalah Kurikulum

    Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam ketentuan yang tertera dalam KTSP

    tersebut, tujuan pendidikan tidak lagi menggunakan istilah-istilah lama seperti

    Tujuan Kurikuler (TK), Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan

    Instruksional Khusus (TIK) lagi, tetapi dengan menggunakan istilah Standar

  • 39

    Kompetensi, disingkat SK, Kompetensi Dasar, disngkat KD, dan untuk istilah

    tujuan yang ingin dicapai oleh guru menjadi milik siswa dikenal dengan nama

    “indikator”. Istilah indikator berasal dari bahasa inggris to indicate , berarti

    menunjukkan. Dalam hal ini indikator menunjukkan sesuatu sebagai bukti bahwa

    yang ingin dicapai sudah benar-benar dicapai (Arikunto, 2012:148).

    Hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia

    menerima pengalaman belajarnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar

    dibedakan atas dua jenis yaitu bersumber dari dalam diri manusia yang belajar dan

    bersumber dari luar diri manusia yang belajar (Sutrisno :2008).

    1) Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri manusia dapat diklasifikasikan

    menjadi dua, yakni : faktor biologis dan faktor psikologis. Yang dapat

    diklasifikasikan sebagai faktor biologis antara lain usia, kematangan dan

    kesehatan, sedangkan yang dapat dikategorikan sebagai faktor psikologis

    adalah kelelahan, suasana hati, motivasi, minat dan kebiasaan belajar.

    2) Faktor-faktor yang bersumber dari luar diri manusia yang belajar dapat

    diklasifikasikan menjadi dua, yaitu faktor manusia (human) dan faktor non

    manusia seperti alam, benda, hewan danlingkungan fisik.

    Benyamin S Bloom (dalam Arikunto, 2012:128) menyebutkan tiga hasil

    pembelajaran yaitu :

    a. Ranah kognitif Tujuan ranah kognitif berhubungan dengan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan informasi, serta pengembangan keterampilan intelektual. Penggolongan tujuan ranah kognitif oleh bloom mengemukakan adanya 6 kelas / tingkat yakni:

    1) Pengetahuan 2) Pengalaman 3) Penerapan / penggunaan 4) Analisis 5) Sintesis 6) Penilaian / evaluasi

    b. Ranah Afektif Tujuan ranah afektif berhubungan dengan perhatian, sikap, penghargaan, nilai, perasaan, dan emosi. Ranah afektif meliputi 5 kelas yakni:

  • 40

    1) Menerima 2) Merespons / menjawab 3) Menilai 4) Organisasi 5) Karakterisasi

    c. Ranah Psikomotorik Tujuan ranah psikomotorik berhubungan dengan keterampilan motorik, manipulasi benda atau kegiatan yang memerlukan koordinasi syaraf dan koordinasi badan. Ranah psikomotorik meliputi 6 kelas yakni :

    1) Gerakan tubuh yang mencolok / gerakan reflex 2) Gerakan fundamental yang dasar 3) Kemampuan Perseptual 4) Kemampuan fisik 5) Gerakan terampil 6) Komunikasi nondiskursif

    Hasil belajar yang dicapai siswa menurut Sudjana (2011:56) melalui

    proses belajar mengajar yang optimal ditunjukan dengan ciri-ciri berikut ini.

    1) Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi belajarintrinsik pada diri siswa. Siswa tidak mengeluh dengan prestasi yang rendah dan ia akan berjuang lebih keras untuk memperbaikinya atau setidaknya mempertahankan apa yang telah dicapai sebagaimana mestinya.

    2) Hasil belajar yang dicapai bermakna bagi dirinya, seperti akan tahan lama diingat, membentuk perilaku, bermanfaat untuk mempelajari aspek lain, kemauan dan kemampuan untuk belajar sendiri dan mengembangkan kreatifitas.

    3) Hasil belajar yang diperoleh siswa secara menyeluruh (komperhensif), yakni mencangkup ranah kognitif, kognitif dan afektif.

    4) Kemampuan siswa untuk mengontrol atau menilai dan mengendalikan diri terutama dalam menilai hasil yang dicapainya maupun menilai dan mengendalikanproses dan usaha belajarnya.

    Hasil belajar memang harus dinilai secara komperhensif dan tidak hanya

    mencangkup aspek kognitif saja. Hanya saja, dalam prakteknya sangat sulit sekali

    untuk melihat bagaimana aspek afektif dan psikomotor pada proses pembelajaran.

    Dalam penelitian ini hasil belajar yang akan diukur korelasinya dengan penerapan

    Realistic Mathematics Education berbantuan media visual non proyeksi adalah

    kognitif saja. Hal ini dilakukan untuk membatasi pengukuran perkembangan hasil

    belajar yang dilakukan peneliti yaitu akan mengukur aspek kognitif yang

    dihasilkan setelah menerapkan model pembelajaran baru. Adapun aspek

  • 41

    psikomotor dan afektif tetap akan dilihat melalui observasi guna melihat

    kemungkinan pengaruh peningkatan di kedua aspek tersebut.

    Selain pendapat tentang 3 domain tersebut, sebenarnya bahwa manusia

    tidak akan pernah terpisah-pisah dalam mendapatkan hasil belajarnya, karena

    belajar sendiri merupakan gabungan dari ketiga aspek kognitif, afektif dan

    psikomotorik itu sendiri. Dalam hal ini boleh jadi cukup dengan menilai aspek

    kognitif sebenarnya aspek afektif dan psikomotrnya pun ada dibalik hasil kognitif

    yang terlihat. Seperti yang disampaikan Arikunto (2012:130) Sebenarnya

    pemisahan ketiga domain ini merupakan pemisahan yang dibuat-buat karena

    manusia merupakan suatu kebulatan yang tidak dapat dipecah-pecah sehingga

    segala tindakannya juga merupakan suatu kebulatan. Pendapat ini disampaikan

    sesuai perkembangan pemecahan domain yang mulanya hanya afektif dan

    kognitif kemudian dimunculkan lagi ranah psikomotor.

    Selain hasil yang ditentukan oleh sebuah tujuan, berbagai tujuan yang

    telah dirancang guru untuk dicapai siswa tersebut nantinya akan diukur. Hasil

    pengukurannya akan digunakan untuk menentukan apakah siswa yang

    bersangkutan tuntas dalam belajar atau tidak. Diknas (dalam Hamdani, 2011:60)

    mengemukakan bahwa ketuntasan belajar adalah kriteria ketuntasan minimal

    (KKM) dalam belajar fiqh yang mengisyaratkan siswa menguasai secara tuntas

    seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.

    Lebih lanjut dijelaskan , ketuntasan belajar dapat dicapai siswa apabila >75%

    secara individu dan >85% secara keseluruhan objek penelitian. Dalam penelitian

    ini standar diturunkan 5% menjadi >70% secara individu dan >80% secara

    keseluruhan dikarenakan obyek penelitian yang bersangkutan sama sekali belum

    pernah mencoba model pembelajaran yang diujikan.

    2.1.6. Hubungan RME berbantuan media visual non proyeksi dengan peningkatan keaktifan dan hasil belajar siswa

    Realistic Mathematics Education atau RME dalam prakteknya tidak

    pernah lepas dari peranan model matematika. Wijaya (2012:47) mengatakan

    penggunaan model atau pemodelan juga merupakan salah satu aspek yang

  • 42

    diperhatikan dalam Pendidikan Matematika Realistik. Karakteristik Pendidikan

    Matematika Realistik yang ke dua menempatkan penggunaan model untuk

    matematisasi progresif sebagai hal yang penting dalam penemuan dan

    pembangunan konsep matematika siswa.

    Pengajaran akan lebih efektif apabila objek dan kejadian yang menjadi

    bahan pengajaran divisualisasikan secara realistik menyerupai keadaan

    sebenarnya, namun tidaklah berarti bahwa media harus selalu menyerupai

    keadaan sebenarnya. Sebagai contoh adalah model. Model sekalipun merupakan

    gambaran nyata dari objek dalam bentuk tiga dimensi tidak dapat dikatakan

    realistik sepenuhnya. Sungguhpun demikian model sebagai media pengajaran

    dapat memberi makna terhadap isi pesan dari keadaan yang sebenarnya (Rivai dan

    Sudjana, 2010:9).

    Penerapan RME (Realistic Mathematics Education) akan sangat terbantu

    dengan pemilihan media yang tepat. Media yang paling sesuai berdasarkan

    pendapat-pendapat yang telah dikemukakan adalah media visual. Media visual

    sendiri masih terklasifikasikan lagi menjadi beberapa jenis, maka untuk lebih

    membatasi pemilihan media dipilihlah media non proyeksi. Media visual non

    proyeksi dipilih karena sifatnya yang sesuai dengan pemodelan matematika

    realistik, selain itu model ini juga akan membantu mengaktifkan siswa didalam

    proses pembelajaran.

    Hubungan RME dengan aktifitas dan keaktifan siswa sangat erat.

    Pernyataan Freundental yang menyatakan bahwa matematika merupakan bentuk

    aktifitas manusia melandasi pengembangan Pendidikan Matematika Realistik

    (Wijaya, 2012:20). Selain itu, mengacu pada pendapat Freundental bahwa

    matematika tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk, yang siap dipakai

    tetapi suatu konsep yang dibangun oleh siswa maka dalam pendidikan matematika

    realistik siswa ditempatkan sebagai subyek belajar (Wijaya, 2012:22).

    Berdasarkan pendapat tersebut maka siswa memiliki andil yang besar dalam

    ketercapaian pembelajaran yang baik dengan menerapkan RME.

    Dalam Pendidikan Matematika Realistik, interaktivitas dibangun atas

    kerjasama antar individu siswa. Dalam RME, Wijaya (2012:23) mengatakan

  • 43

    bahwa pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika bermanfaat dalam

    pengembangan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara simultan. Dengan

    kata lain RME juga berkaitan dengan keinginan mendapatkan hasil belajar yang

    baik. Hal ini dapat ditunjukkan hasil belajar yang dikehendaki tidak hanya dalam

    ranah kognitif saja melainkan juga afektif.

    Selain itu bila penerapan RME (Realistic Mathematics Education)

    digabungkan dengan pemanfaatan media visual non proyeksi maka hasil belajar

    juga akan terlihat dalam keaktifan siswa dalam memanfaatkan media sebagai

    wujud hasil belajar psikomotor siswa. Penggunaan media dalam pengajaran

    mempunyai kontribusi tinggi terhadap kualitas pengajaran. Sedangkan secara

    teoritis kualitas pengajaran akan mempengaruhi kualitas hasil belajar yang dicapai

    para siswa (Rivai dan Sudjana, 2010:11).

    2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan terhadap

    penerapan model pembelajaran matematika realistik untuk meningkatkan kualitas

    pembelajaran matematika pada siswa sekolah dasar.

    Penelitian yang dilaksanakan oleh Rizal Al Muhari (2012:i) pada kelas 4

    SD N 2 Depok, Sleman, Yogyakarta dengan judul Penerapan Pendekatan

    Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) untuk Meningkatkan

    Kreatifitas Belajar Siswa Kelas IV dalam Proses Pembelajaran Matematika di SD

    Negeri Percobaan 2 Depok Sleman Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan

    bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI pada siswa kelas 4-A

    SD Negeri Percobaan 2 Depok Sleman Yogyakarta telah dapat meningkatkan

    kreativitas belajar matematika. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan

    persentase pada aspek kreativitas sebagai berikut: aspek waktu yang digunakan

    dalam menyelesaikan soal sebesar 48,4% pada siklus I, menjadi 77,25% pada

    siklus II. Aspek adanya cara baru yang digunakan mendapat persentase sebesar

    43,1% pada siklus I, menjadi 57,85% pada siklus II. Aspek keorisinilan jawaban

    siswa mendapat persentase sebesar 53,05% pada siklus I, dan menjadi 84,05%

    pada siklus II. Aspek kejelasan menguraikan jawaban mendapat persentase

  • 44

    sebesar 53,3% pada siklus I, menjadi 65,9% pada siklus II. Terakhir adalah aspek

    kemampuan mengambil keputusan dalam menyelesaikan soal mendapat

    persentase sebesar 54,45% pada siklus I, menjadi 74,05% pada siklus II. Dapat

    disimpulkan bahwa rata-rata persentase dari observasi pembelajaran yang

    difokuskan pada kreativitas belajar meningkat dari 50,46% pada siklus I, menjadi

    71,82% pada siklus II. Keterlaksanaan pembelajaran matematika dengan

    pendekatan PMRI dikategorikan baik dengan rata-rata persentase sebesar 75%

    dari lembar observasi, dan persentase sebesar 69,95% dalam kategori baik dari

    hasil angket yang diisi oleh siswa. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa

    kreativitas belajar meningkat dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan

    PMRI pada siswa kelas 4-A SD Negeri Percobaan 2 Depok Sleman Yogyakarta.

    Selain hasil penelitian tersebut terdapat juga hasil penelitian lain yaitu

    penelitian yang dilakukan oleh Kornelis seorang mahasiswa UKSW di progdi

    PGSD fakultas FKIP. Kornelis (2012:i) dalam skripsinya yang berjudul Pengaruh

    Model Pembelajaran Mathemathic Realistics Education terhadap Hasil Belajar

    Matematika Siswa Sekolah Dasar Kelas IV SD Negeri Mangunsari 03 dan

    Mangunsari 07 Salatiga 2011/2012 mengungkapkan berbagai temuan. Dalam

    penelitiannya, hasil yang diperoleh 5% siswa mendapatkan kriteria nilai cukup

    dengan rata-rata nilai 60, kemudian 10% siswa mendapatkan nilai cukup baik

    dengan rata-rata nilai 67. Sisanya 60% siswa mendapatkan nilai baik dengan rata-

    rata 80 dan sisanya termasuk dalam kategori sangat baik karena hasilnya sangat

    memuaskan yaitu diatas 90.

    Dalam penelitian yang dilakukan oleh Faridha Isna Arini (2010;i) dengan

    judul Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika dengan Pembelajaran

    Matematika Realistik Materi Bangun Ruang pada Siswa Kelas IV SD Kebondowo

    02 Kecamatan Banyubiru Semester II Tahun Pelajaran 2009/2010 menyimpulkan

    bahwa pendekatan matematika realistik dapat meningkatkan prestasi belajar siswa

    dibanding pembelajaran konvenional. Keberhasilan dapat dilihat dari dari

    peningkatan rata-rata prestasi belajar yang pada kondisi awalnya hanya 64

    meningkat menjadi 79,7 di siklus I dan 94,4 di siklus II.

  • 45

    Penelitian tersebut menunjukan bahwa RME (Realistic Mathematics

    Education) terbukti dapat mempengaruhi juga hasil belajar siswa. Selain itu, dari

    penelitian ini menunjukkan bahwa Realistic Mathematics Education (RME) dapat

    menjadi pengganti model konvensional untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

    Untuk itu, RME dapat diujicobakan dalam kelas yang belum pernah

    menggunakan model pembelajaran RME agar dapat meningkatkan kualitas

    pembelajaran dan hasil belajar siswa.

    2.3 Kerangka Pikir Setelah mengkaji semua teori yang menyangkut penelitian yang akan

    dilakukan, penulis memiliki keteraitan antar konsep dalam penelitian yang dapat

    dijelaskan dalam sebuah kerangka berpikir. Kerangka pikir penulis dapat

    dijelaskan dijelaskan seperti berikut ini, pada kondisi awal kelas 5 SD N 1 Kemiri

    mulanya masih menggunakan metode konvensional. Berdasarkan observasi yang

    dilakukan penulis sebelum penelitian dilakukan, pembelajaran yang dilakukan

    masih terlalu banyak menggunakan metode ceramah dan pemberian tugas. Tugas

    yang diberikan berupa latihan-latihan soal sehingga siswa yang tidak dalam

    kategori anak pandai akan merasa terbebani. Selain itu, pembelajaran dilakukan

    kurang memanfaatkan media pembelajaran. Dugaan penulis karena keaktifan

    siswa yang kurang dan metode yang kurang tepat maka nilai matematika kelas 5

    SD N 1 Kemiri menjadi rendah dengan rata-rata kelas 67.

    Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, penulis menawarkan sebuah

    metode yaitu RME (Realistic Mathematic Education). Metode mengajar dengan

    mengarahkan siswa untuk berpikir matematis serta penalaran sesuai dengan

    kehidupan keseharian yang nyata ini, diharapkan dapat membentuk pola pikir

    siswa bahwa matematika itu tidak sulit. Dengan demikian, ketika siswa sudah

    dapat bernalar dengan baik maka diharapkan dapat mendapatkan hasil belajar

    yang memuaskan.

    Selain itu, untuk lebih meningkatkan kekatifan siswa di kelas maka penulis

    mengkolaborasikan RME (Realistic Mathematic Education) dengan media visual

    non proyeksi. Media visual non proyeksi sangat sesuai dengan RME karena salah

  • 46

    satu contoh bentuk media ini adalah benda-benda nyata yang mudah ditmukan di

    sekitar lingkungan siswa. Diharapkan setelah keaktifan meningkat dan

    kemampuan matematika meningkat, maka ketuntasan nilai matematika kelas 5 SD

    N 1 Kemiri dapat meningkat hingga 80%.

    2.4 Hipotesis

    Berdasarkan beberapa masalah yang telah dirumuskan, maka penulis dapat

    merumuskan beberapa dugaan sebagai berikut.

    1. Dengan menerapkan RME (Realistic Mathematic Education) berbantuan

    media visual non proyeksi diduga dapat meningkatkan keaktifan belajar

    siswa kelas 5 SD N 1 Kemiri pada mata pelajaran matematika.

    2. Dengan menerapkan RME (Realistic Mathematic Education) berbantuan

    media visual non proyeksi diduga dapat meningkatkan hasil belajar siswa

    kelas 5 SD N 1 Kemiri pada mata pelajaran matematika.

    3. Dengan menerapkan RME (Realistic Mathematic Education) berbantuan

    media visual non proyeksi di kelas 5 SD N 1 Kemiri, diduga ada pengaruh

    keaktifan belajar siswa terhadap peningkatan hasil belajar siswa pada mata

    pelajaran matematika.

    4. Dengan menerapkan tahap-tahap kegiatan pembelajaran RME (Realistic

    Mathematic Education) dan menggunakan media visual non proyeksi

    diharapkan keaktifan siswa kelas 5 SD N 1 Kemiri meningkat.

    Dengan menerapkan tahap-tahap kegiatan pembelajaran RME (Realistic

    Mathematic Education) dan menggunakan media visual non proyeksi

    diharapkan hasil belajar matematika siswa kelas 5 SD N 1 Kemiri

    meningkat.