25
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Etiologi Mycobacterium bovis Mycobacterium bovis penyebab BTB adalah anggota dari Mycobacterium tuberculosis kompleks. Kelompok yang juga termasuk didalamnya ialah : Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium africanum dan Mycobacterium microti. Mycobacterium bovis merupakan agen penyebab tuberkulosis pada sapi sedangkan Mycobacterium tuberculosis pada manusia (Qamar dan Azhar, 2013). Secara morfologik, Mycobacterium sp. berbentuk batang (Poeloengan et al., 2014) dan memiliki panjang 2-4 μm dan lebar 0,2-0,5 μm serta bersifat aerob obligat, parasit intraselular fakultatif, terutama pada makrofag dan memiliki waktu regenerasi yang lambat yakni 15-20 jam (Todar, 2012). Peneliti sebelumnya membuktikan bahwa bakteri Mycobacterium sp. merupakan bakteri Gram positif dan bersifat tahan asam. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) sehingga dengan pewarnaan Ziechl Nielsen berwarna merah (Poeloengan et al., 2014). Bakteri ini kadang-kadang berbentuk filamen atau menyerupai miselium, tidak bergerak aktif (non motil), tidak membentuk spora, pertumbuhan in vitro sangat lambat yaitu 2 10 minggu (Tarmudji dan Supar, 2008), serta hanya dapat hidup beberapa minggu di luar tubuh induk semangnya, karena tidak tahan terhadap panas, sinar matahari langsung atau kondisi kekeringan (Tarmudji dan Supar, 2008). Struktur dinding sel Mycobacterium sp. bersifat unik dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Etiologi Mycobacterium bovis bab II.pdf · terjadi adalah sel-sel neutrofil menyerang dan mengelilingi bakteri yang ada pada jaringan. Sel-sel neutrofil

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Etiologi Mycobacterium bovis

Mycobacterium bovis penyebab BTB adalah anggota dari Mycobacterium

tuberculosis kompleks. Kelompok yang juga termasuk didalamnya ialah :

Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium africanum dan Mycobacterium

microti. Mycobacterium bovis merupakan agen penyebab tuberkulosis pada sapi

sedangkan Mycobacterium tuberculosis pada manusia (Qamar dan Azhar, 2013).

Secara morfologik, Mycobacterium sp. berbentuk batang (Poeloengan et

al., 2014) dan memiliki panjang 2-4 µm dan lebar 0,2-0,5 µm serta bersifat aerob

obligat, parasit intraselular fakultatif, terutama pada makrofag dan memiliki waktu

regenerasi yang lambat yakni 15-20 jam (Todar, 2012). Peneliti sebelumnya

membuktikan bahwa bakteri Mycobacterium sp. merupakan bakteri Gram positif

dan bersifat tahan asam. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam

(BTA) sehingga dengan pewarnaan Ziechl Nielsen berwarna merah (Poeloengan

et al., 2014). Bakteri ini kadang-kadang berbentuk filamen atau menyerupai

miselium, tidak bergerak aktif (non motil), tidak membentuk spora, pertumbuhan

in vitro sangat lambat yaitu 2 – 10 minggu (Tarmudji dan Supar, 2008), serta

hanya dapat hidup beberapa minggu di luar tubuh induk semangnya, karena tidak

tahan terhadap panas, sinar matahari langsung atau kondisi kekeringan (Tarmudji

dan Supar, 2008). Struktur dinding sel Mycobacterium sp. bersifat unik dan

7

berbeda diantara prokariot lainnya dan merupakan faktor penentu virulensinya.

Dinding selnya memiliki peptidoglikan, tetapi lebih dari 60% komponen dinding

selnya adalah lipid. Fraksi lipid dinding sel Mycobacterium sp. terdiri dari 3

komponen yaitu asam mikolat, cord factor dan wax-D (Todar, 2012).

Asam mikolat merupakan molekul hidrofob kuat yang membentuk lapisan

lipid mengelilingi organisme dan berperan dalam permeabilitas permukaan sel.

Asam ini juga berfungsi mempertahankan mikobakterium dari serangan lisozim,

serta melindungi mikobakterium ekstrasel (Todar, 2012).

Cord factor bersifat toksik terhadap sel mamalia dan merupakan

inhibitor migrasi leukosit polimorfonuklear ( Polymorphonuclear Leukocyte,

PMNL). Cord factor umumnya dihasilkan oleh galur Mycobacterium tuberculosis

yang virulen. Konsentrasi lipid yang tinggi pada dinding sel ini menyebabkan

Mycobacterium tuberculosis bersifat impermeabel terhadap pewarnaan, resisten

terhadap kebanyakan antibiotik, tidak bisa dibunuh menggunakan senyawa

asam atau basa dan dapat bertahan dari serangan makrofag. Wax-D dalam amplop

sel merupakan komponen utama dari bahan Freund's Complete Adjuvant (CFA)

(Todar, 2012).

8

2.2. Prevalensi Global Mycobacterium bovis

Kejadian Mycobacterium bovis penyebab tuberkulosis sapi di Indonesia

dilaporkan pertama kali menyerang sapi perah di Semarang (Jawa Tengah) oleh

Penning pada tahun 1906, yang pada saat itu dilakukan uji tuberkulinasi terhadap

303 ekor sapi perah dan hasilnya ditemukan 3 sapi (0,9%) yang bereaksi positif

(reaktor) terhadap tuberkulosis (Tarmudji dan Supar, 2008). Selain di Indonesia,

tuberkulosis pada sapi telah dilaporkan di beberapa negara di dunia yakni

sebanyak 69% terjadi di negara-negara Asia dan 80% diantaranya berada di

negara-negara Afrika (Cousins, 2001). Dari 55 negara di Afrika, 25 negara

diantaranya dilaporkan tertular BTB dengan insiden yang rendah dan bersifat

sporadis. Sementara yang memiliki kejadian tinggi berada di Malawi dan Mali

(Cosivi et al., 1998). Dari semua negara di Afrika, hanya tujuh negara

menerapkan langkah-langkah pengendalian penyakit dengan kebijakan test and

slaughter (Cosivi et al., 1998). Sementara 36 negara di Asia, 16 diantaranya

melaporkan kejadian BTB dengan tingkat yang rendah dan bersifat sporadis.

Sedangkan Bahrain dikategorikan sebagai wilayah yang enzootik. Dalam kawasan

Asia, tujuh negara menerapkan langkah-langkah pengawasan penyakit sebagai

bagian dari kebijakan test and slaughter serta menerapkan kebijakan bahwa BTB

wajib dilaporkan. Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa 29 negara yang ada di Asia

tidak menerapkan kebijakan tersebut di atas (Cosivi et al., 1998).

9

2.3. Hewan Rentan Mycobacterium bovis

Sapi merupakan inang sejati Mycobacterium bovis. Selain sapi, ternak

kambing dan babi juga rentan terhadap serangan tuberkulosis. Sedangkan

sejumlah hewan lain seperti kerbau, onta, rusa, kuda, bison dan berbagai satwa

liar baik yang hidup di alam bebas maupun yang hidup terkurung di kebun

binatang maupun hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, semuanya dapat

terserang tuberkulosis. Possum (trichosurus vulpecula) di Selandia Baru dan

badgers (meles meles) di Inggris merupakan satwa liar setempat yang diketahui

berpotensi besar dalam penyebaran tuberkulosis baik bagi kawanan sapi di Inggris

maupun bagi kawanan sapi dan domba di Selandia Baru. Diperkirakan bahwa

kerugian ekonomi akibat tuberkulosis adalah kehilangan 10-25% dari efisiensi

produksi di luar kematian hewan (OIE, 2009).

Adapun kerentanan spesies hewan terhadap tipe bakteri Tuberkulosis

adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1.

Kerentanan spesies hewan terhadap tipe bakteri tuberkulosis.

Sumber: Poeloengan et al., 2014.

Spesies hewan Bovine tuberculosis Human tuberculosis

Marmot ++++ ++++

Kelinci ++++ +

Mencit (galur tertentu) ++++ ++++

Hamster ++ +++

Kera ++ 0

Kuda ++ +

Anjing ++++ +

Sapi +++ +

Babi +++ ++

Bangsa Kakak tua 0 0

Unggas 0 0

10

2.4. Patogenesis Mycobacterium bovis

Patogenesis BTB terdiri dari dua tahapan yaitu : masa infeksi primer dan

masa reinfeksi. Pada masa infeksi primer terjadi perubahan yang ditimbulkan oleh

Mycobacterium sp. pada organ tubuh dan kelenjarnya, yang disebut “komplek

primer”. Infeksi yang terjadi pada organ-organ yang termasuk dalam komplek

primer ini dapat sembuh. Namun, jika tidak sembuh, hal ini kemungkinan

disebabkan karena bakteri bersifat sangat virulen, dan resistensi individu hospes

yang rendah. Komplek primer dapat menimbulkan metastasis yang secara cepat

dapat membunuh hewan (Tarmudji dan Supar, 2008).

Masa reinfeksi tuberkulosis yang terjadi pada sapi akan menyebabkan

kejadian penyakit menjadi kronis atau menahun. Bila sapi penderita tuberkulosis

dapat mengalahkan infeksi primer tersebut, secara klinis individu tersebut dapat

sembuh. Sementara bila terjadi reinfeksi, maka menyebabkan infeksi menahun

pada alat tubuh (organ) paru-paru dan hati (fase ini disebut tuberkulosis menahun)

yang mengakibatkan terjadinya pembentukan tuberkel-tuberkel. Proses yang

terjadi adalah sel-sel neutrofil menyerang dan mengelilingi bakteri yang ada pada

jaringan. Sel-sel neutrofil ini secara cepat diganti dengan sel-sel epiteloid. Pada

pertengahan tuberkel terlihat struktur fibrinoid yang diikuti perkejuan dan

pengapuran. Di sekitar lapisan sel-sel terdapat selapis sel-sel spesifik yakni sel-sel

bundar (limfosit, monosit, sel-sel plasma), histiosit dan fibroblast. Pada TB

biasanya ditemukan sel-sel epiteloid dan sel-sel Langerhans (Tarmudji dan Supar,

2008). Saat Mycobacterium sp. berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan

segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Reaksi

11

immunologis menunjukkan bahwa bakteri tersebut akan berusaha dihambat

melalui pembentukan dinding disekeliling bakteri itu oleh sel paru-paru.

Mekanisme pembentukan dinding tersebut membuat jaringan disekitarnya

menjadi jaringan parut, dan bakteri Mycobacterium sp. akan menjadi dormant

(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai

tuberkel (Megawati, 2013).

Perkembangan infeksi Mycobacterium sp. menjadi tuberkulosis aktif

dalam inang dapat dibagi dalam 5 tahap, yaitu dimulai dengan inhalasi droplet.

Paru merupakan jalan utama masuknya Mycobacterium sp. melalui udara, yaitu

dengan inhalasi droplet sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus

serta alveoli (Todar, 2012)

Tahap kedua dimulai 7-21 hari setelah terinfeksi, Mycobacterium sp.

memperbanyak diri dalam makrofag yang tidak aktif, sampai makrofag tersebut

pecah. Kemudian makrofag lain yang aktif mulai muncul dari sistem darah tepi

dan memfagositosis Mycobacterium sp., tetapi akhirnya makrofag ini juga

kembali tidak aktif sehingga tidak dapat memusnahkan Mycobacterium sp.

(Todar, 2012)

Pada tahap ketiga terbentuk respon imun selular. Limfosit khususnya sel T,

mengenali antigen dengan bantuan molekul Major Histocompability Complex

(MHC) selanjutnya akan terjadi aktivasi sel T dan pembebasan sitokin yaitu

interferon gamma (IFN γ). Pembebasan IFN γ akan mengaktifasi makrofag dan

makrofag yang teraktivasi inilah yang mampu memusnahkan Mycobacterium sp..

Pada tahap ketiga ini juga terbentuk tuberkuli dan Mycobacterium sp. tidak dapat

12

memperbanyak diri dalam keadaan tuberkuli, karena pH sangat rendah dan jumlah

oksigen terbatas. Mycobacterium sp. dapat tahan dalam keadaan tuberkuli selama

periode waktu tertentu (Todar, 2012).

Pada tahap keempat terjadi pertumbuhan tuberkuli. Walaupun banyak

terdapat makrofag aktif disekitar tuberkuli, juga banyak terdapat makrofag yang

tidak atau kurang aktif. Mycobacterium sp. menggunakan makrofag tidak atau

kurang aktif ini untuk bereplikasi sehingga tuberkuli dapat tumbuh dan

menyerang bronkhus menyebabkan infeksi Mycobacterium sp. dapat menyebar ke

bagian lain paru-paru. Tuberkuli juga dapat menyerang arteri atau pembuluh darah

lainnya dan menyebabkan tuberkulosis ekstra-paru (Todar, 2012). Lesi juga

ditemukan pada hati, granuloma paru-paru, limpa dan limfonodus (mandibular,

parotid, retro-pharyngeal, mediastinal, tracheobronchial dan tonsil) (Tarmudji

dan Supar, 2008).

Pada tahap kelima, caseous centers tuberkuli mencair, namun mekanisme

terjadinya hal tersebut belum diketahui. Cairan ini sangat mendukung

pertumbuhan Mycobacterium sp. dan mulai memperbanyak diri secara ekstrasel

dengan cepat. Jumlah Mycobacterium sp. yang banyak akan menyebabkan

lapisan jaringan terdekat dengan bronkhi mengalami nekrosis dan rusak,

menimbulkan rongga dan menyebabkan Mycobacterium sp. dapat menyebar ke

udara dan bagian lain dari paru-paru (Todar, 2012).

13

2.5. Gejala Klinis Mycobacterium bovis

Menurut Tarmudji dan Supar (2008), gejala klinik Mycobacterium bovis

dapat dibedakan menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai

dengan organ yang terlibat. Gejala klinik tidak selalu spesifik, terutama pada

kasus baru, sehingga menyulitkan diagnosisnya. Penyakit tuberkulosis

berkembang secara lambat, mulai bulanan sampai tahunan. Sapi yang sudah

terinfeksi mikobakterial pada stadium awal tidak menunjukkan gejala klinis.

Namun pada stadium lanjut, sapi menunjukkan gejala umum yakni : temperatur

tubuh fluktuatif, anoreksia dan kehilangan bobot hidup, pembengkakan

limfonodus, batuk-batuk sampai sesak nafas dan frekuensi respirasi bertambah

(bila tuberkulosis paru-paru) dan indurasi atau pengerasan puting susu.

Pada sapi penderita tuberkulosis, bila bakteri Mycobacterium bovis sudah

menyerang otak, akan mengalami gejala syaraf (inkoordinasi, terhuyung-huyung)

dan tingkah lakunya abnormal sebagai akibat adanya meningo ensefalitis

tuberkulosa pada sapi Holstein yang berumur 4 tahun (Tarmudji dan Supar, 2008).

2.6. Perubahan patologi anatomi Mycobacterium bovis

Tarmudji dan Supar (2008), melaporkan bahwa lesi Mycobacterium bovis

dapat terjadi pada semua organ pada tubuh, tetapi lokasi yang paling umum

terdapat pada paru-paru dan limfonodus. Ukuran lesi dapat bervariasi dari

beberapa milimeter sampai ke seluruh nodul dan lobus paru-paru. Terbentuknya

lesi awal di deteksi sebagai nodul-nodul kecil berwarna putih dengan diameter

beberapa milimeter. Sedangkan lesi besar khususnya yang terjadi pada paru-paru

14

ditandai dengan nekrosis yang meluas. Pada pemeriksaan post mortem dari sapi

penderita tuberkulosis, terlihat lesi granuloma (di mana bakteri dilokalisir) yang

berbentuk bulat, berdiameter 1 – 3 sentimeter, berwarna kuning atau abu-abu dan

konsistensinya keras. Pada bidang sayatan granuloma mengandung masa kering

kekuningan, perkejuan atau masa nekrotik mengandung reruntuhan sel-sel mati.

Diperkirakan 90% lesi tuberkulosis pada sapi melibatkan limfonodus pada sistem

pernafasan (Gambar 2.1.). Namun lesi dapat juga ditemukan pada rongga thorax,

kepala, mesenterika dan sekitar separuh lesi paru-paru terdapat dalam bagian

lobus distal diafragma (Tarmudji dan Supar, 2008). Pada paru-paru, seringkali

terjadi abses miliari karena bronkho pneumonia supurativa dan terdapat nanah

yang berwarna krem sampai oranye, konsistensinya bervariasi dari cairan kental

menjadi perkejuan, yang biasanya diselaputi oleh jaringan kapsular yang tebal

(Gambar 2.2.). Nodul-nodul kecil nampak pada pleura dan peritoneum (Tarmudji

dan Supar, 2008). Pada penyebaran kasus, terdapat granuloma kecil-kecil lebih

dari satu ditemukan pada sejumlah organ misalnya pada paru-paru, limpa, hati dan

rongga tubuh (CFSPH, 2005).

Gambar 2.1. Limfonodus sapi yang terinfeksi tuberkulosis (kiri), Limfonodus

sapi normal (kanan). Sumber : (Tarmudji dan Supar, 2008)

15

Gambar 2.2. Lesi tuberkulosis pada paru sapi dara umur 2 tahun. Sumber :

(Tarmudji dan Supar, 2008)

2.7. Metode diagnostik untuk memeriksa adanya Mycobacterium bovis

Mendeteksi Mycobacterium bovis diperlukan beberapa metode diagnostik

untuk medeteksi keberadaan bakteri tersebut. Salah satu metode yang digunakan

dalam penelitian ini ialah Polymerase Chain Reaction (PCR).

2.7.1. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah

suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. PCR ini

pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis. Amplifikas

DNA pada PCR dapat dicapai bila menggunakan primer oligonukleotida yang

disebut amplimers. Primer DNA suatu sekuens oligonukleotida pendek yang

berfungsi mengawali sintesis rantai DNA. PCR memungkinkan dilakukannya

pelipatgandaan suatu fragmen DNA. Umumnya primer yang digunakan pada PCR

terdiri dari 20 -30 nukleotida (Yusuf, 2010).

16

DNA template (cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan

dan berasal dari patogen yang terdapat dalam spesimen klinik. Enzim DNA

polimerase merupakan enzim termostabil Taq dari bakteri termofilik Thermus

aquaticus. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) menempel pada ujung 3’ primer

ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi polimerase

(Yusuf, 2010).

Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: denaturasi awal, denaturasi,

annealing, ekstensi dan ekstensi akhir. Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan

tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah

DNA (Handoyo dan Rudiretna, 2001).

2.7.1.1. Denaturasi

Pada tahap ini molekul DNA dipanaskan sampai suhu 950C yang

menyebabkan terjadinya pemisahan untai ganda DNA menjadi untai DNA

tunggal. Untai DNA tunggal inilah yang menjadi cetakan bagi untai DNA baru

yang akan dibuat (Kusuma, 2010).

Gambar 2.3. Untai DNA mengalami denaturasi.

Sumber : Kusuma (2010)

17

2.7.1.2. Penempelan (Annealing)

Enzim Taq polimerase dapat memulai pembentukan suatu untai DNA

baru jika ada seuntai DNA berukuran pendek (DNA yang mempunyai panjang

sekitar 10 sampai 30 pasang basa) yang menempel pada untai DNA target yang

telah terpisah. DNA yang pendek ini disebut primer. Agar suatu primer dapat

menempel dengan tepat pada target, diperlukan suhu yang rendah sekitar 550C

selama 30-60 detik (Kusuma, 2010).

Gambar 2.4. Penempelan primer dengan untai DNA yang telah

terdenaturasi. Sumber : Kusuma (2010).

2.7.1.3. Pemanjangan (Ektension)

Pemanjangan (Ektension) merupakan langkah setelah primer menempel

pada untai DNA target, enzim DNA polimerase akan memanjangkan sekaligus

membentuk DNA yang baru dari komponen primer, DNA cetakan dan nukleotida

(Kusuma, 2010).

Gambar 2.5. Perpanjangan DNA. Sumber : Kusuma (2010).

18

Deteksi kuman BTB dengan teknik PCR mempunyai sensitivitas yang

amat tinggi. PCR merupakan cara amplifikasi DNA, dalam hal ini DNA

Mycobacterium sp., secara in vitro. Proses ini memerlukan DNA cetakan

(template) untai ganda yang mengandung DNA target, enzim DNA polymerase,

nukleotida trifosfat, dan sepasang primer. Pemeriksaan Mycobacterium sp.

dengan teknik PCR cukup baik bila dibandingkan dengan kultur bakteri BTB.

Pemeriksaan Mycobacterium sp. dengan teknik PCR mempunyai keunggulan,

yaitu waktu pemeriksaannya relative singkat, yaitu hanya 24 jam saja, sedangkan

pemeriksaan kultur bakteri Mycobacterium sp. membutuhkan waktu 8 – 12

minggu (Jasaputra et al., 2005).

Teknik tes amplifikasi molekul PCR telah terbukti menjadi alternatif

peneguhan diagnose yang menjanjikan bahkan untuk negara-negara berkembang.

Dengan PCR, diagnosis dapat ditegakkan lebih cepat dan proses diagnostik

menjadi tidak rumit, PCR dapat mengurangi keterlambatan baik dalam diagnosis

dan awal pengobatan. Bergantung pada "standar emas" dan faktor metodologis

lainnya, studi menunjukkan sensitivitas PCR mulai dari 77% sampai dengan 95%

(Lydia et al., 2004).

2.8 Etiologi Klebsiella pneumoniae

Bakteri Klebsiella pneumoniae penyebab Klebsiellosis tumbuh di bawah

kondisi aerob pada suhu 12-43ºC dengan pertumbuhan optimum pada suhu 35-

37ºC dan minimum di bawah kondisi anaerob. Ph optimum untuk pertumbuhan

adalah 7,2. Umumnya, bakteri ini dapat menggunakan sitrat dan glukosa sebagai

19

sumber karbon satu-satunya dan ammonia sebagai sumber nitrogen. Klebsiella

pneumoniae adalah bakteri Gram negatif berukuran 0,3-1,5 μm × 0,6-6,0 μm

yang berbentuk batang (basil). Klebsiella pneumoniae tergolong bakteri yang

tidak dapat melakukan pergerakan (non motil). Berdasarkan kebutuhannya akan

oksigen, Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella

pneumoniae dapat memfermentasikan laktosa. Pada uji dengan indol, Klebsiella

pneumoniae akan menunjukkan hasil negatif. Klebsiella pneumoniae dapat

mereduksi nitrat. Klebsiella pneumoniae banyak ditemukan di mulut, kulit, dan

saluran usus, namun habitat alami dari Klebsiella pneumoniae adalah di tanah

(Rahmawati, 2009).

Klebsiella pneumoniae memiliki kapsul polisakarida yang penting. Kapsul

ini menyelubungi permukaan seluruh sel serta menyumbang besar kemunculan

organisme pada pewarnaan gram dan memberikan perlawanan terhadap berbagai

mekanisme pertahanan inang. Anggota dari genus Klebsiella sp. biasanya

mengekspresikan 2 jenis antigen pada permukaan sel. Yang pertama adalah

lipopolisakarida (O antigen), sementara yang lain adalah polisakarida kapsuler (K

antigen). Kedua antigen ini berkontribusi dalam patogenisitas. Keragaman

struktural antigen ini membentuk dasar untuk klasifikasi dalam berbagai serotipe.

Virulensi semua serotipe tampaknya serupa. Kapsul memainkan peran yang

sangat penting dalam virulensi (Mansour et al., 2014).

20

2.9 Prevalensi Global Klebsiella pneumoniae

Klebsiellosis pada sapi yang disebabkan oleh Klebsiella pneumonia telah

dilaporkan di beberapa negara di dunia. Studi yang dilakukan terhadap 68 sampel

paru-paru dari kerbau dan sapi berumur 1-3 tahun yang disembelih di rumah

potong hewan Assiut Governorat, Mesir menunjukkan bahwa 66 (97,06%) sampel

paru-paru yang diperiksa, dapat terisolasi Klebsiella pneumoniae (3.27%) (Sayed

dan Zaitoun, 2009). Di indonesia, kejadian Klebsiellosis ditemukan pada sampel

paru-paru sapi yang mengalami pneumoni yang berasal dari tempat pemotongan

hewan di kota Gorontalo (Retnowati dan Nugroho, 2015).

Klebsiella pneumonia juga telah diisolasi dari genus burung layang-

layang merah (Milvus milvus), burung bangkai Mesir, dan skua Antartika

(Catharacta spp) dengan menunjukkan prevalensi masing-masing 7,96% (jumlah

sampel = 113), 8.82% (jumlah sampel = 68) dan 4,54% (jumlah sampel = 22).

Prevalensi Klebsiella pneumoniae telah diisolasi dari tinja Red-billed chough

(Pyrrhocorax pyrrhocorax) sebesar 15,0%, 12,8% dan 15,6% pada tiga lokasi

yang berbeda di Spanyol. Klebsiella pneumonia juga telah diisolasi dari burung

nasar kalkun liar (Cathartes aura) dan peregrine falcon (Falco peregrinus) di

Amerika Serikat yang menunjukkan prevalensi masing-masing sebesar 5%

(jumlah sampel = 20) dan 42,85% (jumlah sampel = 14) (Sharma et al., 2014).

21

2.10 Hewan Rentan Klebsiella pneumoniae

Penyakit klebsiellosis yang disebabkan oleh bakteri Klebsiella pneumoniae

adalah gram negatif patogen oportunistik yang berhubungan dengan banyak

infeksi pada usus hewan, mastitis dan pneumonia pada sapi, bakteremia di anak

sapi, metritis di kuda, pneumonia dan infeksi saluran kemih pada anjing, dan

pneumonia septicemia di anak kuda. Infeksi nosokomial yang disebabkan oleh

Klebsiella pneumoniae juga merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas pada manusia (Sharma et al., 2014).

Klebsiella pneumoniae telah diisolasi dari beberapa jenis burung terutama

pada fesesnya yaitu genus burung layang-layang merah (Milvus milvus), burung

bangkai Mesir, skua Antartika (Catharacta spp.), Red-billed chough

(Pyrrhocorax pyrrhocorax), burung nasar kalkun liar (Cathartes aura) dan

peregrine falcon (Falco peregrinus) (Sharma et al., 2014).

2.11 Pathogenesis Klebsiella pneumoniae

Bakteri Klebsiella sp., memiliki komponen yang terlibat dalam mekanisme

patogenik infeksi. Pada penelitian patogenisitas Klebsiella sp., ditemukan 5 faktor

utama yang berperan penting, diantaranya : kapsul, fimbriae (pili), resistensi

serum, lipopolisakarida, dan siderophores (Podschun dan Ullman, 1998).

Kapsul sangat penting untuk virulensi Klebsiella sp. Kapsul terdiri dari

kumpulan tebal struktur fibrillar yang menutupi permukaan bakteri. Komponen

tersebut melindungi bakteri dari fagositosis oleh granulosit polimorfonuklear dan

mencegah pembunuhan bakteri (Podschun dan Ullman, 1998).

22

Sifat perekat di Enterobacteriaceae umumnya dimediasi oleh pili. Pili akan

membantu proses infeksi. Mikroorganisme datang sedekat mungkin pada host di

permukaan mukosa dan mempertahankan kedekatan ini dengan melekat ke sel

inang. Terdapat dua jenis pili yang dominan di Klebsiella sp., yaitu pili tipe 1 dan

tipe 3. Pili tipe 1 : berkaitan dengan virulensi bakteri yang diduga berasal dari

kemampuan bakteri untuk mengikat sel-sel epitel urogenital, pernapasan, dan

saluran usus. Hal ini membuat pili tipe 1 dapat memediasi bakteri berkolonisasi

pada urinogenital dan saluran pernapasan yang menyebabkan perkembang biakan

bakteri akan menjadi patogen fakultatif sehingga dapat mengakibatkan penyakit

disaat keadaan host melemah. Pili tipe 3, pada awalnya digambarkan sebagai

organel adhesi Klebsiella sp., menghuni akar tanaman, namun pili ini kemudian

ditemukan mampu mengikat berbagai sel manusia terutama pada sel endotel,

epitel saluran pernapasan, dan sel-sel uroepithelial. Sejauh ini, tidak ada model

hewan percobaan yang digunakan untuk mengkaji peran pili dalam infeksi. Selain

itu, struktur reseptor inang yang sesuai pun tidak diketahui (Podschun dan

Ullman, 1998).

Pertahanan pertama inang melawan serangan mikroorganisme selain

fagositosis ialah oleh granulosit polimorfonuklear dan efek bakterisidal. Kegiatan

bakterisidal dimediasi terutama oleh protein komplemen. Setelah aktivasi

kaskade, protein ini akan terakumulasi sebagai serangan membran kompleks di

permukaan mikroorganisme. Komplemen kaskade dapat diaktifkan dengan dua

mekanisme yang berbeda: jalur komplemen klasik, yang biasanya membutuhkan

antibodi spesifik yang akan diaktifkan, dan komplemen jalur alternatif, yang dapat

23

diaktifkan bahkan tanpa adanya antibodi. Alternatif jalur ini juga dianggap

sebagai sistem pertahanan awal kekebalan bawaan, yang memungkinkan inang

untuk bereaksi terhadap serangan mikroorganisme bahkan sebelum antibodi

spesifik yang terbentuk. (Podschun dan Ullman, 1998).

Molekul lipopolisakarida (LPS) terdiri dari lipid A, polisakarida inti dan

rantai sisi yang disebut "O-antigen”. terdapat sembilan jenis O-antigen yang

membedakan Klebsiella pneumoniae. Peran penting dari O-antigen adalah untuk

melindungi Klebsiella pneumoniae dari pembunuhan dari komplemen yang

dimediasi, baik yang berkapsul atau non-berkapsul. Galur O-antigen sangat

sensitif terhadap aksi bakterisida dari kedua jalur yaitu komplemen alternatif dan

klasik. Untuk perlindungan ini, panjang rantai O-antigen tampaknya menjadi

penting. Namun demikian, O-antigen sangat efisien dalam mengaktifkan

komponen awal komplemen, dan opsonisasi membuat bakteri rentan terhadap

fagositosis (Brisse et al., 2006).

Siderophore merupakan molekul kecil yang berfungsi sebagai sistem

penyerapan zat besi utama enterobacteria dan disintesis oleh hampir semua isolat,

sehingga terjadi kompetisi dalam penyerapan zat besi dengan hostnya.

Pertumbuhan bakteri dalam jaringan host dibatasi tidak hanya oleh mekanisme

pertahanan inang tetapi juga oleh pasokan zat besi yang tersedia. Zat besi

merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bakteri, berfungsi terutama sebagai

katalis reduksi protein berpartisipasi dalam proses transportasi oksigen dan

elektron. Pasokan zat besi bebas yang tersedia untuk bakteri dalam lingkungan

inang sangat rendah, karena unsur ini terikat dengan protein intraseluler seperti

24

hemoglobin, feritin, hemosiderin, dan mioglobin dan ekstrasel untuk afinitas

tinggi zat besi mengikat protein seperti laktoferin dan transferin. (Podschun dan

Ullman, 1998).

2.12 Gejala Klinis Klebsiella pneumoniae

Bakteri Klebsiella pneumonia ini menginfeksi saluran pernapasan terutama

paru-paru serta dapat mengakibatkan pneumonia, nasal mucosa atrophy dan

rhinoscleroma. Selain itu dapat pula menginfeksi saluran kemih pada manusia usia

lanjut dan kelenjar susu pada hewan. Gejala umum yang terlihat biasanya demam

dan batuk dengan sputum berwarna merah (Janda dan Abbott, 2006).

Gejala klinis pneumonia sangat bervariasi, dari yang ringan sampai paling

berat. Stadium awal radang paru-paru berupa hiperemia pulmonum, yang

selanjutnya diikuti gejala dispnoe atau sesak nafas, dan pemafasan frekuen dengan

tipe abdominal. Respirasi cepat dan dangkal merupakan gejala utama dari

pneumonia stadium awal. Gejala klinis lain yang sering timbul adalah anoreksia,

lesu, mukosa sianosis, adanya peningkatan suhu pulsus, dan perubahan auskultasi

dan perkusi paru-paru. Selanjutnya dikatakan bahwa pneumonia dalam beberapa

hari akan menimbulkan gejala berupa batuk, keluar leleran dari hidung, pada

keadaan akut suhu tubuh meningkat, kadang-kadang mencapai 42°C. Hewan

berdiri dengan kaki diabduksikan dan kepala merunduk (Yuriadi dan Tjahajati,

2002).

25

2.13 Perubahan patologi anatomi Klebsiella pneumoniae

Bakteri Klebsiella pneumonia ini menginfeksi saluran pernapasan terutama

paru-paru serta dapat mengakibatkan pneumonia (Janda dan Abbott, 2006).

Retnowati dan Nugroho (2015), menjelaskan bahwa gangguan pada paru-paru

salah satunya dapat disebabkan oleh infeksi penyakit dan akan menimbulkan

manifestasi peradangan pada tiap lobusnya. Peradangan yang terjadi pada paru-

paru sering disebut dengan pneumonia. Manifestasi pneumonia pada sapi dapat

diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya, parasit metazoa dan

agen-agen fisik/kimia lainnya. Beberapa penyakit bakteri diketahui dapat

mengakibatkan perubahan patologi pada paru-paru sapi misalnya seperti penyakit

ngorok sapi atau sering dikenal juga dengan Septicemia epizootica (SE),

Tuberkulosis dan Klebsiellosis. Serta bisa juga akibat dari bakteri saluran

pencernaan seperti golongan bakteri Enterobacteriaceae sp.

Terdapat beberapa bentuk pneumonia yang pernah dilakukan penelitian

oleh Retnowati dan Nugroho (2015), yaitu : atelektasis, pneumoni intersisial,

pneumoni aspirasi, edema pada lobarpneumoni dan lobarpneumoni disertai

adanya pus (nanah).

2.14 Metode diagnostik untuk memeriksa adanya Klebsiella pneumoniae

Diagnosis infeksi Klebsiella dibuat atas dasar pemeriksaan klinis, isolasi

dan identifikasi organisme. Identifikasi laboratorium biasanya dilakukan pada

kultur jaringan, pewarnaan gram dan serangkaian tes biokimia. Isolasi bakteri

26

membutuhkan waktu sampai 24 jam dan tes biokimia membutuhkan waktu

sampai 48 jam (Mansour et al., 2014).

Isolasi Klebsiella pneumoniae dapat dilakukan dengan mengkultur sampel

pada beberapa media agar yaitu : SCAI agar (koloni Kuning berbentuk kubah dan

berlendir), EMB agar (koloni gelap tidak metalik dan Berlendir), BCP agar

(koloni kuning berlendir) dan MacConkey (Sharma et al., 2014). Media agar

MacConkey dengan koloni yang ditanam terlihat koloni berwarna merah muda

dengan latar belakang agak kekuningan. Koloni yang terlihat kurang lebih

berbentuk kubah, berukuran 3-4 milimeter dengan aspek berlendir dan kadang-

kadang lengket (Brisse et al., 2006).

Pewarnaan gram menggunakan pewarnaan diferensial karena membedakan

bakteri dalam dua kelompok (Gram positif dan Gram negatif). Hans Christian

Gram memperkenalkan teknik ini pada tahun 1884. Pewarnaan gram sangat

berguna untuk identifikasi mikroorganisme sebagai pembeda bakteri karena

adanya perbedaan zat kimia dan fisik pada dinding sel mereka. Kristal violet-

iodine kompleks (CVI) terbentuk karena violet kristal dan yodium menembus sel

bakteri tidak larut pada penggunaan alkohol karena lapisan peptidoglikan yang

tebal pada bakteri Gram-positif. Alkohol melarutkan lapisan lipopolisakarida luar.

Akibatnya, kompleks CVI larut melalui lapisan tipis peptidoglikan pada bakteri

gram negatif. Pewarnaan Gram bakteri Klebsiella pneumonia menghasilkan sel

merah muda hal ini dikarenakan bakteri gram negatif mengandung lapisan

lipopolisakarida sebagai bagian dari dinding sel mereka. Dalam proses pewarnaan,

langkah decolorizing mengganggu lapisan lipopolisakarida luar, dan CVI dicuci

27

melalui lapisan tipis peptidoglikan. Akibatnya, sel-sel muncul berwarna sampai

pewarnaan counter dengan safranin, setelah itu bakteri muncul berwarna merah

muda (Tiwari et al., 2009).

Menurut Cowan (1974) dan Sharma et al., (2014), untuk mengidentifikasi

isolat yang dikultur maka dilakukan uji biokimia dan gula-gula disajikan seperti

Tabel 2.2.

Tabel 2.2.

Klebsiella pneumonia dengan tes biokimia dan gula-gula

Uji Biokimia dan Gula-gula Hasil Pada Genus Klebsiella

Pneumonia

Motilitas -

Sitrat +

Gas dari Glukosa +

Laktosa +

Sukrosa +

Methyl Red +

Voges Proskauer -

Indol -

Urea +

Triple Sugar Iron Agar Acid/Acid ; H2S - ; Gas +

Oksidase -

Katalase +

2.15 Faktor penyebaran Mycobacterium bovis dan Klebsiella pneumoniae

Penyebaran Mycobacterium bovis penyebab BTB dan Klebsiella

pneumoniae penyebab Klebsiellosis memiliki beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi infeksi dan penularan, yaitu: umur hewan, lingkungan, cuaca dan

manajemen peternakan (Tarmudji dan Supar, 2008). Penyebaran hewan terinfeksi

di negara maju dan berkembang yang paling mungkin adalah terjadi ketika

binatang liar dan peliharaan berbagi padang rumput atau wilayah (Cosivi et al.,

28

1998). Sumber utama penyebaran bakteri Klebsiella pneumonia baik terhadap

manusia dan hewan adalah feses yang diikuti dengan kontak melalui bahan yang

terkontaminasi (Sugoro et al., 2008). Sedangkan dari hasil kajian yang lain

menunjukkan bahwa infeksi dan penularan tuberkulosis pada hewan rentan dapat

melalui saluran pernafasan (Tarmudji dan Supar, 2008).

Infeksi tuberkulosis dari hewan liar ke sapi dapat terjadi secara horizontal

dengan perantaraan cemaran Mycobacterium bovis pada rumput, air dan udara.

Infeksi diantara sapi penderita tuberkulosis ke sapi lain yang rentan dapat terjadi

melalui saluran pencernaan. Infeksi secara vertikal dapat terjadi, tetapi kasusnya

sangat sedikit. (Tarmudji dan Supar, 2008). Tuberkulosis pulmonal atau

exstrapulmonal akan tetap tinggi apabila prevalensi infeksi pada sapi amat tinggi,

karena terjadinya penularan dari susu atau produknya yang tidak mengalami

pemanasan terlebih dahulu dan terjadi penularan secara aerosol pada pemeliharaan

sapi atau pekerja kandang (Poeloengan et al., 2014). Selain faktor tersebut,

lalulintas ternak juga menjadi faktor pemicu dalam penyebaran penyakit. Dalam

perdagangan bebas saat ini, diwajibkan menyertakan perjanjian Free Trade

Agreements (FTA) yang bertujuan untuk mengurangi halangan dalam melakukan

perdagangan antara dua negara atau lebih, dan tidak menutup kemungkinan akan

memudahkan terjadinya penyebaran penyakit antar negara.

29

2.16 Konsep Epidemiologi

Epidemiologi adalah kajian penyakit dalam populasi dan faktor-faktor

yang mempengaruhi kejadian suatu penyakit. Menurut Sumiarto (1998),

penyidikan penyakit hewan di dalam populasi berupaya menjawab empat

pertanyaan dasar yaitu keberadaan penyakit dan arasnya, penyebab, strategi

pengendalian, dan biaya pengendalian penyakit.

Kajian epidemiologi pada dasarnya menggunakan pendekatan holistik

untuk mencari, mengumpulkan, dan menganalisis data kejadian penyakit serta

faktor-faktor yang mempengaruhinya. Prevalensi adalah bagian dari studi

epidemiologi untuk menganalisa penyakit yang memiliki pengertian jumlah

orang/hewan dalam populasi yang mengalami gangguan penyakit, atau dalam

kondisi tertentu pada suatu waktu yang dihubungkan dengan besar populasi

darimana kasus itu berasal. Prevalensi pada intinya memberikan informasi tentang

derajat penyakit yang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu. Adapun

faktor-faktor yang disidik untuk melihat kemungkinan yang bertindak sebagai

penyebab penyakit ialah, faktor lingkungan, hospes, dan agen (Martin et al.,

1987). Kajian epidemiologi dapat memberikan informasi secara komprehensif

yang diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit pada populasi melalui

pengendalian faktor–faktor yang berpengaruh (Sumiarto, 1997).

30