24
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Belajar Menurut Slameto (2010: 2), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Djamarah (2008: 2), menjelaskan bahwa belajar adalah aktivitas yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Sudjana (1998: 20), belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang. Perubahan tersebut ditunjukkan dengan berbagai bentuk, seperti berubahnya pengetahuan, sikap dan tingkahlakunya, kecakapannya dan aspek lain yang ada pada diri individu. Dari ketiga pendapat di atas, maka dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan seperti perubahan pengetahuan, sikap dan tingkahlakunya, kecakapannya dan aspek lain yang ada pada diri individu. 2.1.2. Hasil Belajar Hamalik (1995: 48) mengatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku subyek yang meliputi kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik dalam situasi tertentu berkat pengalamannya berulang-ulang. Sependapat dengan Hamalik, Sudjana (2005: 3) mengatakan bahwa hasil belajar ialah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Pengertian Belajar

Menurut Slameto (2010: 2), belajar adalah suatu proses usaha yang

dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku

yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam

berinteraksi dengan lingkungannya.

Djamarah (2008: 2), menjelaskan bahwa belajar adalah aktivitas

yang dilakukan individu secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan

dari apa yang telah dipelajari dan sebagai hasil dari interaksinya dengan

lingkungan sekitarnya.

Sudjana (1998: 20), belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan

adanya perubahan tingkah laku pada diri seseorang. Perubahan tersebut

ditunjukkan dengan berbagai bentuk, seperti berubahnya pengetahuan,

sikap dan tingkahlakunya, kecakapannya dan aspek lain yang ada pada

diri individu.

Dari ketiga pendapat di atas, maka dapat dipahami bahwa belajar

adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh

suatu perubahan seperti perubahan pengetahuan, sikap dan

tingkahlakunya, kecakapannya dan aspek lain yang ada pada diri

individu.

2.1.2. Hasil Belajar

Hamalik (1995: 48) mengatakan bahwa hasil belajar adalah

perubahan tingkah laku subyek yang meliputi kemampuan kognitif,

afektif dan psikomotorik dalam situasi tertentu berkat pengalamannya

berulang-ulang. Sependapat dengan Hamalik, Sudjana (2005: 3)

mengatakan bahwa hasil belajar ialah perubahan tingkah laku yang

mencakup bidang kognitif, afektif

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

8

dan psikomotorik yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman

belajarnya.

Winkel (1994: 13) mengemukakan salah satu ciri khas yang

menandakan telah terjadi kegiatan belajar adalah dengan adanya

perubahan pada orang yang belajar dan mengalami perubahan dari belum

tahu atau belum mampu menjadi sudah tahu atau menjadi mampu.

Dari berbagai penjelasan tentang hasil belajar di atas, dapat

dimengerti bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku subyek

dimana terjadi perubahan dari belum tahu atau belum mampu menjadi

tahu dan menjadi mampu yang terjadi pada aspek kogntitif, afektif dan

psikomotorik.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.

Slameto (1995: 54) mengemukakan bahwa ada berbagai faktor yang

mempengaruhi hasil belajar, namun dapat digolongkan menjadi dua

yaitu:

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang bersumber dari dalam

individu yang sedang belajar. Adapun faktor-faktor internal

antara lain:

- Faktor jasmaniah, faktor kesehatan, cacat tubuh

- Faktor psikologis, intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif,

dan faktor kematangan

- Faktor kelelahan

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang bersumber dari luar diri

individu, seperti:

- Keluarga, yaitu cara orangtua mendidik, relasi antar anggota

keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, rasa

pengertian orangtua, dan latar belakang kebudayaan.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

9

- Faktor sekolah, metode belajar, perubahan kurikulum, relasi

guru dengan siswa, relasi sesama siswa, disiplin yang

diterapkan di sekolah, sarana dan prasana sekolah, kebiasaan

belajar dan tugas rumah.

- Faktor masyarakat, keadaan siswa dalam masyarakat, teman

bergaul siswa, bentuk kehidupan masyarakat.

Selain Slameto, Winkel (1996: 43) juga mengemukakan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah sebagai

berikut:

a. Faktor pada diri siswa

Adapun faktor yang berasal dari dalam diri siswa yaitu:

- Faktor psikis, yaitu faktor intelektual dan non intelektual, di

antaranya adalah movitasi belajar dan kecerdasan.

- Faktor fisik yaitu kondisi fisiknya siswa

b. Faktor di luar diri siswa

Adapun faktor-faktor di luar diri siswa yaitu:

- Faktor sosial di sekolah antara lain: sistem sosial, status

sosial, dan interaksi guru dengan murid

- Faktor situasional antara lain: keadaan politik, ekonomi,

waktu dan tempat, musim dan iklim.

Hampir senada dengan pemikiran Winkel dan Slameto, Muhibbin

Syah (2002: 132), memaparkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

belajar dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Faktor internal (faktor-faktor yang berasal dari dalam diri

peserta didik), di antaranya:

1) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) diantaranya

kondisi kesehatan, daya pendengaran dan penglihatan, dan

sebagainya.

2) Aspek psikologis yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas

perolehan pembelajaran peserta didik, diantaranya yaitu

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

10

kondisi rohani peserta didik, tingkat kecerdasan/intelegensi,

sikap, bakat, minat, dan motivasi peserta didik.

b. Faktor Eksternal (faktor-faktor yang berasal dari luar diri peserta

didik), diantaranya:

1) Lingkungan sosial, seperti para guru, staff administrasi, dan

teman-teman sekelas, masyarakat, tetangga, teman bermain,

orangtua dan keluarga peserta didik itu sendiri.

2) Lingkungan non sosial, seperti gedung sekolah dan letaknya,

rumah tempat keluarga peserta didik dan letaknya, alat-alat

belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan

peserta didik.

c. Faktor Pendekatan Belajar, dapat dipahami sebagai cara atau

strategi yang digunakan peserta didik dalam menunjang

efektivitas belajar dan efisiensi proses pembelajaran materi

tertentu.

Dari ketiga pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa terdiri dari tiga

faktor yaitu faktor internal atau faktor dari dalam diri siswa yang meliputi

kecerdasan, minat atau disebut sebagai faktor psikologis dan faktor

jasmaniah seperti kesehatan siswa, cacat tubuh dan kelelahan. Kedua

yaitu faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar diri siswa yaitu

lingkungan sekitar siswa seperti lingkungan keluarga, sekolah, teman

sebaya, masyarakat dan faktor iklim, waktu dan tempat, musim dan

iklim, dan ketiga faktor pendekatan belajar yaitu cara atau strategi yang

digunakan peserta didik dalam menunjang efektivitas belajar dan

efesiensi proses pembelajaran tertentu.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

11

2.2. Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar

2.2.1. Pengertian IPS

IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis

gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai

aspek kehidupan atau satu perpaduan. (Sardiyo, dkk, 2008: 1, 26).

Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan

Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “Social

Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah

komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada tahun

1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan

tenaga ahli yang berminat pada kurikulum ilmu-ilmu sosial di tingkat

sekolah dan ahli-ahli ilmu-ilmu sosial yang mempunyai minat sama.

Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS),

mendefinisikan ilmu sosial adalah ilmu yang terintegrasi ras manusia dan

ilmu pengetahuan untuk mempromosikan kemampuan kewarganegaraan.

Di dalam program sekolah, ilmu sosial menyediakan ilmu yang

dikoordinir secara sistematis sebagai disiplin-disiplin ilmu seperti: ilmu

antropologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filosofi, ilmu

pengetahuan politik, psikologi, agama, dan sosiologi, seperti juga sesuai

isi dari ras manusia, matematika, dan ilmu alam. Tujuan utama dari ilmu

sosial adalah untuk membantu orang-orang muda mengembangkan

kemampuan memberi tahu dan memberi alasan keputusan-keputusan

untuk publik baik ketika budaya warga negara berbeda, demokratis di

suatu negara saling tergantung.

Seperti dikatan oleh Mulyono (1980: 8) bahwa IPS merupakan

suatu pendekatan interdisiplinier (Inter-disciplinary Approach) dari

pelajaran ilmu-ilmu sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang

ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial,

sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya.

Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS

merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

12

sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi,

antropologi, politik.

Jadi disimpulkan bahwa IPS adalah bidang studi yang mempelajari

integrasi dari berbagai aspek ilmu sosial guna meningkatkan

kemampuan, pengetahuan, menganalisis gejala dan masalah sosial di

masyarakat.

2.2.2. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar

Menurut kurikulum 2004 (KBK) pengetahuan Pengetahuan Sosial

di SD/MI berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap dan

ketrampilan siswa tentang masyarakat bangsa dan negara Indonesia.

Tujuan pengetahuan sosial menurut kurikulum 2004 (KBK) antara lain:

a. Mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi,

sejarah dan kewarganegaraan melalui pendekatan pedagogis dan

psikologis.

b. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri,

memecahkan masalah dan ketrampilan sosial;

c. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial

dan kemanusiaan;

d. Meningkatkan kemampuan bekerjasama dan berkompetisi

dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun

global.

Namun, dalam KTSP 2006, terjadi pemisahan kembali antara

pelajaran PKn dengan pelajaran IPS. Dengan dimaksudkan untuk

menyempurnakan tujuan-tujuan pelajaran yang telah ada. Tujuan dan

lingkup pembelajaran masing-masing yang parsial, sehingga lebih jelas

perbedaannya antara pelajaran PKn dengan IPS, walaupn pada kedua

pelajaran tersebut ada saling keterkaitan materi.

Berdasarkan pada KTSP 2006, dijelaskan bahwa IPS merupakan

salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai

SMP/MTs, SMPLB. Pelajaran IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

13

konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang

SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi geografi, sejarah, sosiologi

dan ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk

dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan

bertanggungjawab serta menjadi warga dunia yang cinta damai.

Adapun secara terinci tujuan pembelajaran IPS di SD/MI

berdasarkan pada KTSP 2006, adalah sebagai berikut:

- Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan

masyarakat dan lingkungannya;

- Memiliki kemampuan dasar berpikir logis, kritis, rasa ingin tahu

inkuiri, memecahkan masalah dan ketrampilan kehidupan sosial;

- Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial

kemanusiaan;

- Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, bekerjasama, dan

berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal,

nasional, dan global.

Khusus tentang fungsi dan tujuan pembelajaran IPS di SD, dari

pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya KBK

2004 dan KTSP 2006 tidak terlalu mengalami perubahan yang signfikan,

kecuali hanya terjadi pemisahan secara parsial pada mata pelajaran PKn.

2.3. Cooperative learning Learning Tipe Jigsaw

2.3.1. Pengertian Cooperative Learning

Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang

mengorganisasi pembelajaran di dalam kelas dan menunjukkan cara

penggunaan materi pembelajaran (Koes, 2003: 60). Model pembelajaran

dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model

pembelajaran yang sesuai dan efisien serta efektif untuk mencapai tujuan

pendidikannya.

Salah satu model pembelajaran yang bisa dijadikan pola pilihan

para guru dalam pelaksanaan pembelajaran yaitu cooperative learning

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

14

atau cooperative learning. Mengenai cooperative learning, Slavin (dalam

Isjoni, 2007: 15) mengemukakan: “in cooperative learning methods,

students work together in four member teams to master material initially

presented by teacher”. Dari pernyataan tersebut dapat dikemukakan

bahwa cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang

di dalamnya kegiatan belajar dilakukan oleh siswa dalam kelompok-

kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara bersama, sehingga

dapat merangsang siswa lebih termotivasi dalam belajar.

Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk

mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara

penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan

lagi sebagai objek pembelajaran namun bisa juga berperan sebagai tutor

bagi rekan sebayanya. Menurut Sagala (2003: 88) cooperative learning

merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham

konstruktivisme.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

cooperative learning merupakan model pembelajaran yang

memanfaatkan pengelompokan siswa untuk bekerja sama selamam

proses pembelajaran, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.

Karena dengan pengelompokan ini, diharapkan siswa dapat saling

membantu dalam tugas akademiknya.

Salah satu ciri cooperative learning adalah menuntut kerjasama dan

saling mendengarkan diantara para individu di dalam kelompok tersebut.

Karena itu Slavin (2003: 38), mengatakan bahwa di dalam kelompok

para siswa akan saling belajar satu sama lain, karena dalam diskusi

mereka mengenai isi materi, konflik kognitif akan muncul, dan

pemahaman dengan kualitas yang lebih tinggi akan muncul.

Stahl (dalam Isjoni, 2007: 23) menyatakan dengan menggunakan

model cooperative learning, siswa memungkinkan dapat meraih

keberhasilan dalam belajar, disamping itu juga melatih siswa untuk

memiliki ketrampilan, baik ketrampilan berpikir maupun ketrampilan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

15

sosial, seperti ketrampilan mengemukakan pendapat, menerima saran

dan masukan dari orang lain dan bekerjasama, rasa setia kawan, dan

mengurangi timbulnya perilaku menyimpang di dalam kelas.

Selanjutnya, Sharan (dalam Isjoni, 2007: 23) mengatakan bahwa siswa

yang belajar dengan menggunakan model cooperative akan memiliki

motivasi yang tinggi, karena didorong dan didukung dari teman sebaya.

Isjhoni (2007: 37) menyebutkan bahwa selain meningkatkan prestasi

belajar, model cooperative learning juga dapat meningkatkan aktivitas

siswa, karena cooperative learning adalah sebuah model aktif dan

partisipatif.

2.3.2. Tujuan Cooperative Learning

Model cooperative learning adalah model pembelajaran yang

memungkinkan guru dapat mendorong siswa untuk mencapai tujuan

pembelajaran baik berupa tujuan akademik, penerimaan akan

keragaman, maupun sebagai saran untuk mengembangkan ketrampilan

sosial (Suhadi, 2010: 7). Suhadi melanjutkan bahwa dengan cooperative

learning, siswa dapat meningkatkan prestasi (hasil) belajarnya, karena

siswa diberikan kesempatan untuk saling belajar dengan sesamanya –

inilah yang disebut dengan pencapaian pembelajaran yaitu pada tujuan

akademik. Sebab, menurut Suhadi, dengan belajar dari sesama siswa

lainnya, siswa sebagai individu justru lebih mudah menyerap pelajaran,

karena rekannya berada pada dimensi kognitif yang sama dengan

dirinya. Selain tujuan akademik, dengan cooperative learning siswa

diberikan kesempatan untuk saling belajar menerima keragaman, baik

keragaman suku, agama, ras, intelektual dan latar belakang yang lain

(Slavin, 2003: 39). Akhirnya cooperative learning adalah sarana yang

tepat bagi para siswa untuk mengembangkan ketrampilan sosialnya

(Suhadi, 2010: 8). Dengan belajar menerima perbedaan, pada saat itu

juga siswa sedang belajar bagaimana mengembangkan ketrampilannya

sebagai makhluk sosial.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

16

2.3.3. Langkah-langkah Cooperative Learning

Arends (dalam Aqib, 2007: 72) mengemukakan ada enam fase

cooperative learning, yang dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:

Tabel 2.1

Langkah-Langkah Cooperative Learning

Fase Kegiatan Guru

Fase 1

Menyampaikan tujuan dan

memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua

tujuan pembelajaran yang ingin

dicapai pada pelajaran tersebut

dan memotivasi siswa belajar

Fase 2

Menyampaikan informasi

Guru menyajikan informasi

kepada siswa, baik dengan

peragaan (demonstrasi) atau

teks

Fase 3

Mengorganisasikan siswa ke

dalam kelompok-kelompok

belajar

Guru membimbing kelompok-

kelompok belajar dan

membantu setiap kelompok

agar melakukan perubahan

efisien

Fase 4

Membantu kerja kelompok

belajar

Guru membimbing kelompok-

kelompok belajar pada saat

mereka mengerjakan tugas

Fase 5

Mengetes materi

Guru mengetes materi

pelajaran atau kelompok

menyajikan hasil-hasil

pekerjaan mereka

Fase 6

Memberikan penghargaan

Guru memberikan contoh cara

menghargai, baik upaya

maupun hasil belajar individu

dan kelompok

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

17

2.3.4. Kelebihan dan Kekurangan Model Cooperative Learning

Setiap model pembelajaran tentu memiliki kelebihan dan

kekurangannya masing-masing. Menurut Jerolimek dan Parker (dalam

Isjoni, 2007: 24) cooperative learning memiliki keunggulan antara lain:

- Saling ketergantungan positif

- Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu

- Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas

- Suasana kelas rileks dan menyenangkan

- Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa

dengan guru

- Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman

emosi yang menyenangkan

Sementara itu, kelemahan-kelemahan model cooperative learning

antara lain:

- Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping

itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu;

- Agar proses pembelajaran di keals berjalan dengan lancer, maka

dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai;

- Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan

topik permasalahan yang sedang dibahas meluas, sehingga bayak

yang tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan;

- Saat diskkusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini

mengakibatkan siswa lain menjadi pasif.

Meskipun prinsip dasar cooperative learning tidak berubah, namun

terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Adapun variasi dari model

cooperative learning antara lain: model cooperative learning tipe Student

Teams Achievement Division atau dikenal dengan STAD, model

cooperative learning tipe Teams Games Tournament atau dikenal dengan

TGT, tipe cooperative learning tipe Jigsaw dan berikutnya adalah tipe

cooperative learning tipe Think Pair Share atau dikenal dengan sebutan

TPS, model cooperative learning tipe Number Head Together atau

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

18

dikenal dengan singkatan NHT, dan juga model cooperative learning tipe

Group Investigation. Namun demikian, dalam rangka penelitian ini,

penulis memilih menggunakan model cooperative learning tipe Jigsaw

sebagai model pembelajaran yang nantinya akan diujikan dalam

penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa model cooperative

learning tipe jigsaw adalah model pembelajaran yang benar-benar

menuntut kesalingtergantungan antar individu di dalam kelompok.

Disebut demikian karena model pembelajaran ini mengharuskan setiap

individu bertanggungjawab menguasai salah satu sub materi dalam

materi dimana keberhasilan individu menguasai sub materi ini akan

mempengaruhi prestasi dalam kelompoknya.

Model ini tentu berbeda dengan model cooperative learning tipe

NHT, dimana dalam pelaksanaan pembelajaran model ini, siswa di

dalam kelompok diminta untuk saling bertukar jawaban (Marpaung, dkk,

2002: 35). Demikian juga dengan model kooperatif tipe group

investagasi. Dalam model Group Investigasi (kelompok investigasi)

mungkin merupakan model pembelajaran yang paling kompleks dan

paling sulit untuk diterapkan. Group investigasi dikembangkan oleh

Shlomo dan Yael Sharan di Universitas Tel Aviv, merupakan

perencanaan pengaturan kelas yang umum dimana para siswa bekerja

dalam kelompok kecil menggunakan pertanyaan kooperatif, diskusi

kelompok, serta perencaaan dan proyek kooperatif (Slavin, 2008: 24).

Dalam metode ini, para siswa dibebaskan membentuk kelompoknya

sendiri yang terdiri dari dua sampai enam orang anggota. Sedangkan

cooperative learning tipe STAD, lebih menekankan pada upaya saling

memotivasi diantara para anggota dalam kelompok untuk agar dapat

belajar dan menguasai materi pembelajaran tertentu.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

19

2.3.5. Jigsaw

1) Pengertian Tipe Jigsaw

Model cooperative learning tipe Jigsaw merupakan salah tipe

dari model cooperative learning. Jigsaw telah dikembangkan dan

diuji coba oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas

Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di

Universitas John Hopkins. Cooperative learning tipe jigsaw

merupakan salah satu tipe cooperative learning yang mendorong

siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran

untuk mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2007: 54).

Aronson (1978), tokoh yang mendesain model cooperative

learning tipe jigsaw mengatakan:

Esensi dari jigsaw adalah suatu model cooperative learning

dimana tiap siswa dalam kelompok memiliki satu potongan

gambaran informasi khusus yang masing-masing berbeda, kemudian

ia bertanggungjawab untuk mengajarkannya kepada teman satu

kelompoknya. Ketika seluruh gambaran informasi ini bergabung,

siswa telah memiliki satu puzzle utuh (dinamakan jigsaw)

Menurut Isjoni (2007: 55) disebutkan bahwa dalam penerapan

jigsaw, siswa dibagi berkelompok dengan 4-6 anggota kelompok

belajar secara beragam, karena kelompok yang beranggotakan 4-6

orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalah

dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.

Kunci jigsaw adalah kesalingtergantungan, yakni setiap siswa

bergantung kepada teman satu kelompoknya untuk dapat

memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik

saat penilaian.

Dari pendapat di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa

model cooperative learning tipe jigsaw adalah sebuah model

pembelajaran yang beranggotakan 4-6 orang, di mana setiap anggota

kelompok saling bergantung satu dengan lainnya untuk dapat

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

20

memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik

saat penilaian.

2) Langkah-Langkah Cooperative learning tipe Jigsaw

Langkah-langkah atau tahapan pelaksanaan cooperative learning

tipe jigsaw yang diadopsi dari Aronson (2010) adalah sebagai berikut

(lihat tabel 2.2)

Tabel 2.2

Langkah-Langkah (tahapan) Model Cooperative learning Tipe

Jigsaw

Tahapan Kegiatan Keterangan

Pertama Membentuk kelompk

jigsaw/kelompok asal yang

heterogen

Guru membagi siswa

dalam kelompok asal

yang berjumlah 4-6

orang

Kedua Membagikan tugas/materi Guru membagi

pelajaran yang akan di

bahas ke dalam 4-6

bagian

Siswa membagi

tugas/materi yang

berbeda pada ditap

siswa dalam tiap

kelompok

Ketiga Membentuk kelompok ahli Siswa dari masing-

masing kelompok

jigsaw/asal bergabung

dengan siswa lain yang

memiliki segmen

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

21

pelajaran yang sama

Keempat Diskusi kelompok ahli Siswa berdiskusi

dalam kelompok

berdasarkan kesamaan

materi masing-masing

siswa

Kelima Diskusi kelompok

jigsaw/asal

Siswa kembali ke

kelompok asalnya

masing-masing dan

bergiliran mengajarkan

materi kepada anggota

kelompok yang lain

Keenam Evaluasi tingkat

penguasaan siswa terhadap

materi

Guru melakukan

penilaian untuk

mengukur hasil belajar

siswa secara individu

mengenai seluruh

pembahasan

Adapun langkah-langkah pembelajaran jigsaw di atas diuraikan

sebagai berikut:

a) Tahap 1: Bahan Ajar

Guru memilih satu bab dalam buku ajar, kemudian membagi bab

tersebut menjadi bagian-bagian, sesuai dengan jumlah anggota

kelompok. Jadi, apabila jumlah anggota kelompok ada 4 orang

siswa, maka bab tersebut dibagi menjadi empat bagian. Setiap

anggota kelompok ditugasi untuk membaca dan mempelajari

bagiannya pada bab tersebut. Pada tahap selanjutnya, masing-

masing anggota kelompok bertemu dengan ahli-ahli dari

kelompok lain dalam kelas.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

22

b) Tahap 2: Diskusi Kelompok Ahli

Kelompok ahli harus melakukan pertemuan sekitar satu kali

pertemuan untuk mendiskusikan topik yang ditugaskan. Setiap

anggota kelompok ahli harus menerima lembar kerja “ahli”.

Lembar kerja ahli harus memuat pertanyaan-pertanyaan dan

kegiatan (jika ada) untuk mengarahkan diskusi kelompok. Guru

mendorong siswa untuk menggunakan cara belajar yang

bervariasi. Tujuan kelompok ini adalah mempelajari subbab

tersebut dan menyiapkan ringkasan presentasi untuk mengajarkan

subbab tesebut kepada kelompok kecil masing-masing.

c) Tahap 3: Pelaporan dan Pengetesan

Masing-masing anggota kelompok ahli kembali ke kelompok

kecil masing-masing. Masing-masing anggota kelompok

mengajarkan topik ke anggota kelompok lainnya dalam

kelompok. Guru mendorong siswaq untuk menggunakan metode

mengajar yang bervariasi. Guru mendorong anggota kelompok

untuk mengajukan pertanyaan ke penyaji dan mendiskusikan

lembar kerja kelompok.

Setelah diskusi kelompok, guru menyelenggarakan tes yang

mencakup materi satu bab penuh, dalam waktu yang tidak lebih

dari 15 menit.

d) Tahap 4: Tahap penghargaan

Tahap ini merupakan tahap yang mampu mendorong siswa untuk

lebih kompak. Pada tahap ini, rata-rata peningkatan kelompok

dilaporkan pada warta penghargaan mingguan. Guru dapat

menggunakan kata-kata istimewa untuk memberikan

penghargaan pada kinerja kelompok seperti Bintang Sains, atau

Kelompok Einstein, atau dengan sebutan lainnya. Penghargaan

kerja masing-masing kelompok disajikan pada papan

pengumuman yang melaporkan peringkat masing-masing

kelompok dalam kelas. Kinerja individu yang luar biasa juga

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

23

dilaporkan. Kepekaan guru sangat diperlukan disini. Penting

untuk dipahami bahwa menghargai siswa secara akademik dari

kelompok berkemampuan rendah merupakan bagian integral

keefektifan pembelajaran jigsaw.

Menurut Koes (2003: 79), model cooperative learning tipe

jigsaw memiliki dua dampak sekaligus pada diri siswa yaitu dampak

instruksional dan dampak sertaan. Dampak instruksional

dilambangkan oleh anak panah, sedangkan dampak sertaan

dilambangkan oleh anak panah garis putus-putus sebagai berikut:

3) Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Tipe Jigsaw

Wardani (2002: 87) menguraikan beberapa kelebihan model

pembelajaran tipe jigsaw, yaitu:

- Dari segi efektivitas, secara umum pada model cooperative

learning tipe jigsaw lebih aktif dan saling memberikan pendapat

(sharing ideas). Karena suasana belajar lebih kondusif, baru dan

adanya penghargaan yang diberikan kelompok, maka masing-

masing kelompok berkompetisi untuk mencapai prestasi yang

baik.

- Siswa lebih memiliki kesempatan berinteraksi sosial dengan

temannya.

Tipe Jigsaw Struktur Konsep

Kebergantungan

positif

Pemrosesan

Kelompok

Kesadaran akan

perbedaan

Kepekaan sosial

Kepemimpinan

kolektif

Toleransi atas

perbedaan

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

24

- Siswa lebih aktif dan kreatif, serta memiliki tanggungjawab

secara individual.

Selain memiliki beberapa kelebihan di atas, model cooperative

learning tipe jigsaw juga memiliki beberapa kelemahan, seperti yang

diutarakan oleh Wardani (2002: 87), yaitu:

- Terdapat kelompok siswa yang kurang berani mengemukakan

pendapat atau bertanya, sehingga kelompok tersebut dalam

diskusi menjadi kurang hidup.

- Memerlukan waktu yang relatif cukup lama dan persiapan yang

matang antara lain pembuatan bahan ajar dan LKS benar-benar

memerlukan kecermatan dan ketepatan.

Selain Wardani, Kurnia (2005: 43) memaparkan beberapa

kelemahan model cooperative learning tipe jigsaw, yaitu:

- Siswa tidak terbiasa dengan model pembelajaran tipe jigsaw,

sehingga proses pembelajarannya menjadi kurang maksimal.

- Alokasi waktu kurang mencukupi.

- Masih ada siswa yang kurang bertanggungjawab, sehingga

pelaksanaan cooperative learning tipe jigsaw menjadi kurang

efektif.

- Kebiasaan adanya pembicaraan yang didominasi oleh seseorang.

2.4. Model Pembelajaran Konvensional

2.4.1. Pengertian Model Pembelajaran Konvesional

Model pembelajaran konvensional umumnya dikenal dengan

sebutan model pembelajaran ekspositori. Metode ekspositori adalah

metode pembelajaran dengan memberikan keterangan terlebih dahulu

definisi, prinsip dan konsep materi pembelajaran serta memberikan

contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah,

demonstrasi, tanya jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang

ditetapkan oleh guru secara cermat. Penggunaan metode ekspositori

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

25

merupakan metode pembelajaran mengarah kepada tersampaikannya isi

pelajaran kepada siswa secara langsung.

Dimyati dan Mudjiono (1999: 172) mengatakan metode ekspositori

adalah memindahkan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai kepada

siswa. Peranan guru yang penting adalah: (1) menyusun program

pembelajaran; (2) memberi informasi yang benar; (3) pemberi fasilitas

yang baik; (4) pembimbing siswa dalam perolehan informasi yang benar;

dan (5) penilai perolehan informasi. Sedangkan peranan siswa adalah: (1)

pencari informasi yang benar; (2) pemakai media dan sumber yang

benar; (3) menyelesaikan tugas dengan penilaian guru.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksudkan dengan metode pembelajaran konvensional atau metode

pembelajaran ekspositori adalah metode yang mengkombinasikan antara

metode ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas. Pemberian tugas

berupa mengerjakan soal-soal yang dikerjakan secara individual atau

kelompok.

2.4.2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Konvensional (Ekspositori)

1) Persiapan

Adapun pada langkah ini hal-hal yang harus dilakukan guru,

antara lain:

a) Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif.

b) Membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar.

c) Merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa.

d) Menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka.

2) Penyajian

a) Menggunakan bahasa yang bersifat komunikatif dan mudah

dipahami.

b) Menggunakan bahasa sesuai perkembangan siswa.

c) Menggunakan intonasi yang tepat.

d) Menjaga kontak mata dengan siswa.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

26

e) Menjaga kelas tetap hidup dan segar dengan menyelipkan kalimat

atau bahasa yang lucu pada penyajian materi.

3) Menghubungkan

Menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau

dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap

keterkaitannya, dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya.

4) Menyimpulkan

a) Mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi pokok

persoalan.

b) Memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi

yang disajikan.

5) Penerapan

a) Membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan.

b) Memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang

disampaikan.

2.4.3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Ekspositori

Setiap model pembelajaran tentu memiliki keunggulannya sendiri,

namun juga memiliki kekurangan-kekuranganya. Dalam model

pembelajaran konvensional (ekspositori) kelebihan dan kekurangannya

antara lain sebagai berikut:

1) Dengan metode ekspositori, guru bisa mengontrol urutan dan

keluasan materi pembelajaran, dengan demikian guru dapat

mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang

disampaikan.

2) Metode ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran

yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara waktu yang

dimiliki untuk belajar terbatas.

3) Melalui metode ekspositori, siswa dapat mendengarkan penuturan

tentang pelaksanaan demonstrasi.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

27

4) Metode ekspositori dapat digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran

kelas yang besar.

Adapun kelemahan metode ekspositori adalah sebagai berikut:

1) Metode ekspositori hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa

yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik,

sehingga siswa yang tidak memiliki kemampuan seperti itu akan

mengalami kesulitan.

2) Metode ekspositori tidak mungkin melayani perbedaan individu baik

perbedaan kemampuan, perbedaan pengetahuan, minat, dan baka,

serta perbedaan gaya belajar.

3) Metode ekspositori sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam

sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis.

4) Keberhasilan metode ekspositori sangat tergantung kepada apa yang

dimiliki guru seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri,

semangat, antusiasme dan kemampuan lainnya. Tanpa kemampuan

itu sudah dipastikan bahwa proses pembelajaran tidak mungkin

berhasil.

5) Gaya komunikasi lebih banyak terjadi satu arah (one-way

communication), maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman

siswa akan materi pembelajaran akan sangat terbatas pula. Di

samping itu, pengetahuan siswa akan terbatas pada apa yang

diberikan guru.

2.5. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan atau sesuai dengan penelitian yang

akan dilakukan peneliti, antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Laela Mardhiyah, 2010 mahasiswa

program studi S1 PGSD, Universitas Kristen Satya Wacana dalam

skripsinya yang berjudul “Meningkatkan hasil belajar siswa kelas V

pada mata pelajaran matematika melalui metode pembelajaran

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

28

koopratif tipe jigsaw di SD Porworjo Kec. Suruh kab. Semarang

semester 1 tahun ajaran 2009/2010”. Hasil penelitian yang di peroleh

ini adalah terjadi peningkatan ketuntasan hasil belajar evaluasi dari

tiap siklus pada pembelajaran materi luas bangun datar di kelas V SD

Negeri purworjo semester I hasil yang di peroleh dalam penelitian ini

adalah terjadi peningkatan ketuntasan belajar siswa tersebut terjadi

secara bertahap, dimana kondisi awal hanya terdapat 20 siswa yang

telah tuntas dalam belajarnya, pada siklus 1 ketuntassan belajar siswa

dapat mencapai 100% tanpa kegiatan tindak lanjut.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Cicik Asti Tahapsari, 2011 mahasiswa

program studi S1 PGSD Universitas Kristen Satya wacana dalam

skripsinya yang berjudul “, Peningkatan hasil belajar siswa pada mata

pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang materi pengaruh

globalisasi melalui cooperative learning tipe jigsaw bagi siswa kelas

IV SD Negri wulung 4 Randu blatung Kabupaten blora tahun 2010-

2011.” Dengan hasil penelitian yang diperoleh terjadi peningkatan

ketuntasan prestasi belajar siswa tersebut terjadi secara bertahap

dimana pada kondisi awal siswa yang tuntas sebanyak 8 (40%) pada

siklus 1 ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 15 siswa (75%)

dan pada siklus II ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 20

siswa (100%) 1dengan demikian dapat di simpulkan bahwa

penggunaan model kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan prestasi

belajar siswa kelas IV SD Negeri Randublatung kabupaten blora

semester 1 Tahun ajaran 2009 – 2010.

3. Kisnanto (2010), Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPS dengan

Model Cooperative Learning pada Siswa Kelas VI SD Negeri 02

Wonogiri Tahun 2010. Bentuk penelitian ini adalah Penelitian

Tindakan Kelas yang terdiri dari 4 tahapan yaitu perencanaan,

pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Sebagai subyek adalah

siswa kelas VI SD Negeri 02 Wonogiri kecamatan Ampelgading

Kabupaten Pemalang yang berjumlah 17 siswa. Berdasarkan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

29

penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : penggunaan model

Cooperative Learning dapat meningkatkan prestasi belajar IPS. Hal ini

dapat dilihat dari nilai yang diperoleh siswa sebalum dilakukan PTK

hanya ada 9 siswa atau 47,1 % yang nilai prestasi belajarnya sudah

mencapai KKM, sedangkan pada siklus I ada 12 anak atau 70, 6 %

yang sudah mencapai KKM dan pada siklus II ada 15 siswa atau 88,2

% yang sudah mencapai KKM yaitu memperoleh nilai 60,0.

2.6. Kerangka Berfikir

Kondisi awal kelas kontrol dan kelas eksperimen berada dalam

kondisi yang seimbang hasil belajarnya. Kelas eksperimen diberi pre-test

kemudian diberi Model Cooperative learning Learning tipe Jigsaw

selanjutnya diberikan post-test. Kelas kontrol diberikan pre-test kemudian

melakukan pembelajaran konvensional dan post-test.

Membandingkan hasil belajar siswa antara yang diberi Model

Kooperatif Learning pada awal pembelajaran dengan yang melakukan

pembelajaran secara konvensional adalah salah satu cara untuk mengetahui

seberapa efektif Pembelajaran Kooperatif Learning tipe Jigsaw dalam

meningkatkan hasil belajar siswa. Jika siswa yang diberika Model

Cooperatif Learning Tipe Jigsaw memperoleh hasil belajar di atas rata-

rata, berarti dalam dunia pendidikan benar-benar bermanfaat. Akan tetapi

jika siswa yang tidak diberikan Model Kooperatif tipe Jigsaw juga

memperoleh hasil belajar yang sama, berarti Model Kooperatif tipe Jigsaw

kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan.

Alur Kerangka Berfikir

Siswa Kelas V SDN

Pendowo 03

Kelompok

Esperimen

Kelompok

Kontrol

Hasil Belajar

Perlakuan

Konvensional

Perlakuan

Kooperatif tipe

Jigsaw

Siswa Kelas V SDN

Pendowo 02

Pretest

Pretest

Posttest

Posttest

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. - UKSW

30

Bagan di atas merupakan gambaran mengenai kondisi awal siswa

kelas kontrol dan kelas eksperimen yang mempunyai kondisi hasil belajar

yang sama. Kelas kontrol tidak diberi perlakuan sedangkan kelas

eksperimen diberi model Cooperatif Learning tipe Jigsaw kemudian

diadakan post-test untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen. Dari hasil

post-test dapat dibandingkan adanya perbedaan antara kelas kontrol dan

eksperimen.

2.7. Hipotesis Penelitian

Hipotesis akan diuji di dalam penelitian dengan pengertian bahwa uji

statistik selanjutnya yang akan membenarkan atau menolaknya. Adapun

hipotesia dalam penelitian ini yaitu:

Ho : Tidak ada keefektivan Model Kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil

belajar siswa pada pembelajaran IPS siswa SD kelas V Pendowo 03

Kab Temanggung.

Hi : Ada keefektivan Model Kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil

belajar siswa pada pembelajaran IPS siswa SD kelas V Pendowo 03

KabTemanggung.