23
9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi Penelitian yaitu Pulau Gee yang merupakan daerah operasi penambangan Nikel milik PT. ANTAM Tbk yang terletak di Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara (Gambar 2.1). Luasan daerahnya sekitar 200 Ha yang terletak di tengah tengah laut dan letaknya berada diseberang dari daerah Tanjung Buli. Secara umum, Kabupaten Halmahera Timur merupakan daerah hasil pemekaran dari kabupaten induk Halmahera Tengah, sehingga infrastruktur jalan dan perkantoran masih dalam tahap pembangunan. Alat transportasi yang digunakan untuk menuju lokasi dapat melalui jalan darat, laut, maupun udara. Daerah penelitian dapat ditempuh dari Jakarta dengan jalur sebagai berikut : a) Jakarta Makassar Manado - Ternate Menggunakan pesawat udara dengan waktu tempuh sekitar 4,5 jam. b) Ternate Buli Dapat ditempuh dengan menggunakan jalur darat, laut maupun udara. Jalur darat (Ternate Sofifi Buli), dapat ditempuh selama 8 (delapan) jam dengan kondisi jalan masih relatif sulit dilalui jika hujan. Jalur laut dapat ditempuh selama ± 24 jam (satu hari satu malam) dengan jadwal pelayaran tiga kali dalam seminggu. Sedangkan untuk jalur udara dapat ditempuh selama ± 45 menit menggunakan pesawat udara dengan jadwal penerbangan satu minggu terdapat 4-6 kali penerbangan dengan jenis pesawat Cassa 212. c) Buli Pulau Gee Ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar 15 menit.

BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

9

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah

Lokasi Penelitian yaitu Pulau Gee yang merupakan daerah operasi

penambangan Nikel milik PT. ANTAM Tbk yang terletak di Kecamatan Maba

Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara (Gambar 2.1).

Luasan daerahnya sekitar 200 Ha yang terletak di tengah – tengah laut dan

letaknya berada diseberang dari daerah Tanjung Buli. Secara umum, Kabupaten

Halmahera Timur merupakan daerah hasil pemekaran dari kabupaten induk

Halmahera Tengah, sehingga infrastruktur jalan dan perkantoran masih dalam

tahap pembangunan. Alat transportasi yang digunakan untuk menuju lokasi dapat

melalui jalan darat, laut, maupun udara.

Daerah penelitian dapat ditempuh dari Jakarta dengan jalur sebagai berikut :

a) Jakarta – Makassar – Manado - Ternate

Menggunakan pesawat udara dengan waktu tempuh sekitar 4,5 jam.

b) Ternate – Buli

Dapat ditempuh dengan menggunakan jalur darat, laut maupun udara. Jalur

darat (Ternate – Sofifi – Buli), dapat ditempuh selama 8 (delapan) jam dengan

kondisi jalan masih relatif sulit dilalui jika hujan. Jalur laut dapat ditempuh

selama ± 24 jam (satu hari satu malam) dengan jadwal pelayaran tiga kali

dalam seminggu. Sedangkan untuk jalur udara dapat ditempuh selama ± 45

menit menggunakan pesawat udara dengan jadwal penerbangan satu minggu

terdapat 4-6 kali penerbangan dengan jenis pesawat Cassa 212.

c) Buli – Pulau Gee

Ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor dengan waktu

tempuh sekitar 15 menit.

Page 2: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

10

2.2 Kondisi Umum

2.2.1 Lokasi dan Lingkungan Geografis

Secara geografis, daerah operasi penambangan nikel PT Antam Tbk di

Pulau Gee terletak di pulau Halmahera Timur pada garis bujur 128° 19’ 30” –

128° 20’ 15” Bujur Timur dan 00° 49’ 30” – 00° 50’ 45” Lintang Utara.

Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian Pulau Gee

(Sumber : Microsoft Encarta 2005)

P. Gee

Page 3: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

11

2.2.2 Keadaan Topografi

Ciri – ciri topografi Pulau Gee merupakan daerah perbukitan dengan

topografi yang relatif terjal, ditandai dengan kemiringan yang curam di bagian

Barat, Selatan dan Timur dari daerah penelitian. Tetapi daerah yang relatif sangat

terjal terdapat di daerah selatan – tenggara. Sedangkan di bagian Utara memiliki

topografi yang relatif agak landai. Pada daerah ini terdapat beberapa punggungan

besar dengan kemiringan lereng yang curam berada di wilayah yang terletak di

tengah dan selatan pulau. Daerah penelitian ini terdapat ketinggian mínimum di

saat elevasi sama dengan nol dikarenakan daerah tersebut terdapat di tengah laut.

20

70

20

70

20

70

20

10

20

30

40

50

60

70

80

20

70

20

70

20

70

20

20

200 m0

PETA TOPOGRAFIPULAU GEE

70

U

B T

S

KETERANGAN :

= Garis Kontur

70 = Nilai Kontur

Gambar 2.2 Peta Topografi Pulau Gee

Page 4: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

12

2.2.3 Iklim dan Curah Hujan

Iklim di daerah penelitian adalah tropis, dicirikan oleh curah hujan yang

tinggi. Suhu udara sangat panas di siang hari karena daerah ini sangat berdekatan

dengan laut.

Berdasarkan tabel klasifikasi iklim menurut Schmidt and Fergusson (1951)

yaitu tabel 2.1, Pulau Gee merupakan daerah yang memiliki tipe iklim C atau

agak basah dengan nilai Q = 0,333. Nilai parameter tersebut didapat dari

perbandingan / rasio rata – rata antara tiga bulan kering (curah hujan < 60 mm)

terhadap bulan basah sembilan bulan basah (curah hujan > 100 mm). Suhu rata-

rata bulanan adalah 27,6°C, kelembaban rata-rata 82,58%, dan intensitas

penyinaran matahari rata-rata 61,32%.

Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

(Sumber : Jawatan Meteorologi dan Geofisika)

Tipe hujan Q Klasifikasi iklim

A 0 Q < 0,143 Sangat Basah

B 0,143 Q < 0,333 Basah

C 0,333 Q < 0,6 Agak basah

D 0,6 Q < 1,0 Sedang

E 1,0 Q < 1,67 Agak Kering

F 1,67 Q < 3,0 Kering

G 3,0 Q < 7,0 Sangat Kering

H Q 7,0 Luar Biasa Kering

Page 5: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

13

2.2.4 Vegetasi

Daerah penelitian banyak ditumbuhi berbagai jenis vegetasi yang lebat.

Sesuai dengan karakteristik curah hujan dan iklim pada daerah ini yaitu tipe iklim

C (agak basah), jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu

menggugurkan daunnya dimusim kemarau. (Syamsulbahri, 1987).

Ada 3 tipe komunitas vegetasi yang tumbuh di daerah ini antara lain:

vegetasi bakau, vegetasi hutan pantai, dan vegetasi hutan pegunungan. Vegetasi

hutan pantai menempati hampir seluruh garis pantai Pulau Gee dimana vegetasi

yang tumbuh pada lingkungan ini merupakan asosiasi pohon kelapa, ketapang dan

nyamplung. Pohon kelapa cukup dominan di kawasan ini dan pada tempat-tempat

tertentu yang tidak memungkinkan untuk dibudidayakan pohon kelapa, ditumbuhi

oleh tanaman ketapang dan nyamplung.

Vegetasi hutan pegunungan, tumbuh di daerah dengan kandungan mineral

logam seperti Al dan Ni, didominasi oleh tumbuhan berdaun jarum dan tumbuhan

bawah atau tumbuhan tidak berkayu. Tumbuhan berdaun jarum yang ada seperti

Gaharu, Linggua, Kayu Kina, Bintang Samudra, Kenari hutan, Kayubesi, Cemara,

Pinus Irian, Bintagor, dan sebagian kecil tumbuhan yang berdaun lebar.

Tumbuhan bawah terdiri dari tanaman Pandan, rumput-rumputan, alang-alang,

dan sejenis Liana berdaun lebar. Tumbuhan bawah dibedakan menjadi dua tipe

berdasarkan daerah tumbuhnya, yaitu tumbuhan bawah pada daerah punggungan

gunung dan pada daerah lembab. Tumbuhan bawah pada daerah punggungan

gunung adalah jenis Pakis, Pinang, Kantong Semar, Anggrek, dan Bunga Delima.

Sedangkan pada daerah yang lembab, tumbuhan bawah yang hidup adalah Rotan,

Pandan hutan, jenis Anggrek Pinang dan sebagian jenis rumput-rumputan.

Page 6: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

14

2.3 Kondisi Geologi Regional

2.3.1 Fisiografi

Daerah Halmahera yang meliputi Halmahera bagian tengah, deretan pulau

di sebelah barat, dan beberapa pulau kecil di sebelah timurnya dibagi menjadi 3

mendala fisiografi (T. Apandi dan D. Sudana, 1976). Halmahera bagian tengah

yaitu termasuk sebagian dari lengan utara, sebagian dari lengan selatan, sebagian

dari lengan timur laut, dan seluruh lengan tenggara.

Lengan timur laut dan lengan tenggara Halmahera, termasuk beberapa

pulau kecil di sebelah timurnya, merupakan Mendala Fisiografi Halmahera Timur.

Lengan utara dan lengan selatan membentuk Mendala Fisiografi Halmahera Barat,

dan deretan pulau di sebelah baratnya merupakan Busur Kepulauan Gunung Api

Kuarter yang membentuk Mendala Busur Kepulauan. Semua mendala fisiografi

ini berhubungan erat dengan mendala geologinya.

Bagian terbesar Mendala Fisiografi Halmahera Timur terdiri dari

pegunungan berlereng curam dengan torehan sungai yang dalam dan sebagian

bermorfologi karst. Morfologi pegunungan berlereng curam merupakan cerminan

batuan ultrabasa, batuan sedimen, serta batuan gunung api Oligo-Miosen dan yang

lebih tua. Morfologi karst terdapat pada daerah batu gamping, baik yang berumur

Paleosen-Eosen, Oligo-Miosen maupun Miosen-Paleosen. Batuan sedimen

Miosen-Pliosen membentuk morfologi dengan perbukitan yang relatif lebih

rendah dan lerengnya yang lebih landai daripada batuan yang lebih tua. Hubungan

antara Mendala Halmahera Timur dan Mendala Halmahera Barat berupa jalur

tektonik yang kuat berbatuan sedimen Neogen. Perlipatan kuat dan persesaran

terdapat pada jalur ini.

Mendala Busur Kepulauan merupakan deretan pulau di sebelah barat

Halmahera yang membentuk busur kepulauan gunung api Kuarter. Sebagian besar

pulaunya berbentuk kerucut gunung api yang masih bekerja, seperti G. Ternate,

G. Tidore, dan G. Makian.

Page 7: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

15

Physiographic and geologic province of the region ( after Silver & Moore, 1978, Hamilton, 1979;

Sukamto et al, 1981 )

Gambar 2.3 Mendala Fisiografi Daerah Halmahera

2.3.2 Stratigrafi

T. Apandi dan D. Sudana (1986) membagi daerah Halmahera menjadi 2

(dua) Mendala Geologi, yaitu mendala geologi Halmahera Timur dan mendala

geologi Halmahera Barat.

Batuan tertua di mendala geologi Halmahera timur tersusun oleh satuan

batuan ultrabasa yang sebarannya cukup luas dan satuan batuan beku basa yang

mengintrusi satuan batuan ultrabasa serta satuan batuan beku Intermediate yang

mengintrusi kedua satuan batuan sebelumnya.

Satuan batuan ultrabasa terdiri dari serpentinit, piroksenit dan dunit,

umumnya berwarna hitam atau hitam kehijauan, getas, terbreksikan, mengandung

asbes dan garnierit. Pada satuan ini teramati batuan metasedimen dan rijang,

posisinya terjepit diantara sesar di dalam batuan ultrabasa. Satuan batuan ini oleh

Bessho (1994) dinamakan Formasi Watileo (Watileo Series) dan hubungannya

dengan satuan batuan yang lebih muda berupa bidang ketidakselarasan atau

bidang sesar naik.

Page 8: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

16

Satuan batuan beku basa terdiri dari gabro piroksin, gabro hornblende dan

gabro olivine, tersingkap didalam komplek satuan batuan ultrabasa dan ini

dinamakan seri Wato-wato (Bessho, 1944).

Satuan batuan intermediate terdiri dari batuan diorit kuarsa dan diorit

hornblende, tersingkap juga dalam komplek batuan ultrabasa. Selain itu teramati

sejumlah retas andesit dan diorit yang berhubungan baik dengan kuarsa dan pirit

di daerah Formasi Bacan.

Batuan tertua ini ditutupi oleh formasi dodaga yang berumur Kapur secara

tidak selaras. Batuan ini tersusun oleh serpih berselingan dengan batugamping

coklat muda dan sisipan rijang. Selain itu ditutupi pula oleh batuan yang berumur

Paleosen–Eosen yaitu batuan dari Formasi Dorosagu, satuan konglomerat dan

satuan batugamping.

Satuan batugamping berumur Paleosen-Eosen dan dipisahkan dengan

batuan yang lebih tua (ultrabasa) oleh ketidakselarasan sedangkan dengan batuan

yang lebih muda dipisahkan oleh sesar. Formasi ini memiliki ketebalan 400

meter.

Formasi Dorosagu yang berumur Paleosen–Eosen terdiri dari batupasir

berselingan dengan serpih merah dan batugamping. Hubungan dengan batuan

yang lebih tua (ultrabasa) berupa ketidakselarasan dan sesar naik. Formasi ini

memiliki ketebalan 250 meter. Formasi ini identik dengan Saolat series (

Bessho, 1944).

Satuan konglomerat tersusun oleh batuan konglomerat dengan sisipan

batupasir, batulempung dan batubara. Satuan ini berumur Kapur Atas dengan

ketebalan > 500 meter. Hubungannya dengan batuan yang lebih tua (ultrabasa)

dan batuan yang lebih muda (Formasi Tingteng) adalah ketidakselarasan

sedangkan dengan satuan batugamping hubungannya menjemari.

Setelah rumpang pengendapan sejak Eosen Akhir hingga Oligosen Awal,

baru terjadi aktivitas gunung api selama Oligosen Atas hingga Miosen Bawah,

membentuk rempah–rempah yang disatukan sebagai Formasi Bacan.

Page 9: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

17

Formasi Bacan tersusun oleh batuan gunung api berupa lava, breksi dan tufa

dengan sisipan konglomerat dan batupasir. Karena adanya sisipan batupasir maka

dapat diketahui umur Formasi Bacan yaitu Oligosen sampai dengan Miosen

Bawah. Dengan batuan yang lebih tua (Formasi Dorosagu) dibatasi oleh bidang

sesar sedangkan dengan batuan yang lebih muda (Formasi Weda) dibatasi oleh

bidang ketidakselarasan. Formasi Bacan identik dengan Tegitegi series (Bessho,

1944). Sebaran batuan gunung api Formasi Bacan ini terhampar luas baik di

Mendala Halmahera Timur maupun Mendala Halmahera Barat. Bersamaan

dengan pengendapan Formasi Bacan, diendapkan pula batugamping Formasi

Tutuli. Formasi ini berumur Oligosen – Miosen Bawah, kontak dengan Formasi

Weda berupa sesar, dan identik dengan Formasi Parepara series ( Bessho, 1944 ).

Setelah rumpang pengendapan Miosen Bawah Bagian Atas, terbentuk cekungan

luas yang berkembang sejak Miosen Atas–Pliosen. Pada cekungan tersebut

diendapkan Formasi Weda, satuan konglomerat dan Formasi Tingteng.

Formasi Weda terdiri dari batupasir berselingan dengan napal, tufa,

konglomerat dan batugamping, berumur Miosen Tengah–Awal Pliosen,

bersentuhan secara tidak selaras dengan Formasi Kayasa yang berumur lebih

muda dan berhubungan secara menjemari dengan Formasi Tingteng. Formasi ini

identik dengan Weda series (Bessho, 1944).

Satuan Konglomerat berfragmen batuan ultrabasa, basal, rijang, diorit dan

batusabak dengan ketebalan 100 meter, menutupi satuan batuan ultrabasa secara

tidak selaras yang diduga berumur Miosen Tengah sampai dengan Awal Piosen.

Apabila dilihat letak statigrafinya kemungkinan batuan ini merupakan anggota

Formasi Weda.

Formasi Tingteng tersusun oleh batugamping hablur dan batugamping

pasiran dengan sisipan napal dan batupasir berumur Akhir Miosen – Awal

Pliosen, memiliki ketebalan 600 meter. Setelah pengendapan Formasi Tingteng

terjadi pengangkatan pada Kuarter di pantai pada daerah lengan Timur Halmahera

sebagaimana ditunjukkan oleh batugamping terumbu.

Page 10: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

18

Batuan tertua di daerah Mendala Geologi halmahera Barat berupa batuan

gunung api Oligo–Miosen dan Formasi Bacan. Batuan sedimen dan karbonat

berumur Miosen – Pliosen tersebar luas di Mendala ini, kebanyakan bersifat

tufaan. Selain itu di bagian utara ditemukan batuan gunung api kuarter yaitu

Formasi Kayasa dan satuan Tufa.

Formasi Kayasa berupa batuan gunung api terdiri dari breksi, lava dan tufa

yang diduga berumur Pliosen, identik dengan Basal Kayasa (Bessho, 1944).

Penyusun utama satuan tufa adalah tufa batuapung berwarna putih dan

kuning. Deretan pulau yang membentuk busur kepulauan gunung api di Barat

Halmahera sebagian besar tertutup oleh rempah–rempah gunung api Holosen.

Hanya di P. Kayoa di selatan, tersingkap batuan gunung api Oligo sampai dengan

Miosen. Formasi Bacan berada di bawah batugamping terumbu yang terdiri dari

Batugamping koral dan Breksi Batugamping.

Gambar 2.4 Peta geologi regional Kabupaten Halmahera Timur dan

Halmahera Tengah (Sumber : P.T. ANTAM Tbk, Unit Geomin)

Page 11: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

19

2.3.3 Tektonik

Halmahera dan pulau-pulau sekitar Indonesia bagian timur merupakan

suatu konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil pertumbukan lempeng di bagian

barat Pasifik. Berdasarkan kondisi geologi dan tektonik, pulau Halmahera cukup

unik, karena pulau ini terbentuk akibat pertemuan tiga lempeng yaitu : Eurasia,

Pasifik dan Indo–Australia. Di bagian Selatan Halmahera terdapat zona sesar

Sorong yang merupakan “ strike slip fault “ (JA Katili, 1974). Sepanjang zona

sesar ini Halmahera bergerak ke arah barat bersamaan dengan lempeng Indo–

Australia (Hamilton, 1979).

Early Tertiary Magmatic Arc

Early Tertiary Subduction Area

Late Tertiary Magmatic Arc

Late Tertiary Subduction Zone

Early Tertiary Magmatic Arc

Early Tertiary Magmatic Arc

Late Tertiary Subduction Zone

Late Tertiary Subduction Zone

Sp

rea

din

gC

en

ter

Inth

eP

ac

ific

Oc

ea

n

SULA

WE

SI

HA

LMA

HE

RA

Active Subduction Zone

Transform Fault

Active Volcano

Direction of plate Movement

tecthalm.c dr

PT ANEKA TAMBANG

PROSPECTAREA

0 500 km

Gambar 2.5 Gambaran tektonik Indonesia Timur

(Sumber : PT. ANTAM Tbk Unit Geomin)

Page 12: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

20

Selain itu, pada zona perbatasan antara Mendala Halmahera Timur dan

Halmahera Barat terisi oleh batuan Formasi Weda yang sangat terlipat dan

tersesarkan. Zona ini disebut garis median. Struktur lipatan berupa sinklin dan

antiklin terlihat jelas pada Formasi Weda yang berumur Miosen Tengah-Pliosen

Awal. Sumbu lipatan berarah utara-selatan, timur laut-barat daya, dan barat laut-

tenggara. Struktur sesar terdiri dari sesar normal dan sesar naik, umumnya berarah

utara-selatan dan barat laut-tenggara.

Kegiatan tektonik kemungkinan dimulai pada Kapur Akhir dan Awal

Tersier ditandai adanya batu lempung berumur Kapur dan batuan ultra basa pada

konglomerat Formasi Dorosagu. Ketidakselarasan batuan berumur Paleosen-

Eosen yaitu Formasi Dorosagu dengan batuan lebih muda terjadi kira-kira pada

Eosen Akhir-Oligosen Awal, mencerminkan kegiatan tektonik yang diikuti

kegiatan gunung api terbentuk Formasi Bacan. Pensesaran naik mungkin terjadi

pada peristiwa tektonik Eosen-Oligosen. Struktur pada peta terbentuk pada

peristiwa tektonik berikutnya terutama yang terjadi pada Akhir Pliosen dan Awal

Pleistosen. Hal ini tampak dari sesaran batuan yang lebih tua ke atas Formasi

Weda, yang berumur Mio-Pliosen. Peristiwa tektonik terakhir (Holosen) berupa

pengangkatan seperti yang ditunjukan oleh terumbu terangkat dan sesar normal

yang memotong batugamping terumbu.

Page 13: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

21

2.4 Genesa Endapan Nikel Laterit

Proses pembentukan nikel laterit berawal dari terjadinya proses pelapukan

yang terjadi pada batuan asal (protolith) yaitu batuan ultra basa/peridotit yang

banyak mengandung mineral olivin, magnesium silikat dan besi silikat yang pada

umumnya mengandung 0,3 % nikel. Batuan peridotit sangat mudah terpengaruh

oleh proses pelapukan dimana air tanah yang kaya CO2 yang berasal dari udara

luar dan tumbuh-tumbuhan akan menghancurkan olivin. Penguraian olivin,

magnesium, besi, nikel, dan silikat kedalam larutan cenderung untuk membentuk

suspensi koloid dari partikel-partikel yang submikroskopik.

Dalam larutan, besi akan bersenyawa dengan oksida dan mengendap

sebagai feri hidroksida. Akhirnya endapan ini akan menghilangkan air dengan

membentuk mineral-mineral seperti Goetit (FeO(OH)), Hematit (Fe2O3), dan

Cobalt (Co) dalam jumlah kecil. Kemudian besi oksida mengendap dekat dengan

permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika tertinggal dalam larutan

selama air masih asam. Tetapi jika dinetralisasi karena adanya reaksi dengan

batuan dan tanah, maka zat-zat tersebut akan cenderung mengendap sebagai

hydrosilikat.

Mineralisasi terjadi melalui rekahan pada strata ini, sebagai akibat

pencucian dan penggumpalan pada lapisan saprolit yang disebut pengkayaan

maka tertahan pada batuan induk (batuan dasar). Nikel mempunyai sifat kurang

kelarutannya dibandingkan dengan magnesium. Perbandingan antara nikel dan

magnesium didalam endapan lebih besar daripada larutan, karena adanya larutan

silikat magnesium yang terbawa oleh air tanah. Kadang-kadang olivin didalam

batuan diubah menjadi serpentin sebelum tersingkap dipermukaan, dimana

serpentin terurai kedalam komponen-komponen bersama-sama dengan terurainya

olivin. Adanya erosi air tanah asam dan erosi dipermukaan bumi akan menyerang

mineral-mineral yang telah diendapkan. Zat-zat tersebut dibawa ketempat yang

lebih dalam, selanjutnya diendapkan sehingga terjadi pengkayaan pada bijih nikel.

Kandungan nikel pada saat terendapkan akan semakin bertambah banyak dan

selama itu magnesium tersebar pada aliran tanah. Dalam hal ini proses

Page 14: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

22

BAHAN - BAHAN TERBAWABERSAMA LARUTAN

BAHAN - BAHAN TERTINGGALFe, Al, Cr, Mn, Co

SERPENTIN PERIDOTIT LAPUK

PROSES PELAPUKAN DANLATERISASI

TERLARUT SEBAGAIPARTIKEL KOLOIDAL

KONSENTRASIRESIDU

- MAGNESIT MgCo3- DOLOMIT(Ca2Mg)Co3

Fe, Ni, CoSAPROLIT

Ni, SiO2, Mg

Fe - OksidaAl - Hidroksida

Ni - Co

KONSENTRASICELAH

KONSENTRASI RESIDU

TERLARUT SEBAGAILARUTAN Ca - Mg

Karbonat

- SOFT BROWN ORE - URAT - URAT GARNERIT- HARD BROWN ORE - URAT - URAT KRISOPRAS

ZONE TENGAH( I I )

ZONE ATAS( I )

ZONE BAWAH( I I I )

SEBAGAI " ROOF OFWEATHERING "

KONSENTRASI CELAHDARI SENYAWA -

SENYAWA KARBONAT

URAT - URAT

PERIDOTITSERPENTINIT

pengkayaan bersifat kumulatif, dimana proses dimulai dari suatu batuan yang

mengandung 0,25 % nikel, sehingga akan dihasilkan 1,50 % bijih nikel.

Keadaan ini merupakan kadar nikel yang sudah dapat ditambang, dimana

waktu yang diperlukan untuk proses pengkayaan tersebut mungkin dalam

beberapa ribu tahun bahkan berjuta-juta tahun. Sedangkan kadar nikel pada

endapan laterit yang mempunyai kadar paling tinggi terjadi pada zona pelapukan

dan diendapkan pada retakan-retakan dibagian atas dari lapisan dasar batuan (Bed

Rock).

Gambar 2.6

Genesa Endapan Bijih Nikel Laterit (TA Alfin, 2008)

MAGNESIT MgCO3

DOLOMIT (Ca2Mg)CO3

Page 15: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

23

Endapan nikel laterit terdapat pada lapisan bumi yang kaya akan besi,

dimana pembagian yang sempurna dari besi dan nikel kedalam zona-zona yang

berbeda tidak pernah ada. Pengkayaan besi dan nikel terjadi melalui pemindahan

magnesium dan silikat dimana besi dalam material ini paling banyak terbentuk

gumpalan (disebut limonit). Sehingga endapan nikel dapat ditunjukkan dengan

adanya jenis limonit tersebut atau sebagai nikel ferrous iron ore. Hal ini

berlawanan dengan nikel bertipe silikat (yang kadang-kadang disebut sebagai

bijih serpentin) dimana pemisahan nikel lebih baik.

Jenis pelapukan yang melarutkan unsur-unsur logam dari batuan induk

akan menghasilkan bijih nikel limonit, bijih nikel silikat kebanyakan terjadi pada

daerah beriklim tropis. Dimana pada daerah tersebut banyak turun hujan dan

banyak tumbuh-tumbuhan yang teruraikan sehingga menimbulkan asam organik

dan CO2 pada air tanah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bijih nikel laterit ini adalah:

A. Batuan asal

Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan

nikel laterit. Batuan asalnya adalah batuan ultrabasa. Dalam hal ini pada batuan

ultra basa tersebut :

- Terdapat elemen Ni yang paling banyak diantara batuan lainnya

- Mempunyai mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil,

seperti olivin dan piroksin - mempunyai komponen-komponen yang mudah

larut dan memberikan lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel.

B. Iklim

Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana terjadi

kenaikan dan penurunan permukaan air tanah juga dapat menyebabkan terjadinya

proses pemisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur yang cukup

besar akan membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan terjadi rekahan-

rekahan dalam batuan yang akan mempermudah proses atau reaksi kimia pada

batuan.

Page 16: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

24

C. Reagen - reagen kimia dan vegetasi

Reagen - reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-senyawa yang

membantu mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang mengandung CO2

memegang peranan penting didalam proses pelapukan kimia. Asam-asam humus

menyebabkan dekomposisi batuan dan dapat merubah pH larutan. Asam-asam

humus ini erat kaitannya dengan vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan

mengakibatkan :

Penetrasi air dapat lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar

pohon-pohonan.

Akumulasi air hujan akan lebih banyak.

Humus akan lebih tebal. Keadaan ini merupakan suatu petunjuk, dimana

hutannya lebat pada lingkungan yang baik akan terdapat endapan nikel yang

lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu, vegetasi dapat

berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis.

D. Struktur

Struktur yang sangat dominan yang terdapat didaerah ini adalah struktur

kekar (joint) dibandingkan terhadap struktur patahannya. Seperti diketahui, batuan

beku mempunyai porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi

air sangat sulit, maka dengan adanya rekahan-rekahan tersebut akan lebih

memudahkan masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif.

E. Topografi

Keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air

beserta reagen-reagen lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak

perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan

penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi

endapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai kemiringan

sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk

topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang meluncur (run

off) lebih banyak daripada air yang meresap ini dapat menyebabkan pelapukan

kurang intensif.

Page 17: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

25

F. Waktu

Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup

intensif karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi.

2.4.1 Penyebaran Endapan Bijih Nikel

Batuan Peridotit yang mengalami serpentinisasi akan memberikan zona

saprolit dengan inti batuan biasanya agak keras dan rapuh. Hal ini diakibatkan

adanya hujan dan panas sehingga terjadi pelapukan dan rekahan-rekahan yang

memudahkan air masuk melalui celah-celah (Rongga-rongga) batuan oleh suatu

mineral kuarsa, garnierit, sedangkan serpentinit akan menghasilkan zona saprolit

yang relatif homogen dengan kuarsa dan garnierit. Air permukaan yang

mengandung CO2 dari atmosfir dan terkayakan kembali oleh material organik di

permukaan dan meresap kebawah sampai zona pelindian dimana fluktuasi air

berlangsung. Sebagai akibat fluktuasi ini air yang kaya CO2 akan kontak dengan

zona saprolit dan batuan yang mengandung batuan asal dan mineral-mineral tidak

stabil seperti olivin, serpentin dan piroksin.

Tabel 2.2

Kandungan Unsur Ni Dalam Batuan Ultrabasa Sampai Asam

Batuan

Nikel

(%)

Besi Oksida +

Magnesium (%)

Silikat + Alumina

(%)

Peridotit 0.3 43.3 45.9

Gabro 0.016 16.6 66.1

Diorit 0.004 11.7 73.4

Granit 0.0002 4.4 78.8

Sumber : The Mining Of Nikel (Joseph. R. Bold Jr)

Page 18: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

26

Gambar 2.7

Penampang Endapan Nikel Laterit

(Sumber : PT. ANTAM Tbk Unit Geomin)

Pada zona saprolit dijumpai rekahan-rekahan antara lain garnierit, kuarsa

dan krisopras sebagai hasil pengendapan Hydrosilikat dari Mg, Si, dan Ni. Unsur-

unsur mineral lainnya yang tertinggal adalah besi, aluminium, mangan, cobalt,

krom serta nikel di zone limonit yang terikat sebagai mineral oksida atau

hidroksida seperti hematit, magnesium dan mineral lainnya. Hasil analisa kimia

menunjukkan bahwa zona tengah yang paling banyak mengandung nikel,

sedangkan unsur Ca, Mg dan C akan terus mengalir kebawah, pada tempat yang

tidak dapat mengalir lagi dan terendapkan sebagai urat-urat dolomit dan magnesit

yang mengisi rekahan pada batuan asal.

Page 19: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

27

Sebagai gambaran umum penampang endapan bijih nikel di Pulau Gee adalah

sebagai berikut :

a. Lapisan Overburden

Lapisan ini merupakan lapisan paling atas, terdiri dari tanah laterit

yang berwarna coklat kemerahan. Biasanya terdapat sisa tumbuh-tumbuhan

serta konkresi oksida besi, dan kandungan nikelnya relatif rendah. Tebal

lapisan ini bervariasi umumnya berkisar antara 1 sampai 10 meter dengan

ketebalan rata – rata 3 meter.

b. Lapisan Limonit

Lapisan berwarna coklat muda dengan kandungan nikelnya lebih

tinggi dari lapisan pertama yaitu 1 sampai 2 %. Lapisan ini kadang-kadang

dapat dianggap sebagai lapisan bijih yang ekonomis. Dikategorikan dalam

“low grade ore ” atas yang tebalnya bervariasi antara 1 sampai 15 meter.

c. Lapisan Saprolit

Lapisan yang sama sekali merupakan batuan yang telah lapuk,

berwarna coklat kekuningan sampai kehijauan. Kadar nikel lapisan ini relatif

paling tinggi dari keseluruhan lapisan dengan kadar Ni berkisar 2-3 % yang

merupakan lapisan bijih yang mengandung urat-urat Garnierit dan Krisopras.

d. Lapisan Bed Rock

Lapisan ini terdiri dari dua yaitu :

1. Lapisan yang terdiri dari batuan yang kurang lapuk, berwarna hijau terang

sampai tua. Pada lapisan ini kadar nikelnya sudah mulai turun. Sering

didapat sebagai bongkahan yang dilapisi urat Garnierit. Lapisan ini

dikategorikan sebagai low grade ore bawah yang kadang-kadang cukup

ekonomis untuk ditambang.

2. Lapisan ini berupa batuan yang sedikit lapuk dan berwarna hitam

kehijauan. Pelapukan baru berjalan pada bidang rekahan yang sering

terdapat urat Dolomit dan Magnesit.

Page 20: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

28

2.4.2 Pembentukan Zona Limonit Dan Saprolit

Proses pelapukan laterit pada batuan ultrabasa dari suatu laterit fosil,

mempunyai arti sebagai suatu proses pelapukan laterit yang berlangsung tidak

dimulai dari batuan segar yang kemudian menghasilkan profil laterit baru, tetapi

bertolak dari suatu profil laterit yang sudah terbentuk, dimana saprolit silikat yang

selalu berada dibawah permukaan air tanah sudah ada dan terletak dibawah zona

limonit.

Fluktuasi muka air tanah yang berlangsung secara kontinue akan

melarutkan unsur-unsur magnesium yang terdapat pada bongkah-bongkah batuan

asal di zona saprolit, sehingga memungkinkan penetrasi air tanah yang lebih

dalam. Sehingga sedikit demi sedikit zona saprolit akan berubah porositasnya dan

akhirnya menjadi zona limonit.

Dengan penambahan porositas, maka air tanah akan lebih leluasa bergerak

sehingga permukaan air tanah akan turun, menyebabkan air permukaan laterit

juga akan turun akibat proses kompaksi dan erosi pada permukaan. Penurunan

muka air tanah ini akan berbeda-beda dan sangat tergantung dari struktur batuan

asal, morfologi yang mempengaruhi intensitas pelindian, intensitas curah hujan,

iklim dan waktu. Pembentuk zona laterit akibat berlanjut proses laterisasi ini akan

berlangsung dengan berbedanya penurunan permukaan air tanah, walaupun sifat

batuan asalnya serupa. Pada penurunan muka air tanah yang dalam, zona limonit

akan terbentuk lebih tebal, sementara itu ketebalan zona saprolit tidak berubah.

Demikian pula pada penurunan permukaan air tanah yang sama akan

memberikan profil laterit yang berbeda jika struktur batuan asalnya berbeda.

Dalam hal ini struktur batuan asal (masif atau bercelah) sangat berperan dalam

pembentukan zona saprolit.

Di daerah cekungan aktif ini intensitas air tanah membesar akibat arah

aliran yang konvergen dan akan memberikan proses pelindian yang lebih intensif

dari proses pengendapan kembali, sehingga memungkinkan pembentukan zona

limonit yang tebal.

Page 21: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

29

ZONE PELINDIANsilikat yang mengandung nikel terurai

Mg, Si, dan Ni larut

Pengu-rangan

larutan pem-bawa Ni,

Mg, Si

ZO

NE

LIM

ON

ITZ

ON

E

SA

PR

OLI

TB

AT

UA

NA

SA

L

Penam-bahan

larutan pem-bawa Ni,

Mg, Si

Pengendapan kembali sebagianNi, Mg, Si, pada rekahanmis. sebagai : - garnierit

- krisopras

Sebagian Mg mengendapkembali pada rekahandi batuan asalmis. : - gel magnesit

- serpentinPERIDOTIT-SERPENTINIT

BATUAN ULTRAMAFIK

Serpentinisasi

Air hujan kaya CO2 dari atmosfir

Penguapan, pengen-dapan Si, Al selamamusim kering

naiknya air tanahakibat gaya kapiler

Konsentrasi residudari Fe dan khromit

Fe-hidroksida (+Ni,Al)Al-hidroksidamineral lempungMn-hidroksida (+Co)Cr-spinel

Sedikit pelindian zone limonitdi musim hujan

Gambar 2.8 : Skema Pembentukan Endapan Nikel Laterit

(Totok Darijanto, 1986)

Page 22: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

30

2.4.3 Profil Nikel Laterit

Secara umum, jika suatu endapan nikel laterit dilihat secara vertikal maka

akan terdapat beberapa komponen utama, sebagai berikut:

1. Iron cap atau tudung besi

Material lapisan berukuran lempung, berwarna coklat kemerahan, dan

biasanya terdapat juga sisa-sisa tumbuhan. lapisan dengan konsentrasi besi yang

cukup tinggi dan kandungan nikel yang rendah, atau merupakan laterit residu

yang dapat terbentuk pada bagian atas dari profil dan melindungi lapisan endapan

nikel laterit dibawahnya.

2. Zone limonit

Merupakan lapisan berwarna coklat muda, berukuran butir lempung

sampai pasir. Pada zone limonit hampir seluruh unsur yang mudah larut hilang

terlindi, kadar MgO hanya tinggal kurang dari 2 % berat dan kadar SiO2 berkisar

2-5 % berat. Sebaliknya kadar Fe2O3 menjadi sekitar 60-80 % berat dan kadar

Al2O3 maksimum 7 % berat. Zone yang mengandung oksida besi dominan.

Gambar 2.9 : Profil Ideal Laterit dan Presentase Analisa Kandungan Logam

(Ahmad Prijono, 1977)

Page 23: BAB II - · PDF fileCiri – ciri topografi ... 2.2.3 Iklim dan Curah Hujan ... dan intensitas penyinaran matahari rata-rata 61,32%. Tabel 2.1 Klasifikasi iklim Schmidt and Fergusson

31

3. Zone Saprolit

Merupakan lapisan dari batuan dasar yang sudah lapuk, berupa bongkah-

bongkah lunak berwarna coklat kekuningan sampai kehijauan. Struktur dan

tekstur batuan asal masih terlihat, tetapi mineral-mineralnya pada umumnya sudah

terubah. Pada beberapa endapan nikel laterit, zona ini dicirikan dengan

keberadaan pelapukan mengulit bawang yang terjadi sepanjang joint dan fracture

yang memperlihatkan bagian batuan yang masih segar dikelilingi oleh material

teralterasi (boulder saprolite). Perubahan geokimia zone saprolit yang terletak di

atas batuan asal ini tidak banyak, H2O dan Nikel bertambah, dengan kadar Ni

keseluruhan lapisan antara 2 - 4 %, sedangkan Magnesium dan Silikon hanya

sedikit yang hilang terlindi. Zona ini terdiri dari vein-vein Garnierite, Mangan,

Serpentin, Kuarsa sekunder bertekstur boxwork, Ni-Kalsedon, dan di beberapa

tempat sudah terbentuk limonit yang mengandung Fe-hidroksida.

Berdasarkan kandungan fragmen batuan, zona ini dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sub Soft-Saprolit

Mengandung fragmen - fragmen berukuran boulder kurang dari 25%.

b. Sub Hard-Saprolit

Mengandung fragmen - fragmen berukuran boulder lebih dari 50%.

4. Bedrock

Pada bagian terbawah dari penampang vertikal endapan nikel laterit ini

disebut dengan protolith, berwarna hitam kehijauan, terdiri dari bongkah -

bongkah batuan dasar dengan ukuran > 75 cm, dan secara umum sudah tidak

mengandung mineral ekonomis. Protolith merupakan batuan asal yang berupa

batuan ultramafik. Pada umumnya berupa peridotit ataupun dunit. Nikel muncul

bersamaan dengan struktur mineral silikat dari magnesium olivin. Kadar mineral

mendekati atau sama dengan batuan asal, yaitu dengan kadar Fe ± 5% serta Ni

dan Co antara 0.01 - 0.30 %.