21
BAB II DASAR TEORI Fenomena aeroelastik merupakan salah satu batasan dalam perancangan suatu struktur kendaraan terbang. Oleh karena itu muncullah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang fenomena tersebut yang dinamakan aeroelastisitas. Aeroelastisitas adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang deformasi pada benda elastis dalam suatu regim aliran udara. Fenomena aeroelastik itu sendiri dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu static aeroelastic (aeroelastik statis) dan dynamic aeroelastic (aeroelastik dinamik). 2.1 Aeroelastik Statik Beberapa tahun yang lalu, Collar menyarankan bahwa Aeroelasticity dapat divisualisasikan seperti bentuk segitiga pada ilmu dinamika, solid mechanics dan aerodinamis tidak tunak (unsteady). Gambar seperti pada di bawah ini Aeroelasticity terkait dengan fenomena fisik yang mana suatu interaksi diantara inersia, elastisitas dan gaya aerodinamis. Bidang Teknik penting lainnya dapat diidentifikasikan oleh pasangan tiap-tiap titik pada segitiga. Sebagai contoh: a. Stabilitas dan pengaturan/control (mekanika penerbangan) = dinamik dan aerodynamic b. Getaran struktur = dinamik dan solid mekanik c. Static Aeroelasticity = aliran tunak aerodinamik dan solid mechanics Secara konseptual, tiap-tiap bidang pada segitiga tersebut adalah aspek khusus pada Aeroelasticity. Meskipun pengaruh yang kuat pada stabilitas Aeroelasticity dan pengaturan pada mekanika terbang dapat meningkatkan substansi dalam beberapa tahun belakangan ini [1]. Adapun fenomena static aeroelastic terdapat dua jenis permasalahan dasar yaitu static instability yang biasa disebut divergensi dan aileron reversal. 6

BAB II DASAR TEORI - Diponegoro Universityeprints.undip.ac.id/41590/12/12.BAB__I_I.pdf · Aeroelasticity dan pengaturan pada mekanika terbang dapat meningkatkan ... kekakuan, dan

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

DASAR TEORI

Fenomena aeroelastik merupakan salah satu batasan dalam perancangan

suatu struktur kendaraan terbang. Oleh karena itu muncullah suatu disiplin ilmu

yang mempelajari tentang fenomena tersebut yang dinamakan aeroelastisitas.

Aeroelastisitas adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang deformasi

pada benda elastis dalam suatu regim aliran udara. Fenomena aeroelastik itu

sendiri dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu static aeroelastic (aeroelastik

statis) dan dynamic aeroelastic (aeroelastik dinamik).

2.1 Aeroelastik Statik

Beberapa tahun yang lalu, Collar menyarankan bahwa Aeroelasticity dapat

divisualisasikan seperti bentuk segitiga pada ilmu dinamika, solid mechanics dan

aerodinamis tidak tunak (unsteady). Gambar seperti pada di bawah ini

Aeroelasticity terkait dengan fenomena fisik yang mana suatu interaksi

diantara inersia, elastisitas dan gaya aerodinamis. Bidang Teknik penting lainnya

dapat diidentifikasikan oleh pasangan tiap-tiap titik pada segitiga. Sebagai contoh:

a. Stabilitas dan pengaturan/control (mekanika penerbangan) = dinamik dan

aerodynamic

b. Getaran struktur = dinamik dan solid mekanik

c. Static Aeroelasticity = aliran tunak aerodinamik dan solid mechanics

Secara konseptual, tiap-tiap bidang pada segitiga tersebut adalah aspek

khusus pada Aeroelasticity. Meskipun pengaruh yang kuat pada stabilitas

Aeroelasticity dan pengaturan pada mekanika terbang dapat meningkatkan

substansi dalam beberapa tahun belakangan ini [1].

Adapun fenomena static aeroelastic terdapat dua jenis permasalahan dasar

yaitu static instability yang biasa disebut divergensi dan aileron reversal.

6

7

2.1.1. Divergensi

Masalah divergensi yang paling umum dijumpai pada struktur adalah

divergensi torsional. Permasalahan ini mengakibatkan patahnya airfoil pada

Fokker D-8 saat melakukan maneuver-tukik meskipun telah diperhitungkan secara

matang berdasarkan kekauan, pengujian statik dan memenuhi kekuatan struktural.

Divergensi torsional terjadi akibat sudut twist yang terjadi pada struktur

airfoil tersebut cukup besar sehingga mengakibatkan kekakuan struktur tidak

mampu lagi menahan momen aerodinamik yang terjadi akibat besarnya sudut

twist tersebut. Dengan kata lain divergensi torsional terjadi bila jumlah momen

aerodinamik dengan momen elastis pada struktur airfoil berharga nol. Fenomena

tersebut terjadi akibat kecepatan dari udara tersebut telah mencapai pada batas

stabilitas statik dari airfoil tersebut [4].

2.1.2. Aileron Reversal

Aileron atau yang disebut juga dengan control surface merupakan bagian

dari airfoil yang berfungsi untuk menambah atau mengurangi gaya angkat. Prinsip

kerja dari aileron adalah untuk membangkitkan tambahan gaya angkat yang

digunakan untuk pengendalian pesawat udara. Normalnya gaya angkat pada

airfoil akan bertambah bila aileron didefleksikan ke bawah dan bila aileron di

defleksikan ke atas maka gaya angkat akan berkurang. Seiring dengan

bertambahnya kecepatan udara di sekitar airfoil maka aerodynamic twisting

moments pun juga akan bertambah sedangkan elastic moment tetap sehingga

kefektifitas aileron untuk menghasilkan gaya angkat akan berkurang. Batas

kecepatan dimana suatu aileron tidak mampu lagi bekerja sebagaimana mestinya

dikenal dengan kecepatan aileron reversal (aileron reversal speed). Sehingga

dapat disimpulkan bahwa aileron reversal merupakan fenomena aeroelastik statik

yang mana aileron tersebut sudah tidak mampu lagi bekerja sebagaimana

fungsinya.

8

2.2 Aeroelastik Dinamik

Sebagaimana yang terlah dijelaskan pada bab I bahwa fenomena aeroelastik

dinamik terjadi akibat adanya interaksi antara 3 gaya yaitu gaya aerodinamika,

gaya inersia dan gaya elastis pada suatu struktur. Fenomena aeroelastik dinamik

itu sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu stabilitas flutter (jika tidak melibatkan

gaya eksitasi dari luar) dan masalah respon dinamik (apabila melibatkan gaya

eksitasi luar seperti: gust (turbulensi udara), buffet (fluktuasi tekanan akibat aliran

yang memisah), landing impact, dsb).

2.2.1. Flutter

Flutter merupakan fenomena berbahaya yang dihadapi dalam struktur

fleksibel yang dikenakan gaya aerodinamis. Sebagai contoh pesawat terbang,

bangunan, kabel telegraf, dan jembatan. Flutter terjadi sebagai akibat interaksi

ketiga bidang yaitu aerodinamika, kekakuan, dan gaya inersia pada struktur.

Dalam pesawat terbang, jika kecepatan angin meningkat, mungkin ada beberapa

yang menjadi titik di mana redaman struktur tidak cukup untuk meredam gerakan

yang meningkat karena energi aerodinamik yang ditambahkan ke struktur.

Getaran ini dapat menyebabkan kerusakan struktur dan karenanya

mempertimbangkan karakteristik flutter adalah penting bagian dari merancang

pesawat terbang. [5]

Gambar 2.2 Berikut adalah permodelan flutter pada airfoil yang dimodelkan

dalam dua derajat kebebasan yaitu terhadap arah vertical naik-turun dan sudut.

9

Gambar 2.2 Permodelan flutter pada airfoil [2]

Keterangan:

x-z = sumbu x-z

L = lift/ gaya angkat

AC = aerodynamic center (pusat aerodinamik)

EA = Elastic Axis (Sumbu elastik)

CG = Center of Gravity (pusat grafitasi)

MAC = Moment aerodinamik

b = setengah chord

h = gerakan flutter arah vertikal (heaving)

θ = gerakan flutter arah memutar (pitching)

ab = jarak antara sumbu elastic dengan sumbu z

ec = jarak antara pusat aerodinamik dengan sumbu elastic

xab = jarak antara sumbu elastic dengan pusat aerodinamik

10

2.2.1.1. Gerakan Flutter

Flutter sebenarnya adalah getaran tereksitasi sendiri (self exited vibration)

yang muncul karena pada kecepatan udara tertentu redaman aerodinamika yang

dibangkitkan justru memberikan tambahan energi ke dalam sistem. Sehingga jika

suatu struktur mengalami getaran itu secara terus menerus akan mengakibatkan

kerusakan pada struktur (bersifat katastropis) atau dapat juga mengakibatkan

kegagalan struktur yang berupa fatigue pada material struktur. Gambar 2.3

menunjukkan gerak harmonik naik turun jika terjadi flutter.

Gambar 2.3 Rotasi dan Motion Plunge untuk Airfoil Mempertunjukkan Flutter [11]

Gambar 2.4 Keadaan sebelum Flutter

11

Pada gambar 2.4 diperlihatkan kondisi dimana flutter belum terjadi, yang

memperlihatkan gejala suatu getaran yang dapat teredam sedangkan gambar 2.5

memperlihatkan suatu kondisi getaran pada saat flutter dimana ketika terjadi

flutter amplitudonya bernilai konstan. Sementara itu pada gambar 2.6

menunjukkan kondisi diatas flutter yang memperlihatkan suatu getaran yang tak

teredan dan memiliki kecenderungan yang makin membesar dan bersifat

divergensi.

Gambar 2.5 Keadaan ketika Flutter [11]

Gambar 2.6 Keadaan setelah Flutter [11]

12

Kondisi pada gambar 2.4, gambar 2.5 dan gambar 2.6 berdasarkan oleh

koalesensi dari dua bentuk modus pitching dan heaving. Bentuk pitching adalah

gerak rotasi pada suatu struktur dan bentuk heaving adalah vertikal atas dan ke

bawah gerak di ujung sayap. Sebagai airfoil dalam peningkatan kecepatan,

frekuensi modus ini bersatu atau datang bersama-sama untuk membuat satu

modus pada frekuensi dan kondisi flutter. [11]

Jika modus getaran struktur yang digunakan dalam analisis dinamis, di

persamaan (2.1) dapat digunakan untuk menentukan karakteristik model flutter.

Persamaan ini merupakan hasil dari dengan asumsi gerak harmonik sederhana

ti

h eutu dan menempatkan ini ke sesuai urutan kedua persamaan

diferensial biasa yang menggambarkan linear dinamis perilaku struktur yang

mengalami gaya dan momen akibat aliran fluida.

024

22

h

R

hhhh

I

hhhhhh u

QVKp

k

cVQBpM

(2.1)

Salah satu bentuk umum dari analisis flutter adalah analisis V-g. Dalam

analisis V-g, struktural redaman semua modus getaran diasumsikan memiliki satu

nilai yang tidak diketahui, g. Dalam Gambar 2.5, hasil untuk dua modus (akar

dari determinan flutter) dari sayap sederhana model dengan 2 derajat kebebasan

yang ditampilkan dalam bentuk kecepatan-redaman dan kecepatan-frekuensi.

Dalam Gambar 2.7, kecepatan dimana salah satu modus melewati g = 0 maka

disitulah kecepatan terjadi fenomena flutter. Sedangkan gambar 2.8 fenomena

terjadinya flutter dapat terlihat ketika modus saling terkopel [3].

13

Gambar 2.7 Diagram V-g (kecepatan-redaman) [14]

Gambar 2.8 Diagram V-f (kecepatan-frekuensi) [14]

14

2.2.1.2. Persamaan Gerak Flutter

Persamaan gerak pada airfoil dengan 2 derajat kebebasan yang mengalami

fenomena flutter, dengan menganggap redaman struktur bernilai nol adalah:

MKIhS

LhKShm h

Dalam bentuk matrik persamaan di atas dapat ditulis menjadi:

0 uQquKuM sss

Dengan matriks massa, kekakuan dan aerodinamis adalah:

IS

SmM s ,

h

h

sK

KK

0

0,

mm

llQ

h

h

s

Dengan vektor posisinya adalah

hu

Dimana

[M] = matriks massa

[Ks] = matriks kekakuan

[Qs] = matriks gaya aerodinamis dependent

[m] = massa struktur

[Sα] = moment statik terhadap sumbu elastik

[Iα] = gaya inersia massa struktur

{u} = vektor posisi

h = perpindahan arah heaving

α = perpindahan arah pitching [4]

(2.2)

(2.3)

(2.4)

(2.5)

15

2.2.2. Respon Dinamik

Seperti hal nya flutter, respon dinamik juga merupakan suatu fenomena

aeroelastik dinamik. Akan tetapi gaya eksitasi yang bekerja pada airfoil tidak

hanya berasal dari gaya aerodinamika saja melainkan berasal dari gaya-gaya luar

yang dapat menjadikan suatu struktur airfoil menjadi tidak stabi. Gaya-gaya

tersebut dapat berasal dari turbulensi udara atau atmosfer (gust). Pola Aliran pada

gust dapat terjadi secara diskrit maupun kontinyu. Gust dapat terjadi karena

perubahan tekanan yang signifikan pada udara, sehingga timbullah kecepatan

yang dihasilkan karena perubahan tekanan tersebut, dan kecepatan yang

ditimbulkan gust tersebut memberikan eksitasi kepada struktur pesawat, sehingga

apabila eksitasi tersebut cukup besar dan terjadi secara terus-menerus, maka tidak

menutup kemungkinan struktur tersebut akan gagal atau rusak sebelum terjadi

flutter. Kemunculan gust tersebut tidak hanya terjadi akibat perubahan tekanan

yang signifikan saja, melainkan dapat pula terjadi akibat ketinggian terbang dari

pesawat yang terlalu rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa beban yang diterima

pesawat yang terbang pada ketinggian yang lebih rendah akan lebih besar jika

dibandingkan dengan pesawat yang terbang pada ketinggian yang lebih tinggi.

Selai gust, gaya eksitasi dari luar yang dapat menimbulkan fenomena respon

dinamik dapat pula berasal dari hentakan pada saat pesawat melakukan

pendaratan atau dikenal dengan istilah landing impact. Selain itu eksitasi yang

dapat menimbulkan fenomena respon dinamik dapat pula terjadi akibat fluktuasi

tekanan yang disebabkan oleh aliran memisah. Kondisi ini dikenal dengan istilah

buffeting. Pemisahan aliran tersebut dapat terjadi akibat sudut serang yang terlalu

besar, sehingga aliran udara akan mulai memisah pada jarak yang lebih dekat

dengan nose, meskipun kecepatannya rendah. Pemisahan aliran udara tersebut

akan menimbulkan terjadinya gelombang-gelombang di sekitar struktur pesawat

dan pastinya akan menimbulkan gaya eksitasi yang akan mengeksitasi struktur

tersebut. Selain karena terlalu besarnya sudut serang buffeting juga dapat terjadi

karena kecepatan dari pesawat yang sangat tinggi, sehingga akan menimbulkan

gelombang kejut yang akan berinteraksi dengan lapisan batas yang akan

mengakibatkan gradient tekanan yang besar dan menyebabkan adanya wake.

16

Adapun persamaan gerak pada airfoil dengan dua derajat kebebasan yang

mengalami respon dinamik, dengan menganggap redaman struktur bernilai nol

adalah:

D

y

D

h

MMKIhS

LLhKShm

Dimana LD dan M

D merupakan komponen lift dan moment aerodinamika

akibat ganggunan, seperti halnya persamaan gerak untuk flutter, persamaan gerak

untuk respon dinamik juga dapat ditulis bentuk matrik.

uFQquQquKuM D

ss

Dimana

[M] = matriks massa

[Ks] = matriks kekakuan

[Qs] = matriks gaya aerodinamis dependent

[LD] = gaya aerodinamika independent

[MD] = moment aerodinamika independent

[m] = massa struktur

[Sα] = moment statik terhadap sumbu elastik

[Iα] = gaya inersia massa struktur

{u} = vektor posisi

h = perpindahan arah heaving

α = perpindahan arah pitching

Adapun contoh daripada respon dinamik yang lain adalah buffeting.

Buffeting adalah ketidaksatbilan frekuensi tinggi yang disebabkan karena

pemisahan aliran udara atau osilasi gelombang kejut dari satu objek ke objek lain.

Hal tersebut dikarenakan suatu dorongan kejut yang disebabkan meningkatnya

gaya (getaran paksa). Umumnya hal itu memempengaruhi dari tail struktur

pesawat terbang akibat aliran udara ke bawah aliran sayap [2].

(2.6)

(2.7)

17

2.3 Dinamika Sistem Kontinyu

Banyak dijumpai kasus-kasus dalam menyelesaikan suatu persamaan

getaran yang tidak hanya satu atau dua derajat kebebasan. Akan tetapi banyak/

multi derajat kebebasan yang dikenal dengan istilah system kontinyu. Hal ini

menandakan bahwa system dinamiknya bersifat kontinyu. Karena sifatnya yang

demikian maka jumlah derajat kebebasan system menjadi tidak terhingga. Oleh

karena itu system kontinyu juga sering disebut dengan system berderajat

kebebasan tak hingga (system of infinite degree of freedom). Permasalahan pada

system kontinyu adalah bersifat differensial parsial, sehingga solusinya relative

lebih rumit dibandingkan dengan system diskrit. Meskipun demikian model

kontinyu ini memberikan hasil yang lebih teliti dibandingkan dengan system

diskrit. Pada sub bab ini akan dijelaskan tentang penurunan system kontinyu pada

batang torsional yang dari penurunan ini kita akan mengetahui bentuk modus dan

frekuensi pribadi pada sistem

Gambar 2.9 model batang dikenai beban dinamik

Dari gambar 2.9 dengan menerapkan hukun Newton maka kesetimbangan

gaya dalam arah transversal pada elemen batang adalah

txdt

uddxxAdx

x

VtxVtxptxV ,,,,

2

2

Ruas kanan persamaan 2.8 adalah gaya inersia pada elemen batang.

Persamaan 2.8 dapat disederhanakan menjadi

txt

uxAtxp

x

V,,

2

2

(2.8)

(2.9)

y

x

F

T

18

Sedangkan kesetimbangan momen pada elemen batang dapat dinyatakan

sebagai

0,,2

,,

txMdxdx

x

VtxV

dxdxtxpdx

x

MtxM

Karena dx cukup kecil maka persamaan 2.10 dapat disederhanakan menjadi

txx

MtxV ,,

Dari mekanika kekuatan bahan persamaan defleksi lentur batang dinyatakan

dengan

txx

wxEItxM ,,

2

2

Kombinasi persamaan (2.9), (2.10), (2.11) dan (2.12) menjadi

txptxx

wxEI

xtx

t

wxA ,,,

2

2

2

2

2

2

Jika momen inersia dan luas penampang batang berharga konstan dan jika

dianggap tidak ada gaya lateral maka persamaan gerak batang transversal dengan

simpangan yang cukup kecil yang mengalami getaran bebas dapat dinyatakan

sebagai PDP orde ke-4:

04

42

2

2

x

wc

t

w dimana

A

EIc

Selanjutnya dengan subtitusi w(x,t)= F(x) G(t) ke persamaan 2.14 dan

dengan menerapkan metode pemisahan aliran diperoleh

tcbtcatG

xDxCxBxAxF

Gc

G

F

F

22

4

2

4

sincos

sinhcoshsincos

Dimana β konstanta. Solusi persamaan 2.25 diberikan oleh

xDxCxBxAtcbtcatxw nnn sinhcoshsincossincos, 22

(2.10)

(2.11)

(2.12)

(2.13)

(2.14)

(2.15)

(2.16)

19

Dimana a, b, A, B, C dan D adalah konstanta yang ditentukan berdasarkan

kondisi batas dan kondisi awal. Selanjutnya dengan menerapkan prinsip

superposisi solusi totalnya diberikan oleh

1

22 sinhcoshsincossincos

,,

n

nn

nn

xDxCxBxAtcbtca

txwtxw

Untuk menggambar bentuk modus pada suatu struktur di dalam tabel 2.1

disajikan bagaimana rumus untuk menentukan bentuk modus dengan variasi

kondisi batas pada struktur.

Adapun kondisi batas dan bentuk modus dalam berbagai kondisi untuk

empat modus pertama ditunjukkan oleh tabel 2.1.

(2.17)

20

Tabel 2.1 Bentuk modus dan konstanta frekuensi pada getaran transversal batang

No Kondisi

Batas

Persamaan Frekuensi Bentuk Modus βnL

1 Tumpuan

sederhana

0sin Ln xCxF nnn sin π

2 Bebas-

Bebas

1coshcos LL nn

xx

xxCxF

nnn

nn

nn

coshcos

sinhsin

LL

LL

nn

nn

n

coscosh

sinhsin

0

4.730041

7.853205

10.995608

14.137165

3 Jepit-jepit 1coshcos LL nn

xx

xxCxF

nnn

nn

nn

coscosh

sinsinh

LL

LL

nn

nn

n

coshcos

sinsinh

0

4.730041

7.853205

10.995608

14.137165

4 Jepit-

bebas

1coshcos LL nn

xx

xxCxF

nnn

nn

nn

coshcos

sinhsin

LL

LL

nn

nn

n

coshcos

sinhsin

1.875104

4.694091

7.854757

10.995541

5 Jepit-

engsel

0tanhtan LL nn

xx

xxCxF

nnn

nn

nn

coscosh

sinhsin

LL

LL

nn

nn

n

coshcos

sinhsin

3.926602

7.068583

10.210176

13.351768

6 Engsel-

bebas

0tanhtan LL nn xxCxF nnnnn sinhsin

3.926602

7.068583

10.210176

13.351768

(2.18)

21

Pada tabel 2.1 Ln = 0 menunjukkan getaran batang pada modus benda

tegar.

2.4 Aerodinamika Tak Tunak (Unsteady Aerodynamics)

Kuantitas gaya aerodinamika tak tunak (unsteady aerodynamics) dapat

ditentukan dengan pengujian terowongan angin (wind tunnel), dihitung secara

analitis maupun dengan software CFD (Computational Fluid Dynamics). Untuk

kasus aliran subsonik, nonviscous, tak rotasional dan tak kompresibel kuantitas

gaya dan momen aerodinamika tak tunak dapat dihitung dengan formulasi

theodorsen [7].

2.4.1. Formulasi Theodorsen

LaMLaMb

hLaMbM

LaLb

hLbL

hah

hh

2

24

23

2

1

2

1

2

1

2

1

V

bk

adalah frekuensi tereduksi

k

iM

M

kCk

i

k

iL

kCk

iL

h

h

8

3

2

1

12

12

2

1

21

Dimana

a = non-dim sumbu elastic diukur dari setengah chord

b = setengah chord

k = frekuensi tereduksi

V = kecepatan

(2.19)

(2.21)

(2.22)

(2.23)

(2.24)

(2.20)

22

ω = frekuensi pribadi

Lh = gaya angkat terhadap heaving

La = gaya angkat terhadap pitching [7]

Untuk C(k) merupakan fungsi Theodorsen yang dapat didefinisikan lagi

menjadi

kiHkH

kHkiGkFkC

2

0

2

1

2

1

Dimana kH n

2 merupakan fungsi Hankel jenis kedua dan orde ke-n. Bila

pendekatan untuk perhitungan gaya aerodinamika merupakan pendekatan tunak

(steady), maka nilai k=0 sehingga C(0) = (1.,0.). Atau dengan kata lain komponen

C(k) yang riil adalah satu dan yang imajiner adalah nol.

Gambar 2.9 Distribusi nilai k pada kurva real-imaginer [9]

Gambar 2.9 menggambarkan tentang nilai k yang merupakan frekuensi

tereduksi dalam sumbu real sebagai x dan imaginer di sumbu y.

(2.25)

23

2.4.2. Pendekatan Roger

Fungsi daripada pendekatan roger adalah untuk mentransformasikan

koefisien gaya aerodinamika yang semula dalam bentuk domain frekuensi

menjadi domain waktu. Transformasi ini bertujuan agar persamaan aeroelastik

dapat dinyatakan dalam formulasi ruang keadaan (state space), sehingga lebih

mudah dalam membuat suatu sistem pengendalian untuk mengatasi masalah

fenomena aeroelastik. Prinsip dasar pendekatan roger adalah dengan mendekati

gaya atau koefisien dari gaya-gaya aerodinamika tak tunak dengan deret berikut

[10]:

jnL

l l

ij

jij qMijA

Bp

p

pMijApMijAMijA

qpMA

1 2

2

210

)(

)()()(

,

Dengan i, j= 1, 2, …, N

j

lj

j

lj

jL q

sBb

U

sq

pB

pB

sU

bp

Persamaan pendekatan roger dalam time domain menjadi

nL

l jLl

jj

jij

BMijA

qMijAU

bqMijA

U

bMijA

qtMA

1 2

2

22

2

10

)(

)()()(,

ljljjlj BBb

UqB

(2.26)

(2.27)

(2.28)

(2.29)

(2.30)

24

2.5 Persamaan Flutter dalam Time Domain

Dengan persamaan 2.29 dan 2.30 maka persamaan roger dikembalikan lagi

ke persamaan flutter awal sehingga persamaan flutter telah bertransformasi dalam

domain waktu

02

1

2

1

2

1

2

1

2

2

2

2

10

2

Ll BMAUqMAb

qMAUbqMAUqKqDqM

ljljjlj Bb

UqB

Reduksi ke state space

xAx

Dengan state vector

L

TBrqx ,,

Sistem dinamik matriks

4

3

4

1

3

111

00

00

~~~~~~000

b

uI

b

uI

AMAMDMKM

I

Asp

Keterangan

2

2

2

0

2

1

2

2

2

1~

2

1~

2

1~

2

1~

ll AUA

AUKK

AUbDD

AbMM

qr

dimana

(2.35)

(2.36)

(2.37)

(2.38)

(2.39)

(2.40)

(2.31)

(2.32)

(2.33)

(2.34)

25

Aij = koefisien aerodinamika roger

b = setengah chord

U = variasi Kecepatan

q = vector

x = state vector

l = jumlah lag

[M] = matriks massa

[D] = matriks redaman

[K] = matriks kekakuan

Adapun untuk mengetahui fenomena flutter salah satunya dengan root locus.

Menggambar root locus dengan cara mencari nilai eigen pada matriks Asp. Seperti

persamaan berikut.

xAxs sp

Fungsi daripada gambar root locus hanya mengetahui fenomena flutter tetapi

tidak dapat mengetahui kecepatan flutter [10].

2.6 Persamaan Ruang-Keadaan (State space)

State suatu sistem dinamik adalah sekumpulan minimum variabel (disebut

variabel-variabel state) sedemikian rupa sehingga dengan mengetahui variabel-

variabel tsb pada t = t0, bersama-sama dengan informasi input untuk t ≥ t0, maka

perilaku sistem pada t ≥ t0 dapat ditentukan secara utuh..

Sehingga State space merupakan ruang berdimensi n dengan sumbu-

sumbu x1, x2 ,… xn. Setiap state dapat terletak disuatu titik dalam ruang tsb.

Dari matriks A diatas kemudian mencari state space nya dengan cara

psp uBpxpApx

Dimana

pu

(2.42)

(2.43)

(2.41)

26

Perhitungan numerik

tkt

Menentukan matriks transisi

!

.......!3!2

33

22

m

tA

tA

tAtAIte

mmtA

Menghitung integral

!

.......!3!2

13

22

m

tA

tA

tAtItdte

mmtA

Menghitung x

tkuBttkxttkx 1

Nilai k, k=0,1, ……………..

dimana

x = state space

k = frekuensi tereduksi

∆t = variasi waktu

m = deret faktorial

tAe = pangkat matriks transisi [10]

(2.44)

(2.45)

(2.46)

(2.47)