105
60 BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI JAWA Pertunjukan teater boneka Potehi merupakan kesenian milik komunitas Tionghoa dari etnis Hokkian yang di bawa ke wilayah pesisir Jawa. Pada perjalanan waktu etnis Tionghoa lainnya yang berada di Jawa merasa ikut memiliki seni pertunjukan Potehi tersebut. Hal ini disebabkan etnis Tionghoa lainnya tidak memiliki kesenian yang dibawa dalam perantauan dan mereka melihat ciri khas Tionghoa dalam pertunjukan Potehi sehingga seni pertunjukan Potehi telah dianggap mewakili perwujudan identitas Tionghoa (Cina). Pada perkembangannya keturunan Tionghoa peranakan di Jawa menganggap Potehi sebagai milik mereka. Para penikmat pertunjukan tersebut tidak terbatas pada masyarakat Tionghoa Peranakan, namun juga suku setempat seperti etnis Jawa. Dewasa ini para sehu teater boneka Potehi banyak berasal dari etnis Jawa. Guna memahami teater boneka Potehi di Jawa, perlu dipahami pula mengenai masyarakat Tionghoa Peranakan sebagai masyarakat pemilik pertunjukan tersebut. Pengetahuan mengenai pemilik teater boneka Potehi akan didapat gambaran utuh mengenai pertunjukan teater boneka Potehi Tionghoa Peranakan. Pertalian Negara Indonesia khususnya

BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

60

BAB II

BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN

DI JAWA

Pertunjukan teater boneka Potehi merupakan kesenian

milik komunitas Tionghoa dari etnis Hokkian yang di bawa ke

wilayah pesisir Jawa. Pada perjalanan waktu etnis Tionghoa

lainnya yang berada di Jawa merasa ikut memiliki seni

pertunjukan Potehi tersebut. Hal ini disebabkan etnis Tionghoa

lainnya tidak memiliki kesenian yang dibawa dalam perantauan

dan mereka melihat ciri khas Tionghoa dalam pertunjukan Potehi

sehingga seni pertunjukan Potehi telah dianggap mewakili

perwujudan identitas Tionghoa (Cina). Pada perkembangannya

keturunan Tionghoa peranakan di Jawa menganggap Potehi

sebagai milik mereka.

Para penikmat pertunjukan tersebut tidak terbatas pada

masyarakat Tionghoa Peranakan, namun juga suku setempat

seperti etnis Jawa. Dewasa ini para sehu teater boneka Potehi

banyak berasal dari etnis Jawa. Guna memahami teater boneka

Potehi di Jawa, perlu dipahami pula mengenai masyarakat

Tionghoa Peranakan sebagai masyarakat pemilik pertunjukan

tersebut. Pengetahuan mengenai pemilik teater boneka Potehi akan

didapat gambaran utuh mengenai pertunjukan teater boneka

Potehi Tionghoa Peranakan. Pertalian Negara Indonesia khususnya

Page 2: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

61

Pulau Jawa dengan etnis Tionghoa sudah terjalin ratusan tahun

silam. Hal ini dapat disimak sebagai berikut.

A. Para Perantau Tionghoa

Perantau Tionghoa di wilayah Nusantara sebagian besar

berasal dari Provinsi Fujian, terutama daerah Fujian Selatan.

Arkeolog Belanda, De Flins, dalam penelitian mengenai barang

pecah belah yang digali dari bumi Nusantara menyimpulkan

bahwa sebelum 2000 tahun yang lalu sudah ada orang Tionghoa

yang datang dan bermukim di Banten, Jawa Barat.1 Provinsi

Fujian terletak di pesisir Tiongkok Tenggara dengan kota bandar

yang besar Quanzhou di Fujian Selatan. Kota Quanzhou

merupakan kota penting bagi kegiatan perniagaan yang

berhubungan dengan wilayah luar Tiongkok. Di kota tersebut

sudah didirikan kantor perkapalan.

1. Ekspansi Tiongkok Pada Dinasti Yuan

Pada masa Dinasti Yuan (1271-1368 M) perantau Fujian

Selatan lebih awal datang jika dibandingkan dengan para perantau

dari Provinsi Guangdong. Mereka adalah bagian dari pasukan Tar

Tar yakni pasukan Raja Kubhilai Khan yang hendak menyerang

Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara.

Ketika sampai di Singasari ternyata Raja Kertanegara sudah

meninggal dalam peristiwa penyerangan oleh prajurit Kediri di

1 De Flins dalam Yuanzi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia (Jakarta: PT

Bhuana Ilmu Populer-Kelompok Gramedia, 2005), 184.

Page 3: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

62

bawah pimpinan Jayakatwang. Di antara para prajurit Cina

banyak yang disersi atau membelot untuk tidak ikut kembali ke

negeri Tiongkok: „Prajurit yang dipimpin oleh Shi Bi untuk

ekspedisi ke Jawa atas titah kaisar pertama Dinasti Yuan banyak

berasal dari Fujian Selatan. Kemudian mereka menetap di Jawa

dan hidup turun temurun‟.2

2. Ekspansi Utusan Tiongkok Pada Masa Dinasti Song (宋)

Pada abad ke-13, Kerajaan Tiongkok dibawah kaisar

Dinasti Song (宋) mengirimkan utusan sekitar 10.000 orang untuk

datang ke Jawa. Pada saat utusan tiba di Jawa, terjadi kerusuhan

di Tiongkok yang menyebabkan runtuhnya kekaisaran Song (宋).

Hal tersebut membuat para utusan memilih menetap di Jawa dan

tidak kembali ke Tiongkok, seperti ditulis Witanto.

Runtuhnya Dinasti Song (宋) ke tangan penguasa Mongol

pada abad ke-13 M, yang ketika itu bertepatan dengan

sedang berlayarnya utusan resmi Dinasti Song ke Jawa (diperkirakan sekitar 10.000 orang). Kabar buruk ini segera

menyebabkan tidak kembalinya para utusan itu dan kemudian menetap di Jawa.3

3. Ekspansi Muslim Tionghoa Pada Masa Dinasti Ming (明)

Pada periode Dinasti Ming (明) (138-1644) orang-orang

Fujian yang merantau ke Nusantara semakin banyak seperti yang

ditulis Xu Fuyuan,

2 Yuanzi, 2005: 185. 3 Eddy Prabowo Witanto, “Meretas Sejarah Migrasi Etnis Cina ke

Indonesia” (Jakarta: Makalah Seminar Program Studi Cina FS-UI, 2000), 15.

Page 4: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

63

Penduduk di pesisir Tiongkok Tenggara, khususnya Provinsi Fujian banyak yang merantau ke tanah seberang

sejak jaman dahulu. Empat daerah yaitu Fuzhou, Singhua, Quanzhou, dan Zangzhou di Fujian masing-masing terletak

di antara gunung dengan laut sehingga kekurangan tanah garapan. Bagi mereka khususnya penduduk Zhangzhou di Fujian Selatan, satu-satunya jalan keluar adalah merantau

ke tanah seberang dengan mengarungi laut. Orang berbondong-bondong merantau ke tanah seberang seperti arus yang bergelora dengan dasyatnya.4

Pada masa Dinasti Ming (明) agama Islam sudah

berkembang di Tiongkok, sehingga banyak orang-orang Tionghoa

muslim datang ke Majapahit. Kehadiran mereka pada abad ke-14

sudah dicatat oleh Pigeaud dalam Java in The 14th Century (1960).

Dikatakan oleh Pigeaud bahwa pada abad tersebut para pedagang

Cina Selatan dan Campa (Vietnam) semakin aktif di Jawa. Pada

abad ke-14 para pedagang Cina sudah memiliki daerah

pemukiman sendiri (Pecinan) di beberapa kota pelabuhan di

pesisir dan sungai besar Jawa. Ada kemungkinan kalau kapal

tambang Hayam Wuruk tahun 1358, mengacu pada masyarakat

kapal yang menyusuri sungai-sungai besar di Jawa Timur,

dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan antara

keraton dengan banyak wilayah perdagangan di luar batas

masyarakat agraris Jawa dan wilayah hunian keluarga kelas

menengah yang sebagian orang Jawa-Cina.5 Pada abad ke-15 dan

ke-16, kota-kota pelabuhan yang paling penting di pantai utara

4 Xu Fuyuan dalam Yuanzi, 2003: 186. 5 Th. G. Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Culture History.

5 Vol (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1960), 477-478.

Page 5: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

64

Jawa diduga dihuni masyarakat kelas menengah pedagang dari

keturunan campuran yang mendiami daerah mereka sendiri yang

disebut Pecinan. Mereka menjalin hubungan dikalangan mereka

sendiri, dengan Keraton Majapahit dan juga dengan penguasa

tanah air mereka yakni Tiongkok.6

Kedudukan masyarakat pedagang Tionghoa-Jawa atau

Cina–Jawa (Peranakan) sejak abad ke-14 sangat penting. Banyak

uang logam dan barang-barang keramik Cina yang diimpor ke

Jawa. Uang logam Cina (Chien) berbentuk bulat dengan lubang di

tengahnya dan digantungkan pada tali, menjadi alat tukar di

Majapahit dan fungsinya terus berlaku sampai kini di Bali.7 Gaya

keramik peninggalan Majapahit yang ditemukan membuktikan

adanya pengaruh Cina. Majapahit menjalin hubungan baik dengan

Negeri Tiongkok.

Pada dekade terakhir abad ke-13 Jawa pernah diserbu oleh tentara kaisar Mongol Kubhilai Khan. Jalannya Ekspedisi

ini tercatat dalam naskah Cina daratan maupun naskah-naskah Jawa (lihat Brandes, Pararaton Edisi 2) Hal ini

merupakan peristiwa penting dalam sejarah politik dan budaya Jawa, karena Kerajaan Majapahit yang didirikian pada waktu itu sebagai pengganti kerajaan sebelumnya,

tampaknya menjalin hubungan baik dengan kerajaan Cina. Tukang-tukang Cina banyak bekerja di Istana Majapahit.8

Banyak para pedagang Cina muslim berdiam di wilayah

Majapahit, meskipun ada pula pendatang dari wilayah Hokkian

6 H. J. De Graff, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, Antara Historis

dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 180. 7 Pigeaud, 1960: 494-504. 8 De Graff, 2004: 146.

Page 6: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

65

yang non-muslim. Seorang laksamana terkenal pada jaman

Dinasti Ming (明) yakni Laksamana Cheng Ho (The Hoo) (郑和) atau

disebut pula Sam Po Bo adalah seorang Kasim beragama Islam. Ia

pernah datang ke Majapahit dalam salah satu ekspedisinya sekitar

tahun 1411.

Laksamana Haji Sam Po Bo merebut daerah Tumapan (Tumapel) di Jawa Timur, dan memberikan itu kepada Raja

Su King Ta (Suhita), Gan Eng Wan, saudara Gang Eng Cu menjadi Gubernur Tumapan bawahan kerajaan Majapahit.

Dialah bupati pertama yang beragama Islam di Kerajaan Majapahit.9

Kaisar Ming (明) menempatkan seorang duta besar

Tiongkok bernama Ma Hong Fu di Keraton Majapahit. Setelah

kematian Ratu Suhita, Ma Hong Fu meninggalkan Majapahit. Ma

Hong Fu adalah menantu Gubernur Campa Bong Tek Kong, putra

dari Panglima Yunnan yang termashyur. Bong Tek Kong

merupakan kakek dari Bong Swi Ho yang dikenal sebagai Sunan

Ampel salah satu dari Wali Sanga yang tertua.

Komunitas Cina di wilayah pesisir utara Jawa kebanyakan

memeluk agama Islam mahzab Hanafi. Di Tiongkok, mahzab

Hanafi berkembang dengan pesat sehingga para Cina muslim yang

datang ke wilayah Indonesia khususnya Jawa pun bermahzab

Hanafi.10 Banyak masjid didirikan oleh komunitas muslim Cina di

9 De Graff, 2004: 7. 10 Mahzab Hanafi merupakan salah satu mahzab fiqih Islam Sunni

yang memiliki jalur Arab, Sriwijaya, Tiongkok dan pesisir utara Jawa. Mahzab

yang dirintis oleh Imam Abu Hanifah ini merupakan mahzab terbesar dengan

Page 7: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

66

Jawa pada waktu itu. Bong Swi Ho atau Sunan Ampel menjadi

pemimpin Islam mahzab Hanafi ketika Haji Bo Tak Keng kakeknya

dan Haji Gang Engcu wafat. Bong Swi Ho atau Sunan Ampel juga

berinisiatif menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-

hari dan mendekatkan kaum muslim Cina dengan orang Jawa,

seperti yang tertulis dalam Catatan Tahunan Melayu Semarang

berikut.

Setelah Laksamana Haji Sam Po Bo (Cheng Ho), Haji Bong

Tak Keng dan Haji Gan Eng Cu wafat, maka Bong Swi Hoo terpaksa mengambil inisiatif memimpin komunitas Cina

muslim Hanafi di Pulau Jawa, Kukang dan Sambas yang mulai hancur, tanpa hubungan dengan Tiongkok. Bong Swi Hoo juga mengambil inisiatif untuk beralih ke bahasa Jawa

dan memperkuat komunitas Cina muslim Hanafi dengan orang-orang Jawa. Akibatnya, sangat menentukan sejarah

pulau Jawa.11

Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) menyuruh Jin Bun seorang

Tionghoa Peranakan putra dari Kertabhumi dengan seorang

dayang Cina, untuk mendiami daerah di sebelah timur Semarang, 30% pengikut dan dijadikan sebagai mazhab resmi negara semasa kekuasaan

Abbasiyah. Mahzab Hanafi terbuka dengan ide modern. Mahzab ini

meggunakan sumber hukum fikih dari: Al‟quran, Sunnah, Atsar, Qias, Istihsan, Ijma‟, dan Urf.

Mahzab Syiah muncul dari pemahaman bahwa Nur Muhammad hanya

dapat diwariskan kepada keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu Hasan dan

Husein. Keduanya gugur dalam pertempuran di Karbela pada tanggal 10

Muharam. Pengikut Syiah memperingatinya lebih penting dari Idul Fitri. Makam Hasan Husein lebih keramat dari Ka‟bah. Mereka mengikuti tasawuf wujudiah

yaitu bahwa segala sesuatu yang berwujud yang terdapat di dunia adalah

percikan sinar Illahi. Manusia merupakan percikan sinar Illahi. Inti ajarannya

adalah: “Saya adalah Tuhan”. Aliran ini di Jawa berkembang di Pajang, Jawa

Tengah bagian Selatan (Yogyakarta).

Mahzab Syafi‟i datang lebih kemudian yang dirintis Muhammad Ibn Idris as-Syafi‟i. Mahzab ini merupakan salah satu mahzab fiqih Islam Sunni.

Penyebaran Mahzab Syafi‟i di Indonesia dilakukan melalui pengkajian kitab-

kitab yang ditulis oleh para ulama Mahzab Syafi‟i, salah satunya Nuruddin ar-

Raniri (wafat 1659 M) yang menulis kitab fiqih dalam bahasa Melayu. 11 De Graff, 2004: 12.

Page 8: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

67

di kaki Gunung Muria. Jin Bun ditugaskan untuk membentuk

komunitas muslim mahzab Hanafi karena para Cina muslim

mahzab Hanafi di Semarang sudah banyak yang murtad. Seorang

Tionghoa Peranakan lainnya yaitu Kin San diperintahkan ke

Majapahit untuk menjadi mata-mata, karena sejak kepergian Ma

Hong Fu tidak ada lagi penghubung antara komunitas Cina

muslim dengan Istana Majapahit.

Sekitar tahun 1478 Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel wafat.

Chen Jin Wen atau Tan Jin Bun segera memimpin penyerbuan ke

Majapahit. Kertabhumi sang ayah ditawan di Istana beserta tanda-

tanda kebesaran kerajaan diboyong ke Demak tetapi Istana

Majapahit tidak dihancurkan. Tan Jin Bun memerintah Kerajaan

Demak dan disebut Raden Patah. Kin San menjadi Bupati

Semarang dan memerintah Semarang dengan bijaksana. Orang-

orang Cina non-muslim tidak dibasmi bahkan ia menunjuk Gan Si

Cang seorang Tionghoa non-muslim untuk menjadi kapten

masyarakat Tionghoa non-Muslim. Orang-orang Tionghoa non-

muslim patuh kepada kepemimpinan Raja Demak Jin Bun dan

Bupati Kin San. Jin Bun sendiri masih membutuhkan para

Tionghoa non-muslim karena keahlian teknik mereka utamanya di

bidang pembuatan kapal. Kin San membangun kembali galangan

kapal dan penggergajian kayu yang dulu didirikan oleh Sam Po Bo

di Semarang. Galangan kapal inilah yang kelak menjadi tempat

Page 9: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

68

pembuatan kapal perang Demak ketika menyerang Portugis di

Malaka.12 Hal menarik adalah para Tionghoa non-muslim ikut

membantu penyelesaian Masjid Demak secara suka rela. Mereka

membuat Saka Tatal yang legendaris di Masjid Demak seperti

kutipan berikut.

Bangunan kayu masjid Demak dibuat oleh tukang-tukang kayu Tionghoa yang sudah sepuluh abad turun temurun

membuat Jung. Tiang besar: Saka Tatal memang benar dibangun menurut konstruksi master kapal di Tiongkok

jaman dinasti Ming. Dikabarkan tiang besar itu dibuat dari kepingan-kepingan kayu yang disusun dengan ketelitian yang tinggi. Tiang itu sangat fleksibel dan sangat tahan

segala angin topan dan segala terpaan air laut.13

‘Saka Tatal‟ dalam legenda para wali di Jawa dipercaya

sebagai buatan Kanjeng Sunan Kalijaga salah seorang dari Wali

Sanga yang terkenal. Menurut legenda ketika Masjid Agung

Demak didirikan, para Wali diberi tugas untuk membuat masing-

masing satu buah saka (tiang) dari kayu jati. Mereka kemudian

mencari gelondongan kayu jati terbaik. Secara serentak mereka

mengerjakan saka (tiang) karena akan dipasang keesokan paginya.

Kanjeng Sunan Kalijaga ketiduran saat para Wali lainnya sedang

mengerjakan saka (tiang) dari kayu jati yang mereka bawa dari

berbagai daerah. Keesokan paginya Sunan Kalijaga baru ingat

harus menyetor satu buah saka (tiang) untuk pendirian Masjid

Agung Demak. Mengingat beliau belum mencari bahan, akhirnya

12 De Graff, 2004: 13-14. 13 Parlindungan dalam H. J De Graff, 2004: 23.

Page 10: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

69

beliau melihat serutan-serutan kayu jati yang menumpuk dari

para Wali lain yang telah selesai mengerjakan tugas mereka, maka

dengan kesaktiannya Sunan Kalijaga membuat saka (tiang) dari

serutan-serutan kayu tersebut. Jadilah sebuah saka yang kuat

dan unik, yang disebut Saka Tatal.14 Saka artinya tiang, Tatal

artinya serutan kayu, Saka Tatal adalah tiang yang dibuat dari

serutan kayu. Demikianlah masyarakat menggunakan logika

legenda untuk menjelaskan fenomena keberadaan sebuah tiang

kayu yang dibuat dengan cara menempelkan kepingan kayu tipis

dengan ketelitian tinggi sebagaimana disebut De Graff.

Wali Sanga adalah sembilan orang shaleh yang

menyebarkan agama Islam dan merupakan panutan masyarakat

di Jawa saat itu. Delapan dari mereka merupakan keturunan

Tionghoa yaitu: Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat

alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan

Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo–Toh

A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu–Ja Tik Su/Chen Jinwen,

Sunan Giri adalah cucu Bong Swie Ho, Sunan Muria alias Chen

14 Legenda rakyat tentang masjid Demak yang terletak di Jl Sultan

Fatah, Desa Kauman, Demak. Menurut sumber Kompas Minggu 4 Agustus

2013, empat tiang saka guru dibuat oleh empat wali. Sebelah Tenggara buatan

Sunan Ampel, Barat Daya buatan Sunan Gunung Jati, Barat Laut oleh Sunan

Bonang dan Timur laut buatan Sunan Kalijaga. Tinggi tiang utama 19,54 meter

dan diameter 1,45 meter.

Page 11: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

70

Yinghua/Tan Eng Hoat.15 Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam

di Jawa diperintah oleh muslim Tionghoa Peranakan (Cina-Jawa)

yang cukup berwibawa untuk beberapa generasi. Pemegang

kekuasaan Demak berturut-turut adalah Raden Patah (Tan Jin

Bun/Chen Jinwen) (1478-1518), Adipati Unus (Yat Sun) (1518-

1521), Trenggana (Tung Ka Lo) (1521-1546), dan Sunan Prawata

(Muk Ming) (1546-1546).16 Akhirnya kerajaan muslim Tionghoa

tersebut dikalahkan oleh serbuan prajurit dari pedalaman Jawa

(wilayah Pengging). Dengan demikian kekuasaan muslim Tionghoa

di Jawa Tengah usai sudah. Di Cirebon kekuasaan muslim

Tionghoa Peranakan justru baru dimulai. Seorang Cina muslim

bermahzab Hanafi memegang kendali tertinggi tahta Cirebon.17

Pada jaman tiga dinasti di atas yakni Dinasti Yuan, Dinasti

Song (宋) dan Dinasti Ming (明) orang-orang Tionghoa (Cina) tidak

terlalu mencolok keberadaannya. Mereka seakan berbaur dengan

masyarakat setempat mengingat dandanan mereka tidak begitu

berbeda dengan masyarakat asli, baik tatanan rambut, baju, dan

lain sebagainya. Masyarakat Tionghoa (Cina) nampak mencolok

ketika masa Dinasti Qing (清), karena orang-orang Tionghoa

dipaksa menggunakan tauwtjang (kucir) bagi para lelaki.

15 Sie Hok Tjwan, The 6th Overseas Chinese State {Australia: Nanyang

Huaren CSES, J. C. Univ. Of N-Queensland, 1990), 154. Lihat De Graff, 2004:

67. 16 De Graff, 2004: 83. 17 De Graff, 2004: 126-130.

Page 12: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

71

4. Pendatang Tionghoa pada Masa Dinasti Qing (Chi’ng) (清)

Pada tahun 1770-an (abad ke-18) tatkala Kaisar Yong

Zheng dari Dinasti Qing (Chi‟ng/清), berkuasa di Tiongkok,

Gubernur Zheijiang dari Fujian memberikan laporan pada kaisar

bahwa penduduk yang merantau ke luar negeri Tiongkok

sebanyak 60-70% berasal dari Provinsi Fujian, sedangkan 30-40%

lainnya dari Provinsi Guangdong, Jiangsu dan Zhejiang.18 Para

perantau Tionghoa sejak masa Dinasti Qing (Chi‟ng/清),

diwajibkan memakai tauwtjang (kucir). Pemaksaan ini di Negeri

Tiongkok mengundang pemberontakan besar-besaran

sebagaimana diungkapkan Hembing Wijayakusuma sebagai

berikut.

Di dalam negeri Tiongkok, tauwtjang merupakan

penghinaan dari orang-orang Manchuria ketika menjajah Tiongkok di tahun 1644 M. Semua bermula dari aksi perlawanan rakyat Tiongkok kepada kaisar pertama dinasti

Ch‟ing, Soen-Ti yang menyebabkan kaisar murka dan memaksa rakyat memakai tauwtjang. Alasan mengapa

disebut penghinaan, karena kepala orang yang memiliki tauwtjang pada saat berlutut menyembah kaisar akan

terlihat seperti kuda karena tauwtjcang yang berjuntai mirip dengan ekor kuda.19

Sumber lain mengatakan bahwa pemaksaan penggunaan

tauwtjang (kucir) karena bangsa Manchu sangat memuja kuda.

Bangsa Manchu dulunya adalah suku nomaden, mereka sangat

18 Catatan Song Si Pu Zhi (Titah-titah Kaisar) Vol. 46 dalam Yuanzhi.

2003: 186. 19 Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740 Tragedi Berdarah

Angke, (Jakarta: Pustaka Popeler Obor, 2003), 72. Periksa Nio Joe Lan, 1952:

157-158.

Page 13: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

72

bergantung pada kuda-kuda perkasa ketika berpindah dari satu

tempat ke tempat lain atau mengadakan penyerbuan ke daerah

suku-suku lainnya. Kucir (tauwtjang) merupakan lambang

kejantanan dan kegagahan seorang pria menurut bangsa

Manchu.20

Gb. 2.1: Para lelaki Tionghoa ber-kucir (tauwtjang).

(Sumber foto: Anonim D, 2011)

Kebiasaan yang dikenakan bagi kaum lelaki adalah

pemakaian tauwtjang (kucir), sementara kebiasaan atau adat yag

dikenakan untuk para perempuan pada masa Dinasti Qing adalah

san cun cing lian (kaki kecil). Seperti pada gambar di bawah jika

dilihat tidak ada yang aneh, hanya foto dua orang wanita paruh

baya, namun apabila dicermati akan terlihat keganjilannya yakni

sepatu runcing dan mungil yang dikenakan oleh kedua nyonya

20 Lihat Anonim E, “Kaki yang Terlipat”.

(http://jcglobalcitizen.wordpress.com/2009/04/21/kaki-yang-terlipat/#more-

274, 2009).

Page 14: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

73

tersebut. Kaki dengan telapak mungil merupakan tipologi

kecantikan pada jaman Dinasti Qing (清). Ukuran kecantikan saat

itu makin kecil kaki akan nampak makin cantik.

Gb. 2.2: Wanita Tionghoa Totok dengan kaki kecil.

(Sumber foto: Anonim E, 2009)

Budaya kaki kecil dalam bahasa Tiongkok adalah san cun

cing lian yang artinya San Cun (3 inci), Cing (emas), Lian (gadis),

jika diterjemahkan menjadi kaki kecil tiga inci yang dimiliki gadis

dari keluarga kaya. Menurut Myra Sidarta tradisi kaki lipat atau

tradisi ikat kaki justru sudah berlangsung sejak jaman Dinasti

Song (宋) seperti ungkapan berikut.

Pada usia sebelum remaja, mereka harus menanggung

penderitaan karena kakinya harus diikat demi kecantikan pada masa itu. Tradisi ikat kaki ini telah berlangsung sejak

dinasti Song (宋), dan berlangsung sampai tahun 1917.

Sejak usia lima tahun kaki diikat sedikit demi sedikit

untuk mencegah pertumbuhannya sampai akhirnya hanya berukuran 10-13 sentimeter. Ukuran kaki yang kecil ini

Page 15: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

74

dibanding bobot badannya, menyebabkan mereka tidak bebas bergerak karena sulit menjaga keseimbangan, lagi

pula ikatannya menyebabkan kesakitan yang luar biasa.21

Gb. 2.3: Kaki lipat perempuan Tionghoa di era Dinasti Qing.

(Sumber foto: Anonim E, 2009)

Gb. 2.4: Kaki yang terlipat (San Cun Cing Lian).

(Sumber foto: Anonim E, 2009)

Kaki kecil atau kaki lipat seperti gambar berikut adalah

upaya mendapatkan kecantikan standar jaman itu. Seorang anak

perempuan saat berumur tiga atau empat tahun akan dikenakan

21 Sidharta dalam I Wibowo, (ed), Harga yang Harus Dibayar, Sketsa

Pergulatan Etnis di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama & Pusat Studi

Cina, 2001), 107.

Page 16: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

75

proses „kaki lipat‟ atau san cun cing lian. Proses tersebut adalah

jari-jari kaki kecuali jempol akan dilipat dengan cara dipatahkan

ke dalam, kemudian dibebat kuat dengan kain. Si anak akan

menderita beberapa bulan sampai kaki tersebut sembuh. Setiap

hari si anak digendong atau ditandu oleh seorang perawat yang

disebut „Mak Cie‟ yang setiap malam bertugas pula merendam kaki

si anak tersebut dalam ramuan obat-obatan tradisional Tiongkok.

Setelah sembuh, tahap yang akan dilakukan selanjutnya adalah

menekuk tungkai ke dalam untuk mempertemukan tumit dengan

bagian depan, sehingga jarak antara jempol kaki dengan tumit

sependek mungkin. Ukuran ideal adalah 3 inci. Pembebatan pun

dilakukan lagi sampai keadaan yang dikehendaki. Proses ini

memakan waktu sampai si anak berusia 11 hingga 12 tahun. Kaki

terlipat merupakan simbol status sosial, kecantikan, keanggunan,

dan derajat seorang wanita. Semakin kecil kaki, semakin cantik

menurut adat saat itu.

Pada masa itu seorang wanita dengan kaki „utuh‟ dianggap

barbar, biadab, dan rendahan, contohnya kelas pekerja, buruh,

pelayan, dayang di istana, dan petani. Para gadis anak bangsawan

atau orang kaya harus tahan menderita demi standar kecantikan

yang berlaku pada masa itu. Cara berjalan para perempuan

Tionghoa dengan kaki yang sudah dilipat disebut sebagai dahan

Page 17: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

76

pohon willow yang melambai. Tradisi ini ternyata dibawa pula oleh

sebagian perantau Tionghoa ke Indonesia, Jawa khususnya.

Gb. 2.5: Proses menekuk tungkai agar dekat dengan bagian depan.

(Sumber foto: Anonim E, 2009)

Tradisi telapak kaki kecil di kalangan Tionghoa Peranakan

di Jawa cukup dikenal juga busana celana gombrong, sehingga

sering para wanita Tionghoa dipanggil emak kathok atau nyah

kathok, seperti diungkapkan oleh Eddy seorang keturunan

Tionghoa Peranakan Semarang.

Di Indonesia, mungkin sekarang ini masih ada beberapa wanita usia lanjut yang masih memiliki bentuk kaki yang

demikian. Masa saya kecil, teman-teman angkatan saya masih ada cukup banyak yang mempunyai nenek dengan

kaki yang terlipat. Di Semarang, masyarakat kebanyakan menyebutnya dengan emak kathok (emak celana), yaitu

nenek-nenek yang berpakaian seperti terlihat dalam foto. Kelompok nenek-nenek ini mengenakan celana panjang komprang dengan baju atas lengan panjang seperti dalam

foto. Kelompok ini disebut juga dengan Tionghoa Totok,

Page 18: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

77

masih asli dari Cina, merupakan pendatang yang langsung dari Cina masuk ke Indonesia.22

Gb. 2.6: Golden Lilies seorang gadis cantik dengan kaki kecil.

(Sumber foto: Anonim E, 2009)

Kaki kecil yang diyakni sebagai bagian untuk tampil cantik

dan menawan bagi standar kecantikan perempuan Tionghoa

merupakan cara perempuan Tionghoa Ngadi Sarira yaitu cara

untuk mempercantik diri semacam gigi hitam (sisig) bagi

perempuan Jawa tempo dulu, telinga panjang bagi perempuan

Dayak atau leher panjang bagi orang Thailand, dsb. Ketika hal-hal

semacam kucir (tauwtjang), kaki kecil, adat istiadat leluhur dll

masih dipertahankan oleh kaum Tionghoa Peranakan di

perantauan, Jawa khususnya, hal tersebut merupakan

manifestasi sebuah identitas diri bahwa mereka adalah komunitas

yang memiliki pula ciri khas dan budaya.

5. Kedatangan Orang Tionghoa Pada Masa Kolonialisme

22 Lihat Anonim E, 2009.

Page 19: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

78

Masa ketika penguasa Kolonial Barat mengembangkan

pertambangan dan perkebunan di berbagai tempat di Asia

Tenggara, termasuk di Indonesia, banyak orang-orang Tionghoa

yang didatangkan atau datang sendiri untuk menjadi kuli atau

pekerja tambang. Kebanyakan dari para buruh ini berasal dari

keluarga-keluarga miskin yang nekad merantau tanpa satu

pengetahuan pun mengenai daerah tujuan, semata-mata dalam

konteks ekonomi untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Di

Indonesia, pola ini berlangsung sejak dibukanya banyak

pertambangan emas di daerah Kalimantan Barat.23 Sesudah

Perang Candu pada pertengahan abad ke-19, banyak petani desa

dan penduduk miskin di kota terpaksa merantau ke tanah

seberang untuk mencari nafkah, sehingga jumlah perantau

Tionghoa di Asia Tenggara bertambah pesat jumlahnya. Pada

pertengahan abad ke-20 jumlah perantau Tionghoa di Indonesia

bertambah besar, dengan rincian tahun 1920 bertambah 800.000

orang dan tahun 1930 bertambah menjadi 1.200.000 orang.24

Penduduk etnis Tionghoa di perantauan terus bertumbuh

seiring dengan laju perkembangan yang terjadi di wilayah ini.

Merangkum berbagai kajian yang telah diuraikan di atas, berikut

dipaparkan beberapa fase pertumbuhan penduduk etnis Tionghoa

23 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1983), 194. 24 Pramudya Ananta Tour, Hoakkiau di Indonesia (Jakarta: PT.

Gramedia, 1998), 221.

Page 20: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

79

(Cina) di perantauan, sebagaimana diuraikan oleh Anthony Reid

sebagai berikut.

a. Abad ke10-16 M ditandai dengan ciri-ciri: 1) orang-orang Cina, yang kebanyakan adalah para pedagang, umumnya jarang menetap secara permanen, 2) para

pedagang umumnya mengunjungi banyak pelabuhan di Asia Tenggara, 3) dari kebanyakan para pedagang ini, terdapat pula beberapa orang yang kemudian

terasimilasi secara permanen. Umumnya, hal ini terjadi karena pedagang tersebut menikahi wanita setempat

dan kemudian memilih untuk menetap selamanya di tanah baru tersebut.

b. Tahun 1567 - ±1800, ditandai dengan beberapa ciri,

antara lain: 1) permukiman pedagang Cina di kota-kota utama semakin besar dan permanen, seperti misalnya

Batavia, 2) muncul komunitas-komunitas penambang di Pulau Bangka, Kalimantan, sekitar permulaan tahun 1700-an, 3) semakin membesarnya komunitas creole (Peranakan) di Jawa, 4) proporsi penduduk etnis Tionghoa (Cina) atau peranakan Tionghoa mencapai

puncaknya sekitar tahun 1800-an. c. Masa ± tahun 1800–1860, ditandai dengan ciri jumlah

penduduk etnis Tionghoa (Cina) di perantauan

meningkat dengan pasti.25

Demikianlah gambaran mengenai proses migrasi etnis

Tionghoa ke Indonesia dari latar belakang historis. Proses tersebut

terbentuk tidak dalam waktu yang singkat. Hal menarik dalam

proses migrasi etnis Tionghoa adalah tidak hanya khusus terfokus

pada kajian perpindahannya saja, melainkan bagaimana proses

itu mengiringi pembentukan permukiman dan kelompok

masyarakat di tempat baru mereka dalam hal ini di Indonesia.

Proses dialektik antara budaya pendatang dan budaya lokal

25 Roderich Ptak dalam Eddy Prabowo Witanto, “Meretas Sejarah Migrasi

Etnis Cina ke Indonesia”. (Jakarta: Makalah Seminar Program Studi Cina FS-

UI, 2000), 15.

Page 21: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

80

memainkan peran penting dan menghasilkan produk tersendiri,

seperti halnya pertunjukan teater boneka Potehi (布袋戲) di Pulau

Jawa yang menggunakan bahasa Melayu (kini Bahasa Indonesia).

B. Wilayah Pecinan: Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia

Pemukiman orang-orang Tionghoa sudah ada di Indonesia

jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa, terutama di bandar-

bandar perdagangan di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.

Struktur pemukiman yang terbentuk saat itu tidak dalam rupa

Chinatown atau Pecinan seperti sekarang ini. Bentuk Pecinan

mulai berkembang mencapai bentuknya yang sekarang sejak

Belanda memantapkan kedudukannya sebagai penguasa tunggal

di Hindia Belanda.26 Pada saat Belanda memantapkan

kedudukannya di Indonesia, penduduk Tionghoa bertambah

banyak dan tersebar secara luas. Pendatang Tionghoa meningkat

pesat ke wilayah Nusantara seiring dengan meningkatnya kegiatan

Belanda dalam mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam

Indonesia. Wilayah-wilayah yang mengalami peningkatan jumlah

emigran Tionghoa terkait kegiatan eksploitasi alam adalah Pulau

Bangka, Belitung, dan Kalimantan Barat.27 Emigran Tionghoa

tersebut kebanyakan suku Hakka (Kek), Teowchiu, Hokkian, dan

26 Coppel dalam Witanto, “Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian

Historis Pemukiman Masyarakat Cina di Indonesia”, dalam I Wibowo, (ed), Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia (Jakarta:

Gramedia, 2001), 194. 27 Witanto, 2001: 195.

Page 22: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

81

Kanton (Kwongfu), yang bekerja sebagai buruh tambang. Emigran

Tionghoa yang datang selain didorong oleh aktivitas eksploitasi

tambang dan buruh perkebunan seperti di Sumatera Timur juga

karena aktivitas perdagangan yang meningkat seperti di Jawa,

Sulawesi, dan sebagian Sumatera.

Gambaran umum di hampir sebagian besar wilayah Asia

Tenggara, termasuk Indonesia biasanya berupa jajaran toko-toko

yang menempati tempat-tempat strategis di suatu kota. Hal itu

oleh Rutz disebut The Chinese business district.28 Lokasi yang

sangat disukai orang-orang Tionghoa adalah di sepanjang jalan

besar dan di perempatan-perempatan utama untuk menjajakan

dagangan atau jasa mereka. Potensi yang dimiliki wilayah Pecinan

antara lain: 1. merupakan kawasan hunian sekaligus kawasan

perdagangan, sehingga terjadi kelangsungan kegiatan selama 24

jam, 2. memiliki rumah-rumah tinggal berarsitektur Cina, 3.

memiliki pasar tradisional dengan citra pasar tradisional Cina, 4.

memiliki sosial kemasyarakatan yang berlatar budaya Cina.29

Hunian mereka biasanya memiliki ciri khas arsitektur Cina seperti

gambar berikut:

28 Rutz dalam Witanto, 2001: 196. 29 Wijanarka, Semarang Tempo Dulu, Teori Desain Kawasan Bersejarah,

(Ombak: Yogyakarta, 2007 ), 30.

Page 23: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

82

Gb. 2.7: Pecinan di Singkawang.

(Foto repro: Hirwan Kuardhani)

Masyarakat Cina membawa bentuk arsitektur daerah asalnya

untuk tempat tinggalnya seperti penjelasan Rutz berikut ini,

These Chinese immigrants did not adopt the autochthonous method of construction suited to the tropic.With their traditionalist culture, they imported two story form and closed, compac method of building wich distinguish the Chinese district as an independent structural element of the town and cities in the East Indies.

(Imigran Cina tidak mengadopsi metode konstruksi setempat yang sesuai dengan iklim tropis. Dengan budaya

tradisionalnya mereka membawa format dua lantai dan metode bangunan tertutup dan ringkas, yang membedakan

Wilayah pecinan sebagai elemen struktur kota yang independen di Hindia Timur).30

Pada masa pra kolonial pemukiman masyarakat Tionghoa

terbagi atas tiga segmen daerah hunian yaitu: 1. kelas dagang, 2.

kelompok fungsional, 3. kelompok masyarakat biasa.31 Kelompok

kelas pedagang dan kelompok fungsional umumnya menempati

30 Rutz dalam Witanto, 2001: 195. 31 Widodo dalam Witanto, 2001: 197.

Page 24: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

83

bagian kota yang paling mudah didatangi dan paling

menguntungkan terkait akses langsung ke jalur transportasi

utama. Kelentheng selalu ada dalam pemukiman Tionghoa dan

biasanya terdapat wilayah pemukiman Tionghoa di luar kelas

pedagang dan kelas fungsional, namun masih dalam lingkup

wilayah Pecinan. Letak kelentheng terdapat pada persilangan

ketiga segmen tersebut. Kelentheng menjadi elemen penting dan

utama dalam sebuah pemukiman masyarakat Tionghoa karena

fungsinya mengikat dan menyatukan ketiga segmen tersebut di

atas. Elemen penting lainnya adalah pasar dan pelabuhan. Pasar

merupakan pusat pertemuan berbagai elemen kelompok sosial

khususnya antara komunitas Tionghoa dengan penduduk

setempat. Pelabuhan merupakan penghubung dengan daerah

luar.32

C. Perayaan Hari Besar Masyarakat Tionghoa di Indonesia

Para warga etnis Tionghoa di Indonesia masih merayakan

hari besar yang berkait dengan peri kehidupan mereka, meskipun

terkadang sudah berbeda dengan tempat asalnya. Beberapa

perayaan yang masih sering dilakukan oleh warga etnis Tionghoa

di Indonesia adalah sebagai berikut.

32 Widodo dalam Witanto, 2001: 197.

Page 25: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

84

1. Perayaan Tahun Baru Imlek

Perayaan ini disebut pula pesta musim semi (Cung

Jie/Ch’ung Chieh) di Tiongkok, namun karena di Indonesia tidak

ada musim semi maka warga Tionghoa di Indonesia hanya

menyebutnya dengan hari raya Imlek. Hari raya Imlek dirayakan

pada tanggal 1 penanggalan Imlek yang jatuh pada kisaran akhir

Januari sampai awal Februari pada penanggalan Masehi, misalnya

Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal 29 Januari 2008. Pada hari

raya Imlek biasanya orang-orang Tionghoa akan „mudik‟ seperti

ketika orang Islam merayakan Idul Fitri. Mereka akan berkumpul

bersama selama lima belas hari. Tahun Baru Imlek akan diakhiri

oleh perayaan Cap Go Meh.33

Menjelang datangnya Tahun Baru Imlek terdapat adat

kebiasaan untuk membersihkan rumah tiga atau dua hari

menjelang hari raya. Mereka meyakini ritual membuang barang-

barang yang sudah tak terpakai dan membersihkan rumah akan

membuang aura buruk (kesialan) yang terjadi di tahun

sebelumnya, dan Dewa Dapur Ts’Chung/Caouzhung akan

berangkat ke langit untuk melaporkan semua peristiwa di dunia.

Mereka juga akan mengganti gambar Dewa Dapur yang lama

dengan gambar baru serta mengolesinya dengan madu agar sang

dewa membicarakan hal-hal yang baik saja pada Raja Langit.

33 James Dananjaya, Folklore Tionghoa (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,

2007), 365-373.

Page 26: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

85

Sehari menjelang Tahun Baru Imlek, warga keturunan Tionghoa

melakukan pemujaan dan memberikan persembahan untuk Dewa

Dapur. Mereka percaya, pada saat tahun baru, Dewa Dapur akan

memberikan penilaian dan melaporkan pada Raja langit. Untuk

itu warga keturunan Tionghoa membuatkan sesajian makanan

untuk Dewa Dapur sebagaimana terlihat pada gambar di bawah

ini.34

Gb. 2.8: Persembahan untuk Dewa Dapur.

(Sumber foto: Anonim F, 2009)

Hal menarik di dalam masyarakat Tionghoa Peranakan di

Jawa adalah masakan persembahan untuk Dewa Dapur berbeda

dengan di negeri asalnya. Masyarakat Tionghoa (Cina) Peranakan

di Indonesia punya menu tersendiri untuk suguhan di meja

persembahan dan saat jamuan makan bersama keluarga. Mereka

menyajikan masakan peranakan yang merupakan perpaduan seni

34 Dananjaya, 2007: 366.

Page 27: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

86

kuliner Tionghoa (Cina), Jawa, dan Belanda. Persembahan di meja

panjang tersebut meliputi menu lodeh yang berasal dari Jawa, roti

bluder dari Belanda, dan sayur asin dari Cina. Tak lupa tersedia

juga berbagai buah-buahan manis seperti kelengkeng, duku,

rambutan, pepaya, pisang raja, manggis, apel, dan jeruk kecil. Ada

pula kue-kue manis yang diletakkan dalam piring kecil. Kue manis

merupakan perlambang manisnya kehidupan di tahun berikutnya.

Tidak hanya kue keranjang yang sudah menjadi tradisi

masyarakat Tionghoa, ada pula kue khas Indonesia seperti kue

mangkok merah, onde-onde, kue cucur, dan sebagainya. Tersaji

juga berbagai manisan seperti mangga kering, keripik pisang

madu, cermai, kiamboy hitam, kiamboy madu, dan jelly. Sebagai

pelengkapnya, biasanya tersedia minuman pendamping yaitu arak

Cina. Seluruh sajian berjumlah dua belas sesuai tradisi Cina.35

Bersih–bersih rumah dilakukan dengan tuntas sebelum

Imlek karena pada saat hari raya Imlek sampai satu minggu

sesudahnya dilarang untuk menyapu dan bersih-bersih. Hal ini

jika dilakukan diyakini bisa membuang rezeki yang datang. Hari

raya 1 Imlek diharapkan turun hujan, karena jika turun hujan

35 Lihat Anonim F, “Persembahan untuk Dewa Dapur”

(http://life.viva.co.id/news/read/24452-persembahan_untuk_dewa_dapur,

2009).

Page 28: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

87

maka sepanjang tahun akan lancar rezeki. Air merupakan

lambang dari rezeki.36

Menjelang hari raya Imlek, di kota-kota besar seperti

Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Pontianak, Singkawang dan

di daerah Pecinan lainnya akan dibuka pasar malam yang menjual

keperluan untuk tahun baru. Berbagai keperluan Imlek seperti

aneka jajanan, bahan masakan, bunga-bunga, jeruk dan buah-

buahan lainnya, lilin, hio (hiosua) untuk sembahyang, dan lain

sebagainya. Pada malam hari raya Imlek mereka melakukan

sembahyang dan juga keesokan paginya. Acara sembahyang

dilakukan sekitar dua jam disertai doa-doa kepada Tuhan, mereka

pun mendoakan arwah leluhur dan membakar dupa hio. Setelah

dupa hampir habis terbakar dilakukan Siao Pwee yakni

melemparkan dua keping mata uang. Jika jatuh dengan posisi

berbeda, maka mengisayaratkan arwah leluhur telah memberikan

restu. Kemudian ritual persembahyangan ditutup dan dilanjutkan

dengan menyantap hidangan dan mengunjungi kerabat yang lebih

tua. Hidangan yang tidak boleh disajikan pada hari raya Imlek

adalah bubur dan tahu putih. Bubur melambangkan kemiskinan

dan diyakini dapat menyebabkan ketidakberuntungan. Makanan

berbahan dasar tahu juga tidak boleh disajikan pada hari raya

Imlek, terutama tahu yang berwarna putih. Menurut kepercayaan

36 Wawancara keluarga Liliana, sebuah keluarga Cina yang selalu

merayakan Imlek secara adat Cina, 3 April 2006, di Bekasi, Jakarta.

Page 29: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

88

Tionghoa, warna putih bermakna kesedihan atau kematian. Hal

unik lainnya adalah ketika menyantap ikan bandeng saat

perjamuan Imlek tidak diperkenankan membalik ikan bandeng.

Pada saat daging bagian atas telah habis, ikan tidak boleh dibalik

untuk memperoleh daging di bagian bawah, melainkan ikan harus

diangkat pada posisi tetap membujur. Daging ikan bandeng tidak

boleh dihabiskan, namun harus disisakan untuk lauk esok

harinya. Ikan bandeng diyakini melambangkan kelimpahan,

kemakmuran dan kebersamaan.37

Gb. 2.9: Hidangan hari raya Imlek (Sumber: Anonim G, 2012)

2. Perayaan Cap Go Meh

Perayaan ini dilakukan pada hari ke-15 Tahun Baru Imlek

yakni saat berakhirnya para anggota keluarga kumpul bersama.

Sejak tanggal 1 tahun baru sampai hari raya Cap Go Meh orang-

37 Lihat Anonim G, “Makanan yang Tidak Boleh Ada di Tahun Baru

Imlek” (http://sekilasinfoforyou.blogspot.com/2012/01/ makanan-yang-tidak-

boleh-ada-di-tahun.html, 2012).

Page 30: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

89

orang Tionghoa saling mengucap Gong Xi Fat Cai, Kiong Hie Fat

Coi, Sin Cun Kiong Hi, Thiam Hok Siu yakni ucapan selamat tahun

baru serta memberikan angpao yang berisi uang. Anak-anak kecil

paling suka acara ini, mirip saat lebaran Idul Fitri. Mereka akan

diberi kue-kue dan angpao dari sanak saudara dan tetangga.

Perayaan pesta Gap Go Meh di Jakarta dahulu dimulai

pada hari ke-13 dengan berbagai tontonan seperti musik keliling

Tanjidor dan wayang Cokek yang ditarikan oleh empat orang

wanita berkostum baju kurung diiringi musik Gambang Kromong.

Ada pula pertunjukan sepasang badut yang bernama Empe Sin

Siang dan Mak Babu. Pertunjukan wayang Si Pat Moh dengan dua

orang penarinya berpakaian Tionghoa Klasik membawa tambur

dan menyanyikan lagu berbahasa Tionghoa. Wayang Sinpe yaitu

wayang yang pemainnya terdiri dari anak-anak dipimpin seorang

dewasa yang menjadi pengiring lagu dengan alat musik tehian

(rebab), Komedi Stambul, dan Opera Bangsawan.38 Pada malam

ke-15, puncak dari pesta Cap Go Meh, dipertunjukkan Barongsay,

Liang-Liong, dan Cungge. Barongsay adalah pertunjukan memakai

boneka singa besar yang dilakukan dengan atraksi-atraksi salto

dan silat yang mengagumkan. Liang-liong atau Liongsay berbentuk

naga panjang yang meliak-liuk. Liongsay tidak seperti Barong yang

bisa melakukan salto atraksi lompat dan naik tangga. Liongsay

38 Dananjaya, 2007: 374.

Page 31: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

90

hanya bergerak bak ular yang sedang menari dan dimainkan oleh

lima sampai sepuluh orang tergantung panjang naga. Cungge

adalah semacam tandu berhias berisikan anak-anak kecil yang

berkostum tokoh-tokoh mitologi atau legenda Tiongkok Kuno

seperti: Sie Jin Kui, Koan Kong, Sun Go Kong, dan lain-lain.39

Perayaan Cap Go Meh di daerah Singkawang, Pontianak

dan sekitarnya berbeda lagi dengan yang ada di Jakarta atau

tempat lain. Menjelang Cap Go Meh dipasang ratusan lampion.

Dua hari menjelang puncak acara telah diadakan arak-arakan

yang dilakukan oleh Tatung/Louya (ada yang menyebut Wu Shi),

dan hanya ada di wilayah Singkawang, Pontianak dan sekitarnya.

Tatung/Louya adalah orang-orang yang dipercaya mempunyai

kekuatan gaib, karena dalam dirinya dirasuki oleh roh-roh leluhur

atau dewa-dewi. Roh-roh yang memasuki tubuh Tatung/Louya

adalah Tai Ce, Pek Kong, Cing Kung, dan Nio (dewi). Para

Tatung/Louya akan turun ke jalan menyusuri gang-gang untuk

mengusir roh-roh jahat yang mengganggu masyarakat. Awal

keberadaan Tatung/Louya dahulu adalah ketika wilayah-wilayah

yang akan dijadikan tambang emas masih merupakan hutan

belantara yang konon sangat angker. Karenanya para Tai-Ko yakni

pemimpin tertinggi kelompok penambang mendatangkan

39 Dananjaya, 2007: 375.

Page 32: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

91

Tatung/Louya dari daratan Tiongkok untuk mengusir roh-roh

jahat yang mengganggu perkampungan penambang emas.40

Para Tatung/Louya segera turun ke jalan-jalan mengusir

roh–roh jahat penyebab wabah penyakit dan gangguan-gangguan

lainnya, diiringi tetabuhan musik dan pembakaran hio yang terus

menerus sampai wilayah tersebut aman. Ritual itu disebut se lu

biasanya dilakukan selama dua hari. Selama ritual pembersihan

roh–roh jahat tak jarang para Tatung/Louya mendapatkan

gangguan berat, untuk itu para Tatung/Louya menggunakan

penangkal yakni seyu, sehelai kertas putih untuk Tatung/Louya

akan menggambarkan lubang hitam di atas kertas tersebut.

Lubang hitam (seyu) berfungsi untuk menyedot roh-roh jahat yang

mengganggu.41

Sebelum perayaan Cap Go Meh para Tatung/Louya

mengadakan persiapan batin dengan cara tiga puluh hari sebelum

perayaan harus bebas dari perbuatan jahat seperti judi dan

mabuk. Mereka hanya makan nasi putih, sayur mayur, dan

minum air putih saja serta pantang melihat matahari. Satu hari

menjelang perayaan Cap Go Meh para Tatung/Louya melakukan

upacara tolak bala (Ta Cia) dengan diadakan ritual naik tangga

langit yakni tangga kayu bercat merah dengan anak tangga

40 Hirwan Kuardhani, “Tatung dalam Cap Go Meh di Singkawang”

dalam Majalah Gong Edisi 101/IX/2008 (Yogyakarta: Yayasan Media & Seni

Tradisi, 2009), 22-23. 41 Kuardhani, 2008: 23.

Page 33: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

92

terbuat dari parang dan benda tajam lainnya. Tatung senior akan

naik terlebih dahulu baru diikuti para Tatung/Louya yunior.

Sambil menunggu pelepasan parade dalam rangka perayaan Cap

Go Meh, para Tatung/Louya di atas tandu berdiri di sebuah kursi

atau meja yang dipasangi benda-benda tajam. Ketika tanda

pelepasan parade dibunyikan, para Tatung/Louya menunjukkan

kemampuannya yaitu pipi ditusuk besi tidak berdarah, ditusuk

paku, ruji sepeda, ditebas parang, dan lain sebagainya diiringi

tetabuhan dan asap hio yang dibakar terus menerus.

Masyarakat yang menonton larut dalam atraksi magis para

Tatung/Louya. Prosesi terakhir perayaan Cap Go Meh di

Singkawang, Pontianak, dan sekitarnya adalah diadakannya

pelelangan barang-barang yang telah diberkati. Barang-barang

tersebut antara lain gantungan berbentuk Chien (uang kepeng

Cina) terbuat dari logam kuning, genta-genta, miniatur Barongsay,

berbagai jenis kue, jeruk, bahkan minuman kaleng dan botol.

Harga barang lelangan tersebut mencapai ratusan ribu bahkan

jutaan rupiah. Hal ini dipercaya jika mendapatkan barang-barang

yang dilelang dan telah diberkati, maka akan membawa

keberuntungan sepanjang tahun.42

42 Kuardhani, 2008: 23-24.

Page 34: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

93

Gb. 2.10 Gb. 2 .11

Gb. 2.10 dan 2.11: Tatung/Louya dalam Perayaan Cap Go Meh di Singkawang.

(Sumber foto: Dinas Pariwisata Singkawang)

3. Pesta Rakyat Perahu Naga (Pek Cun)

Pesta ini diadakan pada tanggal 5 bulan 5 tahun Imlek,

kira-kira bulan Juni. Pesta Perahu Naga (Duan wu Jie/Tuan Wu-

chieh) disebut demikian karena perahu-perahu yang dilombakan

diukir dengan kepala naga dan ekor naga. Setiap perahu memuat

delapan sampai lima belas pasang pendayung, dua orang berdiri

ditengah perahu, dan satu orang pemukul tambur untuk aba-aba

merampakkan gerak. Festival perahu naga juga dikenal dengan

nama festival bulan kelima (Wu Yue Jie).43

43 Dorothy Perkins dalam Dananjaya, 2007: 378.

Page 35: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

94

Pesta perayaan perahu naga di Indonesia disebut Pek Cun

(Yang Jie). Perayaan ini dimaknai sebagai Cinta Tanah Air.

Menurut legenda, munculnya perayaan perahu naga adalah untuk

mengenang tokoh patriotis Qu Yuan. Pada jaman kerajaan

berperang terjadi berbagai intrik yang menyebabkan Qu Yuan,

seorang penasihat kerajaan, kehilangan kepercayaan dari sang

raja. Qu Yuan banyak menulis syair yang berisi kritikan tehadap

kerajaan. Tatkala datang serangan Kerajaan Qin dan

menghancurkan istana serta merusak kuil leluhur kerajaaan,

maka Qu Yuan bunuh diri dengan cara menceburkan diri ke

sungai. Raja Chu menyuruh para tentaranya untuk menolong Qu

Yuan karena sang raja baru sadar akan kesetiaan Qu Yuan. Para

tentara naik perahu dan saling berlomba untuk menolong

penasihat yang setia itu. Mereka melemparkan bacang yaitu nasi

berisi daging ayam atau babi yang dibungkus daun bambu atau

daun teratai agar ikan tidak memakan tubuh Qu Yuan tetapi

memakan bacan.44

Versi lain seperti dikisahkan oleh David Kwa. Khut Goan,

seorang patriot yang karena kecintaannya kepada negeri tercinta

harus mengorbankan dirinya ke dalam Sungai Beklo. Rakyat

sangat kehilangan sosoknya tersebut dan khawatir rohnya

kelaparan. Oleh karena itu, mereka mengirimkan nasi yang

44 Dorothy Perkins dalam Dananjaya, 2007: 378.

Page 36: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

95

dimasukkan ke dalam bumbung bambu, begitulah kisahnya

menurut legenda rakyat populer. Untuk mengenang jasa patriot

besar ini rakyat juga mendirikan sebuah kelentheng peringatan

(rumah abu) yang disebut Khut-cu Su (Rumah Abu Pujangga Khut).

Kelentheng peringatan ini hingga kini masih berdiri di kota

Beklo.45

Versi lain lagi mengatakan bahwa nasi dilemparkan ke

dalam sungai agar ikan, udang, dan kepiting tidak memakan

jenazah Khut Goan. Namun ternyata kiriman tersebut tidak

sampai. Pada tarikh Kian Bu (26-55 M) semasa pemerintahan

Kaisar Han Kongbu Te (25-57 M) dari Dinasti Han Timur, seorang

bernama Au Hue yang berasal dari Tiangse bermimpi didatangi roh

Khut Goan. Dalam mimpinya, Khut Goan mengeluhkan makanan

dalam bumbung bambu yang dikirimkan kepadanya tidak sempat

dinikmatinya sebab telah terlebih dahulu disantap oleh naga

sungai dan ikan-ikan. Supaya tidak dimakan ikan dan naga

sungai, demikian usul roh Khut Goan, makanan tersebut harus

dibungkus dengan daun yang kasap atau berduri yang dibentuk

segitiga, serta diikat dengan benang sutra lima warna yang

semuanya ditakuti oleh naga sungai dan ikan-ikan di sungai.

Dengan demikian jadilah penganan baqcang (bahcang). Penganan

bahcang adalah penganan terbuat dari ketan berbentuk piramid

45 David Kwa, “Wayang Pouw Tee Hie: Duta Sastra Klasik Cina”, Majalah

Gong No. 67/VI/2005 (Yogyakarta: Yayasan Media & Seni Tradisi, 2009), 18-19.

Page 37: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

96

segitiga berisi daging, biji teratai, jamur, telur asin, dan

sebagainya. Bentuknya bermacam-macam tergantung daerah,

tetapi bentuk bahcang yang umum kita kenal adalah bahcang

Hokkian berbentuk segitiga. Walaupun aslinya di Tiongkok

bahcang terbuat dari ketan, namun di wilayah Jakarta, Bogor,

Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) kue bahcang dibuat

dari beras.

Hal ini merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya

kuliner. Sementara kaum Tionghoa Peranakan di Jawa Timur dan

Jawa Tengah tetap menyukai bahcang dari ketan. Varian dari

penganan bahcang muncul yaitu knicang (kue cang). Knicang

disebut demikian karena dibuat dengan knicui, di kalangan

Tionghoa Peranakan di Jabodetabek disebut air abu. Penganan

knicang juga terbuat dari ketan, tetapi tidak ada isinya, warnanya

kuning dari kunyit atau hijau dari daun suji dan disantap dengan

air gula atau sirup. Pek Cun atau pesta perahu naga di Indonesia

diselenggarakan di Kalimantan, Jakarta (Kali Angke dan Kali Pasar

Baru), Sumatera (Sungai Musi, Palembang), bahkan di Yogyakarta

diadakan di Pantai Parangtritis.

4. Perayaan Ceng Beng

Hari raya Ceng Beng merupakan hari raya untuk berziarah

ke makam leluhur sekaligus menziarahi makam-makan yang tidak

pernah diziarahi yang mungkin tidak ada lagi keturunannya atau

Page 38: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

97

sangat miskin. Pada hari raya ini ada tradisi „makan dingin‟ yang

artinya orang-orang Tionghoa tidak menyalakan api dapur. Jadi

mereka makan makanan yang sudah dimasak hari sebelumnya

dan tidak dipanaskan. Tradisi ini konon untuk memperingati

Hanshijie (Han: dingin, shi: makanan, jie: perayaan/festival).46

Menurut legendanya Hanshijie adalah tradisi untuk memperingati

Jie Zitui yang tewas terbakar di Gunung Mianshan. Raja Muda Jin

Wengong dari negara Jin pada periode Chunqiu, akhir dari Dinasti

Zhou, memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api pada

hari tewasnya Jie Zitui. Semua makanan disantap dalam kondisi

dingin.

Asal mula hari raya Ceng Beng dengan tradisi

membersihkan kuburan dan mendoakan bagi orang mati yang

tidak punya sanak keluarga. Menurut legenda, konon seorang

bocah bernama Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) lahir dari

keluarga sangat miskin sehingga ia dititipkan di sebuah kuil

untuk dipelihara. Tatkala ia sudah dewasa dan berhasil menjadi

raja ia dikenal sebagai pendiri Dinasti Ming. Ia tidak tahu lagi di

mana makam leluhurnya, maka ia perintahkan seluruh rakyat

untuk menziarahi makam leluhur masing-masing dan memberi

tanda kertas kuning pada makam yang telah diziarahi. Maka di

atas kuburan yang tidak ada tanda kertas kuning, Kaisar Ming

46 Dananjaya, 2007: 381.

Page 39: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

98

lalu menziarahi sebagai makam leluhurnya. Kebiasaan lainnya

adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur, dan

mengukir kulit telur.47

5. Sembahyang Chong Yen Cie

Menurut kepercayaan orang Tionghoa pada bulan 7 tanggal

15 tahun Imlek arwah-arwah manusia yang terlantar diberi

kebebasan selama 1 bulan. Karena itu, diadakanlah sembahyang

Cioko atau sembahyang rebutan. Sembahyang itu diperuntukkan

bagi arwah yang tidak diupacarakan oleh kerabatnya. Usai

upacara sembahyang Cioko segala yang tersaji bisa direbut atau

dibagikan pada fakir miskin tanpa membedakan asal, suku, atau

agamanya.48

Dari upacara ini muncul permainan rakyat Jailangkung

yakni permainan memanggil arwah seperti Nini Thowok dalam

masyarakat Jawa. Jailangkung di tempat asalnya Tiongkok juga

memakai boneka yang terbuat dari keranjang sayur maka disebut

Cailan’gong (cailan: keranjang sayur) tetapi di Indonesia memakai

jangka yang ditancapkan pada sebuah lingkaran dan lingkaran itu

sudah diberi abjad dan angka. Ujung jangka akan dipegang ringan

sehingga jika ada roh yang masuk maka jangka akan bergerak

sendiri dan menunjuk huruf-huruf atau angka sesuai jawaban

47 Dananjaya, 2007: 381-382. 48 Brigjen TNI Tedy Jusuf, Sekilas Budaya Tionghoa di Indonesia.

(Jakarta: PT Bhuana Populer Kelompok Gramedia, 2000), 11-13.

Page 40: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

99

yang diberikan oleh roh yang masuk. Ada mantra kecil yang harus

diucapkan dalam permainan ini.

Jalangkung-jalangse di sini ada pesta kecil-kecilan Silahkan datang, di sini ada kuah tape kalau kurang Ambil sendiri, kalau pulang tidak diantarin.49

6. Hari Raya Tang Cie

Hari raya Tang Cie di kota Malang, Jawa Timur disebut

sebagai hari raya Ronde. Karena pada hari itu dibuatlah ronde

(kue ketan bulat di dalamnya terdapat gula dan berkuah jahe).

Pada waktu pembuatan ronde hanya para perempuan yang

diperkenankan. Perempuan yang sedang datang bulan atau habis

berduka tidak diperkenankan membuat. Mereka menunggu

hantaran dari sanak keluarga atau tetangga. Bagi perempuan yang

sedang hamil ada kebiasaan melemparkan sebutir ronde yang

belum direbus ke dalam api. Jika pecah konon bayi yang

dikandung berjenis kelamin perempuan, jika tidak pecah berjenis

kelamin lelaki. Jajanan ronde kemudian meluas menjadi salah

satu jenis kudapan yang nikmat terutama di musim hujan.50

7. Perayaan Cing Ciu Cie

Hari raya ini disebut pula hari raya bulan purnama dan

jatuh pada bulan ke-8 tanggal 15 Imlek. Di negeri asalnya, pesta

ini diwarnai dengan berkumpulnya keluarga di teras atau di

49 Dananjaya, 2007: 383. 50 Dananjaya, 2007: 387.

Page 41: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

100

balkon rumah sambil memandang bulan purnama dan

bercengkerama menikmati kue bulan (tiong ciu pia), kacang tanah

goreng, kwaci, dan minuman. Kacang tanah dan kwaci

melambangkan bibit kehidupan dan pertumbuhan. Pada saat itu

orang tua bercerita tentang legenda kuno tentang bulan.51 Para

Tionghoa Peranakan di Indonesia kemudian marak membuat kue

bulan dan saling memberi antar keluarga yang tidak tinggal

serumah, juga tetangga dekat.

Gb. 2.12: Kue Bulan untuk perayaan Cing Ciu Cie.

(Foto: Hirwan Kuardhani, koleksi pribadi)

D. Adat Istiadat Pernikahan Tionghoa Peranakan di Indonesia

Para perantau Cina membawa pula tata cara pernikahan

dari negeri leluhurnya, namun telah mengalami akulturasi dengan

adat setempat dalam hal ini di Indonesia. Pada masa sekarang

51 Jusuf, 2000: 13-16.

Page 42: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

101

orang Tionghoa sudah menyerahkan perjodohan di tangan sang

anak. Hal ini tidak seperti masa lalu yang semuanya diatur oleh

orang tua sehingga sering para calon mempelai tidak saling

mengenal bahkan belum pernah saling melihat. Setelah disetujui

orang tua masing-masing maka dilalui langkah-langkah sebagai

berikut.52

1. Usul Resmi

Si pemuda menghadap orang tuanya menyampaikan usul

resmi untuk menikahi calon istrinya. Pada saat itu pula sang

pemuda minta izin agar calon istrinya dapat diperkenalkan pada

mereka.

2. Lamaran

Setelah diadakan perkenalan dengan orang tua pihak

pemuda maka pada hari yang telah ditentukan pihak orang tua

pemuda bersama sang pemuda akan datang melamar pada

keluarga calon mempelai perempuan. Jika sudah disetujui maka

ibu sang pemuda akan memasangkan kalung emas kepada calon

menantunya sebagai simbol ikatan. Saat itu sang calon mempelai

perempuan juga diharuskan menghidangkan teh dan makanan

kecil pada keluarga calon mertuanya. Pada saat itu pula akan

dibicarakan hari Sangjit yaitu hari hantaran hadiah pernikahan (di

Jawa dikenal sebagai Asok Srono atau Srah-srahan).

52 Wawancara dengan Keluarga Thio tiong Gie, di Gang Lombok

Semarang, 20 Januari 2010.

Page 43: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

102

3. Hari Sangjit (Sung Li)

Hari saat pihak calon mempelai pria menghantarkan

sejumlah barang sebagai hadiah kepada calon pengantin putri

terdiri dari: uang dalam jumlah tertentu sebagai uang susu dan

uang sangjit (pesta pernikahan), sepasang lilin merah, perhiasan

dan benda berharga lainnya, pakaian dan perlengkapan mempelai

perempuan, kue-kue, kembang gula dan manisan, buah-buahan,

minuman anggur dan lain-lain. Hantaran tersebut diterima oleh

pihak calon mempelai perempuan. Uang sangjit bisa diterima

seluruhnya atau hanya separuh, biasanya tergantung keadaan

keuangan pihak perempuan. Setelahnya ada hantaran balasan

dari pihak perempuan berupa: Perangkat berisi uang sangjit

sebagian atau seluruhnya serta sepasang lilin merah,

perlengkapan kamar tidur pengantin, pakaian dan perlengkapan

lelaki sehari-hari, kue-kue, gula-gula dan manisan, buah-buahan,

anggur dan minuman lainnya. Dalam memberikan hantaran

balasan diperhitungkan jangan sampai jumlah hantaran pihak

perempuan terlalu melebihi jumlah hantaran pihak lelaki karena

fungsi hantaran balasan sebagai ucapan terimakasih bukan

bersaing.

Page 44: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

103

Gb. 2.13: Tenong keranjang hantaran pengantin.

(Sumber Foto: Kedai barang antik)

4. Upacara Cio Tau (Jiao Dao)

Menjelang malam pernikahan di rumah mempelai

perempuan diadakan upacara Cio Tau (Jiao Dao), yakni upacara

memberi nasihat dan bekal untuk sang calon pengantin putri.

Calon mempelai duduk di atas tampah atau karpet bundar di

depannya terdapat gantang beras yang berisi kitab suci, cermin,

benang tujuh warna, pedang atau pisau lipat, gunting, sisir,

timbangan, dan pelita. Pada acara ini kerabat calon mempelai

putri berdatangan diundang. Jika calon mempelai putri

mempunyai kakak lelaki yang belum menikah maka dia diberi

kesempatan untuk minta izin dengan memberi tanda mata berupa

gunting dan kemudian dipakai untuk menggunting pita yang

dipasang di pintu masuk kamar sang kakak. Diharapkan dengan

terguntingnya pita, jodoh sang kakak akan terbuka. Di wilayah

Page 45: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

104

Malang, Jawa Timur, ada kebiasaan di kalangan Tionghoa

Peranakan yakni sang kakak lelaki akan memukul adiknya (calon

mempelai putri) dengan seikat sapu lidi yang merupakan alat

membersihkan ranjang.53

Para kerabat dekat yang telah menikah kemudian

menyerahkan barang-barang yang ada dalam gantang sebagai

simbol nasihat antara lain: beras yang melambangkan

kesejahteraan pangan; kitab suci yang melambangkan ibadah

yang taat dan rajin; cermin melambangkan introspeksi diri

hendaknya calon pengantin selalu memperbaiki diri; benang

melambangkan kewajiban akan ketercukupan sandang dan

memeliharanya; pedang atau pisau lipat melambangkan istri

harus mendorong suami untuk bersikap ksatria; gunting

melambangkan istri harus selalu membantu suami untuk

memecahkan masalah rumah tangga; pelita atau lampu

melambangkan keluarga senantiasa diterangi kebenaran;

timbangan melambangkan istri harus hidup adil dalam segala hal

terutama terhadap keluarga baik keluarga pihak suami maupun

keluarga pihak istri; sisir melambangkan istri harus selalu

merawat diri.54 Sementara itu di rumah calon mempelai lelaki

diadakan acara menata kamar dan ranjang pengantin yang

53 Dananjaya, 2007: 336. Periksa Catherin Lim G. S., Gateway to

Pranakan Culture (Singapore: Asiapac Books, 2003), 103-109. 54 Dananjaya, 2007: 337-338.

Page 46: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

105

dilakukan oleh ibu-ibu yang dianggap sukses dalam rumah tangga

dan karir. Seusai menata lalu sepasang bocah lelaki dan

perempuan disuruh berjumpalitan secara menyilang di atas

tempat tidur. Diharapkan supaya mempelai cepat mendapat anak

lelaki dan perempuan.

5. Upacara Penjemputan Mempelai

Pada pagi hari pernikahan, mempelai pria didampingi

saudara lelaki yang masih lajang mendatangi rumah calon

istrinya. Setibanya di rumah calon istri, mempelai pria akan

disambut oleh saudara lelaki mempelai putri dengan

menggunakan payung merah dan orang tua mempelai putri

menyambut. Selanjutnya sepasang pengantin melakukan teepai

(jing cha) yakni memberi hormat dengan bersujud kepada orang

tua pengantin putri. Usai upacara itu pengantin putri dibawa ke

rumah mempelai pria. Keduanya dijemput dengan memakai

payung merah kemudian di depan pintu, mereka berhenti untuk

di sawer dengan uang logam dan beras kuning sebagai lambang

rezeki yang berlimpah. Anak-anak kecil berebut uang logam

saweran. Kedua mempelai kemudian melakukan teepai kepada

orang tua mempelai lelaki. Usai upacara adat biasanya dilanjutkan

dengan pencatatan sipil dan resepsi pernikahan.55 Terdapat

perbedaan nilai mengenai pernikahan antara masyarakat Tionghoa

55 Dananjaya, 2007: 339-340.

Page 47: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

106

dan masyarakat Jawa khususnya. Pada masyarakat Tionghoa,

pernikahan adalah untuk melanjutkan kelangsungan hidup

keluarga atau klan-nya sehingga dalam memilih pasangan hidup

banyak melibatkan keluarga inti dan pertimbangan keluarga

besarnya meskipun di Indonesia tidak lagi seketat di Tiongkok.

Pada masyarakat Jawa, perkawinan dimaksudkan untuk

membentuk suatu rumah tangga yang berdiri sendiri. Pada

dasarnya pemilihan calon pasangan merupakan urusan pribadi.56

Gb. 2.14: Pernikahan Tionghoa Peranakan di Tangerang masa kini.

(Foto repro: Hirwan Kuardhani)

Adat pernikahan di atas yang dibawa oleh leluhur dari

Tiongkok mengalami adaptasi di kalangan Tionghoa Peranakan.

56 Paulus Hariyono, Menggali Latar Belakag Stereotip dan Persoalan Etnis

Cina di Jawa (Semarang: Mutiara Wacana, 2006), 237-238.

Page 48: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

107

Sejumlah pernikahan dalam masyarakat Tionghoa Peranakan di

Jawa ditangani pihak perempuan sebagaimana layaknya adat di

Jawa. Hal ini berbeda dengan adat tradisi han di Tiongkok dengan

pihak lelaki-lah yang menyelenggarakan pernikahan. Pada resepsi

acara pernikahan masyarakat Tionghoa Peranakan selalu

mendirikan bedeng dari bambu dan di kedua sisi pintunya

dipasang pohon pisang lengkap dengan buahnya yang berjuntai.

Pada pohon pisang tersebut digantungi pula malai padi dan dua

buah kelapa (cengkir gading). Malai padi melambangkan kekayaan

atau rezeki, setandan pisang melambangkan anak cucu yang

banyak, dan cengkir gading melambangkan kehormatan yang

tinggi.57 Perlengkapan perhelatan pengantin (Jawa: ubo rampe

temanten) seperti itu biasa dilakukan dalam perhelatan

pernikahan di Jawa. Busana mempelai wanita biasanya

menggunakan pakaian pengantin model Dinasti Qing, mempelai

laki-laki mengenakan pakaian perang seperti prajurit jaman kuno.

Kedua mempelai kemudian mencicipi dua belas macam masakan,

hal ini merupakan adat Fujian Selatan. Usai acara pernikahan

para tamu undangan akan berjabat tangan dengan mempelai dan

orang tuanya sebagai ucapan selamat, merupakan hal yang tidak

ditemui di Tiongkok karena hal itu merupakan adat di Jawa.58

57 Lim Thian Joe dalam Yuanzi, 2005: 478-479. 58 Yuanzhi, 2005: 478.

Page 49: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

108

E. Upacara Kematian

Upacara kematian suku Tionghoa saat ini sering dilakukan

di tempat atau ruang duka baik di rumah sakit atau rumah

khusus untuk rumah duka. Jika dilihat, begitu ramai aneka

perhiasan rumah-rumahan dengan perlengkapannya dan upacara

yang bising serta pakaian duka cita yang dipakai oleh anak,

menantu dan cucu-cucunya. Mereka mempercayai terdapat

hubungan antara seseorang dengan Tuhan atau kekuatan-

kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik langsung maupun

tidak langsung seperti berikut: 1. Cut Sie adalah reinkarnasi bagi

semua manusia yang meninggal, 2. Kokut adalah hukum karma

bagi semua perbuatan manusia, 3. Ceng Beng adalah menjamu

arwah leluhur, 4. Tuapekong adalah menghormati leluhur dan

orang pandai, 5. kutukan para leluhur melalui kuburan dan batu

nisan (bompay) yang dirusak, 6. apa yang dilakukan di dunia akan

dialami di akhirat, 7. kehidupan sesudah mati.59

F. Sistem Religi Masyarakat Tionghoa di Indonesia

Para Tionghoa di Indonesia memeluk bermacam-macam

agama. Mereka beragama Budha, Kong Hu Cu, Tao, Islam, Kristen,

Katolik, dan sebagainya. Tatkala pemerintah meleburkan agama

Kong Hu Cu, Tao, dan Budha menjadi agama Tridarma pada masa

59 Dananjaya, 2007: 347-352.

Page 50: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

109

pra Orde Baru, telah banyak berdiri tempat-tempat ibadah

masyarakat Tionghoa seperti kelentheng, vihara dan lithang. Istilah

kelentheng sesungguhnya merupakan istilah yang hanya ada di

Indonesia. Konon istilah itu muncul karena suara lonceng

„theng…theng…theng...‟ yang didengar seorang sais kereta ketika

mengantar orang-orang Tionghoa pergi ke tempat ibadah

mereka.60 Sejak itu tempat ibadah orang Kong Hu Cu disebut

kelentheng atau bio (mio) dan kiong atau gong untuk tempat

ibadah agama Taois. Vihara merupakan asrama (biara) Budhis

dalam istilah Tionghoa adalah sie atau si. Biara untuk kaum Taois

adalah kuan atau guan. Sejak Orde Baru berkuasa, istilah

kelentheng diarahkan menjadi vihara meskipun kurang tepat

dalam fungsi dan penggunaannya sebagaimana kutipan berikut.

Sejak masa pemerintahan Orde Baru, banyak diterbitkan peraturan yang membatasi aktivitas kelentheng dan diarahkan menjadi vihara. Sebenarnya tidak semua

bangunan peribadatan itu disebut vihara, karena kriteria vihara tidak dimiliki oleh kelentheng. Lebih parah lagi, para

pengurus kelentheng selain mengubah nama kelentheng dangan vihara, juga mengganti nama dewata yang

dipujanya. Sungguh merupakan suatu pengingkaran yang irasional. Nama kelentheng yang begitu indah dan puitis

seenaknya diganti dengan kata-kata Sansekerta yang notabene juga berasal dari bahasa asing.61

Banyak bangunan kelentheng yang bersejarah dan bernilai

budaya dirobohkan dengan berbagai alasan pada jaman Orde

60 Wawancara dengan Tio Thiong Gie ketua agama Kong Hu Cu dan

sehu di Klentheng Tay Kak Sie Semarang, 23 Juli 2007. 61 Yoest, Riwayat Kelentheng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten

(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer-kelompok Gramedia, 2008), 143.

Page 51: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

110

Baru. Tulisan Cina sebagai nama kelentheng diturunkan diganti

dengan istilah Sansekerta. Terdapat satu pemaksaan ideologis

yang sesungguhnya merugikan dan menghambat akulturasi

budaya masyarakat Tionghoa dengan masyarakat sekitarnya,

seperti penggantian nama Kelentheng Wan Ji Sie menjadi Vihara

Budhayana, Kelentheng Boen Hay Bio menjadi Vihara Karunayala,

Kelentheng Boen San Bio menjadi Vihara Nimmala, Kelentheng

Boen Tek Bio menjadi Vihara Padumuttara, dan lain sebagainya.

Penggabungan agama Kong Hu Cu, Tao, dan Budha menjadi

agama Tridarma merupakan bentuk pemasungan kebebasan

beribadah bagi umat penganutnya yang mayoritas kaum Tionghoa

Peranakan. Hal ini menjadikan banyak masalah muncul, sebagai

contoh sebuah kasus pernikahan pasangan Budi dan Lany dalam

agama Kong Hu Cu tidak diakui oleh Catatan Sipil karena

dianggap Kong Hu Cu bukan agama melainkan filsafat dan sempat

mengundang polemik panjang. Agama Kong Hu Cu atau

Konfusianisme sejak jaman Orde Baru tidak lagi diakui sebagai

agama di Indonesia melainkan sebagai ajaran etika atau bentuk

filsafat yang mengajarkan kebajikan tertentu.62

Dewasa ini Kong Hu Cu atau Konfusianisme memiliki

fungsi dan kedudukan ganda antara lain sebagai filsafat, budaya,

62 Th. Sumartana, (ed), Konfusianisme di Indonesia Pergulatan Mencari

Jati Diri. Seri Dian III Tahun II (Yogyakarta: Interfidei, 1995), xviii.

Page 52: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

111

dan agama. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Lasiyo sebagai

berikut.

Ajaran Konfusianisme di Indonesia yang juga mendapatkan banyak pengaruh dari konfusianisme di Cina kiranya dapat ditinjau dari sudut etika dan metafisika. Konsep metafisika

dititikberatkan pada ajaran tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta. Konsep tentang Tuhan Yang Maha Esa (Thian) sering dikelompokkan menjadi ajaran yang

monoteistik.63

Akibat pelarangan dan urusan yang rumit sejak jaman

Orde Baru, banyak orang Tionghoa yang memeluk agama Kristen

atau Katolik karena tidak ingin dipersulit dalam urusan

administrasi kewarganegaraan. Banyak pula yang menuliskan

agama Budha dalam KTP-nya meskipun mereka menganut agama

Kong Hu Cu atau Taois. Negara dalam hal ini telah mempolitisir

agama sebagai satu kebijakan yang sangat represif terhadap

masyarakat Tionghoa di Indonesia, walaupun dalam UUD 1945

disebutkan adanya kebebasan dalam memeluk dan beribadah

sesuai kepercayaan dan agama yang dianut, namun tidak

demikian dalam praktik di lapangan. Seperti dikatakan Gus Dur,

Memilih agama adalah bagian paling azasi dari hak azasi manusia. Warga Negara mempunyai hak sendiri terlepas dari Negara dalam perkawinan dan agama. Dengan

demikian Negara berfungsi melayani warga Negara, bukan sebaliknya. Kenyataannya ketika kebebasan dan

keterbukaan dicanangkan. Orang masih harus menderita karena sikap negative terhadap agama lain. Kasus penolakan pencatatan oleh kantor Catatan Sipil atas

perkawinan pasangan Kong Hu Cu Budi dan Lany

63 Lasiyo, “Ajaran Konfusianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat“ dalam

Th. Sumartana, 1995: 21.

Page 53: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

112

membuka mata kita bahwa hukum dipakai sebagai alat kekuasaan dan nilai-nilai kemanusiaan diabaikan.64

Gb. 2.15: Vihara Chi Kung di Singkawang.

(Sumber foto: Dinas Pariwisata Singkawang)

G. Binatang Mitologi Tionghoa

Masyarakat Tionghoa masih percaya pada binatang-

binatang mitologi yang diyakini dapat membawa berkah

keselamatan, rezeki, dan umur panjang. Adapun binatang mitologi

tersebut adalah sebagai berikut.

1. Naga

Naga adalah Tiongkok, demikian termashyurnya naga

sebagai binatang simbol dari masyarakat Tionghoa. Naga

bukanlah monster yang menakutkan bagi masyrakat Tionghoa

64 Periksa Suryadinata, 2002: 189-191. Periksa Abdulrahman Wahid,

”Konfusianisme di Indonesia Sebuah Pengantar” dalam Th Sumartana, 1995,

xxv-xxxiii. Periksa Tabloid Target Th. 1, No. 12 (30 Juli-5 Agustus 1996).

Page 54: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

113

melainkan lambang kekuatan dan kebaikan yang luar biasa. Anak

yang terlahir ditahun Naga dipercaya akan beruntung dan kaya,

mampu menjadi pelindung keluarga. Naga merupakan pimpinan

dari semua reptil di Tiongkok. Di dalam mitologi masyarakat

Tionghoa, ada tiga spesies naga yang dijadikan simbol yakni,

a. Lung adalah Naga penjaga langit dan tinggal di langit. Lung

bertanduk, berjenggot, dan berambut pada pinggir mulutnya.

b. Li adalah Naga penjaga lautan. Naga Li tidak bertanduk.

c. Chaio adalah Naga penjaga Bumi. Naga Chaio hidup di gunung

dan rawa-rawa, tanpa tanduk dengan sisik digambarkan

berwarna hijau pada punggung, sisi-sisinya kuning, dan

bagian dada merah tua.65

Ketiga spesies naga di atas dibagi menjadi 9 jenis yaitu: 1)

P’u-lao yaitu naga yang biasa digunakan sebagai ukiran lonceng

dan gong, dianggap jenis naga ini berkemampuan berteriak keras,

2) Ch’iu-niu yaitu naga yang biasanya terukir di atas skrup-skrup

biola sebagai simbol seleranya terhadap music, 3) Pi-his yaitu naga

yang merupakan simbol dewa sungai yang diberkahi kekuatan

supranatural, biasanya terukir pada bagian atas lempengan-

lempengan batu karena kesukaannya terhadap sastra, 4) Pa-hsia

yaitu naga yang biasanya terukir pada monumen batu karena

dianggap mampu menyangga beban berat, 5) Chao-feng yaitu naga

65 Morgan, 2007: 6-8.

Page 55: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

114

yang biasanya terukir pada bagian atap kuil-kuil sebagai penjaga

kuil dan dipercaya sanggup menantang bahaya, 6) Chih-wen yaitu

naga yang biasanya diukir pada tiang-tiang jembatan dan atap-

atap bangunan sebagai penangkal api karena kesukaannya pada

air, 7) Suan-ni yaitu naga yang biasanya terdapat pada mahkota

Budha, 8) Yai-tzhu yaitu naga yang biasanya diukir pada pangkal

bilah pedang, ia merupakan simbol kekuatan dan keberanian, 9)

Pi-kan yaitu naga yang bersisik dengan satu tanduk, biasanya

ditemukan terukir pada gerbang-gerbang penjara serta

merupakan lambang kegarangan dan kekuatan.66

Naga menjadi simbol penjagaan dan kewaspadaan, yang

telah disucikan oleh agama kuno masyarakat Tionghoa di

Tiongkok. Singgasana kaisar pun disebut sebagai singgasana

naga. Hiasan naga bertarung memperebutkan mestika menjadi

hiasan baju orang Tionghoa jaman Dinasti Han hingga Dinasti

Ching. Jubah kaisar disulam dengan gambar naga bercakar lima

dan untuk pegawai kerajaan dengan pangkat di bawah kaisar

disulam dengan naga bercakar empat. Hanya kaisar yang

dipebolehkan memakai sembilan pola naga pada jubahnya.

Bendera Cina sebelum tahun 1911 bergambar naga dengan latar

warna kuning.67

66 Morgan, 2007: 7. 67 Morgan, 2007: 8. Periksa Dananjaya, 2007: 97.

Page 56: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

115

Gb. 2.16: Naga di sebuah lukisan.

(Sumber foto: Anonim B, 2009)

2. Burung Phoenix

Merupakan simbol kehangatan matahari dan dipercaya

kicauan burung phoenix merdunya bagai simponi para dewa.

Burung ini selalu menantikan kedamaian di negeri Tiongkok.

Gambar burung phoenix menginspirasi corak batik pesisiran.

Phoenix dipercaya sebagai raja dari para burung. Burung phoenix

yang didiskripsikan dalam literatur adalah penggabungan

beberapa binatang seperti burung walet (wajah), ular (leher), kura-

kura (punggung pundak), bulus (perut depan), bangau (dahi),

ayam jantan (paruh), angsa (Anser cygnoides) (dada), ikan (ekor),

dan rusa (kaki belakang). Ada juga yang mendeskripsikan phoenix

adalah burung perpaduan dari angsa (kepala), bebek Tiongkok (Aix

galericulcata), kaki dari bangau putih (Egretta intermedian), ekor

dari burung merak (Pavo cristatus), paruhnya dari burung beo,

dan sayapnya dari burung walet. Ada pendapat pula bahwa

Page 57: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

116

phoenix perpaduan dari burung onta (Struthio camelus), burung

kasuari (Casuarius spp.), dan burung cenderawasih

(Paradisaeidae).68

Gb. 2.17: Lukisan burung phoenix (burung hong)

(Sumber foto: Anonim B, 2009)

3. Kie-Lin/Chi-Lin

Kie-Lin (Hokkian) atau Chi-Lin (Mandarin) adalah mahluk

seperti unicorn, yakni kuda bertanduk. Ia merupakan lambang

kesempurnaan, keagungan, dan kebahagiaan. Kie-Lin (Chi-Lin)

adalah binatang tunggangan para dewa, tugasnya mengantarkan

ke mana para dewa hendak pergi karena Kie-Lin merupakan wakil

68 Morgan, 2007: 8. Periksa Dananjaya, 2007: 103-104.

Page 58: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

117

dari 18 binatang yang ada di dunia.69 Patung Kie-Lin dapat

dijumpai di gerbang masuk beberapa kelentheng.

Gb. 2.18: Patung Kie-Lin

(Sumber foto: Anonim B, 2009)

4. Singa

Persepsi umum berbentuk menyerupai singa dan sering

dipertunjukan dalam kesenian barongsai disebut Panthera Leo.

Patung singa sering dipasang di depan pintu. Singa yang berada di

pintu bagian kiri dengan kaki kirinya menginjak bola api adalah

singa jantan yang bermakna proteksi akan ancaman luar,

sedangkan yang berada di pintu bagian kanan dan kaki kanannya

menginjak anak adalah singa betina yang berarti melindungi

keluarga.

69 Periksa Kompas, 31 Januari 2003.

Page 59: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

118

a. Singa Betina b. Singa Jantan

Gb. 2.19a, b: Singa penjaga

(Sumbe foto: Anonim B, 2009)

5. Kura-Kura

Kura-kura melambangkan musim dingin, kekuatan, dan

ketahanan sekaligus lambang kesejahteraan. Konon dari

punggung kura-kura tersebut Kaisar Fu Shi, kaisar pertama di

negeri Tiongkok Kuno, memperoleh petunjuk tentang 9 qi (9

kunci).70 Tanda lekukan pada tempurung punggungnya mewakili

konstelasi langit dan garis di bawah tempurung melambangkan

dunia.71

H. Tetumbuhan yang Dipuja Masyarakat Tionghoa

Flora atau tetumbuhan tertentu mempunyai kedudukan

penting dalam masyarakat Tionghoa. Tumbuhan tersebut

dipercaya mendatangkan berkah dan kekuatan, juga pengaruh

70 Morgan, 2007: 8. 71 Dananjaya, 2007: 106.

Page 60: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

119

baik dalam kehidupan. Karenanya tetumbuhan tersebut akan

ditanam, dipajang, atau hanya di lukiskan dalam kain maupun

tembikar sebagai hiasan. Adapun tetumbuhan tersebut antara

lain,

1. Pinus

Pohon pinus dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai pohon

lambang panjang usia dan mempunyai daya penyembuh yang luar

biasa. De Grout dalam „Religius System of Cina‟ menuliskan bahwa

pinus dan cemara dianugerahi kekuatan dan daya hidup meski di

tengah terpaan musim dingin maupun musim panas, namun

pohon-pohon itu tetap hijau. Jika orang mengkonsumsi getah dari

pinus yang sudah berusia 300 tahun maka niscaya akan panjang

umur. Buah pinus jika dikonsumsi akan membuat kulit sehat dan

awet muda.72 Masyarakat Tionghoa menyukai motif pinus dan

cemara dalam lukisnya. Mereka memajang lukisan bergambar

pinus atau cemara sebagai upaya memperoleh kesehatan dan

kekuatan.

2. Bambu

Bambu merupakan jenis kayu-kayuan yang paling banyak

digunakan untuk bangunan di Tiongkok. Bambu mempunyai

tempat khusus dalam budaya Tionghoa. Bagi masyarakat

Tionghoa bambu merupakan lambang kerendahan hati,

72 Degrout dalam Morgan, 2007: 112.

Page 61: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

120

keterbukaan, dan kehalusan budi sekaligus pelindung dari

marabahaya. Louise Wallce Hackney dalam bukunya Guide Post to

Chinese Painting menuliskan bahwa seniman Tiongkok

mempelajari bambu begitu tekun, menganalisa daun-daunnya

secara detail, hingga tahu bagaimana bambu menyebar dalam

cuaca yang bersahabat, menggelantung dengan kencang ketika

hujan turun, melilit satu sama lain ketika dihembus angin, dan

menjulang ke atas dalam selimut embun.73 Lukisan bambu

banyak menghiasi ruangan rumah masyarakat Tionghoa sebagai

pemberi energi positif dalam ruangan. Dalam hukum fengshui

dipercaya seseorang yang mempunyai rumah dengan letak „tusuk

sate‟ disarankan menanami bambu di luar pagar rumah sebagai

penangkal hawa buruk (sachi).74

3. Persik

Pohon persik diyakini mempunyai kekuatan gaib,

karenanya para pendeta Budha dan Tao menggunakan kayu

pohon persik untuk membuat tongkat dan benda-benda jimat.

Banyak masyarakat Tionghoa yang menyimpan benda jimat

dengan bahan kayu persik. Selain itu, pohon persik dianggap

sebagai simbol perkawinan, umur panjang, dan kebahagiaan

karena pohon persik berbunga setiap awal musim semi. Seluruh

daunnya tanggal dan hanya bunga yang menyelimuti pohon.

73 Hackney dalam Morgan, 2007: 116. 74 Wawancara dengan Kang Gong Kian, 3 Maret 2006 di Jakarta.

Page 62: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

121

Bunga persik sering ditebarkan di depan pintu rumah untuk

mengusir roh jahat.

4. Pohon Jeruk

Buah jeruk merupakan buah istimewa bagi masyarakat

Tionghoa. Dalam acara lamaran pengantin, buah yang dibawa

sebagai hantaran adalah buah jeruk. Jeruk cinabar dipajang

disaat-saat perayaan tahun baru Imlek. Buah jeruk merupakan

simbol keabadian dan keberuntungan.75

Gb. 2.20: Rumah, kantor, tempat usaha, toko, memajang

pohon jeruk yang sarat buah pada hari raya Imlek. (Foto: Hirwan Kuardhani, koleksi pribadi)

5. Bunga Teratai

Bunga teratai merupakan bunga keramat bagi masyarakat

Tionghoa. Bunga ini simbol kesejahteraan dan anak banyak. Kaki

sang Budha menyentuh mahkota teratai, karenanya teratai

75 Morgan, 2007: 115.

Page 63: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

122

dianggap bunga keramat. Teratai banyak dijadikan motif-motif

pada kain, porselen, dan pahatan logam ataupun kayu. Selain

teratai terdapat pula bunga peony (lou yang) yang disukai sebagai

lambang cinta dan kasih sayang serta bunga krisan sebagai simbol

keceriaan.76

Budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia sudah ratusan

tahun silam berkembang dan mengalami proses akulturasi dengan

budaya setempat, wilayah mereka tinggal, di Indonesia ini. Banyak

hal yang sesungguhnya telah diserap oleh masyarakat setempat

sehingga tidak lagi „terasa‟ bahwa hal itu asalnya dari Cina. Di

bidang kuliner, misalnya, seperti bakpau, kecap, tahu, dan bakmi.

Gaya corak batik wilayah pesisir pantai utara Jawa juga sangat

dipengaruhi oleh gambar-gambar khas Cina. Demikian pula

permainan rakyat seperti jailangkung. Pesta adat dan kepercayaan

telah berkembang dalam coraknya sendiri yang berbeda dari

negeri asalnya. Mereka mengajarkan cara budidaya pertanian

seperti menanam padi, mengolah gula tebu dengan memakai

penggilingan yang dijalankan sapi, pembuatan tembikar, dan

kerajinan keramik Tiongkok yang berkembang pesat di

Singkawang.77 Kaum pendatang dari Tiongkok sudah melebur

dalam kancah kehidupan masyarakat di Nusantara tanpa

pergolakan.

76 Morgan, 2007: 122. 77 Lombart, 1996: 250-253.

Page 64: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

123

I. Masyarakat Tionghoa Peranakan di Jawa

Kaum peranakan yang merupakan keturunan kawin

campur antara pendatang Tionghoa Totok dengan masyarakat

setempat (umumnya lelaki Tionghoa menikahi perempuan

pribumi) merupakan kelompok masyarakat yang menerapkan dua

kebudayaan. Kebudayaan Tiongkok didapat dari garis ayah,

sedangkan kebudayaan pribumi didapat dari garis ibu.

Sebagaimana halnya di wilayah lain di Indonesia, terjadi alih

teknologi diberbagai bidang seperti pembuatan mie, pengolahan

berbagai masakan dan penganan, pertukangan, pertanian, dan

sebagainya. Keterampilan batik di Jawa diwarisi dari garis ibu

dipadukan dengan pengetahuan motif Tiongkok dari garis ayah

menjadikan corak batik dengan motif dan warna menawan.

Batik Tiga Negri istilah untuk corak batik di wilayah

Lasem, Rembang dan Cirebon menjadi sangat terkenal. Batik Tiga

Negri dengan motif yang memuat warna merah, biru dan soga.

Tiap batik Tiga Negri diwarnai ditiga daerah. Motif warna merah

diwarnai di Lasem, biru di Pekalongan atau Rembang, dan Soga di

Cirebon.78

Bentuk Esuk Sore yakni kain batik yang memiliki dua corak

bersebelahan, sehingga dapat dipakai pada dua kesempatan

dengan corak yang berbeda. Batik yang dibuat sebelum tahun

78 Lihat Kompas Minggu 11 Agustus 2013: 14.

Page 65: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

124

1910 oleh pengusaha keturunan Cina memuat ragam hias

binatang dari mitologi Cina seperti naga, burung hong (phoenix),

dan singa. Setelah tahun 1910 batik Cina mengadopsi motif

bunga, dedaunan dan kupu-kupu dari batik Belanda.79

Gb. 2.21: Corak batik Lasem Tionghoa Peranakan

(Sumber foto: Anonim H, 2008)

Pada abad 18 komunitas Peranakan menjadi stabil, dalam

arti, para Tionghoa Totok pendatang dari daratan Tiongkok sudah

nyaris tidak ada sementara keturunan kawin campur (Tionghoa

Peranakan) menikah di antara komunitas mereka sendiri. Kaum

Tionghoa Peranakan dalam kesehariannya tidak lagi berbicara

dalam bahasa garis ayah tetapi cenderung berbicara dalam bahasa

setempat (bahasa dari garis ibu dalam hal ini Jawa). Peranakan

menjadi tidak lagi menguasai bahasa Tionghoa dan hanya bisa

berbicara dengan bahasa daerah Indonesia.80 Di daerah pesisir

79 Lihat Kompas, Minggu 11 Agustus 2013: 14. 80 Suryadinata, 2002: 70.

Page 66: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

125

utara Jawa, banyak etnis Tionghoa bermukim. Bahasa Melayu-

Pasar mulai berkembang sebagai Lingua Franca antar orang

Tionghoa. Bahasa ini kemudian Melayu yang tercampur istilah

Hokkian.81

Sistem pertalian keluarga ala Fujian digunakan dalam

masyarakat Tionghoa Peranakan dan sebutan–sebutan dalam

bahasa Hokkian pun digunakan dalam keluarga. Sebagai contoh,

entia (sebutan ayah), empek (sebutan kakak dari ayah, Jawa: pak

dhe), encik (paman adik dari ayah, Jawa: pak lik), encim (bibi, adik

ayah), engkim (bibi, adik ibu), engkong (kakek), enci atau tacie

(kakak perempuan), engkoh atau koh (kakak laki-laki), engso

(kakak ipar), engtia (ayah mertua), hiancay (menantu laki-laki),

siocia (nona), dan sebagainya.82 Adat istiadat Hokkian lama

kelamaan mulai berubah dan disesuaikan dengan keadaan di

Jawa seperti kutipan berikut ini.

Pakaian kaum Tionghoa-Peranakan merupakan kombinasi

antara unsur Jawa dan Tionghoa. Sampai akhir abad ke-19, kaum laki-laki peranakan masih memakai baju Cina panjang (tengsha) dan kopiah batok. Mereka masih

memakai kucir (tauwtjang) dan kalau menyapa mereka ber-soja (membungkuk tanda beri hormat). Sedangkan kaum

wanita peranakan memakai baju kurung atau kebaya. Mereka mengunyah sirih. Ketika menyapa, mereka

berjongkok seperti wanita pribumi.83

81 Suryadinata, 2002: 70. 81 Yuanzhi, 2005: 203-225. 82 Wawancara dengan Toni Harsono (Tok Hok Lay) 5 Agustus 2011 di

Gudo Jombang. 83 Tio Ie Soei dalam Suryadinata, 2002: 71.

Page 67: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

126

Gb. 2.22: Keluarga Tionghoa Peranakan di Jawa.

(Sumber: Twang Peck Yang, foto repro: Hirwan Kuardhani)

Gb. 2.23: Sebuah Altar untuk sembahyang di keluarga Tionghoa

Peranakan. (Foto: Hirwan Kuardhani, koleksi pribadi)

Anak-anak kaum Tionghoa Peranakan dibesarkan secara

peranakan. Mereka mempertahankan nama keluarga Tionghoa,

makan makanan Tionghoa (termasuk daging babi), dan mereka

mempertahankan pemujaan pada leluhur dengan menyimpan

altar di rumah dan bersembahyang di kelentheng.84 Ketika

84 Suryadinata, 2002: 71.

Page 68: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

127

mengadakan sembahyang hari wafat leluhur, ayah, ibu, atau

anggota keluarga lain, maka di meja sembahyang disediakan

empat macam sesajian yaitu pisang, nanas, kue mangkok, dan

sarikaya. Keempat makanan ini melambangkan harapan akan

nasib baik dan rezeki.85

J. Diskriminasi Rasial Terhadap Masyarakat Tionghoa

Peranakan

1. Jaman Belanda

Kedamaian irama hidup masyarakat Tionghoa yang telah

membaur dengan masyarakat setempat di berbagai wilayah

Nusantara kala itu menjadi terusik dengan kedatangan bangsa

Belanda. Belanda awalnya datang ke Nusantara untuk mencari

rempah-rempah dan berdagang. VOC adalah perusahaan dagang

Belanda yang mendirikan kantor (nassau) di Batavia. Seiring

dengan semakin ramainya perdagangan di Batavia, banyak budak

didatangkan di kota tersebut dari beberapa negara salah satunya

Tiongkok. Kaum Tionghoa menjadi budak diberbagai proyek

Belanda seperti pembangunan kanal, tembok kota, dan

sebagainya. Para warga Tionghoa yang sudah lama menetap di

Batavia dan sekitarnya berprofesi sebagai pedagang, petani,

tukang, dan lain-lain berbaur dengan pendatang baru dari

Tiongkok yang menjadi budak dan buruh kasar Belanda. Akhirnya

85 Dananjaya, 2007: 382.

Page 69: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

128

komunitas Tionghoa kian banyak, Belanda kemudian menerapkan

pajak kepala dan kebijakan sistem Opsir (kapitan Tionghoa),

sistem pemukiman, dan pas jalan. Kebijakan tersebut membuat

batas pemisah yang jelas antara kaum Tionghoa Peranakan

dengan penduduk setempat.86

a. Sistem Kapitan Tionghoa (Sistem Opsir)

Jan Pieterzoon Coen ketika menaklukkan Jayakarta

memanfaatkan orang-orang Tionghoa sebagai buruh dan

pedagang. Orang Tionghoa ditempatkan jauh dari pribumi. Untuk

menguasai mereka, Coen menunjuk seorang Tionghoa kaya Souw

Beng Kong untuk menjadi kapitan Cina.87 Kapitan dalam hal ini

tidak terkait dengan urusan militer, melainkan sebuah gelar yang

diberikan kepada kepala kelompok ras. Seorang kapitan diberi

kekuasaan untuk mengatur urusan kelompok rasnya oleh

pemerintah kolonial. Urusan tersebut berupa penarikan pajak

kepala, izin menetap atau menikah, agama, dan adat istiadat.

Kapitan diharapkan mampu menyelesaikan pertikaian di dalam

kelompoknya sesuai hukum adat.

Orang Belanda menerapkan system ini kepada masyarakat Tionghoa di Batavia. Pada tahun 1618, Souw Beng Kong

terpilih oleh Coen dari 400 penduduk Tionghoa yang bermukim di Batavia dan diberikan kuasa untuk

86 G. William Skinner, “Peran Ekonomi dan Identitas Etnis Cina

Indonesia dan Muangthai” dalam Wang Gung Wu dan Jennifer Cushman, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara (Jakarta: Pustaka Utama

Grafika, 1991), 306. 87 Suryadinata, (ed), 2002: 73.

Page 70: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

129

memerintah rasnya dalam urusan sipil. Namun hal-hal yang penting masih harus diserahkan kepada penguasa

Belanda.88

Pada perkembangannya emigran Tiongkok semakin

banyak, masyarakat peranakan semakin bertambah kemudian

kapitan Cina akhirnya dilengkapi dengan letnan dan mayor.

Sistem opsir ini dianggap sudah lengkap. Penunjukan opsir-opsir

Cina pada mulanya berdasarkan kedudukannya dalam

masyarakat Tionghoa, tetapi pada akhirnya situasi berubah.

Menurut Ong Tae Hai, pedagang yang kaya raya dan big dealers

telah mengumpulkan banyak kekayaan. Karena itu mereka

menyuap orang Belanda supaya bisa ditunjuk sebagai kapitan,

letnan, boedelmeester dan titel-titel lainnya.89

Opsir Tionghoa ini sesungguhnya tidak digaji. Para opsir

tersebut adalah para pedagang yang memanfaatkan posisinya

untuk memperbaiki bisnis mereka. Para kapitan bekerja di kantor

yang bernama Kong Koan (Gong Guan), mereka berfungsi sebagai

administrator. Tugas mereka salah satunya menjelaskan

peraturan pemerintah kolonial kepada kaum Tionghoa dan

melaksanakan pemungutan pajak atas orang-orang Tionghoa.90

Pada gilirannya kekuasaan para opsir dianggap menjadi

bumerang bagi Belanda. Belanda merasa kewalahan dalam

88 Hoetink, dalam Suryadinata, (ed), 2002: 74 89 Ong Tae Hai dalam Suryadinata, (ed), 2002: 75. 90 Suryadinata, (ed), 2002: 74.

Page 71: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

130

mengontrol para opsir. Hal ini yang menjadi pemicu terjadinya

peristiwa pembantaian massal tahun 1740 dan dikenal sebagai

Tragedi Berdarah Angke.91 Tragedi ini bermula dari peraturan izin

tinggal dan pajak kepala yang diberlakukan bagi etnis Tionghoa di

Batavia. Peraturan tersebut membuat warga Tionghoa keberatan

dan banyak yang menentang. Hal ini dijadikan alasan oleh

Belanda untuk selalu mengawasi dan memeriksa kepemilikan izin

tinggal. Tanggal 25 Juli 1740 diberlakukan resolusi berupa

penangkapan warga Tionghoa yang dianggap mencurigakan, baik

mereka yang sudah memiliki izin tinggal maupun yang belum

memiliki izin tinggal. Bagi mereka (warga Tionghoa) yang tidak

bisa membuktikan dirinya memiliki pekerjaan tetap akan dibuang

ke Srilangka. Warga Tionghoa yang terus menerus terdesak dan

banyak yang ditangkap karena dianggap mencurigakan mulai

mengadakan perlawanan di bawah pimpinan Wang Tai Pan dan

Wang Pan Kuan.92 Pasca perlawanan warga Tionghoa terhadap

Belanda, keluarlah maklumat bagi warga Tionghoa yang tinggal di

Batavia.93 Pertama, dilarang masuk kota dan membawa keluar

wanita Tionghoa untuk mengungsi. Kedua, warga Tionghoa yang

menolak menyerahkan senjata atau melawan pejabat hukum dan

melawan pasukan luar benteng kota akan ditembak. Ketiga, mulai

91 Wijayakusuma, 2005: 93. 92 Wijayakusuma, 2005: 94. 93 Wijayakusuma, 2005: 97.

Page 72: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

131

jam 18.30 warga Tionghoa harus berada dalam rumah tanpa

menyalakan lampu, jika ada yang keluar rumah akan ditembak.

Berbagai berita dan isu yang saling dilontarkan

menyebabkan suasana chaos hingga akhirnya terjadi sebuah

kebakaran di perkampungan etnis Tionghoa. Hal ini merupakan

pemicu kerusuhan yang berakibat terjadinya pembantaian massal.

Belanda mengerahkan tentara, buruh-buruh pribumi, dan budak

kulit hitam untuk melakukan penjarahan dan pembantaian di

perkampungan etnis Tionghoa. Keesokan harinya pada pukul

09.00 tanggal 10 Oktober 1740, pembunuhan massal belum

mereda bahkan semakin mengerikan. Gubernur Jenderal

Valckenier menginstruksikan kepada kompeni untuk

mengumpulkan warga Tionghoa yang tersisa, termasuk yang ada

di penjara dan rumah sakit. Setelah itu ia kembali memberikan

perintah kepada kompeni dan para budak untuk membunuh

mereka semua. Dikabarkan saat itu Valckenier menjanjikan

hadiah dua dukat per kepala warga etnis Tionghoa yang berhasil

dipancung.94 Pasca terjadinya Tragedi Angke, kondisi

perekonomian di Batavia menjadi hancur karena sesungguhnya

warga Tionghoa-lah penggerak roda perekonomian kota Batavia.

Hal ini sangat merugikan Belanda sehingga mengeluarkan

instruksi untuk memberikan pengampunan kepada warga

94 Sanusi Pane, Sejarah Indonesia (Jakarta: Perpustakaan Perguruan

Kementerian P & K, 1955), 50.

Page 73: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

132

Tionghoa yang tersisa dan peraturan surat izin tinggal dihapus.

Warga Tionghoa yang tersisa ditempatkan di wilayah baru yakni

Dietspoort (sekarang bernama Glodog). Belanda menempatkan

sejumlah serdadu guna menjaga agar tidak terulang lagi peristiwa

Tragedi Angke. Warga Tionghoa yang selamat dari pembantaian

tersebut berjumlah sekitar 3.431 jiwa yang terdiri dari 1.442

pedagang, 935 petani, 728 pekerja perkebunan tebu dan

perkayuan, dan 336 tukang kayu dan tukang batu.95 Pada abad

ke-20 sistem opsir pada akhirnya dihapuskan karena dianggap

sudah tidak berguna. Opsir-opsir Tionghoa dianggap simbol

kepentingan Belanda.

b. Sistem Pemukiman

Sistem pemukiman ini diterapkan pada tahun 1835 di

Pulau Jawa. Peraturannya berbunyi: „Orang Timur asing yang

merupakan penduduk Hindia Belanda sedapat mungkin

dikumpulkan di daerah-daerah terpisah di bawah pimpinan kepala

masing-masing. Pada tahun 1866 peraturan tersebut diubah.

Pejabat setempat diberikan kekuasaan untuk tidak melaksanakan

peraturan tersebut jika dipandang tidak perlu. Hal ini berubah lagi

pada akhir abad ke-19. Gubernur Jenderal Belanda memberi

instruksi bahwa sistem pemukiman harus dijalankan dengan

95 Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942: A History of

Chinese Establishment in Colonial Society (Jakarta: Jambatan, 1996), 16.

Page 74: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

133

ketat.96 Penerapan peraturan ini menyebabkan warga Tionghoa

Peranakan yang dahulunya sudah membaur lebur dalam

masyarakat setempat menjadi terkucilkan. Kebijakan tersebut

dimaksudkan oleh Belanda untuk memudahkan kontrol atas

kaum Tionghoa Peranakan. Identitas mereka sebagai warga

Tionghoa lebih jelas terlihat.97

Pemisahan warga Tionghoa Peranakan dipertebal dengan

kebijakan daerah tinggal dalam kategori ras (sistem ras). Kategori

pertama, warga Eropa termasuk Belanda. Kategori kedua adalah

warga yang disamakan dengan warga Eropa. Kategori ketiga, para

pribumi Indonesia. Kategori keempat adalah warga Tionghoa

Peranakan dan orang Asia lainnya. Kebijakan inilah salah satu

faktor yang membuat warga Tionghoa menjadi warga eksklusif dan

seolah-olah tidak mau berbaur dengan penduduk setempat.98

c. Peraturan Pas Jalan

Peraturan adanya pas jalan mewajibkan warga Tionghoa

yang bermukim di sebuah wilayah baru boleh meninggalkan

tempatnya jika mempunyai pas jalan (passenstelsel).99 Pas jalan

secara resmi diberlakukan pada tahun 1863. Peraturan pas jalan

ini diberikan oleh Belanda untuk perdagangan dan industri atau

96 William dalam Suryadinata, (ed), 2002: 75-76. 97 Skiner dalam Mackie, 1991: 305. Periksa Witanto, 2001: 200-203. 98 Skiner dalam Mackie, 1991: 306. Periksa Witanto, 2001: 197. 99 Pas jalan merupakan surat jalan atau keterangan perjalanan

berbentuk kartu atau lembaran kertas. Lihat Gb. 2.32 a,b,c,d, pada hal 155.

Page 75: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

134

usaha lain yang berguna, namun pas jalan dapat dicabut jika

dipandang mengganggu stabilitas keamanan. Hal ini

sesungguhnya untuk pengawasan lebih ketat oleh Belanda

terhadap kegiatan warga Tionghoa. Warga Tionghoa sampai-

sampai harus membawa pas jalan setiap kali meninggalkan

rumah.100

Sistem Kapitan, sistem pemukiman, sistem pas jalan, dan

sistem status ras yang diterapkan oleh Belanda pada warga

Tionghoa sesungguhnya upaya pemecahbelahan sendi kehidupan

bermasyarakat. Dahulu pada abad ke-15 dan ke-16, para

perantau Tionghoa pun telah mendiami wilayah pecinan yakni

sebuah wilayah tempat para pendatang Tiongkok dan

keturunannya (Tionghoa Peranakan) tinggal di kota-kota niaga tepi

pantai. Namun, interaksi komunitas Tionghoa dengan warga

setempat, dengan Keraton Majapahit, bahkan dengan Negara

Tiongkok terjalin dengan baik dan tidak ada peraturan-peraturan

yang bersifat pengekangan. Wilayah Pecinan kala itu benar-benar

sebuah wilayah tinggal bagi pendatang Tiongkok untuk

memudahkan koordinasi antar sesamanya tanpa bermaksud

eksklusif.

Upaya Belanda inilah yang sesungguhnya menjadi embrio

bagi sistem-sistem pembatasan dan pengekangan warga Tionghoa

100 Suryadinata, (ed), 2002: 76.

Page 76: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

135

bahkan berabad-abad setelahnya. Belanda sadar betul bahwa

persatuan dua kelompok ras atau lebih akan membahayakan

kedudukan Belanda seperti bersatunya warga Tionghoa dengan

Jawa. Jika terjadi pemberontakan akan sulit mengatasinya. Hal ini

pernah terjadi ketika sisa-sisa warga Tionghoa lari dari Tragedi

Angke ke Jawa Tengah. Orang-orang Tionghoa bersatu dengan

pasukan Raden Mas Garendi di Surakarta dan bersama-sama

melawan Belanda terlihat pada kutipan berikut.

Pasukan Raden Mas Garendi kemudian bergabung dengan

kawanan etnis Tionghoa Batavia yang ada di Semarang. Selain pasukan Raden Mas Garendi, terdapat pula pasukan lainnya seperti pasukan Mangkuyuda di Bojong,

Mangkubraja di Pakojan, dan Wirasastra di Kaligawe. Diperkirakan terdapat 20 ribu orang pasukan etnis Jawa dibawah pimpinan 20 tumenggung serta sekitar 3500 orang

etnis Tionghoa.101

Perlawanan Raden Mas Garendi bersama dengan pasukan

etnis Tionghoa berhasil merepotkan Belanda meski pada akhirnya

Belanda dapat mengatasinya. Belanda terpaksa mengerahkan

pasukan yang besar dan berhasil menangkap Raden Mas Garendi

kemudian membuangnya ke Srilangka.102 Upaya Belanda untuk

melakukan pemecahbelahan kerukunan masyarakat, utamanya

etnis Tionghoa, dilakukan dengan berbagai cara. Selain cara-cara

yang telah ditempuh seperti tersebut di atas, kemudian diterbitkan

Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang melarang etnis Tionghoa

101 Wijayakusuma, 2005: 148. 102 Wijayakusuma, 2005: 153. Periksa Witanto, 2002: 201-202.

Page 77: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

136

menjadi petani sehingga warga Tionghoa hanya diperbolehkan

menjadi pedagang perantara.103 Dampak dari aturan ini, jika masa

sebelumnya pendatang Tiongkok dan Tionghoa Peranakan

sebagian membaur dalam kancah masyarakat petani, karena tidak

semua pendatang Tionghoa adalah pedagang kemudian direnggut

untuk keluar dari kehidupan pertanian dan hanya bekerja sebagai

pedagang perantara. Aktivitas sebagai pedagang perantara

memaksa mereka harus tinggal di kota-kota. Di samping sebagai

pedagang perantara, banyak pula warga Tionghoa berdagang

keliling dari rumah ke rumah menjajakan berbagai dagangan

bahkan sampai ke desa-desa. Profesi dagang mereka bermacam-

macam, misalnya, tukang sutra adalah pedagang kain sutra

keliling dengan cara bayar tunai atau dikredit dan tukang

kelontong adalah pedagang keliling menjajakan bermacam-macam

kebutuhan. Ketika menjajakan dagangan alat bunyi kelonthong

dibunyikan „klonthong...klonthong…klonthong….‟ sehingga disebut

tukang kelontong.

103 Wijayakusuma, 2005: 164.

Page 78: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

137

Gb. 2.24: Alat kelonthong para pedagang kelontong.

(Sumber foto: Isidore van Kinsbergen 1821-1905, koleksi Priyombodo Prayitno, 2009)

Gb. 2.25: Tukang kelontong di Batavia.

(Sumber foto: Isidore van Kinsbergen1821-1905 koleksi

Priyambodo Prayitno, 2009)

Page 79: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

138

Gb. 2.26: Seorang pedagang sutra Tionghoa Peranakan, kain sutra

Cina merupakan kain mewah yang digandrungi para wanita.

Pedagang ini menjual kainnya dari rumah ke rumah. (Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)

Gb. 2.27: Tukang sepatu (toekang tambel sepatu)

(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)

Page 80: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

139

Gb. 2.28: Tukang patri keliling Tionghoa Peranakan

(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)

Gb. 2.29: Tukang patri Tionghoa dengan asisten orang Jawa.

(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)

Belanda mendirikan Hollands Chines School (HCS). Sekolah

Belanda yang khusus diperuntukkan bagi warga etnis Tionghoa.

Hal seperti ini sesungguhnya memicu rasa tidak suka warga

setempat terhadap etnis Tionghoa. Sekolah bagi warga pribumi

masih merupakan barang mewah, hanya orang-orang tertentu dari

Page 81: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

140

golongan bangsawan dan pamong praja yang dapat menikmati,

sementara Belanda justru menyediakannya bagi warga Tionghoa.

2. Jaman Jepang

Periode penjajahan Jepang merupakan periode terburuk di

tanah Nusantara. Para penduduk Tionghoa pun mengalami

penderitaan yang sama dengan penduduk asli lainnya. Pada saat

itu tindak kekerasan oleh Jepang secara fisik dan mental dialami

oleh warga Tionghoa. Aksi kekerasan terhadap Tionghoa muncul

dalam berbagai manifestasi, antara lain, perampokan,

pembunuhan, dan pemerkosaan. Terdapat juga kekerasan dalam

bentuk lain yakni „sunat paksa‟ yang terjadi di berbagai daerah

seperti Bekasi, Kudus, pantai utara Jawa Tengah, Jombang, dan

Kediri.104 Di luar Jawa aksi serupa juga berlangsung dalam skala

yang lebih hebat, namun dengan alasan yang berbeda. Lelaki

dewasa Tionghoa di daerah Kandangan (Kalimantan Selatan)

akhirnya melakukan gerakan „sunat sukarela‟ agar tidak diganggu

Jepang.105 Pada saat yang sama dilaporkan pula terjadinya

pemerkosaan wanita Tionghoa, seperti di Bekasi (50 orang) dan di

pantai utara Jawa Tengah. Selain itu juga terdapat penyanderaan

yang dilakukan oleh gerombolan perampok. Puncak kekerasan

104 Pakpahan, 1261 Hari di Bawah Matahari Terbit (Jakarata: Marisan

Jaya, 1979), 39. Periksa Yang, 1987: 46. 105 Soemarno Sosroatmodjo, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (Jakarta:

Gunung Agung, 1981), 249.

Page 82: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

141

adalah terbunuhnya orang-orang Tionghoa, misalnya, di Kudus,

Bekasi, Jombang, dan Aceh.106

Orang Tionghoa di Jawa Barat pada akhirnya mengambil

cara „membeli keamanan‟ dengan jalan membayar perampok

untuk menjaga harta bendanya. Kesetiaan mereka tertuju pada

mereka yang mampu memberikan jaminan keamanan.

Saat-saat dimana „law and order’ absen, adalah periode yang mengerikan bagi „middleman minority‟ yakni di masa penjajahan Jepang (1942-1945). Periode ini memberikan

banyak contoh, bagaimana „jaminan keamanan‟ bisa mengalihkan loyalitas „middleman minority’, bahkan

terhadap musuh besarnya sekalipun, selama mereka mampu menyediakan keamanan. Pada saat-saat kedatangan bala tentara Jepang (Maret 1942), aparat

keamanan kolonial tiba-tiba menghilang, mereposisikan Tionghoa dari „middlemen minority‟ menjadi „defenceless minority‟ (minoritas tanpa perlindungan).107

Pada saat itu diadakan pendaftaran bangsa asing (Undang-

Undang No. 7 th 1942). Orang Tionghoa lelaki membayar f. 100

dan wanita f. 50 (boleh dicicil). Dengan membayar biaya tersebut,

mereka akan mendapat kartu identitas dan „keamanannya akan

dijamin Dai Nippon‟. Kartu identitas inilah yang merupakan cikal

bakal SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia)

yang menyulitkan warga Tionghoa Peranakan kelak ketika

Indonesia sudah merdeka.

106 Yang, 1987: 44. 107 Didi Kwartanada, “Tionghoa Dalam Dinamika Sejarah Indonesia

Modern Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan” (Leiden: Diskusi Terbuka Sapu

Lidi, 5 Juni 2004), 5.

Page 83: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

142

Tindakan lain yang dilakukan orang-orang Tionghoa untuk

mendapat keamanan adalah menyuplai perempuan penghibur

(jugun ianfu) kepada tentara Jepang. Motivasi mereka melakukan

hal itu demi „menjilat‟ Jepang untuk mencari selamat. Menurut

pengakuan Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dalam memori

mereka, penguasa Jepang sering memberi perintah kepada

pemimpin Hua Ch’iao Tsung Hui (HCTH), organisasi Tionghoa

jaman Jepang, untuk menyuplai jugun ianfu. Sebagai akibatnya,

beberapa orang Tionghoa tewas dalam pemberontakan legendaris

yang dipimpin Supriyadi.108

Orang Tionghoa jaman Jepang juga diharuskan memiliki

pas jalan jika ingin bepergian ke luar kota untuk berbagai

keperluan seperti misalnya berdagang. Banyak pedagang keliling

yang mengurus surat jalan untuk melancarkan pekerjaannya.

Surat jalan tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan minoritas

asing, seperti Tionghoa dan Indo, karena mereka dicurigai oleh

Jepang. Surat ini diperlukan untuk seorang pedagang Tionghoa

yang hendak bepergian ke luar kota. Hua Chiao Chung Hui (HCCH)

atau bahasa Jepangnya Kakyo Sokai adalah satu-satunya

organisasi Tionghoa yang diperbolehkan eksis pada zaman yang

108 Didi Kwartanada, “Golongan Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa

1942-1945“ dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa

(Yogyakarta: Kanisius-Realino, 1997), 34. Periksa Pakpahan, 1987: 138.

Page 85: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

144

2.30d

Gb. 2.30a, b, c, d: gambar di atas merupakan surat jalan yang diterbitkan oleh Bogor Syuu Hua Chiao Chung Hui untuk

keperluan seorang pedagang kue yang bertempat tinggal di jalan Minami Bandoori. Pedagang tersebut hendak bepergian ke Jakarta,

Bandung, dan Tasikmalaya satu bulan lamanya. Tertanggal 23 Djoegatsu 2603. Menggunakan penanggalan Jepang (Kalender Showa). Jika diterjemahkan dalam penanggalan Masehi adalah: 23

Januari 1943. Surat Jalan dilengkapi tanda tangan ketua dan cap dalam huruf kanji.

(Foto koleksi: Neneng Usman, 2009)

Di masa penjajahan Jepang, pengangguran merupakan

masalah sosial yang utama dan baru bagi kalangan Tionghoa.

Ditutupnya beberapa perusahaan Belanda dan melemahnya sektor

bisnis menjadikan kaum Tionghoa kehilangan pekerjaan terutama

yang bergerak di bidang nonbisnis. Ratusan pengungsi di kota-

kota mendapat bantuan dari organisasi Tionghoa. Banyak

pengungsian memadati sekolah-sekolah dan tempat peribadatan.

Mereka akhirnya mengelola usaha-usaha perdagangan di kios-kios

kecil untuk menyambung hidup. Di samping itu banyak pula yang

menyelundupkan barang-barang dagangan kebutuhan sehari-hari.

Pada jaman pendudukan Jepang, kebudayaan Tionghoa justru

tidak seburuk nasibnya dibandingkan dengan sektor lain seperti

Page 86: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

145

ekonomi, politik, dan sosial. Masa pendudukan Jepang di

Nusantara diwarnai dengan berbagai usaha „resinifikasi’

(pencinaan kembali). Peranakan Tionghoa dianggap sudah terlalu

banyak dipengaruhi kebudayaan Barat.110 Karena itu, Jepang

mendorong kaum Peranakan Tionghoa untuk belajar bahasa

Tionghoa dan juga menghidupkan kembali berbagai bentuk

budaya Tionghoa. Jepang pun menjadikan hari raya Imlek 1943

sebagai hari libur resmi berdasarkan keputusan Osamu Seirei No.

26 tanggal 1 Agustus 1942.111 Inilah pertama kali dalam sejarah

Tionghoa di Indonesia, Imlek menjadi hari libur resmi.

Hal menarik lain seiring keputusan Osamu Seirei No. 26

tanggal 1 Agustus 1942 adalah diperintahkannya rakyat

Yogyakarta tanpa terkecuali untuk mengibarkan bendera Jepang

pada hari raya Imlek. Seorang propagandis Tionghoa menyebut

saat itu sebagai perayaan tahun baru Imlek pertama dalam

suasana baru.112 Musik tradisional Tionghoa diizinkan untuk

dimainkan di stasiun radio milik pemerintah, padahal di jaman

Belanda tidak ada kesempatan seperti itu. Acara kesenian

tradisonal seperti Barongsay seringkali ditampilkan dalam acara-

acara resmi pada jaman Jepang. Demikian pula pertunjukan

teater boneka Potehi diizinkan tampil secara leluasa. Sebuah

110 Kwartanada, 1997: 306-311. 111 Kwartanada, 2004: 4. 112 Tjeng dalam Kwartanada, 2004: 6.

Page 87: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

146

ironisme di jaman Jepang bahwa Jepang yang dianggap sebagai

musuh besar kaum Tionghoa, namun justru Jepang pula yang

bertindak sebagai pihak dalam membangkitkan kembali aktivitas

budaya Tionghoa.

Gb. 2.31: Kaum Tionghoa Peranakan sedang bermain musik.

(Sumber foto: Anonim J, 2010)

3. Masa Kemerdekaan dan Jaman Orde Lama

Di masa awal revolusi, pemerintah RI juga mengizinkan

perayaan hari raya Tionghoa. Misalnya Presiden Soekarno

mengeluarkan maklumat supaya kantor pemerintah mengibarkan

bendera nasional Republik Tiongkok disamping Sang Merah Putih

pada setiap perayaan hari lahirnya Republik Tiongkok. Demikian

juga orang Tionghoa „boleh mengibarkan bendera kebangsaan

Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa‟. Seperti juga di

jaman Jepang, Imlek dijadikan hari libur resmi. Dalam tahun

ajaran 1946/1947, tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya nabi

Page 88: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

147

Konghucu, dan Tsing Bing) dijadikan hari libur resmi.113 Beberapa

orang Tionghoa yang ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan

bersama para nasionalis sejak tahun 1930 misalnya Lim Koen

Hian, dan kawan-kawan dalam partai Tionghoa Indonesia. Banyak

orang Tionghoa bersedia memandang diri mereka sebagai bagian

dari bangsa Indonesia termasuk pimpinan Baperki, Siauw Giok

Thjan.114 Namun, hubungan yang „rumit‟ antara Republik

Indonesia, pemerintah di Taiwan, dan Republik Rakyat Tiongkok

memperlambat proses tersebut.

Pada masa Presiden Soekarno pun terdapat peristiwa

rasialis terhadap masyarakat Tionghoa. Hal ini bermula dari

Kongres Importir Nasional. Pada tanggal 19 Maret 1956

dilangsungkan Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di

Surabaya. Dalam kesempatan itu Asaat Datuk Mudo, mantan

pejabat presiden Republik Indonesia, berorasi bahwa orang-orang

Cina telah bersikap monopolistis dalam perdagangannya dengan

tidak membuka jalan bagi penduduk pribumi untuk ikut

berdagang. Sebagai penutup Asaat berkata bahwa ia percaya pada

masa itu diperlukan perlindungan khusus di bidang ekonomi bagi

warga negara Indonesia asli. Pidato ini menjadi awal „gerakan

Asaat‟ atau „pribumisasi‟ yang dinilai berpengaruh besar pada

113 Kwartanada, 1997: 485. 114 Gungwu dalam Wibowo, (ed), 2001: 24.

Page 89: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

148

„gerakan anti Cina‟ selanjutnya.115 Diterapkan politik benteng yaitu

Tionghoa dilarang membuat perusahaan kalau tidak ada saham

dari etnis lain. Hal ini salah satu kebijakan rasialis pada jaman

Soekarno.116

Dilihat dari fakta yang terjadi di lapangan, pada era 1950-

an hampir semua toko di Indonesia memang dimiliki pengusaha

keturunan Tionghoa. Mulai dari toko kelontong, toko bangunan,

hingga toko makanan. Hal ini dibenarkan oleh pengamat budaya

Betawi, Alwi Shahab, yang menyatakan bahwa pada masa

mudanya di daerah Kwitang merupakan pusat perekonomian di

Jakarta. Masyarakat betul-betul bergantung pada pengusaha

keturunan Tionghoa.

Di Jakarta, sampai akhir 1950-an warga Cina memiliki

toko-toko besar dan kecil di pasar-pasar. Termasuk pedagang keliling berupa tukang kelontong yang dipikul oleh kulinya. Ketika itu, sudah banyak warga Tionghoa

yang tinggal di kampung-kampung Selam (Islam), setelah mereka dibolehkan pindah dari Cina Town Glodok. Dalam

berhitung mereka menggunakan sipoa yang tidak kalah cepatnya dalam menghitung dengan para pedagang

sekarang yang gunakan kalkulator.117

Pada bulan November 1959 Presiden Soekarno

mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 dan

ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero

115 Tjung Ju Lan, „Empat Masa Persoalan Cina‟ dalam Majalah Tempo,

Edisi 13, 19 Agustus 2007. 116 Gusti Lesek & Sotyati, “Mereka Hilang Entah Kemana“ dalam

Pembaruan Indonesia Media, 3 Maret 2008. 117 Wawancara dengan Alwi Shahab, 30 September 2009 di Jakarta.

Page 90: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

149

yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Nopember 1959

oleh Menteri Muda Kehakiman Sahardjo. Peraturan Pemerintah

tersebut berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang

perdagangan eceran ditingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu

kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga

negara Indonesia. Mereka diharuskan menutup perdagangannya

sampai batas 1 Januari 1960.118 Peraturan ini sebetulnya

dimaksudkan terhadap orang Tionghoa WNA (Warga Negara

Asing/RR Cina). Namun pada kenyataanya, PP tersebut berimbas

pada semua orang Tionghoa baik WNA maupun WNI. Tidak jelas

apakah seluruh keturunan Cina selain WNA dilarang berdagang

dan bermukim di pedesaan karena Pangdam Siliwangi Kolonel

Kosasih pun memaksa mereka pindah.119 Penerapannya memakan

korban jiwa yang dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak.120 Di

Yogyakarta, para Tionghoa berduyun-duyun keluar dari pedesaan

dan menetap di kampung-kampung kota Yogya. Di Kalimantan

Barat terjadi pembantaian, pengusiran, dan penjarahan harta

benda orang-orang Tionghoa. Akibat PP No. 10/1959, terjadi

eksodus besar-besaran, ratusan ribu WNA dipulangkan ke negeri

leluhur. Karena itu, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok sengaja

mengirimkan sebuah kapal untuk mengangkut mereka ke daratan

118 Periksa majalah Tempo, Edisi 13, tanggal 19 Agustus 2007: 94-95. 119 Periksa Republika, Sabtu, 23 September 2006. 120 Periksa majalah Tempo, Edisi 13, tanggal 19 Agustus 2007: 94-95.

Page 91: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

150

Cina. Peristiwa yang mengganggu hubungan RI-RRT ini baru

dapat diselesaikan setelah perundingan antara Bung Karno dan

PM Cho En Lai dari Republik Rakyat Tiongkok datang ke

Jakarta.121

4. Masa Orde Baru

Runtuhnya pemerintahan Soekarno dan diganti oleh

Soeharto dengan landasan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas

Maret) menyebabkan berganti pula sebuah era yaitu Orde lama

diganti dengan Orde Baru. Keruntuhan Orde Lama rupanya ikut

memperparah runtuhnya kegiatan budaya masyarakat etnis

Tionghoa Peranakan di Indonesia. Kegiatan kebudayaan

masyarakat Tionghoa Peranakan yang telah berabad-abad

dilakukan, membaur, dan berakulturasi secara harmonis

mendadak dihentikan. Segera setelah Soeharto memegang tampuk

kekuasaan di republik ini, berbagai aturan dan pelarangan

diberlakukan. Pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965

Republik Rakyat Tiongkok dicurigai sebagai penyokong gerakan

makar tersebut. Alasan lain adalah agar upaya asimilasi orang-

orang Tionghoa di Indonesia dan keturunannya (Tionghoa

peranakan) dapat berlangsung dengan cepat untuk itu harus

diputus hubungannya dengan seluk beluk negeri Tiongkok.

Dikeluarkanlah Inpres No. 14 Tahun 1967, Surat Edaran

121 Periksa Republika, Sabtu, 23 September 2006.

Page 92: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

151

Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967, dan Keputusan

Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978.

Diberlakukan „anjuran‟ bahwa WNI keturunan yang masih

menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama

Indonesia sebagai upaya asimilasi. Nama Tionghoa biasanya terdiri

dari tiga suku kata seperti telah dijelaskan di bagian depan. Warga

Tionghoa Peranakan yang kemudian disebut WNI Keturunan

diwajibkan berganti nama atau setidaknya memiliki nama yang

bernuansa Indonesia dan bukan nama Tiongkok seperti Eka Tjipta

Widjaja, Prayoga Pangestu, Tommy Winata. Kadangkala, untuk

mencari aman, Tionghoa yang putih sipit diberi nama Tugimin,

Suratman, Kamijo dan sebagainya. Nama yang bernuansa sangat

Jawa dan ndeso.122 Hal ini banyak dijumpai di kalangan

masyarakat Tionghoa etnis Teowchiu dan Hakka (Kek) di

Kalimantan Barat. Bagi warga Tionghoa yang tinggal di kota

menyiasati nama Indonesia-nya dengan mengambil sebagian suku

kata nama aslinya, seperti, Tan Guan Bun beralih nama Indonesia

menjadi Tanjung Guana dan lain sebagainya.

Hal yang sesungguhya terkesan apriori dan diskriminatif

sampai nama-nama rumah ibadah (kelentheng) harus diganti

dengan nama yang bukan Tiongkok. Nama kelentheng lebih sering

122 Di Pontianak banyak ditemui nama Jawa untuk nama nasional orang

Cina, sebagai contoh ipar adik penulis bernama Tugimin nama Cina-nya A

Cung.

Page 93: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

152

diganti dengan nama bernuansa bahasa Sansekerta, sebuah

bahasa yang sesungguhnya pun asing dan bukan asli Indonesia.

Selain itu, pelarangan bagi warga Tionghoa Peranakan (WNI

Keturunan) untuk bersekolah di sekolah asing dan pembatalan

pengakuan agama Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia.

Hal ini berdampak masyarakat Tionghoa yang memeluk agama

Kong Hu Cu pindah ke agama lain yang diizinkan dan sekolah-

sekolah Tionghoa ditutup. Adapun isi Inpres No. 14 Tahun 1967

adalah sebagai berikut.

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO.14 TAHUN 1967

TENTANG AGAMA KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT CINA

KAMI PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

Bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psycologis,

mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada

proporsi yang wajar.

Mengingat:

1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 4 ayat 1, dan pasal 29 2. Ketetapan MPRS No XXVII/MPRS/1966 Bab III pasal 7, dan

penjelasan pasal 1 ayat (a)

3. Penjelasan Presidium Kabinet no.3/ U/IN/6/1967 4. Keputusan Presiden 171 tahun 1967.jo.163 tahun 1966

Menginstruksikan kepada: 1. Menteri Agama 2. Menteri Dalam Negeri

3. Segenap Badan Badan dan Alat Pemerintah di Pusat dan Daerah.

Page 94: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

153

Untuk melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina sebagai berikut:

PERTAMA:

Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan

menunaikan ibadatnya, tata cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas cultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam

hubungan keluarga atau perorangan.

KEDUA:

Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina

dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.

KETIGA:

Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat

istiadat Cina diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM)

KEEMPAT:

Pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri

bersama-sama Jaksa Agung.

KELIMA:

Instruksi ini berlaku pada hari ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 6 desember 1967 PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO Jenderal TNI

Page 95: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

154

Dengan landasan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967

tersebut, segala aktivitas masyarakat Tionghoa di Indonesia yang

berkaitan dengan kebudayaan bagaikan ditebas. Semua aspek

kegiatan budaya baik kesenian, ritual keagamaan, upacara adat,

dan perayaan hari besar dan keagamaan benar-benar „dipasung‟.

Pertunjukan teater boneka Potehi pun mengalami masa suram dan

pelarangan pentas untuk publik. Pemerintah melarang adanya

pementasan teater boneka Potehi untuk umum secara terang-

terangan. Pentas hanya diperbolehkan dilaksanakan di dalam

kelentheng tanpa menggunakan pengeras suara. Perizinan bagi

perayaan di dalam kelentheng yang akan dipergelarkan

pertunjukan Potehi sering dipersulit seperti yang dialami Thio

Tiong Gie pada pentas di awal tahun 1967. Usai pentas seperti

biasa Thio Tiong Gie mendapat angpao (amplop merah) dari para

penggemarnya. Angpao dalam tradisi Tionghoa adalah amplop

merah berisi uang hadiah. Di dalam salah satu angpao yang

dibuka Thio ada surat yang isinya pendek „Besok pagi harap

datang ke kantor Kodim‟ sebuah kalimat yang membuatnya

gelisah. Keesokan harinya Thio segera menghadap ke Kodim dan

di sana ia diinterogasi. Ada dua pertanyaan yang ditekankan

pejabat Kodim. Pertama, soal bahasa yang dipakai dalam pentas

Potehi. Kedua, gambar bunga yang terdapat pada sebuah kain

yang dipakai sebagai properti pentas. Menurut jawaban Thio

Page 96: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

155

bahwa bahasa dalam Potehi menggunakan bahasa Indonesia

sebagai kelanjutan dahulu bahasa Melayu Rendah atau Melayu

Pasar. Hanya saja pada bagian tertentu sepert nyanyian dan sulian

pek masih memakai bahasa Tiongkok. Untuk gambar bunga

sesungguhnya adalah gambar bunga cung hwe simbol dari

kelanggengan. Bunga cung hwee dipandang oleh pejabat Kodim

sebagai bunga teratai yang merupakan lambang organisasi

Baperki, sebuah organisasi yang dianggap pemerintah Orde Baru

dekat dengan PKI. Akhirnya pentas tahun 1967 tersebut

merupakan pentas terakhir bagi Thio di depan umum selama

masa Orde Baru.123 Perihal pembatasan pentas dialami pula oleh

sehu Poteh lainnya yaitu Sesomo dari Jombang.

Pada masa Orde Baru wayang Potehi, seperti halnya kebudayaan Tionghoa lainnya, mengalami tekanan.

Wayang Potehi sempat mengalami masa kesuraman sekitar tahun 1970-1990-an berkaitan dengan pelarangan pemerintah terhadap kebudayaan Tionghoa. Pada waktu

itu para dalang Potehi sangat sulit mendapatkan kesempatan bermain. Terkadang ada yang telah

menyediakan dana, tetapi justru perizinannya sulit keluar.124

Pelarangan-pelarangan terhadap segala sesuatu yang

berkait dengan budaya Tionghoa merambah pula ke ranah

intelektual. Prof. Slamet Mulyana di dalam bukunya yang berjudul

Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara

123 Wawancara dengan Thio Tiong Gie, 20 Januari 2010 di Gang Lombok

Semarang. 124 Wawancara dengan Sesomo, 3 Februari 2008 di Ketandan

Yogyakarta. Simak pendapatnya yang dilansir harian Kompas, 11 Maret 2003.

Page 97: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

156

Islam di Nusantara mengungkapkan bahwasanya raja-raja Islam

jaman Demak serta para Wali Sanga penyebar agama Islam adalah

orang-orang keturunan Tionghoa. Buku tersebut pada tahun 1971

dilarang beredar.125 Menurut pemerintah Orde Baru karena isi

buku tersebut sangat peka dan pemerintah menilai menyangkut

masalah SARA. Alasan yang sesungguhnya dibuat-buat dan

merupakan pengingkaran sejarah. Jika saja buku-buku sejenis

dengan tulisan Prof. Slamet Mulyana tidak dilarang beredar,

dimungkinkan masyarakat luas akan membaca dan

mencermatinya. Justru ketika masyarakat mengetahui bahwa Wali

Sanga, panutan dalam siar Islam, adalah keturunan Tionghoa dan

para raja Kerajaan Demak adalah keturunan Tionghoa mungkin

masyarakat akan menerima keberadaan komunitas Tionghoa

dengan lebih baik.

Diskriminasi terhadap kaum Tionghoa hampir mendera di

segala lini kehidupan mereka. Peristiwa di Kalimantan Barat pada

1967 menyebabkan 42.000 Tionghoa mati ditambah dengan

tuduhan komunis bagi orang-orang Tionghoa. Hal ini membuat

harta benda kaum Tionghoa dijarah. Adanya isu bahwa mereka

ingin mendirikan negara Tionghoa di Kalimantan Barat makin

memperparah keadaan. BAKIN pun mengawasi gerak-gerik

125 Sie Hok Tjwan, “The 6th Overseas Chinese State“ dalam Nanyang

Huaren (Australia: CSEAS, J. C. Univ. of N-Queensland, 1990), 65-99.

Page 98: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

157

masyarakat Cina melalui sebuah badan yang bernama Badan

Koordinasi Masalah Cina (BKMC).126

Di wilayah Yogyakarta, khususnya, hak-hak mereka

semakin dipangkas. Orang-orang Tionghoa di Daerah Istimewa

Yogyakarta tidak diperbolehkan memiliki tanah. Berdasarkan

Instruksi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.

K.898/I/A/1975. Mereka hanya diperbolehkan memiliki HGB (Hak

Guna Bangunan) yang hampir seperti menyewa sepanjang masa.

Larangan tersebut sebenarnya bertentangan dengan Hukum

Agraria Nasional, UU No. 33 Tahun 1984 yang mewajibkan

penerapan secara penuh UU No. 5/1960 di Derah Istimewa

Yogyakarta. Terbitnya UU No. 12 tahun 2006 sesungguhnya dapat

menganulir pula Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.

K.898/I/A/1975 dalam hal pemberian hak atas tanah kepada WNI

Keturunan Tionghoa. Implementasi Instruksi Kepala Daerah

Yogyakarta sesungguhnya sudah tidak relevan jika dikaji dari tata

urutan perundangan, azas preferensi hukum, dan perkembangan

hukum saat ini. Pada kenyataannya Instruksi Gubernur DIY

masih saja diberlakukan.

Permasalahan tersebut di atas sedikit mendapat penjelasan

dari seorang aktivis Komunitas Keistimewaan DIY H. M. Yzazir ASP

dalam acara talk show di Stasiun TVRI Yogyakarta. Dikatakan

126 Tjwan, 1990: 65-99.

Page 99: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

158

bahwa dengan dikuatkannya Undang-Undang Keistimewaan DIY,

maka DIY dapat leluasa mengatur rumah tangganya yang dapat

dimanfaatkan oleh rakyat DIY, salah satu contoh, peraturan

kepemilikan tanah di DIY. Ada dua jenis status tanah di DIY yaitu

tanah keraton dan bukan tanah keraton. Status kepemilikan

tanah untuk warga nonpri, misalnya, warga Cina di DIY hanya

diperbolehkan berstatus HGB (Hak Guna Bangunan). Hal ini

sesuai dengan Keistimewaan DIY. Dahulu dalam perjajian warga

Cina dengan Sultan HB II disebutkan bahwa warga Cina diberi

wilayah-wilayah strategis, tetapi tidak boleh memilikinya karena

keraton memiliki wewaler (aturan) mengenai status tanah yakni

handarbeni (hak milik) dan hak guna bangunan.127

Sejak awal berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta

Hadinigrat sesungguhnya telah terjadi hubungan baik antara

Sultan Yogyakarta dengan kaum Tionghoa. Masyarakat Tionghoa

sudah berada di Yogyakarta sejak kota tersebut didirikan tahun

1756. Pada waktu itu pemerintah Kolonial Belanda telah

mengangkat seorang kapitan Tionghoa bernama To In untuk

memimpin komunitas Tionghoa.128 Kaum Tionghoa ikut

membangun kota Yogyakarta. Sultan mempercayakan pada orang

Tionghoa untuk mengurusi administrasi penagihan aneka pajak di

wilayah Yogyakarta dan daerah kekuasaannya. Sultan

127 Talk show, 3 Desember 2012, TVRI Yogyakarta. 128 Susanto dalam Wibowo, 2001: 63.

Page 100: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

159

Hamengkubuwono II bahkan mengambil seorang perempuan

Tionghoa sebagai selirnya. Jasa kaum Tionghoa pada saat ada

peperangan di Yogyakarta pada abad 18 adalah sebagai penyedia

logistik untuk pasukan sultan sehingga sultan menghadiahi

sebidang tanah di dekat keraton yang kemudian didirikan sebuah

kelentheng. Pada tahun 1813 seorang kapitan Tionghoa Tan Jin

Sing diangkat menjadi bupati oleh sultan dan mendapat gelar

Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.129

Diskriminasi yang kemudian dialami oleh komunitas

Tionghoa di Yogyakarta dan daerah lain agaknya sudah dianggap

hal yang biasa. Meskipun demikian, di wilayah Yogyakarta

komunitas Tionghoa cukup mendapat „jaminan‟ keamanan. Sejak

dahulu masyarakat Tionghoa di Yogyakarta tidak pernah

mengalami kekerasan meskipun pernah terjadi kerusuhan anti

Cina di Solo dan sekitarnya, namun tidak merambah Yogyakarta.

Hal ini diduga disebabkan pula masyarakat Tionghoa hidup

membaur dan sederhana. Mereka kebanyakan pedagang kelas

menengah ke bawah, pegawai, dokter, guru, dosen, dan lain-lain

serta jarang yang menjadi pengusaha kelas atas atau konglomerat.

Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak adanya kesenjangan

sosial dan tidak adanya kecemburuan etnik karena kekayaan. Di

wilayah lain tidak ada pelarangan atas kepemilikan tanah.

129 Susanto dalam Wibowo, 2001: 79.

Page 101: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

160

Pelarangan hanya diberlakukan bagi Tionghoa penduduk Daerah

Istimewa Yogyakarta.130 Soeharto pertama kali mencabut SBKRI

pada 1986 dengan Keppres No. 56/1986. Namun, pada

kenyataannya masih efektif berlaku. Pada 1998, B. J. Habibie

melakukan pencabutan sekali lagi walaupun tidak jelas apa yang

dicabut. Setelah itu Gus Dur menyatakan tidak ada diskriminasi

lagi. Pada praktiknya di lapangan SBKRI tetap saja diminta sampai

sekarang.131 Peraturan yang dibuat mengambang justru membuka

peluang besar adanya korupsi dan pungli (pungutan liar)

merajalela dan semakin parah. Hal ini bisa terjadi karena

peraturan pelaksanaan dalam tingkatan yang lebih rendah, yakni

SKB Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No. M.01-

UM.09.03-80 dan No. 42 Tahun 1980 yang tidak dicabut sampai

sekarang. Karena itu, ketika warga Tionghoa akan membuat

paspor atau membuat surat-surat yang lain tetap harus

menyertakan SBKRI. Jika tidak punya, mereka harus meminta

turunannya dari Depkeh (sekarang Depkumdang) atau pengadilan

negeri, di sinilah terjadi celah pungli (pungutan liar).

5. Era Reformasi

130 Penjelasan Notaris Diduk Suparminingsih, 2 Mei 2007 di Yogyakarta.

Didukung wawancara dengan penari Didik Nini Thowok, 4 Februari 2010 di Yogyakarta. Didik tidak diperkenankan memiliki sertifikat hak milik atas tanah

yang baru dibelinya ketika mendatangi BPPN Yogyakarta karena beliau Cina

dan hanya diizinkan memiliki HGB atas tanah tersebut. 131 Wawancara dengan beberapa orang Cina termasuk adik ipar penulis,

Meri Liliana, 1 Desember 2007 di Yogyakarta.

Page 102: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

161

Selama 32 tahun rezim Soeharto berkuasa di Indonesia,

pada akhirnya terjadi kemelut di dalam negeri sehingga

menyebabkan aksi damai „melengserkan‟ Soeharto. Wakil Presiden

Habibie menggantikan Soeharto sampai diselenggarakannya

Pemilihan Umum (Pemilu). Hasil Pemilu menetapkan

Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur

menjadi Presiden RI. Hal monumental pertama yang dilakukan

oleh Gus Dur adalah mencabut Inpres No. 14 tahun 1967. Beliau

mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2000 yang isinya

sebagai berikut.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2000

TENTANG

PENCABUTAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA, KEPERCAYAAN, DAN ADAT ISTIADAT CINA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

1. Bahwa penyelengaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak azasi manusia.

2. Bahwa pelaksanaan Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina,

dirasakan oleh Warga Negara Indonesia Keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya.

3. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a dan b, dipandang perlu mencabut Instruksi Presiden nomor 14

tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat Istiadat Cina dengan Keputusan Presiden.

Page 103: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

162

Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) dan pasal 29 Undang–Undang Dasar 1945

2. Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak azasi manusia (lembaran Negara tahun 1999 Nomor 165,

Tambahan lembaran Negara nomor 3886)

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENCABUTAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA,

KEPERCAYAAN, DAN ADAT ISTIADAT CINA.

PERTAMA:

Mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan,dan Adat Istiadat Cina.

KEDUA:

Dengan berlakunya keputusan Presiden ini, semua ketentuan Pelaksanaan yang ada akibat nstruksi Presiden Nomor 14

tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan adat istiadat Cina Tersebut dinyatakan tidak berlaku.

KETIGA:

Dengan ini menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaanDan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin Khusus sebagaimana berlangsung selama ini.

KEEMPAT:

Keputusan presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Januari 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Sejak dikeluarkannya Inpres tersebut kegiatan budaya dan

keagamaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa

mulai marak kembali.

Page 104: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

163

Menyimak uraian di atas terlihat bahwa pertunjukan teater

boneka Potehi mengalami pasang surut. Pada jaman penjajahan

Belanda, kegiatan berkesenian masyarakat Tionghoa tidak

mengalami hambatan. Pada masa penjajahan Jepang, kesenian

Tionghoa termasuk pertunjukan Potehi mendapat dukungan dari

pemerintah Jepang. Pada masa kemerdekaan meski terjadi

beberapa konflik politik antara Cina dan Indonesia, namun tidak

mempengaruhi kegiatan berkesenian masyarakat Tionghoa.

Mereka bebas menggelar berbagai perayaan keagamaan dan

pentas seni termasuk teater boneka Potehi pada era Orde Lama

tersebut. Pada era Orde Baru, segala kegiatan kesenian dilarang

berpentas di depan umum dan hanya diperbolehkan berpentas

dalam kelentheng untuk kepentingan ritual keagamaan.

Orde Reformasi menggantikan Orde Baru setelah Rezim

Suharto berkuasa selama 32 tahun. Presiden Abdurrahman Wahid

membolehkan masyarakat Tiongha melaksanakan kegiatan

keagamaan dan kesenian secara terbuka dan leluasa termasuk

pentas Potehi. Sehu Thio Tiong Gie berpentas untuk umum

pertama kali pada acara Seminar Tradisi Lisan Nusantara tahun

1998 di Taman Ismail Marzuki. Hal tersebut mengundang minat

para peserta seminar. Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid

memberikan cahaya terang bagi keberlangsungan seni

pertunjukan boneka Potehi. Pada bab berikut akan di bahas

Page 105: BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73745/potongan/S3-2014... · Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara. Ketika

164

secara mendetail mengenai seluk beluk pertunjukan boneka Potehi

Tionghoa Peranakan di Jawa. Di awali dengan bentuk-bentuk

panggung Potehi, boneka Potehi dan cara pembuatannya, para

dalang yang ada di belakang pertunjukan Potehi, lakon dan

pementasannya, fungsi pertunjukannya, dsb. Hal ini dimaksudkan

untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada

pembaca disertasi ini agar mendapat gambaran yang jelas

mengenai teater boneka Potehi milik komunitas Tionghoa

Peranakan di Jawa.