33
28 BAB II ANALISIS STRUKTURAL MODEL FARHUD PADA TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM DALAM ANTOLOGI RA‘SYATUN FIL-UFUQ Strukturalisme merupakan cara berpikir tentang dunia yang berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur sebuah karya sastra. Dalam kajian strukturalisme karya sastra merupakan dunia yang diciptakan oleh pengarang dan lebih kepada susunan hubungan daripada susunan benda-benda (Pradopo, 2014: 121). Struktur berarti sebuah bentuk keseluruhan yang kompleks (complex whole). Setiap objek atau peristiwa adalah sebuah struktur, yang terdiri dari berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Struktur memiliki ide keseluruhan, struktur memilki ide transformasi, dan struktur memiliki ide mengatur diri sendiri (Siswantoro, 2010: 13). Adapun sajak dalam karya sastra merupakan sebuah struktur yang memiliki arti bahwa karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya memiliki hubungan timbal balik, saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung (Pradopo, 2014: 120). Dalam analisis Tiga Syair Achmad Sweilem dalam Antologi Ra‘syatun fil- Ufuq ini digunakan analisis struktural model Farhud yang memiliki unsur-unsur di antaranya: (1) al-Ma‘na (ide); (2) a>thifah (Perasaan atau Emosi); (3) khaya<l (Imajinasi); dan (4) lugatusy-syi‘ir (Bahasa Syair, Gaya bahasa atau Ushlu<b). Dalam analisis struktural ini, langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan menjelaskan permasalahan-permasalahan yang di muat di dalam teks syair

BAB II ANALISIS STRUKTURAL MODEL FARHUD PADA TIGA … · Selain itu, dalam pemaknaan syair dapat mempermudah menentukan inti dari makna yang dimaksudkan oleh penyair. ... penyair

Embed Size (px)

Citation preview

28

BAB II

ANALISIS STRUKTURAL MODEL FARHUD PADA TIGA

SYAIR ACHMAD SWEILEM DALAM ANTOLOGI

RA‘SYATUN FIL-UFUQ

Strukturalisme merupakan cara berpikir tentang dunia yang berhubungan

dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur sebuah karya sastra. Dalam

kajian strukturalisme karya sastra merupakan dunia yang diciptakan oleh

pengarang dan lebih kepada susunan hubungan daripada susunan benda-benda

(Pradopo, 2014: 121).

Struktur berarti sebuah bentuk keseluruhan yang kompleks (complex

whole). Setiap objek atau peristiwa adalah sebuah struktur, yang terdiri dari

berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Struktur

memiliki ide keseluruhan, struktur memilki ide transformasi, dan struktur

memiliki ide mengatur diri sendiri (Siswantoro, 2010: 13). Adapun sajak dalam

karya sastra merupakan sebuah struktur yang memiliki arti bahwa karya sastra

merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya

memiliki hubungan timbal balik, saling terikat, saling berkaitan, dan saling

bergantung (Pradopo, 2014: 120).

Dalam analisis Tiga Syair Achmad Sweilem dalam Antologi Ra‘syatun fil-

Ufuq ini digunakan analisis struktural model Farhud yang memiliki unsur-unsur di

antaranya: (1) al-Ma‘na (ide); (2) ‘a>thifah (Perasaan atau Emosi); (3) khaya<l

(Imajinasi); dan (4) lugatusy-syi‘ir (Bahasa Syair, Gaya bahasa atau Ushlu<b).

Dalam analisis struktural ini, langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan

menjelaskan permasalahan-permasalahan yang di muat di dalam teks syair

29

tersebut secara berurutan tanpa menambah-nambahi ataupun mengurangi isi dari

teks tersebut (Sangidu, 2008: 300).

Struktur memiliki peran sangat penting dalam penciptaan sebuah karya

sastra. Pada syair struktur sangat diperlukan untuk menguraikan unsur-unsur

intrinsik syair yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Selain itu, dalam

pemaknaan syair dapat mempermudah menentukan inti dari makna yang

dimaksudkan oleh penyair.

2.1 Syair Pertama

Syair pertama berjudul “Lahfah” memiliki makna “sesal” (Munawwir,

1997:1292). Penyair dalam mengungkapkan ide atau gagasannya menggunakan

simbol-simbol dengan makna yang tidak sebenarnya atau kiasan. Syair “Lahfah”

merupakan bentuk ungkapan penyesalan yang dituliskan oleh penyair terhadap

suatu kesalahan yang pernah terjadi hingga membuatnya kecewa. Hal itu

membuat dirinya tidak memiliki waktu untuk mengulang kembali masa-masa

menyenangkan yang telah dialaminya. Oleh karena itu, penyair mengungkapkan

bentuk permohonan agar dirinya dapat mengulang kembali peristiwa tersebut

hingga tidak menimbulkan kekecewaan yang mendalam dalam dirinya. Namun,

tetap saja semua yang telah berlalu tidak mungkin bisa terulang lagi. Penyair saat

ini hanya dapat merenungi nasibnya sendiri. Penyesalan yang dialami penyair

merupakan bentuk ketidakmampuan penyair dalam menyikapi kehidupan. Selaras

dengan pendapat dari Friedman, bahwa dalam menyikapi kehidupan seharusnya

dengan bahagia dan penuh energi untuk berpegang pada sasaran hidup yang akan

memberikan perubahan pada dirinya (Friedman dalam Widyasinta, 2006: 66).

30

a. Al-Ma‘na (Ide)

Pada awalnya syair diciptakan melalui pemikiran atau gagasan penyair

yang mempunyai relasi kuat dengan situasi (keadaan) dan dipengaruhi oleh faktor

psikologi penyair (Muzakki, 2011:84). Adapun bahasa yang digunakan

merupakan sarana utama yang digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan

imajinasinya kepada pembaca (Muzakki, 2011:86).

Gagasan dalam syair tersebut memiliki makna yang saling berhubungan

dan berkaitan sesuai dengan alur cerita dari pengalaman penyair. Syair berjudul

“Lahfah” ini mengusung dua gagasan yaitu (1) penyesalan dan kekecewaan

penyair terhadap sesuatu yang pernah dialaminya (2) ratapan nasib yang dirasakan

oleh penyair.

Bait ke-7

Wa am‘anat... „Dan menjauh...‟

Bait ke-8

Wa syawat fi> jamriha> ‘u>diy „Lalu membakar kepulanganku dalam kobarannya‟

Bait ke-9

Wa kha>shamatniy sini>nan-khutwatiy „Bertahun-tahun langkahku memusuhiku‟

Bait ke-10

'alaman... „Sungguh pedih...‟

Bait ke-11

Wa asqhathat ghurbatu ad-adunya> ‘ana>qi>diy „Keasingan dunia telah melepas ikatan-ikatanku‟

31

Bait ke-12

Ma> kuntu ´a‘rifu „Aku tak pernah tahu‟

Bait ke-13

Inna al-‘isyqu lu'lu'ah „Bahwa cinta adalah mutiara‟

Bait ke-14 !

Lau lam ´ajid bidima>'iy istarkhashat ju>diy! „Jika tak kutemukan dengan darahku maka kemurahanku

menjadi tak berharga‟

(Sweilem, 2002: 19)

b. ‘A>thifah (Perasaan atau Emosi)

Emosi merupakan faktor yang amat penting dalam syair. Emosi memberi

pengaruh terhadap cara berbuat dan berpikir seseorang. Selain itu, emosi dapat

membentuk suasana yang menyenangkan dan dapat membuat sebuah syair

menjadi puitis dan memukau (Semi, 1993: 111). Adapun perasaan yang

dimaksudkan adalah perasaan atau emosi yang muncul disepanjang teks syair.

Perasaan tersebut tidak monoton perasaan sedih, marah, gembira, dan perasaan

yang beraneka ragam yang ditunjukkan oleh penyair di dalam teks tersebut (Badr

dalam Sangidu, 2008: 301). Dengan demikian, perasaan atau emosi yang terdapat

pada teks syair berjudul “Lahfah” adalah rasa sesal yang mendalam bagi penyair,

hingga membuatnya berharap untuk mengulang kembali masa lalu. Emosi yang

dimiliki oleh penyair terhadap suatu harapan sangat memengaruhi tingkah laku

(Wilcox dalam Kumalahadi, 2013: 163). Oleh karena itu, ketika penyair berharap

dapat kembali pada masa yang lalu, hal itu tidak akan pernah terjadi.

32

Pada syair tersebut terdapat emosi yang mendalam yaitu rasa sakit hati

yang dirasakan penyair karena ditinggal pergi oleh kekasihnya. Emosi tersebut

menunjukkan bahwa terdapat tiga pasang perasaan yaitu rasa senang dan sakit,

tegang dan santai, kegembiraan dan kesedihan, bentuk perasaan ini jarang terjadi

secara sendiri-sendiri, tetapi merupakan kombinasi yang disebut sebagai

“kumpulan perasaan” (Wilhelm Wundt dalam Kumalahadi, 2013: 158).

Kombinasi perasaan yang dimiliki oleh penyair dalam syair tersebut adalah rasa

senang dan sakit, kegembiraan dan kesedihan yang membuat penyair hanya dapat

meratapi nasibnya.

c. Khaya<l (Imajinasi)

Imajinasi merupakan bentuk citraan dari penyair yang membuat syair

menjadi lebih hidup. Gambaran pikiran (citraan) ini merupakan sebuah efek

pikiran yang dihasilkan oleh penangkapan pada suatu objek (Altenbern dalam

Pradopo, 2008:81). Imajinasi merupakan upaya memperkuat kesan suatu

pengalaman jiwa yang akan disampaikan oleh penyair (Semi, 1993:97).

Dalam syair “Lahfah” penyair telah menggambarkan ungkapan

penyesalannya dengan menggunakan bentuk permohonan pada bagian yang ada

pada manusia yaitu jiwa. Jiwa dalam (KBBI, 2008:580) adalah seluruh kehidupan

batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya.

Penyair memohon pada dirinya sendiri untuk menghentikan amarahnya yaitu

bentuk perasaan yang dimiliki penyair terhadap suatu peristiwa yang membuatnya

kecewa, seperti pada kutipan data berikut ini.

Bait ke-1

Ya> qu>tata ar-aru>chi „Duhai relung jiwa‟

33

Bait ke-2

Ju>diy as-sinni> ju>diy> „Kumohon bermurah hatilah‟

Bait ke-3

Wa jammiliy zamaniy

„Perindahlah waktuku...‟

Bait ke-4

Wasyfiy mawa>ji>diy „Lalu sembuhkanlah amarahku...‟

(Sweilem, 2002: 18).

Salah satu penggambaran yang dideskripsikan oleh penyair adalah

menyesuaikan keadaan yang sedang dirasakannya dengan lingkungan sekitar.

Bukan hanya bentuk perasaan saja, namun imajinasinya terhadap seseorang yang

dicintainya (kekasihnya) dengan menggunakan kata ganti bergaya metafora, yaitu

“ufuk”. Ufuk merupakan pancaran cahaya merah yang mulai terbentang di barat

(KBBI, 2008:1579). Adapun makna lain dari ufuk hampir sama dengan senja

yang memiliki keindahan memukau di antara waktu sore menjelang petang.

Kekasih yang dicintai oleh penyair merupakan objek yang disesali oleh penyair

dalam syairnya.

Dalam syair “Lahfah” penyair menggunakan bahasa kiasan dalam

mengungkapan perasaannya untuk memberikan kesan yang indah dan pemilihan

imajinasinya dapat memberikan pengaruh bagi pembaca. Tujuannya untuk

memudahkan pembaca dalam memahami maksud perasaan yang dirasakan oleh

penyair. Selain itu, citraan yang digunakan oleh penyair dapat memperjelas

peristiwa yang pernah dialaminya.

34

d. Lughatusy-syi‘ir (Bahasa Syair)

Lughatusy-syi„ir (bahasa syair) merupakan bahasa yang digunakan oleh

penyair untuk mengungkapkan apa saja yang dirasakan oleh penyair dan peristiwa

yang telah dialami oleh penyair (Badr, 1991:142). Adapun bahasa yang digunakan

disebut dengan kata berjiwa yang memiliki makna yang telah mengandung rasa

dan cita penciptanya (Slamet muljana dalam Pradopo, 2008: 49). Lughatusy-syi„ir

(bahasa syair) yang terkandung di dalam teks syair berjudul “Lahfah” yaitu:

(1) Kosa kata:

Dalam teks syair “Lahfah”, penyair menggunakan beberapa kata-kata

yang sederhana, mudah dipahami dan lazim digunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Adapun kosa kata yang digunakan dalam bahasa Arab tidak

semua pernah didengar oleh penulis. Akan tetapi, kosa kata dalam syair

tersebut lazim digunakan dalam kesusastraan Arab. Perbedaan yang terdapat

di antara bahasa sumber dan bahasa sasaran adalah dalam penerjemahannya.

Bahasa Arab cenderung memiliki beberapa arti dalam setiap kosa katanya.

Maka dari itu, terdapat kosa kata yang berbeda dengan arti yang sama, seperti

pada kata al-isyqu „cinta‟ yang secara umum arti kata cinta digunakan kata al-

chubbu „cinta‟.

Pada dasarnya dalam bahasa syair harus menggunakan kata-kata yang

mudah jelas dan tegas sehingga mudah dipahami untuk memaknai syair yang

dituliskan oleh penyair. Ke-fasachah-an pada syair memiliki pengaruh yang

besar sebagai penentuan bali>gh atau tidaknya syair tersebut. Fasachah

bermakna jelas, terang dan fashi>h adalah kalimat yang jelas, mudah

bahasanya, dan baik susunannya. Selain itu, syair yang dikatakan baik uslu>b

35

(gaya bahasa) harus indah, menarik inspirasinya, tegas, dan tidak banyak

menggunakan majaz maupun tasybih dalam syairnya (Ja>rim, 2007:7, 18).

Syair “Lahfah” memiliki beberapa kata-kata yang tidak jelas, kurang

tegas, dan banyak perumpamaan, sehingga hal tersebut menjadi suatu

kekurangan yang dimiliki syair tersebut. namun, dengan menggunakan

bahasa kiasan atau gaya bahasa, penyair mampu menggambarkan dan

melukiskan dengan baik suatu peristiwa yang terjadi. Dengan demikian,

penelitian ini mampu memahami maksud dari ungkapan yang dituliskan oleh

penyair. Sebagaimana kutipan berikut ini.

Bait ke-15

Inna al-‘isyqu lu'lu'ah „Bahwa cinta adalah mutiara‟

Bait ke-22

Wa fi> kabadi>... „Di hatiku...‟

(Sweilem, 2002: 19).

(2) Struktur:

Penyair mengungkapkan syair ini dengan menggunakan struktur-

struktur yang bersih dari cacat bahasa dan kesalahan sintaksis. Kalimat yang

digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu

nahwu. Selain itu, terdapat pengulangan kata maupun kalimat (repetisi).

Repetisi adalah gaya bahasa penegasan yang mengulang-ulang suatu kata,

frasa, atau kalimat, bait atau bait (Damayanti dalam Melia, 2014: 49).

Repetisi merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh penyair untuk

36

menghasilkan pengimajian, untuk menciptakan sesuatu yang abstrak menjadi

konkrit, sesuatu yang lemah menjadi kuat dan tegas (Semi, 1993:129).

Sebagaimana pada kutipan berikut.

Bait ke-2

Ju>diy as-sinni>... ju>diy> „Kumohon bermurah hatilah‟

(Sweilem, 2002: 18).

Adapun struktur kalimat yang digunakan oleh penyair dalam

menciptakan syair tersebut telah memiliki tarkib (susunan kalimat) yang baik.

Struktur kalimat tersebut memberikan kemudahan bagi pembaca dalam

menentukan makna yang dimaksudkan oleh penyair. Sebagaimana salah satu

kutipan berikut ini.

Bait ke-1

Ya> qu>tata ar-aru>chi „Duhai relung jiwa‟

Bait ke-2

Bait ke-3

Ju>diy as-sinni> ju>diy> „Kumohon bermurah hatilah‟

Wa jammiliy zamaniy

„Perindahlah waktuku...‟

Bait ke-4

Wasyfiy mawa>ji>diy

„Lalu sembuhkanlah amarahku...‟

Bait ke-5

Asy-syi‘ru ausimatiy

37

„Syair ini medaliku‟

Bait ke-6

Wa al-bu>chu ajnichatiy „Dan jiwa ini sayapku‟

(Sweilem, 2002: 18-19).

(3) Kemahiran bersastra:

Dalam menuliskan syair “Lahfah” kepiawaian penyair terlihat ketika

dia menggunakan kata-kata kiasan dan majas dalam mengungkapkan pikiran-

pikirannya. Pengungkapan tersebut sesuai dengan keadaan penyair dan

perasaan yang dia rasakan saat peristiwa itu terjadi. Penyair juga mahir dalam

menggunakan kalimat dengan tulisan yang bagus dan alur yang baik,

sehingga mudah dipahami oleh pembaca dan dicerna maksud ungkapan syair

tersebut. Penyair juga memiliki cara berpikir runtut dalam penyusunan cerita.

Adapun alur penceritaan yang tepat, syair ini mudah disampaikan dengan

cara yang menarik, logis, wajar, dan sistematis (Semi, 1993:110).

Alur pengungkapan syair tersebut merupakan masa lalu dari penyair.

Syair yang mengungkapkan isi penyesalan yang sedang dialami oleh penyair

merupakan sebuah keinginan untuk mengembalikan kehormatan dirinya.

Sebagaimana ungkapan tersebut seperti pada kutipan berikut ini.

Bait ke-16

Lau lam ´ajid bidima>'iy istarkhashat ju>diy! „Jika tak kutemukan dengan darahku maka kemurahanku

menjadi tak berharga‟

Bait ke-17

Ha>dza> damiy... „Ini darahku‟

38

Bait ke-18

Muzijat fi>hi> tara>ti>liy „Yang berbaur lantunan kepedihanku‟

Bait ke-19

Wa dza>ka umriy „Itu hidupku‟

Bait ke-20

Ichtama> fi> chilmi maulu>diy „Yang berlindung pada mimpi kelahiranku‟

Bait ke-21

Li´abda´a az-zamana al-'a>tiy „Untuk memulai masa depan‟

(Sweilem, 2002: 19).

e. Mu<syiqasy-Syi„ir (Rima atau Irama)

Teks syair “Lahfah” merupakan jenis teks yang memiliki irama. Irama

terdapat dua macam yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap

dengan arti pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Ritme adalah irama

yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur,

tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi

gema dendang penyairnya (Pradopo, 2014:41). Teks syair “Lahfah” sesuai

dengan adanya metrum dan ritme, teks tersebut tidak memiliki metrum (bachr),

sebab syair tersebut adalah jenis syair yang memiliki bentuk penulisan di setiap

baitnya hanya terdapat satu bait. Adapun taf‘ila>t yang dimiliki setiap bait

berbeda-beda. Selain itu, teks syair tersebut memiliki ritme (irama) yang tidak

teratur. Maka, syair “Lahfah” merupakan jenis syair bebas (syi‘rul churr). Syi‘rul

churr yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah, maupun taf‘ila>t

akan tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik

39

karya sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan

imajinasinya sehingga iramanya bersifat subjektif (Husein dalam Muzakki,

2006:53). Sebagaimana kutipan dalam syair tersebut adalah sebagai berikut.

Bait ke-1

Ya> qu>tata ar-aru>chi „Duhai relung jiwa‟

Bait ke-2

Ju>diy as-sinni> ju>diy> „Kumohon bermurah hatilah‟

Bait ke-3

Wa jammiliy zamaniy „Perindahlah waktuku...‟

Bait ke-4

Wasyfiy mawa>ji>diy

„Lalu sembuhkanlah amarahku...‟

Bait ke-5

Asy-syi‘ru ausimatiy „Syair ini medaliku‟

Bait ke-6

Wa al-bu>chu ajnichatiy „Dan jiwa ini sayapku‟

Bait ke-7

Lakinnaki al-ufuq asy-sya>di> agha>ri>diy „Akan tetapi kau adalah ufuk yang

melantunkan kicauanku‟

(Sweilem, 2002: 19).

40

2.2 Syair Kedua

Syair ke-2 bejudul “ Ar-riha>n” yang memiliki makna “Taruhan”

(Munawwir, 1997:542). Bahasa kiasan dan makna konotatif banyak digunakan

untuk mengungkapkan pengalaman yang dialami oleh penyair. Kata “Taruhan”

yang digunakan dalam judul utama syair ke-2 ini merupakan sebuah pengorbanan

waktu yang telah disia-siakan oleh penyair di masa lalunya.

Judul “Ar-riha>n” dipakai oleh penyair sebagai inti dari syair tersebut.

syair tersebut diungkapkan oleh penyair dengan menggunakan beberapa

pengandaian yang bertujuan untuk drinya yang sedang dilanda kesepian. Bait ke-1

pada kalimat lau an-nahu ash-shada „andai gema itu‟, menunjukkan salah satu

pengandaian terhadap “gema” yang bermakna kekuatan dan semangat yang

membangkitkan dirinya. Semangat tersebut memunculkan harapan-harapan yang

akan membawa dirinya pada masa depan yang cerah.

Beberapa pengandaian lain dalam syair “Ar-riha>n” juga digunakan oleh

penyair yang memiliki makna yang berbeda. Pengandaian yang diulang dalam

syair tersebut menunjukkan bentuk penegasan terhadap sesuatu yang diharapkan

oleh penyair. Sebagaimana pada data berikut ini: (1) lau annahu ash-shada>

„Seandainya gema itu‟; (2) lau annahu az-zama>nu „Seandainya waktu itu‟; dan

(3) lau annahu asy-syagaf ‘‟Seandainya cinta itu‟ (Sweilem, 2002).

Kesimpulan yang dapat diambil dari syair berjudul “Ar-riha>n” adalah

bentuk pengorbanan dan pertaruhan waktu yang dimiliki oleh penyair. Penyair

yang tidak mampu mempertaruhkan jiwa dan raga untuk menggapai harapannya,

sehingga harapan tersebut tidak tercapai (Sweilem, 2002: 60-62).

41

a. Al-Ma„na (ide)

Syair yang dituliskan merupakan ide dan gagasan penyair berdasakan

pengalamannya. Pada satu syair terkadang terdapat satu gagasan yang dipayungi

dengan beberapa gagasan yang lebih besar. Gagasan-gagasan yang tersebut

merupakan jabaran dari gagasan pokok keseluruhan syair tersebut (Sangidu,

2008:301).

Gagasan yang digunakan oleh penyair dalam syair tersebut memiliki

kalimat dengan makna yang tidak berurutan. Syair tersebut terdapat bermacam-

macam pengandaian dengan makna yang bermacam-macam. Setiap pengandaian

memiliki makna sesuai dengan kata pengandaian yang digunakan, seperti ash-

shada> „ dahaga‟, az-zama>n „waktu, dan asy-syaghaf „cinta‟. Oleh karena itu, tema

syair yang terkandung dalam syair ini adalah: (1) pengorbanan atau taruhan

terhadap waktu dan kesempatan yang dimiliki penyair; dan (2) pengorbanan tidak

selalu mewujudkan suatu harapan.

b. ‘A>thifah (Perasaan atau Emosi)

Perasaan atau emosi adalah sehimpun perasaan yang muncul dari dalam

teks syair yang dituliskan oleh penyair untuk mempengaruhi pembaca. Emosi

merupakan bentuk sensitivitas perasaan penyair dalam penciptaan syair.

Penggunaan emosi syair syair tergantung pada bentuk asosiasi mental, yang pada

dasarnya merupakan suatu kesadaran diri yang menghubung-hubungkan sesuatu

dengan sesuatu yang lain (Sangidu, 2008:301; Semi, 1993: 111).

Dengan demikian, perasaan atau emosi yang terdapat dalam syair “ar-

riha>n” adalah ungkapan arti atau makna “taruhan” yaitu mengorbankan waktu dan

kesempatan yang dimiliki penyair dalam menggapai harapan dan keinginannya.

42

Makna kata “taruhan” menurut penyair bukanlah suatu pernyataan saja. Akan

tetapi, penyair mengungkapkan beberapa kata pengandaian terhadap sesuatu

sebagai bentuk perbandingan dari wujud pengorbanannya. Kata “taruhan” sendiri

merupakan isi yang menungkapkan perasaan yang sedang dirasakan oleh penyair

pada saat itu. Beberapa bentuk perasaan yang diungkapkan di antaranya sedih,

kecewa, menyesal, dan bahagia. Jadi, dalam syair tersebut perasaan yang

diungkapkan tidak hanya satu perasaan saja, akan tetapi juga perasaan penyair

yang lainnya.

c. Khaya<l (Imajinasi)

Imajinasi diharuskan terdapat ingatan sebuah pengalaman indraan objek-

objek yang disebutkan dan diterangkan dalam syair. Adapun citraan (gambaran

angan-angan) lebih mengingatkan kembali daripada membuat baru kesan pikiran,

sehingga pembaca terlibat dalam kreasi syair tersebut (Altenbern dalam Pradopo,

2014:82). Selain itu, imajinasi digunakan supaya pembaca dapat merasakan

pengalaman penyair terhadap objek dan situasi yang dialaminya. Cara yang

digunakan adalah dengan memberikan gambaran yang tepat dan akurat, segera

dapat dirasakan dan dekat dengan hidup kita sendiri (Coombes dalam Pradopo,

2014: 81).

Dengan demikian, imajinasi yang digunakan oleh penyair dalam penulisan

syair “ar-riha>n” adalah terdapat beberapa pengandaian atau penggambaran dirinya

sendiri dalam mengorbankan waktu dan kesempatan yang dimilikinya (menyia-

nyiakan waktu). Pengorbanan penyair dimetaforakan dengan segala hal yang

terdapat pada lingkungan penyair. Pengungkapan kata tersebut digunakan sesuai

dengan perasaan yang dirasakan oleh penyair. Pengungkapan tersebut dengan

43

memanfaatkan penglihatannya pada alam sekitar dan pengalaman indraan atas

objek-objek yang disebutkan pada syair “ar-riha>n” (Altenbernd dalam Pradopo,

2014:81).

d. Lughatusy-syi„ir (Bahasa Syair)

Teks syair “ar-riha>n” memiliki bentuk ungkapan kata-kata yang

mendalam dari penyair. Perwujudan dan pengandaian terhadap sesuatu yang

digunakan penyair merupakan bentuk penjelasan dari taruhannya. Selain itu,

penjelasan yang diungkapkan oleh penyair menyesuaikan dengan situasi dan

kondisi yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Adapun kalimat dalam syair

tersebut mudah untuk dipahami makna yang disampaikan oleh penyair. Lugatusy-

syi„ir (bahasa syair) yang terkandung di dalam teks syair berjudul “ar-riha>n”

yaitu:

(1) Kosa kata:

Teks syair “ar-riha>n” menggunakan kosakata yang sederhana, lazim,

mudah dipahami, namun tidak sering didengar oleh peneliti. Kosakata yang

terdapat dalam syair tersebut memiliki perbedaan penerjemahan antara bahasa

Indonesia dan bahasa Arab. Teks tersebut dalam bahasa Indonesia memiliki

arti yang lazim dipakai dalam percakapan. Namun, tidak demikian dalam

bahasa Arab yang memiliki banyak kosa kata dengan arti yang beragam. Oleh

karena itu, tidak semua kosakata Arab yang terdapat dalam syair “ar-riha>n”

sering didengar oleh peneliti, akan tetapi lazim digunakan dalam khazanah

kesusastraan Arab. Sebenarnya, penggunaan kata-kata harus tepat dan tidak

membingungkan dalam memahaminya. Adapun kata sendiri merupakan

satuan perbendaharaan kata yang mengandung aspek bentuk dan aspek isi

44

makna (Keraf, 2004: 25). Seperti salah satu kutipan yang berkaitan dengan

hal tersebut adalah sebagai berikut.

Bait ke-10

daqqa ‘ala> thari>qihi al-‘auta>da wa al-‘i>da>na „Melangkah di atas jalannya yang lurus dan semak belukar‟

Bait ke-11

wa khayyama ash-shafsha>fa wal-laimu>na wa an-nakhi>la „Dan mendirikan kemah di antara pohon lemon dan palem‟

(Sweilem, 2002: 61).

Kosakata lazim yang digunakan dapat memberikan pengaruh kepada

pembaca. Berdasarkan ungkapan dalam syair tersebut, makna dan maksud dari

penyair mudah dipahami dan dimengerti. Akan tetapi, terdapat juga kata-kata

yang sukar untuk dipahami, karena menggunakan kata kiasan dan majas (gaya

bahasa). Hal tersebut menyebabkan syair menjadi tidak jelas (absurd) dan kurang

tegas. Kejelasan dan ketegasan dari ungkapan penyair memiliki pengaruh dalam

penentuan kedudukan syair itu baligh atau tidak. Selain itu, kefasahan syair sangat

penting. Semakin syair banyak menggunakan kata-kata lazim dan mudah

dipahami oleh pembaca, maka semakin bagus pula syair tersebut. Teks syair “ar-

riha>n” terdapat banyak dhami>r yang menyebabkan kebingungan dalam

menentukan rujukannya. Kesukaran kalimat tersebut menjadi aib (kekurangan

atau cacat) yang dimiliki oleh syair dalam hal ke-fashachah-annya. Meskipun

syair tersebut memiliki cacat dalam pengungkapannya, penyair mampu

menggambarkan segala bentuk makna dan arti kata “taruhan” yang

dimaksudkannya. Hal tersebut berdasarkan asumsi dan gagasannya dalam

menggunakan pengandaian yang bagus. Sebagaimana kutipan berikut ini.

45

Bait ke-1

lau annahu ash-shada> „Seandainya gema itu‟

Bait ke-2

syaqqa 'ila> nisfaini shadrahu „Membelah dadanya menjadi dua‟

Bait ke-3

wa 'asy‘alal bicha>ra fi> ‘uyu>nihi „Dan menyalakan mata air lautan'

Bait ke-4

bilmauji muzabbadan „dengan ombak yang membuih‟

Bait ke-5

lau annahu ash-shada> „Seandainya gema itu‟

Bait ke-6

'a‘a>dahu min chaitsu ‘umrihi ibtada „Mengembalikannya pada permulaan

masa‟

Bait ke-7

lau annahu istitha>‘a an yazra‘a „Andai dia bisa menanam‟

Bait ke-8

fis-sahu>li...wal-wiha>di...mau‘idan „Di ladang... dan tanah lapang... akan

sebuah janji!‟

(Sweilem, 2002: 60-61).

46

(2) Struktur:

Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan

gaya bahasa (Keraf, 2004: 124). Kalimat seperti itulah yang dibutuhkan

dalam menuliskan sebuat bentuk karya sastra salah satunya adalah syair.

Struktur kalimat yang digunakan oleh penyair dalam syair “ar-riha>n” bebas

dari cacat bahasa dan susunan kalimatnya tidak melenceng dari kaidah

nahwu. Hal tersebut dapat memudahkan peneliti dalam menerjemahkan

kalimat tersebut dan memahami makna yang dimaksudkan oleh penyair. Pada

syair tersebut terdapat pengulangan (repetisi) pada kata maupun kalimat yang

bertujuan sebagai penegasan penyair terhadap makna. Repetisi merupakan

salah satu usaha yang dilakukan oleh penyair untuk menghasilkan

pengimajian, menciptakan sesuatu yang abstrak menjadi konkrit, dan sesuatu

yang lemah menjadi kuat dan tegas (Semi, 1993: 129). Adapun repetisi

terdapat pada kutipan berikut ini.

lau annahu ash-shada> „Seandainya gema itu‟

(Sweilem, 2002:60)

(Kalimat tersebut terdapat pada bait ke-1 dan ke- 5)

lau annahu az-zama>nu „Seandainya waktu‟

(Sweilem, 2002: 61)

(Kalimat tersebut terdapat pada bait ke-9 dan ke-13)

47

lau annahu asy-syagaf „Seandainya cinta itu‟

(Sweilem, 2002: 61-62).

(Kalimat tersebut terdapat pada bait ke-15, ke-17, dan ke-22)

(3) Kemahiran bersastra:

Kepiawaian penyair dalam menuliskan syair “ar-riha>n” yaitu terletak pada

kemahirannya. Kemahiran ketika memberikan ide dan gagasannya dalam

menggambarkan pengandaian tersebut dan mengungkapkan perasaan yang

sedang dirasakannya. Adapun keadaan lingkungan dan alam di sekitar penyair,

digunakan dalam ungkapan syairnya yang dapat mempengaruhi pembaca.

Pengaruh tersebut dapat diketahui bahwa peristiwa yang dialami penyair dapat

dialami pula oleh orang lain.

Selain itu, penyair juga menjelaskan bahwa makna “taruhan” dalam

syairnya yaitu pengorbanan waktu dan kesempatan yang tidak mewujudkan

keinginan yang diharapkannya. Adapun waktu selalu berjalan ke depan, dan

tidak akan pernah bisa kembali lagi pada waktu sebelumnya, apalagi waktu

yang terbuang sia-sia. Ungkapan pengandaian yang digunakan diciptakan

sesuai dengan pengalaman penyair. Adapun penegasan tersebut merupakan

perasaan mendalam terhadap peristiwa yang sedang dialaminya. Selain itu,

sesuatu yang pernah diiharapkan oleh penyair tidak terwujud dan hanya

menjadi sebuah khayalan saja. Sama halnya kutipan yang menunjukkan

khayalan penyair adalah sebagai berikut.

48

Bait ke-34

lau annahu! „Seandainya!’

Bait ke-35

lakin achla>ma al-khutha> fi> kulli marratin

„Akan tetapi mimpi semua hanya

mimpi‟

Bait ke-36

ta‘jizu an tudhi>'a shadrahu „Tidak mampu menerangi hatinya‟

Bait ke-37

wa ma> huwa al-'a>na- ka'ayyi marratin- „Dan inilah dia sekarang- selalu

begitu‟

Bait ke-38

yuthi>lu min waqfatihi ‘ala ath-thalal „Terus diam di atas puing-puing‟

(Sweilem, 2002: 62).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa semua ungkapan penyair dalam syair

tersebut adalah khayalan yang diinginkan oleh penyair di masa lalu terhadap

waktu yang telah disia-siakan olehnya.

e. Mu<syiqasy-Syi„ir (Rima atau Irama)

Pada teks syair ‚ar-riha>n‛ terdapat rima. Rima adalah persamaan bunyi

yang terdapat pada dua kata atau lebih. Adapun pemakaian rima dalam syair

tersebut menggunakan jenis masculine rhyme yaitu rima yang terbentuk oleh

kesamaan bunyi kata yang terdiri atas satu suku dengan kata lain juga terdiri atas

49

satu suku (Mugijatno, 2012:69, 71). Salah satu contoh dalam syair tersebut

terdapat pada bait ke-4 hingga bait ke-8 yaitu:

a

b

a

b

a

Selain itu, irama dalam syair merupakan pergantian turun naik, panjang,

pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama dibagi menjadi dua

macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya

pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah irama

yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur,

tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap (Pradopo, 2013: 41). Irama

yang dimiliki syair tidak selalu sama dengan bait-bait yang lain. Ritme dalam

syair ‚ar-riha>n‛ tidak teratur dan metrum (bachr) sama sekali tidak terdapat dalam

syair tersebut. Syair ‚ar-riha>n‛ merupakan jenis syair bebas (syi‘rul churr). Syi‘rul

churr yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah, maupun taf‘ila>t,

hanya saja terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya

sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasinya

sehingga iramanya bersifat subjektif (Husein dalam Muzakki, 2006: 53).

50

2.3 Syair Ketiga

Syair ke-3 memiliki judul “Ra‘syatun fil-Ufuq” yang bermakna “Penakut

di Cakrawala”. Judul tersebut merupakan salah satu judul utama dari antologi

syair milik Achmad Sweilem. Syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” terdapat banyak

ungkapan yang tidak sebenarnya. Selain itu, ungkapan yang digunakan oleh

penyair merupakan aplikasi dari imajinasinya terhadap segala sesuatu yang ada di

lingkungan alam sekitarnya.

Pada syair ini, penyair menggambarkan dirinya dengan “anak burung”

yang menunjukkan bahwa dia hanya bisa berlindung pada tempatnya berteduh

(rumah). Penyair merasa tidak percaya diri dan takut terhadap tantangan yang

akan dihadapinya. Ketakutan yang dialaminya pada saat itu menjadikan penyair

tidak memiliki kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang telah menjadi

tujuannya.

Syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” menceritakan bentuk kesulitan yang selalu

datang menimpa penyair, karena dia tidak memiliki kepercayaan diri. Oleh karena

itu, ketika masalah datang kepada penyair, dia tidak memiliki keberanian untuk

menghadapinya. Tidak adanya keberanian tersebut, menyebabkan hilangnya

harapan dan impiannya. Selain itu, ketakutan yang sedang dialaminya terjadi

karena tidak adanya cinta di dalam hati penyair. Adapun kebutuhan akan cinta

sangat diperlukan dalam kehidupan, karena cinta dapat membuat manusia

bersemangat hidup dan mewujudkan cita-cita (Akrom, 2008: 24).

Pada syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” merupakan bentuk penggambaran

harapan tidak terwujud yang dialami oleh penyair dan kekasihnya. Harapan dan

51

keinginan hanya menjadi sebuah harapan tanpa kenyataan (kenangan masa lalu),

karena kegagalan yang dirasakannya saat itu.

a. Al-Ma„na (ide)

Gagasan dalam syair merupakan jalan pikiran penyair dalam menciptakan

emosi yang akan ditimbulkannya melalui syair yang diciptakannya dan hasil dari

kekayaan pengalaman batin pengarang yang disampaikannya (Semi, 1993: 108).

Gagasan dan ide tersebut dapat memberikan suasana kehidupan yang dapat

mempengaruhi pembaca agar berada pada peristiwa yang dialami oleh penyair.

Bentuk penggambaran yang terdapat dalam syair tersebut adalah tidak

terwujudnya harapan penyair. Hal tersebut kemungkinan akan terjadi karena

sesuatu halangan atau barrier meskipun jalan ke arah tujuannya itu cukup jelas

(Suryabrata, 2007: 310).

Tema yang terdapat dalam syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” mengandung tiga

tema yaitu: (1) tidak adanya kepercayaan diri dan keyakinan penyair terhadap

sesuatu yang ingin dicapainya; (2) halangan dan rintangan yang dihadapi oleh

penyair; dan (3) harapan dan impian penyair yang tidak terwujud. Ketiga tema

tersebut terdapat keterkaitan dengan jalan cerita atau peristiwa yang terjadi. Selain

itu, penyair juga membiarkan semua peristiwa yang terjadi tanpa mengambil

hikmahnya. Maka semua peristiwa tersebut hanya tinggal sebagai kenangan masa

lalu.

a. ‘A>thifah (Perasaan atau Emosi)

Emosi merupakan salah satu unsur yang penting dalam penciptaan syair.

Emosi atau perasaan memiliki efek yang dapat mempengaruhi pembaca untuk

berada dalam suasana maupun keadaan yang memukau. Adapun emosi dalam

52

syair terdapat beberapa jenis perasaan yang diungkapkan, di antaranya rasa takut,

sedih, senang, marah, kecewa, dan putus asa.

Dengan demikian, emosi atau perasaan yang terdapat dalam syair

“Ra‘syatun fil-Ufuq” adalah bentuk dari rasa takut terhadap sesuatu yang akan

dihadapi oleh penyair. Rasa takut tersebuat menyebabkan penyair menjadi

seorang yang pengecut. Sebenarnya pencapaian terhadap sesuatu harus dengan

keberanian dalam menghadapi tantangan tersebut. Sebagaimana dikemukakan

bahwa “semestinya jangan sampai melemahkan kita kesulitan-kesulitan yang

mengahambat jalan kita” (Levein dalam Sa‘id, 2002: 100). Jika penyair hanya

diam dan tidak melakukan apapun hanya akan memberikan penyesalan dan

kekecewaan di kemudian hari. Penyair juga tidak mengambil pelajaran terhadap

peristiwa yang pernah dialaminya. Penyair hanya berserah diri pada takdir yang

telah ditetapkan untuk dirinya.

b. Khaya<l (Imajinasi)

Imajinasi merupakan salah satu unsur penting dalam penciptaan syair

karena berkaitan dengan masalah keindahan syair. Imajinasi adalah penataan kata

yang menyebabkan makna-makna abstrak menjadi konkrit dan cermat (Semi,

1993:124). Adanya imajinasi pengarang dapat menjadikan sebuah kata atau

bahasa yang diungkapkan dalam syair menjadi suatu khayalan, menjadi bentuk

gambaran yang nyata. Pengimajian dapat berasal dari penglihatan penyair melalui

keadaan alam ataupun keadaan lingkungan sosial penyair itu sendiri.

Imajinasi yang terdapat dalam syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” yaitu orang

dicintai oleh penyair menggunakan dengan kata farkhan „anak burung‟. Keadaan

seekor anak burung yang dapat terbang bebas ke manapun yang diinginkannya.

53

Kebebasan seekor burung menggambarkan adanya kebebasan bermimpi bagi

penyair. Adanya mimpi dan harapan yang ditanamkan penyair di dalam hati dan

pikirannya, seharusnya dapat mendorong semangat dalam dirinya untuk bekerja

keras. Selain itu, dengan dorongan tersebut juga akan menjadikannya seseorang

yang memiliki keberanian dalam menghadapi tantangan dan kesulitan yang

menimpanya.

c. Lughatusy-syi„ir (Bahasa Syair)

Lughatusy-syi„ir (bahasa syair) merupakan bentuk kata-kata yang

digunakan oleh penyair dalam membuat syair yang disebut juga dengan kata

berjiwa. Kata berjiwa memiliki makna yang sudah mengandung perwujudan rasa

dan cita penciptanya (Slametmuljana dalam Pradopo, 2008: 49). Bahasa syair

merupakan bentuk suatu tuturan atau pengungkapan yang tidak jelas dan kabur

maknanya yang biasanya dapat mengaburkan makna utuh sebuah syair, dapat pula

menghilangkan kefektivan nada dan suasana. Kejelasan makna diperlukan dengan

adanya pemilihan kata yang tepat dalam menggunakan perumpamaan serta

imajinasi penyair (Semi, 1993: 109).

Lughatusy-syi„ir (bahasa syair) yang terkandung dalam syair “Ra‘syatun

fil-Ufuq” yaitu:

(1) Kosakata:

Teks syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” diungkapkan penyair dengan

menggunakan kosakata sederhana, lazim, mudah dipahami, dan sebagian

besar kosakatanya tidak asing didengar oleh peneliti. Penerjemahan dalam

bahasa Indonesia memiliki perbedaan saat diterjemahkan dalam bahasa

Arab. Hal tersebut sangat berkaitan sekali dengan kosakata yang beda

54

pada syair tersebut. Kosakata yang digunakan mudah untuk dipahami

setelah syair tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Terjemahan dalam bentuk bahasa Indonesia menggunakan bahasa yang

lazim digunakan dan sering didengar oleh peneliti. Akan tetapi, dalam

bahasa Arab yang berkedudukan sebagai bahasa sumber dari syair

tersebut, kosakatanya tidak seluruhnya sering didengar oleh peneliti.

Kosakata dalam syair tersebut telah lazim digunakan dalam khazanah

kesusastraan Arab. Meskipun hal mengenai kosakata memiliki perbedaan

di antara bahasa sumber dan bahasa sasarannya, penyair mampu

menggambarkan imajinasinya dengan baik. Sebagaimana kutipan teks

yang terdapat dalam syair tersebut adalah berikut ini.

Bait ke-1

Mundzu an ka>na farkhan „Sejak menjadi anak burung’

Bait ke-2

Yudats-tsiruhu al-‘usy-syu... „Dia terlindung di dalam sangkar..‟.

Bait ke-3

Qadda min al-qasy-syu ahrufahu wa kasa>ha> min ath-thi>ni „Membangun tempat berlindung dari jerami dan

menutupinya dengan tanah‟

Bait ke-4

Fanthalaqat fi> al-fadha>'i mana>ran „Tiba-tiba terurailah cahaya di angkasa‟

55

Bait ke-5

Wa asy-‘alat al-ghaima na>ran „Yang menjadikan mendung bernyalakan api‟

Bait ke-6

Fa'asqathat asy-syuhuba tuchriqu ‘usyba al-jada>wili „Menjatuhkan meteor-meteor yang membakar rerumputan

tepian anak sungai‟

(Sweilem, 2002: 81).

(2) Struktur:

Struktur yang digunakan penyair dalam penciptaan syair

“Ra‘syatun fil-Ufuq” yaitu bebas dari cacat bahasa dan susunan penulisan

kalimatnya tidak melenceng dari kaidah nahwu. Hal tersebut dapat

memudahkan pembaca dalam memahami makna kalimat yang

dikehendaki oleh penyair. Kalimat-kalimat yang diungkapkan dalam syair

“Ra‘syatun fil-Ufuq” ditulis dengan urut dan tidak ada kalimat-kalimat

yang diulang-ulang. Akan tetapi, dalam syair “Ra‘syatun fil-Ufuq”

terdapat pula repetisi yang berupa kalimat. Repetisi merupakan salah satu

usaha penyair untuk menghasilkan pengimajian, untuk menciptakan

sesuatu yang abstrak menjadi konkret (nyata), serta sesuatu yang lemah

menjadi kuat dan tegas (Semi, 1993: 129).

Selain itu, enjambemen juga terdapat dalam syair “Ra‘syatun fil-

Ufuq”. Enjambemen merupakan pemotongan kalimat atau frase di akhir-

akhir larik kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya

(Semi, 1993: 142). Adanya enjambemen tersebut bertujuan untuk

memberikan tekanan dan penegasan pada bagian kalimat-kalimat tersebut.

56

Adapun salah satu kutipan adanya enjambemen dalam syair tersebut

adalah sebagai berikut.

Bait ke-16

Ka>na qad gharasa al-amsi fi> qadamaihi „Kemarin dia telah membenamkan di bawah kakinya‟

Bait ke-17

Intima>'a adh-dhulu>‘i ila> ardhihi al-mukhshibah „Rusuknya yang kekar ke dalam tanah yang

subur‟

(Sweilem, 2002: 82).

(3) Kemahiran bersastra:

Kepiawaian penyair dalam menyajikan syair “Ra‘syatun fil-Ufuq”

kepada pembaca yaitu dengan memberikan ide atau gagasannya berdasarkan

imajinasi dan perasaannya. Penggambaran pengalaman hidup yang dialami

penyair, membuat penyair untuk menuangkan segala perasaan yang sedang

dirasakannya. Pengungkapan perasaan penyair ke dalam syair tersebut

dengan menggunakan keadaan lingkungan alam yang terdapat di sekitarnya.

Selain dari perasaan penyair, syair tersebut diungkapkan berdasarkan keadaan

dari penyair sendiri. Hal tersebut disebabkan karena ketidakpercayaan

penyair terhadap kemampuan yang dimilikinya dan tidak memiliki

keberanian untuk menghadapi tantangan yang datang kepadanya. Maka dari

itu, kegagalan yang dialaminya merupakan akibat dari ketakutan yang ada di

dalam dirinya.

Adanya situasi dan kondisi tersebut, penyair mengkiaskannya

dengan “Ra‘syatun fil-Ufuq” yang bermakna „Penakut di Cakrawala‟.

57

Ungkapan tersebut merupakan penggambaran diri penyair yang tidak mampu

mencapai harapan yang telah ditanamkannya di dalam hati dan pikirannya.

Gambaran tersebut merupakan bentuk penyesalan penyair yang begitu

mendalam. Penyesalan terjadi karena penyair merasa bahwa dirinya adalah

seorang yang lemah dan pengecut sebagai seorang laki-laki, karena tidak

mampu mengalahkan ketakutan yang ada dalam dirinya. Sebagaimana

dengan kutipan berikut ini.

Bait ke-39

Yaghrisu> fi> ath-thama> aqda>mahu.. „Saat dia membenamkan kedua telapak kakinya ke dalam

lumpur...‟

Bait ke-40

Wa al-jada>wilu tunkiruhu... „Dan anak sungai pun mengingkarinya...‟

Bait ke-41

Lam ya‘ud ma>´uha> al-ma>'a „Airnya tidak lagi air yang dulu‟

Bait ke-42

wa al-usybu... ma> ‘a>da ‘usyban... „dan rumputnya pun tidak sama dengan yang dulu...‟

Bait ke-43

Fakaifa lahu an-yazhilla kama> ka>na „Lalu bagaimanakah dia akan meneduh seperti dulu‟

Bait ke-44

Farkhan yudats-tsiruhu al-‘usy-syu „Seperti anak burung yang terlindungi oleh sangkarnya‟

58

Bait ke-45

yaghrisu fi> qadamaihi intima>'a adh-dhulu>‘i „yang membenamkan rusuknya yang kekar di bawah kakinya‟

Bait ke-46

Ila> ardhihi al-mukhshibati! „Ke dalam tanah yang subur!‟

(Sweilem, 2002: 83-84).

Kutipan yang menunjukkan keadaan penyair yang tidak dapat meraih

harapan dan impiannya terletak pada delapan bait terakhir bahwa dia telah

menjadi seseorang yang tidak berguna di masa lalu. Ketakutan yang dialaminya

menyebabkan kesalahan dalam hidupnya yang tidak mampu bekerja keras dan

berusaha mencapai harapannya sendiri. Oleh karena itu, dalam syair ini

berjudulkan ra‘syatun fil-ufuq „penakut di cakrawala‟.

d. Mu<syiqasy-Syi„ir (Rima atau Irama)

Pada teks syair “Ra‘syatun fil-Ufuq” memiliki rima berupa kesamaan

bunyi akhir. Terdapat ketidaksamaan bunyi di setiap dua bait atau lebih. Terdapat

beberapa persamaan bunyi di akhir bait yaitu sebagai berikut.

Bait ke-3

Fanthalaqat fi> al-fadha>'i mana>ran „Tiba-tiba terurailah cahaya di angkasa‟

Bait ke-4

Wa asy-‘alat al-ghaima na>ran „Yang menjadikan mendung bernyalakan

api‟

(Sweilem, 2002: 81)

59

Irama juga terdapat dalam syair “Ra‘syatun fil-Ufuq”,yaitu merupakan

penyesuaian bentuk pembacaan syair dengan panjang pendeknya suara. Hal

tersebut disebabkan adanya penekanan ataupun nada tegas dari pembaca terhadap

suatu kalimat. Irama oleh penulis disepadankan dengan metrum yang merupakan

bagian dari irama itu sendiri. Adapun kutipan menurut penelitian ini terdapat

irama dalam syair tersebut adalah sebagai berikut.

Bait ke-9

Lakinna ‘ashfa ar-riyachi istaba>cha khutha>hu „Namun badai membinasakan langkahnya‟

Bait ke-10

Fasyaqqaqa chilma ath-thufu>lathi „Hancurlah impian kanak-kanak‟

Bait ke-11

Lam yabqa minhu siwa> ra‘syatin fil-ufuqi „Tak ada yang tersisa selain getaran di ufuk‟

Bait ke-12

‘a>riyan yaqifu al-'a>na... la> syamsa tudfi'u>hu „Dia berdiri telanjang kini... tanpa matahari yang

menghangatkannya‟

Bait ke-13

Bait ke-14

La> tawaqquda fi> al-qalbi yusy‘iluhu „Tanpa hati yang menyalakan api‟

Ghaimatu an-na>ri kha>midah „Cahaya telah padam‟

Bait ke-15

Wa huwa ya'ba> ar-rachi>la... „Dan dia tidak peduli dengan apa yang telah berlalu...‟

(Sweilem, 2002: 82).

60

Selain itu, penjelasan tentang pola tertentu yang ada dalam syair tidak

terlihat dengan jelas, karena dalam arudl jenis syi‘rul chu>r tidak terkait dengan

adanya wazan maupun qafiyah. Oleh karena itu, setiap bait pada syair tidak

memiliki bachr. Syair jenis seperti itu merupakan salah satu jenis syi‘rul chu>r,

yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah, maupun taf‘ila>t akan

tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya

sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasinya

sehingga iramanya bersifat subjektif (Husein dalam Muzakki, 2006: 53).