48
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam dan sangat luas, mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara progresif, dan pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal tahap akhir (terminal) (1). Hampir 8 juta orang (4% dari populasi dewasa AS) menderita PGK sedang sampai berat, dan 450.000 lainnya menderita penyakit ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease/ESRD). Angka tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, prevalensi diabetes, dan hipertensi. Populasi ESRD diperkirakan akan meningkat paling tidak 600.000 sampai dengan 2015 (2,3). Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia, diperkirakan insidensi dan prevalensi PGK masing-masing berkisar 100-150/juta penduduk dan 200-250/juta penduduk (4). Sementara itu, 1

BAB I-VI Dapus Berubah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fgdfgfdgfdgdfgfdg

Citation preview

Page 1: BAB I-VI Dapus Berubah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan

etiologi yang beragam dan sangat luas, mengakibatkan terjadinya penurunan

fungsi ginjal yang terjadi secara progresif, dan pada umumnya akan berakhir

dengan gagal ginjal tahap akhir (terminal) (1). Hampir 8 juta orang (4% dari

populasi dewasa AS) menderita PGK sedang sampai berat, dan 450.000 lainnya

menderita penyakit ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease/ESRD). Angka

tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia,

prevalensi diabetes, dan hipertensi. Populasi ESRD diperkirakan akan meningkat

paling tidak 600.000 sampai dengan 2015 (2,3). Dari data di beberapa pusat

nefrologi di Indonesia, diperkirakan insidensi dan prevalensi PGK masing-masing

berkisar 100-150/juta penduduk dan 200-250/juta penduduk (4). Sementara itu,

berdasarkan rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin, jumlah

kunjungan pasien PGK yang sudah mencapai tahap ESRD yang ditangani di Unit

Hemodialisis pada tahun 2009 sebanyak 462 orang.

Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih

serius, dan pasien sudah memerlukan terapi penggantian ginjal (renal replacement

therapy), antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien

dikatakan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) (1). Berkurangnya fungsi ginjal

dihubungkan dengan banyak komplikasi, seperti hipertensi, anemia, gagal

1

Page 2: BAB I-VI Dapus Berubah

2

jantung, asidosis metabolik, malnutrisi, penyakit tulang, berkurangnya kualitas

hidup, bahkan meninggal. Komplikasi PGK muncul paling banyak pada stadium 4

atau 5. Diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menilai prognosis dari PGK

(1,5).

Pemeriksaan untuk menilai fungsi ginjal sangat beragam, seperti perkiraan

Glomerular Filtration Rate (GFR), pemeriksaan hemoglobin (Hb), proteinuria,

dan tekanan darah (6). Berdasarkan penelitian Daniel, dalam mengidentifikasi

pasien PGK, hal yang paling penting adalah memperkirakan GFR dengan akurat.

Standar klinik saat ini menganjurkan perkiraan GFR dengan menggunakan

persamaan kreatinin serum (3). Menurut Lesley et al, perkiraan GFR merupakan

penilaian secara keseluruhan yang terbaik dalam menentukan tingkat fungsi ginjal

(5). Menurut Levey et al, penurunan GFR pada usia lanjut merupakan prediktor

independen dalam menentukan komplikasi, seperti kematian dan penyakit

kardiovaskular. Hal ini disebabkan oleh prevalensi PGK yang meningkat seiring

bertambahnya usia, kira-kira 17% dari pasien yang berusia lebih dari 60 tahun

memiliki GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 (2). Namun, terdapat masalah

keakuratan dari formula yang digunakan untuk memperkirakan GFR, yaitu

populasi dan etnik yang beragam dengan perbedaan ukuran tubuh dan massa otot.

Masalah lainnya adalah perbedaan pengukuran kadar kreatinin serum di

laboratorium klinik, padahal penghitungan GFR diperkirakan dari hasil

pengukuran tersebut (7). Selain itu, pengukuran GFR ini memerlukan banyak

waktu, mahal (8).

2

Page 3: BAB I-VI Dapus Berubah

3

Salah satu pemeriksaan penting lainnya untuk menilai fungsi ginjal adalah

pemeriksaan kadar Hb. Ginjal yang normal memproduksi hormon yang disebut

eritropoietin, yang dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi jumlah

sel darah merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ

vital. Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir selalu mengalami penurunan

Hb di bawah kadar normal. Penyebab paling penting dari hal ini adalah

berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal. Jika ginjal mengalami kerusakan berat,

ginjal tidak mampu membentuk eritropoietin dalam jumlah yang cukup, sehingga

mengakibatkan penurunan produksi sel darah merah dan menimbulkan penurunan

Hb (9,10). Beberapa studi menunjukkan hubungan antara konsentrasi Hb dan

fungsi ginjal (11). Pemeriksaan hemoglobin relatif murah dan tersedia secara luas

di Puskesmas, sehingga baik diterapkan untuk menjadi pemeriksaan dalam

menilai fungsi ginjal.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mencari korelasi antara hasil

pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR tersebut. Penelitian mengenai hal

ini belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUD Ulin Banjaramasin. Penelitian

akan dilakukan di Instalasi Hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin karena rumah

sakit tersebut merupakan pusat rujukan pasien penyakit ginjal dari seluruh

wilayah Kalimantan Selatan. Instalasi Hemodialisis umumnya menangani pasien

penyakit ginjal yang sudah berada pada tahap akhir (ESRD).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dikemukakan permasalahan, yaitu:

Apakah terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai

3

Page 4: BAB I-VI Dapus Berubah

4

GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di

RSUD Ulin Banjarmasin?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara hasil

pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal

ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengukur kadar hemoglobin,

menghitung nilai GFR, dan mencari korelasi keduanya dalam menilai prognosis

gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memprediksi prognosis gagal ginjal terminal

dengan menggunakan pemeriksaan kadar hemoglobin, sehingga dapat mencegah

komplikasi, prognosis yang buruk, dan secara tidak langsung akan mengurangi

angka kematian akibat gagal ginjal terminal. Oleh karena itu, penelitian ini akan

bermanfaat untuk masyarakat dan pengembangan ilmu kedokteran.

4

Page 5: BAB I-VI Dapus Berubah

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik dan Gagal Ginjal Terminal

Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) memperkenalkan

sebuah petunjuk standar untuk diagnosis, definisi dan klasifikasi PGK. Definisi

PGK adalah kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, yang ditandai dengan

abnormalitas struktur dan fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR, atau

GFR < 60 ml/menit/1,73 m² luas permukaan tubuh lebih dari tiga bulan dengan

atau tanpa kerusakan ginjal (12,13). Suatu keadaan dimana faal ginjal yang masih

tersisa sudah minimal sehingga usaha pengobatan konservatif yang berupa diet,

pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang

diharapkan lagi disebut gagal ginjal terminal (GGT) atau end-stage renal disease

(ESRD) (14). Klasifikasi PGK menurut NKF adalah seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 2.1.

5

Page 6: BAB I-VI Dapus Berubah

6

Tabel 2.1. Klasifikasi PGK dan rencana tatalaksana sesuai dengan stadiumnya (1,15)

Stadium PGK

DeskripsiGFR

(ml/menit/1,73m2)Rencana Tatalaksana

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat

>90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid*, evaluasi progresivitas fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan

60-89 Menghambat progresivitas

3 Penurunan GFR sedang

30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 Penurunan GFR berat

15-29 Persiapan untuk terapi penggantian ginjal

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis Terapi penggantian ginjal jika uremia

Keterangan:* Kondisi komorbid seperti gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol,

infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

PGK merupakan masalah kesehatan utama di Amerika Serikat.

Prevalensi gagal ginjal meningkat secara permanen sejak ditemukannnya

penyakit ini oleh Medicare pada tahun 1973 (16). Menurut penelitian Daniel,

insidensi dan prevalensi meningkat dari semua stadium penyakit ginjal, termasuk

gagal ginjal. Hampir 8 juta orang (4% dari populasi dewasa AS) menderita PGK

sedang sampai berat, dan 450.000 lainnya menderita penyakit ginjal stadium akhir

(ESRD). Angka tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan

bertambahnya usia, prevalensi diabetes, dan hipertensi. Populasi ESRD

diperkirakan akan meningkat paling tidak 600.000 sampai dengan 2015 (3). Di

Singapura, negara Asia Selatan-Timur, prevalensi PGK dilaporkan 10,1% (5,17).

6

Page 7: BAB I-VI Dapus Berubah

7

Berdasarkan data di beberapa pusat nefrologi Indonesia diperkirakan

insidensi dan prevalensi PGK masing-masing berkisar 100-150/juta penduduk dan

200-250/juta penduduk (4). Namun menurut Widiana, di Indonesia sendiri belum

memiliki sistem register yang lengkap di bidang penyakit ginjal, diperkirakan

terdapat 100 per sejuta penduduk atau sekitar 20.000 kasus baru dalam setahun.

Selain itu mahalnya tindakan hemodialisis masih merupakan masalah besar dan di

luar jangkauan sistem kesehatan (18).

Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang

lebih sama. Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal

(renal reserve), dimana GFR basal masih normal atau malah meningkat.

Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai GFR 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi

sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai GFR 30%,

mulai terjadi keluhan pada pasien, seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu

makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai di bawah 30%, pasien

memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan

tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah

dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi, seperti infeksi saluran kemih,

infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan

keseimbangan air seperti hipo- atau hipervolemia, gangguan keseimbangan

elektrolit, antara lain natrium dan kalium. Pada GFR di bawah 15% akan terjadi

7

Page 8: BAB I-VI Dapus Berubah

8

gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi

pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialisis atau transplantasi

ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD)

(1).

Pada ESRD, pasien mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah,

karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan

elektrolit dalam tubuh (19). Gejala-gejala klinis yang serius sering tidak muncul

sampai jumlah nefron fungsional berkurang sedikitnya 70% di bawah normal (9).

Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan

dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun PGK terus berlanjut, namun

jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan

homeostasis tidak berubah, walaupun jumlah nefron yang bertugas melakukan

fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan

oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk

melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi,

beban zat terlarut dan reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron, meskipun GFR

untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai

normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat

rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka

kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi

sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan

8

Page 9: BAB I-VI Dapus Berubah

9

filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan.

Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun konservasi zat terlarut dan air

menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah

keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti

makin sedikit nefron yang ada), semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per

nefron (19).

Faktor risiko PGK antara lain adalah hipertensi atau penyakit

kardiovaskular, diabetes mellitus, usia di atas 60 tahun, riwayat penyakit ginjal di

keluarga, infeksi saluran kemih yang berulang, terpapar obat-obatan Nonsteroidal

anti-inflamatory drugs (NSAID), antibiotik, dan agen kimia lainnya (20).

PGK mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai

dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi (1), seperti ditunjukkan pada

Tabel 2.2.

9

Page 10: BAB I-VI Dapus Berubah

10

Tabel 2.2. Komplikasi PGK (1)

Derajat PenjelasanGFR

(ml/menit)Komplikasi

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal

> 90-

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR yang ringan

60-89Tekanan darah mulai meningkat

3 Penurunan GFR sedang 30-59 Hiperfosfatemia      Hipokalemia      Anemia      Hiperparatiroid      Hipertensi      Hiperhomosistinemia4 Penurunan GFR berat 15-29 Malnutrisi      Asidosis metabolic 

  

Cenderung hiperkalemia

      Dislipidemia5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung

      Uremia

B. GFR

GFR didefinisikan sebagai kecepatan munculnya filtrat glomerulus dari

filtrasi darah di glomerulus (19). GFR relatif konstan dan memberi indikasi kuat

mengenai fungsi ginjal (21). Nilai GFR yang tinggi bermanfaat untuk membuat

ginjal mampu menyingkirkan produk sisa dari tubuh dengan cepat, yang terutama

bergantung pada filtrasi glomerulus untuk eksresinya. Nilai normal GFR kira-kira

130 ml/menit/1,73m² pada pria muda dan 120 ml/menit/1,73m² pada wanita muda

(5). Kebanyakan produk sisa tersebut direabsorbsi sedikit oleh tubulus, oleh

10

Page 11: BAB I-VI Dapus Berubah

11

karena itu bergantung pada GFR yang tinggi untuk penyingkiran yang efektif

pada tubuh (9).

Faktor yang mempengaruhi GFR antara lain adalah (21):

1. Tekanan kapiler

Tekanan kapiler bergantung pada tekanan arteri rerata. Peningkatan tekanan

arteri rerata meningkatkan tekanan kapiler, sehingga cenderung terjadi

peningkatan filtrasi glomerulus, dan sebaliknya.

2. Tekanan cairan interstisium

Tekanan cairan interstisium di kapsula Bowman dan tubulus di sekitarnya

dapat meningkat secara drastis apabila glomerulus rusak. Peningkatan tekanan

cairan interstisium menahan filtrasi glomerulus lebih lanjut. Dengan

berkurangnya filtrasi glomerulus, maka volume darah dan komposisi elektrolit

tidak dapat diatur.

3. Tekanan osmotik koloid plasma

Tekanan osmotik koloid plasma bergantung pada konsentrasi protein plasma.

Kadar protein plasma dapat menurun akibat penyakit hati, pengeluaran protein

melalui urin, atau malnutrisi protein. Tekanan osmotik koloid plasma

merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya reabsorbsi cairan kembali

ke kapiler.

4. Tekanan osmotik koloid cairan interstisium

Tekanan osmotik koloid cairan interstisium rendah karena hanya sedikit

protein plasma atau sel darah merah dapat menembus glomerulus. Pada cedera

glomerulus, tekanan osmotik koloid cairan interstisium dapat meningkat.

11

Page 12: BAB I-VI Dapus Berubah

12

Apabila tekanan osmotik koloid cairan interstisium meningkat, maka cairan

akan tertarik keluar glomerulus, sehingga terjadi pembengkakan dan edema di

ruang yang mengelilingi tubulus, sehingga dapat mengganggu filtrasi

glomerulus lebih lanjut.

Menurut Amira, terdapat beberapa cara yang digunakan para klinisi untuk

menilai GFR, yaitu (22):

1. Kreatinin serum

Kreatinin adalah metabolit dari kreatinin fosfat yang ditemukan di otot skelet.

Produksinya dipengaruhi oleh massa otot dan diet protein. Kreatinin bebas

difiltrasi di glomerulus dan juga mengalami sekresi di tubulus, nilainya

beragam di setiap individu tergantung dari tingkat fungsi ginjal. Nilai normal

kreatinin serum 0,6-1,2 mg/dl.

2. Bersihan inulin

Inulin merupakan polimer fruktosa yang memilki berat molekul 5200 dalton.

Inulin bebas difiltrasi, tidak direabsorbsi dan disekresi di tubulus, akan tetapi

harus dieliminasi dari ginjal. Oleh karena itu, bersihan inulin merupakan

standar baku emas dalam menilai GFR. Akan tetapi, adanya prosedur yang

sangat menyulitkan dan mahal membuat cara ini jarang digunakan oleh klinisi.

3. Bersihan kreatinin endogen

Bersihan kreatinin membutuhkan urin 24 jam yang dikumpulkan, yang cukup

sulit untuk dilakukan. Sumber kesalahan dari pengukuran ini adalah proses

pengumpulan urin, yaitu memulai mengumpulkan urin pasien di saat kandung

12

Page 13: BAB I-VI Dapus Berubah

13

kemihnya kosong dan mencatat waktu dimulainya pengumpulan urin selama

24 jam.

4. Plasma cystatin C

Cystatin C merupakan penanda baru dalam menilai GFR yang sensitif yang

lebih akurat dari pengukuran lainnya. Cystatin C adalah protein yang berat

molekulnya rendah, diproduksi di seluruh inti sel dan relatif konstan. Kondisi

peradangan, perubahan diet, dan status volume tidak mempengaruhi penanda

ini. Cystatin C dieliminasi dari tubuh melalui filtrasi glomerulus dan tidak

disekresi di tubulus. Akan tetapi, pemeriksaan ini sangat mahal dan belum

tersedia secara luas, sehingga hanya sebagian kecil klinisi yang menggunakan

cara ini untuk menilai GFR.

5. Formula perkiraan

Persamaan Cockcroft–Gault dapat digunakan untuk memperkirakan GFR pada

orang dewasa. Rasio filtrasi glomerulus dapat diperkirakan dari kadar kreatinin

serum dengan menggunakan persamaan yang juga mempertimbangkan usia,

berat badan, jenis kelamin, dan kreatinin plasma (2).

Persamaan Formula Cockroft-Gault adalah sebagai berikut (1):

GFR (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan (pria)

72 x kreatinin plasma

GFR (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan x 0,85 (wanita)

72 x kreatinin plasma

Berdasarkan penelitian Daniel, dalam mengidentifikasi pasien PGK, hal

yang paling penting adalah memperkirakan GFR dengan akurat. Standar klinik

13

Page 14: BAB I-VI Dapus Berubah

14

saat ini menganjurkan perkiraan GFR dengan menggunakan persamaan kreatinin

serum (3). Menurut Lesley et al, perkiraan GFR merupakan penilaian secara

keseluruhan yang terbaik dalam menentukan tingkat fungsi ginjal, karena

kerusakan/pemburukan ginjal seiring dengan penurunan GFR (5). Namun,

terdapat masalah pada keakuratan formula yang digunakan untuk memperkirakan

GFR, yaitu dalam hal populasi dan etnik yang beragam dengan perbedaan ukuran

tubuh dan massa otot. Masalah lainnya adalah perbedaan pengukuran kadar

kreatinin serum di laboratorium klinik, padahal penghitungan GFR diperkirakan

dari hasil pengukuran tersebut (7).

C. Kadar Hemoglobin

Hemoglobin (Hb) adalah molekul protein dalam sel darah merah yang

membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan kembali membawa

karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Hb memiliki kapasitas mengikat

oksigen antara 1,36 sampai 1,37 ml oksigen per gram Hb (9).

Ginjal yang normal memproduksi hormon yang disebut eritropoietin (EPO),

yang dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi jumlah sel darah

merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ vital.

Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir selalu mengalami penurunan Hb di

bawah normal. Penyebab paling penting dari hal ini adalah berkurangnya sekresi

eritropoietin ginjal. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal tidak mampu

membentuk eritropoietin dalam jumlah yang cukup, sehingga mengakibatkan

penurunan produksi sel darah merah dan menimbulkan penurunan kadar Hb di

bawah normal (9,10).

14

Page 15: BAB I-VI Dapus Berubah

15

Hemoglobin merupakan molekul protein dalam sel darah merah yang

membawa oksigen, sehingga penurunan kadar Hb di bawah normal akan

mengakibatkan berkurangnya jumlah oksigen yang dibawa oleh sel darah merah.

Padahal ginjal menerima aliran darah per unit massa yang lebih tinggi

dibandingkan organ tubuh yang lain. Fraksi oksigen yang diekstraksi oleh

seluruh organ tubuh relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan ginjal, akan

tetapi ginjal sangat sensitif dengan keadaan hipoksia. Hal ini berhubungan

dengan tingginya kadar konsumsi oksigen lokal oleh sel epitel tubulus dan

vaskuler ginjal. Kerusakan ginjal yang sudah mencapai batas adaptasinya akan

berlanjut secara konsisten dan tidak dapat diperbaiki kembali (23).

Menurut World Health Organization (WHO), penurunan Hb di bawah

normal didefinisikan sebagai kadar Hb < 13,0 g/dl untuk laki-laki dan wanita

pasca menopause, <12,0 g/dl untuk wanita lainnya. Pada pasien yang menerima

hemodialisis, direkomendasikan nilai target Hb untuk wanita >11 g/dl dan pria >

12 g/dl (11,24,25).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar Hb antara lain adalah (26):

1. Faktor penggunaan obat, meliputi pengobatan dengan preparat zat besi untuk

memicu pembentukan Hb, pengobatan Erythropoiesis Stimulating Agents

(ESA), angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan penghambat

reseptor angiotensin untuk pengobatan penyakit kardiovaskular, serta

kemoterapi pada pasien PGK dengan kanker.

2. Faktor yang berhubungan dengan status demografi dan sosial ekonomi pasien,

dan penyakit lain meliputi usia, jenis kelamin, ras, status demografik dan

15

Page 16: BAB I-VI Dapus Berubah

16

ekonomi lainnya, penyakit kronis yang diderita seperti HIV, TBC, kondisi

kesakitan yang sudah ada, seperti diabetes mellitus dan penyakit

kardiovaskular, tipe penyakit ginjal dan stadium PGK, hiperparatiroid,

penyakit hematologi yang terjadi bersama-sama dengan PGK, seperti anemia

sel sabit, defisiensi zat besi, kehilangan zat besi akibat dari perdarahan

gastrointestinal, kehilangan zat besi yang dihubungkan dengan terapi

hemodialisis, dan seringnya pengambilan darah untuk kepentingan

pemeriksaan.

16

Page 17: BAB I-VI Dapus Berubah

17

BAB III

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, yang

ditandai dengan abnormalitas struktur dan fungsi ginjal, dengan atau tanpa

penurunan GFR, atau GFR < 60 ml/menit/1,73 m² luas permukaan tubuh lebih

dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (12,13). Suatu keadaan dimana

faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha pengobatan

konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-lain tidak

memberi pertolongan yang diharapkan lagi disebut gagal ginjal terminal (GGT)

atau end-stage renal disease (ESRD) (14).

GFR relatif konstan dan memberi indikasi kuat mengenai fungsi ginjal (21).

Nilai GFR yang tinggi bermanfaat untuk membuat ginjal mampu menyingkirkan

produk sisa dari tubuh dengan cepat, yang terutama bergantung pada filtrasi

glomerulus untuk ekskresinya (9). Menurut Lesley et al, perkiraan GFR

merupakan penilaian secara keseluruhan yang terbaik dalam menentukan tingkat

fungsi ginjal karena kerusakan/pemburukan ginjal seiring dengan penurunan GFR

(5). Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan/penurunan GFR adalah

tekanan kapiler, tekanan cairan interstisium, tekanan osmotik koloid plasma, dan

tekanan osmotik koloid cairan interstisium (21).

Hemoglobin (Hb) merupakan molekul protein dalam sel darah merah yang

membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan kembali membawa

17

Page 18: BAB I-VI Dapus Berubah

18

karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru (9). Ginjal yang normal memproduksi

hormon yang disebut eritropoietin (EPO), yang dapat merangsang sumsum tulang

untuk memproduksi jumlah sel darah merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk

membawa oksigen ke organ vital. Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir

selalu mengalami penurunan Hb di bawah normal. Penyebab paling penting dari

hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal (9,10). Beberapa studi

menunjukkan terdapat hubungan antara konsentrasi Hb dan fungsi ginjal (11).

Dari uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep seperti pada Gambar 3.1.

Keterangan : = menginduksi, = diduga, * variabel yang diteliti

Gambar 3.1 Skema kerangka konsep penelitian korelasi antara kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis GGT pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin periode Juli 2010

18

Penurunan GFR*

Fungsi ginjal terganggu

Produksi hormon eritropoietin menurun

Rangsangan produksi sel darah merah di sumsum tulang menurun

Penurunan kadar hemoglobin*

Filtrasi glomerulus menurun

Ginjal rusak

Gagal Ginjal Terminal

PGK

Page 19: BAB I-VI Dapus Berubah

19

B. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan

kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal

pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.

19

Page 20: BAB I-VI Dapus Berubah

20

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan

cross-sectional.

B. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah pasien gagal ginjal terminal yang

dihemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin selama kurun waktu bulan Juli 2010.

Proses pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling.

Pada penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan adalah 30 orang. Kriteria

inklusi pasien adalah pasien yang tidak sedang menderita penyakit hematologi

lain seperti leukemia, tidak sedang menderita penyakit kronis seperti HIV dan

TBC, tidak sedang menderita penyakit keganasan, dan tidak sedang mendapatkan

pengobatan kemoterapi pada pasien PGK dengan kanker (24).

C. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan pada pemeriksaan kadar hemoglobin adalah darah

vena, kapas, alkohol 70%, reagen (Stromotolyser-FB, Stromotolyser-4DL,

Stromotolyser-4D5, Sulfulyser-SL5). Bahan yang digunakan pada pemeriksaan

kadar kreatinin serum adalah darah serum bebas hemolisis, reagen AMP, kapas,

alkohol 70%.

20

Page 21: BAB I-VI Dapus Berubah

21

2. Alat penelitian

Alat yang digunakan pada pemeriksaan kadar hemoglobin adalah

seperangkat Sysmex® XT 1800i, tabung EDTA, spuit injeksi 3 cc, sarung tangan,

masker, torniket. Alat yang digunakan pada pemeriksaan kadar kreatinin serum

adalah Express Plus (Bayer®), spuit injeksi 3 cc, tabung reaksi, cup serum, kuvet,

tempat pembuangan kuvet, centrifuge, clinipette dan tips, sarung tangan, masker,

torniket.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar hemoglobin pasien

hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.

2. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah nilai GFR pasien hemodialisis di

RSUD Ulin Banjarmasin.

3. Variabel pengganggu

a. Subyek penelitian (pasien hemodialisis)

1) Asupan makanan dan minuman.

2) Pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan preparat zat besi untuk

memicu pembentukan Hb.

3) Usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi.

4) Kondisi kesakitan yang sudah ada, seperti diabetes mellitus dan penyakit

kardiovaskular.

5) Hiperparatiroid.

21

Page 22: BAB I-VI Dapus Berubah

22

6) Kehilangan zat besi akibat dari perdarahan gastrointestinal

7) Tidak sedang mendapatkan pengobatan angiotensin converting enzyme

inhibitor (ACEI) dan penghambat reseptor angiotensin untuk pengobatan

penyakit kardiovaskular

8) Tidak sedang mendapatkan pengobatan Erythropoiesis Stimulating Agents

(ESA)

Semua variabel pengganggu yang berasal dari subjek penelitian tidak dapat

dikendalikan.

b. Bahan penelitian

Kualitas bahan penelitian dikendalikan dengan memperoleh bahan

penelitian yang masih baru dan belum kadaluwarsa.

c. Alat penelitian

Variabel laboratorium berupa standarisasi alat, dikendalikan dengan

melakukan pengkalibrasian alat sebelum melakukan penelitian.

E. Definisi Operasional

1. Kadar hemoglobin merupakan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dengan

menggunakan Sysmex® XT 1800i, dinyatakan dalam mg/dL. Darah yang

digunakan adalah darah vena yang diambil di lengan pasien pada fossa kubiti

dan diberi EDTA.

2. Nilai GFR adalah kecepatan filtrasi glomerulus yang dihitung dengan

menggunakan rumus Persamaan Cockcroft–Gault.

Persamaan Formula Cockroft-Gault adalah sebagai berikut (1):

22

Page 23: BAB I-VI Dapus Berubah

23

GFR (ml/min/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan (pria)

72 x kreatinin plasma

GFR (ml/min/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan x 0,85 (wanita)

72 x kreatinin plasma

3. Kadar kreatinin adalah hasil pemeriksaan kadar kreatinin dengan

menggunakan metode analisis kimia. Darah yang digunakan adalah darah

vena yang diambil di lengan pasien dan disentrifugasi sehingga menghasilkan

serum. Serum tersebut yang digunakan untuk dianalisis.

4. Pasien hemodialisis adalah pasien yang sedang menjalani hemodialisis di

RSUD Ulin Banjarmasin oleh karena penyakit ginjal kronik stadium akhir

yang diderita.

F. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah prosedur penelitian adalah sebagai berikut:

1. Pengambilan sampel

Pengambilan darah vena dilakukan di lengan pasien pada fossa kubiti.

Darah diambil pada saat sebelum dilakukan hemodialisis (pre hemodialisis)

pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan dengan cara mencelupkan 1 ml

darah dengan EDTA ke dalam Sysmex® XT 1800i (reagen telah tercampur

secara otomatis dengan Sysmex® XT 1880i). Kemudian dibaca hasilnya dengan

melihat monitor komputer yang telah disambungkan dengan Sysmex® XT 1800i.

23

Page 24: BAB I-VI Dapus Berubah

24

Pemeriksaan kadar kreatinin dilakukan dengan cara memasukkan serum

darah bebas hemolisis ke dalam alat Express Plus (Bayer®) (reagen telah

tercampur secara otomatis dengan alat Express Plus (Bayer®)). Kemudian dibaca

hasilnya dengan melihat monitor komputer yang telah disambungkan dengan alat

Express Plus (Bayer®). Cara pembuatan serum darah bebas hemolisis adalah

darah vena yang didapatkan tanpa EDTA dari pasien disentrifugasi selama 5-10

menit pada 3.000 rpm.

G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Darah yang sudah diambil selanjutnya dikirim ke Laboratorium Patologi

Klinik RSUD Ulin Banjarmasin untuk dilakukan pemeriksaan kadar Hb dan

kreatinin serum. Hasil pemeriksaan kreatinin serum dimasukkan ke dalam rumus

Cockcroft–Gault untuk menghitung nilai GFR.

H. Cara Analisis Data

Data hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR diperoleh

ditampilkan dalam tabel dan grafik. Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji

normalitas, yaitu dengan uji Saphiro-Wilk. Data yang telah terdistribusi secara

normal diuji korelasinya dengan menggunakan regresi linear sederhana untuk

mencari korelasi antara kadar hemoglobin dan nilai GFR.

I. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 di Bagian Hemodialisis RSUD

Ulin Banjarmasin dan Laboratorium Patologi Klinik RSUD Ulin Banjarmasin.

24

Page 25: BAB I-VI Dapus Berubah

25

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara hasil pemeriksaan

kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal

pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juli 2010. Jumlah

sampel yang digunakan untuk penelitian ini sebanyak 30 pasien hemodialisis.

Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil seperti ditunjukkan pada Gambar

5.1.

Gambar 5.1 Grafik korelasi antara kadar hemoglobin dan nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin periode Juli 2010

25

Page 26: BAB I-VI Dapus Berubah

26

Berdasarkan Gambar 5.1, nampak bahwa kadar hemoglobin tertinggi dan

terendah berturut-turut adalah 12,7 mg/dl dan 5,6 mg/dl, sedangkan nilai GFR

tertinggi dan terendah berturut-turut adalah 8,89 ml/menit/1,73 m2 dan 2,29

ml/menit/1,73 m2. Rerata kadar hemoglobin dan nilai GFR pada pasien

hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin berturut-turut adalah 9,16 mg/dl dan

6,01 ml/menit/1,73 m2. Selain itu dapat dilihat juga bahwa terdapat korelasi yang

lemah antara kadar hemoglobin dan nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD

Ulin Banjarmasin.

Data yang didapatkan diuji normalitasnya untuk mengetahui kenormalan

sebaran data. Uji normalitas yang digunakan adalah uji Saphiro-Wilk. Sebaran

data dikatakan normal jika nilai p > 0,05. Dari hasil uji normalitas (Lampiran 3),

didapatkan nilai p untuk kadar hemoglobin dan nilai GFR masing-masing adalah

0,928 dan 0,315. Hal ini menunjukkan bahwa data kadar hemoglobin dan nilai

GFR terdistribusi normal.

Data kemudian dianalisis menggunakan uji regresi linear (Lampiran 4).

Analisis memberikan persamaan linear yaitu GFR = 6,218 - (0,023 x kadar

hemoglobin). Kualitas persamaan tersebut dapat dilihat dari nilai p, dimana pada

penelitian ini nilai p = 0,912 (p > 0,05), sehingga persamaan tersebut tidak dapat

digunakan untuk memprediksi nilai GFR, karena tidak memenuhi syarat dari nilai

p yang diinginkan (p < 0,05). Selain itu kualitas persamaan regresi linear juga

dapat dinilai dengan nilai Adjusted R Square. Jika nilai Adjusted R Square

mendekati 100%, maka persamaan tersebut semakin baik untuk memprediksi nilai

GFR. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan nilai Adjusted R Square = -0,035 (-

26

Page 27: BAB I-VI Dapus Berubah

27

3,5%). Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar hemoglobin hanya dapat

memprediksi sebesar 3,5% untuk nilai GFR, sedangkan 96,5% lainnya dijelaskan

oleh variabel lain yang tidak diteliti oleh peneliti.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, didapat kesimpulan bahwa

terdapat korelasi yang lemah dan tidak bermakna antara hasil pemeriksaan kadar

hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada

pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin, sehingga kadar hemoglobin tidak

bisa digunakan untuk memprediksi nilai GFR pada pasien gagal ginjal terminal

pada penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini sudah sesuai

dengan hipotesis yang ada yaitu terdapat korelasi, walaupun korelasinya lemah

dan tidak bermakna, antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR

dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD

Ulin Banjarmasin.

Hipotesis penelitian ini didasarkan pada sebuah teori yaitu ginjal yang

normal memproduksi hormon yang disebut eritropoietin (EPO), yang dapat

merangsang sumsum tulang untuk memproduksi jumlah sel darah merah dengan

tepat yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ vital. Pasien yang

menjadi subyek penelitian ini, yaitu pasien dengan PGK stadium 4 dan 5, hampir

selalu mengalami penurunan Hb di bawah normal. Penyebab paling penting dari

hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal. Jika ginjal mengalami

kerusakan berat, ginjal tidak mampu membentuk eritropoietin dalam jumlah yang

cukup, sehingga mengakibatkan penurunan produksi sel darah merah dan

menimbulkan penurunan kadar Hb di bawah normal (9,10). Hal ini didukung oleh

27

Page 28: BAB I-VI Dapus Berubah

28

penelitian O’Mara yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara

konsentrasi Hb dan fungsi ginjal (11).

Kadar hemoglobin di bawah normal pada pasien gagal ginjal terminal

memiliki keeratan hubungan dengan komplikasi yang berat. Hal ini didukung oleh

penelitian Phrommintikul et al., yang menjelaskan bahwa rendahnya kadar

hemoglobin pada pasien PGK memiliki hubungan dengan menurunnya energi,

kecerdasan, kapasitas olahraga, kualitas hidup, dan meningkatnya risiko kematian

(27). Rendahnya konsentrasi hemoglobin pada pasien diabetes tipe 2 tanpa

terdapat albuminuria bisa menjadi prediktor yang bermakna pada penurunan GFR

di kemudian hari (28). Pengenalan dini dari faktor risiko untuk progresivitas PGK

dan tindakan mengatasi tekanan darah yang tinggi, penurunan proteinuria, kadar

hemoglobin di bawah normal dan dislipidemia (untuk menurunkan risiko

kardiovaskular) diduga dapat menghambat progresivitas PGK menuju gagal

ginjal terminal, sehingga dapat menunda kebutuhan akan terapi penggantian ginjal

(24). Oleh karena itu pertimbangan pengukuran kadar hemoglobin pada pasien

gagal ginjal terminal merupakan hal yang diperlukan untuk mengetahui

progresivitas gagal ginjal terminal dan risiko kematian.

Selain itu, menurut penelitian Kalantar-Zadeh dan Aronoff, terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin, antara lain (26):

1. Faktor penggunaan obat, meliputi pengobatan dengan preparat zat besi untuk

memicu pembentukan Hb, pengobatan Erythropoiesis Stimulating Agents

(ESA), angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan penghambat

reseptor angiotensin untuk pengobatan penyakit kardiovaskular, serta

28

Page 29: BAB I-VI Dapus Berubah

29

kemoterapi pada pasien PGK dengan kanker. Pada penelitian ini, diduga

pasien telah mendapat pengobatan-pengobatan ini, sehingga kadar

hemoglobin yang dimilikinya saat ini telah dipengaruhi oleh obat-obat

tersebut. Variabel pengganggu penggunaan obat ini tidak bisa dikendalikan

pada penelitian ini karena rekam medis dari pasien tidak secara lengkap

menyebutkan bahwa pasien mendapat pengobatan-pengobatan ini.

2. Faktor yang berhubungan dengan status demografi dan sosial ekonomi

pasien, dan penyakit lain meliputi usia, jenis kelamin, ras, status demografik

dan ekonomi lainnya, penyakit kronis yang diderita seperti HIV, TBC,

kondisi kesakitan yang sudah ada, seperti diabetes mellitus dan penyakit

kardiovaskular, tipe penyakit ginjal dan stadium PGK, hiperparatiroid,

penyakit hematologi yang terjadi bersama-sama dengan PGK, seperti anemia

sel sabit, defisiensi zat besi, kehilangan zat besi akibat dari perdarahan

gastrointestinal, kehilangan zat besi yang dihubungkan dengan terapi

hemodialisis, dan seringnya pengambilan darah untuk kepentingan

pemeriksaan. Pada penelitian ini, variabel-variabel ini juga tidak bisa

dikendalikan, karena pasien merupakan pasien rawat jalan yang tidak bisa

diawasi secara terus-menerus. Selain itu, pasien hemodialisis datang ke rumah

sakit biasanya tidak murni disebabkan penyakit ginjal yang menjadi penyebab

utama, tetapi menurut perjalanan klinis penyakit lain, sehingga cukup sulit

untuk mengeliminasi faktor-faktor tersebut. Pasien hemodialisis akan

dilakukan pemeriksaan laboratoriumnya jika ada indikasi khusus, oleh karena

29

Page 30: BAB I-VI Dapus Berubah

30

itu peneliti tidak bisa mendapatkan secara lengkap data mengenai penyakit

hematologi yang diderita pasien.

Beberapa keterbatasan penelitian ini harus dipertimbangkan dalam

memahami hasil penelitian ini, yaitu pada penelitian ini, peneliti belum bisa

mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin, serta

keterbatasan jumlah sampel yang bisa diambil karena batasan waktu dan biaya.

Pada penelitian selanjutnya, diharapkan agar dapat menambah jumlah sampel

sehingga hasil yang diperoleh dapat mewakili populasi sampel dan mengendalikan

variabel pengganggu. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperoleh data

yang lengkap untuk kepentingan penelitian, rancangan penelitian yang diubah

menjadi jenis penelitian kohort, mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi

penelitian, dan penambahan kurun waktu penelitian.

.

30

Page 31: BAB I-VI Dapus Berubah

31

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil simpulan,

yaitu:

1. Rerata kadar hemoglobin pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin

Banjarmasin adalah 9,16 mg/dl.

2. Rerata nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin

adalah 6,01 ml/menit/1,73 m2.

3. Terdapat korelasi yang lemah antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin

dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada pasien

hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin. Dalam penelitian ini, kadar

hemoglobin tidak bisa digunakan untuk memprediksi nilai GFR pada pasien

gagal ginjal terminal.

B. Saran

Untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan datang, maka

dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penelitian ini dengan jumlah

sampel yang lebih banyak, pengendalian variabel-variabel pengganggu sehingga

dapat mengurangi bias pada penelitian.

31

Page 32: BAB I-VI Dapus Berubah

32

.

32