16
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Misool adalah salah satu dari empat kepulauan di Kabupaten Raja Ampat Papua Barat yang warganya mayoritas muslim, angkanya mencapai kurang lebih dari 9000 jiwa orang. Komunitas muslim di pulau Misool sudah ada sejak abad XVI saat kekuasaan Kesultanan Tidore, wilayah ini sebagai salah satu pintu masuknya Islam di daerah Papua Barat. Agama Islam masuk di pulau Misool khususnya di Misool Selatan dengan inisiatif masyarakatnya sendiri. Masyarakat mencari seseorang yang dapat mengajarkan agama yang mereka kerjakan yaitu agama Islam. Pusat pengajaran Islam terletak di daerah Tippale daerah Misool Selatan yang sekarang disebut dengan Kramat, dan pada saat itu pula syiar Islam mulai tersebar di daerah Misool. Pulau Kramat dijadikan sebagai tempat bersejarah bagi masyarakat Misool terutama umat muslim. Sebagai salah satu bukti peninggalan sejarah keberadaan Islam di Misool adanya makam penyebar Islam Syekh Abdurrahman Assegaf beserta istri di pulau tersebut (Nur, 2015). Misool sendiri merupakan satu dari empat kepulauan di Kabupaten Raja Ampat yang memiliki potensi pariwasata unggul baik itu alam maupun budaya. Keindahan alam laut di daerah Misool yang unik bersinergi dengan kondisi praktik keagamaan masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri. Penyiaran agama Islam ini sangat kuat yang disyiarkan oleh orang Arab (Mene, 2012; Nur, 2015). Kehidupan beragama mereka masih sangat kental dengan corak tradisional, yang berpusat pada pemahaman leluhur mereka yang bernuansa tarekat dan mistis. Pada beberapa kampung di pulau Misool, kepengurusan masjid hanya berpusat pada qadi' hakim syara’ yang diamanahkan sebagai imam, muadzin (mojim) dan khatib. Mereka bertiga sajalah yang berhak mengurus masjid, dibantu dengan seorang Marbut. dan tidak mempercayakan

BAB I PENDAHULUAN Misool adalah salah satu dari empat

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Misool adalah salah satu dari empat kepulauan di Kabupaten Raja Ampat Papua

Barat yang warganya mayoritas muslim, angkanya mencapai kurang lebih dari 9000

jiwa orang. Komunitas muslim di pulau Misool sudah ada sejak abad XVI saat

kekuasaan Kesultanan Tidore, wilayah ini sebagai salah satu pintu masuknya Islam di

daerah Papua Barat.

Agama Islam masuk di pulau Misool khususnya di Misool Selatan dengan

inisiatif masyarakatnya sendiri. Masyarakat mencari seseorang yang dapat

mengajarkan agama yang mereka kerjakan yaitu agama Islam. Pusat pengajaran Islam

terletak di daerah Tippale daerah Misool Selatan yang sekarang disebut dengan

Kramat, dan pada saat itu pula syiar Islam mulai tersebar di daerah Misool. Pulau

Kramat dijadikan sebagai tempat bersejarah bagi masyarakat Misool terutama umat

muslim. Sebagai salah satu bukti peninggalan sejarah keberadaan Islam di Misool

adanya makam penyebar Islam Syekh Abdurrahman Assegaf beserta istri di pulau

tersebut (Nur, 2015).

Misool sendiri merupakan satu dari empat kepulauan di Kabupaten Raja Ampat

yang memiliki potensi pariwasata unggul baik itu alam maupun budaya. Keindahan

alam laut di daerah Misool yang unik bersinergi dengan kondisi praktik keagamaan

masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri. Penyiaran agama Islam ini sangat kuat

yang disyiarkan oleh orang Arab (Mene, 2012; Nur, 2015). Kehidupan beragama

mereka masih sangat kental dengan corak tradisional, yang berpusat pada pemahaman

leluhur mereka yang bernuansa tarekat dan mistis. Pada beberapa kampung di pulau

Misool, kepengurusan masjid hanya berpusat pada qadi' hakim syara’ yang

diamanahkan sebagai imam, muadzin (mojim) dan khatib. Mereka bertiga sajalah yang

berhak mengurus masjid, dibantu dengan seorang Marbut. dan tidak mempercayakan

2

kepada pihak lain untuk bertugas menjadi imam, muadzin dan khatib. Demikian pula

dari segala akitivitas yang menyangkut hukum dan sosial keagamaan, semua harus

melalui persetujuan Imam masjid. Seperti misalnya pada saat perhitungan zakat fitrah,

yang dilakukan oleh Marbut, masih menggunakan alat ukur timbangan (kapatbus-batu

putih) yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka.

Fenomena yang tak kalah uniknya adalah pada proses khutbah jumat dan

khutbah hari raya idulfitri dan iduladha yang menggunakan teks bahasa Arab.

Walaupaun mayoritas masyarakat tidak memahami bahasa Arab, namun tradisi tersebut

masih kuat dilestarikan hingga saat ini. Kondisi tersebut didukung pula dengan

minimnya kegiatan keagamaan berupa ceramah agama, kajian al-Qur'an atau

pengajian. Nampak pemahaman kegamaan masyarakat masih jauh dari sikap

kegamaan yang matang. Hal ini juga didukung minimnya/bahkan terkadang tidak ada

masyarakat yang ikut serta melaksanakan ṣalat jama’ah di masjid setempat, tidak

terkoordinirnya aktivitas Taman Pendidikan al-Qur'an yang mengakibatkan minimnya

pemahaman qira’ah tajwid anak-anak, remaja bahkan orang tua, walaupun terdapat

aktivitas pembelajaran al-Qur'an di rumah guru mengaji. Demikian halnya, beberapa

sosok imam masjid yang sudah sepuh yang masih memegang kuat tradisi

tradisionalnya, tidak “menampakkan” usahanya untuk mentransfer ilmu

keagamaannya kepada generasi muda secara turun temurun, sehingga terkesan kondisi

keagamaan dan aktualisasi Islam masyarakat muslim sangat jauh dari yang diharapkan.

Ironis jika syiar Islam yang kononnya begitu kuat pada masa lalu, kurang teraplikasi

dengan baik saat ini.

Kondisi tersebut bertolok belakang pada saat pelaksanaan tradisi Islam yang

sangat kuat di daerah Misool. Hal ini tampak pada saat pelaksanaan tradisi yang rutin

dilakukan hingga saat ini, seperti pada kegiatan memperingati Maulid Nabi

Muhammad Saw, tradisi Sop safar, Malam Laylatul Qadr, Khatam al-Qur'an, Hari

Asyura, Seni musik Hadrah (Tifa rebana), Katep Dabus, dan beberapa kegiatan baca

doa syukuran pada saat kelahiran, anak keluar kamar di hari ke 40, acara Famajal,

bahkan pada saat kematian. Adanya Tahlilan di hari ketiga, kelima, ketujuh, keempat

3

puluh hari dan seratus hari, keramaian dipenuhi dengan kehadiran masyarakat muslim

bahkan berdatangan dari kampung-kampung lain yang tersebar di kepulauan Misool.

Selain itu pula terdapat tradisi budaya yang sudah menjadi kearifan lokal masyarakat

Misool umumnya yaitu Sasi dan Lalayon yang dibingkai dengan tataran nilai-nilai

Fatanoon (kekeluargaan, persaudaraan) dan Atnelevo (kebersamaan).

Kondisi sosial keagamaan di Misool pun untuk sebahagian besar kampung

masih sangat kental dengan ajaran tarekat yang mereka dapatkan dari berbagai guru-

guru melalui proses perolehan ilmu yang mereka istilahkan “ilmu di atas tikar”. Hal ini

sangat berbeda dengan kondisi proses pendidikan saat ini, yang secara umumnya

pendidikan dilaksanakan di lembaga pendidikan formal dengan jumlah murid yang

banyak. Peserta didik diwajibkan untuk menghadiri dan mengikuti pelajaran di kelas

sesuai jadwal yang berlaku, namun kondisi itupun tidak memberikan pengaruh yang

signifikan kepada penyelesaian masalah yang menjadi fenomena di pulau Misool.

Hal inipun didukung dengan fakta pada beberapa lembaga pendidikan formal

di Misool, di mana terlihat kurangnya kesadaran dan lemahnya kedisiplinan belajar

pada beberapa generasi muda, bahkan terkadang pendidik pun tidak berada di sekolah

pada waktu jam pelajaran. Adanya faktor cuaca, dan jarak sekolah antar kampung di

pulau itupun terkadang menjadi alasan ketidak hadiran peserta didik ataupun pendidik.

Kesadaran belajar itu sendiri, bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor, baik itu dari

faktor internal (motivasi intrinsik) dan faktor eksternal (Djamarah, 2009). Ketika

merujuk kepada individu peserta didik, dapat dipengaruhi oleh usia, kesiapan belajar

dan motivasi internal. Ketika dipengaruhi oleh faktor eksternal, maka bisa didukung

dengan kondisi pendidik yang tidak profesional, apalagi saat ini mutu hasil pendidikan

sangat ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran dan kualitas perilaku guru

(Muhaimin., 2012). Selain itu pula adanya pengaruh kondisi lingkungan sekolah

(sarana prasarana), lingkungan keluarga ataupun masyarakat setempat, sehingga

fenomena yang beragam pada masyarakat Misool seakan telah menjadi pola perilaku

sehari-hari dan karakter sebahagian besar masyarakatnya.

Perubahan sikap dan pengetahuan yang terdapat pada peserta didik sangat

4

dipengaruhi oleh proses pembelajaran. Jika setelah melalui proses pembelajaran dan

pewarisan ilmu lalu tidak mengalami perubahan pengetahuan ataupun sikap, maka

dapat diasumsikan tidak berhasilnya proses pembelajaran, bahkan bisa jadi tidak terjadi

atau tidak ada sama sekali (Daradjat, 2004). Hal ini berarti bahwa proses pewarisan

tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena segala sesuatu yang ditransmisikan

dapat bertahan dan eksis di setiap kondisi dan waktu, ketika proses pewarisan itu

berjalan dengan baik, dan sebaliknya sesuatu akan hilang apakah itu pengetahuan,

sikap dan budaya ketika proses transmisi tidak berjalan dengan baik dan semestinya

(J.W. Berry, 2002). Entah itu, pada budaya yang baik dan mendatangkan manfaat serta

bernilai positif bagi masyarakat ataupun sebaliknya.

Transmisi budaya memungkinan terus berlanjut dan substansial karena proses

pewarisan secara bertahap bergeser kepada ketergantungan psikologis dan sosial dari

ketergantungan fisik, dan proses tersebut tidak secara signifikan mengarah kepada

tiruan yang tepat dari setiap generasi. Apakah itu berada pada transmisi yang tepat

antara orang tua dan anak keturunannya atau kegagalan warisan yang utuh dari

keturunan yang berbeda dengan orang tuanya. Menurut Boyd dan Reicherson biasanya

sesuatu yang ekstrim menimbulkan permasalahan terhadap masyarakat, olehnya

pewarisan yang tepat tidak memiliki kemampuan merespon kondisi baru dan tidak

terjadi perubahan atau sesuatu yang baru. Akan tetapi pewarisan yang mengalami

kegagalan akan memicu tindakan yang tidak terkoordinasi lintas generasi. (J.W. Berry,

2002).

Konsep transmisi pada hakikatnya sejalan dengan beberapa hadis Rasulullah

saw yang menganjurkan pentingnya mengajarkan dan menyampaikan ilmu. Antara lain

hadis dari Abu Mas‘ud Uqbah bin Amir Al Anṣari raḍiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa

Rasulullah Ṣallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

5

من دل على خي ف له مثل أجر فاعله

“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)

Hadis selanjutnya

من عمل با ولا من سن ف الإسلام سنة حسنة ف عمل با ب عده كتب له مثل أجر قص من أجورهم شىء ومن سن ف الإسلام سنة سي ئة ف عمل با ب عده كتب عليه مثل ي ن

قص من أوزارهم شىء وزر من عمل با ولا ي ن

“Barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017) (Imam Muslim, tt).

Demikian pula pada hadis dari Abu Umamah al-Bāhili raḍiyallahu ‘anhu bahwa

Rasulullah Ṣallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وملائكته وأهل السموات والأرض، حت النملة ف جحرها وحت الوت، ليصل ون ان الل

على معل م الناس الي

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia” (HR. at Tirmidzi no 2685).

Hadis-hadis di atas, menunjukkan besarnya keutamaan untuk menyebarkan,

menyampaikan dan mengajarkan ilmu agama kepada orang lain. Ketika telah

6

menyebarkan ilmu agama secara tidak langsung menyebarkan kemakmuran dan

kesejahteraan alam semesta karena telah melakukan kebaikan, beramar ma’ruf nahi

mungkar. Kondisi inipun tidak hanya berlaku kepada ilmu agama, akan tetapi juga

berlaku kepada kebaikan dunia.

Sejalan dengan hal tersebut, konsep transmisi budaya telah dilakukan oleh

Cavalli-Sforza dan Feldman pada tahun 1981 yang mengisyaratkan bahwa proses

pewarisan pengetahuan melalui jalur orang tua (vertikal), teman sebaya (horisontal)

dan orang dewasa yang lain baik itu guru ataupun masyarakat (oblique). Kemudian

oleh Berry (2002) tahun 1986 di lengkapi dengan hasil penelitiannya bahwa ketiga

jalur tersebut hanya sebatas faktor eksternal karena terdapat faktor internal yang perlu

diperhatikan, sebagai salah satu faktor pendukung dalam mengukur tingkat

keberhasilan proses pewarisan pengetahuan dan budaya. Fortes dalam (Tilaar, 2002)

bahwa pewarisan pengetahuan dan budaya tidak akan berhasil jika hanya melihat

kepada sistem prosesnya tetapi perlu memperhatikan pula konsep unsur yang

ditransmisi, proses dan caranya, sehingga semua aspek dapat berjalan sesuai yang

diharapkan.

Modifikasi teori sistem transmisi dari Berry, Cavalli-Sforza mengisyaratkan

terjadinya proses enkulturasi, sosialisasi, akulturasi dan resosialisasi, Fortes

melihatnya dengan konsep imitasi, identifikasi dan sosialisasi sedangkan

Koentjaraningrat (2015) menambahkan dengan proses internalisasi selain perlunya

enkulturasi dan sosialisasi, sehingga pada konten transmisi pada penelitian ini, akan

menilai ulang konsepsi Berry dan Fortes terkait sistem transmisi, yang diasumsikan

akan menemukan sebuah konsep dan teori baru yang sejalan dan sesuai dengan kondisi

masyarakat Misool.

Menurut Desmon Morris proses transmisi dapat terjadi pada absorbed actions

dan trained actions atau perpaduan antara keduanya (Morris, 1977). Absorbed actions

adalah kegiatan yang dilakukan akibat mencontoh dari orang lain, sementara trained

actions adalah kegiatan yang didapat melalui pembelajaran ataupun praktek terlebih

dahulu. Proses transmisi dapat merupakan perpaduan antara keduannya yaitu melalui

7

proses genetik, observasi pribadi, penyerapan dari lingkungan sosial, dan melalui

latihan atau belajar. Oleh karena itu, seseorang mendapatkan sesuatu sebagai proses

pewarisan dapat melalui berbagai cara, tidak hanya secara genetik namun yang

terpenting adalah lingkungan sosial dan proses belajar. karena pembelajaran budaya

tergantung pada inovasi atau kemampuan untuk menciptakan respons baru terhadap

lingkungan dan kemampuan untuk berkomunikasi atau meniru perilaku orang lain

(Lehmann, Feldman, & Kaeuffer, 2010).

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abi

Hurairah radiyallahu anhu.telah bersabda Rasulullah saw bahwa : “Tidak ada anak

yang dilahirkan ibunya kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah

yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi” HR. Muslim (Imam

Muslim, tt). Makna hadis ini menjelaskan bahwasanya manusia memiliki sifat

pembawaan sejak lahir yang kokoh di atas Islam. Akan tetapi tentunya tetap perlu ada

tindakan dan pembinaan dalam lingkungan yang islami, serta usaha dari orang tua

untuk memberi uswatun hasanah, keteladanan dan pembiasaan kepada anak-anak agar

terwujudnya generasi yang shaleh shalehah sesuai syariat Islam.

Menarik dipertimbangkan pandangan Goel (2005) dalam bukunya Human and

Education, yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan telah diliputi oleh nilai-nilai

materialistis. Seorang pendidik/ guru telah menjadi salesman sementara siswa

menikmati ketidakdisiplinan dan perilaku tidak sopan. Fenomena tersebut berindikasi

bahwa guru tidak perduli lagi pada pengembangan kepribadian para siswa. Tulisan ini

mengarah pada pandangan bahwa pendidik cenderung tidak menyadari perannya

sebagai transmitter nilai-nilai (Values) dan lebih fokus pada perannya dalam transfer

ilmu pengetahuan (aspek kognitif). Padahal posisi transmitter baik itu pendidik ataupun

orang tua, sangat berpengaruh besar terhadap proses preferensi dan keyakinan anak

didik, tentang bagaimana anak memilih untuk berperilaku sebagai orang dewasa dalam

masyarakat nantinya (Sanduleasa, 2015).

Proses pewarisan nilai-nilai yang berjalan dengan baik, sangat didukung akan

peran transmitter. Pada lingkungan lembaga formal, idealnya pendidik memiliki

8

kesadaran sebagai suri tauladan, menghiasi dirinya dengan perbuatan terpuji terhindar

dari perbuatan tercela (al Ghazali, n.d.; Solichin, 2012) bahwa melalui dirinyalah

peserta didik menyerap nilai-nilai hidup yang akan membentuk karakter

kepribadiannya kelak.

Termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya kearifan lokal yang secara sadar atau

tidak sadar tercermin lewat perilaku pendidik dan dengan kemampuan menyerap

peserta didik mengikuti. Serta dituntut dapat memberikan pendekatan dan pemahaman

budaya serta adat setempat para peserta didik, dengan menjalin komunikasi yang baik

(Astuti, 2016; Harrison, 2007; Tan, 2015; Thanissaro, 2010). Hal tersebut

menunjukkan bahwa begitu besarnya peran lembaga pendidikan menjadi agent of

change peradaban Islam dan wadah transmisi ilmu pengetahuan (Dewi, 2014;

Shobahussurur, 2015; Zulfah, 2011).

Demikian pula posisi orang tua dalam keluarga (Sanduleasa, 2015; Wartono,

2013) pendidik dalam lingkungan pendidikan informal dan masyarakat (Miriam T.

Stark, Brenda J. Bowser, 2008; Thoifuri, 2016) serta dalam lingkungan pendidikan non

formal, kesemuanya dituntut untuk bertanggung jawab dalam mewariskan nilai-nilai

islami, seperti posisi ulama (R. Rehayati, I. Farihah, 2017).

Olehnya, orientasi seorang pelaku (transmitter) pewarisan budaya dan

pengetahuan diharapkan dapat membanguan peradaban dengan cara memajukan dan

menyejahterakan masyarakat melalui peningkatan kualitas fisik, pancaindra, akal

pikiran, sosial budaya, seni, moral, dan spiritual (Miller, 2005).

Transmitter sebagai penggerak perubahan sosial (agent of social change),

sebagai ulil al-bab, maka mereka dituntut untuk memadukan antara kekuatan pikir dan

zikir. Peran sebagai orang yang memiliki keunggulan keterampilan, intelektual, moral

dan spiritual yang memiliki tanggung jawab moral, kewajiban moral, panggilan batin

moral dan kewajiban memberikan nasehat moral tidak boleh memudar (Nata, 2016).

Peran sebagai ‘Ulul al-Bāb, al-‘Ulamā, al-Muzakkī, ahl al-zkir, dan al raskhuna fi al-

'ilm harus tetap berjalan konsisten dalam kondisi apapun, agar selalu memperoleh

kebahagiaan yang bersifat moral dan spiritual (Nata, 2012).

9

Sejalan dengan kondisi keagamaan masayarakat Misool, ketika diperkuat

dengan teori Gerrtz (1981) dapat dikategorikan kepada Islam abangan, tetapi di satu

sisi dapat dikategorikan pada tipe santri ketika berpijak kepada pengukuhan Hakim

Syara' dalam pemahamam keagamaannya.

Demikian juga pandangan Woodward (1999) ketika mengadakan penelitian di

Yogyakarta, bahwa Islam Jawa bukanlah Islam yang menyimpang, dengan berbagai

sinkritismenya, melainkan varian yang unik di mana distingsi Islam Jawa bukan

terletak pada aspek dipertahankannya budaya agama sebelum Islam datang, melainkan

disebabkan adanya konsep tentang bagaimana membentuk manusia yang paripurna

sesuai dengan aturan-aturan sosial masyarakat yang diberlakukan. Sebagaimana yang

ditemukan pada Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko bahkan bisa jadi pada Islam

Misool. Ketika merujuk pada pandangan Woodward, maka fenomena yang terlihat

nyata pada masyarakat Misool diasumsikan terjadi beberapa akulturasi budaya.

Pada kondisi konteks ritual keagamaan, memunculkan proses perpaduan antara

unsur Islam di satu sisi dan tradisi lokal di sisi lain. Perpaduan tersebut memproduk

berbagai perspektif tipologi Islam yakni Islam Sinkretik (Budiwanti, 2000; Geertz. C.,

2013; Sakirman, 2016; Widiana, 2015) atau Islam Akulturatif (Woodward. R.M.,

1999) dan Islam Kolaboratif (Syam, 2005). Akan tetapi, permasalahannya adalah

beberapa tipologi tersebut tidak dikenal dalam ajaran Islam Ortodoks (genuin) semisal

ritual Maulid, Mandi ṣafar, khatam al-Qur'an, malam laylatul Qadr tetapi di dalamnya

terkait dengan aspek teologis.

Bahkan bisa jadi Islam Misool adalah ajaran Islam ortodoks (genuin) pada saat

terkait dengan pembacaan khutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab yang

sangat terkait dengan hukum Islam, bahkan pada saat mereka menentukan hari pertama

Ramaḍan dan Syawal, masih menggunakan penglihatan bulan tanpa alat. sehingga

penelitian ini diasumsikan akan menemukan konsep baru terhadap tradisi Islam budaya

lokal Misool.

Ketika berbicara hakekat budaya dan kebudayaan maka sangat jelas peranan

pendidikan di dalamnya, demikian pula dalam tradisi budaya lokal dan Islam yang

10

terdapat di Misool. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan, bahkan

tanpa proses pendidikan tidak mungkin kebudayaan itu berlangsung dan berkembang

bahkan memperoleh dinamikanya (Tilaar, 2002).

Pendidikan sangat berpengaruh besar terhadap eksisnya suatu tradisi

kebudayaan (Juanda, 2010). Proses pendidikanlah yang akan membuat generasi muda

memperoleh hidup yang lebih baik, sebab di dalamnya terdapat proses transfer

pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan (Azizy, 2002). Melalui pendidikan pulalah

transmisi berbagai macam budaya dan nilai-nilai terjadi, yaitu nilai-nilai luhur dan

nilai-nilai budaya Islam yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul

serta kearifan lokal.

Pendidikan Islam sendiri, dapat berlangsung di lingkungan keluarga (informal),

sebagai penanggung jawab utama, lingkungan formal di lembaga pendidikan sebagai

tempat tertujunya harapan orang tua didik dalam perkembangan moral dan mental

anak-anak, serta lingkungan non formal yaitu masyarakat, tempat berkembangnya

segala aspek kehidupan yang saling mempengaruhi (Muhaimin., 2012). Jika dilihat dari

aspek kebudayaan, interaksi antar manusia dalam lingkungan masyarakat yang

berbudaya merupakan praktek pendidikan. Pendidikan selalu terjadi di arena yang tidak

vakum, sehingga pendidikan sangat terkait erat dengan kebudayaan, olehnya dinamika

budaya lokal dan tradisi Islam yang terdapat di Misool merupakan hasil proses

pendidikan yang telah berjalan sejak awal.

Berangkat dari kajian latar belakang berdasarkan fenomena yang ada di pulau

Misool Raja Ampat yang memiliki keunikan kehidupan keislaman masyarakatnya,

memiliki konteks tradisi budaya Islam yang khas serta kemampuan masyarakat untuk

melestarikannya di tengah berbagai gelombang perubahan (modernitas) dengan

caranya sendiri, maka penelitian tentang analisis pewarisan ajaran Islam dalam

konteks pendidikan Agama Islam dalam lingkup budaya lokal, layak untuk dilakukan.

Mengingat pulau Misool adalah salah satu pintu masuknya penyebaran Islam

di Papua Barat. Selain itu pula, tidak terdapatnya literature secara nyata yang mengkaji

keberadaan potret Islam di pulau yang penghuninya mayoritas muslim, sehingga

11

diharapkan kajian ini akan menghasilkan suatu konsep dan pemahaman yang agak

berbeda dengan studi-studi sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Apa saja bentuk budaya lokal yang menjadi media transmisi ajaran Islam

pada masyarakat pulau Misool Raja Ampat?

2. Bagaimana proses transmisi ajaran Islam melalui budaya lokal pada

masyarakat pulau Misool Raja Ampat?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk

Mendeskripsikan dan memahami bentuk budaya lokal sebagai media transmisi ajaran

Islam pada masyarakat pulau Misool Raja Ampat; Memahami proses transmisi ajaran

Islam melalui budaya lokal di pulau Misool Raja Ampat.

Adapun kegunaan penelitian disertasi ini diharapkan dapat memberikan

manfaat dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam baik dalam tatanan teoretis

maupun praktis. Dengan harapan hasil temuan riset ini akan menemukan teori baru

yang terkait dengan transmisi ajaran Islam pada lingkungan masyarakat serta teori

transmisi pendidikan Islam dalam bingkai budaya lokal yang akan dimplementasikan

dalam proses pendidikan agama Islam di lingkungan lembaga pendidikan formal,

informal terlebih lagi lembaga non formal.

Secara praktis, diharapkan dapat menjadi pedoman serta rujukan bagi semua

pihak yang berkompeten dalam praktisi bidang pendidikan Islam dan sosial

keagamaan, baik itu pada tingkatan perguruan tinggi (dosen, stakeholder, mahasiswa)

maupun tingkatan menengah kebawah, Para pendidik agama, lembaga pemerintah

agama yang berkompeten kepada pembangunan keagamaan masyarakat baik di tingkat

daerah maupun tingkat pusat, serta institusi-institusi agama. Demikian juga kepada

12

agen perubahan seperti para agamawan dan lembaga keagamaan yang secara praktis

terlibat dalam persoalan pendidikan Islam dan kehidupan sosial keagamaan masyarakat

dan terkhusus kepada masyarakat muslim pulau Misool Raja Ampat..

D. Penegasan Istilah

Pendidikan Agama Islam menurut (Muhaimin, 2011) adalah upaya

mendidikkan agama dan ajaran Islam serta nilai-nilainya, untuk menjadi pegangan dan

pandangan hidup seseorang. Dimana kondisi ini dapat terealisasi pada setiap kegiatan

dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan agama dan ajaran Islam serta nilai-

nilainya kepada seseorang atau sekelompok peserta didik,, serta agama serta ajaran

Islam dan nilai-nilainya menjadi pandangan dan pegangan hidup dan

diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Transmisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan pengiriman

(penerusan) pesan, penularan, penyebaran (2012), sedangkan dalam kamus bahasa

Indonesia kontemporer, kata transmisi bermakna pengiriman, penyampaian (1995).

Transmisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses penyampaian, penerusan,

pewarisan dan penyebaran nilai ajaran Islam yang meliputi ketauhidan (aqidah), ibadah

dan akhlak.

Ajaran Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ajaran yang termuat

di dalam teks al-Qur‘an dan hadis yang meliputi ajaran ketauhidan, ibadah dan akhlak.

Budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal

(Dyastriningrum, 2009). Budaya lokal dapat diartikan sebagai suatu pandangan hidup

yang berkembang dalam suatu komunitas sosial dan etnik tertentu yang dibatasi oleh

unsur kedaerahan, geografis, dan pengalaman sejarah yang unik. Budaya lokal yang

dimaksud pada penelitian ini adalah tradisi lokal yang menjadi ciri khas dari

masyarakat muslim Misool Raja Ampat, baik secara materil maupun non materil.

Adapun budaya lokal tersebut diantaranya pelaksanaan ritual Kati Sasi, Kisi kaleo, Top

Kaleo, Sop Ṣafar, Tafu Kautun, Sop Kabom, Sa Utubah, Zikir maulud, Kati Sasi

Hadiyat Keramat, Tammat Quran dan Ary Kauto serta nilai-nilai Atnelevo dan Fatanon.

13

Jadi yang dimaksud dengan transmisi pendidikan agama Islam dalam bingkai

budaya lokal pada penelitian ini, adalah proses pengiriman, penerusan, penyebaran,

pewarisan dan penyampaian pesan ajaran Islam terhadap masyarakat muslim dari

generasi ke generasi berikutnya melalui budaya dan tradisi Islam lokal yang ada di

Pulau Misool Raja Ampat.

E. Kerangka Pikir

Bertitik tolak dari kajian teori dan penelusuran atas hasil penelitian terdahulu,

berikut ini disusun kerangka pikir penelitian. Transmisi adalah proses pembelajaran

dari orang tua kepada anak, yang akan berimplikasi kepada moral dan budaya dan

tindakan agama. Transmisi yang dilakukan tidak hanya berlangsung sambil lalu akan

tetapi memerlukan pula bimbingan Fortes. M., ( 1987). dalam penelitiannya pada tahun

1938 mengatakan bahwa uniknya proses pewarisan yang berlangsung pada kebudayaan

di locus penelitiannya, tidak terdapatnya pranata-pranata atau lembaga-lembaga yang

berfungsi khusus untuk mendidik generasi muda, seperti sekolah, upacara atau sistem

umur. Akan tetapi proses pewarisan melalui permainan dan bimbingan dan rangsangan

langsung dari masyarakat, yang berlangsung secara tradisional melalui proses

sosialisasi.

Manusia sangat membutuhkan proses transmisi, karena menjadi sebuah proses

pembelajaran bagi anak-anak untuk mengikuti tingkah laku orang tua atau orang

dewasa lainnya (Henrich, 2002)(Henrich, 2002) dan sebagai wadah menanamkan dan

mewariskan nilai-nilai budaya, agar nilai-nilai tersebut dapat bertahan hinga turun

temurun.

Transmisi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui ritual-

ritual dalam budaya lokal. Ritual yang terus menerus dan rutin dilakukan dapat menjadi

media yang baik dalam proses transmisi. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat

pulau Misool raja Ampat kampung Fafanlap, keberadaan budaya lokal yang rutin

dilaksanakan setiap tahun diasumsikan menjadi media transmisi ajaran Islam. Olehnya

14

kerangka pikir penelitian ini adalah bagaimana memahami, mengkaji dan memaknai

sistem transmisi ajaran Islam melalui budaya lokal dalam membentuk kehidupan

keagamaan masyarakat muslim pulau Misool Raja Ampat Papua Barat, dengan

menggunakan teori sistem transmsi budaya John Will Berry.

Sistem transmisi Berry melengkapi konsep transmisi budaya oleh Cavalli

Sforza dan Fedman yang hanya memfokuskan kepada faktor eksternal pewarisan, yaitu

melalui transmisi vertical, horizontal dan oblique. Transmisi vertical adalah satu-

satunya bentuk transmsi bilogis yang diperoleh dari orang tua kandung. Sedangakan

transmisi serong (oblique) itu melalui orang dewasa lain, baik itu pada Lembaga

pemdidikan ataupun di lingkungan masyarakat, sedangkan horizontal melalui teman

sebaya. Kemudian oleh Berry dilengkapi akan pentingnya memperhatikan faktor

internal individu dalam proses transmisi yaitu memeperhatikan faktor usia, pendidikan,

jenis kelamin dan bahasa sehari-hari yang dipergunakan.

Secara garis besar permasalahan yang ditemukan adalah apakah proses

transmisi tersebut dapat tercapai dengan baik atau tidak. Mengingat ketika berbicara

hakekat budaya dan kebudayaan, maka sangat jelas peranan pendidikan di dalamnya.

Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan, keberadaan suatu tradisi

kebudayaan yang sangat mempengaruhi adalah pendidikan, karena dalam

pendidikanlah yang akan membentuk generasi muda memiliki kemampuan untuk

hidup lebih baik sebab di dalamnya ada proses transfer pengetahuan, nilai, dan

keterampilan, terlebih lagi dalam pendidikan agama Islam.

Pembelajaran sebagai aktivitas yang mempengaruhi perubahan pengetahuan

dan sikap anak didik, dapat dikatakan berhasil jika perubahan pada anak didik itu ada,

namun ketika tidak terdapat perubahan maka dianggap tidak terjadi bahkan adanya

kegagalan proses pembelajaran. Hal ini berarti bahwa proses pewarisan tidak berjalan

seperti yang diharapkan, karena ketika pewarisan berjalan dengan baik, maka sesuatu

yang diwariskan dapat terus eksis dan bertahan hingga waktu yang lama dan tidak

menentu. Sebaliknya, sesuatu yang ditransmisikan akan hilang jika pewarisan tidak

berjalan dengan baik sebagaimana semestinya. Demikian pula dengan dinamika

15

budaya lokal dan tradisi Islam yang terdapat di Misool Raja Ampat yang merupakan

hasil proses pendidikan yang telah berjalan secara turun temurun, apakah telah mampu

menjadi media transmisi ajaran Islam bagi masyarakatnya.

Melalui penelitian etnografis diharapkan dapat menemukan makna perilaku

masyarakat Fafanlap Misool dalam menajalankan transmisi ajaran Islam yang meliputi

aspek aqidah, ibadah dan akhlak melalui budaya lokal. Secara garis besar kerangka

pikir ini, dapat dilihat pada gambar 1.

BUDAYA SENDIRI BUDAYA LAIN

Oblique Transmission

Dari orang dewasa lain 1. Enkulturasi umum

(keluarga, guru, masyarakat, media massa.

2. Sosialisasi Khusus

Vertikal Transmission

1. Enkulturasi umum (orang tua)/

penanaman nilai

2. Sosialisasi khusus dari orang tua.

Oblique Transmission

Dari orang dewasa lain

1. Akulturasi umum (guru, masyarakat, media massa)

2. Resosialisasi khusus

16

Gambar 1 Kerangka Pikir

Horizontal Transmission

enkulturasi umum (teman

sebaya)

Sosialisasi khusus

Masyarakat Misool

Imitasi

Identifikasi Internalisasi

Horizontal Transmission

Akulturasi umum (teman

sebaya)

Resosialisasi khusus

Faktor Internal

1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Pendiddikan 4. Bahasa sehari hari

Ajaran Agama Islam

AQIDAH IBADAH AKHLAQ

BUDAYA LOKAL

1. Nilai-nilai 2. Ritual 3. Simbol 4. Artefak