42
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32 persen orang miskin tinggal di wilayah perkotaan (Morrell, dkk. 2008:1). Sebagian penduduk miskin perkotaan bekerja pada sektor informal, yang pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning and Roesad 2006). Sektor informal menjadi pilihan terakhir warga urban (kota) maupun tenaga kerja pedesaan yang tidak berpendidikan dan tidak berketerampilan yang tidak terserap di sektor formal (Bhowmik 2005; Noer Effendi 2005). Para urban yang tidak berpendidikan dan tidak terampil terpaksa masuk ke sektor informal, dilaporkan pula oleh Sethuraman dan Davis dalam penelitiannya di Ghana. Menurut Sethuraman (1976), para urban yang tidak memiliki keterampilan yang memadai terjun ke sektor informal disebabkan oleh ketidakmampuan sektor formal menyerap mereka. Demikian pula, Davis (2008) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima merupakan bagian tak terpisahkan dari sektor ekonomi informal. Sektor ekonomi informal ini tumbuh di negara-negara berkembang, termasuk di Ghana, karena pembangunan ekonomi yang direncanakan tidak menciptakan pekerjaan yang mencukupi untuk mengurangi tingkat pengangguran. Sepanjang tahun 1990-an, situasi ketenagakerjaan di Indonesia tidak menguntungkan bagi pekerja. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan sektor formal dalam menyerap tenaga kerja ke dalam pasar nasional (Suharto 2008). Sektor informal menjadi katup pengaman dalam menghadapi masalah angkatan kerja yang tidak terserap dan terlempar dari sektor formal sejak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat

urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32 persen orang miskin

tinggal di wilayah perkotaan (Morrell, dkk. 2008:1). Sebagian

penduduk miskin perkotaan bekerja pada sektor informal, yang

pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning and

Roesad 2006). Sektor informal menjadi pilihan terakhir warga

urban (kota) maupun tenaga kerja pedesaan yang tidak

berpendidikan dan tidak berketerampilan yang tidak terserap di

sektor formal (Bhowmik 2005; Noer Effendi 2005).

Para urban yang tidak berpendidikan dan tidak terampil

terpaksa masuk ke sektor informal, dilaporkan pula oleh

Sethuraman dan Davis dalam penelitiannya di Ghana. Menurut

Sethuraman (1976), para urban yang tidak memiliki

keterampilan yang memadai terjun ke sektor informal

disebabkan oleh ketidakmampuan sektor formal menyerap

mereka. Demikian pula, Davis (2008) menyebutkan bahwa

pedagang kaki lima merupakan bagian tak terpisahkan dari

sektor ekonomi informal. Sektor ekonomi informal ini tumbuh

di negara-negara berkembang, termasuk di Ghana, karena

pembangunan ekonomi yang direncanakan tidak menciptakan

pekerjaan yang mencukupi untuk mengurangi tingkat

pengangguran.

Sepanjang tahun 1990-an, situasi ketenagakerjaan di

Indonesia tidak menguntungkan bagi pekerja. Hal ini terjadi

karena ketidakmampuan sektor formal dalam menyerap tenaga

kerja ke dalam pasar nasional (Suharto 2008). Sektor informal

menjadi katup pengaman dalam menghadapi masalah angkatan

kerja yang tidak terserap dan terlempar dari sektor formal sejak

Page 2: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

2

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

terjadinya krisis ekonomi (Ari 2008:12). Krisis yang

menghantam bangunan ekonomi Indonesia mengakibatkan

jumlah pengangguran mencapai titik kritis. Hal ini terjadi

karena selama krisis berlangsung, para pekerja sektor

konstruksi, perdagangan, industri, dan keuangan, banyak ke

luar atau meninggalkan pekerjaan, karena mereka di-PHK atau

perusahaan tidak beroperasi lagi karena bangkrut atau

dilikuidasi (Noer Effendi 2005).

ILO (1998) memperkirakan bahwa sekitar 5,4 juta pekerja

formal yang bergerak di bidang jasa, manufaktur, dan

konstruksi diberhentikan dari pekerjaannya sebagai akibat krisis

ekonomi pada tahun 1997-1998. Kondisi serupa juga terjadi di

Thailand. Krisis ekonomi yang melanda Thailand dan tingginya

biaya hidup, menyebabkan pedagang kaki lima menjadi solusi

bagi mereka yang menganggur yang terkena dampak krisis

(Nirathron 2006).

Kenaikan harga barang dan jasa membuat para penganggur

dan mereka yang miskin sulit melakukan penyesuaian diri,

apalagi untuk bertahan hidup tanpa penghasilan yang pasti.

Solusinya adalah mereka masuk ke sektor informal agar dapat

bertahan hidup (Bhowmik 2005).

Selama krisis ekonomi tersebut, terbukti bahwa sektor

informal tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga dapat

berkembang pesat sebagai sektor ekonomi selain sektor formal.

Hal ini disebabkan oleh adanya faktor permintaan dan faktor

penawaran. Dari sisi permintaan, krisis ekonomi mengakibatkan

pendapatan riil masyarakat turun, sehingga terjadi pergeseran

permintaan masyarakat dari barang-barang sektor formal atau

impor ke barang-barang sederhana buatan sektor informal. Dari

aspek penawaran, akibat banyak orang dikeluarkan (dipecat)

dari pekerjaan di sektor formal selama masa krisis, ditambah

lagi dengan sulitnya angkatan kerja baru mendapatkan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

3

BAB I

Pendahuluan

pekerjaan tersebut, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke

sektor informal meningkat.

Relatif kuatnya daya tahan sektor informal selama krisis,

disebabkan pula oleh tingginya motivasi pengusaha kecil sektor

tersebut mempertahankan kelangsungan usahanya. Hal ini

dapat dipahami, sebab bagi banyak pelaku ekonomi dari

kalangan masyarakat golongan ekonomi lemah, sektor informal

merupakan satu-satunya sumber penghasilan dan penghidupan

mereka.

Berbeda dengan mereka yang bekerja pada sektor formal,

para pengusaha kecil sektor informal sangat adaptif menghadapi

perubahan situasi dalam lingkungan usaha mereka. Sementara

itu, banyak pengusaha menengah ke atas yang bangkrut tidak

mampu beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang tidak

menguntungkan. Rumah makan Bakul Deso dan bengkel mobil

Suzuki “Pulung Abadi” di Semarang pada tahun 2011 gulung

tikar.

Jauh sebelum ini, beberapa pasar Swalayan juga bangkrut,

seperti Golden Swalayan yang gulung tikar, karena kalah

bersaing dengan Pasaraya Sri Ratu, demikian pula Mickey

Mouse Swalayan di Depok Semarang, dan Matahari Swalayan di

depan pasar Johar Semarang. Ada juga beberapa hotel yang

bangkrut, yaitu hotel Siranda, yang tempatnya berada di pusat

kota Semarang dan hotel Rama yang berada di belakang pasar

Johar. Hotel Dibya Puri, hotel Jelita, dan hotel Patimura di

dekat pasar Johar juga diragukan apakah dapat bertahan di

tengah persaingan bisnis perhotelan di Semarang.

Para pedagang kecil, karena keuletan dan kemandiriannya

masih dapat melanjutkan usahanya meskipun krisis ekonomi

melanda Indonesia. Tukang sol sepatu di sekitar pasar Johar

merupakan pekerja sektor informal, yang sudah puluhan tahun

masih eksis. Pedagang barang-barang klitikan di beberapa

tempat di Semarang juga dapat bertahan dari krisis. Banyak di

Page 4: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

4

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

antara mereka yang eksis hingga kini dengan menempati lokasi

PKL barang klitikan di jalan Barito dan Kokrosono.

Sejak kebijakan desentralisasi yang memberi kewenangan

kepada daerah untuk meningkatkan penghasilannya melalui

pendapatan asli daerah (PAD), sektor ekonomi informal dalam

posisi yang tidak menguntungkan, karena kebijakan pemerintah

daerah lebih berpihak kepada para investor yang mengelola

kegiatan ekonomi formal (Morrell 2008). Pemerintah kota

Semarang merupakan salah satu contoh daerah yang lebih

memusatkan perhatian pada kepentingan investor. Tumbuh

pesatnya bisnis hotel, ritel, properti, kuliner, dan pusat-pusat

hiburan merupakan indikasi dari hal ini.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

(RPJPD) kota Semarang Tahun 2005-2025, pemerintah kota

Semarang mendukung penciptaan kebijakan pemerintah yang

pro-investasi, yakni dengan menciptakan iklim yang kondusif

bagi investor dalam negeri dan luar negeri dalam segala hal

(Perda Nomor 6 Tahun 2010). Sesuai dengan kebijakan

SETARA dari walikota Semarang, pemerintah pada tahun 2010

mentargetkan kerjasama pengelolaan aset dengan investor

sebesar 75%

(http://semarangkota.go.id/cms/index.php?option=com_content

&task=view&id=34&Itemid=53). Pemihakan kepada investor

tidak terelakkan, karena pemerintah daerah menggunakan

paradigma neoliberalisme dalam melaksanakan aktivitas

pembangunan (Mulyaningsih, dkk. 2009).

Saad-Filho and Johnston (2005) meyakini bahwa manusia

dan masyarakat dunia saat ini hidup dalam abad neoliberalisme.

Sistem neoliberal dipahami sebagai a modified or revived form of traditional liberalism, especially one based on belief in free market capitalism and the rights ofthe individual (Thorsen

2009:3). Pendek kata, sistem neoliberal merupakan sort of

Page 5: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

5

BAB I

Pendahuluan

revival of liberalism atau salah satu jenis dari kebangkitan

liberalisme.

Ideologi neoliberal berasal dari Washington Consensus yang

mengkampanyekan bahwa dengan pasar bebas, umat manusia

akan memasuki gerbang pintu keemasan yang membahagiakan

(Wibowo 2010). Imperatif neoliberalisme tersebut berakar dari

filsafat ekonomi neoliberal yang mereduksi manusia semata-

mata sebagai makhluk ekonomi atau homo oeconomicus. Pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus diaplikasikan

ke dalam semua aspek hidup manusia, bahkan sampai pada

pengorganisasian masyarakat.

Diversifikasi homo oeconomicus ke dalam semua aspek

kehidupan manusia dan pengorganisasian masyarakat inilah

yang membedakan mazhab neoliberal dari aliran liberalisme

klasik. Mazhab neoliberal memandang manusia semata-mata

sebagai makhluk ekonomi, maka tidak salah kiranya jika aliran

ini berpihak kepada kebijakan yang mendukung liberalisasi

perdagangan, privatisasi, deregulasi, iklim kompetisi, serta

liberalisasi finansial dan perbankan (Sumodiningrat 2009:36;

Notonagoro 2011). Berdirinya hotel-hotel besar, pasar swalayan,

mall, dan apartemen merupakan aplikasi dari kebijakan

neoliberal pemerintah.

Sebagai konsekuensi dari paradigma neoliberal, pemerintah

Indonesia lebih banyak mengandalkan investor yang

menjalankan sektor formal ketimbang sektor informal dalam

memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana ditengarai

Kameo (2011:18), strategi dan kebijakan pembangunan di

Indonesia belum berpihak kepada mayoritas masyarakat pelaku

ekonomi, sehingga tidak terjadi pemerataan kesempatan untuk

turut berpartisipasi dalam proses penciptaan nilai tambah.

Sektor informal dipandang tidak terlalu signifikan

kontribusinya bagi pendapatan nasional Indonesia, sehingga

dalam setiap kebijakan pemerintah lebih berfungsi mengatur

Page 6: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

6

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

sektor informal ketimbang memberdayakannya. Padahal betapa

pun kecilnya, sektor informal, khususnya pedagang kaki lima

memiliki kontribusi dalam aspek ekonomi.

“Kita memang pedagang kecil pak…keberadaan kita tidak dianggap oleh pemerintah, padahal meskipun kecil, selama ini kita juga membayar iuran secara rutin…berarti ada uang yang masuk ke kas pemerintah..., meskipun sedikit uang kita kan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah”, demikian ungkap pak Achmad (wawancara dengan pak Achmad, Minggu, 13 Juni 2010).

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu pelaku

sektor informal yang diperlakukan pemerintah secara tidak

seimbang. Cukup banyak pemerintah daerah yang tidak

mengakui PKL sebagai salah satu pelaku sektor ekonomi yang

mendukung kinerja ekonomi daerah. Hal ini dibuktikan dari

masih banyaknya PKL liar yang tidak didaftar atau dilegalisasi

oleh pemerintah. PKL dipandang bagian dari problem

perkotaan, sehingga kebijakan pemerintah daerah tidak

berpihak kepadanya. Hal ini didukung oleh penelitian Kadir

(2010) yang menunjukkan bahwa PKL dianggap sebagai

penyebab permasalahan kota, sehingga harus disingkirkan dari

atau tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas ekonomi di

ruang publik yang dipandang akan mengganggu kenyamanan

masyarakat.

Anggapan bahwa PKL sebagai pengganggu ketertiban,

keindahan, dan kebersihan kota, menyebabkan perilaku aparat

pemerintah tidak ramah, memusuhi PKL, bahkan tidak jarang

melakukan tindakan represif, brutal, dan mengorbankan PKL

(Ramli 1992; Bromley 2000; Roever 2005). Umumnya pemegang

otoritas dan elit kota di negara-negara Afrika, Asia, dan

Amerika Latin mengeluhkan keberadaan PKL sebagai masalah

utama di kota-kota mereka (Bromley 2000). Itulah sebabnya,

banyak elit kota yang berkeinginan agar PKL dibersihkan dari

ruang publik, karena dianggap sebagai pengganggu keindahan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

7

BAB I

Pendahuluan

dan ketertiban kota (Mulyaningsih, dkk. 2009). Namun

demikian, PKL yang lebih banyak menjajakan barang murah (di

antaranya barang-barang bekas) dan jasa yang terjangkau

biayanya, sangat dibutuhkan oleh warga kota yang memiliki

penghasilan pas-pasan (Destombes 2010:23). PKL dibenci oleh

penguasa, tetapi di lain pihak mereka dirindukan oleh warga

kota yang memiliki pendapatan rendah.

Perlakuan pemerintah kota Semarang terhadap PKL tidak

jauh berbeda dengan sikap dan perlakuan pemerintah kota

terhadap PKL di negara berkembang lainnya di Afrika, Asia,

dan Amerika Latin. Di Semarang, problematika PKL ini menjadi

pekerjaan rumah dan dilema bagi pemerintah kota. Di satu sisi,

pemerintah kota menginginkan kota harus bersih, indah, dan

nyaman, sehingga dapat menjadi ruang publik yang sehat bagi

seluruh warga kota. Pada sisi lain, PKL butuh hidup dan

menghidupi keluarganya, oleh karenanya mereka tidak dengan

mudah dipindahkan dari tempatnya mencari rezeki.

Seperti halnya kota-kota besar lainnya, PKL di Semarang

menempati lokasi di daerah pusat perkantoran, pusat bisnis,

pusat perbankan, pendidikan, pariwisata, rumah sakit, serta

pasar (tradisional dan modern). Konsentrasi PKL berada di

Barito, Kalisari, Jalan Batan Selatan, kampus Universitas

Diponegoro (kampus atas dan bawah), kampus Universitas

Negeri Semarang, rumah sakit dr. Kariyadi, rumah sakit Panti

Wiloso, rumah sakit Telogorejo, rumah sakit Roemani, rumah

sakit Elisabeth, dan rumah sakit Tugu, Stasiun Kereta Api

Poncol dan Tawang, Kantor Bank Indonesia, bundaran Simpang

Lima dan sekitarnya, jalan Ahmad Yani, jalan Menteri Soepeno

(dahulu berada di jalan Pahlawan), jalan Pandanaran, jalan

Pemuda, jalan Sampangan, jalan Basudewo, jalan Kokrosono,

jalan Kartini, sekitar pasar tradisional (Johar, Bulu, Peterongan),

di sekitar stadion Diponegoro, dan pusat-pusat keramaian

lainnya.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

8

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Seiring dengan perkembangan pesat kota Semarang dalam

15 tahun terakhir, PKL dengan mudah dapat dijumpai, mulai

dari tengah kota hingga pinggiran kota. Keberadaan PKL bagai

jamur di musim penghujan. Mereka tersebar di seluruh

kecamatan yang ada di kota Semarang. PKL yang menempati

ruang-ruang publik di kota Semarang meliputi PKL yang

terorganisasi (sesuai Perda) maupun PKL yang tidak

terorganisasi (tidak sesuai Perda). Menurut data Dinas Pasar

kota Semarang, jumlah pedagang kaki lima pada tahun 2009

mencapai 11.414 dengan rincian 7.419 sesuai Perda No. 11

Tahun 2000, SK Walikota Semarang Nomor 130.2/339 Tahun

2000 dan SK Walikota Nomor 511.3/16 Tahun 2001 dan 3.995

PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota tersebut. Rincian

selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah Pedagang Kaki Lima di Semarang Tahun 2009

No. Kecamatan Jumlah PKL sesuai Perda

Jumlah PKL tidak sesuai

Perda

Jumlah Total PKL

1. Semarang Selatan 593 413 1.006 2. Semarang Utara 856 199 1.055 3. Semarang Tengah 1.742 797 2.539 4. Semarang Barat 635 792 1.427 5. Semarang Timur 1.477 505 1.982 6. Banyumanik 285 199 484 7. Tembalang 189 27 216 8. Candisari 250 63 313 9. Gajahmungkur 181 96 277

10. Gayamsari 212 299 511 11. Pedurungan 355 191 546 12. Genuk 184 121 305 13. Mijen 19 13 32 14. Gunungpati 133 8 121 15. Tugu 36 98 134 16. Ngaliyan 292 174 466

Jumlah 7.419 3.995 11.414

Sumber : Dokumen Dinas Pasar kota Semarang dan Wawancara dengan Pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012

Pada tahun 2012, jumlah pedagang kaki lima (PKL) di kota

Semarang meningkat menjadi 11.981, yang berarti terjadi

kenaikan sebanyak 567 PKL dari tahun 2009 (wawancara

Page 9: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

9

BAB I

Pendahuluan

dengan pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012). Kenaikan tersebut

tidak diketahui berapa peningkatan PKL yang sesuai dengan

Perda dan berapa pula peningkatan jumlah PKL yang tidak

sesuai dengan Perda. Tingkat mobilitas yang tinggi dari PKL liar

atau tidak sesuai dengan Perda, tidak diperhitungkan oleh Dinas

Pasar dalam menghitung kenaikan jumlah PKL, sehingga

jumlah PKL pada tahun 2012 bisa saja melebihi angka statistik

PKL yang disusun oleh Dinas Pasar kota Semarang.

Atas nama pembangunan dan dalam rangka mengejar

pertumbuhan investasi, Pemkot Semarang melakukan penataan

kota dengan fasilitas yang memadai untuk menarik investor.

Untuk memberi rasa aman dan nyaman kepada investor,

Pemkot melakukan penataan PKL dengan mengeluarkan Perda

nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan

Pedagang Kaki Lima. Perda PKL tersebut lebih banyak

berfungsi mengatur dan membina PKL daripada

memberdayakan PKL. Hak-hak PKL tidak banyak diatur dalam

Perda tersebut. Dari 15 pasal, sebanyak 11 pasal, yaitu pasal 2, 3,

4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 memberikan kewenangan kepada

walikota untuk mengatur, membina, mewajibkan, melarang,

dan menjatuhkan sanksi hukum (pidana) dan administrasi

kepada PKL yang dinilai melanggar ketentuan Perda. Sementara

itu, hak PKL hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 6. Dalam

pasal tersebut, setiap PKL mempunyai hak untuk (1)

mendapatkan pelayanan perizinan, (2) penyediaan lahan lokasi

PKL, (3) mendapatkan pengaturan dan pembinaan.

Ayat (3) dari pasal 6 tersebut sejatinya bukan hak yang

diberikan kepada PKL. Ayat (3) tersebut merupakan bentuk

kewenangan Pemkot untuk menata PKL agar tertib dalam

menggunakan ruang publik dan menjalankan kegiatan ekonomi

yang tidak mengganggu keamanan, ketertiban, dan

kenyamanan masyarakat.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

10

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Anatomi Perda nomor 11 tahun 2000 yang lebih banyak

mengedepankan kewajiban, larangan, dan sanksi, menunjukkan

betapa Pemkot kurang berpihak kepada kepentingan ekonomi

masyarakat golongan ekonomi lemah. Seiring dengan kebijakan

menjadikan kota Semarang sebagai pintu gerbang Jawa Tengah,

Pemkot melakukan penataan fisik kota, sehingga ruang publik

di berbagai pojok kota ditata, dirapikan, dan diperindah. PKL

yang menempati ruang publik yang dipandang merusak wajah

kota, ditertibkan. Sebaliknya, pengusaha yang memberi

kontribusi bagi pengembangan kota Semarang sebagai pusat

perdagangan dan jasa, diberi fasilitas untuk mengembangkan

bisnis di kota Semarang.

Perda nomor 11 tahun 2000 menjadi payung hukum bagi

Pemkot Semarang untuk melakukan penertiban terhadap PKL.

Hal ini dilakukan agar keberadaan PKL tidak mengganggu

kebutuhan warga masyarakat lainnya dan kepentingan investor.

Penegakan peraturan yang dilakukan oleh Pemkot dengan

melakukan penertiban terhadap PKL tidak salah, karena

memang sudah sepatutnya pemerintah menertibkan pedagang

yang menempati ruang publik yang dirasa dapat mengganggu

ketertiban dan keamanan. Tindakan penertiban yang disertai

dengan penggusuran dan kekerasan terhadap PKL, merupakan

implementasi Perda yang tidak dapat dibenarkan baik dilihat

dari aspek hukum, hak asasi manusia, maupun rasa keadilan.

Sejak kepemimpinan walikota Sukawi Sutarip hingga

Soemarmo HS, tindakan penertiban disertai penggusuran

terhadap PKL berlangsung secara massif. Beberapa lokasi PKL

pernah mengalami penertiban dan penggusuran yang

dilakukan oleh Pemkot. Hampir semua tempat yang digunakan

PKL pernah mengalami penertiban dan penggusuran, tetapi dari

sekian tempat yang paling parah dan menimbulkan perlawanan

dari pihak pedagang adalah Kokrosono, Sampangan, dan

Basudewo. Dari tiga wilayah ini, perlawanan yang paling seru

ditunjukkan oleh PKL Basudewo.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

11

BAB I

Pendahuluan

PKL Kokrosono, yang lokasinya dekat dengan bantaran kali

Banjir Kanal Barat, pertama kali digusur serta dibongkar

bangunan dan lapaknya pada tahun 2000. Meskipun demikian,

banyak di antara mereka kembali ke tempat usaha semula.

Sesungguhnya mereka sudah dibuatkan tempat usaha baru,

yaitu sentra PKL Kokrosono, yang berada di wilayah utara

Kokrosono (sebelah utara rel kereta api), tetapi karena usahanya

sepi semenjak menempati kios baru, mereka kembali turun ke

jalanan menjajakan barang dagangan atau menjual jasanya.

“Kalau sepi begini…mana bisa hidup…uang dari mana untuk makan, terpaksa kita jualan di tepi jalan”, demikian ungkap pak haji Mustaqim (wawancara dengan haji Mustaqim, 17 Juli 2010).

Pak Achmad, ketua paguyuban PKL Basudewo juga

membenarkan apa yang disampaikan oleh pak haji Mustaqim.

“Lokasi PKL Kokrosono yang berada di sebelah utara rel kereta api memiliki 8 bangunan berlantai dua. Memang kelihatannya enak pak, tetapi di sana banyak bermain para preman, sehingga para pedagang takut pindah ke sana”, timpal pak Achmad (wawancara dengan Achmad, 20 Juli 2010).

Sebagai bagian dari penertiban PKL yang menempati

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kaligarang, pemerintah kota

Semarang juga membongkar bangunan atau kios permanen

yang ada di sepanjang sungai Kaligarang. Pada bulan Maret

2010, bangunan atau kios PKL di pinggiran sungai Kaligarang,

tepatnya di sebelah utara pasar Sampangan lama, juga

dibongkar. Para pedagang dipaksa untuk keluar dari lokasi.

Sebagian PKL pindah ke tempat lain. Namun demikian,

sebagian lainnya kembali menempati tempat usaha mereka

meskipun harus menggunakan lapak atau kios tidak permanen

yang mudah dipasang dan dibongkar. Di tengah-tengah

aktivitas proyek dengan lalu lalang truk-truk pengangkut tanah

galian sungai, mereka tetap melakukan aktivitas ekonomi, baik

pada waktu siang maupun malam hari.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

12

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Wilayah Sampangan merupakan tempat favorit para PKL,

karena letaknya strategis, yakni di sekitarnya terdapat Pom

Bensin, Akademi Komputer GEGA, Akademi Sekretaris Santa

Maria, pasar tradisional Sampangan, toko Swalayan Super, serta

beberapa toko lainnya, yang pada waktu siang maupun malam

ramai lalu lintasnya. Daerah periferi atau pinggiran, baik yang

membentang ke arah utara maupun selatan juga sudah

berkembang pesat menjadi daerah pertokoan. Perempatan

Sampangan, yang di dekatnya terdapat pasar Sampangan (lama),

merupakan lokasi yang tidak pernah sepi dari aktivitas ekonomi

sejak pagi hingga malam hari.

Basudewo sebagai sentra PKL mebel digusur Pemkot

Semarang pada bulan Juni dan Desember 2010. Namun

demikian, para PKL tetap nekat menjajakan barang dagangan di

bekas reruntuhan bangunan yang dihancurkan Pemkot.

Meskipun akhirnya mereka harus angkat kaki dari lokasi

berdagang, tetapi di sana sini masih terdapat beberapa pedagang

yang menjajakan dagangannya di tengah lalu lalang kendaraan

proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.

Akibat penataan tanah di sebelah kanan dan kiri sungai,

sebagian pengrajin mebel pindah ke sentra PKL Kokrosono,

sebagian lagi tidak diketahui lagi kemana mereka harus

menjalankan usahanya, dan sebagian kecil, yaitu pedagang

bensin, penjual minuman, penjual rokok dan makanan kecil,

pengrajin mebel, serta penjual jasa bengkel motor, yang

jumlahnya 5 orang masih nekat berdagang di antara gundukan

tanah, timbunan batu, cetakan beton, dan begu dan alat-alat

berat proyek. Inilah yang disebut dengan tipikal perlawanan

atau resistensi orang-orang pinggiran atau rakyat kecil.

Perlawanan mereka tidak dengan melakukan aksi fisik dengan

membawa senjata tajam atau batu seperti halnya para preman

yang sedang tawuran, tetapi lebih pada sikap membangkang

untuk tetap berjualan di lokasi yang dilarang oleh pemerintah

kota Semarang.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

13

BAB I

Pendahuluan

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang oleh Dinas Pasar disebut

“PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota” ini (PKL liar)

memiliki karakteristik yang berbeda dengan “PKL yang sesuai Perda dan SK Walikota” atau PKL terorganisasi, tertata, atau

tertib. PKL liar tidak hanya terdapat di sepanjang sungai

Kaligarang, tetapi juga terdapat di ruas-ruas jalan di kota

Semarang. Kepatuhan mereka terhadap kebijakan pemerintah

oleh pihak Pemkot dinilai lebih rendah ketimbang PKL yang

terorganisasi. Mereka ini tidak disiplin, bandel, dan sulit

diatur”, kata pak Azis, Ka.Sub. PKL Dinas Pasar Semarang.

Pada saat terjadi penertiban dan penggusuran, para PKL

biasanya bermain kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP.

Ketika tergusur, mereka menepi. Ada beberapa yang melakukan

perlawanan terhadap upaya penggusuran yang dilakukan oleh

petugas Satpol PP. Setelah keadaan reda (aman), mereka

kembali lagi ke tempat berdagang semula, seperti yang

diperlihatkan PKL Kokrosono, Basudewo, dan Sampangan.

Praktik kucing-kucingan ini merupakan taktik yang banyak

digunakan PKL menghadapi tindakan penggusuran dari petugas

Satpol PP. Taktik ini diperlihatkan pula oleh PKL yang

berdagang di jalan Margonda Depok, sebagaimana diteliti oleh

Siswono (2009). Ketika petugas keamanan datang, PKL tidak

berdagang, tetapi begitu mereka pergi, PKL mulai membuka

lapaknya.

Perlawanan PKL memiliki tipikal yang tidak jauh berbeda

dengan kelompok masyarakat kecil lainnya. Motif perlawanan

tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok. PKL melawan

kebijakan pemerintah karena mereka merasa kebijakan

tersebut tidak menguntungkan mereka. Tanpa ruang hidup,

mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sikap membangkang, tidak mau dipindah, dan terkadang

melawan dengan kekerasan mereka lakukan, karena hanya

dengan perlawanan ini mereka dapat bertahan hidup di lokasi

yang selama ini memberi penghidupan kepada mereka.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

14

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Perlawanan rakyat kecil, dalam berbagai literatur, banyak

dilakukan oleh kaum buruh dan petani. Gerakan perlawanan

mereka bersifat masif dan banyak juga yang beralih menjadi

gerakan politik.

Dalam penelitian ini dikemukakan gerakan perlawanan

rakyat kecil di Amerika Latin dan di Indonesia untuk melihat

mengapa rakyat kecil berani melakukan perlawanan dan apa

bentuk-bentuk perlawanan mereka. Di Amerika Latin terdapat

banyak gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kelompok

masyarakat bawah. Gerakan perlawanan di Meksiko, Bolivia,

Argentina, Brazil, dan di tempat lainnya, memberikan

kontribusi positif terhadap kebijakan yang diambil pemerintah,

bahkan beberapa di antaranya berhasil mengantarkan

pemimpin gerakan menjadi pemimpin pemerintahan.

Di Argentina terdapat gerakan buruh yang sangat terkenal,

yaitu Gerakan Buruh Pengangguran Kota Argentina (GPP).

Petras (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2001 meledak aksi

nasional buruh pengangguran yang amat terorganisasi. Lebih

dari 100.000 orang menyusuri 300 jalan raya di seluruh

Argentina. Para buruh pengangguran berhasil mengorganisasi

aksi pendudukan atas jalan raya di seluruh kota Buenos Aires.

Aksi ini berhasil, karena adanya dukungan dan kerjasama

dengan berbagai serikat buruh sektoral. Aksi yang dilakukan

buruh pengangguran ini diikuti pula oleh berbagai komunitas

penduduk dan kelas sosial, seperti pedagang lokal, pegawai

pemerintah daerah, pegawai rumah sakit, guru, pensiunan, dan

kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia.

Bentuk perlawanan yang ditunjukkan buruh pengangguran

dalam aksinya menentang pemerintah bervariasi, mulai dari

pemogokan, pernyataan sikap, demonstrasi, pendudukan,

blokade jalan, dan protes. Perlawanan yang dilakukan buruh

pengangguran disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang

bercorak neoliberal, yang ditandai oleh swastanisasi dan PHK

Page 15: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

15

BAB I

Pendahuluan

besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya pengangguran

buruh (Petras 2005).

Gerakan perlawanan lain di Amerika Latin yang memiliki

kisah sukses serupa di Argentina adalah Gerakan Petani Tanpa

Tanah di Brazil atau Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra/Landless Workers Movement, disingkat MST (Wilson

2005; Wolford 2005). Cita-cita utama dari MST adalah (1)

berjuang untuk reformasi agraria yang mendistribusikan tanah

kepada petani yang akan menggarapnya, (2) menciptakan

pembangunan masyarakat yang adil dan setara (Wolford 2005).

Gerakan perjuangan MST mendapatkan dukungan luas dari

berbagai gerakan dan jaringan HAM, agama, dan serikat buruh.

Kemiskinan dan kelaparan di desa-desa dan kota-kota di

Brazil, merupakan penyebab utama mengapa MST berjuang

melawan pemerintah. Kemiskinan penduduk desa dan kota

tersebut, utamanya disebabkan oleh kepemilikan tanah yang

timpang antara kelompok orang kaya dan kelompok masyarakat

miskin. Sebagaimana dilaporkan Wilson (2005), kelompok

petani kecil yang jumlahnya 30,4% dari seluruh petani di Brazil

hanya menguasai 1,5% dari seluruh tanah pertanian yang ada

di Brazil; sedangkan petani kaya atau kapitalis yang jumlahnya

hanya 1,6% dari jumlah petani di Brazil menguasai 53,2% dari

seluruh tanah pertanian di negeri samba tersebut. Penguasaan

tanah yang timpang ini diperparah lagi dengan tidak diolahnya

tanah para petani kaya seluas 42,6%. Di antara pemilik tanah

dengan luas 1.000 hektar ke atas, 88,7% areanya tidak

dimanfaatkan. Tanah-tanah yang ditelantarkan inilah yang

memicu kemiskinan dan kelaparan di Brazil.

Terbentuknya MST disebabkan oleh tiga faktor, yaitu (1)

krisis ekonomi pada akhir tahun 1970-an yang mengantarkan

pada akhir kejayaan industri Brazil, (2) perubahan orientasi

dalam Gereja Katolik, dengan meluasnya teologi pembebasan,

berkembangnya gereja basis, dan hadirnya para uskup, romo,

Page 16: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

16

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dan suster progresif, (3) meningkatnya iklim perlawanan

menentang kediktatoran militer pada akhir tahun 1970-an.

Gerakan perlawanan MST dimulai dengan aksi pendudukan

tanah di Brazil di daerah selatan, utara, dan timur laut

sepanjang tahun 1978 hingga 1983. Semua gerakan dilakukan

secara terencana dan diorganisasi oleh para aktivis di tingkat

lokal. Aliansi yang dilakukan oleh MST dengan kelompok

buruh, gereja, Asosiasi Jurnalis Brazil, dan Partai Buruh Brazil

(Partido do Trabalhadores), berhasil mengorganisasi 151.427

keluarga kaum tak bertanah, dan mengambil alih tanah seluas

21 juta hektar (Wilson 2005). Sungguh sebuah pencapaian yang

luar biasa.

Menjelang tahun 1990-an, MST telah memiliki cabang

organisasi di 23 negara bagian, dan sejak tahun 1984 MST

beranggotakan 250 ribu keluarga yang tinggal di 1600 lokasi

pemukiman. Jaringan sosial yang dibangun MST dengan

berbagai elemen masyarakat merupakan salah satu kunci

keberhasilan gerakan perlawanan MST.

Tidak seperti halnya kebanyakan gerakan perlawanan, MST

di Brazil bukan sekedar gerakan perlawanan yang begitu tujuan

tercapai, mereka lalu bubar. MST berhasil membangun model

ekonomi pedesaan di Brazil, yaitu:

1. melakukan reformasi agraria,

2. mengusahakan jaminan pangan bagi rakyat Brazil,

3. memperkuat pertanian keluarga,

4. mempromosikan koperasi agroindustri,

5. meningkatkan standar kehidupan,

6. membuka lapangan kerja,

7. meningkatkan akses atas pendidikan dasar,

8. membangun kebijakan untuk melindungi lingkungan

hidup,

9. pengolahan tanah semi-kering,

10. pengembangan sektor agrikultur publik,

Page 17: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

17

BAB I

Pendahuluan

11. pengembangan model teknologi baru, dan

12. mendukung industrialisasi padat karya (Wilson 2005).

Di Indonesia, gerakan perlawanan masyarakat terhadap

pemerintah dan perusahaan yang mendapat perlindungan dari

pemerintah cukup banyak. Dalam penelitian ini, diambil dua

contoh gerakan perlawanan yang menyita perhatian dari media

massa, yaitu gerakan perlawanan masyarakat menentang

keberadaan PT. Indorayon (PT. Toba Pulp Lestari) pada tahun

1988-2000-an dan gerakan perlawanan Paguyuban Buruh

Bangkit (PBB) Serang pada tahun 1999-2000.

Gerakan masyarakat melawan PT. Indorayon berlangsung

di Tapanuli Utara, Sumatera Utara sejak tahun 1988. PT.

Indorayon merupakan perusahaan raksasa penghasil pulp dan

rayon di Indonesia. Untuk penyediaan bahan bakunya,

perusahaan tersebut mengeksploitasi hutan dan lingkungan

secara tidak bertanggung jawab.

Sejak awal berdirinya, PT. Indorayon ditentang dan

diprotes oleh masyarakat. Penolakan tersebut didasarkan atas

ketakutan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan operasi

Indorayon terhadap kelestarian lingkungan hidup dan ekonomi

masyarakat (Situmorang, dkk. 2010).

Dampak operasi PT. Indorayon, utamanya di Kecamatan

Porsea Tapanuli Utara adalah berupa limbah cair, padat, dan gas

yang mencemari air, tanah, dan udara di sekitar wilayah yang

dihuni penduduk Porsea. Dampak serius yang dapat dicatat oleh

Manalu (2009) dan Situmorang, dkk. (2010) adalah (1)

terbunuhnya penduduk yang tidak bersalah, (2) meningkatnya

gangguan kesehatan masyarakat, karena tercemarnya sungai

Asahan dan tercemarnya udara, (3) terancamnya eksistensi

hukum adat dan masyarakat adat Batak, (4) konflik horizontal,

karena pro dan kontra terhadap PT, Indorayon, (5) kerusakan

dan pencemaran lingkungan, serta (5) sawah menjadi rusak dan

kering.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

18

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Perlawanan terhadap PT. Indorayon tidak hanya dilakukan

oleh kaum laki-laki, tetapi juga ditunjukkan oleh ibu-ibu,

terutama di desa Sugapa yang merasa tanah adatnya dirampas.

Gerakan perlawanan masyarakat di Tapanuli Utara memperoleh

dukungan dari lembaga-lembaga agama, seperti HKBP HKI,

GKPI, GKPS, dan Gereja Katolik, NGO, baik level lokal,

nasional, maupun internasional, serta tokoh-tokoh intelektual,

seperti Robert Simanjuntak (ITB), Tunggul Sirait (UKI Jakarta),

Alexander Manurung (peneliti tanah agroklimat), Jansen

Silalahi (USU Medan), J.M. Sitanggang (peneliti Agronomi) dan

Bungaran Antonius Simanjuntak (Unimed). Hal ini

menunjukkan bahwa jaringan sosial yang dibangun oleh

gerakan memberikan peran menguatnya tuntutan masyarakat

terhadap pemerintah maupun perusahaan.

Atas dukungan dari berbagai pihak tersebut, masyarakat

mengajukan tuntutan agar PT. IIU ditutup. Tuntutan

masyarakat yang dikenal dengan Tritura Medan itu,

selengkapnya adalah sebagai berikut (1) bebaskan rakyat yang

tidak bersalah, (2) tutup PT. IIU/tolak PT. TPL, dan (3) stop

kekerasan, hentikan kesewenang-wenangan, dan tarik aparat

keamanan dari desa-desa (Situmorang, dkk. 2010:16).

Gerakan perlawanan masyarakat yang memakan waktu

puluhan tahun tersebut memperoleh hasilnya, dengan

ditutupnya untuk sementara waktu operasi PT. Indorayon oleh

Presiden Habibie. Kebahagiaan masyarakat Tapanuli Utara

dengan ditutupnya Indorayon tidak berlangsung lama, karena

pada masa pemerintahan Megawati, PT Indorayon diizinkan

beroperasi kembali dengan nama baru, yaitu PT. Toba Pulp

Lestari. Pemberian izin tersebut, didasarkan pada keterangan

pemerintah, bahwa limbah yang berbahaya bagi penduduk

adalah limbah rayon, sedangkan limbah pulp tidak berbahaya,

sehingga Indorayon diperbolehkan berdiri dengan nama dan

usaha baru, yaitu PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

19

BAB I

Pendahuluan

Sikap tidak konsisten dan pemihakan pemerintah terhadap

investor yang telah menyengsarakan rakyat, menimbulkan

perlawanan dari masyarakat. Aksi perlawanan yang

ditunjukkan warga Porsea dan sekitarnya bermacam-macam,

mulai dari aksi duduk di Simpang Siguragura, aksi melarang

masuk kendaraan yang mengangkut bahan dan kayu ke lokasi

PT. TPL, aksi protes ke Kantor Camat Porsea, demonstrasi di

depan Kantor Bupati, DPRD, dan PN Tarutung.

Banyak cara atau strategi yang ditempuh pemerintah dan

perusahaan untuk meredam gerakan perlawanan masyarakat di

Tapanuli Utara, di antaranya adalah melaksanakan program

community development dengan memberi bantuan beasiswa,

pemberian bibit, dan lain-lain, yang tujuannya adalah untuk

meredakan kemarahan kekecewaan masyarakat. Hasilnya, tidak

diduga, masyarakat terpecah menjadi dua, yaitu kelompok yang

pro kehadiran PT. TPL dan kelompok yang kontra PT. TPL.

Pihak perusahaan berharap agar makin banyak kelompok

masyarakat yang pro atau setuju dengan kehadiran PT. TPL.

Selain ditempuh strategi pengembangan komunitas, PT.

TPL juga menerapkan kekerasan guna melumpuhkan gerakan

perlawanan rakyat. Aksi teror, yang disertai penggeledahan dan

penangkapan terhadap sejumlah orang dan kekerasan dari

aparat yang disewa perusahaan, mengakibatkan banyak dari

warga masyarakat yang mati karena tertembak atau ditembak.

Tindakan perusahaan tersebut, menyebabkan gerakan

perlawanan melemah.

Gerakan perlawanan buruh di Serang yang dilakukan oleh

buruh PT. Pelita Enamel Ware Industri (PT. PLE) merupakan

aksi fenomenal yang mendapat sorotan dari publik. Gerakan

perlawanan buruh yang didukung penuh oleh Forum Solidaritas

Buruh Serang (FSBS) dipicu oleh kekecewaan buruh terhadap

upah minimum (UMK) yang terlalu rendah (Cahyono 2010).

Pada tanggal 1 Desember 2005, SP/SBS melakukan aksi unjuk

Page 20: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

20

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

rasa dengan mengatasnamakan aliansi. Unjuk rasa tersebut

memiliki tuntutan yang jelas, yaitu menuntut Bupati Serang

agar menaikkan UMK sesuai dengan kebutuhan hidup layak

(KHL).

Demonstrasi demi demonstrasi dilakukan oleh FSBS, hingga

pada tahun 2009, tuntutan buruh Serang terpenuhi, yaitu

diterbitkannya Perda Nomor 7 Tahun 2009 tentang

Ketenagakerjaan. Meskipun telah terbit Perda Ketenagakerjaan,

tetapi karena kesejahteraan buruh belum membaik, dibuktikan

dengan masih rendahnya upah yang mereka terima, FSBS

bersama Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh Serang (ASPSBS)

mengajukan tuntutan dalam salah satu demonstrasi yang

dilakukan, agar pemerintah daerah menaikkan upah minimum

regional yang dapat mensejahterakan buruh.

Gerakan perlawanan wong cilik juga dilakukan oleh para

pedagang kecil dengan cara atau bentuk perlawanan yang

berbeda dengan strategi gerakan yang dilakukan oleh buruh

atau pun petani. Banyak perlawanan buruh dan petani yang

diakhiri dengan kekerasan berhadapan dengan aparat negara.

Tidak jarang timbul korban jiwa. Sebagai contoh, sengketa

lahan antara penduduk Mesuji Lampung dengan PT. Barat

Selatan Makmur Investindo (BSMI) pada bulan November 2011

telah menewaskan seorang warga dan 6 orang warga lainnya

menderita luka tembak. Konflik dan kekerasan masih berlanjut

dengan perlawanan lebih keras lagi dari pihak penduduk

Mesuji, yang mengakibatkan terbunuhnya 3 orang dari pihak

PT. BSMI (Anonim 2012:13).

Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh pedagang kecil,

memang tidak jarang diakhiri dengan kekerasan. Penelitian

disertasi yang dilakukan oleh Alisjahbana menguatkan

pernyataan tersebut. Dalam penelitiannya tentang

Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan di Surabaya,

Alisjahbana (2006) menyimpulkan bahwa semakin represif

Page 21: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

21

BAB I

Pendahuluan

model penataan yang dilakukan pemerintah, semakin keras pula

perlawanan yang diberikan PKL. Sebaliknya, semakin keras

sikap PKL terhadap pemerintah, berdampak pada semakin keras

pula tindakan pemerintah. Dari sudut kebijakan, perlawanan

yang dilakukan PKL meliputi tiga kategori.

Pertama, perlawanan yang dikembangkan untuk menolak

lahirnya Peraturan daerah, dilakukan dengan melakukan

demonstrasi, meminta izin secara paksa kepada camat dan

lurah, membentuk paguyuban PKL, dan mencari dukungan

LSM dan mahasiswa.

Kedua, perlawanan terhadap program relokasi, berupa

melakukan demonstrasi, membentuk paguyuban, dan mencari

dukungan LSM dan mahasiswa.

Ketiga, perlawanan terhadap penggusuran, dilakukan

dengan adu mulut, memblokade jalan, mengintimidasi aparat,

dan melakukan demonstrasi.

Berbagai perlawanan dilakukan oleh wong cilik, apakah

mereka buruh, tani, atau pun pedagang, semuanya adalah

berkaitan dengan persoalan hidup dan penghidupan mereka

atau berhubungan dengan upaya kelompok masyarakat dari

golongan ekonomi lemah untuk bertahan hidup (survival).

Keberanian mereka melakukan perlawanan, didukung oleh

organisasi atau lembaga yang memiliki power untuk melakukan

perlawanan.

Meskipun tidak sebesar gerakan perlawanan yang dilakukan

oleh GPP Argentina, MST Brazil, kelompok masyarakat petani

di Tapanuli Utara dan Kelompok Buruh di Serang, perlawanan

pedagang kaki lima (PKL) yang berlokasi di dekat sungai

Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat, tetap menarik untuk

dikaji, karena dalam beberapa hal memiliki karakteristik yang

tidak berbeda dengan gerakan-gerakan perlawanan lainnya.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

22

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Berkaitan dengan kasus perlawanan yang dilakukan oleh

pedagang kaki lima (PKL) di sekitar sungai Kaligarang dan

Banjir Kanal Barat tersebut, muncul pertanyaan, apakah aksi

mereka merupakan “kecerdasan bertahan hidup” atau

merupakan bentuk perlawanan (resistensi) wong cilik, yang

dilakukan oleh PKL menghadapi kebijakan pemerintah kota

yang tidak berpihak kepada mereka. Jika hal tersebut

merupakan bentuk perlawanan (resistensi) rakyat kecil, faktor

apa yang membuat mereka berani melakukan perlawanan.

Problematika inilah yang hendak dikaji dalam penelitian

disertasi ini.

Sebelum uraian ini masuk pada apa yang menjadi

permasalahan dan tujuan penelitian serta untuk menguatkan

argumen bahwa permasalahan tersebut layak untuk diteliti,

dalam bahasan berikut dikemukakan beberapa hasil penelitian

yang relevan dengan topik penelitian atau setidaknya yang

mendukung perlunya sebuah penelitian yang memotret

kehidupan pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang.

Pengungkapan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dimaksudkan

(1) untuk mengkaji mengapa penelitian disertasi ini perlu

dilakukan, (2) untuk menentukan posisi atau memastikan

bahwa penelitian disertasi ini berbeda dengan penelitian-

penelitian sebelumnya.

Banyak penelitian yang memotret permasalahan, eksistensi,

dan masa depan sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL).

Dalam bagian ini akan ditampilkan beberapa hasil penelitian

yang relevan dengan eksistensi sektor informal, utamanya di

Indonesia, baik yang berkaitan dengan aspek ekonomi dan

sosial (khususnya modal sosial). Aspek politiknya, yaitu

berkaitan dengan perlawanan atau resistensi PKL terhadap

kebijakan publik yang ditempuh oleh pemerintah daerah juga

dikemukakan, meskipun data penelitian tentang perlawanan

(resistensi) PKL tersebut tidak banyak.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

23

BAB I

Pendahuluan

Hamidjojo (2004) dalam penelitian berjudul “Analisis

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi

Kebijakan Penataan, Pembinaan, dan Penertiban Pedagang Kaki

Lima (PKL) di Surakarta”, menyimpulkan bahwa faktor-faktor

yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan dalam

penataan, pembinaan, dan penertiban PKL adalah kondisi

lingkungan, komunikasi, dan perilaku pelaksana, yang

semuanya secara bersama-sama menyumbang 66,22%. Dari

kontribusi 66,22% tersebut, variabel kondisi lingkungan

menyumbang 16,68%, variabel komunikasi menyumbang

35,13%, dan variabel perilaku pelaksana memberi kontribusi

sebesar 14,41%. Dari tiga faktor penyumbang tersebut,

komunikasi memberikan sumbangan yang paling besar yaitu

35,13%.

Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi

kebijakan pemerintah daerah yang berkenaan dengan

keberadaan PKL, tidak cukup hanya dilakukan oleh aparat

pelaksana saja, tetapi juga perlu menggandeng para PKL,

misalnya dengan memahami bersama peraturan daerah yang

mengatur PKL dan berdialog secara intensif dengan mereka,

sehingga kebijakan penataan dan pembinaan PKL dapat berjalan

tanpa adanya hambatan yang berarti.

Penelitian Hamidjojo baru terbatas pada upaya melihat

faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi

kebijakan dalam penataan, pembinaan, dan penertiban PKL.

Hasilnya ditemukan bahwa kondisi lingkungan, komunikasi,

dan perilaku pelaksana yang menjadi faktor penentu bagi

keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Hamidjojo dalam

penelitiannya sama sekali tidak melihat modal sosial sebagai

variabel yang turut menentukan keberhasilan penataan PKL;

sedangkan penelitian disertasi ini menganalisis modal sosial

sebagai faktor penguat perlawanan (resistensi) PKL terhadap

kebijakan publik yang dibuat Pemkot Semarang.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

24

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Wijayanti (2009) dalam penelitian tentang “Outcome

Kebijakan Pasca Relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo Kota

Surakarta”, menunjukkan beberapa simpulan berikut.

Pertama, proses relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo

dilakukan melalui tiga tahap, yaitu sosialisasi, penyiapan tempat

relokasi, dan relokasi itu sendiri.

Kedua, dampak yang ditimbulkan dari relokasi tersebut

adalah (1) PKL memperoleh keamanan, kenyamanan, dan

kepastian berusaha (bekerja) dan beralih statusnya dari PKL

tidak resmi menjadi PKL resmi, yang tidak lagi cemas

mengalami penertiban dan penggusuran dari Satpol PP, (2)

pemerintah memperoleh hasilnya dengan berkurangnya beban

dalam menangani PKL Banjarsasi serta makin rapi, tertib, dan

indahnya wilayah monumen Banjarsari yang selama ini

ditempati PKL, dan (3) berpindahnya PKL ke Pasar Notoharjo

meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah Semanggi,

yang dahulu masih sepi dan meningkatkan peluang usaha yang

lebih baik dengan menyerap tenaga kerja di pasar Notoharjo

dan wilayah sekitarnya.

Penelitian Wiyanti di atas baru mencermati proses relokasi

PKL Banjarsari ke Pasar Notoharjo dan dampaknya terhadap

status PKL, beban pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi.

Penelitian Wiyanti fokus pada hal-hal positif dari PKL.

Wiyanti memotret relokasi PKL di Surakarta begitu mudah,

tidak seperti halnya penelitian disertasi ini yang lebih memotret

perlawanan PKL terhadap kebijakan pemerintah kota dan

modal sosial ditengarai menjadi faktor penguat bagi perlawanan

(resistensi) PKL.

Dalam penelitian berjudul “Alternatif Kebijakan terhadap

Sektor Informal di kota Pontianak”, Sri Maryuni (2007) menarik

kesimpulan bahwa pemerintah kota Pontianak telah membuat

kebijakan dalam menata dan membina pedagang kaki lima.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

25

BAB I

Pendahuluan

Kebijakan yang ditempuh meliputi (1) kebijakan struktural, (2)

kebijakan edukatif, dan (3) kebijakan relokasi.

Wujud dari kebijakan struktural, yaitu adanya ketentuan

tempat yang jelas bagi PKL sebagaimana diatur dalam

Keputusan Walikota Pontianak Nomor 217 Tahun 2000 tentang

Penunjukan Lokasi Pedagang Kaki Lima di kecamatan

Pontianak Barat dan Pontianak Selatan. Penentuan lokasi

berjualan bagi PKL tersebut diperkuat juga oleh Pengumuman

dari Walikota Pontianak Nomor 6 Tahun 2001 tentang

Larangan Membangun tanpa Izin dan Berjualan di Tempat-

tempat Terlarang. Keputusan dan Pengumuman Walikota

tersebut merupakan jabaran dari Perda Nomor 3 Tahun 1990

tentang Penyelenggaraan Kebersihan dan Ketertiban Umum.

Dalam hal kebijakan relokasi, pemerintah kota Pontianak

telah membangun pasar tradisional, yaitu pasar Dahlia dan pasar

Mawar. Sebelum menjadi tempat relokasi PKL, dahulu sebelum

kedua pasar dibangun, tempatnya terkesan kumuh, kotor,

membuat jalan macet, dan tingkat kecelakaan lalu lintas cukup

tinggi. Namun setelah pasar dibangun dan para PKL mulai

menempati kios yang disediakan, lokasi menjadi rapi dan bersih

serta tingkat kecelakaan lalu lintas makin menurun.

Dalam rangka mendukung dua kebijakan di atas,

pemerintah kota Pontianak juga telah melakukan kebijakan

edukatif dengan memberikan bimbingan dan pembinaan

kepada PKL, baik dalam hal manajemen maupun dalam bantuan

permodalan.

Dalam implementasi kebijakan tersebut, pemerintah kota

Pontianak bukannya tidak ada perlawanan dari para pedagang

kaki lima. Perlawanan yang dilakukan PKL, menurut Maryuni

(2007), berupa perlawanan yang dikembangkan untuk menolak

lahirnya Perda, perlawanan terhadap program relokasi, dan

perlawanan terhadap penggusuran.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

26

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Implementasi kebijakan penataan dan pembinaan PKL

tersebut memberikan dampak terhadap PKL, pemerintah, dan

masyarakat. Bagi PKL, kebijakan penataan dan pembinaan PKL

berdampak pada penurunan pendapatan mereka karena situasi

yang tidak menentu. Bagi pemerintah, kebijakan penataan dan

pembinaan PKL membuat daerah yang semula ditempati PKL

menjadi lebih tertib, indah, dan aman. Bagi masyarakat umum,

kebijakan pemerintah kota tersebut memberi dampak positif

maupun negatif. Dampak positifnya adalah masyarakat dapat

menikmati keindahan dan kebersihan kota serta terhindar dari

kemacetan. Bagi pengguna jasa PKL, timbul dampak negatif,

yaitu hilangnya kesempatan untuk mendapatkan barang

kebutuhan sehari-hari dengan harga murah.

Agar kebijakan penataan dan pembinaan PKL lebih efektif

dan efisien, Maryuni (2007) menyarankan perlunya

menggunakan pendekatan society participatory development. Dalam pendekatan ini, PKL dilibatkan dalam pembuatan

kebijakan pemerintah kota, termasuk kebijakan relokasi.

Harapan, suara, dan keluhan PKL hendaknya didengar dan

ditindaklanjuti, serta kebijakan penertiban yang selama ini

dilakukan secara represif, perlu diganti dengan kebijakan yang

bersifat persuasif tanpa kekerasan. Untuk mengantisipasi

perlawanan yang dilakukan oleh PKL, disarankan pula agar

pemerintah kota menggunakan pendekatan empowerment, dengan bertindak persuasif dan lebih banyak menempuh cara-

cara edukatif dalam membina para PKL.

Penelitian Maryuni hampir mirip dengan penelitian

disertasi ini, yakni memotret suatu kebijakan pemerintah

daerah yang berkaitan dengan relokasi terhadap PKL. Maryuni

pun menemukan adanya perlawanan yang dilakukan PKL

terhadap kebijakan yang diambil Pemkot. Penelitian disertasi

ini berbeda dengan hasil penelitian Maryuni, karena penelitian

disertasi ini menganalisis perlawanan (resistensi) PKL dengan

menyertakan faktor yang turut memengaruhi, yaitu modal

Page 27: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

27

BAB I

Pendahuluan

sosial dan modal sosial inilah yang tidak dilihat oleh Maryuni

dalam penelitiannya.

Dalam penelitian tentang “Pekerja Sektor Informal dan

Pengembangan Wilayah Kota Binjai”, Tuti Hidayati (2007)

menemukan bahwa pekerja sektor informal di Binjai didominasi

oleh laki-laki, yaitu sebanyak 75 persen. Rata-rata mereka yang

bekerja di sektor informal berumur 40 tahun, 80% di antaranya

berstatus menikah dan 45,45% atau hampir setengahnya

berpendidikan Sekolah Menengah Atas. Banyaknya lulusan

SMA yang terjun ke sektor informal menunjukkan betapa

sulitnya mencari pekerjaan pada sektor formal.

Responden yang diteliti Hidayati, memiliki tanggungan

keluarga 3 hingga 4 orang. Sebanyak 54,54% responden telah

menekuni usaha di sektor informal selama 1 hingga 4 tahun,

bahkan 15,91% di antaranya telah berdagang atau menjalankan

usaha selama 21 sampai dengan 25 tahun. Jam kerja pekerja

bervariasi, tetapi yang paling besar, yaitu 75% bekerja antara 5

hingga 10 jam per hari. Modal kerja pedagang bervariasi dan

ditemukan bahwa sebagian besar, yakni 56,82% memerlukan

modal antara 1 sampai 5 juta rupiah per bulan. Rata-rata omzet

atau revenue per bulan kurang dari Rp10 juta; 38,64% di

antaranya memiliki omzet 1 sampai dengan 5 juta rupiah dan

yang mempunyai omzet 6 hingga 10 juta rupiah sebanyak

34,09%.

Para pedagang yang diteliti bekerja sebagai penjual

makanan ringan, penjual minuman (termasuk es juice), dan

penjual nasi. Jumlah pembeli rata-rata 21 hingga 30 orang per

hari. Dengan menggunakan sistem SPSS, diperoleh angka r-square sebesar 0,983, artinya 98,3% variabel pendapatan

responden dapat dijelaskan oleh variasi himpunan variabel

independen, seperti rata-rata jam kerja per hari, modal kerja,

pengalaman usaha, tingkat pendidikan, dan jenis usaha.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

28

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dari penelitian Hidayati (2007) juga diperoleh temuan

bahwa keberadaan pedagang sektor informal turut mendukung

pengembangan wilayah, khususnya dalam menyerap tenaga

kerja. Jumlah tenaga kerja yang diserap (sesuai sampel

penelitian) sebanyak 84 orang, artinya 84 orang tersebut

terhindar dari situasi pengangguran. Dari sisi ekonomi, kondisi

ekonomi responden membaik, pendapatan meningkat, dan

kebutuhan ekonomi keluarga dapat terpenuhi.

Penelitian Tuti Hidayati tentang pedagang kaki lima (PKL)

di Binjai bersifat deskriptif, yakni baru menjelaskan tentang

profil pekerja sektor informal dilihat dari jenis kelamin, status

pendidikan, lama bekerja, modal, omzet, dan pendapatan.

Pendekatan kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis

data, baru dapat menjelaskan pengaruh variabel ekonomi

terhadap pendapatan yang juga merupakan variabel ekonomi.

Aspek-aspek sosial tidak disentuh dalam penelitian Hidayati.

Penelitian disertasi ini berbeda dengan penelitian Hidayati,

karena selain menyentuh aspek sosial melalui analisis tentang

modal sosial, penelitian ini juga mengkaji hal lain, yaitu

perlawanan PKL terhadap kebijakan Pemkot, terutama dilihat

apakah perlawanan tersebut mendapat penguatan dari modal

sosial atau tidak.

Zakik (2006) dalam penelitian berjudul “Analisa Strategi

dan Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota

Surabaya” menghasilkan temuan yang menarik.

Pertama, jumlah pedagang kaki lima (PKL) mengalami

peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Dalam tiga tahun

terakhir, jumlah PKL meningkat rata-rata 11,42%. Angka

tersebut diduga lebih rendah dari keadaan sesungguhnya,

karena masih banyak PKL liar yang tidak mudah didata. Pada

tahun 2003, jumlah PKL Surabaya diperkirakan sebanyak

10.699 orang dan jika diasumsikan seorang PKL menanggung 3

Page 29: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

29

BAB I

Pendahuluan

anggota keluarga, maka terdapat 42.769 orang yang hidupnya

tergantung pada usaha PKL.

Kedua, rata-rata pendapatan bersih PKL per bulan

Rp2.280.000,00 atau per tahunnya adalah Rp27.360.000,00. Jika

dibandingkan dengan pendapatan perkapita penduduk Surabaya

pada tahun 2003 yang hanya Rp16.585.503,00, maka

pendapatan PKL jauh lebih tinggi, yaitu 1,7 kali lipatnya. Ini

artinya, tingkat kesejahteraan PKL cukup tinggi. Selain dapat

meningkatkan kesejahteraan PKL, sektor informal yang

dijalankan oleh PKL juga menyediakan barang-barang

kebutuhan dengan harga relatif murah yang dapat dijangkau

oleh penduduk kota Surabaya yang berpenghasilan pas-pasan.

Ketiga, omzet rata-rata PKL per harinya sebesar

Rp262.000,00 dan dengan asumsi jumlah PKL sebanyak 10,699,

maka dalam setahun total omzet PKL sejumlah

Rp842.546.250.000,00. Dengan margin pendapatan bersih

terhadap omzet penjualan sebesar 34,7%, maka diperoleh nilai

tambah output sektor riil PKL sebesar Rp292.363.548.750,00.

Jika nilai estimasi PDRB atas dasar harga berlaku Surabaya

tahun 2003 sebesar Rp51.188.650.796.608,00, maka kontribusi

output sektor informal PKL terhadap PDRB sebesar 0,57%.

Pungutan PKL per tahun sebesar Rp7.253.922.000,00 dan

diasumsikan jumlah PAD kota Surabaya tahun 2003 sebesar

Rp305.649.488.100,00, maka rasio nilai pungutan atau retribusi

PKL terhadap PAD sebesar 2,37%.

Keempat, akses PKL terhadap sarana infrastruktur kota dan

lahan sangat terbatas, karena lemahnya pelaksanaan kebijakan

dan peraturan yang dibuat pemerintah kota Surabaya.

Dari hasil penelitian tersebut, Zakik (2006) menyarankan

(1) perlunya memberikan legitimasi keberadaan PKL, berupa

izin berdagang, (2) mengalokasikan lahan pemerintah yang

tidak belum digunakan untuk aktivitas ekonomi PKL dengan

cara melibatkan pihak swasta dalam pengaturan penyediaan

Page 30: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

30

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

lahan, (3) memberi kemudahan kepada PKL untuk mengakses

kredit untuk modal usaha, (4) memberikan pendidikan dan

pelatihan kepada PKL mengenai tata cara pengajuan kredit, skill manajemen bisnis, dan lain-lain, serta (5) memberdayakan

asosiasi atau paguyuban PKL dalam membina dan

mengembangkan PKL.

Zakik dalam penelitiannya baru membahas persoalan

ekonomi PKL, seperti pendapatan dan omzet penjualan.

Meskipun ditemukan bahwa akses PKL terhadap infrastruktur

kota terbatas, karena kebijakan pemerintah yang kurang

memihak PKL, tetapi penelitian Zakik sama sekali tidak

menyentuh persoalan modal sosial. Penelitian disertasi ini

berbeda, karena mengkaji modal sosial, utamanya dilihat apakah

modal sosial tersebut menjadi faktor penentu bagi perlawanan

(resistensi) PKL terhadap kebijakan Pemkot Semarang.

Ishak Kadir (2010) dalam penelitiannya berjudul “Studi

Karakteristik Penggunaan Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL) di

Kawasan eks Pasar Lawata Studi Kasus Jalan Taman Surapati

Kota Kendari” memberikan beberapa kesimpulan berikut.

Pertama, kecenderungan PKL berlokasi di pasar Lawata,

karena koridor jalan di pasar tersebut memiliki tarikan

pengunjung yang paling tinggi.

Kedua, 50% PKL menggunakan badan jalan dan trotoir

sebagai area untuk melakukan aktivitas berjualan, karena untuk

memudahkan pengunjung memperoleh barang kebutuhan

sehari-hari tanpa harus meninggalkan kendaraan di tempat

yang jauh.

Ketiga, di antara para PKL, 30% di antaranya menggunakan

area hijau untuk berdagang dan 20% lainnya menggunakan

halaman rumah atau lahan kosong milik warga masyarakat

untuk aktivitas berjualan. Area ini bisa digunakan karena

pemilik lahan menyewakannya kepada PKL.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

31

BAB I

Pendahuluan

Keempat, banyaknya pembeli berdatangan ke area PKL ini,

karena barang sembako dan kebutuhan sehari-hari, seperti

sayur-sayuran dan ikan tersedia dengan harga yang terjangkau.

Kelima, lokasi PKL di Lawata berdekatan dengan fasilitas

umum, seperti perkantoran, perbankan, mall, dan transportasi

umum.

Hasil penelitian Kadir hampir sama dengan penelitian

Hidayati, yang bersifat deskriptif, di mana Kadir baru

menampilkan profil PKL, utamanya yang berkaitan dengan

pemilihan lokasi untuk berdagang. Kadir sama sekali tidak

melihat modal sosial sebagai hal penting dalam penelitiannya;

sedangkan penelitian disertasi ini melihat modal sosial sebagai

variabel penting, tidak saja untuk membangun ekonomi PKL,

tetapi juga dapat digunakan sebagai faktor penguat bagi PKL

dalam melakukan perlawanan terhadap Pemkot Semarang.

Sugiyanto, Sukesi, Indrati, Suhariningsih, dan Yuliati (2006)

dalam penelitiannya tentang “Model Kelembagaan dan

Perlindungan Sosial Perempuan Pedagang Kaki Lima di Jawa

Timur” memberikan kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, aktivitas sektor informal yang dikelola oleh kaum

perempuan sebagai pedagang makanan dan nonmakanan,

ternyata mampu menjadi tumpuan ekonomi rumahtangga,

karena tingkat pendapatan yang diperoleh cukup besar, yakni

Rp500.000,00 hingga Rp11.460.000,00 bagi pedagang makanan

dan antara Rp600.000,00 sampai dengan Rp13.035.000,00 bagi

pedagang nonmakanan.

Kedua, masalah-masalah yang dihadapi PKL perempuan di

antaranya adalah (1) modal usaha kecil, (2) tidak ada keamanan

kerja, terbukti dari adanya iuran tidak resmi dari preman, (3)

lembaga yang ada, seperti Koperasi Pasar dan Himpunan

Pedagang Pasar tidak dapat diakses pelayanannya, (4)

pendidikan anak terbengkalai, karena tidak ada dana yang

Page 32: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

32

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

cukup untuk itu, dan (5) kondisi kerja dan fasilitas kerja kurang

mendukung, seperti lingkungan kerja yang pengap, tidak

tersedianya fasilitas air bersih dan tempat pembuangan sampah

yang memadai.

Ketiga, tidak ada jaminan sosial yang memadai, seperti

jaminan hari tua, santunan kecelakaan, serta pelayanan

kesehatan dan KB.

Keempat, kebijakan dan program pemerintah, seperti

adanya UU Nomor 3 Tahun 1992, UPPKS, P2WKSS, dan JPKS

tidak dapat menjangkau kepentingan dan kebutuhan PKL

perempuan.

Penelitian Sugiyanto, dkk., di atas masih terbatas pada

pembahasan pada variabel ekonomi dan politik. Variabel

ekonomi, terutama melihat peran PKL perempuan dalam

peningkatan pendapatan keluarga. Variabel politik yang

diungkap adalah kebijakan pemerintah yang belum mampu

menjangkau kebutuhan PKL perempuan. Penelitian Sugiyanto,

dkk. belum mengungkap modal sosial sebagai variabel penting,

sementara penelitian disertasi ini mengkaji modal sosial sebagai

faktor penguat perlawanan (resistensi) PKL terhadap kebijakan

yang diambil Pemkot Semarang.

Dalam penelitian tentang “Peran Ekonomi Pedagang Kaki

Lima Wanita di dalam Rumahtangga Studi Kasus Pedagang Kaki

Lima Perempuan di Simpanglima Semarang”, Suyanto, M.

Hermintoyo dan Sri Puji Astuti (2002) memberikan beberapa

kesimpulan.

Pertama, hampir separo, yaitu 42% pedagang kaki lima yang

diteliti berasal dari kota Semarang, sisanya 58% dari luar kota

Semarang.

Kedua, sebelum menjadi PKL, mereka bekerja sebagai

petani dan ibu rumah tangga.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

33

BAB I

Pendahuluan

Ketiga, 67% di antaranya berpendidikan SMP ke bawah,

sisanya 33% berpendidikan SMA.

Keempat, pendapatan PKL per bulan berkisar antara

Rp500.000 hingga Rp1.000.000,00.

Kelima, pendapatan PKL tersebut digunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga sehari-hari, seperti

makan dan minum, biaya sekolah anak-anak, kesehatan, bahkan

ada di antaranya yang mampu membeli sepeda motor,

perhiasan, dan perabot rumahtangga.

Penelitian Suyanto, dkk. baru terbatas mengkaji profil PKL

di Simpang Lima Semarang, seperti latar belakang asal daerah,

pekerjaan sebelumnya, pendidikan, dan pendapatan; tetapi

tidak melihat faktor sosial, seperti modal sosial dalam

penelitiannya. Sementara, penelitian disertasi ini mengkaji

modal sosial sebagai faktor penguat perlawanan (resistensi) PKL

terhadap kebijakan Pemkot Semarang.

Dalam penelitian tentang “Kebijakan Publik bagi PKL di

Lokasi Strategis di Kota Semarang”, FT Undip dan Bappeda

Semarang (2007) memberikan kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, keberadaan PKL di kota Semarang, khususnya di

lokasi strategis, pertumbuhannya tidak terkendali. Masalahnya

adalah Perda tentang pengaturan PKL tidak dihiraukan oleh

PKL, sehingga membuat kota Semarang menjadi semrawut.

Kedua, pertumbuhan kota Semarang sebagai pusat bisnis

dan perdagangan, menjadikan kawasan Simpang Lima menjadi

daya tarik bagi para PKL.

Penelitian FT Undip dan Bappeda hanya memfokuskan diri

pada pertumbuhan PKL di kawasan Simpang Lima Semarang

dan sama sekali tidak melihat faktor lain, selain variabel

ekonomi; sedangkan penelitian disertasi ini, tidak hanya

mengkaji variabel ekonomi, tetapi juga melihat variabel sosial,

Page 34: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

34

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

utamanya modal sosial sebagai faktor penguat perlawanan

(resistensi) PKL terhadap kebijakan Pemkot Semarang.

Priono (2004) dalam penelitian tentang “Kajian Persepsi dan

Preferensi Pedagang Kaki Lima Taman Kota terhadap Rencana

Pemindahan ke Taman di Tuk Buntung Kota Cepu”,

menyampaikan beberapa kesimpulan.

Pertama, 75% responden yang diteliti memilih taman kota

Cepu sebagai tempat yang paling layak dan strategis untuk

berdagang.

Kedua, berkaitan dengan rencana relokasi yang ditetapkan

pemerintah, 57,14% responden tidak bersedia dipindah ke Tuk

Buntung, sedangkan 35,72% lainnya bersedia dipindah.

Ketiga, namun demikian, PKL taman kota menyadari bahwa

keberadaan mereka di lokasi taman kota tidak sesuai dengan

rencana umum tata ruang (RUTR) kota Cepu, sehingga mereka

siap apabila suatu saat dipindahkan ke lokasi taman di Tuk

Buntung.

Penelitian Priono mengkaji respon PKL terhadap kebijakan

pemerintah daerah yang akan merelokasi mereka. Meskipun

sebagian PKL tidak bersedia pindah dalam arti melawan

kebijakan pemerintah, tetapi penelitian Priono tidak

menyertakan faktor modal sosial sebagai penguat perlawanan

(resistensi) PKL, yang dalam penelitian disertasi ini dikaji.

Budiman (2010) dalam penelitian tentang “Kajian

Lingkungan Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan

Banjaran Kabupaten Tegal”, mengemukakan kesimpulan

penelitiannya sebagai berikut.

Keberadaan PKL di kawasan Banjaran memiliki dampak

positif dan negatif. Dampak positifnya adalah membuka

lapangan kerja dan memberikan kontribusi bagi pendapatan asli

Page 35: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

35

BAB I

Pendahuluan

daerah melalui retribusi sebesar 3,16% dari total retribusi

daerah.

Dampak negatif PKL, yakni (1) PKL menempati ruang

publik yang bukan peruntukannya, seperti trotoir dan bahu

jalan, sehingga merugikan masyarakat pada umumnya, (2)

keberadaan PKL menyebabkan kemacetan lalu lintas,

menurunnya kualitas lingkungan sebagai akibat sampah yang

dihasilkan per hari sebanyak 4,25 m³, pencemaran udara,

kebisingan, dan tercemarnya air sungai Kali Jembangan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, Budiman menyarankan

agar kawasan Banjaran ditata sedemikian rupa dengan

melibatkan PKL, masyarakat, dan pemerintah. Selain itu, juga

disarankan agar PKL direlokasi ke dalam pasar dan melibatkan

semua stakeholder dalam menangani dan membina PKL.

Penelitian Budiman baru terbatas pada kajian tentang

dampak positif dan negatif dari keberadaan PKL di Kabupaten

Tegal. Dampak positif berkaitan dengan masalah ekonomi,

sedangkan dampak negatif berkaitan dengan persoalan

keruangan. Penelitian Budiman ini belum melihat sama sekali

faktor modal sosial, apalagi masalah perlawanan PKL. Penelitian

disertasi ini melihat modal sosial dan peranannya sebagai faktor

penguat perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah kota

Semarang.

Dewan Riset Nasional (DRN) dan Bappenas bekerjasama

dengan Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan LIPI,

sebagaimana disunting Firdausy (1995), dalam penelitian

tentang “Pengembangan Sektor Informal Pedagang Kaki Lima

di Perkotaan”, mengemukakan beberapa kesimpulan.

Pertama, karakteristik usaha PKL berkaitan dengan aspek

ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.

Kedua, PKL umumnya menghadapi permasalahan, seperti

banyaknya pesaing usaha sejenis, sarana prasarana

Page 36: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

36

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

perekonomian tidak memadai, belum ada pembinaan yang

memadai, akses kredit terbatas, lemah struktur permodalannya,

lemah dalam organisasi dan manajemen, komoditi yang dijual

terbatas, pendidikan dan keterampilan terbatas, kualitas SDM

kurang memadai, dan tidak ada kerjasama usaha.

Ketiga, namun demikian ditemukan bahwa keterbatasan

yang dimiliki PKL tidak selalu dapat diartikan bahwa sektor

informal PKL merupakan kegiatan ekonomi yang

berpendapatan rendah. Buktinya, sebagian responden yang

diteliti, yakni 54% berpenghasilan bersih Rp250.000,00 per

bulan (tahun 1995).

Keempat, berdasarkan perhitungan statistik, terdapat

hubungan yang tidak signifikan antara pendidikan dan lama

usaha dengan tingkat pendapatan PKL. Faktor positif yang

mendorong peningkatan pendapatan PKL adalah modal usaha.

Artinya, makin besar modal usahanya, akan makin tinggi

tingkat pendapatan PKL.

Penelitian DRN dan Bappenas di atas baru menjelaskan

variabel sosial ekonomi PKL, utamanya dominasi variabel

ekonominya dan dengan perhitungan statistik, diungkap

hubungan antara variabel sosial dan ekonomi, tetapi penelitian

ini sama sekali tidak membahas persoalan resistensi PKL dan

modal sosial sebagai faktor penguat bagi resistensi PKL tersebut.

Alisjahbana (2006) dalam penelitiannya tentang

Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan di Surabaya

menyimpulkan hal-hal berikut.

Pertama, perlawanan PKL pada dasarnya merupakan suatu

proses panjang yang berjalan secara simultan, mulai dari tahap

pragerakan, tahap membangun kesadaran kolektif, membentuk

organisasi gerakan, merapikan dan merapatkan barisan,

melakukan perlawanan, sampai dengan tahap konsolidasi yang

Page 37: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

37

BAB I

Pendahuluan

meliputi membangun semangat pantang menyerah dan

melawan terus tanpa mengenal lelah;

Kedua, langkah puncak yang dilakukan organisasi PKL

adalah melakukan gerakan perlawanan secara riil, yang

ditempuh dengan demonstrasi, turun ke jalan, mendatangi

gedung Dewan dan Walikota, melawan petugas saat

ditertibkan, dan main kucing-kucingan dengan petugas;

Ketiga, dilihat dari sudut kebijakan, bentuk perlawanan

PKL dalam mengahadapi kebijakan penataan oleh Pemerintah,

dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu (1)

perlawanan yang dikembangkan untuk menolak lahirnya Perda,

(2) perlawanan terhadap program relokasi, dan (3) perlawanan

terhadap penggusuran.

Penelitian Alisjahbana ini cukup komprehensif, di mana

penelitiannya difokuskan pada gerakan perlawanan itu sendiri

dilihat sebagai suatu gerakan sosial, sehingga penelitiannya

banyak diarahkan pada proses dan modus gerakan perlawanan.

Penelitiannya memang menyinggung peran organisasi PKL

dalam melakukan perlawanan, tetapi sama sekali belum

menyentuh persoalan perlawanan (resistensi) dilihat dari aspek

modal sosial, apalagi melihat modal sosial sebagai faktor

penentu perlawanan. Penelitian disertasi penulis berbeda

dengan apa yang diteliti Alisjahbana, karena disertasi penulis

lebih fokus pada sejauhmana modal sosial memiliki peran atau

menjadi faktor penguat dari perlawanan (resistensi) yang

dilakukan PKL terhadap kebijakan yang diambil pemerintah

kota.

Penelitian dan kajian yang dilakukan oleh para peneliti di

atas, lebih banyak memotret persoalan ekonomi. Jikalau ada

yang mengkaji persoalan politik, seperti penelitian Alisjahbana,

namun penelitian tersebut belum memasukkan unsur modal

sosial. Penelitian disertasi ini berbeda dari penelitian terdahulu,

karena penelitian ini hendak mengungkap lebih mendalam

Page 38: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

38

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

tentang mengapa dan bagaimana para PKL resisten terhadap

kebijakan (relokasi) yang diambil oleh pemerintah kota

Semarang. Penelitian ini juga ingin mengkaji, apakah

perlawanan (resistensi) tersebut memiliki kaitan dengan modal

sosial yang mereka punyai atau justru resistensi merupakan

tipikal dari kelompok masyarakat marginal yang diusik hidup

dan penghidupannya.

B. Perumusan Masalah

Semarang merupakan kota yang paling sering terjadi

penertiban terhadap PKL. Sejak dijabat Soekawi Soetarip hingga

Soemarmo HS, penertiban PKL banyak mereka lakukan, tidak

hanya terhadap PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di

pusat-pusat kota, tetapi juga PKL yang berjualan di pinggiran

kota. Penertiban terhadap PKL merupakan persoalan yang

menarik untuk dikaji dalam penelitian disertasi, bukan

persoalan penertibannya, melainkan pada masalah sikap

resisten PKL terhadap kebijakan relokasi pemerintah kota yang

didahului dengan penertiban dan penggusuran. Kebijakan

relokasi yang dilakukan dengan tindakan penertiban dan

penggusuran menimbulkan perlawanan atau resistensi dari

PKL.

Permasalahan pokok dari penelitian disertasi ini adalah

resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) terhadap Kebijakan

Pemerintah kota Semarang. Permasalahan pokok tersebut

dipecahkan dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut.

(1) Apa kontribusi Pedagang Kaki Lima (PKL) terhadap

ekonomi keluarga, masyarakat sekitar, dan pendapatan asli

daerah (PAD) kota Semarang?,

(2) Apakah menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan

strategi kelangsungan hidup (survival strategy)?

Page 39: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

39

BAB I

Pendahuluan

(3) Bagaimanakah kebijakan publik yang diterapkan

Pemerintah kota Semarang dalam mengatur keberadaan

Pedagang Kaki Lima (PKL)?,

(4) Mengapa Pedagang Kaki Lima (PKL) resisten terhadap

kebijakan penataan PKL yang dilakukan Pemerintah kota

Semarang,

(5) Bagaimana bentuk-bentuk resistensi yang ditunjukkan PKL

dalam merespon kebijakan Pemerintah kota Semarang?,

(6) Apakah modal sosial merupakan penguat resistensi PKL

dalam menghadapi kekuasaan Pemerintah kota Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, penelitian

disertasi ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis:

(1) Kontribusi PKL terhadap ekonomi keluarga, masyarakat

sekitar, dan pendapatan asli daerah (PAD) kota Semarang,

(2) Berdagang Kaki Lima sebagai strategi kelangsungan hidup

(survival strategy),

(3) Kebijakan publik yang diterapkan Pemerintah kota

Semarang dalam mengatur keberadaan PKL,

(4) Alasan mengapa Pedagang Kaki Lima (PKL) resisten

terhadap kebijakan penataan PKL yang dilakukan

Pemerintah kota Semarang,

(5) Bentuk-bentuk resistensi yang ditunjukkan Pedagang Kaki

Lima (PKL) dalam merespon kebijakan Pemerintah kota

Semarang,

(6) Jenis modal sosial yang menjadi kekuatan PKL dalam

melakukan perlawanan (resistensi) terhadap Pemerintah

kota Semarang.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

40

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

D. Luaran Penelitian

Penelitian tentang kehidupan PKL cukup banyak.

Umumnya penelitian berkisar mengenai masalah manajemen

PKL, kewirausahaan PKL, etos kerja PKL, dan tema-tema lain

yang berbau ekonomi. Sementara itu, penelitian yang berbasis

sosial, ekonomi dan politik secara komprehensif relatif kurang

atau yang dikemas dalam perspektif ekonomi politik jarang

dilakukan oleh para peneliti. Penelitian ini hendak menganalisis

basis sosial, ekonomi dan politik dari PKL dalam hubungannya

dengan pemerintah kota selaku pembuat sekaligus pelaksana

kebijakan. Dalam konteks relasi rakyat dan negara, PKL

merupakan representasi dari rakyat (khususnya rakyat miskin)

dan pemerintah kota mewakili sebuah badan yang namanya

negara. Relasi yang tidak selamanya harmonis, menjadi

persoalan menarik untuk dikaji dan diteliti. Sebagaimana telah

diuraikan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas,

bahwa penelitian ini ingin mengkaji resistensi PKL terhadap

kebijakan pemerintah kota Semarang.

Penelitian ini memiliki manfaat teoritik dan praktis.

Manfaat teoritiknya adalah, dapat menjelaskan bagaimana

kebijakan yang ditetapkan pemerintah kota Semarang yang

berkenaan dengan kegiatan ekonomi sektor informal

menimbulkan perlawanan (resistensi) dari pedagang kaki lima

(PKL). Penelitian ini secara rinci menjelaskan mengapa warga

miskin memilih bekerja sebagai PKL, mengapa mereka resisten

terhadap kebijakan pemerintah, apa bentuk resistensinya, dan

faktor apa yang menguatkan resistensi mereka Manfaat teoritik

lainnya adalah ditemukannya penjelasan yang memadai

mengenai resistensi PKL dalam perspektif teori modal sosial.

Benarkah modal sosial telah dimiliki oleh PKL, yang membuat

mereka berdaya dan memberi kekuatan kepada mereka untuk

melakukan perlawanan terhadap pemerintah kota Semarang?

Inilah pertanyaan utama yang hendak dikaji dan dicari konsep

Page 41: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32

41

BAB I

Pendahuluan

teoritiknya untuk menjelaskan pertanyaan tersebut. Dari hasil

penelitian ini ditemukan teori baru sebagai penjelas mengapa

PKL berani melakukan perlawanan (resistensi) dan menolak

kebijakan relokasi yang ditetapkan Pemkot Semarang.

Secara praktis, penelitian ini akan memberikan data dan

informasi tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa

PKL melakukan perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah

dan bentuk-bentuk perlawanannya. Penelitian ini juga

mengungkapkan data yang akurat tentang bagaimana PKL

bertahan hidup di tengah kesulitan ekonomi dan kebijakan

publik yang acapkali tidak berpihak kepada mereka. Data

penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan yang

berharga bagi pemerintah kota Semarang untuk membuat

kebijakan yang tepat berkaitan dengan pembinaan sektor

informal dan PKL, khususnya mereka yang liar dan belum

tertata dengan baik.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah ... · A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32