30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Wilayah muara sungai merupakan bagian hilir sungai yang langsung berhubungan dengan laut, berfungsi sebagai pengeluaran air sungai (Triatmodjo, 1999). Muara sungai merupakan bagian sungai yang berasosiasi dengan wilayah pesisir. Menurut UU No 27 Tahun 2007 wilayah pesisir adalah daerah peralihan antar ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir mempunyai banyak fungsi seperi penyedia protein hewani, kaya hidrokarbon dan mineral, serta fungsi lan seperti pelabuhan, pariwisata, serta agroindustri. Namun, wilayah pesisir dan muara sungai yang tidak dijaga kelestariannya, dapat berisiko terjadi banjir, seperti kejadian yang ada di pesisir Kabupaten Pati Jawa Tengah. Memperhatikan kondisi kawasan pesisir di Kabupaten Pati selama ini sesuai dengan UU No 32/2004, pasal 18 tentang kewenangan suatu daerah mengenai sumber daya di wilayah laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk Kabupaten/kota. Dari peraturan ini, maka dapat diidentifikasi permasalahan biofisik di wilayah pesisir Pati yang ada antara lain: (1) kondisi perikanan tangkap maupun perikanan tambak, (2) tambak garam, (3) hutan mangrove, (4) estuaria, (5) pencemaran, (6) abrasi, (7) reklamasi, (8) sedimentasi, dan (9) rehabilitasi belum optimal dikelola. Sealin itu, menurut Perda Kabupaten Pati No 4/2003, pasal 2 bahwa tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang bergantung pada sumberdaya pesisir dan laut, dan sekaligus menjamin keanekaragaman hayati dan produktivitas ekosistem wilayah pesisir dan laut. Pengelolaan daerah muara sungai dan pesisir yang kurang sesuai, dapat menyebabkan beberapa permasalahan, salah satunya adalah banjir. Banjir besar yang terjadi pada awal tahun 2014 lalu, menyebabkan wilayah pantura, terutama

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94146/potongan/S1-2016... · 3 terbawa oleh aliran air membawa banyak material baik organik maupun

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Wilayah muara sungai merupakan bagian hilir sungai yang langsung

berhubungan dengan laut, berfungsi sebagai pengeluaran air sungai (Triatmodjo,

1999). Muara sungai merupakan bagian sungai yang berasosiasi dengan wilayah

pesisir. Menurut UU No 27 Tahun 2007 wilayah pesisir adalah daerah peralihan

antar ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Wilayah pesisir mempunyai banyak fungsi seperi penyedia protein hewani, kaya

hidrokarbon dan mineral, serta fungsi lan seperti pelabuhan, pariwisata, serta

agroindustri. Namun, wilayah pesisir dan muara sungai yang tidak dijaga

kelestariannya, dapat berisiko terjadi banjir, seperti kejadian yang ada di pesisir

Kabupaten Pati Jawa Tengah.

Memperhatikan kondisi kawasan pesisir di Kabupaten Pati selama ini

sesuai dengan UU No 32/2004, pasal 18 tentang kewenangan suatu daerah

mengenai sumber daya di wilayah laut, kewenangan untuk mengelola sumber

daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke

arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3

(sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk Kabupaten/kota. Dari

peraturan ini, maka dapat diidentifikasi permasalahan biofisik di wilayah pesisir

Pati yang ada antara lain: (1) kondisi perikanan tangkap maupun perikanan

tambak, (2) tambak garam, (3) hutan mangrove, (4) estuaria, (5) pencemaran, (6)

abrasi, (7) reklamasi, (8) sedimentasi, dan (9) rehabilitasi belum optimal dikelola.

Sealin itu, menurut Perda Kabupaten Pati No 4/2003, pasal 2 bahwa tujuan

pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah untuk memperbaiki kualitas hidup

masyarakat yang bergantung pada sumberdaya pesisir dan laut, dan sekaligus

menjamin keanekaragaman hayati dan produktivitas ekosistem wilayah pesisir

dan laut.

Pengelolaan daerah muara sungai dan pesisir yang kurang sesuai, dapat

menyebabkan beberapa permasalahan, salah satunya adalah banjir. Banjir besar

yang terjadi pada awal tahun 2014 lalu, menyebabkan wilayah pantura, terutama

2

wilayah Jawa Tengah (Kudus dan Pati) lumpuh total dari segala aktivitasnya.

Banjir tersebut merupakan banjir terbesar sejak kejadian ditahun 1986. Setidaknya

sebanyak 52.636 keluarga atau 178.222 jiwa yang tersebar di 20 kecamatan di

Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terkena dampak bencana banjir (dikutip dari :

AntaraNews.com/26 Februari 2014). Menurut beberapa narasumber dalam berita

yang dikutip oleh harian Suara Merdeka, tanngal 20 Februari 2014, sistem

penanganan banjir yang ada di Juwana masihlah buruk. Keadaan ini diperparah

dengan banjir yang tak kunjung surut selama lebih dari 2 minggu. Ada beberapa

faktor yang menyebabkan banjir besar tersebut:

1. Sistem drainase yang buruk

2. Penggunaan lahan yang tidak sesuai disekitar area sungai

3. Curah hujan yang relatif tinggi

4. Sedimentasi sungai yang berlangsung terus menerus, karena merupakan

bagian dari hilir sungai.

Salah satu penyebab banjir di Kecamatan Juwana adalah sedimentasi

yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Muara sungai Juwana semakin hari

semakin mendangkal dan menyempit akibat dari sedimentasi tersebut. Daerah

muara sungai merupakan daerah yang sangat produktif, karena penambahan

bahan-bahan organik yang berasal dari darat melalui aliran sungai dan

perairan sekitarnya, secara terus menerus. Percampuran kedua masa air yang

terjadi di muara sungai dapat menyebabkan perubahan kondisi fisik

oseanografi di lokasi tersebut. Air sungai juga dapat membawa angkutan sedimen

yang akan terakumulasi di muara. Sedimen yang terakumulasi tersebut akan

menyebabkan pendangkalan di daerah muara.

Menurut Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten Pati tahun

2010, kawasan muara sungai Juwana merupakan kawasan perlindungan setempat

yang memiliki ekosistem yang khas, sehingga perlu dijaga kelestariannya.

Wilayah muara sungai yang berhimpit langsung dengan permukiman, berpotensi

besar peningkatan sedimentasi di muara sungai. Selain aktivitas permukiman,

aktivitas lain yang berada di sekitar muara sungai Juwana adalah perikanan dan

pelabuhan. Aktifitas - aktifitas yang dilakukan di sekitar sungai dan pesisir

3

terbawa oleh aliran air membawa banyak material baik organik maupun anorganik

yang kemudian akan terakumulasi di muara sungai.

Muatan padatan tersuspensi terdiri dari lumpur, pasir halus dan jasad-

jasad renik yang sebagian besar disebabkan karena terjadinya pengikisan tanah

atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Erosi tanah yang ada di sekitar muara

sungai Juwana terjadi akibat aktivitas di dearah hulu sungai Juwana, yaitu sekitar

waduk Wilalung, yang ada di Kecamata Undaan, Kabupaten Kudus. Batuan induk

yang ada di daerah hulu adalah aluvium dan campuran batu gamping dari

perbukutan rembang kendeng. Sedangkan muara sungai sebagai tempat

berakhirnya aliran sungai membawa material hasil dari pengikisan/ erosi.

Sehingga terjadi persebaran sedimen di sekitar muara sungai.

Muatan padatan tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-

reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan

yang paling awal. Selain itu, akibat dari sedimen suspensi, penetrasi cahaya

matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif

akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak

berlangsung sempurna. Hal ini tentu akan menggangu keberlangsungan hidup

habitat ikan yang ada di sekitar muara sungai.

Sejak tahun 1970, teknologi penginderaan jauh telah digunakan untuk

pengukuran padatan tersuspensi di tubuh air (Ritchie et al., 2003). Penginderaan

jauh telah memegang peranan penting untuk inventarisasi, monitoring dan

pengelolaan wilayah pesisir melalui kemampuannya memberikan gambaran

sinopsis dari wilayah tersebut (Ambarwulan,2003). Citra satelit merupakan

teknologi penginderaan jauh yang dapat menggambarkan secara detail

kenampakan di bumi. Salah satu aplikasinya adalah dapat mempelajari kualitas air

di suatu perairan terbuka. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang

berbeda pada daerah tertentu yang dapat diketahui dengan teknik multispektral

(Barret dan Curtis, 1982 dalam Haniah, 2010). Kualitas suatu perairan yang dapat

dipelajari menggunakan citra satelit diantaranya adalah konsentrasi padatan

tersuspensi.

4

Padatan tersuspensi yang melayang di perairan dan merupakan material

awal pembentuk endapan sedimen, dalam perhitungan konsentrasinya adalah

satuan mg/l dapat diketahui dengan suatu algoritma yang melibatkan band dalam

citra multispektral. Konsentrasi padatan tersuspensi telah berhasil dipetakan dan

diestimasi menggunakan penginderaan jauh selama tiga dekade belakangan ini.

Berbagai pendekatan dan algoritma telah dikembangkan untuk pemetaan atau

estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi menggunakan pengindraan jauh optical.

Teknik tersebut dapat dikategorikan ke dalam 4 kelompok pendekatan : (1) regresi

sederhana (korelasi antara band tunggal dengan data in-situ), (2) teknik spektral

unmixing, (3) teknik band ratio menggunakan dua atau lebih band dan, (4) regresi

berganda (menggunakan berbagai band dan pengukuran in-situ). (Hossain, et, al,

2003)

Penelitian tentang estimasi sedimentasi tersuspensi menggunakan citra

SPOT di perairan tropis sudah dikembangkan sebelumnya. Seperti penelitian yang

dilakukan oleh Pasterkamp dan Woerd (2000) di Selat Madura, melalui

pendekatan bio optical model. Hasilnya adalah band merah pada citra SPOT

mempunyai korelasi kuat dengan nilai TSM, yaitu ditunjukkan dengan grafik

antara nilai reflectan perairan dengan nilai TSM yang semakin naik. Hal ini

dipengaruhi oleh penyerapan bahan organik terlarut dan penyerapan pigmen

phytoplankton lebih rendah di band merah. Penelitian ini juga hampir sama

dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiwin Ambarwulan dan Hobma (2007) di

Teluk Banten, dimana hasilnya menunjukkan bahwa SPOT HRV pada band 2

mempunyai relasi yang baik terhadap nilai TSM di lapangan.

Penelitian mengenai estimasi sedimen tersuspensi di muara Sungai

Juwana belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai sedimen suspensi di

perairan pesisir pantai utara Jawa bagian perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur

masih jarang dilakukan. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah di

pesisir utara Jawa tengah adalah penelitian yang dilakukan oleh Heni Susanti

(2011) yang menduga estimasi sedimen tersuspensi di perairan pesisir

semenanjung Muria, Jepara dengan pendekatan statistik sederhana dengan

menerapkan persamaan yang telah di bangun oleh peneliti sebelumnya yaitu

Budhiman (2004). Dasar dari penggunaan persamaan ini adalah mengingat

5

pesamaaan Budhiman yang dibangun berdasarkan pada kondisi perairan tropis di

Indonesia. Karena untuk menduga sedimen tersuspensi di perairan secara lebih

detil digunakan metode optical model.

1.2.Rumusan Masalah

Penginderaan jauh sistem multispektral mempunyai beberapa band yang

dapat digunakan dalam mendeteksi kualitas perairan, salah satunya adalah

permasalahan sebaran sedimen tersuspensi. Sejak tahun 1997, Lemigas telah

mengembangkan suatu algoritma yang memanfaatkan band 2 dan 3 pada citra

landsat ETM+ yang peka pada obyek air. Lalu, pada tahun 2004 dan 2008

dikembangkan algoritma Budhiman (2002) dan Jing Li (2008). Algoritma

Budhiman (2002) dalam penelitiannya menggunakan citra Landsat ETM+ dan

SPOT, dimana penelitian ini dilakukan di Delta Mahakam, dan algoritmanya pun

telah digunakan oleh beberapa penelitian tentang sedimentasi tersuspensi di

beberapa pesisir di Indonesia (Pahlevi, 2010).

Sedangkan algoritma Jing Li (2008) yang dikembangkan untuk perairan

di sungai Changjiang di China, juga telah beberapa digunakan dipesisir di

Indonesia. Kedua peneliti tersebut menggunakan pendekatan bio optical model

dalam membangun persamaan untuk estimasi muatan sedimen tersuspensi.

Namun, setiap Penentuan pola sebaran muatan padatan tersuspensi pada muara

sungai Juwana, Pati, akan coba digunakan metode ini, dengan memafaatkan citra

multispektral SPOT 4.

Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh

proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,

maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan

hutan dan pencemaran. Muara sungai yang dekat dengan pesisir, mempunyai

karakteristik yang unik. wilayah pesisir merupakan lingkungan yang dinamis,

unik dan rentan terhadap perubahan lingkungan. Tipe muara sungai Juwana ini

adalah muara yang didominasi debit sungai. Muara ini terjadi pada sungai

dengan debit sepanjang tahun cukup besar yang bermuara di laut dengan

gelombang relatif kecil. Pada waktu air surut sedimen akan terdorong ke

muara dan menyebar di laut.

6

Dari uraian permasalahan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

mengenai rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Penginderaan jauh sistem multispektral mempunyai band yang

dapat digunakan dalam mendeteksi kualitas perairan, namun tidak

semua band peka terhadap perairan yang keruh akibat dari

material yang dikandung oleh perairan tersebut.

2. Algoritma yang dikembangkan oleh Jing Li (2008) dan Budhiman

(2004) dalam mengekstraksi muatan sedimen tersuspensi telah

digunakan oleh penelitian di beberapa pesisir dan muara sungai di

Indonesia. Namun, persamaan ini belum pernah diterapkan di

Muara sungai Juwana, bahkan penelitian mengenai sedimen

tersuspensi juga belum pernah dilakukan di muara sungai Juwana.

3. Muara sungai Juwana mempunyai karaketeristik yang berbeda

degan muara sungai lainnya, termasuk penggunaan lahannya.

Pengaruh lingkungan sekitar seperti penggunaan lahan mempunyai

peranan yang besar dalam sumbangan muatan sedimen tersuspensi

di perairan. Sehingga dibutuhkan analisis pola muatan sedimen

tersuspensi.

1.3.Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah kemampuan band tunggal dan rasio band yang

dimiliki citra SPOT 4 dalam mendeteksi konsentrasi padatan

tersuspensi?

2. Persamaan manakah yang paling mendekati akurat antara

persamaan yang dibangun oleh Jing Li (2008) dan Budhiman

(2004) dalam mengekstrasi muatan sedimen tersuspensi di muara

Sungai Juwana?

3. Bagaimanakah pola sebaran padatan tersuspensi di muara sungai

Juwana?

7

1.4.Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah,

a. Mengetahui kemampuan band tunggal dan rasio band yang dimiliki

oleh citra SPOT 4 dalam mendeteksi konsentrasi dan pola

persebaran padatan tersuspensi.

b. Mengetahui Persamaan yang paling mendekati akurat antara

persamaan yang dibangun oleh Jing Li (2008) dan Budhiman

(2004) dalam mengekstraksi muatan sedimen tersuspensi di muara

Sungai Juwana

c. Mengetahui pola sebaran sedimentasi di muara sungai Juwana.

1.5.Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pola

sebaran muatan padatan tersuspensi yang ada di perairan muara Sungai

Juwana melalui beberapa algoritma yang telah diterapkan oleh peneliti

sebelumnya. Jika algoritma yang diterapkan kurang sesuai, maka

dilakukan pembuatan model dengan persamaan rumus empris sederhana.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dianalisis bagaimana

persebaran muatan padatan tersuspensi di muara Sungai Juwana sebagai

salah satu penyebab terjadinya banjir setiap musim penghujan tiba.

1.6.Batasan Permasalahan

Dalam penelitian mengenai Analisis Pola Sebaran Muatan

Padatan Tersuspensi Menggunakan citra SPOT 4 ini perlu dibatasi

permasalahan dan pemakaian istilah untuk memfokuskan tujuan awal

dari penelitian ini. Batasan permasalahannya yaitu:

Kemampuan band tunggal dan rasio band pada citra SPOT 4

dalam mendeteksi konsentrasi dan pola persebaran muatan

padatan tersuspensi.

Hasil dari persamaan yang telah dibangun oleh penenliti

sebelumnya untuk mengetahui muatan padatan tersuspensi di

muara sungai Juwana.

8

Pola sebaran muatan padatan tersuspensi di Muara Sungai

Juwana.

1.7.Telaah Pustaka

1.7.1. Teknologi Pengindraan Jauh untuk Kualitas Air termasuk Sedimen Tersuspensi

Warna air mengandung material optik yang kompleks, dipengaruhi oleh

hamburan cahaya dan penyerapan cahaya yang merupakan proses dari kolom air dan

reflectan substrat. Cahaya reflectance substrat (rumput laut, alga, terumbu karang,

pasir, lumpur dan habitat bentik lainnya) mengalami proses penyerapan dan

penghamburan cahaya. Daya tembus sinar ke dalam air, sangat tergantung pada daya

serap air yang mengenainya. Semain besar daya serap air, semakin kurang sinar

yang dapat menembusnya. Tenaga elektromagnetik yang mengenai obyek air

dipengaruhi tiga hal penting, yaitu (1) material yang terkandung dalam perairan, (2)

kekasaran permukaan perairan, dan (3) kedalaman perairan. Selanjutnya Sturm

(1987) mengatakan bahwa sifat-sifat optos dari perairan akan sangat mempengaruhi

kemampuan dari energi radiasi tersebut dalam berinteraksi dengan permukaan

perairan, sebagai contoh warna air laut dipengaruhi oleh berbagai kondisi, seperti :

turbidinitas, up welling dan kandungan klorofil di perairan.

Gambar 1.1. Diagram dan berbagai macam proses pengindraan jauh dalam

material air ( Brando, Dekker, et, al, 2006)

9

Keberadaan teknologi penginderaan jauh untuk aplikasi sumber daya

alam sudah banyak dikembangkan. Salah satunya aplikasi di bidang lingkungan

khususnya untuk kualitas air. Kualitas air dapat diukur antara lain dengan melihat

sedimen tersuspensi, kekeruhan, alga (klorofil, karoten), aspek kimia (nutrisi,

pestisida, kandungan logam) bahkan minyak dalam perairan (Ritchie et al., 2003).

Tingkat kekeruhan air biasanya diasumsikan dengan keberadaan sedimen dalam

perairan tersebut, salah satunya muatan padatan tersuspensi. Dalam hal ini,

penginderaan jauh dapat membantu dan melengkapi data lapangan terutama jika

wilayah kajian luas yang membutuhkan biaya yang besar. Beberapa keunggulan

penginderaan jauh dalam memonitoring kualitas perairan menurut Reif, 2011

dalam Iswari, 2014, antara lain :

1. Kemampuan synoptic view terhadap tubuh air yang lebih efektif dalam

memonitoring secara spasial dan temporal

2. Menampilkan informasi kualitas air pada berbagai jenis perairan pada

area yang sangat luas dalam satu waktu

3. Menampilkan perekaman kualitas air secara temporal dari masa lampau

sampai saat ini

4. Sebagai alat untuk mencari lokasi dan waktu yang tepat dalam survei

dan pengambilan sampel

5. Dapat digunakan untuk memperkirakan komponen-komponen penciri

kualitas air

Teknik penginderaan jauh ialah mendasarkan kepada kemampuan untuk

mengukur perubahan pada karakteristik spektral yang dipantulkan dari air dan

kemudian membandingkan hasil pantulan tersebut dengan parameter kualitas air.

Panjang gelombang yang dapat dengan baik digunakan untuk mengukur parameter

kualitas air tergantung kepada material yang hendak diukur atau diketahui,

konsentrasinya, dan karakteristik sensor penginderaan jauh yang digunakan.

Faktor utama yang mempengaruhi kualitas air pada tubuh air pada setiap

bentanglahan adalah sedimen tersuspensi, kekeruhan air, algae (klorofil,

karotenoid, dll), kimia (unsur hara, pestisida, besi, dll), material organik terlarut,

suhu permukaan air, tumbuhan air, bakteri pathogen, dan minyak.

10

Faktor – faktor tersebut merubah karakteristik pantulan atau pancaran

suhu air yang dapat diukur dan dideteksi menggunakan teknik penginderaan jauh.

Pada umumnya faktor tersebut merubah karakteristik pantulan atau pancaran suhu

air yang dapat diukur dan dideteksi menggunakan teknik penginderaan jauh. Pada

umumnya faktor kimia dan bakteriologi tidak secara langsung mempengaruhi

perubahan karakteristik spektral pantulan atau pancaran air, sehingga hanya dapat

diketahui pengaruhnya secara tidak langsung melalui parameter kualitas air lainnya

yang terpengaruh oleh faktor kimia atau bakteriologi tersebut. Penginderaan jauh

menyuguhkan kenampakan secara spasial dan temporal dari parameter kualitas air

sebuah tubuh air yang tidak dapat diperoleh melalui pengukuran in situ secara

langsung di lapangan, sehingga mampu untuk mengamati, mengidentifikasi dan

mengkuantifikasi parameter kualitas air beserta permasalahannya secara efektif

dan efisien (Jerlov,1976; Kirk, 1983 dalam Ritchie et al, 2003).

Perkembangan teknik penginderaan jauh yang digunakan untuk

mengamati kualitas air telah dimulai sejak tahun 1970-an. Pada masa tersebut

teknik yang digunakan adalah dengan mengukur perbedaan pantulan dan pancaran

energi elektromagnetik suatu tubuh air, dan kemudian mencari hubungan antara

karakteristik spektral dengan parameter kualitas air. Ritchie et al (1974) dalam

Ritchie et al (2003) mengembangkan rumus untuk mengestimasi sedimen

tersuspensi : Y = A + BX atau Y = Abx.

Dimana Y adalah nilai energi pantulan atau terekam oleh citra

penginderaan jauh, X adalah nilai sedimen tersuspensi hasil pengurkuran in situ,

sedangkan A dan B adalah faktor turunan. Hubungan secara statistik anatara nilai

pantulan atau pancaran citra penginderaan jauh dengan parameter kualitas terukur,

biasa digunakan pada pendekatan secara empiris. Terkadang informasi tentang

karakteristik spektral dari suatu parameter kualitas air digunakan untuk membantu

memilih panjang gelombang terbaik yang akan digunakan untuk membuat model

melalui pendekatan empiris (Ritchie et al, 2003).

Material tersuspensi dan terlarut di permukaan air, dapat merubah warna

air tersebut. Air jernih memiliki warna biru, air yang kaya akan humus berwarna

kuning, dan air keruh memiliki warna bervariasi tergantung dari campuran material

yang masuk ke dalamnya berkisar antara biru-hijau atau coklat-merah. Air jernih

11

hanya memantulkan sedikit dari pancaran sinar matahari yang mengenainya,

sehingga nilai pantulannya terhitung rendah. Pantulan air memiliki nilai tertinggi

pada spektrum biru dan semakin menurun ketika panjang gelombang meningkat

Gambar 1.2.. Pantulan air jernih vs air kaya akan alga hijau (Khoram, 2012)

Air keruh mampu untuk memantulkan lebih banyak sinar matahari sehingga

memiliki nilai pantulan yang lebih tinggi dibandingkan dengan air jernih. Air yang

kaya akan ganggang hijau memiliki konsentrasi klorofil yang tinggi, sehingga

memiliki pada panjang gelombang 450 nm dan 670 nm terjadi penyerapan yang

tinggi. Semakin besar konsentrasi klorofil yang terkandung pada suatu tubuh air,

maka semakin rendah pantulan pada panjang gelombang pendek (biru), namun

pantulan pada spektrum hijau akan semakin tinggi. (Purkis dan Klemas, 2011).

Padatan tersuspensi terdiri bahan organik dan anorganik. Padatan

tersuspensi mempunyai peran penting dalam manajemen kualitas air karena terkait

dengan total produksi primer dan fluks logam berat dan mikro-polutan. Material

suspensi adalah polutan yang paling umum di permukaan air. Beberapa peneliti

telah meneliti hubungan antara sedimen dan reflektansi. Sedimen yang tersuspensi

meningkatkan cahaya dari air permukaan di inframerah tampak dan inframeah

dekat berkisar dari spektrum elektromagnetik (Ritchie dan Charles, 1996). In situ

dan pengukuran laboratorium telah menunjukkan bahwa cahaya air permukaan

dipengaruhi oleh sedimen jenis, tekstur, warna, tampilan sensor dan sudut

matahari, dan kedalaman air (Ritchie dan Frank, 1998 dalam Usali, 2010)

12

Teknik penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk memperkirakan dan

memetakan konsentrasi tersuspensi materi di pedalaman air, memberikan informasi

baik spasial dan temporal. Studi Penginderaan jauh dari materi sedimen telah

menggunakan dari berbagai satelit seperti Landsat, SPOT, IRS, Zona Pesisir Warna

Scanner (CZCS) dan SEA melihat Wide Field of View Sensor (SeaWiFS).

Penelitian-penelitian tersebut telah menunjukkan hubungan signifikansi antara

materi tersuspensi dan cahaya atau reflektansi baik dari single band atau kombinasi

beberapa band di satelit. Dengan studi insitu, panjang gelombang antara 700 dan

800nm adalah yang paling mendekati untuk menentukan materi tersuspensi dalam

air permukaan (Ritchie et al., 1976 dalam Usali, 2010).

Penyerapan cahaya oleh sedimen umumnya jauh lebih kecil daripada

klorofil, tetapi hamburan jauh lebih tinggi. dalam jangka dari panjang gelombang

optik, penginderaan jauh dari terestrial lebar dibandingkan dengan penginderaan

jauh dari badan air yang dibatasi untuk kisaran yang relatif sempit. Oleh karena itu,

kisaran 400 sampai 850 nm adalah digunakan khusus untuk estimasi parameter

kualitas air. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa TM4 (citra Landsat)

memiliki hubungan yang baikdengan TSM, dan akan cocok untuk memperkirakan

padatan tersuspensi (Dekker et al., 2002 dalam Usali 2010)

1.7.2. Citra SPOT 4

SPOT (Systeme Probatoire de l’observation de la Terre) adalah

proyek kerjasama antara Prancis, Swedia, dan Belgia, di bawah koordinasi

CNES (Center Nasional d’Etudes Spatiales) badan ruang angkasa Prancis.

Pada bulan Desember 1990, SPOT 1 memasuki akhir cadangan aktifnya,

selanjutnya digantikan oleh SPOT 2 yang diluncurkan pada 22 Januri 1990,

kemudian diikuti oleh SPOT 3 pada 26 September 1993. SPOT 4 diluncurkan

pada 24 Maret 1998 dan telah mengalami inovasi pada alat penyiamannya

yaitu penambahan sebuah alat sensor untuk penyiam vegetasi.

SPOT 4 merupakan Sistem SPOT generasi kedua. SPOT generasi

kedua yang mempunyai dua macam instrumen instrumen, yaitu HRVIR dan

VMI. HRVIR merupakan kependekan dari high resolution visible and

13

infrared yang berarti mampu memberikan citra resolusi tinggi di spektral

tampak dan inframerah. Instrumen HRVIR memperbaiki instrumen HRV

pada SPOT generasi pertama, dengan menambahkan satu saluran inframerah

tengah (SPOT menyebutnya shortwave infrared, yang beroperasi pada julat

panjang gelombang 1,58-1,75 um. Pada instrumen ini, moda pankromatik

dengan resolusi 10 meter dihilangkan dan fasilitas ini diganti oleh

kemampuan saluran 2 (merah, 0,61-0,68 um) untuk beroperasi pada dua

moda resolusi : moda 20 meter dan moda 10 meter (Danoedoro, 2012)

HRVIR terdiri dari 2 unit pencitraan pushbroom, sebuah versi

perbaikan dari HRV. Spektral berkisar: B1 = 0,50-0,59 m, B2 = 0,61-0,68

um, B3 = 0,79-0,89 um, SWIR = 1,58-1,75 um (band tambahan dalam 20 m

moda multispektral pada 1,58-1,75 um disediakan). Band pankromatik (0,51-

0,73 um dari HRV pada SPOT-1, 2, 3) telah digantikan oleh Band B2,

memungkinkan memiliki resolusi 20 meter. Geometri dan kemampuan

resolusi hampir sama dengans HRV. Selain itu, dua sensor HRVIR dapat

diprogram untuk akuisisi citra independen (melihat arah dari kedua sensor

independen). Kedua instrumen HRVIR dilindungi polarisasi atau pancaran

oleh sinar matahari secara langsung. SWIR detektor (1,58-1,75 m)

menggunakan generasi baru array linier InGaAs / Polri (Cnes, 2004)

SPOT 4 mampu merekam ulang wilayah yang sama antara 2

hingga 26 hari sekali. Hal ini merupakan kelebihan dibandingkan SPOT

generasi pertama. Kedua macam sensor yang terpasang juga mampu

beroperasi serentak merekam wilayah yang sama, namun dengan resolusi

yang berbeda. Kemampuan ini disebut sebagai kemampuan aplikasi

multiskala (Danoedoro, 2012)

Band name Spectral range Spatial resolution

B1 0.50 - 0.59 µm 20 m

B2 0.61 - 0.68 µm 20 m

B3 0.79 - 0.89 µm 20 m

Pan 0.61 - 0.68 µm 10 m

14

SWIR 1.58 - 1.75 µm 20 m

Sensor Pushbroom, deret linier

Sapuan 60 km +- 50,50

Nisbah 25 Mb/det

Revisit 26 hari

Orbit 822 km, sinkron matahari, inklinasi = 98,70,

melintas ekuator pukul 10.30 pagi

Tabel 1.1. Spesifikasi SPOT 4 (Cnes, 2004) (Danoedoro, 2012)

Berikut Level dan processing citra satelit SPOT

SPOT

scene

Level

1A

Terkoreksi secara radiometrik terhadap distorsi karena perbedaan sensitivitas detektor dalam bekerja, umumnya ditujukan kepada pengguna yang ingin melakukan pengolahan geometris citra secara tersendiri

Level

1B

Koreksi radiometrik seperti pada level 1A dan koreksi geometri terhadap efek sistematis seperti efek panorama rotasi dan kelengkungan bumi. Distorsi internal citra diperbaiki untuk kepentingan pengukuran jarak, sudut daerah permukaan terliput. Produk ini didesain khusus untuk foto interpretasi dan kajian tematik

Level

2A

Koreksi radiometrik identik dengan level 1A dan koreksi dan koreksi geometrik dilakukan dalam proyeksi kartografis standar atau UTM WGS84 secara default, tetapi tidak terikat dengan titik kontrol tanah (GCP). Produk ini sesuai dengan suatu penggabungan citra dengan berbagai varian tipe data informasi geografis.

SPOT

view

Level

2B

Produk data sudah terbentuk proyeksi peta menurut titik kontrol tanah (GCP) atau berbagai pengukuran langsung dengan GPS dilapangan. Digunakan untuk kepentingan tertentu yang tidak mengutamakan perubahan atau

15

deformasi berbagai relief perbedaan medan.

Level 3

(ortho)

Produk data dengan menggunakan proyeksi peta berdasarkan titik kontrol tanah dan DEM yang bereferensi 3D, serta telah terkoreksi dari pengaruh-pengaruh kesalahan relief

Tabel 1.2. (www.spotimage.com/web dalam Sawaludin, 2013)

1.7.3. Sedimen

Pengertian Sedimen adalah sekumpulan rombakan material: batuan,

mineral, dan bahan organik yang mempunyai ukuran butir tertentu (Pethick,

1984). Menurut Dackombe dan Gardiner (1983), kebanyakan sumber dari

material sedimen adalah daratan, dimana erosi dan pelapukan batuan berperan

terhadap pengikisan daratan dan ditransportasikan ke laut. Sedimen pantai

menurut Pethick (1984) berasal dari tiga sumber, yaitu erosi sungai, erosi

pantai, dan erosi dasar laut, dimana pada kenyataannya justru sungai yang

memberikan suplai yang relatif besar (kurang lebih 90%) terhadap transport

sedimen yang terjadi di pantai.

Sedimentasi yaitu proses pengendapan dari suatu material yang

berasal dari angin, erosi air, gelombang laut serta gletsyer. material yang

dihasilkan dari erosi yang dibawa oleh aliran air dapat diendapkan di tempat

yang ketinggiannya lebih rendah (Yodei, 2008 dalam Pangestu, 2013). Sedimen

merupakan akibat dari hasil sedimentasi, dimana sedimen merupakan

material yang telah terkumpul akibat proses sedimentasi. Proses sedimentasi

juga erat kaitannya dengan proses erosi akibat adanya pelapukan yang

terjadi pada permukaan bumi.

Karakteristik sedimen dan alur sungai adalah sifat alam bahwa air

pada dataran terbuka tidak mengalir di atas tanah sebagai lapisan, melainkan

akan mengumpul sebagai suatu sistem saluran alam, sehinggadapat

didefinisikan bahwa sungai adalah suatu sistem saluran yang dibentuk oleh alam

yang disamping mengalirkan air juga mengangkut sedimen yang terkandung di

dalam air sungai tersebut. Proses sedimentasi itu sendiri dalam konteks

hubungan dengan sungai meliputi, penyempitan palung, erosi, transportasi

16

sedimentas (transportsediment), pengendapan (deposition), dan pemadatan

(Compaction) dari sedimen itu sendiri. Karena prosesnya merupakan gejala

sangat komplek, dimulai dengan jatuhnya hujan yang menghasilkan energi

kinetic yang merupakan permulaan proses terjadinya erosi tanah menjadi

partike halus, lalu menggelinding bersama aliran, sebagian akan tertinggal di

atas tanah, sedangkan bagian lainnya masuk kedalam sungai terbawa aliran

menjadi sedimen. Besarnya volume sedimen terutama tergantung pada

perubahan kecepatan aliran, karena perubahan pada musim penghujan dan

kemarau, serta perubahan kecepatan yang dipengaruhi oleh aktivitas

manusia. (kusnan, 2010 dalam Pangestu 2013).

Angkutan sedimen dapat dibedakan menjadi sedimen dasar dan

sedimen tersuspensi (Mulyanto, 2007 dalam Pangestu, 2013)

1. “Wash load“ atau sedimen cuci terdiri dari partikel lanau dan debu

yang terbawa masuk kedalam sungai dan tetap tinggal melayang sampai

mencapai laut, atau genangan air lainnya. Sedimen jenis ini hampir

tidak mempengaruhi sifat-sifat sungai meskipun jumlahnya yang

terbanyak dibanding jenis-jenis lainnya terutama pada saat-saat

permulaan musim hujan datang. Sedimen ini berasal dari proses

pelapukan Daerah Aliran Sungai yang terutama terjadi pada musim

kemarau sebelumnya.

2. “Suspended load” atau sedimen layang terutama terdiri dari pasir halus

yang melayang di dalam aliran karena tersangga oleh turbulensi aliran air.

Pengaruh sedimen ini terhadap sifat-sifat sungai tidak begitu besar.

Tetapi bila terjadi perubahan kecepatan aliran, jenis ini dapat berubah

menjadi angkutan jenis ketiga. Gaya gerak bagi angkutan jenis ini adalah

turbulensi aliran dan kecepatan aliran itu sendiri. Dalam hal ini dikenal

kecepatan pungut atau “pick up velocity”. Untuk besar butiran tertentu

bila kecepatan pungutnya dilampaui, material akan melayang. Sebaliknya,

bila kecepatan aliran yang mengangkutnya mengecil di bawah kecepatan

pungutnya, material akan tenggelam ke dasar aliran.

3. “Bed load”, tipe ketiga dari angkutan sedimen adalah angkutan dasar

dimana material dengan besar butiran yang lebih besar akan bergerak

17

menggelincir atau translate, menggelinding atau rotate satu di atas lainnya

pada dasar sungai; gerakannya mencapai kedalaman tertentu dari lapisan

sungai. Tenaga penggeraknya adalah gaya seret drag force dari lapisan

dasar sungai.

Konsep transpor sedimen di pantai ada dua macam, yaitu

transpor sedimen yang memiliki arah tegak lurus dengan garis pantai dan

transpor sedimen yang memiliki arah rata-rata sejajar pantai. Untuk

transpor sedimen yang memiliki arah tegak lurus dengan pantai dibagi lagi

menjadi dua macam yaitu transpor sedimen menuju dan meninggalkan

pantai (onshore - offshore transport). Sedangkan untuk transpor sedimen

yang memiliki arah rata-rata sejajar pantai hanyalah satu macam saja yaitu

transpor sepanjang pantai (longshore transport).

Gambar 1.3. Transpor Sedimen Dasar dan Muatan Sedimes Suspensi

(Zein, 2013)

1.7.4. Muatan Padatan Tersuspensi

Sedimen tersuspensi disini kemudian disebut sebagai TSS (Total

suspended solid). Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua

zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi

dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton,

zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan

partikel-partikel anorganik. Zat padat tersuspensi merupakan tempat

berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan

pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan

produksi zat organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan

18

dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat

padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat

padat tersuspensi di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari

darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena

resuspensi endapan akibat pengikisan (Tarigan, 2003)

Beberapa sumber dan komposisi beberapa partikulat pencemar yang

umum berada di suatu perairan antaralain erosi tanah, lumpur merah dari

pabrik aluminium oksida, padatan dari pencucian batubara, lubang tanahliat,

kegiatan penimbunan sisa pengerukan, penyulingan pasir-pasir mineral, dan

pabrik pencucian, kerikil dan kegiatan-kegiatan lainnya. Komposisi dan sifat

partikulat pencemar dari erosi tanah berupa mineral tanah, pasir, tanah liat dan

lumpur, sedangkan mineral sedimen, pasir, tanah liat, lumpur, detritus organik

dihasilkan dari kegiatan penimbunan sisa pengerukan. Garam-garam besi yang

dapat berubah menjadi besi terhidrasi dalam air laut merupakan pencemar dari

lumpur merah dari pabrik aluminium oksida dan penyulingan pasir-pasir mineral

(Tarigan, 2003)

1.7.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Transpor Sedimen

Proses perpindahan sedimen merupakan proses yang sangat

kompleks yang dipengaruhi banyak faktor (Asdak, 2002). Besarnya sedimen

yang terangkut aliran air ditentukan oleh interaksi dari berbagai faktor berikut

a. Besarnya sedimen yang masuk ke dalam sungai

Besarnya sedimen yang masuk ke dalam sungai dipengaruji oleh faktor

iklim, topografi, kondisi geologi, kondisi aliran permukaan, bentuk DAS,

kerapatan aliran, vegetasi dan cara mengolah pertanian di daerah

tangkapan air asal sedimen (Asdak, 2002)

b. Karakteristik saluran dan kondisi aliran permukaan

Sifat-sifat aliran permukaan yang mempengaruhi besarnya sedimen yang

terangkut dalam air, yaitu jumlah, laju kecepatan an gejolak aliran

permukaan

c. Karakteristik fisik sedimen

19

Karakteristik fisik sedimen yang menentukan besar sedimen yang

terangkut adalh jumlah dan ukuran butir sedimen (Asdak, 2002)

1.7.6. Muara Sungai

Muara sungai adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan

dengan laut. Permasalahan di muara sungai dapat ditinjau di bagian mulut

sungai (river mouth) dan estuari. Mulut sungai adalah bagian paling hilir dari

muara sungai yang langsung bertemu dengan laut. Sedangkan estuari adalah

bagian dari sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Muara sungai

berfungsi sebagai pengeluaran/aliran debit sungai, terutama pada waktu

banjir, ke laut. Selain itu muara sungai juga harus melewatkan debityang

ditimbulkan oleh pasang surut, yang bisa lebihbesar dari debit sungai.

sehingga muara sungai harus cukup lebar dan dalam. (Anasiru, 2006).

Muara sungai dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yang

tergantung pada faktor dominan yang mempengaruhinya. Ketiga faktor

dominan tersebut adalah gelombang, debit sungai dan pasang surut (Nur

Yuwono, 1994, dalam Pangestu, 2013)

a. Muara yang didominasi gelombang laut.

Gelombang besar yang terjadi pada pantai berpasir dapat

menimbulkan angkutan (transpor) sedimen, baik dalam arah tegak

lurus maupun sejajar atau sepanjang pantai. Angkutan sedimen

tersebut dapat bergerak masuk ke muara sungai dan karena di daerah

tersebut kondisi gelombang sudah tenang maka sedimen akan

mengendap. Semakin besar gelombang semakin besar angkutan

sedimen dan semakin banyak sedimen yang mengendap di muara.

b. Muara yang didominasi debit sungai

Muara ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun cukup

besar yang bermuara di laut dengan gelombang relatif kecil Pada

waktu air surut sedimen akan terdorong ke muara dan menyebar di

laut. Selama periode sekitar titik balik di mana kecepatan aliran

kecil, sebagian suspensi mengendap. Pada saat dimana air mulai pasang,

kecepatan aliran bertambah besar dan sebagian suspensi dari laut

20

masuk kembali ke sungai bertemu dengan sedimen yang berasal dari

hulu. Selama periode dari titik balik ke air pasangmaupun air surut

kecepatan aliran bertambah sampai mencapai maksimum dan

kemudian berkurang lagi. Dengan demikian dalam satu siklus pasang

surut jumlah sedimen yang mengendap lebih banyak daripada yang

tererosi, sehingga terjadi pengendapan di depan mulut sungai.

c. Muara yang didominasi pasang surut

Apabila tinggi pasang surut cukup besar, volume air pasang yang

masuk ke sungai sangat besar. Air tersebut akan berakumulasi

dengan air dari hulu sungai. Pada waktu air surut, volume air yang

sangat besar tersebut mengalir keluar dalam periode waktu tertentu yang

tergantung pada tipe pasang surut. Dengan demikian kecepatan arus

selama air surut tersebut besar, yang cukup potensial untuk

membentuk muara sungai. Muara sungai tipe ini berbentuk corong atau

lonceng.

Gambar 1.4. Bentuk delta dan muara di Pulau Jawa (Ongkosongo, 2007)

21

1.7.7. Uji statistik T test

Statistik parametris yang digunakan untuk menguji hipotesis

komparatif rata-rata dua sampel dengan data berbentuk interval atau rasio

adalah menggunakan t-test (Sugiyono,2007). Uji t-test dapat digunakan pada

data yang berkorelasi dan data yang independen. Data berkorelasi berarti

sampel-sampel yang akan dibandingkan tersebut saling berhubungan

sedangkan data yang independen berarti sampel-sampel yang akan diuji tidak

saling memengaruhi. Persamaan uji t-test untuk hipotesis komparatif dua

sampel yang berkorelasi :

� = �����− � ����

���

��+

���

��− 2� �

��

√��� �

��

√���

............(1)

Keterangan :

�������= rata-rata sampel 1 dan sampel 2

������� = simpangan baku sampel 1 dan sampel 2

��������

�= varians sampel 1 dan sampel 2

r = korelasi antar dua sampel

Rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua

sampel independen ada dua macam. Perbedaan dua rumus ini dilihat dari

sampel dan varians yang akan diuji. Persamaan uji t-test untuk komparatif

dua sampel yang independen tipe separated varians dan polled varians :

������������������

�����− � ����

���

��+

���

��

................(2)

��������������� = �����− � ����

�(�� − � �)��

� + (�� − � �)���

�� + �� − 2 (1��

+1��

)

........(3)

Penentuan tipe uji statistik t-test untuk komparatif dua sampel yang

berindependen menggunakan syarat jumlah sampel (n) dan homogenitas

varians. Persamaan untuk menguji homogenitas varians dengan uji F :

22

� =���������������

���������������

............(4)

Petunjuk untuk memilih rumus t-test :

a. bila n1 = n2 dan varians homogen maka rumus (2) dan rumus (3)

keduanya dapat digunakan

b. bila n1≠ n2 dan varians homogen maka rumus yang digunakan adalah

rumus (3) yaitu polled varians, dengan derajat kebebasan (dk) = n1 + n2

-2

c. bila n1 = n2 dan varians tidak homogen maka rumus (2) dan rumus

(3) dapat digunakan dengan dk = n1 -1 atau dk = n2 -1

d. bilai n1≠ n2 dan varians tidak homogen maka rumus yang digunakan

adalah rumus (2) yaitu separated varians

1.7.8. Regresi Linier Sederhana

Analisis regresi merupakan analisis yang digunakan untuk

memprediksikan seberapa jauh perubahan nilai variable dependen, bila nilai

variabel independen diubah-ubah (Sugiyono, 2007). Salah satu jenis analisis

regresi adalah regresi linear sederhana. Hubungan antar variabel dapat berupa

hubungan linier maupun non linier.

Regresi sederhana, adalah bentuk regresi dengan model yang

bertujuan untuk mempelajari hubungan antara dua variabel, yakni variabel

independen (bebas) dan variabel dependen (terikat). Jika ditulis dalam bentuk

persamaan, model regresi sederhana adalah

y = a + bx ........(5)

dimana, y adalah variabel tak bebas (terikat), x adalah variabel bebas,

a adalah penduga bagi intercept (α), b adalah penduga bagi koefisien regresi

(β). Atau dengan kata lain α dan β adalah parameter yang nilainya tidak

diketahui sehingga diduga melalui statistik sampel. (Sambas dan Maman,

2012)

23

1.8. Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian mengenai sedimen tersuspensi telah dilakukan

sebelumnya, baik dengan cara pengembanagn algoritma ataupun dengan

menggunakan algoritma yang telah ada atau dikembangkan sebelumnya.

Beberapa penelitian yang mengembangkan algoritma dengan metode bio

optical model adalah Dekker, Budhiman dan Doxaran. Dekker dan Peters pada

tahun 2002 dengan penelitiannya yang berjudul Analytical Algoritms for Lake

Water TSM estimation for retrospective analyses of TM and SPOT senosr data,

yang dilakukan di Pesisir Banjarmasin, Indonesia, mencoba mengembangkan

algoritma yang tepat dengan pendekatan bio optical model. Bio optical model

merupakan metode yang menghubungkan antara sub surface-irradiance R(0-)

dengan inherent optical properties (IOP). IOP sendiri merupakan nilai

konsentrasi parameter didasarkan pada prinsip cahaya yang mengalami serapan

(absorbted) dan cahaya yang dipantulkan kembali ke permukaan

(backscattered) perairan tersebut. Dengan menggunakan band 2 dan 3 pada

Landsat TM dan band 1 dan 2 pada SPOT, maka didapatkan algoritma untuk

estimasi konsentrasi TSM, dimana melalui analisis regresi antara irradiance

reflectan dan TSM dilapangan didapatkan hasil R2 = 0,99.

Doxaran (2002) dengan penelitiannya yang berjudul A reflectance band

ratio used to estimate suspended matter concentrations in sediment-dominated

coastal waters, dan berlokasi di Estuari Gironde (Prancis). Dalam penenlitian

ini, Doxaran mengembangkan algoritma untuk konsentrasi TSM melalui

pendekaan bio optocal model. Citra yang digunakan adalah SPOT HRV dan

Landsat ETM+. Data optical berupa seperti upwelling dan downwelling radian

yang diukur dari lapangan menggunakan alat Spectron SE-590

Spectroradiameter, dan dari data tersebut dapat dihitung nilai remote sensing

reflectan. Melalui analisis regresi antara TSM dan nilai remote sensing

reflectance didapatkan suatu algoritma dengan nialai R2=0,97. Pantulan

inframerah dekat (850 nm) mempunyai korelasi lemah dengan nilai TSM,

sedangkan perbandingan pantulan inframerah dekat (859 nm) dengan hijau

(550 nm) mempunyai korelasi yang kuat dengan nilai TSM

24

Beberapa penelitian mengenai estimasi konsentrasi TSM menggunakan

algoritma yang sudah dikembangkan diantaranya, Wiwin Ambarwulan,

Widiatmaka (2002) yang berjudul “Penggunaan Citra SPOT·HRV Melalui

Pendekatan Statistik Untuk Pemetaan Bahan Tersuspensi Di Teluk Banten”.

Ambarwulan dan Widiatmaka melakukan pendugaan terhadap bahan

tersuspensi di Teluk Banten melalui pendekatan statistik, yaitu dengan adanya

korelasi antara TSM yang diukur in situ di lapang dengan reflektan pada

citra satelit. Kelebihan utama dari pendekatan statistik ini adalah mudah

dilakukan, dan tidak memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai

sifat-sifat optik inheren (inherent optical properties). Citra yang digunakan

adalah SPOT-HRV tahun 1990, 1996, dan 1997. Dengan menggunakan data

sedimen in situ dari peneliti sebelumnya, yaitu Wigyowinoto dan Niaz di tahun

yang sama dengan tahun pereolehan citra, maka dapat dilakukan analisis

regresi linier antara nilai reflectan citra dengan hasil lapangan. Dengan koreksi

citra sampai tahap koreksi atmosferik. Dari ketiga citra yang digunakan, hasil

regresi terbaik ada pada band 2 SPOT-HRV dengan nilai R2 yang paling

mendekati 1.

Penelitian lainnya yang menggunakan algoritma yang telah

dikembangkan adalah Bambang Semedi, Arif Zainul Fuad dan Syarif

Budhiman (2013) yang mengadakan penelitian di perairan timur Sidoarjo

akibat material lumpur lapindo yang terbawa ke laut, menerapkan algoritma

Budhiman yang dikembangkan pada tahun 2004. Data yang digunakan adalah

Landsat 7 ETM+, Landsat 8 dan SPOT 4 secara multitemporal dai tahun 2007

sampai 2011, serta data sekunder seperti curah hujan, pasang surut dan arus.

Citra yang dikoreksi sampai tahap atmosferik, yaitu dengan mencari nilai

reflektan dari suatu perairan di laut dalam (deep water). Data in-situ lapangan

yang akan diambil dilakukan validasi terlebih dahulu dengan berpedomana

pada klasifikasi unsupervised, memilih data yang tidak terpengaruh awan dan

didapatkan letak pengambilan sample untuk validasi. Hasilnya adalah berupa

peta sebaran TSM serta grafik hubungan dengan data curah hujan dan pasang

surut.

25

Penelitian selanjutnya yang dilakukan di luar Indonesia adalah

penelitian yang dilakukan oleh Vilmaliz Rodríguez-Guzmán and Fernando

Gilbes-Santaella (2009) untuk monitoring dan estimasi muatan sedimen

tersuspensi dengan menggunakan citra Modis 250 m, melalui validasi dan

pengembangan algoritma di Teluk Mayaguez, Puerti Rico. Penelitian ini

menggunakan pendekatan empiris antara nilai reflectan band 1 pada Modis dan

data insitu reflectan yang diukur dengan spectroradiometer. Hasilnya

didapatkan persamaan yang signifikan antara TSS dan nilai reflectan pada 645

nm dengan R2=0,73. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Wiweka dan

Arizona (2010) mengenai analisis sedimentasi di muara Kali Porong

menggunakan citra Aster dan Landsat. Estimasi TSM melalui algoritma yang

sudah dikembangkan, yaitu algoritma Lemigas (1997) yang didasarkan pada

Digital Number (DN) dan algoritma Jing Li (2008) yang didasarkan pada nilai

reflektan. Hasil penelitian ini adalah algoritma Lemigas mempunyai nilai

koefisien determinasi (R2) sebesar 0.605 terhadap data lapangan, untuk

algoritma Jing Li mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.827

terhadap data lapangan. Klasifikai sedimen di muara Kali Porong pada

penenlitian ini berkisar antara 50-200 mg/l

Berikut ini disajikan tabel mengenai penelitian mengenai estimasi

muatan sedimen tersuspensi yang sudah ada sebelumnya.

26

Nama Tahun Judul Data Tujuan Metode Hasil A. G.Dekker , R. J. Vos & S.W.M.Peters

2002 Analytical algorithms of water TSM estimation retrospective analyses and SPOT sensor data

Landsat TM dan SPOT

mengembangkan algoritma yang tepat dengan pendekatan bio optical model untuk estimasi TSM di Pesisir Banjarmasin, Indonesia dan memetakan sebarannya.

Menggunakan bio optical model, yaitu melalui hubungan antara sub surface-irradiance R(0-) dengan inherent optical properties (IOP), dengan menggunakan band 2 dan 3 pada Landsat TM dan band 1 dan 2 pada SPOT

Algoritma untuk Estimasi TSM pada SPOT dan Landsat TM 5 dengan fungsi eksponensial serta Peta sebaran sedimen dari algoritma tersebut dimana hasinya adalah antara 4-75 mg/l.

D.Doxaran, J.M.Froidefond, dan P.Castaing

2002 A reflectance band ratio used to estimate suspended matter concentrations in sediment-dominated coastal waters

Landsat ETM+ dan SPOT HRV

mengembangkan algoritma untuk konsentrasi TSM melalui pendekaan bio optocal model di Estuari Gironde (Prancis) dan memetakan sebarannya

Citra yang digunakan adalah SPOT HRV dan Landsat ETM+. Data optical seperti upwelling dan downwelling radian yang diukur dari lapangan menggunakan alat Spectron SE-590 Spectroradiameter, dan dari data tersebut dapat dihitung nilai remote sensing reflectan. Lalu dilakukan analisis antara nilai tersebut dengan TSM insitu.

Pantulan inframerah dekat (850 nm) mempunyai korelasi lemah dengan nilai TSM, sedangkan perbandingan pantulan inframerah dekat (859 nm) dengan hijau (550 nm) mempunyai korelasi yang kuat dengan nilai TSM

Wiwin Ambarwulan, dan Widiatmaka

2002 Penggunaan Citra SPOT·HRV Melalui Pendekatan Statistik Untuk Pemetaan Bahan Tersuspensi Oi Teluk Banten

SPOT HRV Memanfaatkan citra SPOT HRV untuk penndugaan konsentrasi TSM di Teluk Banten menggunakan pendekatan statistik

Melalui pendekatan statistik, yaitu dengan adanya korelasi antara TSM yang diukur in situ di lapang dengan reflektan pada citra satelit. Dengan menggunakan data sedimen in situ dari peneliti sebelumnya, yaitu wigyowinoto dan Niaz di tahun yang sama dengan tahun pereolehan citra.

hasil regresi terbaik ada pada band 2 SPOT-HRV dengan nilai R2 yang paling mendekati 1. Dan peta sebaran TSM dari algoritma sebeblumnya

27

Nama Tahun Judul Data Tujuan Metode Hasil Bambang Semedi, Arif Zainul Fuad dan Syarif Budhiman

2013 Analisa sedimen tersuspensi (total Suspended Matter) di perairan timur Sidoarjo menggunakan citra satelit Landsat dan SPOT

Landsat 7 ETM+ Landsat 8 SPOT 4

Memetakan TSM dengan algoritma Budhiman (2004) dan menghubungkan pola TSM dengan curah hujan dan arus dengan memanfaatkan Landsat 7 ETM+, Landsat 8 dan SPOT 4 secara multitemporal dai tahun 2007 sampai 2011

Citra yang dikoreksi sampai tahap atmosferik, yaitu dengan mencari nilai reflektan dari suatu perairan di laut dalam (deep water) lalu dimasukka algoritma Budhiman, dan dilakukana analisis regresi linier antara hasil pengolahan citra dengan data insitu.

peta sebaran TSM serta grafik hubungan dengan data curah hujan dan pasang surut.

Vilmaliz Rodríguez-Guzmán and Fernando Gilbes-Santaella

2009 Using MODIS 250 m Imagery to Estimate Total Suspended Sediment in a Tropical Open Bay

Modis Monitoring dan estimasi muatan sedimen tersuspensi menggunakan citra Modis di lingkungan pesisir tropis

Menggunakan pendekatan empiris antara nilai reflectan band 1 pada Modis dan data insitu reflectan yang diukur dengan spectroradiometer

Persamaan yang signifikan antara TSS dan nilai reflectan pada panjang gelombang 645 nm dengan R2=0,73. Serta peta sebaran TSM dengan berbagai algoritma yang sudah dihasilkan tersebut

Arizona, Maulidiyan pahlevi, dan Wiweka

2010 Analisa Sedimentasi di Muara kali Porong Akibat pembuangan lumpur lapindo menggunakan data citra satelit aster dan spot

Aster SPOT

Mengetahui sebaran sedimentasi tersuspensi di Muara Kali Porong melalui algoritma yang sudah dikembangkan

Algoritma Jing Li dan Lemigas, lalu dilakukan uji validasi dengan hasil lapangan

algoritma Lemigas mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.605 terhadap data lapangan, untuk algoritma Jing Li mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.827 terhadap data lapangan. Klasifikai sedimen di muara Kali Porong pada penenlitian ini berkisar antara 50-200 mg/l

Tabel 1.3. beberapa penelitian tentang sedimen suspensi (Pengolahan data,2015)

28

1.9.Kerangka Pemikiran

Banjir yang sering terjadi bahkan semakin besar tiap tahunnya di

Kecamatan Juwana salah satu penyebabnya adalah pendangkalan di muara

sungai Juwana akibat dari endapan sedimen. Material padatan tersuspensi

(TSS) atau sedimen yang melayang di perairan lama kelamaan akan menjadi

endapan, karena material inilah yang merupakan pembentuk awal endapan

sedimen.

Material dari padatan tersuspensi yang ada di muara sungai Juwana

berasal dari aliran sungai yang melewati di DAS Juwana baik dari hulu ke hilir.

Sungai Juwana bertemu dengan Sungai Serang/ Lusi yang berasal dari Waduk

Kedung Ombo. Wilayah sekitar waduk ini mempunyai formasi geologi berupa

batu gamping dari formasi Bulu. Sungai Juwana juga mempunyai anak sungai

seperti Sungai Glonggong yang berhulu di Todanan Blora, Sungai Jodag

berhulu di Pucakwangi, dimana keduanya mempunyai jenis tanah lempung

dengan formasi batuan lempung dan sedimit batu pasir. Anak sungai lainnya

adalah Sungai Wates di Sukolilo dengan formasi geologi berupa batu gamping

dan mempunyai jenis tanah , dan Sungai Lodan, dari sebelah barat mengalir

sungai sungai kecil yang berasal dari Waduk Seloromo di Gembong yang

berada di lereng Muria,wilayah ini merupakan formasi batuan tuff muria

dengan jenis tanah andosol. Hulu dari sungai Juwana sendiri berada di

Kecamatan Undakan Kudus dengan jenis tanah aluvial. Batuan dan tanah pada

wilayah-wilayah tersebut akan mempengaruhi material sedimen yang dibawah

oleh aliran sungai yang kemudian diendapkan di muara. Setiap material

padatan tersuspensi yang berada di perairan mempunyai kepekaan atau

pantulan spektral yang berbeda-beda pada band-band di citra multispektral.

Ekstraksi data pengindraan jauh terutama penggunaan citra

multipsektral dapat digunakan untuk analisis fenomena muara sungai tersebut.

Adanya data multispektral, seperti contohnya citra SPOT 4, maka dengan

menggunakan suatu algoritma yang telah dikembangkan sebelumnya yang

memanfaatkan band-band yang dimilki oleh citra tersebut untuk

mengkonversinya ke dalam bentuk konsentrasi muatan sedimen. Band-band

yang dimanfaatkan terutama band yang peka terhadap obyek air. Namun,

penggunaan suatu algoritma harus diuji melalui survei lapangan dengan

29

mengambil sample yang mewakili tiap konsentrasi sedimen, dan mengolah

sample tersebut di laboratorium. Selain penggunaan persamaan yang telah

dikembngkan sebelumnya, model baru juga dapat dibangun dengan analisis

antara transformasi perbandingan band dan data insitu. Maka, diperoleh peta

sebaran sedimentasi tersuspensi di sekitar muara sungai Juwana, Pati. Berikut

ini diagram (gambar 1.5) dari kerangka pemikiran penelitian ini.

30

Gambar 1.5. Kerangka Pemikiran

Padatan tersuspensi (TSS) sebagai

material awal pembentuk sedimen

Endapan sedimen yang terus

berkembang

Kebutuhan informasi akan sebaran

sedimen tersuspensi

Material padatan tersuspensi yang dapat

dideteksi dengan citra multispektral

Data TSS

Lapangan

Citra SPOT 4 dengan 4 band (biru, merah,

inframerah dekat, dan inframerah tengah)

Pre processing citra

Band tunggal dan Rasio

band

Pemakaian persamaan yang telah

dikembangkan (Jing Li dan Budhiman)

Model muatan sedimen

Perbandingan persamaan dan

data lapangan

Persamaan tidak sesuai Persamaan sesuai

Peta distribusi muatan sedimen

tersuspensi (TSS)

Analisis Pola Sebaran TSS