Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam upaya menyejahterakan masyarakat, Pemerintah Indonesia telah
membuat banyak program yang dipromosikan melalui kampanye sosial. Hal
serupa dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung. Pemerintah Kota Bandung
mencanangkan berbagai program, salah satunya adalah program yang
berkaitan dengan kesehatan dan kebersihan lingkungan. Program ini
merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi dari Dinas Kesehatan Kota
Bandung untuk melakukan sosialisasi kesehatan kepada masyarakat,
contohnya melalui Program Upaya Kesehatan Masyarakat, Program Promosi
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Program Pengembangan
Lingkungan Sehat, dan lain-lain (www.bandung.go.id, diakses pada tanggal
17 November 2014, pukul 21.00 WIB).
Selain itu, ada gagasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui
Kementerian Kesehatan yaitu untuk menyatukan dua program yakni
Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) dan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM). Caranya dengan mengimplementasikan PPSP
melalui pilar-pilar STBM. Dua kota telah dipilih sebagai lokasi proyek
percontohan tersebut yakni di Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh (Kelurahan
Pusong dan Kelurahan Tumpok Teungoh) dan Kota Cimahi, Provinsi Jawa
Barat (Kelurahan Cipageran & Kelurahan Citeureup)
(http://www.sanitasi.or.id/ ,diakses pada 16 Desember 2014, pukul 00.53
WIB). Oleh karena itu, pada penjelasan selanjutnya, peneliti turut
menggunakan Buku Putih Sanitasi1 Kota Cimahi sebagai salah satu referensi.
1 Buku Putih Sanitasi adalah buku yang berisi hasil pemetaan mengenai
kondisi sanitasi suatu kabupaten / kota pada waktu tertentu. Pemetaan kondisi
sanitasi tersebut diperoleh berdasarkan hasil dari serangkaian studi yang
dilakukan oleh Pokja AMPL Kabupaten / Kota yang bersangkutan dan
menjadi Baseline bagi perumusan strategi pembangunan sanitasi skala
kabupaten / kota untuk lima tahun kedepan..
2
Undang-undang No. 36 tahun 2009 pasal 9 menjelaskan bahwa
setiap orang wajib mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (www.sanitasi.net,
diakses pada tanggal 4 November 2014, pukul 21.00 WIB). Namun,
sayangnya kesadaran masyarakat untuk turut menjaga dan bertanggung
jawab akan kebersihan dan kesehatan belum sepenuhnya terjadi, terutama
pada sektor sanitasi. Sanitasi merupakan hal yang sangat penting karena
berhubungan dengan hidup sehari-hari dan berkaitan dengan kepentingan
orang banyak. Di Indonesia sendiri, sanitasi belum menjadi prioritas
pembangunan. Hal ini terlihat dari rendahnya kualitas dan cakupan
pelayanan sanitasi bagi masyarakat. Tantangan terbesar pada isu sanitasi
adalah masih banyak masyarakat yang tidak menyadari jika kebiasaan
bersanitasinya itu salah. Hal ini terjadi karena rendahnya kesadaran dan
keterlibatan masyarakat dalam mengelola sanitasi, kurangnya koordinasi
antara pihak yang berkepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah, dan
kurangnya minat dunia usaha untuk berinvestasi di sektor sanitasi.
Dalam Buku Putih Sanitasi Kota Cimahi (2012), disebutkan bahwa
di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat ke-6, yaitu tepat berada
dibawah Vietnam dan diatas Myanmar dalam urusan kondisi sanitasi.
Padahal, kondisi sanitasi suatu wilayah menjadi salah satu indikator kualitas
kesehatan masyarakat di wilayah tersebut. Buku Putih Sanitasi Kota Cimahi
(2012) juga menerangkan bahwa pada tingkat nasional akses masyarakat
terhadap sarana dan prasarana sanitasi masih rendah, dimana 70 juta
penduduk masih melakukan praktek buang air besar sembarangan (BABS),
92% Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah masih bersifat open
dumping, 14.000 ton tinja dan 176.000 m3 urine terbuang setiap harinya ke
badan air, tanah, danau dan pantai. Situasi demikian menyebabkan
tingginya tingkat pencemaran dan meningkatkan dampak resiko kesehatan
bagi masyarakat.
Karena sanitasi merupakan hal yang sangat erat dengan kehidupan
sehari-hari, maka banyak sektor-sektor lainnya yang terkena imbas dari
3
buruknya sanitasi. Sebagai contoh dampak langsung dari sanitasi yang
buruk adalah keadaan kesehatan masyarakat. Di Indonesia, diare merupakan
penyebab kedua terbesar kematian balita. Menurut Agung Laksana, Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat menyebutkan bahwa sebanyak 1,4 juta
anak menderita diare setiap tahunnya dengan kerugian yang terjadi pada
sektor kesehatan yaitu sebesar Rp 29 triliun (www.merdeka.com , diakses
pada 4 November 2014, pukul 21.34 WIB).
Buku Putih Sanitasi Kota Bandung (2010) menerangkan bahwa
berdasarkan catatan medis di puskesmas dan rumah sakit, penyakit infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) selalu menempati peringkat tertinggi disusul
diare untuk tingkat kejadian (prevalensi) penyakit, terutama pada kelompok
umur balita. Keduanya merupakan jenis penyakit akibat saniasi buruk.
Angka penyakit pada kelompok umur balita mempunyai arti
penting karena balita belum mempunyai kekebalan tubuh yang sempurna
sehingga rawan terkena penyakit dan balita mempunyai ketergantungan
terhadap kelompok orang dewasa dalam upaya melakukan pencegahan dan
mendapatkan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu tingginya angka
penyakit ISPA dan diare pada kelompok umur 0-5 tahun menunjukkan
kondisi sanitasi yang buruk di lingkungan tempat tinggalnya.
Selain dari sisi kesehatan, sanitasi buruk juga berdampak pada
pariwisata suatu daerah. Hal ini dilaporkan oleh Studi Economic of
Sanitation Intervention atau ESI yang menyatakan bahwa presentase
terbesar (hampir 50%) sekaligus alasan utama wisatawan tidak ingin
kembali adalah karena fasilitas sanitasi yang tidak memadai2. Kerugian
yang ditimbulkan akibat buruknya sanitasi terhadap pariwisata mencapai Rp
1,4 triliun (World Bank : 2011). Sebagaimana dimaklumi, pariwisata
merupakan salah satu sektor perekonomian yang sangat menguntungkan
2 “Economic Assessment of Sanitation Interventions in Indonesia”, A six-
country study conducted in Cambodia, China, Indonesia, Lao PDR, the
Philippines and Vietnam under the Economics of Sanitation Initiative Phase 2
(ESI-2), The Water and Sanitation Program of the World Bank, November
2011.
4
bagi suatu daerah dan penduduknya. Oleh karena itu sangat disayangkan
apabila sanitasi di suatu tempat wisata merupakan alasan utama bagi para
wisatawan enggan kembali atau tidak merekomendasikannya kepada pihak
lain sebagai tujuan wisata.
Grafik 1. 1 Efek Sanitasi Terhadap Pariwisata dan Bisnis
Sumber : Studi ESI 2 – Water and Sanitation Program –World Bank
Dampak yang lebih besar lagi yaitu pada perekonomian negara.
Setiap tahunnya, Indonesia mengalami kerugian sebanyak Rp. 56 triliun
dengan biaya kesehatan per tahun mencapai Rp. 139.000 per orang akibat
sanitasi yang buruk (health.detik.com, diakses pada tanggal 4 November
2014, pukul 21.34 WIB).
Pemerintah Indonesia berusaha memperbaiki keadaan ini dengan
melaksanakan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman
(PPSP) yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Pusat. Program ini
dimaksudkan untuk menjadikan pembangunan sanitasi sebagai salah satu
prioritas dalam pembangunan di daerah. Program ini dijalankan dengan
mengerahkan berbagai sumber daya, yaitu dari masyarakat, swasta,
pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat agar pembangunan sanitasi
permukiman dilakukan lebih tepat sasaran.
Program PPSP diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Air Minum
dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) Nasional yang merupakan
lembaga lintas sektor terdiri dari 8 kementerian, yaitu BAPPENAS,
0% 10% 20% 30% 40% 50%
Sanitasi
Tidak aman
Biaya
Tidak ada keperluan
Bisnis
Turis
5
Kementerian PU, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian
Perumahan Rakyat dan Kementerian Perindustrian. Demikian pula di
tingkat provinsi dan kota atau kabupaten dibentuk Pokja AMPL Provinsi
dan Pokja AMPL Kota atau Kabupaten.
Ada 6 tahapan PPSP yang harus dijalankan oleh Pokja AMPL.
Advokasi dan kampanye merupakan langkah pertama dari pelaksanaan
Program PPSP. Caranya adalah dengan melakukan berbagai pendekatan
kepada para pemangku kepentingan guna membangun kesadaran bahwa
“Sanitasi adalah urusan bersama seluruh pihak”.
Advokasi dan kampanye sanitasi dilakukan secara serempak baik
pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten / kota yang dilakukan oleh
Pokja AMPL. Demikian pula Pokja AMPL Kota Bandung sebagai
pelaksana Program PPSP di Kota Bandung menjalankan kegiatan serupa.
Advokasi dan kampanye yang dilakukan oleh Pokja AMPL dimaksudkan
untuk mensosialisasikan sanitasi yang baik dan benar dengan sasaran yaitu
meningkatnya kepedulian para pemangku kepentingan terhadap layanan
sanitasi pemukiman.
Dalam melakukan advokasi dan kampanye, diperlukan strategi
komunikasi yang tepat agar penyampaian pesan kepada pihak yang dituju
berjalan efektif dan mendapat umpan balik yang positif. Dalam
merumuskan strategi komunikasi, diperlukan perumusan tujuan yang jelas,
juga terutama memperhitungkan kondisi dan situasi khalayak (Arifin, 1984
: 59).
Tahapan proses PPSP kedua adalah Pengembangan Kelembagaan
dan Peraturan. Sedangkan yang ketiga adalah Penyusunan Strategi Sanitasi
Kota (SSK) yang didahului oleh penyusunan Buku Putih Sanitasi.
Guna menyusun Buku Putih Sanitasi dan SSK, Pokja AMPL
kabupaten/ kota melakukan berbagai studi yang terdiri dari studi untuk
mengumpulkan data primer, yaitu:
6
1) Studi Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan (Environmental Health
Risk Assesment/ EHRA);
2) Studi komunikasi dan pemetaan media,
3) Studi penyedia layanan sanitasi (Sanitation Supply Assessment/ SSA);
dan
4) Studi pemberdayaan masyarakat, gender, dan kemiskinan.
Studi lainnya adalah melalui pengumpulan data sekunder yang berasal dari
laporan-laporan atau dokumen pendukung lainnya, yaitu studi kelembagaan
dan studi keuangan.
Setelah data didapatkan, maka Pokja AMPL melakukan analisa dan
pengkajian guna memetakan kondisi sanitasi Kota Bandung. Hasil
pemetaan tersebut disajikan dalam Buku Putih Sanitasi (Sanitation White
Book). Dinamakan Buku Putih Sanitasi adalah untuk memberikan makna
bahwa substansi di dalamnya merupakan fakta yang menunjukkan kondisi
sanitasi apa adanya. Buku putih sanitasi inilah yang menjadi bahan dasar
(baseline) dalam menyusun Strategi Sanitasi Kota (SSK). Buku Putih
Sanitasi merupakan dasar dan acuan dimulainya pekerjaan sanitasi yang
lebih terintegrasi karena menyediakan data dasar yang esensial dan
komprehensif mengenai struktur, situasi, dan kebutuhan sanitasi kota.
Setelah menyusun Buku Putih Sanitasi dan SSK, Pokja AMPL Kota
Bandung kemudian menyusun Memorandum Program Sektor Sanitasi
(MPSS). Dijelaskan dalam dokumen MPSS, bahwa MPSS itu merupakan
penjabaran lebih lanjut dari program dan kegiatan yang telah ditetapkan
dalam Strategi Sanitasi Kota (SSK). Memorandum Program Sektor Sanitasi
(MPSS) juga merupakan terminal program dan kegiatan pembangunan
sektor sanitasi kota yang dilaksanakan untuk pemerintah kota, provinsi,
pusat, dan masyarakat setempat dalam kurun waktu lima tahun yang
pendanaannya berasal dari berbagai sumber yaitu APBN, APBD Provinsi,
APBD kota, PD Kebersihan, PDAM, hibah/hutang, swasta, dan masyarakat.
7
Pendanaan untuk program PPSP sendiri dibagi menjadi dua jenis,
yaitu untuk kegiatan non fisik dan kegiatan fisik. Pada kegiatan non fisik,
pemerintah bertanggung jawab dalam menyediakan informasi mengenai
kebersihan dan risiko kesehatan terkait sanitasi. Sedangkan kegiatan fisik,
yaitu pemerintah menyediakan sarana pembangunan sanitasi secara fisik
bagi publik.
Sebagai obyek penelitian dalam penulisan skripsi ini, penulis
memilih penyelenggraan program PPSP di Kota Bandung dengan alasan
sebagai berikut:
1) Kota Bandung merupakan salah satu dari empat kota pertama (Kota
Bandung, Kota Bekasi, Kota Bogor dan Kota Cirebon) yang menjadi
peserta PPSP di Indonesia sejak tahun 2010. Dengan demikian Pokja
AMPL Kota Bandung telah melewati fase yang lengkap selama 5
tahun periode pelaksanaan PPSP sebagaimana dituangkan dalam SSK
Kota Bandung. Advokasi dan kampanye pada program PPSP di Kota
Bandung periode pertama yang telah berjalan sejak tahun 2010
hingga 2014 memerlukan evaluasi secara sistematis dan menyeluruh.
Evaluasi ini diperlukan untuk melihat sejauh mana pencapaian hasil
yang telah diperoleh.
2) Pokja AMPL Kota Bandung saat ini sedang mempersiapkan
penyusunan Buku Putih Sanitasi dan SSK periode kedua (2015 –
2019). Salah satu input startegis yang diperlukan untuk bahan
perbaikan adalah hasil evaluasi pelaksanaan PPSP, khusunya strategi
komunikasi advokasi dan kampanye pada periode sebelumnya.
3) Kota Bandung saat ini dengan semboyan ”Bandung Juara” sedang
menggalakan berbagai program yang mendukung pelestarian
lingkungan seperti membangun taman tematik, Bandung bebas asap
rokok (www.merdeka.com, diakses pada 12 Januari 2015, pukul
21.07 WIB), membentuk detektif lingkungan
(www.regional.kompas.com, diakses pada 12 Januari 2015, pukul
21.08 WIB), membuat Gerakan Pungut Sampah yang dilaksanakan
8
pada hari Senin, Rabu, dan Jumat (www.regional.kompas.com,
diakses pada 12 Januari 2015, pukul 21.10 WIB), dan lain-lain. Setiap
program tersebut menuntut perhatian dan partisipasi para pemangku
kepentingan di Kota Bandung sehingga dipastikan
mengimplementasikan strategi komunikasi advokasi dan kampanye.
Hasil evaluasi strategi komunikasi advokasi dan kampanye pada
program PPSP Periode 1 dapat dimanfaatkan untuk merumuskan
strategi yang sama pada program-program tersebut.
4) Dalam hal pengelolaan air limbah domestik, Kota Bandung
merupakan satu dari sedikit kota di Indonesia yang memiliki sistem
pengolahan limbah domestik yang lengkap, yaitu sistem pengolahan
terpusat (off-site sewerage system) dan sistem pengolahan setempat
(on-site system) dengan tangki septik di setiap halaman rumah
penduduk. Tapi pada sisi lain ada fakta masih banyaknya masyarakat
yang secara tidak sadar melakukan praktek BABS (open defecation),
yaitu dengan menyalurkan pipa buangan toilet langsung ke sungai
Cikapundung dan sungai-sungai lainnya.
5) Kota Bandung juga sering kali dihadapkan dengan permasalahan
sampah yang menumpuk di tempat penampungan sementara (TPS).
Hal ini menujukkan belum efektifnya peran masyarakat dalam
mengurangi volume sampah yang dibuang melalui program 3R
(Reduce, Reuse & Recycle).
6) Rendahnya kesadaran dan peran masyarakat dalam mengelola sampah
juga berakibat pada seringnya kejadian banjir pada saat hujan lebat
akibat penyumbatan saluran drainase oleh sampah yang dibuang
sembarangan.
7) Penulis yang merupakan warga Kota Bandung bermaksud
memberikan kontribusi pemikiran bagi peningkatan efektivitas
program perbaikan lingkungan, khususnya dalam mengevaluasi
strategi komunikasi advokasi dan kampanye pada program PPSP
yang ditangani oleh Pokja AMPL Kota Bandung.
9
Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti memutuskan untuk
melakukan penelitian dengan judul “Strategi Komunikasi Dalam Advokasi
dan Kampanye Sanitasi (Studi Evaluatif Pada Program Percepatan
Pembangunan Sanitasi Permukiman Oleh Pokja AMPL Kota
Bandung)”.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti menetapkan fokus
penelitian, yaitu : “bagaimana efektivitas implementasi strategi komunikasi
advokasi dan kampanye pada Program PPSP yang dilakukan oleh Pokja
AMPL Kota Bandung”. Dalam penelitian ini, masalah yang ingin diangkat
oleh peneliti adalah :
1. Bagaimana implementasi strategi komunikasi advokasi dan kampanye
pada Program PPSP yang dilakukan oleh Pokja AMPL Kota Bandung
pada periode tahun 2010-2014?
2. Bagaimana hambatan yang dihadapi oleh Pokja AMPL Kota Bandung
dalam mengimplementasikan strategi komunikasi advokasi dan
kampanye pada Program PPSP periode tahun 2010-2014?
3. Bagaimana efektivitas strategi komunikasi advokasi dan kampanye
pada Program PPSP di Kota Bandung ditinjau dari alokasi anggaran
pendanaan dan kepedulian masyarakat dalam bentuk peningkatan
cakupan pelayanan sanitasi selama periode tahun 2010-2014?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yakni :
1. Untuk memahami strategi komunikasi advokasi dan kampanye
pada Program PPSP di Kota Bandung
2. Untuk mengatahui hambatan dari pelaksanaan strategi
komunikasi advokasi dan kampanye pada Program PPSP di
Kota Bandung
3. Untuk mengetahui efektivitas implementasi strategi komunikasi
advokasi dan kampanye pada Program PPSP di Kota Bandung
ditinjau dari alokasi anggaran pendanaan dan kepedulian
10
masyarakat dalam bentuk peningkatan cakupan pelayanan
sanitasi
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Aspek Teoritis (Keilmuan)
Manfaat secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangan pengetahuan dan wawasan serta menjadi referensi
dalam penelitian ilmu komunikasi selanjutnya. Terutama
mengenai pemahaman strategi komunikasi dan aplikasinya
pada pembangunan sektor sanitasi dan lingkungan
1.4.2 Aspek Praktis
Manfaat praktis bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk
memperdalam ilmu komunikasi, menambah pengetahuan
baru mengenai strategi komunikasi pada kegiatan sosial, dan
menambah pengetahuan baru mengenai sanitasi. Sedangkan
bagi Pokja AMPL Kota Bandung, penelitian ini bermanfaat
sebagai kontribusi pikiran mengenai efektivitas strategi
komunikasi untuk merumuskan strategi yang sama pada
periode berikutnya. Hal ini diharapkan dapat memaksimalkan
efek kegiatan kampanye guna meningkatkan komitmen para
pemangku kepentingan bagi pembangunan sanitasi serta
menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya sanitasi.
Manfaat bagi pembangunan sanitasi secara umum, penelitian
ini meningkatkan efek advokasi dan kampanye di lingkungan
akademik bahwa sanitasi merupakan urusan kita bersama
1.5 Tahapan Penelitian
Penelitian ini akan meneliti bagaimana strategi komunikasi dalam
advokasi dan kampanye program PPSP yang dilakukan oleh Pokja AMPL
Kota Bandung pada periode pertama, sehingga akan didapatkan apa saja
kelebihan dan kekurangan dari strategi komunikasi tersebut, yang pada
akhirnya akan memberikan rekomendasi kepada Pokja AMPL dalam
11
melakukan advokasi dan kampanye program PPSP pada periode selanjutnya.
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Persiapan penelitian
Persiapan penelitian dilakukan dengan menentukan topik yang akan
dibahas dan diteliti. Peneliti juga memperdalam pengetahuan
mengenai topik yang akan diteliti melalui berbagai sumber seperti
website resmi PPSP, berita pada media online, Dinas Kesehatan Kota
Bandung, fasilitator program PPSP, dan dokumen-dokumen yang
terkait dengan program PPSP.
2. Proses Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengkaji
fenomena yang disajikan secara deskriptif, bukan berupa data statistik
sebagaimana yang didapat dari pendekatan kuantitatif. Pendekatan
kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-
dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya (Kriyantono,
2012 : 56). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
studi evaluatif guna mengkaji keberhasilan suatu program. Penelitian
evaluatif ingin melihat hubungan dan juga efektivitas pencapaian
tujuan suatu program yang diteliti. Peneliti ingin mengevaluasi
strategi komunikasi advokasi dan kampanye pada program PPSP di
Kota Bandung (periode pertama) yang telah berjalan selama lima
tahun sejak tahun 2010.
Data yang terkumpul merupakan hasil dari proses penelitian melalui
metode wawancara semistruktur yang dilakukan kepada Pokja AMPL
Kota Bandung, observasi non-partisipan, dan dokumentasi yang
didapat selama melakukan proses penelitian untuk mendapatkan
informasi yang mendukung analisis data. Pada metode wawancara
semistruktur, pewawancara biasanya mempunyai daftar pertanyaan
tertulis tapi memungkinkan untuk menanyakan pertanyaan-
pertanyaan secara bebas, yang terkait dengan permasalahan
(Kriyantono, 2012 : 101).
12
1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
1.6.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Bandung dengan mengevaluasi
strategi komunikasi advokasi dan kampanye sosial oleh Pokja AMPL
Kota Bandung serta melakukan penelitian di tiga kelurahan yang ada
Kota Bandung, yaitu Kelurahan Tamansari, Kelurahan Cipadung, dan
Kelurahan Kujangsari .
1.6.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga
bulan Maret 2015. Selama periode tersebut, peneliti akan
mengumpulkan dan menganalisis data yang relevan hingga menjadi
sebuah laporan penelitian.