Upload
duongtruc
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika manusia membutuhkan agama sebagai sandaran hidup, hal itu akan
memberikan dampak-dampak sosiologis yang mengikat satu individu dengan
individu yang lain. Di antara satu manusia dengan manusia lain memiliki
kecenderungan untuk bergabung dalam komunitas agama yang sama. Padahal,
agama berdampingan dengan agama yang lain (pluralisme agama). Hal ini adalah
suatu kenyataan sosial yang tak terelakkan karena faktanya, umat manusia
memang memeluk agama yang berbeda. Oleh karena perbedaan ini bersifat
alamiah, maka manusia --sebagai makhluk sosial- harus mampu memberikan
pengakuan atas eksistensi agama selain yang dipeluk. Pengakuan ini menjadi
salah satu pangkal persoalan yang dapat menentukan wajah agama dan umatnya.
Dengan kata lain, hubungan antar agama adalah hubungan dalam ritme sensitif
karena menyangkut keyakinan supranatural (keimanan).
Peter L. Berger memahami realitas kehidupan sosial ini dalam proses
dialektis, antara the self (individu) dan the others (sosiokultural). Proses dialektis
mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan
dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan
2
internalisasi (individu mengidentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial
atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).1
Dalam proses inilah, potensi kerjasama dan kompetisi akan muncul.
Kerjasama tercipta ketika pertama, adanya kedewasaan umat beragama dalam
menjalankan instrumen agama bahwa perbedaan keyakinan memeluk agama
bukanlah sebuah hambatan; kedua, keragaman yang ada diarahkan pada aktifitas-
aktifitas non-keagamaan dimana sesama anggota masyarakat bahu-membahu
menciptakan dinamika positif dalam masyarakat.2
Selain kerjasama, keberagamaan dapat melahirkan kompetisi yang
mengarah pada tiga kemungkinan; pertama, positif, situasi ini terjadi ketika
masing-masing umat beragama memiliki kesadaran untuk menciptakan prestasi;
kedua, netral. Hal ini tercipta ketika aktifitas masyarakat sama sekali tidak
berkaitan dengan perbedaan yang ada; ketiga, negatif, situasi terakhir ini terjadi
ketika aliran dalam agama dipahami sebagai identitas yang berbeda yang
berdampak pada munculnya pandangan-pandangan diskriminatif yang dapat
mengarah pada terjadinya benturan (clash) intern dan antarumat beragama.3
Lalu bagaimanakah dengan kondisi keberagamaan Indonesia yang multi-
SARA? Berdasarkan laporan yang dirilis The Wahid Institute, dari tahun ke tahun,
trend pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi di masyarakat tetap
menjadi masalah serius bangsa. Kesan yang muncul, pemerintah gagap
menghadapi dinamika kehidupan beragama, sehingga para aparat menggunakan
1Peter L. Berger, The Sacred Canopy terj. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial
(Jakarta: LP3ES, 1991), 4-5. 2Mudjahirin Thohir, Kekerasan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia; Suatu
Pendekatan Sosial Budaya, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Semarang: BP Undip, 2007), 12 3Ibid.
3
otoritas negara justru untuk membatasi hak beragama, bukan untuk melindungi.
Pada sisi yang lain, masyarakat juga semakin alergi dengan bermacam perbedaan
keyakinan yang terus bermunculan yang mendorong mereka semakin permisif
dengan tindakan intoleran yang justru bertentangan dengan hukum yang ada.
Di negara hukum seperti Indonesia, negara harus tunduk dan mengikuti
hukum serta undang-undang yang ada. Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945, yang selanjutnya disebut UUD 1945 menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”, negara hukum Indonesia adalah negara
hukum yang berlandaskan pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila, yang berbeda
dengan konsep negara hukum Barat (rechtstaat). Negara hukum Pancasila lebih
menekankan pada komunalitas, kebersamaan dan kegotong-royongan. Sedangkan
negara hukum barat lebih menekankan pada individualisme.4
Teguh Prasetyo mengemukakan bahwa negara hukum Pancasila adalah
suatu negara hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai, identitas dan karakteristik
yang terdapat dalam Pancasila. Landasan nilai-nilai Pancasila dapat ditemukan
pada lima sila dalam Pancasila, sedangkan identitas dan karakteristik yang ada
dalam falsafah Pancasila adalah Ketuhanan, kekeluargaan, gotong-royong dan
kerukunan.5 Terlepas dari perbedaan keduanya, baik negara hukum Pancasila
maupun negara hukum Barat, bermuara pada satu hal pokok yakni pengakuan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian, tujuan
negara Indonesia sebagai negara hukum Pancasila mengandung konsekuensi
4Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum berdasarkan Pancasila (Yogyakarta: Media
Perkasa, 2013), 88. 5Teguh Prasetyo, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila (Bandung: Nusa Media,
2014), 46-48.
4
bahwa negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warganya dengan
berlandaskan pada nilai-nilai dan falsafah Pancasila.
Dalam konstitusi Indonesia pasal 29 UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa
negara wajib melindungi hak beragama warga negara yang merupakan bagian dari
hak asasi manusia. Dimana hak asasi manusia merupakan hak setiap manusia
yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan
pemberian manusia atau lembaga kekuasaan. Sebagaimana tertuang dalam UU No
39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.6 Ini juga sejalan dengan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (DUHAM-PBB) 1948
yang memberi jaminan kebebasan pada setiap individu untuk bebas berekspresi
secara utuh dalam bidang keagaman, politik ekonomi dan sosial.7
Jan Materson dari komisi HAM PBB, dalam Teaching Human Rights
United Nation sebagaimana dikutip Baharudin Lopa menyatakan “Human Rights
could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and
without which can not live as human being,” sementara John Locke seperti dikutip
oleh Dede Rosyada menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun dan keadaan bagaimanapun di dunia
6UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 1 juga menyebutkan “hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia” 7Dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 18 dinyatakan bahwa setiap
manusia mempunyai kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara
mengajarkannya, melaksanakannya, beribadah dan mentaatinya. Paul S. Baut dan Beny Harman,
Kompilasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Jakarta: LBH, 1988), 81.
5
yang dapat mencabutnya.8 Dengan demikian, kebebasan beragama dan
berkeyakinan pada dasarnya secara meyakinkan telah dijamin perwujudannya
oleh konstitusi, hukum nasional maupun internasional.9
Pada tataran realitas, DUHAM PBB mengalami hambatan dalam
pelaksanaan dikarenakan adanya asumsi bahwa deklarasi ini adalah karya manusia
yang tidak bisa melebihi wahyu Tuhan sebagaimana klaim para elit agama.
Akibatnya, negara sebagai alat yang seharusnya mendapat wewenang penuh
melindungi perwujudan HAM, tidak dapat melaksanakan kewajibannya ketika
berhadapan dengan klaim tersebut. Dalam konteks ini, John Titaley menilai
bahwa mengatasi eksklusivisme agama mendesak untuk diejawantahkan.10
Sebagai negara yang bertanggungjawab atas terciptanya kerukunan
antarumat beragama, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya
dalam menjaga hubungan harmonis antarumat beragama. Salah satunya dengan
membenahi peraturan tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam
Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah
Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya” dalam Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01 Tahun 1969.
8Dede Rosyada, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta:
Prenada Media, 2003), 200-201. 9Selain yang telah disebutkan di atas, Jaminan nasional dan Internasional juga terdapat
dalam beberapa instrumen, antara lain: UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Internasional Covenant and Economic, Social and Cultural Right, UU Nomor 12 Tahun 2005
tentang Internasional Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), UU Nomor 29 Tahun 1999
tentang Pengesahan Internasional Covenant on Elimination of All Formsof Racial Discrimination
(ICERD), Nurkholis Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan:
Dampak, Pencapaian, Hambatan dan Strategi (Jakarta: LBH Jakarta, 2011), 21. 10
John A. Titaley, Religiositas di Alenia Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan
Transformasi Agama-agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 1-2.
6
Oleh beberapa pihak SKB No 01. Tahun 1969 ini dianggap menyulitkan
dan diskriminatif. Maraknya konflik tempat ibadah yang memuncak di tahun 2005
telah memicu ketegangan sosial di antara kelompok agama, sehingga pemerintah
terdesak memperbarui SKB dengan menerbitkan Peraturan Bersama Menteri
(PBM) No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah”.
Tujuan PBM No. 8 da 9 tahun 2006 ini adalah memberikan jaminan kemerdekaan
kepada warga Negara untuk memeluk agama dan kepercayaan.11
Oleh Pemerintah
PBM No. 8 da 9 tahun 2006 ini dianggap lebih baik karena disusun berdasarkan
berbagai pengalaman penerapan SKB No. 01 tahun 1969, sehingga diharapkan
kekurangan yang ada bisa diperbaiki.
Namun, tetap saja konflik keagamaan khususnya terkait rumah ibadah
masih banyak terjadi bahkan cenderung meningkat. Hal ini dapat dilihat dalam
laporan akhir tahunan mengenai kebebasan beragama yang dirilis oleh sejumlah
lembaga seperti The Wahid Institute (WI), Setara Institute (SI), Moslem Moderate
Society (MMS) dan Center for Religious and Cultural Studies (CRCS-UGM).
Laporan-laporan tersebut memberi kesimpulan bahwa ketegangan terkait
pelanggaran seputar pendirian rumah ibadah tetap signifikan dalam lima tahun
terakhir. Lebih spesifik, WI mencatat bahwa pada 2013 gereja menempati posisi
11
Dokumen SKB Nomor 1 tahun 1969 dan Dokumen PBM Nomor 8 dan 9 tahun 2006
7
teratas pada kategori korban pelanggaran atau intoleransi terhadap institusi yang
melibatkan aktor negara, yakni sebanyak 15 institusi.12
Salah satu institusi gereja tersebut adalah Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ)
Pepanthan Desa Dermolo Kabupaten Jepara yang lebih dari 12 tahun ini belum
bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Meski gereja Dermolo telah memiliki
surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).13
Polemik ini berawal ketika bangunan
gereja yang hampir selesai dibangun, ditolak oleh Forum Solidaritas Muslim
Dermolo (FSMD). Dengan difasilitasi aparat kecamatan Kembang, pihak GITJ
dan FSMD kemudian melakukan musyawarah di kantor kecamatan Kembang.
Negosiasi berjalan alot karena masing-masing mempertahankan argumennya.
Karena musyawarah ini tidak menemukan titik temu, kedua pihak bersepakat
membawa persoalan ini ke Bupati Jepara. Namun, musyawarah tetap tidak
menghasilkan keputusan final. Kedua pihak kemudian menyepakati agar masalah
ini dipetieskan terlebih dahulu.14
Lima tahun berikutnya (tahun 2007), konflik ini kembali dibuka. FSMD
menyatakan IMB cacat hukum karena jumlah jemaat tidak mencapai 60 orang.
Menanggapi hal ini, pihak GITJ menilai bahwa klausul tersebut tidak bisa
diberlakukan pada kasus yang terjadi tahun 2002. Menurut mereka PBM tidak
12
Yenny Zanuba Wahid, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan
Intoleransi 2013 (Jakarta: The Wahid Institute, 2014), 27. 13
Dokumen Surat Ijin Mendirikan Bangunan dari Dinas Pekerjaan Umum tanggal 29
Maret 2002 dengan Nomor IMB: 648/150 14
Wawancara dengan Pemuka agama Kristen di dukuh Dombang Desa Dermolo
kabupaten. Jepara, pada tanggal 12 Juni 2014
8
tepat dipedomani untuk kasus yang terjadi sebelum diterbitkannya PBM. Kedua
pihak kembali menemui kebuntuan.15
Tahun 2013 pihak gereja melakukan audiensi dengan Dewan perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Jepara. Audiensi menghasilkan rekomendasi yang
menyatakan GITJ Dermolo agar bisa difungsikan kembali. Dan pada tanggal 14
Desember 2013 jemaat gereja Dermolo dapat melakukan kebaktian pertamanya.
Akan tetapi pada kebaktian kedua, gereja didatangi oleh FSMD yang mencoba
mengganggu kekhusyukan ibadah jemaat. Situasi kondusif kembali setelah
Petinggi (Kepala Desa) datang mengamankan. Namun, karena terdapat informasi
bahwa akan ada serangan dari sekelompok masyarakat, maka pertemuan di rumah
petinggi yang dihadiri perwakilan GITJ, kepolisian dan Camat setempat
memutuskan melarang kebaktian pada minggu selanjutnya. Gereja Dermolo resmi
diberhentikan kembali oleh Pemda Jepara melalui surat penghentian sementara
tertanggal 16 Desember 2013.16
Dengan didampingi Ormas Keagamaan (Lakpesdam-NU) dan Lembaga
Sosial Kemasyarakatan (Elsa), pihak GITJ beraudiensi dengan Bupati Jepara.
Hasilnya, Pemerintah Kabupaten akan memberikan izin pemakaian sementara
selama dua tahun. Akan tetapi, izin tersebut terkendala oleh izin Kepala Desa
setempat dengan alasan masih adanya penolakan dari sekelompok warga, yakni
FSMD.17
15
Ibid 16
http.//www.elsaonline.com – Gereja Dermolo Ditutup Kembali.htm. diakses pada
tanggal 22 september 2014 17
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/09/058552534/Ditolak-Warga-Gereja-
Dermolo-Kesulitan-Izin diakses tanggal 22 september 2014
9
Gambaran di atas patut disayangkan, kelompok masyarakat agama yang
seharusnya berperan positif dalam membangun hubungan antar masyarakat
Indonesia yang majemuk justru dibentuk untuk menjadi “biang keladi” kekerasan
demi kekerasan yang mengakibatkan pelanggaran hukum berat atas nama
penegakan nilai agama. Terlebih, perilaku pelarangan dan tindakan kekerasan
juga didukung oleh aktor negara, bukan sekedar warga negara. Padahal, negara
seharusnya berperan menjadi penjamin dan pengayom kebebasan berkeyakinan
sebagaimana yang diamanatkan kostitusi. Negara seharusnya menjadi pelindung,
penjaga keamanan dan ketertiban, bukan sebagai “penjaga keimanan” kaum
beragama.
Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi
segenap bangsa Indonesia…” mengandung pengertian bahwa negara menjamin
terpeliharanya hak-hak warga dalam segala aspek kehidupan, seperti terjaminnya
keselamatan jiwa dan raga, kepemilikan, kebebasan berakidah (berkeyakinan),
berorganisasi, berpendapat dan lain sebagainya. Ini juga menegaskan bahwa
Indonesia merupakan negara dengan sistem demokrasi yang mensyaratkan adanya
civil society sebagai wadah bagi masyakarat untuk berpartisipasi dalam
mengawal, menjaga, dan mengawasi pemerintah dengan segala kebijakannya.
Gerakan kemasyarakatan (social movement) adalah pertanda kehadiran civil
society. Dengan kata lain demokrasi adalah awal dari penguatan civil society.18
Pertanyaannya kemudian, apakah FSMD dapat dikatakan bagian dari civil
society sehingga memiliki peran signifikan dalam mempengaruhi sebuah
18
M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 136.
10
kebijakan? Para ahli memberikan tipologi tentang civil society berbeda-beda.
Menurut Alexis de Tocqueville, civil society bersifat otonom dan memiliki
kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang
menghadapi intervensi negara dan berorientasi terhadap kepentingan publik.19
Sementara Jean L. Kohen dan Andrew Arato menyatakan.
a sphere of social interaction between economy and state, compose above
all of the intimate sphere (especially the family), the sphere of associations
(especially voluntary associations), social movements, and forms of public
communications.20
Dalam pengertian ini, civil society mengacu pada individu dalam
organisasi yang bekerjasama membangun ikatan sosial, menggalang solidaritas
kemanusiaan di atas prinsip-prinsip egalitarianisme dan inklusivisme universal.
Maka dalam konteks demokrasi, Civil society seharusnya terwujud sebagai
organisasi di luar institusi pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan untuk
melakukan counter hegemony terhadap kebijakan umum yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip egalitarianisme dan inklusivisme universal.
Dengan demikian, FSMD sebagai sebuah kelompok gerakan
kemasyarakatan tidak dapat disebut sebagai perwujudan civil society. Karena yang
dilakukan FSMD bukan menjadi penyeimbang dan mengkritisi kebijakan negara
yang tidak berpihak pada masyarakat, tapi justru membuat regulasi sosial yang
lebih membatasi kebebasan beragama dengan melakukan tindakan-tindakan
kekerasan, intoleran, dan diskriminatif yang mengancam kebebasan beragama
serta demokrasi di Indonesia.
19
Muhammad AS. Hikam Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1999), 28. 20
Jean L.Cohen dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Cambridge: MIT
Press, 1992), x.
11
Di sisi lain, fenomena di atas juga memperlihatkan bahwa negara tidak
bersikap tegas dan tidak mampu menjaga keputusannya sendiri, sebagaimana
tertuang dalam SKB maupun PBM. Menurut Nella Sumika Putri, pada dasarnya
pembatasan kebebasan beragama oleh Pemerintah diperkenankan dan tidak
melanggar HAM sepanjang berkaitan dengan forum externum (kebebasan
memanifestasikan ajaran yang dipeluknya) dan dilaksanakan tanpa ada
diskriminasi. Dan pembatasan ini hanya boleh didasarkan pada undang-undang.
Namun, karena PBM tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah bukan
merupakan produk undang-undang dan dalam pengimplementasiannya
melahirkan diskriminasi, maka dapat dikatakan PBM tersebut merupakan produk
yang inkonstitusional.21
Pendapat ini juga dibuktikan dalam penelitian di 13 gereja di Jakarta
yang dilakukan oleh tim peneliti dari Yayasan Paramadina, bekerjasama dengan
MPRK-UGM dan ICRP. Field Research ini mengungkap beberapa faktor penting
dalam problematika gereja, diantaranya aspek regulasi yang memang bermasalah.
Selain itu, penelitian tersebut juga memberikan informasi awal bagi pembahasan
tesis ini, bahwa resistensi terhadap gereja lebih banyak disebabkan kurangnya
komunikasi, adanya provokasi maupun intimidasi --tak jarang berujung pada
penyerangan- yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang
mengatasnamakan warga lokal dan menggunakan nama-nama daerah lokasi gereja
berdiri untuk menekankan lokalitas mereka. Terdapat indikasi adanya keterlibatan
ormas radikal dalam beberapa kasus, hanya belum ada penelitian lebih lanjut
21
Nella Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama di Indonesia (External
Freedom) dihubungkan Ijin Pembangunan Rumah Ibadah (Bandung: Jurnal Dinamika hukum
Unpad, vol. 11 no. 2 Mei2011), 237.
12
terkait relasi antara kelompok lokal tersebut dengan ormas radikal yang
established.22
Dengan latar belakang inilah, penulis terdorong untuk melakukan
penelitian lebih dalam tentang peran Forum Solidaritas Muslim Dermolo (FSMD)
dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah ibadah kaum non mainstream
dan minoritas dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia, dengan mengambil
studi kasus di GITJ Pepanthan di dukuh Dombang, Desa Dermolo, Kabupaten
Jepara Jawa Tengah.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka penelitian ini hendak
mengkaji tentang ”masyarakat sipil dan pengelolaan keberagamaan” dengan
pertanyaan penelitian: bagaimana peran Forum Solidaritas Muslim Dermolo
(FSMD) dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah ibadah di Gereja
Injili di Tanah Jawa (GITJ) Dermolo?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa tentang
masyarakat sipil dan pengelolaan keberagamaan, terkait peran Forum Solidaritas
Muslim Dermolo (FSMD) dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah
ibadah di Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ) Dermolo.
22
Ihsan Ali Fauzi, Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS UGM, 2011), 131-
132
13
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan lahir karya ilmiah yang dapat
memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praksis. Secara teoritis,
memberikan sumbangan pemikiran untuk memperdalam kajian-kajian sosial
keagamaan dalam perspektif hukum dan HAM di Indonesia. Secara empiris,
sumbangan pemikiran teoritis tersebut diharapkan memberi dampak secara
langsung, berupa kebijakan yang lebih dapat melindungi serta mempertahankan
kemajemukan, yang menjadi ciri khas Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data
yang disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.23
Metode
kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Jenis pendekatan ini juga berusaha menggambarkan suatu fenomena sosial secara
terperinci sesuai dengan keadaan sebenarnya (natural setting). Sehingga dalam
penelitian tidak diperbolehkan adanya pengisolasian individu atau organisasi
kedalam variabel atau hipotesis tetapi harus memandangnya sebagai satu kesatuan
yang utuh (holistik).24
23
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 29. 24
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
cet. VI, 1995), 25-28.
14
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Dermolo, Kecamatan Kembang, Kabupaten
Jepara Propinsi Jawa Tengah tempat terjadinya polemik penggunaan gereja. Lama
penelitian akan berlangsung kurang lebih selama satu bulan.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara
mendalam (indepth interview) dan dokumentasi.25
Observasi dilakukan dengan
cara mengamati dan mencatat dengan sistematis fenomena-fenomena yang
diselidiki. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan pada lima subyek peneliti
(informan). Pertama, pejabat pemerintah setempat, seperti aparat kecamatan, desa,
dan FKUB. Kedua, tokoh masyarakat seperti, sesepuh desa atau yang dituakan di
masyarakat Dermolo. Ketiga, FSMD, dalam hal ini ketua dan anggota FSMD.
Keempat, umat kristiani yakni pendeta dan jemaat GITJ. Kelima, warga Desa
Dermolo.
Pengumpulan data berikutnya dilakukan dengan metode dokumentasi,
yakni suatu cara pengumpulan data dalam penelitian dengan jalan melihat data
yang terdapat dalam bentuk tulisan. Operasional metode dokumentasi dengan
menyelidiki benda-benda tertulis, seperti draft SKB dan PBM, dokumen IMB
GITJ Dermolo serta dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian ini nantinya.
4. Metode Analisis Data
Menurut Miles dan Hubermen proses analisis data mencakup tiga sub
proses, yaitu reduksi data, display data dan verifikasi data. Dalam penelitian
25
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Bumi Aksara,
2000), 90.
15
kualitatif proses analisis data mencakup perencanaan desain penelitian hingga saat
pengumpulan data telah final dilaksanakan.26
Reduksi data akan menghasilkan
ringkasan catatan data lapangan. Display data merupakan pengorganisasian data,
mengaitkan hubungan-hubungan tertentu antara data satu dengan yang lainnya
untuk menghasilkan data yang lebih konkret dan memperjelas informasi. Pada
tahap verifikasi data, peneliti melakukan penafsiran terhadap data dengan cara
membandingkan, pencatatan tema dan pola, pengelompokan, melihat kasus
perkasus dan melakukan pengecekan hasil wawancara dengan informan dan hasil
observasi.
F. Sistimatika Pembahasan
Secara garis besar penelitian ini akan disusun dalam lima bab dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini memaparkan tentang latar belakang penelitian, pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan
sistimatika pembahasan.
Bab II Landasan Teori
Bab kedua akan membahas tentang landasan teoritis dan konsep yang
digunakan. Sebagai dasar analisa dalam menjelaskan permasalahan dalam riset
kali ini, maka akan dijabarkan teori dan konsep negara hukum, hak asasi manusia
26
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek (PT. Rineka
Cipta, 2002), 112.
16
(HAM) dan Civil Society. Dalam bab ini pula akan diberikan gambaran tentang
regulasi rumah ibadah sebagai salah satu fokus pembahasan dalam penelitian ini.
Bab III Hasil Penelitian
Dalam bab ini yang menjadi fokus adalah pemaparan hasil penelitian.
Paparan ini berkisar pada bahasan mengenai awal mula terjadinya ketegangan atas
berdirinya Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ) di dukuh Dombang Desa Dermolo,
serta sikap Pemerintah dan masyarakat setempat baik yang pro maupun yang
kontra terhadap kebebasan mempraktikkan ibadah kaum non mainstream dan
minoritas. Lebih khusus, hasil penelitian ini akan diarahkan untuk
mengidentifikasi upaya dan pola-pola yang dilakukan FSMD dalam melakukan
penentangan terhadap penggunaan GITJ Dermolo.
Bab IV Analisa Data
Bab ini akan menganalisis pemaparan penelitian yang telah digambarkan
dalam bab III. Analisis diarahkan untuk mengkaji tentang masyarakat sipil dan
pengelolaan keberagamaan terkait dengan peran Forum Solidaritas Muslim
Dermolo (FSMD) dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah ibadah
dalam perspektif hukum, hak asasi manusia dan civil society di Indonesia.
Bab V Penutup
Berisi kesimpulan, rekomendasi dan penutup.