16
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika manusia membutuhkan agama sebagai sandaran hidup, hal itu akan memberikan dampak-dampak sosiologis yang mengikat satu individu dengan individu yang lain. Di antara satu manusia dengan manusia lain memiliki kecenderungan untuk bergabung dalam komunitas agama yang sama. Padahal, agama berdampingan dengan agama yang lain (pluralisme agama). Hal ini adalah suatu kenyataan sosial yang tak terelakkan karena faktanya, umat manusia memang memeluk agama yang berbeda. Oleh karena perbedaan ini bersifat alamiah, maka manusia --sebagai makhluk sosial- harus mampu memberikan pengakuan atas eksistensi agama selain yang dipeluk. Pengakuan ini menjadi salah satu pangkal persoalan yang dapat menentukan wajah agama dan umatnya. Dengan kata lain, hubungan antar agama adalah hubungan dalam ritme sensitif karena menyangkut keyakinan supranatural (keimanan). Peter L. Berger memahami realitas kehidupan sosial ini dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan the others (sosiokultural). Proses dialektis mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika manusia membutuhkan agama sebagai sandaran hidup, hal itu akan

memberikan dampak-dampak sosiologis yang mengikat satu individu dengan

individu yang lain. Di antara satu manusia dengan manusia lain memiliki

kecenderungan untuk bergabung dalam komunitas agama yang sama. Padahal,

agama berdampingan dengan agama yang lain (pluralisme agama). Hal ini adalah

suatu kenyataan sosial yang tak terelakkan karena faktanya, umat manusia

memang memeluk agama yang berbeda. Oleh karena perbedaan ini bersifat

alamiah, maka manusia --sebagai makhluk sosial- harus mampu memberikan

pengakuan atas eksistensi agama selain yang dipeluk. Pengakuan ini menjadi

salah satu pangkal persoalan yang dapat menentukan wajah agama dan umatnya.

Dengan kata lain, hubungan antar agama adalah hubungan dalam ritme sensitif

karena menyangkut keyakinan supranatural (keimanan).

Peter L. Berger memahami realitas kehidupan sosial ini dalam proses

dialektis, antara the self (individu) dan the others (sosiokultural). Proses dialektis

mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan

dunia sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam dunia

intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

2

internalisasi (individu mengidentifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial

atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).1

Dalam proses inilah, potensi kerjasama dan kompetisi akan muncul.

Kerjasama tercipta ketika pertama, adanya kedewasaan umat beragama dalam

menjalankan instrumen agama bahwa perbedaan keyakinan memeluk agama

bukanlah sebuah hambatan; kedua, keragaman yang ada diarahkan pada aktifitas-

aktifitas non-keagamaan dimana sesama anggota masyarakat bahu-membahu

menciptakan dinamika positif dalam masyarakat.2

Selain kerjasama, keberagamaan dapat melahirkan kompetisi yang

mengarah pada tiga kemungkinan; pertama, positif, situasi ini terjadi ketika

masing-masing umat beragama memiliki kesadaran untuk menciptakan prestasi;

kedua, netral. Hal ini tercipta ketika aktifitas masyarakat sama sekali tidak

berkaitan dengan perbedaan yang ada; ketiga, negatif, situasi terakhir ini terjadi

ketika aliran dalam agama dipahami sebagai identitas yang berbeda yang

berdampak pada munculnya pandangan-pandangan diskriminatif yang dapat

mengarah pada terjadinya benturan (clash) intern dan antarumat beragama.3

Lalu bagaimanakah dengan kondisi keberagamaan Indonesia yang multi-

SARA? Berdasarkan laporan yang dirilis The Wahid Institute, dari tahun ke tahun,

trend pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi di masyarakat tetap

menjadi masalah serius bangsa. Kesan yang muncul, pemerintah gagap

menghadapi dinamika kehidupan beragama, sehingga para aparat menggunakan

1Peter L. Berger, The Sacred Canopy terj. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial

(Jakarta: LP3ES, 1991), 4-5. 2Mudjahirin Thohir, Kekerasan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia; Suatu

Pendekatan Sosial Budaya, Pidato Pengukuhan Guru Besar (Semarang: BP Undip, 2007), 12 3Ibid.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

3

otoritas negara justru untuk membatasi hak beragama, bukan untuk melindungi.

Pada sisi yang lain, masyarakat juga semakin alergi dengan bermacam perbedaan

keyakinan yang terus bermunculan yang mendorong mereka semakin permisif

dengan tindakan intoleran yang justru bertentangan dengan hukum yang ada.

Di negara hukum seperti Indonesia, negara harus tunduk dan mengikuti

hukum serta undang-undang yang ada. Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik

Indonesia tahun 1945, yang selanjutnya disebut UUD 1945 menyatakan bahwa

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”, negara hukum Indonesia adalah negara

hukum yang berlandaskan pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila, yang berbeda

dengan konsep negara hukum Barat (rechtstaat). Negara hukum Pancasila lebih

menekankan pada komunalitas, kebersamaan dan kegotong-royongan. Sedangkan

negara hukum barat lebih menekankan pada individualisme.4

Teguh Prasetyo mengemukakan bahwa negara hukum Pancasila adalah

suatu negara hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai, identitas dan karakteristik

yang terdapat dalam Pancasila. Landasan nilai-nilai Pancasila dapat ditemukan

pada lima sila dalam Pancasila, sedangkan identitas dan karakteristik yang ada

dalam falsafah Pancasila adalah Ketuhanan, kekeluargaan, gotong-royong dan

kerukunan.5 Terlepas dari perbedaan keduanya, baik negara hukum Pancasila

maupun negara hukum Barat, bermuara pada satu hal pokok yakni pengakuan dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian, tujuan

negara Indonesia sebagai negara hukum Pancasila mengandung konsekuensi

4Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum berdasarkan Pancasila (Yogyakarta: Media

Perkasa, 2013), 88. 5Teguh Prasetyo, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila (Bandung: Nusa Media,

2014), 46-48.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

4

bahwa negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warganya dengan

berlandaskan pada nilai-nilai dan falsafah Pancasila.

Dalam konstitusi Indonesia pasal 29 UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa

negara wajib melindungi hak beragama warga negara yang merupakan bagian dari

hak asasi manusia. Dimana hak asasi manusia merupakan hak setiap manusia

yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan

pemberian manusia atau lembaga kekuasaan. Sebagaimana tertuang dalam UU No

39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.6 Ini juga sejalan dengan Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (DUHAM-PBB) 1948

yang memberi jaminan kebebasan pada setiap individu untuk bebas berekspresi

secara utuh dalam bidang keagaman, politik ekonomi dan sosial.7

Jan Materson dari komisi HAM PBB, dalam Teaching Human Rights

United Nation sebagaimana dikutip Baharudin Lopa menyatakan “Human Rights

could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and

without which can not live as human being,” sementara John Locke seperti dikutip

oleh Dede Rosyada menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang

diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.

Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun dan keadaan bagaimanapun di dunia

6UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 1 juga menyebutkan “hak asasi manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

harkat dan martabat manusia” 7Dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 18 dinyatakan bahwa setiap

manusia mempunyai kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara

mengajarkannya, melaksanakannya, beribadah dan mentaatinya. Paul S. Baut dan Beny Harman,

Kompilasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Jakarta: LBH, 1988), 81.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

5

yang dapat mencabutnya.8 Dengan demikian, kebebasan beragama dan

berkeyakinan pada dasarnya secara meyakinkan telah dijamin perwujudannya

oleh konstitusi, hukum nasional maupun internasional.9

Pada tataran realitas, DUHAM PBB mengalami hambatan dalam

pelaksanaan dikarenakan adanya asumsi bahwa deklarasi ini adalah karya manusia

yang tidak bisa melebihi wahyu Tuhan sebagaimana klaim para elit agama.

Akibatnya, negara sebagai alat yang seharusnya mendapat wewenang penuh

melindungi perwujudan HAM, tidak dapat melaksanakan kewajibannya ketika

berhadapan dengan klaim tersebut. Dalam konteks ini, John Titaley menilai

bahwa mengatasi eksklusivisme agama mendesak untuk diejawantahkan.10

Sebagai negara yang bertanggungjawab atas terciptanya kerukunan

antarumat beragama, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya

dalam menjaga hubungan harmonis antarumat beragama. Salah satunya dengan

membenahi peraturan tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam

Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah

Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya” dalam Surat Keputusan Bersama (SKB)

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01 Tahun 1969.

8Dede Rosyada, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta:

Prenada Media, 2003), 200-201. 9Selain yang telah disebutkan di atas, Jaminan nasional dan Internasional juga terdapat

dalam beberapa instrumen, antara lain: UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan

Internasional Covenant and Economic, Social and Cultural Right, UU Nomor 12 Tahun 2005

tentang Internasional Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), UU Nomor 29 Tahun 1999

tentang Pengesahan Internasional Covenant on Elimination of All Formsof Racial Discrimination

(ICERD), Nurkholis Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan:

Dampak, Pencapaian, Hambatan dan Strategi (Jakarta: LBH Jakarta, 2011), 21. 10

John A. Titaley, Religiositas di Alenia Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan

Transformasi Agama-agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 1-2.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

6

Oleh beberapa pihak SKB No 01. Tahun 1969 ini dianggap menyulitkan

dan diskriminatif. Maraknya konflik tempat ibadah yang memuncak di tahun 2005

telah memicu ketegangan sosial di antara kelompok agama, sehingga pemerintah

terdesak memperbarui SKB dengan menerbitkan Peraturan Bersama Menteri

(PBM) No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah”.

Tujuan PBM No. 8 da 9 tahun 2006 ini adalah memberikan jaminan kemerdekaan

kepada warga Negara untuk memeluk agama dan kepercayaan.11

Oleh Pemerintah

PBM No. 8 da 9 tahun 2006 ini dianggap lebih baik karena disusun berdasarkan

berbagai pengalaman penerapan SKB No. 01 tahun 1969, sehingga diharapkan

kekurangan yang ada bisa diperbaiki.

Namun, tetap saja konflik keagamaan khususnya terkait rumah ibadah

masih banyak terjadi bahkan cenderung meningkat. Hal ini dapat dilihat dalam

laporan akhir tahunan mengenai kebebasan beragama yang dirilis oleh sejumlah

lembaga seperti The Wahid Institute (WI), Setara Institute (SI), Moslem Moderate

Society (MMS) dan Center for Religious and Cultural Studies (CRCS-UGM).

Laporan-laporan tersebut memberi kesimpulan bahwa ketegangan terkait

pelanggaran seputar pendirian rumah ibadah tetap signifikan dalam lima tahun

terakhir. Lebih spesifik, WI mencatat bahwa pada 2013 gereja menempati posisi

11

Dokumen SKB Nomor 1 tahun 1969 dan Dokumen PBM Nomor 8 dan 9 tahun 2006

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

7

teratas pada kategori korban pelanggaran atau intoleransi terhadap institusi yang

melibatkan aktor negara, yakni sebanyak 15 institusi.12

Salah satu institusi gereja tersebut adalah Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ)

Pepanthan Desa Dermolo Kabupaten Jepara yang lebih dari 12 tahun ini belum

bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Meski gereja Dermolo telah memiliki

surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).13

Polemik ini berawal ketika bangunan

gereja yang hampir selesai dibangun, ditolak oleh Forum Solidaritas Muslim

Dermolo (FSMD). Dengan difasilitasi aparat kecamatan Kembang, pihak GITJ

dan FSMD kemudian melakukan musyawarah di kantor kecamatan Kembang.

Negosiasi berjalan alot karena masing-masing mempertahankan argumennya.

Karena musyawarah ini tidak menemukan titik temu, kedua pihak bersepakat

membawa persoalan ini ke Bupati Jepara. Namun, musyawarah tetap tidak

menghasilkan keputusan final. Kedua pihak kemudian menyepakati agar masalah

ini dipetieskan terlebih dahulu.14

Lima tahun berikutnya (tahun 2007), konflik ini kembali dibuka. FSMD

menyatakan IMB cacat hukum karena jumlah jemaat tidak mencapai 60 orang.

Menanggapi hal ini, pihak GITJ menilai bahwa klausul tersebut tidak bisa

diberlakukan pada kasus yang terjadi tahun 2002. Menurut mereka PBM tidak

12

Yenny Zanuba Wahid, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan

Intoleransi 2013 (Jakarta: The Wahid Institute, 2014), 27. 13

Dokumen Surat Ijin Mendirikan Bangunan dari Dinas Pekerjaan Umum tanggal 29

Maret 2002 dengan Nomor IMB: 648/150 14

Wawancara dengan Pemuka agama Kristen di dukuh Dombang Desa Dermolo

kabupaten. Jepara, pada tanggal 12 Juni 2014

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

8

tepat dipedomani untuk kasus yang terjadi sebelum diterbitkannya PBM. Kedua

pihak kembali menemui kebuntuan.15

Tahun 2013 pihak gereja melakukan audiensi dengan Dewan perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) Jepara. Audiensi menghasilkan rekomendasi yang

menyatakan GITJ Dermolo agar bisa difungsikan kembali. Dan pada tanggal 14

Desember 2013 jemaat gereja Dermolo dapat melakukan kebaktian pertamanya.

Akan tetapi pada kebaktian kedua, gereja didatangi oleh FSMD yang mencoba

mengganggu kekhusyukan ibadah jemaat. Situasi kondusif kembali setelah

Petinggi (Kepala Desa) datang mengamankan. Namun, karena terdapat informasi

bahwa akan ada serangan dari sekelompok masyarakat, maka pertemuan di rumah

petinggi yang dihadiri perwakilan GITJ, kepolisian dan Camat setempat

memutuskan melarang kebaktian pada minggu selanjutnya. Gereja Dermolo resmi

diberhentikan kembali oleh Pemda Jepara melalui surat penghentian sementara

tertanggal 16 Desember 2013.16

Dengan didampingi Ormas Keagamaan (Lakpesdam-NU) dan Lembaga

Sosial Kemasyarakatan (Elsa), pihak GITJ beraudiensi dengan Bupati Jepara.

Hasilnya, Pemerintah Kabupaten akan memberikan izin pemakaian sementara

selama dua tahun. Akan tetapi, izin tersebut terkendala oleh izin Kepala Desa

setempat dengan alasan masih adanya penolakan dari sekelompok warga, yakni

FSMD.17

15

Ibid 16

http.//www.elsaonline.com – Gereja Dermolo Ditutup Kembali.htm. diakses pada

tanggal 22 september 2014 17

http://www.tempo.co/read/news/2014/02/09/058552534/Ditolak-Warga-Gereja-

Dermolo-Kesulitan-Izin diakses tanggal 22 september 2014

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

9

Gambaran di atas patut disayangkan, kelompok masyarakat agama yang

seharusnya berperan positif dalam membangun hubungan antar masyarakat

Indonesia yang majemuk justru dibentuk untuk menjadi “biang keladi” kekerasan

demi kekerasan yang mengakibatkan pelanggaran hukum berat atas nama

penegakan nilai agama. Terlebih, perilaku pelarangan dan tindakan kekerasan

juga didukung oleh aktor negara, bukan sekedar warga negara. Padahal, negara

seharusnya berperan menjadi penjamin dan pengayom kebebasan berkeyakinan

sebagaimana yang diamanatkan kostitusi. Negara seharusnya menjadi pelindung,

penjaga keamanan dan ketertiban, bukan sebagai “penjaga keimanan” kaum

beragama.

Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi

segenap bangsa Indonesia…” mengandung pengertian bahwa negara menjamin

terpeliharanya hak-hak warga dalam segala aspek kehidupan, seperti terjaminnya

keselamatan jiwa dan raga, kepemilikan, kebebasan berakidah (berkeyakinan),

berorganisasi, berpendapat dan lain sebagainya. Ini juga menegaskan bahwa

Indonesia merupakan negara dengan sistem demokrasi yang mensyaratkan adanya

civil society sebagai wadah bagi masyakarat untuk berpartisipasi dalam

mengawal, menjaga, dan mengawasi pemerintah dengan segala kebijakannya.

Gerakan kemasyarakatan (social movement) adalah pertanda kehadiran civil

society. Dengan kata lain demokrasi adalah awal dari penguatan civil society.18

Pertanyaannya kemudian, apakah FSMD dapat dikatakan bagian dari civil

society sehingga memiliki peran signifikan dalam mempengaruhi sebuah

18

M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan

Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 136.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

10

kebijakan? Para ahli memberikan tipologi tentang civil society berbeda-beda.

Menurut Alexis de Tocqueville, civil society bersifat otonom dan memiliki

kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang

menghadapi intervensi negara dan berorientasi terhadap kepentingan publik.19

Sementara Jean L. Kohen dan Andrew Arato menyatakan.

a sphere of social interaction between economy and state, compose above

all of the intimate sphere (especially the family), the sphere of associations

(especially voluntary associations), social movements, and forms of public

communications.20

Dalam pengertian ini, civil society mengacu pada individu dalam

organisasi yang bekerjasama membangun ikatan sosial, menggalang solidaritas

kemanusiaan di atas prinsip-prinsip egalitarianisme dan inklusivisme universal.

Maka dalam konteks demokrasi, Civil society seharusnya terwujud sebagai

organisasi di luar institusi pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan untuk

melakukan counter hegemony terhadap kebijakan umum yang bertentangan

dengan prinsip-prinsip egalitarianisme dan inklusivisme universal.

Dengan demikian, FSMD sebagai sebuah kelompok gerakan

kemasyarakatan tidak dapat disebut sebagai perwujudan civil society. Karena yang

dilakukan FSMD bukan menjadi penyeimbang dan mengkritisi kebijakan negara

yang tidak berpihak pada masyarakat, tapi justru membuat regulasi sosial yang

lebih membatasi kebebasan beragama dengan melakukan tindakan-tindakan

kekerasan, intoleran, dan diskriminatif yang mengancam kebebasan beragama

serta demokrasi di Indonesia.

19

Muhammad AS. Hikam Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1999), 28. 20

Jean L.Cohen dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Cambridge: MIT

Press, 1992), x.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

11

Di sisi lain, fenomena di atas juga memperlihatkan bahwa negara tidak

bersikap tegas dan tidak mampu menjaga keputusannya sendiri, sebagaimana

tertuang dalam SKB maupun PBM. Menurut Nella Sumika Putri, pada dasarnya

pembatasan kebebasan beragama oleh Pemerintah diperkenankan dan tidak

melanggar HAM sepanjang berkaitan dengan forum externum (kebebasan

memanifestasikan ajaran yang dipeluknya) dan dilaksanakan tanpa ada

diskriminasi. Dan pembatasan ini hanya boleh didasarkan pada undang-undang.

Namun, karena PBM tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah bukan

merupakan produk undang-undang dan dalam pengimplementasiannya

melahirkan diskriminasi, maka dapat dikatakan PBM tersebut merupakan produk

yang inkonstitusional.21

Pendapat ini juga dibuktikan dalam penelitian di 13 gereja di Jakarta

yang dilakukan oleh tim peneliti dari Yayasan Paramadina, bekerjasama dengan

MPRK-UGM dan ICRP. Field Research ini mengungkap beberapa faktor penting

dalam problematika gereja, diantaranya aspek regulasi yang memang bermasalah.

Selain itu, penelitian tersebut juga memberikan informasi awal bagi pembahasan

tesis ini, bahwa resistensi terhadap gereja lebih banyak disebabkan kurangnya

komunikasi, adanya provokasi maupun intimidasi --tak jarang berujung pada

penyerangan- yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang

mengatasnamakan warga lokal dan menggunakan nama-nama daerah lokasi gereja

berdiri untuk menekankan lokalitas mereka. Terdapat indikasi adanya keterlibatan

ormas radikal dalam beberapa kasus, hanya belum ada penelitian lebih lanjut

21

Nella Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama di Indonesia (External

Freedom) dihubungkan Ijin Pembangunan Rumah Ibadah (Bandung: Jurnal Dinamika hukum

Unpad, vol. 11 no. 2 Mei2011), 237.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

12

terkait relasi antara kelompok lokal tersebut dengan ormas radikal yang

established.22

Dengan latar belakang inilah, penulis terdorong untuk melakukan

penelitian lebih dalam tentang peran Forum Solidaritas Muslim Dermolo (FSMD)

dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah ibadah kaum non mainstream

dan minoritas dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia, dengan mengambil

studi kasus di GITJ Pepanthan di dukuh Dombang, Desa Dermolo, Kabupaten

Jepara Jawa Tengah.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka penelitian ini hendak

mengkaji tentang ”masyarakat sipil dan pengelolaan keberagamaan” dengan

pertanyaan penelitian: bagaimana peran Forum Solidaritas Muslim Dermolo

(FSMD) dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah ibadah di Gereja

Injili di Tanah Jawa (GITJ) Dermolo?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa tentang

masyarakat sipil dan pengelolaan keberagamaan, terkait peran Forum Solidaritas

Muslim Dermolo (FSMD) dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah

ibadah di Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ) Dermolo.

22

Ihsan Ali Fauzi, Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS UGM, 2011), 131-

132

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

13

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan akan lahir karya ilmiah yang dapat

memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praksis. Secara teoritis,

memberikan sumbangan pemikiran untuk memperdalam kajian-kajian sosial

keagamaan dalam perspektif hukum dan HAM di Indonesia. Secara empiris,

sumbangan pemikiran teoritis tersebut diharapkan memberi dampak secara

langsung, berupa kebijakan yang lebih dapat melindungi serta mempertahankan

kemajemukan, yang menjadi ciri khas Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian

lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data

yang disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.23

Metode

kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Jenis pendekatan ini juga berusaha menggambarkan suatu fenomena sosial secara

terperinci sesuai dengan keadaan sebenarnya (natural setting). Sehingga dalam

penelitian tidak diperbolehkan adanya pengisolasian individu atau organisasi

kedalam variabel atau hipotesis tetapi harus memandangnya sebagai satu kesatuan

yang utuh (holistik).24

23

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 29. 24

Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

cet. VI, 1995), 25-28.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

14

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Dermolo, Kecamatan Kembang, Kabupaten

Jepara Propinsi Jawa Tengah tempat terjadinya polemik penggunaan gereja. Lama

penelitian akan berlangsung kurang lebih selama satu bulan.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara

mendalam (indepth interview) dan dokumentasi.25

Observasi dilakukan dengan

cara mengamati dan mencatat dengan sistematis fenomena-fenomena yang

diselidiki. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan pada lima subyek peneliti

(informan). Pertama, pejabat pemerintah setempat, seperti aparat kecamatan, desa,

dan FKUB. Kedua, tokoh masyarakat seperti, sesepuh desa atau yang dituakan di

masyarakat Dermolo. Ketiga, FSMD, dalam hal ini ketua dan anggota FSMD.

Keempat, umat kristiani yakni pendeta dan jemaat GITJ. Kelima, warga Desa

Dermolo.

Pengumpulan data berikutnya dilakukan dengan metode dokumentasi,

yakni suatu cara pengumpulan data dalam penelitian dengan jalan melihat data

yang terdapat dalam bentuk tulisan. Operasional metode dokumentasi dengan

menyelidiki benda-benda tertulis, seperti draft SKB dan PBM, dokumen IMB

GITJ Dermolo serta dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian ini nantinya.

4. Metode Analisis Data

Menurut Miles dan Hubermen proses analisis data mencakup tiga sub

proses, yaitu reduksi data, display data dan verifikasi data. Dalam penelitian

25

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Bumi Aksara,

2000), 90.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

15

kualitatif proses analisis data mencakup perencanaan desain penelitian hingga saat

pengumpulan data telah final dilaksanakan.26

Reduksi data akan menghasilkan

ringkasan catatan data lapangan. Display data merupakan pengorganisasian data,

mengaitkan hubungan-hubungan tertentu antara data satu dengan yang lainnya

untuk menghasilkan data yang lebih konkret dan memperjelas informasi. Pada

tahap verifikasi data, peneliti melakukan penafsiran terhadap data dengan cara

membandingkan, pencatatan tema dan pola, pengelompokan, melihat kasus

perkasus dan melakukan pengecekan hasil wawancara dengan informan dan hasil

observasi.

F. Sistimatika Pembahasan

Secara garis besar penelitian ini akan disusun dalam lima bab dengan

sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini memaparkan tentang latar belakang penelitian, pertanyaan

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan

sistimatika pembahasan.

Bab II Landasan Teori

Bab kedua akan membahas tentang landasan teoritis dan konsep yang

digunakan. Sebagai dasar analisa dalam menjelaskan permasalahan dalam riset

kali ini, maka akan dijabarkan teori dan konsep negara hukum, hak asasi manusia

26

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek (PT. Rineka

Cipta, 2002), 112.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/1/T2_752013019_BAB I.pdf · Dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, pernyataan “melindungi segenap

16

(HAM) dan Civil Society. Dalam bab ini pula akan diberikan gambaran tentang

regulasi rumah ibadah sebagai salah satu fokus pembahasan dalam penelitian ini.

Bab III Hasil Penelitian

Dalam bab ini yang menjadi fokus adalah pemaparan hasil penelitian.

Paparan ini berkisar pada bahasan mengenai awal mula terjadinya ketegangan atas

berdirinya Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ) di dukuh Dombang Desa Dermolo,

serta sikap Pemerintah dan masyarakat setempat baik yang pro maupun yang

kontra terhadap kebebasan mempraktikkan ibadah kaum non mainstream dan

minoritas. Lebih khusus, hasil penelitian ini akan diarahkan untuk

mengidentifikasi upaya dan pola-pola yang dilakukan FSMD dalam melakukan

penentangan terhadap penggunaan GITJ Dermolo.

Bab IV Analisa Data

Bab ini akan menganalisis pemaparan penelitian yang telah digambarkan

dalam bab III. Analisis diarahkan untuk mengkaji tentang masyarakat sipil dan

pengelolaan keberagamaan terkait dengan peran Forum Solidaritas Muslim

Dermolo (FSMD) dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah ibadah

dalam perspektif hukum, hak asasi manusia dan civil society di Indonesia.

Bab V Penutup

Berisi kesimpulan, rekomendasi dan penutup.