36
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2008: 24). Bahasa merupakan media penyampai pesan dalam berkomunikasi. Manusia sebagai makhluk sosial, tentu tidak terlepas dari komunikasi. Komunikasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi langsung dapat berupa tatap muka atau face to face, sedangkan secara tidak langsung dapat melalui media perantara, baik media elektronik seperti radio, televisi, maupun melalui media cetak seperti majalah, koran, tabloid. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memiliki peran penting dalam penyampaian pesan kepada komunikan. Bahasa, dalam penggunaannya selalu bersifat dinamis, artinya selalu berubah seiring pekembangan zaman. Dinamisme bahasa nampak pada perubahan makna yang terjadi, dapat berupa perluasan, penyempitan, pengasaran, dan penghalusan makna. Eufemisme (Leech, 17: 53) itu dibangun dalam rangka rekayasa asosiatif dan dalam rangka pembentukan citra atau “ associative engineering and image building”. Jadi, untuk menghadirkan asosiasi dan pembentukan citra (lebih santun, lebih hormat) digunakanlah eufemisme. Eufemisme menghadirkan kesan bahasa menjadi lebih santun. Sebaliknya, disfemisme merupakan kebalikan dari eufemisme, yang berarti menggunakan kata-kata yang bernilai rasa kasar atau mengungkapkan sesuatu bukan dengan kata yang sebenarnya. Eufemisme digunakan untuk menghaluskan bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah · “Kajian Bahasa Tabu dan Eufemisme pada Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari” yang ditulis oleh Eko Supriyadi dari

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para

anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi

diri (Kridalaksana, 2008: 24). Bahasa merupakan media penyampai pesan dalam

berkomunikasi. Manusia sebagai makhluk sosial, tentu tidak terlepas dari

komunikasi. Komunikasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak

langsung. Komunikasi langsung dapat berupa tatap muka atau face to face,

sedangkan secara tidak langsung dapat melalui media perantara, baik media

elektronik seperti radio, televisi, maupun melalui media cetak seperti majalah,

koran, tabloid. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memiliki peran penting

dalam penyampaian pesan kepada komunikan.

Bahasa, dalam penggunaannya selalu bersifat dinamis, artinya selalu

berubah seiring pekembangan zaman. Dinamisme bahasa nampak pada perubahan

makna yang terjadi, dapat berupa perluasan, penyempitan, pengasaran, dan

penghalusan makna. Eufemisme (Leech, 17: 53) itu dibangun dalam rangka

rekayasa asosiatif dan dalam rangka pembentukan citra atau “associative

engineering and image building”. Jadi, untuk menghadirkan asosiasi dan

pembentukan citra (lebih santun, lebih hormat) digunakanlah eufemisme.

Eufemisme menghadirkan kesan bahasa menjadi lebih santun. Sebaliknya,

disfemisme merupakan kebalikan dari eufemisme, yang berarti menggunakan

kata-kata yang bernilai rasa kasar atau mengungkapkan sesuatu bukan dengan

kata yang sebenarnya. Eufemisme digunakan untuk menghaluskan bahasa yang

2

terkesan tidak sopan dan kurang pantas atau pun tabu untuk dibaca dan diketahui

oleh pembaca, sehingga eufemisme berperan untuk membuat bahasa menjadi

lebih santun. Disfemisme digunakan untuk mengungkapkan atau menghadirkan

bahasa yang terkesan menimbulkan suatu penegasan, suasana ngeri dan

sebagainya. Disfemisme mampu menimbulkan kesan yang kurang baik bagi

pembacanya. Adanya eufemisme dan disfemisme menimbulkan kesan tersendiri

bagi mitra tutur baik positif maupun negatif. Eufemisme dan disfemisme sering

dijumpai dalam bahasa sehari, dapat berupa bahasa lisan maupun tulis. Bahasa

yang digunakan masyarakat tidak terlepas dari eufemisme dan disfemisme

sementara itu penggunaannya dalam bahasa tulis dapat dijumpai pada majalah,

surat kabar, tabloid, dan sebagainya. Penggunaan eufemisme dan disfemisme

dipilih untuk mencapai tujuan tertentu.

Sarana komunikasi semakin berkembang seiring dengan kemajuan

teknologi di era globalisasi. Salah satu sarana komunikasi yang sudah tidak asing

bagi masyarakat berupa media massa cetak seperti majalah, surat kabar, tabloid.

Majalah merupakan sarana komunikasi berupa media cetak yang memuat berbagai

informasi di masing-masing rubrik. Majalah sebagai ruang informasi yang

tersedia bagi masyarakat untuk mengetahui berita ataupun kabar yang sedang

menjadi topik pembicaraan. Bahasa pengantar majalah dapat berupa bahasa

Indonesia maupun bahasa Jawa. Panjebar Semangat merupakan majalah tertua di

Indonesia yang terbit pertama kali pada tanggal 2 September 1933. Pendiri

Panjebar Semangat adalah Dr. Soetomo yang merupakan tokoh pendiri Budi

Utomo, sebagai salah satu media untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Majalah Panjebar Semangat adalah majalah berbahasa Jawa yang ditebitkan di

3

kota Surabaya. Panjebar Semangat merupakan majalah yang terbit berkala

mingguan, yaitu terbit setiap hari Sabtu. Majalah ini memuat berbagai rubrik

sebagai ruang informasi masyarakat seperti, rubrik kriminal, sastra, humor. Salah

satu rubrik yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat adalah rubrik

Pethilan. Rubrik Pethilan adalah rubrik yang memuat tentang pernyataan dan

tanggapan suatu masalah yang sedang menjadi pembicaraan.

Media massa cetak pada umumnya memuat rubrik sebagai wadah

menyampaikan opini baik dari pembaca maupun dari redaksi. Salah satu rubrik

yang terdapat dalam majalah Panjebar Semangat adalah rubrik Pethilan. Rubrik

ini terdapat di halaman 6 dan terletak di pinggir kanan. Dalam setiap rubrik

biasanya memuat sekitar 7 sampai 9 cuplikan peristiwa beserta tanggapannya.

Pethilan berarti semacam cuplikan atau menceritakan sebagian atau sedikit dari

suatu kejadian. Rubrik Pethilan memuat suatu cuplikan dan tanggapan terhadap

suatu peristiwa. Peristiwa yang disajikan berupa peristiwa terkini yang menjadi

perbincangan di masyarakat. Tanggapan yang diberikan merupakan tanggapan

dari redaksi majalah Panjebar Semangat, tanggapan dapat berupa kritikan, saran,

sindiran, dan lainnya. Bahasa yang digunakan dalam rubrik ini adalah bahasa

Jawa ragam ngoko, dan juga bahasa Jawa ragam krama, bahasa Indonesia, dan

bahasa asing.

Penggunaan bahasa dalam rubrik Pethilan juga menampilkan eufemisme

dan disfemisme baik berupa kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, kata

ulang, maupun frasa. Penggunan eufemisme dan disfemisme dalam rubrik

Pethilan pada majalah Panjebar Semangat mempunyai fungsi tersendiri, misalnya

bentuk eufemisme sebagai bentuk penghalusan untuk menunjukkan kesopanan

4

dalam bidang sosial masyarakat terkait kelas sosial, eufemisme dalam penyebutan

sesuatu yang dianggap kurang sopan di masyarakat, dan lainnya. selain

eufemisme, disfemisme yang digunakan dalam rubrik Pethilan pada majalah

Panjebar Semangat juga mempunyai tujuan tertentu, misalnya untuk

menunjukkan kejengkelan, menimbulkan suasana yang tidak enak terhadap

pembaca atau pun pendengar.

Contoh:

A: 25.000 tenaga kerja asing siap mbanjiri Banten.

B: Tenaga kerja lokal siap ngaplo

A: ‟25.000 tenaga kerja asing siap membanjiri Banten‟.

B: „Tenaga kerja lokal siap melongo‟.

(Panjebar Semangat, 26 September 2015)

Frasa tenaga kerja lokal pada data di atas menunjukkan penggunaan

eufemisme dari kata buruh. Bentuk kebahasaan eufemisme yang digunakan

berupa frasa nomina yang terdiri dari 3 kata dan inti dari frasa tersebut adalah

tenaga kerja. Dilihat dari nilai rasanya, frasa tenaga kerja lokal mempunyai nilai

rasa yang lebih sopan dan hormat jika dibandingkan dengan kata buruh

„karyawan/pegawai‟. Kata buruh sering diidentikkan dengan tenaga kerja tingkat

bawah dan melakukan pekerjaan kasar dan berat. Penggunaan eufemisme frasa

tenaga kerja lokal bertujuan untuk menimbulkan kesan positif, lebih santun dan

hormat daripada kata buruh. Penggunaan eufemisme tersebut juga dapat

menimbulkan ketidaknampakkan adanya ketimpangan kelas sosial dari segi

ekonomi. Kata buruh terkesan menampakkan kelas sosial ekonomi yang berada

pada tataran rendah, sedangkan frasa tenaga kerja lokal lebih bersifat netral dan

dapat mencakup semua kelas sosial ekonomi. Kata ngaplo menunjukkan

penggunaan disfemisme, yang bersinonimi dengan kata nganggur. Bentuk

5

kebahasaan disfemisme yang digunakan berupa kata dasar. Dilihat dari nilai

rasanya, kata ngaplo mempunyai nilai rasa yang lebih kasar daripada kata

nganggur. Kata ngaplo menunjukkan bahwa tenaga kerja lokal seolah-olah tidak

dapat berbuat apa-apa, dan hanya bisa melongo karena kedatangan tenaga kerja

asing dalam jumlah banyak. Kata ngaplo menggambarkan bahwa dengan

kedatangan tenaga kerja asing tersebut, peluang kerja tenaga lokal menjadi sangat

sedikit. Tujuan digunakannya kata ngaplo sebagai bentuk disfemisme dari kata

nganggur adalah untuk menegaskan bahwa peluang kerja tenaga lokal benar-

benar terancam. Dari data di atas nampak adanya keterkaitan antara penggunaan

eufemisme dan disfemisme frasa tenaga kerja lokal yang merupakan bentuk

eufemisme dan berpadanan dengan buruh digunakan kata ngaplo untuk

menggantikan kata nganggur. Nampak bahwa buruh atau tenaga kerja kasar

dipasangkan dengan kata-kata yang bernilai rasa kurang sopan seperti ngaplo.

A: Praktek dol tinuku ijazah palsu nguwatirake

B: Herane, isih akeh diburu

A: „Praktik jual beli ijazah palsu mengkhawatirkan‟

B: „Herannya, masih banyak diburu‟

(Panjebar Semangat, 6 Juni 2015)

Kata diburu pada data di atas menunjukkan penggunaan disfemisme, yang

berpadanan dengan kata digoleki. Bentuk kebahasaan disfemisme yang digunakan

berupa kata berimbuhan di awal atau prefiks. Kata diburu biasanya ditujukan pada

binatang, namun pada data di atas digunakan untuk kata ijazah. Nilai rasa yang

ditunjukkan dari kata diburu terkesan kasar dan kurang sopan. Penggunaan kata

diburu bertujuan untuk penegasan bahwa masih banyaknya ijazah palsu yang

dicari. Penggunaan kata diburu menunjukkan bahwa perbuatan mencari ijazah

palsu adalah perbuatan yang melanggar hukum, sehingga disfemisme tersebut

6

bertujuan untuk memberikan penegasan tentang tindakan seharusnya tidak

dilakukan. Penggunaan kata diburu menggambarkan tentang pemerolehan ijazah

yang terkesan hanya ingin mencari kemudahan, tanpa harus menempuh

pendidikan dalam memperoleh ijazah.

Berikut adalah tesis, skripsi, penelitian, dan jurnal terkait eufemisme dan

disfemisme.

1. “Eufemisme Surat Kabar Jawa Pos dan Relevansinya dengan Pengajaran

Bahasa Indonesia di SMA” yang ditulis oleh Syawaludin Nur Rifa‟i dari

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan UNS pada tahun 2016. Tesis ini membahas tentang bentuk

kebahasaan eufemisme surat kabar Jawa Pos, bentuk nilai rasa eufemisme

surat kabar Jawa Pos, jenis referensi eufemisme yang digunakan surat kabar

Jawa Pos, dan relevansi surat kabar Jawa Pos dengan pengajaran bahasa

Indonesia di SMA.

2. “Disfemia dalam Rubrik Bola Nasional pada Tabloid Bola” yang ditulis oleh

Triyana Puji Lestari, dari Fakultas Bahasa dan Seni UNY pada tahun 2013.

Skripsi ini membahas tentang bentuk kebahasaan disfemia dalam rubrik Bola

Nasiona Tabloid Bola, nilai rasa yang timbul akibat penggunaan disfemia

dalam rubrik Bola Nasional Tabloid Bola, dan tujuan penggunaan disfemia

dalam rubrik Bola Nasional Tabloid Bola.

3. “Pemakaian Disfemisme dalam Kolom Berita Utama Surat Kabar Joglo

Semar” yang ditulis oleh Auriga Maulana Khasan dari Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan UNS pada tahun 2011. Skripsi ini membahas tentang bentuk

7

disfemisme yang digunakan dalam kolom berita utama surat kabar Joglo

Semar, alasan digunakannya disfemisme dalam kolom berita utama surat

kabar Jolgo Semar, dan efek yang ditimbulkan dari pemakaian bentuk

disfemisme dalam kolom berita utama surat kabar Joglo Semar.

4. “Kajian Bahasa Tabu dan Eufemisme pada Kumpulan Cerpen Senyum

Karyamin Karya Ahmad Tohari” yang ditulis oleh Eko Supriyadi dari

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMS pada tahun 2013. Penelitian ini

berupa naskah publikasi yang membahas mengenai bentuk penggunaan

bahasa tabu yang digunakan dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya

Ahmad Tohari, bentuk eufemisme yang digunakan dalam Senyum Karyamin

karya Ahmad Tohari, dan subjek yang ditabukan dan dieufemismekan dalam

Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari.

5. “Eufemia pada Halaman Depan Surat Kabar Suara Merdeka Edisi Maret-

April 2014” yang ditulis oleh Winda Puspitasari S., dkk. dari Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMP tahun 2014. Penelitian

ini membahas tentang bentuk eufemia pada halaman depan surat kabar Suara

Merdeka edisi Maret-April 2014, dan konotasi yang digantikan oleh bentuk

eufemia pada halaman depan surta kabar Suara Merdeka edisi Maret-April

2014.

6. “Pemakaian Disfemisme dalam Berita Utama Surat Kabar Solopos” yang

ditulis oleh Rofik Almuqontirin dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

UMS pada tahun 2013. Penelitian ini berupa naskah publikasi yang

membahas bentuk disfemisme yang digunakan dalam berita utama surat kabar

8

Solopos, serta nilai rasa disfemisme yang terdapat dalam berita utama surat

kabar Solopos.

7. “Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia” yang ditulis oleh Tia Rubby dan

Darnadila dari Fakultas Sastra USU pada tahun 2008 dalam LOGAT Jurnal

Ilmiah Bahasa dan Sastra. Penelitian ini membahas tentang bentuk

penggunaan eufemisme pada Harian Seputar Indonesia.

8. “Eufemisme Sebagai Tindak Komunikasi yang Beradab dalam Bahasa Jawa”

penelitian ini ditulis oleh Dwi Sutana dari Balai Bahasa Yogyakarta.

Penelitian ini membahas tentang penggunaan eufemisme dalam tindak

komunikasi yang beradab dalam bahasa Jawa, penggunaan eufemisme dirasa

penting dalam berkomunikasi karena akan menimbulkan sikap sopan bagi

mitra tutur.

9. “Kesinonimian Disfemisme dalam Surat Kabar Terbitan Palembang” yang

ditulis oleh Ali Masri, dkk. Dalam LINGUA Jurnal Bahasa dan Sastra.

Penelitian ini membahas tentang pemakaian kesinonimian disfemisme dalam

surat kabar terbitan Palembang.

Dari penelitian di atas sangat bermanfaat dalam penelitian ini sebagai

referensi dan acuan untuk menambah wawasan peneliti. Peneliti memilih

“Eufemisme dan Disfemisme dalam Rubrik Pethilan pada Majalah Panjebar

Semangat”. Adapun alasannya, (1) pernyataan dan tanggapan dalam rubrik

Pethilan banyak mengandung eufemisme dan disfemisme dengan cara

penyampaian yang khas, (2) topik-topik yang dibahas menarik, yaitu mengenai isu

yang sedang beredar di masyarakat, (3) penelitian mengenai “Eufemisme dan

9

Disfemisme dalam Rubrik Pethilan pada Majalah Panjebar Semangat” belum

pernah diteliti.

B. Batasan Masalah

Masalah dalam peneltian ini dibatasi pada bentuk kebahasaan eufemisme

dan disfemisme yang terdapat dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar

Semangat, serta fungsi dan nilai rasa penggunaan eufemisme dan disfemisme

dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk, fungsi, dan nilai rasa eufemisme yang digunakan dalam

rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat?

2. Bagaimanakah bentuk, fungsi, dan nilai rasa disfemisme yang digunakan

dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat?

D. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan nilai rasa eufemisme yang digunakan

dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat.

2. Mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan nilai rasa disfemisme yang digunakan

dalam rubrik Pethilan majalah Panjebar Semangat.

10

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan di

bidang semantik, khususnya mengenai eufemisme dan disfemisme.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian

selanjutnya.

b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang penggunaan

eufemisme dan disfemisme dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar

Semangat.

c. Penelitian ini dapat memberi informasi bagi para jurnalis tentang

penggunaan eufemisme dan disfemisme bahasa Jawa.

F. Kajian Teori

1. Semantik

Semantik berasal dari bahasa Yunani, yang bermakna to signify atau

memaknai. Semantik mengandung pengertian studi tentang makna. Semantik

adalah salah satu bidang kajian atau cabang linguistik yang mengkaji arti bahasa

atau arti linguistik (lingual meaning atau linguistic meaning) secara ilmiah

(Subroto, 2011: 1).

Menurut Palmer (dalam Aminudin, 2001:15) semantik berasal dari bahasa

Yunani, yang berarti to signify atau memaknai. Semantik sebagai istilah teknis

11

mengandung pengertian studi tentang makna dengan anggapan bahwa makna

menjadi bagian dari linguistik.

Menurut John Lyons (1971:1) menjelaskan bahwa semantik pada

umumnya diartikan sebagai studi tentang makna “semantic is generally defined as

the study of meaning”.

Huford dan Harsley (1984, dalam Subroto, 2011: 1) menyatakan bahwa

semantik mengkaji arti di dalam bahasa. Arti dalam bahasa itu disebut arti bahasa

atau arti lingual. Arti bahasa tersebut merupakan objek kajian semantik.

Semantik (Parera, 2004: 42) sebagai lafal dari istilah la semantique,

semantik adalah studi dan analisis tentang makna-makna linguistik dan

mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang

ditandainya.

Semantik adalah telaah mengenai makna (George, 1964:1 dalam Tarigan,

1985:2). Istilah semantik dipakai dalam pengertian luas dan pengertian sempit.

Semantik dalam pengertian luas dibagi atas tiga pokok bahasan, yaitu sintaksis,

semantik, dan pragmatik. Semantik dalam pengertian sempit dibagi atas dua

pokok bahasan, yaitu teori referensi (denotasi, ekstensi) dan teori makna

(konotasi, intensi) (Tarigan, 1985:2-6).

Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau

tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang

lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Semantik mencakup

makna-makna kata, perkembangannya, dan pengaruhnya. Semantik menelaah

12

makna kata dan makna yang diperoleh oleh masyarakat dari kata-kata (Tarigan,

1985:7-8).

Kridalaksana, (2008: 216) menyatakan bahwa semantik adalah (1) bagian

struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan

struktur makna suatu wicara; (2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam

suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa semantik

adalah cabang linguistik yang mengkaji dan menelaah makna suatu bahasa.

Semantik dapat dibagi menjadi empat (Abdul Chaer, 1995: 7-12):

1. Semantik Leksikal

Semantik leksikal mengkaji makna yang ada pada leksem atau kata dari

sebuah bahasa. Oleh karena itu, makna-makna yang terdapat pada leksem-leksem

itu disebut makna leksikal.

2. Semantik Gramatikal

Semantik gramatikal mengkaji dan mempelajari makna-makna gramatikal

dari tataran morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat.

3. Semantik Sintaksial

Semantik sintaksial mengkaji segala sesuatu yang berhubungan dengan

sintaksis, yaitu frasa, klausa, kalimat.

13

4. Semantik Maksud

Semantik maksud mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan pemakaian

bentuk-bentuk gaya bahasa seperti, metafora, ironi, litotes.

Objek kajian semantik adalah arti bahasa atau arti linguistik. Arti bahasa

pada dasarnya adalah bentuk pengalaman yang tersimpan di dalam dan terstruktur

di dalam bahasa, dikuasai secara lebih kurang sama oleh para pengguna bahasa,

serta digunakan dalam komunikasi secara umum dan wajar. Arti itu tersimpan di

dalam bahasa, maksudnya adalah bahasa sebagai sistem tanda lingual (tanda

bahasa) merupakan paduan dari aspek bentuk (form aspect of the sign) dan aspek

arti (semantic aspect of the sign). Tanda lingual juga terdiri dari aspek bentuk

(bunyi bahasa yang terdengar yang mengikuti urutan tertentu atau deretan huruf

yang dituliskan, jadi berkaitan dengan bahasa lisan atau bahasa tulisan) dan aspek

arti. Aspek arti adalah bentuk pengetahuan yang ditangkap saat orang mendengar

atau membaca satuan kata atau frase atau satuan klausa tertentu yang dilisankan

atau dituliskan (Subroto, 2011: 1-4). Hal tersebut dapat dilihat dalam segitiga

semantik yang digambarkan oleh Richards dan Ogden.

B

A C

Gambar 01. Segitiga Semantik

14

Keterangan:

A adalah bentuk kata (form of the word)

B adalah konsep (concept)

C adalah reference

A adalah bentuk kata (expression of the word); B adalah konsep atau designasi; C

adalah referen. Relasi antara Adan B bersifat asosiatif; relasi antara B dan C

bersifat referensial; relasi antara A dan C adalah arti. Relasi antara adalah asosiatif

yang digambarkan dengan garis lurus, maksudnya terdapat asosiasi langsung

antara bunyi [kursi] dengan konsep yang terkandung dalam bunyi itu yaitu

„perabot rumah tangga yang...‟. Relasi langsung antara B dan C bersifat

referensial, karena didalam penggunaan bahasa yang nyata, benda-benda yang

disebut kursi memiliki diabstrasikan sebagai benda untuk tempat duduk,

mempunyai kaki penyangga, dan sebagainya. Relasi antara A dan C adalah arti.

Arti bahasa, pada hakikatnya adalah hubungan antara tanda lingual dengan

sesuatu yang diacu oleh tanda tersebut. Relasi itu digambarkan dengan garis

patah-patah karena tidak terdapat hubungan sspesifik antara tanda dengan sesuatu

yang diacu oleh tanda itu.

Makna dapat dibedakan menjadi empat (Wijana dan Rohmadi, 2008:21-

26), yaitu:

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Makna leksikal adalah makna yang dapat diidentifikasikan tanpa

menggabungkan suatu unsur dengan unsur yang lain, makna leksikal merupakan

makna yang terdapat pada suatu kata itu sendiri. Contoh: makna beli berarti

15

melakukan aktivitas tukar menukar, dapat diidentifikasikan tanpa menggabungkan

dengan unsur lain.

Makna gramatikal adalah makna yang dapat diidentifikasikan setelah suatu

satuan bergabung dengan satuan lain. Contoh: makna membeli dapat

diidentifikasikan setelah digabungkan dengan unsur lain yaitu unsur me+beli,

unsur me- tidak dapat berdiri sendiri dan baru memiliki makna setelah bergabung

dengan kata beli yang membentuk makna aktivitas pembelian sesuatu atau tukar

menukar barang dan uang, seperti dalam kalimat Ibu membeli gula.

2. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif merupakan keseluruhan komponen makna yang dimiliki

oleh sebuah kata. Makna konotatif merupakan nilai emotif yang terdapat pada

suatu bentuk kebahasaan. Contoh : makna wanita dan perempuan, keduanya

mengacu kepada referen diluar bahasa, makna denotatif dari kedua kata tersebut

adalah „orang yang berjenis kelamin feminim‟. Makna konotatif dari wanita

mempunyai nuansa yang lebih halus daripada perempuan.

3. Makna Literal dan Makna Figuratif

Makna literal adalah makna yang sesungguhnya dari suatu bentuk bahasa.

Contoh: kata kambing bermakna hewan mamalia berkaki empat. Makna figuratif

adalah makna bentuk bahasa yang menyimpang dari referennya. Contoh: kata

kambing dalam kambing hitam, tidak bermakna sebagai binatang mamalia berkaki

empat, tetapi makna kambing hitam adalah sumber masalah.

16

4. Makna Primer dan Makna Sekunder

Makna primer adalah makna satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi

tanpa bantuan konteks. Jadi makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal

termasuk dalam makna primer. Makna sekunder adalah makna yang hanya dapat

diidentifikasikan lewat konteks pemakaian bahasa. Jadi makna gramatikal, makna

konotatif, dan makna figuratif termasuk dalam makna sekunder.

Makna menurut Mansoer Pateda (2001: 88-96) mempunyai empat aspek:

1. Aspek Pengertian

Aspek pengertian dalam hal ini disebut juga tema, aspek ini terbentuk atau

muncul dari pemahaman mengenai hubungan dari kata-kata yang mewakili

sebuah tema yang dimaksud, ketika berbicara kata menggunakan kata-kata yang

mewakili atau mendukung ide yang diinginkan.

2. Aspek Nilai Rasa

Aspek nilai rasa merupakan wujud dari perasaan yang sedang dirasakan

ataupun perwujudan dari penilaian terhadap sesuatu yang diwakili oleh kata-kata

yang digunakan. Aspek ini berhubungan dengan sikap pembicara, keinginan dan

proses penilaian terhadap sesuatu.

3. Aspek Nada

Aspek nada adalah sikap pembicara kepada lawan pembicara, aspek

makna nada ini ditentukan oleh hubungan antara pembicara dan pendengar

melalui kata-kata yang diinginkan.

17

4. Aspek Maksud

Aspek makna maksud ini merupakan maksud yang diinginkan dari sebuah

tuturan, aspek ini lebih bersifat pada tujuan, apakah bersifat deklaratif, imperatif,

persuatif, atau naratif.

2. Eufemisme

Eufemisme (dalam bahasa Yunani berarti „wellspeaking‟) adalah praktik

berbahasa atau praktik membahasakan sesuatu yang menghindari sifat kasar,

jorok, tabu, tidak santun menjadi pembahasaan yang bersifat menyenangkan,

santun, halus, dan sebagainya. Eufemisme dibentuk dalam rangka pembentukan

citra yang positif. Hal itu berkaitan dengan tatakrama sosial (Subroto, 2011: 154).

Menurut Leech (1967: 53) eufemisme dibangun dalam rangka rekayasa

asosiatif dan dalam rangka pembentukan citra atau “associative engineering and

image-building”.

Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemizein yang berarti

„bebicara dengan kata-kata yang jelas dan wajar‟; yang diturunkan dari eu „baik‟ +

phanai „berbicara‟. Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai

pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau yang

tidak menyenangkan (Tarigan, 1985:143).

Kridalaksana (2008: 59) menjelaskan bahwa eufemisme (euphemism)

adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau

tabu; misal frase ke belakang untuk menggantikan kata berak.

18

Kata eufemisme berasal dari kata Yunani euphemizein yang berarti

„mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik‟

(Keraf, 2004:132). Sebab itu eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-

ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan-ungkapan yang

halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,

menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Dari beberapa pengertian eufemisme di atas dapat disimpulkan bahwa

eufemisme merupakan bentuk gaya bahasa yang bertujuan untuk membuat bahasa

yang bernilai rasa kasar atau tidak pantas menjadi bahasa yang bernilai rasa sopan,

santun, dan pantas didengar.

Berikut contoh penggunaan eufemisme

A: Kasus tambang pasir, Kapolri selidiki Kapolres lan mantan

Kapolres Lumajang.

B: Dhuwit pasir kaya Bengawan Solo, mili nganti adoh.

A: „Kasus tambang pasir, Kapolri menyelidiki Kapolres dan mantan

Kapolres Lumajang‟.

B: „Uang pasir seperti Bengawan Solo, mengalir sampai jauh‟.

(Panjebar Semangat, 31 Oktober 2015)

Kata mantan merupakan bentuk eufemisme yang berpadanan dengan kata

tilas. Penggunaan kata mantan bernilai rasa lebih sopan jika dibandingkan dengan

kata tilas, pangkat sosial sangat berpengaruh dalam penggunaan eufemisme dalam

pernyataan di atas, yaitu pangkat sosial tinggi tentu tidak pantas jika

menggunakan kata tilas.

A: Ora ana anggaran, pengangkatan tenaga honorer dibatalake.

B: Sabar, mbok menawa ana ing paket kebijakan ekonomi jilid 13.

A: „Tidak ada anggaran, pengangkatan tenaga honorer dibatalkan‟.

B: „Sabar, mungkin ada di paket kebijakan ekonomi jilid 13‟.

19

(Panjebar Semangat, 14 November 2015)

Frasa tenaga honorer merupakan bentuk eufemisme yang berpadanan

dengan frasa tenaga bayaran. Eufemisme di atas berfungsi untuk membuat nilai

rasa menjadi lebih santun.

2.1 Manfaat Eufemisme

Eufemisme sebagai alat untuk mengemas bentuk-bentuk yang ditabukan,

sehingga para pemakai bahasa memungkinkan untuk membicarakan aspek yang

tidak menyenangkan. Eufemisme memiliki lima manfaat, yaitu:

a. Eufemisme sebagai Alat untuk Menghaluskan Ucapan

Eufemisme sebagai alat untuk menghaluskan ucapan merupakan fungsi

yang paling umum. Kata-kata yang memiliki denotata yang tidak senonoh, tidak

menyenangkan, tidak sopan, dan lainnya harus diganti atau diungkapkan dengan

cara-cara yang tidak langsung untuk menghindari berbagai hambatan atau konflik

sosial, misal kata pegawai diganti dengan karyawan dan kata pembantu diganti

dengan kata pramuwisma yang memiliki nilai lebih santun.

b. Eufemisme sebagai Alat untuk Merahasiakan Sesuatu

Eufemisme tidak hanya digunakan untuk menghaluskan nilai rasa ucapan,

tetapi juga sering kali digunakan untuk merahasiakan sesuatu, misalnya dalam

dunia kedokteran untuk mengungkapkan penyakit-penyakit tertentu, misalnya

dalam penyebutan nama-nama penyakit serius seperti kanker dan sipilis adalah

penyakit yang dijaga kerahasiaannya oleh para dokter. Untuk itu, dalam

20

penyebutannya diganti dengan singkatan CA dan GO agar aman didengar oleh

orang lain.

c. Eufemisme sebagai Alat untuk Berdiplomasi

Eufemisme digunakan oleh seorang diplomat atau pemimpin untuk

memberikan penjelasan yang memuaskan kepada bawahannya atau masyarakat

sedemikian rupa agar tidak menimbulkan akses-akses yang tidak diinginkan,

misalnya kata ditahan, ditangkap, atau dimasukkan ke dalam tahanan sering

diganti dengan diamankan, diinapkan, dimintai keterangan, dan sebagainya.

d. Eufemisme sebagai Alat Pendidikan

Penghalusan ucapan yang ditanamkan sejak dini kepada anak-anak

memiliki tujuan yang bersifat edukatif. Sejak dini anak-anak diajarkan cara-cara

menghindari penyebutan secara langsung kata-kata yang memiliki nilai rasa

kurang sopan, misalnya kata tidur (bobok), mandi (pakpung). Nama-nama

beberapa binatang juga dihindari dalam penyebutannya secara langsung, dan

diganti dengan bentuk onomatopenya, misalnya anjing diganti guguk, kambing

diganti mbek, dan kucing diganti pus.

e. Eufemisme sebagai Alat Penolakan Bahaya

Pemakaian sejumlah eufemisme merupakan salah satu pencerminan usaha

manusia untuk memperoleh ketentraman, keselamatan, dan kesejahteraan, misal

nya dalam bahasa Melayu, kata harimau dan ular diganti dengan nenek dan akar

oleh orang-orang yang sedang berjalan di hutan agar mendapat keselamatan.

21

3. Disfemisme

Disfemisme berasal dari bahasa Yunani dys atau dus (bad, abnormal,

difficult= bahasa inggris) yang berarti „buruk‟ adalah kebalikan dari eufemisme,

lebih lanjut berarti menggunakan kata-kata yang bermakna kasar atau

mengungkapkan sesuatu yang bukan sebenarnya (Lestari,2013: 16). Abdul Chaer

(2009: 144) menyatakan bahwa disfemia adalah usaha untuk mengganti kata yang

bermakna halus atau biasa dengan kata yang bermakna kasar. Disfemia digunakan

karena berbagai alasan, disfemia biasa digunakan untuk menunjukkan

kejengkelan atau dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah. Disfemia juga

digunakan untuk memberi tekanan, tetapi tanpa terasa kekasarannya (Chaer,1990:

149). Pemakaian disfemisme bertujuan untuk mencapai efek-efek tertentu dalam

pembicaraan, seperti menunjukkan ketegasan, memunculkan nilai rasa yang

mengerikan, menakutkan dan lainnya. Disfemisme dalam media cetak digunakan

untuk menggantikan kata-kata yang bernilai rasa positif menjadi bernilai rasa

negatif, seperti contoh berikut.

- Dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir.

Kata mencaplok merupakan bentuk disfemisme untuk menggantikan frasa

mengambil dengan begitu saja.

- Polisi menjebloskannya ke dalam penjara.

Kata menjebloskannya merupakan bentuk disfemisme untuk menggantikan kata

memasukkannya.

Disfemisme digunakan dengan berbagai alasan. Disfemisme biasanya

digunakan untuk mengungkapkan kejengkelan atau dalam situasi yang tidak

ramah, seperti contoh berikut.

22

A: Pelanggaran pra pilkada akeh.

B: Pengecut, durung berjuang wis curang.

A: „Pelanggaran pra pilkada banyak‟.

B: „Pengecut, belum berjuang sudah curang‟.

(Panjebar Semangat, 15 Agustus 2015)

A: Rega brambang ambruk.

B: Ora perlu diiris, ndadekake wong tani saya nangis

A: „Harga bawang merah jatuh‟..

B: „Tidak perlu dipotong, menjadikan petani semakin menangis‟.

(Panjebar Semangat, 26 September 2015)

Pada contoh di atas nampak penggunaan disfemisme yaitu kata curang

yang berpadanan dengan tumindak ala, penggunaan disfemisme diatas

menunjukkan adanya kejengkelan mengenai terjadinya pelanggaran pra pilkada.

Disfmemisme yang menunjukkan kejengkelan juga terlihat dalam contoh kedua

yaitu berupa ambruk, diiris, nangis, yang menunjukkan kejengkelan dan

menimbulkan situasi yang tidak ramah. Kata ambruk berpadanan dengan kata

murah atau cendhek, kata diiris berpadanan dengan kata disuda, dan kata nangis

berpadanan dengan kata nelangsa.

Menurut Fakhrurradzie (2004, dalam sumber internet), disfemisme ialah

pengerasan atau pengasaran fakta melalui kata atau kalimat sehingga maknanya

berbeda dari yang sebenarnya atau sesungguhnya. Selain itu, menjadikan sesuatu

terdengar lebih buruk atau lebih jelek.

A: Kisah thuyul gawe gegere masyarakat .

B: Dhuwit sing dicolong koruptor luwih akeh ko

A: „Kisah tuyul membuat gempar masyarakat‟.

B: „Uang yang dicuri kuroptor lebih banyak ko‟.

(Panjebar Semangat, 18 Juli 2015)

Pada contoh di atas nampak penggunaan disfemisme, yaitu kata dicolong

yang berpadanan dengan kata dijupuk. Penggunaan disfemisme tersebut

23

menimbulkan kesan atau nilai rasa yang lebih buruk dan negatif daripada kata

dijupuk.

Disfemisme juga digunakan untuk memberikan tekanan, tetapi tanpa

terasa kekerasannya (Chaer,1990: 149).

A: Istana nyirep isu reshuffle.

A: „Istana menyembunyikan isu reshuffle‟.

B: Wusanane ana reshuffle uga, reshuffle isu.

B: „Akhirnya ada reshuffle, reshuffle isu‟.

(Panjebar Semangat, 18 Juli 2015)

Pada contoh di atas penggunaan disfemisme barupa kata nyirep yang

berpadanan dengan kata ndhelikake.

Disfemisme merupakan bentuk gaya bahasa yang berusaha memunculkan

nilai rasa kasar, dan menimbulkan kesan negatif yaitu dengan menggantikan kata-

kata yang bernilai halus dengan kata-kata yang bernilai kasar. Dari beberapa

pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, disfemisme atau disfemia adalah

bentuk gaya bahasa yang berusaha memunculkan nilai rasa kasar, buruk, tidak

pantas dengan cara mengganti kata-kata bernilai rasa halus dengan kata-kata

bernilai rasa kasar.

4. Bentuk Kebahasaan Eufemisme dan Disfemisme

Eufemisme dan disfemisme terbentuk dari satuan kebahasaan, mulai dari

tataran terkecil sampai pada tataran yang lebih tinggi. Bentuk kebahasaannya

dapat berupa kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang, kata majemuk, frasa.

24

a. Kata Dasar

Kata dasar (Rohmadi dkk, 2012:26) adalah bentuk linguistik berupa kata

asal maupun bentuk kompleks yang menjadi dasar bentukan bagi suatu bentuk

kompleks. Kata dasar biasanya berupa morfem bebas artinya dapat berdiri sendiri,

misalnya kobong, mlarat, mati, kapok. Kata dasar tersebut dapat diturunkan

menjadi kata baru melalui proses morfologi berupa kata berimbuhan, kata ulang,

kata majemuk.

b. Kata Berimbuhan

Kata berimbuhan (Rohmadi dkk, 2012:40) adalah kata yang sudah berubah

bentuk karena mengalami proses morfologis berupa afiksasi atau imbuhan. Proses

perubahan ini melalui afiksasi, dapat berupa prefiks atau awalan, infiks atau

sisipan, sufiks atau akhiran, konfiks atau imbuhan awal dan akhir, dan simulfiks

atau imbuhan awal dan akhir. Kata berimbuhan biasanya berbentuk morfem

terikat, penulisannya selalu bergabung dengan kata dasarnya. Macam-macam

afiks (Rohmadi dkk, 2012:46) adalah sebagai berikut:

1. Prefiks atau awalan adalah imbuhan yang melekat di depan bentuk

dasar atau kata dasar, contoh: diburu berasal dari kata dasar buru,

nyopot berasal dari kata dasar copot.

2. Infiks atau sisipan adalah imbuhan yang terletak ditengah bentuk dasar

atau kata dasar, contoh: tinulis dari kata dasar tulis, sumingkir berasal

dari kata singkir.

3. Sufiks atau akhiran adalah imbuhan yang terletak diakhir bentuk dasar

atau kata dasar, contoh: sandhungan berasal dari kata sandhung.

25

4. Konfiks adalah imbuhan yang treletak diawal dan akhir bentuk dasar

atau kata dasar yang hadir secara serentak atau bersamaan, contoh:

kelungguhan berasal dari kata lungguh.

5. Simulfiks adalah imbuhan yang terletak di awal dan akhir bentuk dasar

atau kata dasar yang hadir secara bertahap, contoh: nyokoti berasal dari

kata cokot.

c. Kata Ulang

Kata ulang atau reduplikasi merupakan kata yang berasal dari proses

morfologis yang berupa pengulangan kata, baik secara keseluruhan, sebagian atau

parsial, maupun perubahan bunyi (Chaer, 2014:182). Pengulangan dapat

dilakukan terhadap kata dasar, kata berimbuhan, maupun kata gabung.

Kata ulang atau reduplikasi adalah perulangan bentuk atas suatu bentuk

dasar (Rohmadi dkk, 2012:83).

Reduplikasi dibagi menjadi empat (Rohmadi dkk, 2012:83-84)

1. Reduplikasi seluruh atas bentuk dasar, seperti mlaku-mlaku.

2. Reduplikasi sebagian atas bentuk dasarnya, seperti tetuku, rerasan.

3. Reduplikasi bentuk dasar dengan variasi fonem, seperti mloya-mlayu.

4. Reduplikasi bentuk dasar dengan imbuhan, seperti bantah-bantahan,

oknum-oknume.

d. Kata Majemuk

Kata majemuk atau komposisi adalah hasil dari proses penggabungan

morfem dasar dengan morfem dasar, baik bebas maupun terikat, sehingga

terbentuk terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang baru

atau berbeda (Chaer, 2104:185). Gabungan dua kata atau lebih tersebut pada kata

26

majemuk mempunyai makna baru yang berbeda dari kata pembentuknya, contoh:

para baya, gagal ambegan.

Kata majemuk (Rohmadi dkk, 2012:103) adalah dua kata atau lebih yang

menjadi satu dengan lainnya erat sekali dan menunjukkan atau menimbulkan satu

pengertian baru. Kata majemuk disebut juga bentuk senyawa atau susunan

senyawa (kompositum).

e. Frasa

Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat

nonpredikatif, atau lazim disebut sebagai gabungan kata yang mengisi salah satu

fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 2014:222). Contoh, bocah ayu, omah

gedhe, latar amba.

Frase (Kridalaksana, 2008:66) adalah gabungan dua kata atau lebih yang

sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang.

Frase dibagi menjadi empat (Chaer, 2014:225-228).

1. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak

mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya, contoh:

di pasar.

2. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya

memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya, contoh:

sedang membaca.

3. Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari

dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat, dan secara potensial

dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif, baik yang tunggal seperti

dan, atau, tetapi, maupun terbagi seperti baik...baik, makin...makin, dan

27

baik...maupun. Frase koordinatif mempunyai kategori sesuai dengan

kategori komponen pembentuknya, contoh: sehat dan kuat, buruh atau

majikan, makin terang makin baik.

4. Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling

merujuk sesamanya; dan oleh karena itu, urutan komponennya dapat

dipertukarkan.

5. Nilai Rasa

Nilai rasa (Tarigan, 1985: 58-59) disebut juga konotasi. Menurut Tarigan,

nilai rasa adalah kesan-kesan atau asosiasif bersifat emosional yang ditimbulkan

sebuah kata. Nilai rasa berhubungan erat dengan makna halus dan kasarnya suatu

bentuk bahasa. Nilai rasa dapat bersifat positif (baik, hormat, sopan) dan negatif

(kasar, tidak sopan, kotor, dan lainnya). Konotasi suatu kata merupakan lingkaran

gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang mengelilingi kata tersebut, dan juga

emosi-emosi yang ditimbulkan oleh kata tersebut. Denotasi dan konotasi termasuk

dalam makna leksikal. Denotasi adalah makna kata, sedangkan konotasi adalah

pancaran impresi-impresi yang tidak dapat dirasa dan tidak dapat dinyatakan

secara jelas yang mengelilinginya. Konotasi merupakan segala sesuatu yang kita

pikirkan apabila kita melihat kata tersebut, yang mungkin tidak sesuai dengan

makna kata sebenarnya. Ragam konotasi dalam bahasa Indonesia terbagi atas

konotasi yang bersifat individual dan konotasi yang bersifat kolektif. Konotasi

individual adalah nilai rasa yang hanya menonjolkan diri bagi orang

perseorangan. Konotasi kolektif adalah nilai rasa yang berlaku untuk para anggota

sesuatu golongan atau masyarakat.

28

Nilai rasa dalam bahasa Indonesia secara garis besar dibagi menjadi

konotasi baik dan konotasi tidak baik (Tarigan, 1985:60).

1. Konotasi baik mencakup

a. Konotasi tinggi yaitu nilai rasa yang terasa atau terdengar indah dan anggun,

misalnya kata-kata sastra dan klasik. Kata-kata asing pada umumnya

menimbulkan anggapan rasa segan, terutama bila orang kurang atau sama

sekali tidak memahami makna kata tersebut lantas memperoleh nilai rasa

tinggi, misalnya kata perahu diganti dengan kata bahtera.

b. Konotasi ramah yaitu nilai rasa pada suatu kata atau ungkapan yang secara

akrab, saling merasakan satu sama lain, ramah tanpa ada rasa canggung dalam

pergaulan, misalnya kata cocok atau digantikan dengan kata akur.

2. Konotasi tidak baik mencakup

a. Konotasi berbahaya yaitu nilai rasa yang berhubungan dengan kepercayaan

masyarakat, terutama bersifat magis. Pada saat tertentu, ada kata-kata yang

dihindari pengucapannya karena dapat mengundang marabahaya. Misalnya,

pada saat orang berjalan ditengah hutan biasanya mengganti kata ular dengan

tali, dan kata harimau diganti dengan kata nenek untuk menghindari bahaya

dan menjaga keselamatan.

b. Konotasi tidak pantas yaitu nilai rasa yang berhubungan dengan kelas sosial

masyarakat. Pemakaian kata yang berkonotasi tidak pantas dapat menyinggung

perasaan mitra tutur. Hal tersebut dapat terjadi terutama apabila kelas sosial

penutur lebih rendah daripada kelas sosial mitra tutur. Konotasi tidak pantas

juga dapat menimbulkan perasan jorok atau jijik apabila digunakan. Misalnya

29

kata beranak diganti dengan melahirkan, kata berak diganti dengan kata buang

air besar.

c. Konotasi tidak enak yaitu nilai rasa yang berhubungan dengan hubungan sosial

masyarakat. Kata-kata yang berkonotasi tidak enak akan terdengar tidak enak

dan kurang baik oleh mitra tutur. Misalnya pengangguran diganti dengan

tunakarya, kata bodoh diganti dengan kurang pandai.

d. Konotasi buruk, konotasi ini hampir sama dengan konotasi tidak enak, yaitu

ungkapan yang terasa tidak enak dan mengandung nilai brutal, misalnya unjuk

rasa sebagai bentuk penghalusan dari kata demo.

e. Konotasi kasar yaitu nilai rasa yang sering digunakan oleh rakyat jelata dan

biasanya merupakan suatu dialek. Ungkapan-ungkapan tersebut sering diganti

karena dianggap kurang sopan apabila digunakan dalam pembicaraan dengan

orang yang disegani dan terasa kasar sehingga dapat menyinggung mitra tutur,

misalnya bego, goblok.

f. Konotasi keras yaitu nilai rasa yang bersifat mengeraskan makna, nilai rasa

yang terkandung pada sebuah kata atau ungkapan yang digunakan untuk

melebih-lebihkan suatu tindakan atau hiperbola, misalnya lembah kemiskinan,

jurang kemelaratan.

6. Majalah Panjebar Semangat

Majalah Panjebar Semangat merupakan salah satu media cetak berbahasa

Jawa yang terbit di kota Surabaya. Panjebar Semangat berdiri dan terbit pertama

kali tanggal 2 September 1933. Media ini didirikan oleh Dr. Soetomo yang

merupakan tokoh pendiri Budi Utomo sebagai media perjuangan kemerdekaan.

Sebelum berganti menjadi Panjebar Semangat, majalah ini bernama Soeara

30

Oemoem. Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti merupakan semboyan

majalah ini yang berarti segala kekuatan yang buruk akan tunduk pada kebaikan.

Majalah ini merupakan majalah mingguan yang terbit setiap hari Sabtu

dengan 55 halaman. Setiap edisinya, majalah berbahasa Jawa ini mampu

mencapai oplah sebanyak 22.000 eksemplar setiap edisinya. Majalah Panjebar

Semangat berkantor di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan 87.

Harga jual untuk pembaca di area Jawa seharga Rp. 9500, sedangkan untuk di luar

Jawa seharga Rp. 10.000, sedangkan harga untuk berlangganan selama satu bulan

di area Jawa adalah Rp. 38.000 dan di luar Jawa Rp. 40.000. Majalah Panjebar

Semangat memuat berbagai rubrik baik yang ditulis oleh redaksi majalah maupun

sumbangan dari penulis, diantaranya rubrik alaming lelembut, taman geguritan,

apa tumon, pethilan.

G. Metode Penelitian

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan

menjelaskan suatu fenomena. Dalam metode penelitian ini akan dibahas beberapa

hal, yaitu: (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) alat penelitian, (4)

metode pengumpulan data, (5) metode analisis data, (6) metode penyajian hasil

analisis data.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Metode kualitatif adalah

metode pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak

didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik. Penelitian

31

kualitatif bersifat deskriptif, peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang

berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar atau foto, catatan harian,

memorandum, video-tape. Dari data yang bersifat deskriptif tersebut dilakukan

analisis data untuk membuat generalisasi atau kesimpulan umum yang merupakan

sistem atau kaidah yang bersifat mengatur atau gambaran dari orang-orang yang

dijadikan subjek penelitian (Subroto, 1992: 5-7).

Kajian deskriptif kualitatif merupakan kajian mendeskripsikan satuan

lingual berdasarkan variasi dan kaidah-kaidah yang mengatur berdasarkan kondisi

objektif dari objek penelitian. Jadi, jenis penelitian ini dilakukan berdasarkan

fakta yang ada dilapangan atau fenomena yang benar-benar terjadi pada

penuturnya dengan menggambarkan data analisis dan laporan menggunakan kata-

kata atau satuan lingual.

2. Data dan Sumber Data

Data adalah semua informasi yang disediakan alam (dalam arti luas) yang

harus dicari dan disediakan dengan sengaja oleh peneliti yang sesuai dengan

masalah yang diteliti (Subroto, 1992:34). Data dapat diidentifikasikan sebagai

bahan mentah penelitian dan bukan sebagai objek. Data dalam penelitian ini

berupa data tulis, yaitu berupa kalimat bahasa Jawa dalam rubrik Pethilan di

majalah Panjebar Semangat edisi Juni 2015-Nopember 2015 yang mengandung

eufemisme dan disfemisme.

Sumber data adalah sumber perolehan data. Sumber data adalah hal-hal

yang dapat dijadikan serta menghasilkan data yang lengkap, benar, dan sahih

32

(Sudaryanto, 1992:35). Sumber data dalam penelitian adalah rubrik Pethilan di

majalah Panjebar Semangat edisi Juni 2015-Nopember 2015.

3. Alat Penelitian

Alat dalam penelitian ini berupa alat utama dan alat bantu. Alat utama

dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri secara langsung mencari dan

mengumpulkan data. Alat bantu dalam penelitian ini berupa alat tulis seperti pena,

buku catatan, dan alat elektronik berupa laptop.

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara mendekati, mengamati, dan menganalisis gejala yang

ada. Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan metode simak,

yaitu metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa

(Sudaryanto, 1993:133). Teknik dasar yang digunakan dalam metode simak

adalah teknik simak dan teknik lanjutannya adalah teknik catat.

1. Teknik Simak

Adapun teknik dasar pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

dengan teknik simak, yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa tulis berupa

kata, frasa, klausa, dan kalimat. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik

pustaka dan menggunakan teknik lanjutan berupa teknik catat. Teknik pustaka

adalah peneliti berperan sebagai instrumental kunci, melakukan penyimakan

secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data utama dalam rangka

memperoleh data yang dibutuhkan. Hasil penyimakan kemudian dicatat

sebagai data (Subroto, 1992:42).

33

2. Teknik Catat

Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

catat, yaitu dengan mencatat semua data yang telah ditandai pada rubrik

Pethilan dalam majalah Panjebar Semangat pada kartu data yang telah

disiapkan. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam

menganalisis data.

Contoh kartu data:

Keterangan

P : menunjukkan nama rubrik Pethilan

PS : menunjukkan nama majalah Panjebar Semangat

7 : menunjukkan urutan data dalam rubrik

24 : menunjukkan edisi terbit majalah

13 : menunjukkan tanggal data diterbitkan

6 : menunjukkan bulan data diterbitkan

2015 : menunjukkan tahun data diterbitkan

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah upaya peneliti menangani langsung masalah

yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 1993:6). Metode yang digunakan untuk

menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode distribusional dan metode

padan.

1. Metode distibusional atau agih adalah metode analisis data yang alat

penentunya adalah unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri

(Sudaryanto, 1993: 15). Teknik yang digunakan dalam metode agih ini adalah

Kode : (P/PS/7/24/13/6/2015)

Disfemisme

A: Dhuwit sogokan Fuad Amin ditransfer liwat

rekening mbok nome.

B: Jurus lawas para baya.

34

teknik ganti dan teknik sisip. Teknik ganti digunakan untuk mencari bentuk

padanan kata dari eufemisme dan disfemisme dalam rubrik Pethilan pada

majalah Panjebar Semangat, dan teknik sisip digunakan untuk mengetahui

bentuk kebahasaan eufemisme dan disfemisme berupa kata majemuk dalam

rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat. Metode ini digunakan untuk

menganalis bentuk eufemisme dan disfemisme yang digunakan dalam rubrik

Pethilan pada majalah Panjebar Semangat.

2. Metode padan adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data yang

alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue)

yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik yang digunakan dalam

metode padan adalah teknik hubung banding, yaitu mencari dan perbedaan

yang ada di antara kedua hal yang dibandingkan, dapat berupa hubungan

penyamaan dan pemerbedaan. Metode ini digunakan untuk menganalisis fungsi

dan nilai rasa penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam rubrik Pethilan

pada majalah Panjebar Semangat.

Berikut ini merupakan contoh penerapan kedua metode analisis data:

(9) A: DPR ngresmekake pembangunan Alun-alun Demokrasi.

B: Ya, arep unjuk rasa mampir kono.

A: „DPR meresmikan pembangunan Alun-alun Demokrasi‟.

B: „Ya, kalau mau unjuk rasa mampir disana‟.

(Panjebar Semangat, 6 Juni 2015)

Kata unjuk rasa merupakan eufemisme yang berpadanan dengan kata

demo. Bentuk kebahasaan eufemisme yang digunakan berupa kata majemuk, kata

unjuk rasa tidak dapat disisipi atau diparafrasekan misal menjadi unjuk sing rasa,

unjuke rasa yang tidak memiliki makna yang sama dengan kata unjuk rasa. Kata

unjuk rasa dipilih untuk menunjukkan kesan lebih santun daripada kata demo.

35

Pemilihan kata unjuk rasa mencoba untuk menetralkan pandangan masyarakat

mengenai demo yang dianggap sebagai sikap menyampaikan pendapat secara

anarki dan perbuatan yang tidak sopan. Pemilihan kata unjuk rasa juga berfungsi

untuk membuat keadaan dan suasana menjadi aman di mata masyarakat, hal

tersebut bertujuan untuk menghindari konflik antara pihak-pihak tertentu,

daripada digunakan kata demo yang bernilai negatif di mata masyarakat.

A: Kasasi ditulak, Anas Urbaningrum diukum luwih abot maneh.

B: Isih lumayan to timbang digawa menyang Monas.

A: „Kasasi ditolak, Anas Urbaningrum dihukum lebih berat lagi‟.

B: „Masih lumayan lah daripada dibawa ke Monas‟.

(Panjebar Semangat, 20 Juni 2015)

Kata diukum merupakan disfemisme dari kata dipidana. Bentuk

kebahasaan disfemisme yang digunakan berupa kata berimbuhan awal atau prefiks

yang berasal dari bentuk {di}+{ukum} dan merupakan kata kerja aktif. Nilai rasa

dari penggunaan kata diukum menimbulkan kesan kasar dan menakutkan

daripada kata dipidana. Kata diukum menegaskan bahwa Anas Urbaningrum

benar-benar melakukan kesalahan. Kata diukum menimbulkan nuansa kejam dan

mengerikan, seolah-olah kesalahan yang telah dilakukan oleh Anas Urbaningrum

adalah kesalahan yang berat dan hukuman yang diberikan juga berat.

6. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode formal dan metode informal. Metode formal adalah perumusan

dengan menggunakan tanda dan lambang-lambang, sedangkan metode informal

adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang

sifatnya teknis.

36

Teknik formal diuraikan perumusan tanda, sepeti tanda hubung (-), tanda

kurung (), tanda titik (.), tanda koma (,), tanda garis miring (/). Teknik informal,

perumusan dengan bentuk uraian berupa kalimat-kalimat yang diikuti pemerian

secara terperinci. Hasil analisis data berupa tuturan-tuturan.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi tiga bab, yaitu

pendahuluan, pembahasan, dan penutup.

Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang masalah,

pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kajian teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Pembahasan, pada bab ini berisi bentuk, fungsi, nilai rasa

eufemisme dan disfemisme yang terpada dalam rubrik Pethilan pada majalah

Panjebar Semangat.

Bab III Penutup, pada bab ini berisi simpulan dan saran.