Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan
negara, perekonomian negara dan pembangunan nasional, menghambat pertumbuhan,
perkembangan dan pembangunan nasional. Padahal semua itu menuntut efektivitas dan
efisiensi yang sangat tinggi. Korupsi melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.”1 Terkait penggolongan
korupsi sebagai extra ordinary crime, Lilik Mulyadi dalam bukunya ”Pembalikan
Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi” menegaskan bahwa:
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis
multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu
dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan
sebagai ekstra ordinary crime, sehingga diperlukan sifat yang luar biasa
pula (extra ordinary enforcement) dan tindakan yang luar biasa pula untuk
memberantasnya (extra ordinary measures).2
Senada dengan Mulyadi, Marwan Effendy menyatakan bahwa:
sampai saat ini bangsa indonesia sedang gencarnya melaksanakan suatu
misi besar yang masuk pada kategori kejahatan besar (extra ordinary
crime) sehingga dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan
1 Konsiderans huruf (a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (lembaran Negara Tahun
2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran negara Nomor 4150). 2 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung,
2015, h. 22.
2
Nasional yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
amanat Pancasila dan konstitusi tertinggi Undang-Undang Dasar 1945.3
Tindak pidana korupsi oleh banyak kalangan dikategorikan sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime) sehingga mempunyai pengaturan khusus dalam
sistem perundang-undangan. Bagaimanapun bentuknya, perbuatan-perbuatan pidana
korupsi bersifat merugikan masyarakat dan anti sosial.4 Lebih lanjut Ermansjah
menyatakan:
korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crimes karena telah
merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi
juga telah meluluhlantakkan pilar-pilar sosial budaya, moral, politik, dan
tatanan hukum dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pola
pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa
juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilakukan secara komprehensif
dan bersama-sama, oleh penegak hukum, lembaga masyarakat, dan
individu anggota masyarakat. untuk maksud itu, kita harus mengetahui
secara persis peta korupsi di Indonesia dan apa penyebab utamanya.
Seperti seorang dokter, sebelum memberi terapi (pengobatan) kepada
pasiennya, harus mengetahui apa diagnose penyakitnya.5
Pidana, dalam hukum pidana yang dikenal saat ini ada dua kategori, yaitu pidana
pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari: pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan
terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim.6
3 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, Timpani Publising, Jakarta,
2010, h. 1. 4 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 8, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 3. 5 Ermansjah Djaja, Memberantasan Tindak Pidana Korupsi Bersama KPK, Jakarta , 2008, h.
267, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 2, Volume 1, Tahun 2013, h. 4. 6 Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3
Penulis hanya akan membahas mengenai pidana tambahan berupa pencabutan
hak-hak tertentu dalam penelitian ini. Hak-hak tertentu yang dimaksud adalah hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 ayat (1) KUHP atau hak pilih aktif dan pasif dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum seperti yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1)
angka 3 KUHP atau hak politik sebagai sebagaimana tertuang dalam. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pengaturan lebih lanjut mengenai pidana tambahan dapat dijumpai dalam
beberapa undang-undang yang salah satunya adalah UU Tipikor. Dalam Pasal 18 ayat
(1) huruf d UU Tipikor ditegaskan bahwa: “Selain pidana tambahan dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan7 adalah: pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan
tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.”8
Melalui ketentuan a quo kemudian negara menerapkan pidana tambahan, yaitu
pencabutan hak politik bagi terpidana tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti diakui
dalam Putusan MK No. 4/PUUVII/ 2009 bahwa: “pencabutan hak pilih oleh putusan
7Maksud pidana tambahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagaimana tertuang
dalam Pasal 10 huruf b bahwa: “Pidana tambahan: (1) Pencabutan hak-hak tertentu ….”. 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap9 dengan batasan waktu lima
tahun.”10
Implikasi dari ketentuan di atas Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan
Nomor 537K/Pid.Sus/2014 yang dalam amar putusan a quo ditegaskan bahwa:
(1) Menyatakan Terdakwa Inspektur Jenderal Polisi Drs. Djoko Susilo,
SH., M.Si. telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum
bersalah melakukan tindak pidana Korupsi Secara Bersama-sama dan
Gabungan Beberapa Kejahatan sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Dakwaan Kesatu Primair serta Tindak Pidana Pencucian Uang
Secara Bersama-sama dan Gabungan Beberapa Kejahatan sebagaimana
diatur dan diancam dalam Dakwaan Kedua Pertama dan Dakwaan Ketiga,
(2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama delapan belas tahun dan pidana denda sebesar satu miliar
rupiah dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka
diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun, (3) Menghukum
Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar tiga puluh dua miliar
rupiah, dan apabila Terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam
waktu satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi
uang pengganti tersebut. Apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka
dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun, (4) Menghukum Terdakwa
dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak- hak tertentu untuk
memilih dan dipilih dalam jabatan publik, (5) Menetapkan masa
penahanan yang telah dijalankan, dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan…11
9 Lihat Putusan MKRI No. 4/PUU-VII/2009, h. 80. 10 Lengkapnya adalah: Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang
bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi
kembali ke masyarakat sekurang-kurangnya selama lima tahun setelah yang bersangkutan menjalani
pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dipilihnya jangka waktu lima tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi
frasa “diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.” Ibid., h. 79. 11 Putusan Mahkamah Agung Nomor 537K/Pid.Sus/2014, h. 1359.
5
Selanjutnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014. Dalam
amar putusan a quo dinyatakan bahwa:
(1) terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi dan Pencucian Uang Yang
dilakukan secara bersama-sama”, (2) menghukum terdakwa oleh karena
itu dengan pidana penjara selama delapan belas tahun dan denda sebesar
satu miliar rupiah dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan, (3) menetapkan
pencabutan hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik, (4)
menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan…12
Selain Pencabutan hak politik adalah konsekuensi dari tindakan korupsi oleh
koruptor sebagai extra ordinary crime. Sebenarnya Pencabutan hak politik ini juga
merupakan konsekuensi dari asas legalitas, yaitu “nullum delictum nula poena sine
praevia lege poenali” artinya suatu perbuatan tidak dapat dipidana sebelum ada aturan
yang mengatur sebelumnya. Asas legalitas ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang menyatakan: suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Melalui asas legalitas ini
dapat dipahami bahwa UU Tipikor sudah mengatur secara implisit terkait pencabutan
hak politik bagi terpidana tindak pidana korupsi sehingga dengan demikian ketentuan
pencabutan hak politik sebagaimana tertuang dalam UU Tipikor adalah sah dalam
konteks hukum pidana.
Apabila diteliti ketentuan dalam UU Tipikor dianggap oleh Pemohon dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 4/PUU-VII/2009
12 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014, h. 175.
6
bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menentukan: “kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”13
Kemudian bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) yang menentukan: “setiap orang
berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negara.” Selanjutnya bertentangan dengan Pasal
28D ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Serta bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”14 Ketentuan ini kemudian dipertegas
kembali dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 43 ayat
(1) bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Sebagai sarana untuk mendamaikan problematika hukum sebagaimana tersebut
di atas, maka penulis perlu memecahkannya dengan menggunakan instrumen teori
keadilan bermartabat. Sebab, teori keadilan bermartabat memandang bahwa manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia. Teori keadilan bermartabat
peduli manusia memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepada Tuhan kepadanya
13 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 4/PUU-VII/2009, h. 67. 14 Ibid.
7
untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berfikir, memanusiakan manusia atau
ngewongke wong.15 Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
Imperium hukum adalah imperium akal budi, karsa dan rasa seorang anak
manusia, di manapun ia berada menjalani kehidupannya. Hal ini sejalan
prinsip dalam teori keadilan bermartabat yang peduli dalam memanfaatkan
kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya
melalui kegiatan berfikir; memanusiakan manusia atau ngewongke
wong.16
Teori keadilan bermartabat mengajak untuk mendekati hukum dengan cara extra
ordinary yaitu dengan hikmat dan kebijaksanaan. Hikmat dan kebijaksanaan itu
merupakan hikmat dan kebijaksanaan yang harus atau sesuai dengan hukum.17 logika
yang dikemukakan dalam perspektif teori keadilan bermartabat sejalan dengan
pernyataan bahwa hukum itu sama dengan keadilan maka, apabila tidak ada hukum
tidak ada keadilan. Tidak mungkin didalilkan bahwa ada hukum tetapi hukum yang ada
itu tidak adil. Dalil seperti ini tidak sesuai dengan logika hukum. hukum mendikte
bahwa hukum selalu mengandung keadilan, demikian keadilan bermartabat.18
Keadilan bermartabat bertujuan untuk mencapai hal yang sesuai dengan
pandangan St. Aquinas, common good yaitu keadilan. Keadilan itu adalah termasuk
keadilan sosial yang berdimensi utilitarian atau kebendaan (property). Di samping itu,
keadilan juga berdimensi kerohanian atau spiritualitas.19 Sehingga teori keadilan
15 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perpektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015,
h. 22. 16 Ibid. 17 Ibid., h. 23. 18 Ibid., h. 123. 19 Ibid., h. 27-28.
8
bermartabat itu adalah suatu usaha untuk memahami pikiran Tuhan, mencari titik temu
antara kebendaan dan spiritualitas.20
Teori keadilan bermartabat merupakan teori yang berlandaskan pada nilai-nilai
Pancasila terutama dalam sila kedua, yaitu: “sila kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Dan dijiwai oleh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.21 Istilah adil dan beradab
sebagaimana dimaksud dalam sila kedua Pancasila tersebut oleh Notonagoro dimaknai
kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan terhadap
Tuhan (causa prima). Dengan dilandasi oleh sila kemanusiaan yang adil dan beradab
tersebut, maka keadilan hukum yang dimaknai bangsa indonesia adalah keadilan yang
memanusiakan manusia.22
Berdasarkan pemaparan problematika hukum sebagaimana sudah penulis
kemukakan di atas, maka menjadi menarik untuk dilakukan penelitian dan penulisan
karya tulis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan penulis di atas maka permasalahan atau isu utama
penelitian ini adalah: bagaimana pencabutan hak politik terpidana tindak pidana
korupsi dalam perspektif Keadilan Bermartabat?
20 Ibid., h. 25. 21 Ibid., h. 77. 22 Tri Austuti Handayani, Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Dalam Perpektif Teori
Keadilan Bermarbatan, Jurnal Refleksi Hukum, Vol. 9. No. 1. Bojonegoro, 2015, h. 21.
9
C. Tujuan Penelitian
Suatu tujuan penelitian harus dinyatakan dengan jelas dan ringkas, karena hal
yang demikian akan dapat memberikan arah pada penelitiannya.23 Sehingga,
berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum yang mengatur Pencabutan Hak
Politik Terpidana Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Keadilan Bermartabat.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak
yang terkait dalam penelitian ini. Untuk itu dipaparkan tentang hal-hal yang
bermanfaat, yaitu antara lain
1. Manfaat teoritis
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat mengembangkan ilmu dan memberikan
sumbangan pemikiran di dalam bidang hukum Pidana.
2. Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diperuntukkan sebagai masukan bagi pembuat
peraturan perundang-undangan. Agar dalam pembuatan peraturan, pembuatan
peraturan perundang-undangan berdiri pada posisi keadilan yang bermartabat.
23Bambang Sugondo, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998,
h. 111.
10
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini jenis yang digunakan adalah yuridis normatif.
Yuridis normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab issue hukum ytang menjadi
fokus penelitian.24 Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).25
2. Sumber Data
2.1. Data primer
bahan hukum primer yang berupa Peraturan perundang-Undangan, yaitu
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan Nomor
537K/Pid.Sus/2014, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014.
24 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Jawa Timur, 2009, h. 45. 25Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat,
Cetakan Kedua, Rajawali, Jakarta, 1998, h. 145.
11
2.2. Data sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil karya ilmiah para sarjana, jurnal hukum,
artikel, halaman website berkaitan dengan objek kajian, buku-buku yang berhubungan
erat dengan permasalahan dalam penelitian ini.26
3. Unit Analisa
Unit analisa dalam penelitian terdapat dua pokok bahasan yakni pertama adalah
membahas tentang peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pencabutan hak
politik terpidana koruptor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana), untuk itu penelitian ini hendak menceritakan dan mengamati putusan
Mahkamah Agung Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
1195K/Pid.Sus/2014. Kedua, penulis dalam penelitian ini ingin mengetahui,
menggambarkan serta menemukan keterkaitan antara Teori Keadilan Bermartabat
dengan Pencabutan Hak Politik Terpidana Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
26 Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, 2005, h.141.
12
F. Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan terbagi atas empat bab yang sistematikanya adalah sebagai
berikut ini. Pertama, Bab I Pendahuluan. Bab I ini menggambarkan mengenai latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan. Kedua, Bab II. Bab ini berisi tinjauan
kepustakaan mengenai Teori Keadilan Bermartabat, mengenai sanksi pidana
pencabutan hak politik, temuan berupa gambaran putusan pengadilan yang berisi amar
yang berkaitan dengan pencabutan hak politik terpidana, serta uraian analisis penulis.
Ketiga, Bab IV berisikan kesimpulan dan saran.