12
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan pembangunan nasional, menghambat pertumbuhan, perkembangan dan pembangunan nasional. Padahal semua itu menuntut efektivitas dan efisiensi yang sangat tinggi. Korupsi melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.” 1 Terkait penggolongan korupsi sebagai extra ordinary crime, Lilik Mulyadi dalam bukunya ”Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi” menegaskan bahwa: Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai ekstra ordinary crime, sehingga diperlukan sifat yang luar biasa pula (extra ordinary enforcement) dan tindakan yang luar biasa pula untuk memberantasnya (extra ordinary measures). 2 Senada dengan Mulyadi, Marwan Effendy menyatakan bahwa: sampai saat ini bangsa indonesia sedang gencarnya melaksanakan suatu misi besar yang masuk pada kategori kejahatan besar ( extra ordinary crime) sehingga dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan 1 Konsiderans huruf (a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran negara Nomor 4150). 2 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015, h. 22.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan

negara, perekonomian negara dan pembangunan nasional, menghambat pertumbuhan,

perkembangan dan pembangunan nasional. Padahal semua itu menuntut efektivitas dan

efisiensi yang sangat tinggi. Korupsi melanggar hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan

yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.”1 Terkait penggolongan

korupsi sebagai extra ordinary crime, Lilik Mulyadi dalam bukunya ”Pembalikan

Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi” menegaskan bahwa:

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis

multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu

dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan

sebagai ekstra ordinary crime, sehingga diperlukan sifat yang luar biasa

pula (extra ordinary enforcement) dan tindakan yang luar biasa pula untuk

memberantasnya (extra ordinary measures).2

Senada dengan Mulyadi, Marwan Effendy menyatakan bahwa:

sampai saat ini bangsa indonesia sedang gencarnya melaksanakan suatu

misi besar yang masuk pada kategori kejahatan besar (extra ordinary

crime) sehingga dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan

1 Konsiderans huruf (a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (lembaran Negara Tahun

2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran negara Nomor 4150). 2 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung,

2015, h. 22.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

2

Nasional yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

amanat Pancasila dan konstitusi tertinggi Undang-Undang Dasar 1945.3

Tindak pidana korupsi oleh banyak kalangan dikategorikan sebagai kejahatan

luar biasa (extra ordinary crime) sehingga mempunyai pengaturan khusus dalam

sistem perundang-undangan. Bagaimanapun bentuknya, perbuatan-perbuatan pidana

korupsi bersifat merugikan masyarakat dan anti sosial.4 Lebih lanjut Ermansjah

menyatakan:

korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crimes karena telah

merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi

juga telah meluluhlantakkan pilar-pilar sosial budaya, moral, politik, dan

tatanan hukum dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pola

pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa

juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilakukan secara komprehensif

dan bersama-sama, oleh penegak hukum, lembaga masyarakat, dan

individu anggota masyarakat. untuk maksud itu, kita harus mengetahui

secara persis peta korupsi di Indonesia dan apa penyebab utamanya.

Seperti seorang dokter, sebelum memberi terapi (pengobatan) kepada

pasiennya, harus mengetahui apa diagnose penyakitnya.5

Pidana, dalam hukum pidana yang dikenal saat ini ada dua kategori, yaitu pidana

pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari: pidana mati, pidana penjara,

pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan

terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan

pengumuman putusan hakim.6

3 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, Timpani Publising, Jakarta,

2010, h. 1. 4 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 8, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 3. 5 Ermansjah Djaja, Memberantasan Tindak Pidana Korupsi Bersama KPK, Jakarta , 2008, h.

267, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 2, Volume 1, Tahun 2013, h. 4. 6 Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

3

Penulis hanya akan membahas mengenai pidana tambahan berupa pencabutan

hak-hak tertentu dalam penelitian ini. Hak-hak tertentu yang dimaksud adalah hak

memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu sebagaimana diatur dalam

Pasal 35 ayat (1) KUHP atau hak pilih aktif dan pasif dalam pemilihan yang diadakan

berdasarkan aturan-aturan umum seperti yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1)

angka 3 KUHP atau hak politik sebagai sebagaimana tertuang dalam. Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan lebih lanjut mengenai pidana tambahan dapat dijumpai dalam

beberapa undang-undang yang salah satunya adalah UU Tipikor. Dalam Pasal 18 ayat

(1) huruf d UU Tipikor ditegaskan bahwa: “Selain pidana tambahan dimaksud dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan7 adalah: pencabutan

seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan

tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.”8

Melalui ketentuan a quo kemudian negara menerapkan pidana tambahan, yaitu

pencabutan hak politik bagi terpidana tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti diakui

dalam Putusan MK No. 4/PUUVII/ 2009 bahwa: “pencabutan hak pilih oleh putusan

7Maksud pidana tambahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagaimana tertuang

dalam Pasal 10 huruf b bahwa: “Pidana tambahan: (1) Pencabutan hak-hak tertentu ….”. 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

4

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap9 dengan batasan waktu lima

tahun.”10

Implikasi dari ketentuan di atas Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan

Nomor 537K/Pid.Sus/2014 yang dalam amar putusan a quo ditegaskan bahwa:

(1) Menyatakan Terdakwa Inspektur Jenderal Polisi Drs. Djoko Susilo,

SH., M.Si. telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum

bersalah melakukan tindak pidana Korupsi Secara Bersama-sama dan

Gabungan Beberapa Kejahatan sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Dakwaan Kesatu Primair serta Tindak Pidana Pencucian Uang

Secara Bersama-sama dan Gabungan Beberapa Kejahatan sebagaimana

diatur dan diancam dalam Dakwaan Kedua Pertama dan Dakwaan Ketiga,

(2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama delapan belas tahun dan pidana denda sebesar satu miliar

rupiah dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka

diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun, (3) Menghukum

Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar tiga puluh dua miliar

rupiah, dan apabila Terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam

waktu satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap,

maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi

uang pengganti tersebut. Apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka

dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun, (4) Menghukum Terdakwa

dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak- hak tertentu untuk

memilih dan dipilih dalam jabatan publik, (5) Menetapkan masa

penahanan yang telah dijalankan, dikurangkan seluruhnya dari pidana

yang dijatuhkan…11

9 Lihat Putusan MKRI No. 4/PUU-VII/2009, h. 80. 10 Lengkapnya adalah: Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana

dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang

bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi

kembali ke masyarakat sekurang-kurangnya selama lima tahun setelah yang bersangkutan menjalani

pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dipilihnya jangka waktu lima tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam

Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi

frasa “diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.” Ibid., h. 79. 11 Putusan Mahkamah Agung Nomor 537K/Pid.Sus/2014, h. 1359.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

5

Selanjutnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014. Dalam

amar putusan a quo dinyatakan bahwa:

(1) terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi dan Pencucian Uang Yang

dilakukan secara bersama-sama”, (2) menghukum terdakwa oleh karena

itu dengan pidana penjara selama delapan belas tahun dan denda sebesar

satu miliar rupiah dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar

diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan, (3) menetapkan

pencabutan hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik, (4)

menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan…12

Selain Pencabutan hak politik adalah konsekuensi dari tindakan korupsi oleh

koruptor sebagai extra ordinary crime. Sebenarnya Pencabutan hak politik ini juga

merupakan konsekuensi dari asas legalitas, yaitu “nullum delictum nula poena sine

praevia lege poenali” artinya suatu perbuatan tidak dapat dipidana sebelum ada aturan

yang mengatur sebelumnya. Asas legalitas ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 ayat (1)

KUHP yang menyatakan: suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan

kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Melalui asas legalitas ini

dapat dipahami bahwa UU Tipikor sudah mengatur secara implisit terkait pencabutan

hak politik bagi terpidana tindak pidana korupsi sehingga dengan demikian ketentuan

pencabutan hak politik sebagaimana tertuang dalam UU Tipikor adalah sah dalam

konteks hukum pidana.

Apabila diteliti ketentuan dalam UU Tipikor dianggap oleh Pemohon dalam

putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 4/PUU-VII/2009

12 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014, h. 175.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

6

bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menentukan: “kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”13

Kemudian bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) yang menentukan: “setiap orang

berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa, dan negara.” Selanjutnya bertentangan dengan Pasal

28D ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “setiap warga negara berhak

memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Serta bertentangan dengan

Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”14 Ketentuan ini kemudian dipertegas

kembali dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 43 ayat

(1) bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan

umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.”

Sebagai sarana untuk mendamaikan problematika hukum sebagaimana tersebut

di atas, maka penulis perlu memecahkannya dengan menggunakan instrumen teori

keadilan bermartabat. Sebab, teori keadilan bermartabat memandang bahwa manusia

adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia. Teori keadilan bermartabat

peduli manusia memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepada Tuhan kepadanya

13 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 4/PUU-VII/2009, h. 67. 14 Ibid.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

7

untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berfikir, memanusiakan manusia atau

ngewongke wong.15 Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

Imperium hukum adalah imperium akal budi, karsa dan rasa seorang anak

manusia, di manapun ia berada menjalani kehidupannya. Hal ini sejalan

prinsip dalam teori keadilan bermartabat yang peduli dalam memanfaatkan

kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya

melalui kegiatan berfikir; memanusiakan manusia atau ngewongke

wong.16

Teori keadilan bermartabat mengajak untuk mendekati hukum dengan cara extra

ordinary yaitu dengan hikmat dan kebijaksanaan. Hikmat dan kebijaksanaan itu

merupakan hikmat dan kebijaksanaan yang harus atau sesuai dengan hukum.17 logika

yang dikemukakan dalam perspektif teori keadilan bermartabat sejalan dengan

pernyataan bahwa hukum itu sama dengan keadilan maka, apabila tidak ada hukum

tidak ada keadilan. Tidak mungkin didalilkan bahwa ada hukum tetapi hukum yang ada

itu tidak adil. Dalil seperti ini tidak sesuai dengan logika hukum. hukum mendikte

bahwa hukum selalu mengandung keadilan, demikian keadilan bermartabat.18

Keadilan bermartabat bertujuan untuk mencapai hal yang sesuai dengan

pandangan St. Aquinas, common good yaitu keadilan. Keadilan itu adalah termasuk

keadilan sosial yang berdimensi utilitarian atau kebendaan (property). Di samping itu,

keadilan juga berdimensi kerohanian atau spiritualitas.19 Sehingga teori keadilan

15 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perpektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015,

h. 22. 16 Ibid. 17 Ibid., h. 23. 18 Ibid., h. 123. 19 Ibid., h. 27-28.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

8

bermartabat itu adalah suatu usaha untuk memahami pikiran Tuhan, mencari titik temu

antara kebendaan dan spiritualitas.20

Teori keadilan bermartabat merupakan teori yang berlandaskan pada nilai-nilai

Pancasila terutama dalam sila kedua, yaitu: “sila kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Dan dijiwai oleh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.21 Istilah adil dan beradab

sebagaimana dimaksud dalam sila kedua Pancasila tersebut oleh Notonagoro dimaknai

kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan terhadap

Tuhan (causa prima). Dengan dilandasi oleh sila kemanusiaan yang adil dan beradab

tersebut, maka keadilan hukum yang dimaknai bangsa indonesia adalah keadilan yang

memanusiakan manusia.22

Berdasarkan pemaparan problematika hukum sebagaimana sudah penulis

kemukakan di atas, maka menjadi menarik untuk dilakukan penelitian dan penulisan

karya tulis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan penulis di atas maka permasalahan atau isu utama

penelitian ini adalah: bagaimana pencabutan hak politik terpidana tindak pidana

korupsi dalam perspektif Keadilan Bermartabat?

20 Ibid., h. 25. 21 Ibid., h. 77. 22 Tri Austuti Handayani, Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Dalam Perpektif Teori

Keadilan Bermarbatan, Jurnal Refleksi Hukum, Vol. 9. No. 1. Bojonegoro, 2015, h. 21.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

9

C. Tujuan Penelitian

Suatu tujuan penelitian harus dinyatakan dengan jelas dan ringkas, karena hal

yang demikian akan dapat memberikan arah pada penelitiannya.23 Sehingga,

berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka

tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum yang mengatur Pencabutan Hak

Politik Terpidana Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Keadilan Bermartabat.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak

yang terkait dalam penelitian ini. Untuk itu dipaparkan tentang hal-hal yang

bermanfaat, yaitu antara lain

1. Manfaat teoritis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat mengembangkan ilmu dan memberikan

sumbangan pemikiran di dalam bidang hukum Pidana.

2. Manfaat praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diperuntukkan sebagai masukan bagi pembuat

peraturan perundang-undangan. Agar dalam pembuatan peraturan, pembuatan

peraturan perundang-undangan berdiri pada posisi keadilan yang bermartabat.

23Bambang Sugondo, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998,

h. 111.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

10

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini jenis yang digunakan adalah yuridis normatif.

Yuridis normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab issue hukum ytang menjadi

fokus penelitian.24 Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-

undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach).25

2. Sumber Data

2.1. Data primer

bahan hukum primer yang berupa Peraturan perundang-Undangan, yaitu

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi jo Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan Nomor

537K/Pid.Sus/2014, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014.

24 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,

Jawa Timur, 2009, h. 45. 25Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat,

Cetakan Kedua, Rajawali, Jakarta, 1998, h. 145.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

11

2.2. Data sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil karya ilmiah para sarjana, jurnal hukum,

artikel, halaman website berkaitan dengan objek kajian, buku-buku yang berhubungan

erat dengan permasalahan dalam penelitian ini.26

3. Unit Analisa

Unit analisa dalam penelitian terdapat dua pokok bahasan yakni pertama adalah

membahas tentang peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pencabutan hak

politik terpidana koruptor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana), untuk itu penelitian ini hendak menceritakan dan mengamati putusan

Mahkamah Agung Nomor 537K/Pid.Sus/2014 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor

1195K/Pid.Sus/2014. Kedua, penulis dalam penelitian ini ingin mengetahui,

menggambarkan serta menemukan keterkaitan antara Teori Keadilan Bermartabat

dengan Pencabutan Hak Politik Terpidana Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

26 Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, 2005, h.141.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan negara dalam hal keuangan negara, perekonomian negara dan

12

F. Sistematika Penulisan

Tulisan ini akan terbagi atas empat bab yang sistematikanya adalah sebagai

berikut ini. Pertama, Bab I Pendahuluan. Bab I ini menggambarkan mengenai latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan. Kedua, Bab II. Bab ini berisi tinjauan

kepustakaan mengenai Teori Keadilan Bermartabat, mengenai sanksi pidana

pencabutan hak politik, temuan berupa gambaran putusan pengadilan yang berisi amar

yang berkaitan dengan pencabutan hak politik terpidana, serta uraian analisis penulis.

Ketiga, Bab IV berisikan kesimpulan dan saran.