63
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesusasteraan merupakan kumpulan hasil karya seni yang menggunakan kata-kata sebagai media, baik yang dituliskan (misalnya pada kertas, kulit kayu, kulit binatang, lontar, dan lain sebagainya), maupun yang tidak dituliskan (yang tumbuh dan berkembang dalam ingatan masyarakat pendukungnya dan disampaikan secara lisan/oral). Sebagai karya seni yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, karya sastra tidak akan terlepas dari masyarakat tempat karya sastra itu hidup. Hubungan timbal balik yang terangkai antara karya sastra sebagai salah satu hasil cipta seni dengan masyarakat sebagai penikmat dan bahkan yang direfleksikan oleh karya sastra itu sendiri, membuka jalan untuk melihat dan mempelajari masyarakat melalui karya-karya sastra yang dihasilkannya, baik melalui karya sastra tertulis maupun sastra tidak tertulis. Karya sastra tidak tertulis (lazim disebut juga sastra lisan) dapat menjadi salah satu pintu masuk untuk memahami alam pikiran masyarakat yang memproduksinya. Di balik sastra lisan yang dihasilkan, terkandung gagasan dan sejarah penting tentang masyarakat itu sendiri, tidak terkecuali karya-karya sastra lisan yang yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Penelitian terhadap sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesusasteraan merupakan kumpulan hasil karya seni yang menggunakan

kata-kata sebagai media, baik yang dituliskan (misalnya pada kertas, kulit kayu,

kulit binatang, lontar, dan lain sebagainya), maupun yang tidak dituliskan (yang

tumbuh dan berkembang dalam ingatan masyarakat pendukungnya dan

disampaikan secara lisan/oral). Sebagai karya seni yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat, karya sastra tidak akan terlepas dari masyarakat tempat karya

sastra itu hidup. Hubungan timbal balik yang terangkai antara karya sastra sebagai

salah satu hasil cipta seni dengan masyarakat sebagai penikmat dan bahkan yang

direfleksikan oleh karya sastra itu sendiri, membuka jalan untuk melihat dan

mempelajari masyarakat melalui karya-karya sastra yang dihasilkannya, baik

melalui karya sastra tertulis maupun sastra tidak tertulis.

Karya sastra tidak tertulis (lazim disebut juga sastra lisan) dapat menjadi

salah satu pintu masuk untuk memahami alam pikiran masyarakat yang

memproduksinya. Di balik sastra lisan yang dihasilkan, terkandung gagasan dan

sejarah penting tentang masyarakat itu sendiri, tidak terkecuali karya-karya sastra

lisan yang yang hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Penelitian terhadap

sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya dan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

2

tradisi lisan dalam masyarakat Minangkabau, dapat membuka informasi tentang

kebudayaan1 dan masyarakat2 Minangkabau.

Salah satu bentuk sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat Minangkabau adalah pidato adat. Pidato adat adalah pidato yang

disampaikan dalam bahasa adat.3 Bahasa adat yang dimaksudkan adalah bahasa

Minangkabau ragam khusus. Kekhususan bahasa pidato adat, menurut Navis

(1986: 252), diperlihatkan oleh gaya bahasa yang dipakai. Gaya bahasa dan

ungkapannya merupakan hasil kesusasteraan yang sama mutunya dengan kaba4

dan pantun.5 Struktur kalimat pidato biasanya panjang-panjang. Setiap kalimat

memiliki banyak anak kalimat. Tiap-tiap kalimat dan anak kalimat terdiri atas

empat kata. Di samping itu, dalam pidato adat dibangun kesejajaran berbagai ung-

1 Kebudayaan dalam antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan itu sendiri berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ”budi” atau ”akal”. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan: ”hal-hal yang bersangkutan dengan akal” (Koentjaraningrat, 1986: 179-181).

2 Istilah masyarakat sendiri berasal dari kata Arab syaraka yang berarti ”ikut serta, berpartisipasi”.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, saling berinteraksi, dan mempunyai ikatan khusus. Ikatan khusus yang dimaksud adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu, dan pola tingkah lalu itu harus bersifat mantap dan kontinyu; dengan kata lain pola khas itu sudah menjadi adat istiadat yang khas. Ikatan khusus juga dibangun oleh rasa kesamaan identitas diantara para warga dan anggotanya. Selain itu, ikatan khusus juga dibentuk oleh adanya suatu sistem norma yang menyeluruh. Berdasarkan ketiga ciri itu, Koentjaraningrat merumuskan definisi sebagai berikut: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Ibid: 143-146).

3 Pidato adat merupakan salah satu hasil kesusateraan Minangkabau terpenting di samping pantun

dan kaba (Navis, 1986: 232). 4 Kaba adalah salah satu cerita rakyat Minangkabau di samping dongeng, hikayat, dan cerita

lainnya. Bahasa yang dipakai dalam kaba bersifat liris, mengandung ungkapan-ungkapan yang plastis, dan terdiri dari unsur pantun yang cukup dominan (Ibid: 243-252).

5 Pantun adalah buah kesusasteraan Minangkabau terpenting. Pantun menjadi buah bibir, bunga

kaba, dan hiasan pidato dalam karya sastra Minangkabau (Ibid: 232-242).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

3

kapan yang sinonim sebagai cara untuk menegaskan masalah yang sedang

dibicarakan. Ungkapan-ungkapan itu juga berfungsi sebagai bungo pidato.

Pidato adat dinamakan juga sebagai “pakaian penghulu”, karena pidato adat

menjadi bagian yang penting dalam upacara-upacara adat. Ia terintegrasi ke dalam

tubuh seremonial adat, dan melalaui pidato itu ditentukan sah atau tidaknya

keputusan-keputusan adat. Seorang penghulu (pimpinan adat) perlu memiliki

kemahiran berpidato adat. Setiap acara dan upacara dalam masyarakat

Minangkabau memerlukan kemahiran pidato adat, seperti dalam acara

perkawinan, kenduri dan perjamuan, upacara kematian, penobatan penghulu, serta

kerapatan kaum atau kerapatan nagari di balai adat.

Pidato adat dalam acara penobatkan atau pengukuhan penghulu merupakan

salah satu bentuk pidato adat yang panjang dan kompleks. Kompleksitas terlihat

pada struktur kalimat yang panjang-panjang, dengan banyak anak kalimat,

mengandung pantun-pantun, ungkapan-ungkapan adat yang disampaikan dengan

gaya bahasa yang khas dan menggunakan bahasa berkias. Pidato adat penobatan

penghulu biasanya dilakukan dalam sebuah tradisi Malewakan Gala (seterusnya

disingkat dengan MG). Tradisi Malewakan Gala adalah suatu tradisi yang

dilakukan oleh masyarakat Minangkabau untuk melewakan (meresmikan)

pewarisan gelar adat yang diwariskan kepada seorang laki-laki, baik ketika ia

menjadi seorang mempelai, maupun ketika seorang laki-laki dipilih menjadi

pemimpin adat (penghulu) dalam masyarakat Minangkabau.

Pidato adat ini disampaikan seseorang yang dipilih sebagai juru pidato yang

sekaligus berkedudukan sebagai pemuka adat. Biasanya juru pidato memangku

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

4

jabatan sebagai ninik mamak di suatu nagari. Juru pidato berperan sebagai wakil

kaum (orang sesuku) dari suku yang sedang dilewakan atau diresmikan gelarnya.

Tradisi MG adalah tradisi yang dilakukan ketika seorang laki-laki diberi

gelar adat oleh kerabat dari pihak garis ibu (matrilineal).6 Pemberian gelar adat

kepada seorang laki-laki terjadi pada dua kondisi: pertama, ketika seorang laki-

laki memasuki masa pernikahan; kedua, ketika seorang laki-laki dipilih sebagai

pemimpin adat (penghulu). Pada kedua kondisi ini, keberadaan laki-laki dalam

pandangan budaya masyarakat Minangkabau akan diwariskan gelar adat.7 Akan

tetapi, kedua kondisi tersebut tidak bermakna dapat saling berkelanjutan. Artinya,

tidak selalu laki-laki yang sudah diberi gelar ketika menikah kemudian otomatis

akan dipilih lagi untuk menerima gelar adat dan berfungsi sebagai pemimpin adat.

Seorang pemimpin adat adalah orang yang benar-benar dipilih oleh kerabat atau

kaumnya.8

6 Khusus terjadi di wilayah Pariaman terdapat tradisi pewarisan gelar bangsawan dari ayah kepada

anak laki-laki. Gelar yang diwariskan di daerah Pariaman tidak sama dengan gelar adat yang lazim berlaku di daerah Minangkabau pada umumnya. Gelar di daerah Pariaman yang diwariskan menurut garis bapak ini bersifat perbedaan status sosial, mirip dengan pembedaan orang dalam kasta-kasta. Ada tiga gelar yang lazim diwariskan tersebut yaitu: sutan, bagindo, dan sidi. Laki-laki yang diwarisi gelar sutan menandakan asal usul ayahnya dari Luhak nan Tigo. Gelar bagindo yang diberikan pada seorang anak laki-laki menandakan asal usul ayahnya dari keluarga bangsawan Pagaruyung. Gelar sidi menandakan asal usul ayahnya berasal dari prajurit Aceh. Pariaman lama dikuasai Aceh sebelum dikuasai Belanda.

7 Gelar adat merupakan sako (warisan) yang tidak bersifat benda. Sako dalam pengertian adat

Minangkabau adalah segala kekayaan asal yang tidak berwujud atau harta tua berupa hak atau kekayaan tanpa wujud. Gelar adat Minangkabau adalah salah satu dari kekayaan immaterial yang disebut juga dengan Pusako Kagadangan (Pusaka Kebesaran). Ada 4 macam Pusako Kebesaran, yaitu: gelar penghulu, garis keturunan ibu (matrilineal), pepatah-petitih dan hukum adat, dan tata krama atau adat sopan santun (Amir M.S., 1997: 90).

8 Tradisi ini ”hidup” di wilayah budayanya sendiri. Kalaupun ada orang Minang yang tinggal di

rantau diwarisi gelar (penghulu), biasanya pelaksanaannya dilakukan di kampung halaman, yaitu Sumatera Barat. Oleh karenanya, penelitian ini mengamati atau mempelajari tradisi Malewakan Gala di daerah Minangkabau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat saja.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

5

Dalam struktur kekerabatan yang bersifat matrilineal sebagai yang dianut

masyarakat Minangkabau, kedudukan kaum perempuan dipandang menempati

posisi yang beruntung. Keberuntungan perempuan adalah karena pewarisan harta

pusaka, rumah, anak, dan sebagainya “dipegang” oleh pihak perempuan. Harta

pusaka kaum menjadi milik perempuan secara turun-temurun. Akan tetapi,

mengapa gelar adat sebagai salah satu bentuk dari harta pusaka kaum diwariskan

kepada laki-laki? Mengapa perempuan tidak memperoleh hak yang sama dengan

laki-laki di mata adat Minangkabau, terutama berkaitan dengan gelar ini?9

Pertanyaan ini menjadi titik awal keberangkatan studi ini dilakukan dan juga

sekaligus menjadi tujuan akhir yang hendak diraih. Pembongkaran terhadap

pertanyaan yang menjadi titik sentral studi ini dilakukan melalui ”pintu masuk”

sastra, yaitu sastra lisan pidato adat yang dilaksanakan dalam tradisi MG di

Minangkabau.

Tradisi MG terdiri atas beberapa tahapan. Khusus untuk MG kepada

pemimpin adat, prosedurnya cukup panjang. Diawali dengan musyawarah dan

mufakat kaum tentang orang yang patut dan pantas menerima pewarisan gelar

9 Pola garis keturunan matrilineal memunculkan satu nenek moyang utama dalam tiap-tiap

generasi, yaitu ibu si ibu, ibu dari nenek, seterusnya ibu dari nenek lagi, dan seterusnya demikian ke atas. Dengan demikian, kekerabatan dikelompokkan berdasarkan garis ibu. Pada kelompok masyarakat yang menganut pola kekerabatan matrilineal, peranan kepala keluarga dipegang oleh saudara laki-laki ibu dan bukan oleh sang ayah. Pola menetap dalam sistem kekerabatan matrilineal ini bersifat matrilocal, yaitu setelah menikah sang suami akan menetap di desa (rumah) sang isteri. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa dalam struktur kekerabatan seperti ini terdapat efek psikologis tertentu dalam hubungan psikososial di antara anggota-anggota keluarga. Pola menetap yang matrilocal seakan memunculkan perasaan bahwa perempuanlah yang mempunyai kedudukan dalam keluarga, mungkin akan demikian kuatnya, sehingga sang suami dianggap sebagai semacam orang luar dalam lingkungan keluarga isterinya, seperti halnya yangb terjadi pada orang Zuni (salah satu suku Indian di Amerika Serikat), yakni suami merasa menderita karenanya. Di rumah isterinya, sang suami tidak mempunyai kedudukan apapun, kecuali kedudukan yang diperolehnya karena sudah lama tinggal di sana serta rasa hormat terhadap dirinya yang ditunjukkan oleh kerabat pihak isterinya. Lebih lanjut, periksa (T.O. Ihromi, 1980: 82-86).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

6

adat, setelah itu dilanjutkan dengan musyawarah di tingkat nagari. Hal-hal yang

dimusyawarahkan adalah siapa yang akan menerima hak waris, apa gelar adat

yang akan diwariskan, dan juga teknis pelaksanaan alek malewakan gala (pesta

peresmian gelar) tersebut. Pelaksanaan alek malewakan gala ini biasanya harus

diikuti dengan penyembelihan kerbau, sebagai syarat untuk diangkatnya seorang

penghulu. Daging kerbau itu dimasak dan dimakan bersama sesudah

melaksanakan alek malewakan gala, khususnya pada penobatan penghulu baru.

Acara makan bersama itu digelar dalam jamuan atau makan bajamba10 di rumah

gadang.

Hal ini berbeda dengan alek malewakan gala kepada seorang laki-laki yang

akan melaksanakan pernikahan. Untuk kondisi ini tidak berlaku prosedur yang

rumit, sebab pewarisan gelar pada kondisi ini biasanya dirangkaikan dengan

upacara perkawinan. Pewarisan gelar dilakukan sehari sebelum marapulai

(mempelai laki-laki) bersanding di pelaminan dengan anak daro (mempelai

perempuan). Gelar diwariskan oleh kerabat kepada seorang laki-laki yang berhak

mendapatkannya, setelah melalui proses musyawarah dan mufakat.

Permusyawarahan dan permufakatan dilakukan di antara sesama anggota kerabat

(kaum) yang terdiri dari para ninik mamak. Hasil permusyawarahan dan

permufakatan diumumkan dalam acara puncak, yaitu tradisi MG. Pada acara

puncak itu seluruh kerabat, masyarakat, tokoh formal dan informal diundang

dalam seremonial itu.

10 Makan bajamba adalah makan bersama secara adat. Makanan dihidangkan dalam beberapa

wadah dan setiap wadah dikelilingi oleh beberapa orang (sekitar 4 orang), kemudian makanan tersebut disantap secara bersama-sama.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

7

Tradisi MG merupakan sebuah ritual adat yang hingga saat ini masih

dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau, baik yang berdiam di kawasan

darek, maupun yang berada di kawasan pasisia.11 Tradisi itu masih dilakukan

hingga kini karena diatur oleh adat istiadat Minangkabau. Adat Minangkabau

mengatur pentingnya pelaksanaan tradisi tersebut melalui sebuah ungkapan adat

yang berbunyi ”ketek banamo gadang bagala” (kecil memiliki nama, besar diberi

gelar). Ungkapan ini dipandang menjadi alasan penting dalam tradisi MG.

Ungkapan ini diulang-ulang dan selalu dituturkan dalam berbagai kesempatan

adat, termasuk dalam tradisi MG. Bila pemberian gelar dilakukan kepada seorang

pemimpin adat, apakah ungkapan yang berlaku sebagai dasar pijakannya masih

”ketek banamo gadang bagala” yang menjadi alasan pentingnya? Bila ternyata

benar, maka ungkapan ini benar-benar menjadi patokan utama dalam tradisi

tersebut. Bila ternyata tidak, perlu dilacak lebih lanjut dan dikaji keterkaitannya

dengan ungkapan ”ketek banamo gadang bagala” itu.

Ungkapan “ketek banamo, gadang bagala” (kecil memiliki nama, besar

diberi gelar) yang menjadi landasan pelaksanaan tradisi pemberian gelar selalu

saja dituturkan dan digunakan secara sosial oleh masyarakat Minangakabau di

11 Secara tradisional, wilayah budaya Minangkabau terdiri atas kawasan luhak, dan rantau; yang

juga identik dengan darek dan pasisia. Luhak adalah daerah-daerah yang termasuk ke dalam kawasan inti wilayah budaya Minangkabau (disebut juga Luhak nan Tigo), sedangkan rantau adalah daerah-daerah lain yang tidak termasuk ke dalam kawasan Luhak nan Tigo. Wilayah Luhak nan Tigo itu pun terdiri dari 3 kawasan, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Limopuluah Koto. Sebaliknya, rantau adalah daerah di luar Luhak nan Tigo yang masih termasuk ke dalam wilayah budaya Minangkabau. Wilayah luhak terletak di daerah dataran tinggi, dinamakan dengan darek, sedangkan rantau terletak di daerah dataran rendah dan juga pesisir pantai, yang oleh karenanya seringkali di sebut juga sebagai kawasan pasisia (pesisir). Luhak dan rantau atau darek dan pasisia kontroversial secara adat istiadat yang berlaku. Luhak lebih kental adat istiadatnya, sedangkan rantau sebaliknya (Mansoer, dkk, 1970)

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

8

berbagai kesempatan. Artinya, ungkapan ini telah menjadi pesan yang selalu

dituturkan dan digunakan di berbagai kesempatan oleh masyarakat Minangkabau.

Terkait dengan pesan yang masih tetap bertahan, selalu dituturkan, dan

digunakan secara sosial oleh masyarakat ini, tampaknya bisa dijelaskan dengan

pandangan Barthes (1993: 109) tentang mitos. Bagi Barthes, segala hal dapat

menjadi mitos bila ia dikatakan, dituturkan, dan digunakan secara sosial.

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang ingin dijawab dalam

disertasi ini adalah mengapa terjadinya penyimpangan aturan pewarisan harato

pusako (harta pusaka) yang seharusnya harato pusako (pusaka) hanya dijatuhkan

untuk kaum perempuan sebagai pemilik dan pemakainya. Akan tetapi, kemudian

disimpangi untuk kasus pewarisan harato pusako, yaitu yang berupa gelar adat

(sako) dengan menjatuhkan pewarisannya kepada laki-laki. Sako itu sendiri saat

kini adalah salah satu bagian dari harato pusako dalam masyarakat Minangkabau.

Pewarisan gelar sako itu diturunkan secara terus-menerus oleh masyarakat

Minangkabau lewat tradisi MG. Bahkan, pemberian gelar adat kepada laki-laki

oleh masyarakat Minangkabau dipahami sebagai suatu keniscayaan, alamiah, dan

sudah demikian adanya sejak dahulu kala. Karena kajian ini berfokus pada aspek

sastra lisan pidato adat dalam tradisi MG, untuk menjawab masalah di atas,

terlebih dahulu perlu dijawab beberapa pertanyaan berikut.

1. Bagaimana struktur teks pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala di

Minangkabau?

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

9

2. Apa makna pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala bagi masyarakat

Minangkabau?

3. Apa fungsi pesan-pesan yang terkandung di balik pidato adat dalam tradisi

Malewakan Gala?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan

praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah ingin mengetahui mengapa gelar sako

diberikan kepada laki-laki, bukan kepada perempuan. Untuk mencapai tujuan

tersebut, terlebih dahulu penelitian ini melakukan langkah-langkah berikut: (1)

mengidentifikasi formula-formula khas teks pidato adat dan keterkaitannya

dengan struktur formal masyarakat Minangkabau dalam konsep pewarisan gelar

adat kepada laki-laki, (2) mengungkapkan makna pesan-pesan yang terkandung di

balik pidato adat dalam tradisi MG, (3) menjelaskan fungsi pidato adat dalam

tradisi MG bagi masyarakat Minangkabau.

Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah (1) memperkaya bahan ajar di

Jurusan Sastra Minangkabau di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas,

khususnya mata kuliah sastra lisan dan semiotik, (2) memberikan informasi

kepada masyarakat, khususnya masyarakat Minangkabau, mengenai kandungan

yang terdapat dalam budayanya sendiri, (3) melestarikan budaya Minangkabau

agar tidak punah, serta (4) membangkitkan kecintaan masyarakat terhadap budaya

Minangkabau.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

10

1.4 Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai budaya Minangkabau telah banyak dilakukan oleh

peneliti terdahulu dengan mengaplikasikan berbagai sudut pandang. Sudut

pandang yang relevan dengan studi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

kajian-kajian yang berkaitan dengan sudut pandang sastra, tradisi lisan, dan

bertema seputar budaya Minangkabau. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang

berhasil ditelusuri dan dibaca dapat dipilah atas dua kelompok, yakni: (1)

kepustakaan yang terkait dengan kajian tentang masyarakat Minangkabau dan

budayanya; dan (2) kepustakaan yang terkait dengan kerangka teoretis atau sudut

pandang yang digunakan dalam penelitian ini. Kepustakaan yang terkategori ke

dalam kelompok (1) sepanjang pengetahuan penulis telah banyak dilakukan. Ada

beberapa kajian terdahulu yang terkait langsung dengan topik penelitian ini, yaitu

kajian tentang tentang gelar adat dilakukan oleh Noverita (2005); tentang

penghulu oleh Zulhelmi (2006) dan Hestia (2008); tentang perkawinan oleh Arifin

(2008); tentang sastra oleh Elia (2003), Rosa (2003) dan (2005), Gayatri (2005);

dan Devina (2006); serta tentang seni dan tradisi masyarakat oleh Awerman

(1999), Sastra (1999), dan Toruan (2000).

Kajian Noverita (2005) adalah sebuah kajian linguistik (semantis) tentang

nama gelar-gelar penghulu di Minangkabau. Kajiannya menyimpulkan bahwa

terdapat variasi bentuk dan makna dalam pemilihan nama gelar penghulu.

Penamaan gelar penghulu di Minangkabau tidak terlepas dari filosofi hidup orang

Minangkabau yang berbunyi ”Alam Terkembang Jadi Guru”. Sementara itu,

masalah yang terkait dengan peran penghulu dalam masyarakat Minangkabau

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

11

diteliti oleh Zulhelmi (2006) dari perspektif ilmu filsafat. Menurutnya, penghulu

merupakan jabatan adat yang penting dalam masyarakat dan memiliki beban

tanggung jawab yang berat, oleh karenanya mesti dijabat oleh seorang laki-laki.

Sehubungan dengan beban dan tanggung jawab seorang penghulu di

Minangkabau, Hestia (2008) menyatakan bahwa lembaga KAN (Kerapatan Adat

Nagari) yang beranggotakan para penghulu berperan penting dalam membantu

tugas-tugas pemerintah di level nagari, terutama dalam menyelesaikan

persengketaan masyarakat nagari dalam urusan adat. Persengketaan adat di tahap

nagari harus diselesaikan terlebih dahulu oleh para penghulu yang bernaung di

bawah lembaga KAN sebelum persengketaan itu dinaikkan ke level pengadilan.

Pada tahap ini, tampak bahwa persyaratan jenis kelamin penghulu harus laki-laki

seperti disebutkan dalam kajian Zulhelmi (2006) menjadi penting. Ketiga kajian

ini tampak sebatas mendeskripsikan aturan-aturan adat tentang beban dan

tanggung jawab seorang penghulu yang memang sudah ada dalam tambo atau

dokumen-dokumen adat, tanpa menyertainya dengan analisis kritis terhadap

aturan-aturan yang termuat dalam tambo adat Minangkabau.

Hal berbeda dari ketiga kajian ini disuguhkan oleh Arifin (2008) yang

melakukan kajian kritis tentang praktik perkawinan di nagari Minangkabau yang

memperlihatkan peran para penghulu-penghulu adat. Arifin menilai bahwa praktik

perkawinan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau lebih menunjukkan sifat

”bersaing dan bersahabat”. Adat yang diaplikasikan dalam praktik sosial

masyarakat Minangkabau sebenarnya adalah hasil kesepakatan (adat) yang telah

mengalami proses redefinisi dan rekonstruksi. Dengan kata lain, “ketegangan”

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

12

antara adat (struktur) dan politik perkawinan (agensi) akhirnya menemukan hasil

dalam bentuk modifikasi adat sesuai dengan ruang dan waktu dimana ia

diaplikasikan. Redefinisi adat ini dilakukan melalui hal yang disebutnya sebagai

“politik perkawinan” dan yang berperan dalam “politik perkawinan” itu adalah

para penghulu dari masing-masing kerabat yang terlibat dalam perkawinan.

Kajian Arifin menjadi cukup penting karena ia mencoba memberikan tafsir

terhadap sebuah fenomena budaya (perkawinan). Hanya saja objek yang

dipilihnya tidak terlalu dekat dengan objek penelitian ini, yaitu sastra lisan.

Namun, setidaknya kajian Arifin dapat dijadikan perbandingan kritis dalam

menafsirkan fenomena budaya masyarakat Minangkabau. Studi yang mirip

dilakukan juga oleh Rosa (2003) yang mencoba menawarkan sebuah tafsir

semiotik terhadap salah satu teks pidato adat yang ditujukan untuk laki-laki yang

akan menikah di satu daerah perkotaan (pesisir) di Sumatera Barat; dan juga

dilakukannya lagi tahun 2005 (Rosa, 2005). Kedua penelitian Rosa itu belum

mampu mengkaji pemberian gelar adat di tempat yang berbeda dan juga terkait

dengan pemberian gelar untuk laki-laki yang dipilih menjadi penghulu atau

pemimpin adat. Aspek ini belum tersentuh baik dalam kajian Rosa (2003) maupun

dalam Rosa (2005).

Berkaitan dengan perspektif sastra yang diaplikasikan terhadap tema-tema

Minangkabau, khususnya yang fokus dalam hal sastra dan tradisi lisan telah

dilakukan oleh beberapa orang peneliti terdahulu, diantaranya oleh Elia (2003)

dan Gayatri (2005); seni dan tradisi masyarakat oleh Awerman (1999), Sastra

(1999), dan Toruan (2000). Kajian Elia (2003) menyatakan bahwa Sirompak

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

13

adalah salah satu tradisi syamanisme yang kemudian berkembang menjadi seni

pertunjukkan satra lisan di Minangkabau, khususnya di Nagari Taeh, Kabupaten

Limopuluah Koto. Sirompak adalah semacam mantra yang digunakan untuk

mengguna-guna seorang perempuan agar tergila-gila kepada seorang laki-laki

yang menaruh dendam akibat cintanya ditolak. Dengan menggunakan paradigma

Lord tentang formula, kajian Elia menghasilkan temuan bahwa teks Sirompak

bersifat formulaik. Juru dendang menggunakan teknik memorizing, remembering,

dan (re)creating dalam membuat komposisi teks-teks mantra Sirompak ketika

pertunjukan dilakukan.

Masih di daerah Kabupaten Limopuluah Koto, Gayatri (2005) meneliti

sastra lisan Tupai Janjang menggunakan paradigma yang sama dengan Elia

(2003). Gayatri menambahkan dengan analisis fungsional. Akan tetapi, Gayatri

(2005) mengaitkan analisis fungsional Tupai Janjang dengan pendapat

Danandjaya tentang fungsi-fungsi folklor, sehingga Gayatri hanya sampai pada

kesimpulan bahwa Tupai Janjang berfungsi sebagai sistem proyeksi keinginan

masyarakat dan sebagai alat pengesahan pranata sosial dan lembaga-lembaga

kebudayaan di Minangkabau. Meskipun Gayatri menyinggung tentang paradigma

fungsionalisme Malinowski dalam kerangka teoretiknya, tetapi analisis yang

dilakukan tidak sampai ke tahap analisis fungsional dalam paradigma Malinowski

tersebut.

Devina (2006) meneliti Pidato Pasambahan Batagak Gala di Kenagarian

Koto Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam. Hasil kajiannya menyediakan

data mentah tentang pidato adat Batagak Gala, yaitu berupa transkripsi, yang

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

14

tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan bahan bagi penelitian lanjutan. Oleh

karena itu, hasil transkripsi Devina dipilih sebagai salah satu sumber data. Akan

tetapi, hasil transkripsi yang dilakukan oleh Devina, masih memerlukan

perbaikan-perbaikan dalam segi transliterasi. Karena masih banyak terdapat kata-

kata berbahasa daerah yang belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, hasil transliterasi terhadap teks Devina (yakni teks C) yang

disajikan dalam disertasi ini diupayakan seminimal mungkin kata-kata, ungkapan

dan atau kalimat yang tidak dterjemahkan, kecuali apabila benar-benar tidak

ditemukan padanan katanya di daam kamus. Perubahan-perubahan dalam

transliterasi teks tetap diperlukan dalam keputusan memilih teks hasil transkripsi

Devina ini. Teks tersebut didampingkan dengan 3 (tiga) teks lain.

Kajian fungsional terhadap tradisi lisan juga tampak pada penelitian

Sarwanto (2007) tentang fungsi pertunjukan wayang kulit purwa dalam upacara

bersih desa di daerah Karesidenan Surakarta. Penelitian Sarwanto lebih fokus

kepada faktor-faktor yang menjadi penyebab pentingnya fungsi wayang kulit

purwa dilaksanakan dalam upacara bersih desa; dan penelitian tentang aspek

fungsional dalam sastra pernah dilakukan oleh Wigati (2008) terhadap sastra lisan

di Sentani, Papua. Penelitian Wigati lebih menekankan pada fungsi perempuan

dalam pewarisan sastra lisan Helaehili dan Ehabla di Sentani, Papua.

Penelitian aspek fungsional yang berhubungan dengan seni dan tradisi

masyarakat telah dilakukan oleh Awerman (1999), Sastra (1999), Toruan (2000),

dan Maryetti (2007). Awerman (1999) menyatakan bahwa Dikia Rabano

merupakan salah satu musik bernafaskan Islam yang sekaligus menjadi

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

15

manifestasi dari sistem pendidikan tradisional yang sejalan dengan dakwah Islam

di Minangkabau dan juga proses Islamisasi di Sumatera Barat. Dikia Rabano

merupakan pengembangan dari instrumen rabano yang dibawa langsung oleh para

ulama dari Mekah. Instrumen rabano dipakai untuk mengiringi syair Qashidah

Burdah yang berasal dari Mekah dan juga untuk mengirigi acara Khatam al-

Quran.

Sastra (1999) mencatat bahwa kebudayaan Minangkabau tersusun

berdasarkan konflik-konflik sosial yang dapat terlihat pada wilayah budaya,

agama, dan struktur masyarakat. Konflik-konflik sosial ini pun akhirnya bermuara

pada kepentingan bersama, yaitu membentuk budaya Minangkabau secara utuh.

Konflik dipandang sebagai dinamika yang tidak harus berujung pada perubahan.

Konflik-konflik sosial yang telah membudaya di Minangkabau ternyata membias

pada seni pertunjukan bagurau dalam basaluang.

Toruan (2000) yang meneliti Fungsi dan Struktur Dendang Pauah

menyebutkan bahwa Dendang Pauah berfungsi sebagai sarana hiburan para tamu

yang datang diundang pada upacara-upacara adat, seperti batagak pangulu,

batagak gala, alek kawin, dan managakan tonggak tuo. Toruan berpandangan

bahwa dari segi struktur, Dendang Pauah memperlihatkan dua aspek struktur,

yaitu struktur musikal dan struktur teks. Secara musikal, struktur Dendang Pauah

terdiri dari irama pado-pado, irama pakok anam, irama pakok limo, irama

malereang, dan irama lambok malam.

Kajian Maryetti (2007) juga berupaya untuk melihat aspek struktur dalam

makanan tradisional Minangkabau. Akan tetapi perspektif struktur yang dipakai

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

16

Maryetti tampak jauh berbeda dengan perspektif yang digunakan oleh Toruan

dalam mengungkap struktur Dendang Pauah. Maryetti menggunakan perspektif

strukturalisme Levi-Strauss dalam meneliti makanan tradisional di Minangkabau,

khusus di daerah Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Maryetti menyatakan bahwa makanan merupakan persoalan budaya karena

posisinya tidak hanya terletak pada tataran individu melainkan juga pada tataran

sosial. Pada event adat, peran dan posisi makanan tidak kalah pentingnya dari

upacara adat itu sendiri. Makanan dapat menjadi simbol status. Keberadaan

makanan tradisional dalam sebuah upacara adat menjadi simbol beradat atau tidak

beradatnya suatu kaum, meskipun telah banyak tersedia makanan-makanan yang

lebih bersifat modern, makanan siap saji misalnya. Namun, posisi makanan

modern tidak dapat menggantikan posisi makanan tradisional dalam sebuah

peristiwa adat atau upacara adat. Keharusan hadirnya makanan-makanan tertentu

dalam sebuah upacara adat menyiratkan suatu pesan.

Kajian Maryetti yang menggunakan perspektif strukturalisme Levi-Strauss

menyimpulkan bahwa ada struktur tertentu yang terdapat di balik makanan khas

rakyat Minangkabau. Selanjutnya, kepustakaan yang terkait dengan kerangka

teoretis yang dipakai dalam penelitian, antara lain dilakukan oleh Propp (1968),

Parry dan Lord (dalam Lord, 1976), Sweeney (1973), Phillips (1981), Maryetti

(2007), Sarwanto (2007), dan Wigati (2008).

Kajian Propp 1968) terhadap seratus dongeng (fairy tales) rakyat Rusia,

menemukan bahwa dongeng mempunyai struktur hakiki. Struktur tersebut

disebutnya sebagai kerangka umum yang dimiliki oleh dongeng. Walaupun

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

17

kajiannya tidak berpretensi untuk menyimpulkan kerangka umum untuk analisis

cerita rakyat sedunia, akan tetapi Propp memastikan bahwa akan selalu ada

terdapat tiga hal dalam setiap dongeng atau cerita rakyat. Ketiga hal tersebut

adalah (1) anasis yang mantap dan tidak berubah, yang dinamakannya sebagai

fungsi. Fungsi dapat dipenuhi oleh tokoh siapa saja; (2) untuk fairy tale jumlah

fungsi terbatas; (3) untuk fungsi dalam sebuah dongeng selalu sama; dan (4) dari

segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe. Propp menyimpulkan

bahwa terdapat maksimum 31 fungsi dalam dongeng, walaupun tidak kesemua

fungsi itu selalu ada dalam setiap dongeng.

Milman Parry12 (dalam Lord, 1976) dalam bukunya The Singer of Tale

melaporkan hasil stydinya terhadap karya-karya epos Homerus. Parry

menyimpulkan bahwa telah terjadi pemanfaatan dan penggalian kekayaan tradisi

lisan sezaman Homerus dalam penciptaan karya-karya epos Homerus. Karya-

karya epos diciptakan dengan memanfaatkan persediaan formula yang memang

sudah ada dalam tradisi lisan. Formula itu adalah suatu kekayaan tradisi yang

sudah siap pakai, sesuai dengan persyaratan matra yang ada dalam penciptaan

epos. Parry dan Lord kemudian juga membuktikan pandangannya ini pada objek

lain, yaitu epos rakyat Yugoslavia yang pada waktu itu tradisi penceritaannya

masih hidup. Ternyata, hipotesis Parry terbukti. Seorang penyanyi (guslar) di

Yugoslavia pun memakai sejumlah formula stereotipe yang siap pakai dalam

penciptaan epos rakyat Yugoslavia. Persediaan formula ini oleh Parry dan Lord

disebut sebagai stock-in-trade yang menjadi modal seorang guslar. 12 Milmand Parry meninggal dunia sebelum studinya selesai dan berhasil dipublikasikan. Studi

Parry dilanjutkan dan dibukukan oleh muridnya Albert B. Lord. Studi Parry dituliskan dan diterbitkan oleh Lord dalam buku yang berjudul The Singer of Tales (1960).

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

18

Sweeney (1973) melakukan penelitian tentang sastra lisan orang Melayu di

Malaysia Barat, terutama di bagian timur Kelantan dan Trengganu. Sweeney

melaporkan hasil penelitiannya dalam tulisan yang berjudul The Professional

Malay Story Telling. Kajian Sweeney menyimpulkan bahwa seorang dalang gaya

Melayu itu sungguh-sungguh seorang profesional yang membawakan ceritanya

dengan lagu yang biasanya miliknya sendiri; setiap tukang cerita memiliki

sejumlah lagu, masing-masing untuk cerita tertentu, dan selalu ada interaksi antara

lagu dengan pemakaian bahasa. Seorang dalang yang baik dan berpengalaman

tidak menghafalkan teks yang mantap, tetapi diciptakan kembali setiap kali

dibawakan. Sweeney menyebut bahwa each rendering is a paraphrase of an

imaging (setiap pementasan adalah parafrasa naskah induk yang imajiner).

Walaupun formula dalam arti teknis Lord tidak dijumpai dalam nyanyian Melayu,

namun prosede menciptakan teks menunjukkan banyak persamaan: ulangan,

kesejajaran, selipan, bunyi-bunyi kosong, pemakaian pengisi lowongan banyak

dimanfaatkan. Cerita Melayu pun dirakit dari stock-in-trade, persediaan unsur-

unsur bahasa dan puitik yang siap pakai, tetapi perbedaan penting terletak pada

kaitan langsung dengan lagu, sedangkan matra dalam arti teknik ala epos

Yugoslavia tidak ditemukan.

Terkait dengan variasi sebagai ciri khas sastra lisan, Nigel Phillips (1984)

telah melakukan penelitian tentang kaba lisan Minangkabau yang dilakukan dalam

dua pertunjukan yang berbeda, yaitu Dendang Pauah dan Rebab Pesisir Selatan.

Menurut Phillips, kaba lisan dibentuk oleh frase atau kalimat, dengan panjang 8-9

suku kata (bentuk-bentuk seperti ini dapat dinamai bahasa berirama, prosa

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

19

berirama, atau prosa liris). Pemilihan kata dalam kaba memakai pola berulang

menggunakan sinonimi, paralelisme, pengulangan frasa dalam suatu kalimat

kepada kalimat berikutnya, terkadang dengan struktur gramatikal yang sama;

dalam arti bahwa tindakan yang sama dapat dijelaskan lebih dari sekali. Lebih

lanjut dijelaskan oleh Phillips bahwa ditemukan bahasa yang dirumuskan

(formulaik), yaitu banyak unsur frasa hingga seluruh kejadian, terjadi berulang-

ulang, baik tanpa perubahan ataupun dengan sejumlah variasi.

Hal yang senada dibandingkan Phillips dengan hasil studinya terhadap

Sijobang di Kabupaten Limopuluah Koto. Menurut Phillips (1981), pada

pertunjukan Sijobang, sifat formulaik teks dan variabilitasnya dari satu

pertunjukan ke pertunjukan lain menunjukkan komposisi lisan kalimat-kalimat

seperti dalam cerita Yugoslavia yang diteliti Lord. Hal yang sama juga berlaku

pada kaba Minangkabau, tulis Phillips. Pemilihan kata dalam kaba Minangkabau

juga ditandai oleh pemakaian otiose epithets and length terms of address (epithets

otiose dan ungkapan-ungkapan yang panjang tentang sebuah tujuan).

Pantun digunakan dengan jumlah bervariasi untuk pembukaan dan

penutupan cerita, serta juga untuk dialog dan tujuan lainnya. Kesemua ini

merupakan bentuk standar dari kaba lisan Minangkabau. Namun, dalam hal

bentuk, penelitian Phillips yang kemudian tentang Dendang Pauah ternyata

memperlihatkan hal yang berbeda. Dendang Pauah sepenuhnya disajikan dalam

bentuk pantun, bukan sebagian besar bahasa berirama dengan pantun berperan

sebagai tambahan yang menghibur.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

20

Pantun-pantun yang disampaikan dalam Dendang Pauah terdiri dari 4-6

baris, beberapa di antaranya ada yang lebih panjang bahkan sampai 20 baris.

Setiap baris (88 %) terdiri dari 9 suku kata dan sisanya terdiri dari 8-10 suku kata.

Pantun-pantun itu dinyanyikan oleh seorang pedendang (penyanyi) yang ditemani

oleh seorang peniup saluang (alat musik tiup yang terbuat dari bambu).

Kajian Sarwanto (2007) perlu ditinjau karena perspektif fungsionalisme

yang digunakannya dalam melihat upacara bersih desa. Oleh sebab itu, kajian

Sarwanto menjadi penting dibahas sebagai tinjauan pustaka. Sarwanto yang

menggunakan teori fungsi dari antropologi dalam mengungkap fungsi pertunjukan

wayang kulit purwa dalam upacara bersih desa, menyatakan bahwa pertunjukkan

wayang dalam upacara bersih desa di daerah bekas Karesidenan Surakarta telah

berlangsung lama. Hal itu menunjukkan bahwa tradisi tersebut telah

dienkultrasikan –proses penerusan kebudayaan dari satu generasi ke generasi

berikutnya– agar tetap lestari keberadaannya. Usaha itu tidak mungkin dilakukan

bila tradisi tersebut tidak memiliki makna bagi masyarakat pendukungnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertunjukkan wayang kulit yang

menyertai upacara bersih desa mempunyai makna bagi kehidupan sosial

masyarakat pendukungnya. Pandangan ini diperoleh Sarwanto karena kata

”fungsi” dalam kajiannya diposisikan pada konteks penjelasan hubungan guna

antara suatu hal dengan hal lain dengan tujuan tertentu. Pandangan seperti ini

tidak dilakukan dalam kajian Toruan (2000), Gayatri (2005), dan Wigati (2008).

Wigati (2008) menyatakan bahwa Helaehili dan Ehabla adalah puisi lisan Sentani

yang semakin sulit ditemukan. Pelantunannya pun hanya dikuasai oleh generasi

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

21

tua (abhu enime) yang semakin sedikit jumlahnya. Helahehili dan Ehabla

dilantunkan secara spontan oleh para pelantun, yaitu komposisinya disusun pada

saat pelantunan, tanpa adanya catatan atau latar belakang hafalan. Pelantun

menyiapkan tema dan plot yang akan dielaborasi di tempat pelantunan serta

membekali diri dengan kata/frasa, baik yang diciptakan sendiri atau yang telah

disiapkan adat (ready-made phrase) untuk membangun baris-baris lantunannya.

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa lantunan Helaehili dan Ehabla

mempunyai struktur yang berbeda dengan struktur dongeng rakyat Yugoslavia

yang diteliti Lord dan Bini yang diteliti Fox (1986). Kajian Wigati menjadi

penting ditinjau karena kesamaan objek penelitian dan juga perspektif dengan

yang akan digunakan dalam penelitian ini. Menurut Wigati, fungsi Helaehili bagi

masyarakat di pedesaan masih direspons, walaupun penyebarannya tidak lagi

direspons positif oleh generasi muda, sedangkan bagi masyarakat perkotaan

fungsi Helaehili sudah ditinggalkan baik oleh generari tua maupun oleh generasi

muda. Satu-satunya fungsi Helaehili yang masih tetap hidup adalah fungsi sebagai

hiburan (fungsi rekreatif).

Berdasarkan hasil tinjauan kepustakaan yang telah dipaparkan terdahulu

terlihat bahwa hanya penelitian awal yang dilakukan Rosa (2003); Rosa (2005);

dan Devina (2006) yang terkait langsung dengan sastra lisan pidato adat dalam

tradisi MG di Minangkabau. Namun, ketiga kajian itu mempunyai perbedaan

dengan disertasi ini. Perbedaan terletak pada perpaduan perspektif yang

digunakan dalam tujuan utama, yaitu menemukan ide, gagasan, dan nilai-nilai

yang terkandung di balik pelaksanaan sastra lisan pidato adat dalam tradisi MG di

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

22

Minangkabau tersebut. Penemuan ide, gagasan, dan nilai-nilai yang tersimpan di

balik pelaksanaan pidato adat tersebut diurai melalui aspek struktur, makna, dan

makna pidato adat itu sendiri. Perpaduan perspektif seperti ini belum dilakukan

pada kedua studi Rosa terdahulu, maupun yang dilakukan oleh Devina. Kajian

aspek fungsi dalam penelitian ini justru dilakukan terhadap tradisi yang masih

berlangsung di tengah masyarakat Minangkabau sekarang, berbeda dengan kajian

Helaehili yang dilakukan Wigati dalam masyarakat Sentani, Papua yang sudah

sangat sulit untuk menemukan penuturan puisi lisan Helaehili ini. Disertasi ini

menggunakan satu teks hasil rekaman lisan, dua teks hasil transkripsi yang telah

dihasilkan dalam kajian Rosa (2003); dan Devina (2006); kemudian

menambahkan satu teks yang telah dibukukan oleh St. Mahmoed (tanpa tahun).

1.5 Landasan Teori

Landasan teori digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah

permasalahan yang diajukan. Terkait dengan rumusan permasalahan yang telah

diajukan, teori yang relevan digunakan adalah strukturalisme, semiologi, dan

fungsionalisme. Keputusan penggunaan tiga teori tersebut karena kajian ini

berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut aspek struktur, makna, dan fungsi

sastra lisan pidato adat dalam pelaksanaan tradisi MG dalam masyarakat

Minangkabau.

Kajian aspek struktur dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari kajian

aspek kelisanan karena bahan dasar objek penelitian ini adalah sastra lisan. Oleh

karena itu, dalam kajian struktur didukung dengan penerapan konsep formula,

performance, dan transmisi. Konsep formula digunakan untuk menjelaskan aspek

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

23

formula dan formulaik dalam pidato adat, sedangkan konsep performance dan

transmisi diperlukan untuk menjelaskan proses penyampaian dan pewarisan

pidato adat dalam masyarakat Minangkabau.

Teori semiologi diperlukan untuk menjelaskan makna dan gagasan

tersembunyi di balik pidato adat yang dilakukan dalam pelaksanaan tradisi MG di

Minangkabau. Teori fungsionalisme digunakan untuk menerangkan nilai guna

pidato adat dan tradisi MG sebagai media penyampai pidato dalam konteks

masyarakat Minangkabau. Ketiga macam teori ini, yaitu strukturalisme,

semiologi, dan fungsionalisme digunakan secara menyeluruh dan saling

mendukung untuk mengungkap struktur, makna, dan fungsi pidato adat di

Minangkabau, yang merupakan tahapan untuk mengetahui penyebab terjadinya

penyimpangan pewarisan sako pada laki-laki.

1.5.1 Struktural

Penelitian struktural di bidang studi sastra dirintis oleh kaum formalis di

Rusia. Konsep dasar pemikiran struktural para kaum formalis di Rusia adalah

untuk membebaskan studi sastra dari belenggu ilmu-ilmu lain, seperti psikologi,

sejarah, sosiologi, dan studi kebudayaan lainnya.

Karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau

mimetiknya. Karya sastra dianggap sebagai tanda yang otonom yang

hubungannya dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Sehubungan dengan itu,

disarankan bahwa studi pertama yang harus dilakukan terhadap karya sastra

adalah meneliti struktur karya yang begitu kompleks dan multidimensional

berdasarkan pemahaman bahwa karya sastra terdiri dari struktur yang utuh dan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

24

lengkap. Keutuhan dan kelengkapan struktur karya itu dibangun, didukung, dan

dibina oleh dirinya sendiri.

Tiap unsur dalam karya memiliki koherensi intrinsik antara satu unsur

dengan unsur lain, saling berkaitan, saling mendukung, saling menyusun dengan

tata aturannya sendiri. Dengan demikian, analisis struktural terhadap karya sastra

harus dengan memusatkan pengamatan hanya pada karya itu sendiri,

mengungkapkan unsur-unsur pembangun struktur karya dan menelitinya secara

cermat untuk kemudian dilihat bentuk pertalian antara unsur yang membangunnya

menjadi satu struktur yang utuh dan bulat, serta menyeluruh (Teeuw, 1988: 130;

Chamamah-Soeratno, 1991: 5-16).

Teori strukturalisme memandang bahwa karya sastra merupakan struktur

yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan erat. Unsur-unsur dalam struktur

tersebut tidak memiliki makna sendiri terlepas dari yang lainnya, tetapi ditentukan

oleh hubungan antara unsur tersebut dalam keseluruhannya (Hawkes, 1978:17-

18).

Di dalam keseluruhan struktur, suatu unsur memiliki kegunaan sebagai

pendukung terhadap makna bagian yang lain. Demikian juga sebaliknya, bagian-

bagian tersebut dengan sendirinya menduduki fungsi sebagai pendukung terhadap

unsur yang lain. Makna unsur-unsur tersebut baru dapat dipahami dan diberi nilai

sepenuhnya jika didasarkan pada pemahaman masing-masing unsur tersebut

dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw, 1983:61; 1988:136).

Di bidang sastra, pengertian struktur tersebut pada dasarnya mencakup tiga

konsep dasar seperti dikemukakan Piaget (1995:4-10; Hawkes, 1978:16; Teeuw,

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

25

1984:141; Pradopo, 1987:119) yang meliputi: (1) the idea of wholeness (gagasan

keutuhan atau totalitas); (2) the idea of transformation (gagasan transfomasi); dan

(3) the idea of self reglation (gagasan pengaturan diri sendiri). Gagasan keutuhan

berarti bahwa struktur memiliki koherensi intrinsik, merupakan kesatuan yang

bulat, dan bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar

struktur tersebut. Gagasan transformasi berarti memungkinkan bahwa struktur

tersebut mampu melakukan prosedur transformasi terhadap bahan-bahan secara

kontinyu yang diproses melalui prosedur tersebut. Di dalam gagasan pengaturan

diri sendiri, struktur dituntut untuk mengatur dirinya, dalam arti mampu

mempertahankan dan mengesahkan prosedur transformasinya tanpa memerlukan

bantuan dari luar.

Kajian ini lebih menekankan pada gagasan pertama, yaitu gagasan tentang

keutuhan karya sastra yang terdiri dari struktur yang saling berkaitan erat dalam

membangun makna sebuah karya sastra. Pada kenyataannya, terdapat banyak

rumusan tentang strukturalisme, tetapi ada satu kesamaan di dalamnya, yaitu

mengenai objek penelitian yang menitikberatkan pada struktur.

Di bidang antropologi, strukturalisme diusung oleh seorang antropolog

Perancis, Claude Levi-Strauss. Strukturalisme ini erat terkait dengan struktural-

fungsional Radcliffe-Brown. Strukturalisme Levi-Strauss maupun struktural

fungsional Radcliffe-Brown dipengaruhi oleh teori-teori Durkheim.

Perbedaan pokok adalah bahwa Radcliffe-Brown mempelajari keteraturan

dalam tindakan sosial yang ia lihat sebagai ekspresi struktur sosial yang dibentuk

oleh jaringan-jaringan dan kelompok-kelompok, sedangkan Levi-Strauss

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

26

berpendapat bahwa struktur itu berada dalam pemikiran manusia, dan memandang

interaksi sosial sebagai manifestasi keluar dari strukutr kognitif tersebut

(Saifuddin, 2006:192).

Levi-Strauss sangat berhati-hati merumuskan kata struktur. Keteraturan

mekanisme yang berlangsung tanpa disadari dimaknainya sebagai struktur, istilah

ini juga sering menimbulkan salah paham karena secara isi, maknanya berdekatan

dengan istilah organisasi. Akan tetapi, dalam penggunaan kata tersebut terdapat

perbedaan penting antara kedua istilah itu.

Organisasi adalah sesuatu yang secara sadar dibuat atau dirancang oleh

manusia, sedangkan struktur bukanlah sesuatu yang dibuat secara sadar oleh

manusia, melainkan sesuatu yang ditemukan. Di dalam struktur dikenal adanya

kekuasaan untuk merangkum sesuatu hal, suatu kekuasaan yang nampaknya tidak

dapat diterangkan dengan jelas karena yang diketahui mengenai itu masih sangat

kurang. Jadi, struktur lebih sedikit daripada gejala yang tampak dipermukaan.

Struktur menunjuk kepada sesuatu yang diduga berada di belakang gejala yang

tampak. Struktur menunjuk kepada sesuatu kebutuhan atau kekuasaan tertentu,

tetapi sulit untuk diterangkan. Ia ada tetapi sulit untuk dilihat atau diterangkan

secara langsung. Oleh karena itu, struktur bagi Levi-Strauss harus diselidiki

terlebih dahulu melalui studi atau analisis.

Pandangan Levi-Strauss berbeda dengan pandangan Brown (dalam Baal,

1988:119-120) yang menyatakan bahwa struktur dapat diamati secara langsung;

bandingkan Kaplan (1999) mengatakan bahwa konsep struktur atau struktur sosial

telah digunakan demikian meluas dan mencolok dalam ilmu antropologi dan ilmu

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

27

sosial umumnya sebab itu sejak awal perlu ditunjukkan perbedaan antara kedua

istilah tersebut dengan ”strukturalisme” yang dikaitkan dengan Levi-Strauss

beserta pengikutnya.

Segala ilmu mempersoalkan struktur, yakni cara bagian-bagian suatu

sistem tertentu saling berkait. Akan tetapi ada perbedaan besar antara jenis-jenis

struktur dan masalah-masalah struktural yang menarik perhatian kebanyakan

antropolog dengan hal-ikhwal struktural yang telah dikembangkan Levi-Strauss

menjadi teorinya yang khas.

Struktur dalam pemahaman Strauss menurut Boudon (1971) dan Pouwer

(dalam Koentjaraningrat, 1987:233) adalah beberapa konsep cara berpikir akal

manusia yang dianggapnya elementer dan yang karena itu bersifat universal.

Dengan struktur itu, dapat dipahami secara deduktif data mengenai interaksi

manusia dalam kenyataan kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan seorang

peneliti yang mengikuti pola pemikiran Levi-Strauss tidak akan pergi ke lapangan

atau ke perpustakaan untuk mencari struktur-struktur sosial baru, sebagaimana

yang dianjurkan oleh Radcliffe-Brown, melainkan akan membawa struktur-

struktur yang telah disusun oleh Levi-Strauss untuk lebih memahami data yang

ditemukan.

Konsep itu tampak berbeda dari yang disebut dengan struktur sosial oleh

Malinowski dan juga oleh Radcliffe-Brown serta para antropolog Inggris lainnya.

Bila struktur dipahami oleh Malinowski dan Brown serta antropolog Inggris

sebagai suatu perumusan dari jaringan hubungan interaksi antara manusia dalam

kehidupan masyarakat yang didapatkan karena abstraki induktif dari data yang

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

28

nyata, bagi Levi-Strauss keadaannya justru sebaliknya. Levi-Strauss melalui

pendekatan strukturalnya terhadap mitos sebagai salah satu fenomena budaya

menganggap bahwa dia telah berhasil, tidak hanya dalam mengungkapkan makna-

makna –dalam pengertian simbolis dan semiotis– tetapi juga berhasil

mengungkapkan logika yang ada di balik fenomena mitos (Ahimsa-Putra,

1997:2).

Seorang peneliti budaya menurut Levi-Strauss, di samping

menggeneralisasikan konsep, juga mempelajari struktur yang ada di balik ide

manusia, seperti ahli bahasa yang mempelajari struktur bahasa, mencari logika di

balik fenomena budaya. Hal ini berlandaskan pada asumsi bahwa kenyataan yang

sebenarnya berada di balik kenyataan yang empiris karena kenyataan yang

sebenarnya tidak dapat ditangkap secara inderawi. Di balik kenyataan empiris

terdapat struktur yang melatarbelakanginya.

Disadari bahwa aktivitas masyarakat yang terlihat tampil sebagai

kenyataan empiris, namun tanpa disadari masyarakat dalam beraktivitas dibatasi

dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur aktivitas itu. Aturan-aturan ini oleh

Levi-Strauss disebut sebagai struktur yang berada pada tingkat kognitif atau

merupakan model dari cara berfikir manusia yang dianggap mendasar dan

universal (Levi-Strauss, 1978). Model atau analogi yang digunakan oleh Levi-

Strauss berasal dari bahasa. Levi-Strauss menganut pandangan bahwa kebudayaan

itu seperti bahasa, bukan seperti organisme seperti yang terkandung dalam

fungsionalisme Durkheim. Perbedaan model inilah yang membuat strukturalisme

Levi-Strauss tidak sama dengan fungsionalisme (Ahimsa-Putra, 2008: xxv).

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

29

Pemahaman mengenai aturan-aturan itu didasari oleh pemahaman mengenai

bahasa yang dilakukan oleh linguist. Bahasa adalah kode komunikasi simbolis

berupa seperangkat simbol dan seperangkat aturan (tata bahasa) untuk membentuk

pesan

Saussure (1954: 65-66) dan Noth (1995: 60) mengatakan bahwa satuan

dasar bahasa adalah tanda (sign) yang terdiri atas dua komponen yang tidak dapat

dipisahkan, yaitu penanda dan petanda (signifiant dan signifie atau signifier dan

signified). Penanda (signifiant) adalah komponen bunyi atau akustik yang

menandakan, sedangkan petanda (signifie) adalah komponen mental atau

konseptual dari yang ditandakan. Apabila penanda merupakan aspek material

bahasa maka petanda adalah pengertian yang muncul dalam pikiran penutur atau

pendengar pada saat penanda dituturkan.

Teori Saussure ini sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori

linguistik secara umum. Oleh karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam

penerapan teorinya dalam kajian terhadap sastra (semiotik), meminjam dari

istilah-istilah dan model-model linguistik. Bahasa sebagai sistem tanda memiliki

dua unsur yang tidak terpisahkan, yaitu signifiant (penanda) dan signifie

(petanda). Misalnya, bunyi /sepeda/, yang jika dituliskan berupa rangkaian huruf

(atau lambang fonem): s-e-p-e-d-a, dapat menyaran pada makna tertentu,

(sepeda!) yang tampak secara nyata. Bunyi atau tulisan “sepeda” itulah yang

disebut penanda, sedangkan sesuatu yang diacu itulah petanda. Menurut Saussure,

keduanya dapat disebut dwitunggal yang berhubungan secara arbitrer (mana

suka).

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

30

Salah satu prinsip penting dalam analisis struktural adalah melihat sesuatu

dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks relasi sintagmatik dan

paradigmatik. Dalam analisis struktural atas fonem, suatu fonem tidak dilihat

sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri, tetapi dilihat dalam konteks relasi.

Suatu fonem sebenarnya merupakan kumpulan dari ciri pembeda, dan ciri

pembeda sebuah fonem hanya dapat diketahui jika ia ditempatkan dalam sebuah

konteks, atau suatu jaringan relasi, dengan fonem-fonem yang lain dalam suatu

bahasa. Demikian juga halnya dengan tanda-tanda atau simbol. Maknanya

tergantung pada relasi dengan fenomena lain yang setara (Ahimsa dalam Paz,

1997).

Dalam penelitian ini, pengertian struktur lebih ditekankan pada konsep

struktur yang kedua, yakni struktur sebagaimana dipahami oleh Levi-Strauss,

yaitu struktur yang dipandang sebagai konsep cara berpikir akal manusia yang

dianggapnya elementer dan yang karena itu bersifat universal. Alasan pemilihan

struktur pada konsep yang kedua karena kajian struktural dalam penelitian ini

tidak dapat dilepaskan dari konteks kelisanan dan masyarakat pemilik sastra lisan

pidato adat tersebut. Kajian struktural, khususnya yang terkait dengan aspek-aspek

kelisanan pidato adat harus membawa serta hal-hal yang disebut Lord (1976)

dengan istilah formula; atau Sweeney (1973) menyebutnya dengan schematic

composition yang diambil dari konteks budaya atau tradisi masyarakat pemilik

sastra lisan tersebut. Oleh karena itu, kajian struktural terhadap sastra lisan pidato

adat tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial masyarakatnya, yaitu masyarakat

Minangkabau. Ini sejalan dengan pernyataan Teeuw (1983:61) bahwa analisis

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

31

struktural yang menekankan otonomi karya sastra memiliki beberapa kelemahan

pokok, yaitu melepaskan diri dari situasi sejarah dan kerangka sosial budayanya.

Pradopo (1991:41) juga menegaskan bahwa karya sastra merupakan hasil

ciptaan pengarang, dimana pengarang sebagai anggota masyarakat. Dengan

demikian, karya sastra tidak lahir dalam kekosongan sehingga selalu berada dalam

situasi kesejarahan dan kerangka sosial budaya. Oleh sebab itu, untuk

menginterpretasikan makna karya sastra tidak dapat tercapai sepenuhnya tanpa

mengikutsertakan aspek kemasyarakatan. Analisis struktural dalam kajian ini

tidak dapat dilepaskan dari konteks kelisanan sehingga analisis struktural terhadap

pidato adat dimaksudkan sebagai kajian struktural terhadap pidato adat sebagai

sastra lisan.

Akhirnya, diperlukan suatu cara untuk mengintegrasikan penilaian dalam

pendekatan struktural yang menganggap teks sebagai satu koherensi, kebulatan

makna, dan keseluruhan struktur ke dalam satu pendekatan historis yang

sinkronik dan diakronik. Sastra sebagai sistem tanda, menempatkan karya sastra

pada pusat tanpa melepaskannya dari latar belakang sosial budaya. Oleh sebab itu,

gagasan dasar teori struktural dalam konsep yang pertama (dalam studi sastra)

tidak diabaikan sepenuhnya dalam penelitian ini, tetapi dikembangkan lebih luas.

Kecenderungan suatu teks ke arah sebuah tanda yang otonom dikurangi.

Dari sudut pandang struktural, penelitian ini memandang karya sastra

sebagai suatu proses komunikasi, sebagai suatu dialog terus-menerus antara

pengarang (penampil sastra lisan) dan pembaca (pendengar atau penonton). Tanda

tekstual mempertahankan kemerdekaannya dengan perhatian pada proses

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

32

komunikasi. Meskipun posisinya dalam proses komunikasi adalah sentral dan

merdeka, teks kehilangan karakter absolutnya, yakni konstruksi formal yang

ditetapkan selamanya (Segers, 1978: 35-36).

Proses komunikasi antara pengarang (dalam hal ini penutur) dan pembaca

(dalam konteks ini penonton) dapat dipahami melalui pembacaan karya sastra

sebagai artefak dan objek estetik. Artefak merupakan dasar material objek estetik.

Objek estetik merupakan representasi artefak dalam pikiran pembaca (penonton)

atau dalam apa yang disebut kesadaran kolektif, yang dalam satu ruang kesadaran

sekelompok manusia dapat disistematisasikan. Dengan demikian, karya sastra

sebagai artefak memilki nilai potensial. Pembentukan objek estetik oleh pembaca

(penonton) disebut konkretisasi (Ingarden dalam Segers, 1978:36-37).

Proses komunikasi pengarang (penutur) dan pembaca (pendengar) dibina

dan ditentukan oleh kode. Kode yang dipilih pengarang (penutur) dan diketahui

atau sebahagian diketahui pembaca memungkinkan pembaca (pendengar) untuk

mengkodekan kembali tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi

teks (Segers, 1978:24). Karya sastra merupakan aktualisasi seperangkat konvensi.

Kepentingan konvensi bagi sebuah karya sastra adalah untuk dapat dikenali oleh

pembaca (pendengar). Gejala ini dimanfaatkan oleh pengarang (penutur).

Pemilihan konvensi sastra tertentu merupakan pengarahan oleh pengarang kepada

pembaca (pendengar). Penggunaan konvensi yang berkenaan dengan pembaca

(pendengar) diharapkan dapat menangkap makna teks seperti yang dimaksud.

Akan tetapi, diingat pula bahwa horizon harapan pengarang (penutur) tidak selalu

sama dengan horizon harapan pembaca (pendengar). Walaupun demikian,

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

33

pemenuhan dan pemberontakan terhadap konvensi merupakan bagian dari proses

komunikasi antara pengarang (penutur) dengan pembaca (pendengar)

(Chamamah-Soeratno, 1991: 17). Hal terpenting adalah kode yang dibuat

pengarang (penutur) dapat dipahami penikmat (pendengar) (Abdullah, 1991: 12).

Pidato adat adalah salah satu hasil kesusasteraan (lisan) Minangkabau. Ada

beberapa bentuk atau ragam hasil kesusasteraan Minangkabau, jika disesuaikan

dengan pembagian genre kesusasteraan pada umumnya. Pada genre puisi, dikenal

bentuk pantun, talibun, pepatah dan petitih; pada genre prosa ditemukan bentuk

kaba, pidato adat, tambo, cerita rakyat; dan pada genre drama ditemukan naskah

randai. Pidato adat sebagai suatu genre sastra lisan Minangkabau dibangun oleh

unsur-unsur yang saling berkaitan dan berjalin erat satu sama lain.

Bangunan pidato adat terdiri dari rangkaian kalimat, frasa, kata, pantun,

talibun dan juga bagian-bagian yang bersifat prosais. Jalinan dari berbagai

kalimat, frasa, dan kata, serta pantun, pepatah, petitih dan juga unsur-unsur yang

bersifat prosais membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan satu sama

lain. Artinya, pidato adat baru dapat dipahami bila dilihat dalam

kesalinghubungan antarunsur yang membangun strukur pidato adat tersebut. Hal

ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hawkes (1978:17-18) bahwa karya

sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang berjalinan

erat. Unsur-unsur yang membangun struktur tidak mempunyai makna sendiri bila

terlepas dari unsur yang lainnya. Masing-masing unsur dapat bermakna bila

dilihat dalam relasinya dengan unsur-unsur yang lain. Di dalam keseluruhan

struktur, suatu unsur memiliki kegunaan sebagai pendukung terhadap makna

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

34

bagian yang lain. Demikian juga sebaliknya, bagian-bagian tersebut dengan

sendirinya menduduki fungsi sebagai pendukung terhadap unsur yang lain.

Teks pidato adat yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini,

dibangun oleh percampuran genre puisi dan prosa. Percampuran kedua genre

menyebabkan sifat teks pidato adat tidak sepenuhnya naratif. Artinya, secara

tekstual perwajahannya tidak berwujud naratif yang menghadirkan tokoh dan

penokohan, alur, setting, dan klimaks. Akan tetapi, teks pidato adat termasuk ke

dalam kategori prosa liris karena ada unsur penceritaan atau pengisahan,

walaupun tanpa kehadiran tokoh. Secara perwajahan, teks pidato adat tersusun

atas baris-baris yang mirip puisi panjang dan bercampur dengan pantun-pantun.

Pidato adat sebagai salah satu bagian dari kekayaan khasanah sastra

Minangkabau, yang secara wujud tidak sepenuhnya naratif, termasuk kedalam

kategori teks sastra lisan, karena sebagaimana dinyatakan oleh Zaimar (dalam

Pudentia, 2008: 321), sastra lisan tidak mesti selalu bersifat naratif. Teks-teks

yang tidak tertulis dan tidak berbentuk naratifpun dapat dipandang sebagai teks

sastra lisan, contohnya teks lagu-lagu, teka-teki, humor, jampi-jampi dukun pada

waktu mengobati orang sakit dan lain-lain. Dengan demikian, teks pidato adat

yang menjadi objek material penelitian ini pun termasuk ke dalam teks sastra

lisan.

Berdasarkan hakekatnya sebagai teks sastra lisan, maka harus dilihat

aspek-aspek yang melekat pada dirinya sebagai teks sastra lisan. Beberapa aspek

teks sastra lisan yang penting untuk diamati menurut Finnegan (dalam Pudentia,

2008: 321) adalah aspek komposisi, cara penyampaian, dan cara pertunjukan

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

35

teks-teks sastra lisan tersebut. Ketiga aspek ini penting diteliti dalam rangka

memahami struktur teks pidato adat sebelum dilanjutkan ke tahap penafsiran

makna teks pidato adat.

Hal yang juga penting dikaji berkenaan dengan struktur teks sastra lisan

adalah formula. Konsep formula pertama kali dikemukakan oleh Milman Parry13

dan dikembangkan lebih lanjut oleh Albert B. Lord. (Parry dalam Lord, 1976).

Pengkajian terhadap epos-epos Homerus membuatnya menyimpulkan bahwa

terdapat pemanfaatan dan penggalian kekayaan tradisi lisan sezaman epos

Homerus dalam penciptaan karya-karya Homerus. Kekayaan tradisi lisan itu telah

menyediakan formula-formula tertentu yang dipakai dalam menciptakan epos.

Formula itu adalah suatu kekayaan tradisi yang sudah siap pakai. Persediaan

formula ini oleh Parry dan Lord disebut sebagai stock-in-trade seorang guslar

(penyanyi), yang sekaligus menjadi modalnya. Akan tetapi, seorang guslar

memiliki kemungkinan variasi yang jauh lebih besar dari pada yang terdapat

dalam karya-karya Homerus.

Lord mendefinisikan formula sebagai kata atau kelompok kata yang secara

teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide

tertentu yang hakiki. Ekspresi formulaik didefinisikan Lord sebagai larik atau

setengah larik yang disusun sesuai dengan pola formula.

13 Studi Milmand Parry dilanjutkan dan dibukukan oleh muridnya Albert B. Lord. Parry meninggal

dunia sebelum studinya selesai dan berhasil dipublikasikan. Albert B. Lord menuliskan studi Milmand Parry dalam buku yang diterbitkan Lord dengan judul The Singer of Tales (1960).

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

36

1.5.2 Semiologi

Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:

64). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi

dengan sesamanya (Sobur, 2006: 15). Semiotika adalah ilmu atau metode analisis

untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya

berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama

manusia. Eco (1979: 4-5) menyatakan bahwa tanda dapat dipergunakan untuk

menyatakan kebenaran sekaligus kebohongan. Semiotika menurut Eco adalah

disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

mendustai, mengelabui, atau mengecoh.

Penelitian yang akan dilakukan ini juga menggunakan teori semiologi. Ada

dua istilah yang dikenal, yaitu semiotik dan semiologi. Istilah yang dipakai dalam

penelitian ini adalah semiologi. Alasannya, konsep-konsep dan kerangka teoretis

yang dipakai dalam penelitian ini mengacu kepada pemikiran Barthes. Barthes

memakai istilah semiologi dalam bukunya Mythologies (1993). Kedua istilah itu

tidak dipersoalkan perbedaannya dalam usulan penelitian ini. Akan tetapi, paling

tidak, perbedaan kedua istilah itu mencerminkan perumusnya dan orientasi yang

berbeda. Istilah semiotik dirumuskan oleh Charles Sanders Pierce (1839-1914),

seorang ahli filsafat, sedangkan yang satunya oleh Ferdinand de Saussure (1857-

1913), seorang ahli linguistik. Kajian semiotik yang dikembangkan oleh Pierce

sering disebut sebagai analytical semiotics, sedangkan oleh Saussure disebut

structural semiotics. Keputusan Barthes memilih istilah semiologi, serta merta

mengindikasikan bahwa ia dipengaruhi oleh pandangan Saussure.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

37

Alasan penulis menggunakan teori semiologi yang dikemukakan oleh Roland

Barthes sebagai pisau analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah

karena teori semiologi Barthes dipandang akan mampu mengungkapkan jawaban-

jawaban permasalahan yang ingin dilacak dalam penelitian ini. Sebagaimana telah

dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa penelitian ini difokuskan pada

pencarian ide, gagasan, sejarah, dan nilai-nilai hakiki yang menjadi faktor

pendorong sebuah sastra lisan diciptakan dan diapresiasi oleh masyarakat

pendukungnya, dalam hal ini berpidato adat yang disampaikan dalam tradisi MG

kepada laki-laki menurut pandangan budaya masayarakat Minangkabau.

Melalui penelitian ini diharapkan akan dapat diungkapkan ide, gagasan,

sejarah, dan nilai-nilai hakiki yang mendorong lahirnya sastra lisan berpidato adat

yang disampaikan dalam tradisi MG menurut pandangan budaya dan masyarakat

Minangkabau. Maka, perspektif teoretis yang dipakai dalam memandang objek

penelitian yang diusulkan ini adalah semiologi Barthes, lebih spesifik lagi

mitologi. Mitologi dalam kajian Barthes bukan dalam pengertian yang klasik.

Dikatakan oleh Barthes (1993: 111) bahwa semiologi adalah suatu ilmu

mengenai bentuk-bentuk (forms) karena mempelajari signifikansi terpisah dari

isinya. Mitologi dapat menjadi bahagian dari semiologi, sejauh ia mempelajari

bentuk-bentuk (forms), dan bagian dari ideologi, sejauh ia merupakan penge-

tahuan historis. Mitologi itu sendiri (Barthes, 1993: 112) mempelajari gagasan-

gagasan dalam bentuk (form). Mitos adalah suatu sistem komunikasi, sebuah

pesan, tetapi ia bukan ide, konsep, ataupun objek, melainkan sebuah bentuk

(form). Mitos tidak dapat didekati dari segi substansinya karena mitos adalah

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

38

sebuah jenis tuturan (speech). Segala sesuatu dapat menjadi mitos bila diangkat

oleh suatu wacana. Artinya, mitos tidak ditentukan oleh objeknya, pesannya,

melainkan oleh cara pesan itu dituturkan. Dengan demikian, segala hal dapat

menjadi mitos bila ia dikatakan, dituturkan, dan digunakan secara sosial (Barthles,

1993: 109).

Lebih lanjut ditegaskan oleh Barthes (1993: 109), sebagai sebuah sistem

komunikasi atau sebuah pesan, mitos mustahil menjadi objek, konsep atau

gagasan; mitos adalah sebuah model penandaan (mode of significations), dan

sebuah bentuk. Terlebih dahulu harus ditentukan batasan historis, kondisi

pemakaian, latar belakang sosial dari bentuk-bentuk tersebut. Jadi, mitos itu

adalah sebuah bentuk. Menurut Barthes (1993: 110-111), segala sesuatu dapat

menjadi mitos ketika ia dituturkan dan didukung oleh sebuah wacana (discourse).

Mitos tidak didefinisikan oleh objek dari pesan itu sendiri, melainkan oleh

cara penyampaiannya. Segala sesuatu dapat menjadi mitos ketika ia dituturkan,

kemudian dipilih oleh sejarah, dan digunakan secara sosial. Sejarah manusialah

yang menentukan sesuatu bertahan sebagai mitos atau tidak. Mitos harus

mempunyai dasar historis yang menopangnya. Pengertian dituturkan tidak hanya

direpresentasikan secara lisan melainkan juga tulisan. Sehingga lukisan, sinema,

fotografi, olah raga, laporan, pentas panggung, publikasi dapat dimasukkan dalam

bahasa mitos, selain tulisan. Semuanya berfungsi sebagai penopang tuturan mitis.

Perspektif Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiologinya

yang membuka ranah baru semiologi, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan

untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

39

Barthes mencoba membongkar mitos-mitos masyarakat modern melalui berbagai

kajian kebudayaannya, seperti sabun, fotografi, mobil citroen, fashion, musik, dan

sebagainya (Kurniawan, 2001: 23). Mitos adalah suatu jenis tuturan (a type of

speech) sesuatu yang hampir mirip dengan ”representasi kolektif” di dalam

sosiologi Durkheim (Budiman, 1999: 76). Dengan perspektif semiotika, mitos

dapat dikaji atau ditemukan jejaknya dengan mencari indikasi fiksional dalam teks

yang secara keseluruhan disajikan sebagai nonfiksional (Sobur, 2006: 210).

Kelompok indikasi nonfiksional yang terpenting adalah indikasi peristiwaan.

Objek penelitian ini dikaji bertolak dari kerangka pemikiran Barthes tentang

mitos tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kurniawan

(2001: 78-80) bahwa pengungkapan atau penemuan ideologi dari suatu sistem

tanda adalah tujuan utama operasi semiologi Barthes. Pengungkapan ideologi

dilakukan dengan cara merekonstruksi suatu sistem signifikasi secara bertingkat.

Semiologi Barthes sangat terkait dengan strukturalisme. Ia membatasi

strukturalisme sebagai sebuah cara menganalisa artefak-artefak budaya yang

berasal dari metode linguistik (Culler, 1988: 78) Selanjutnya, menurut Culler

(1988: 81) srukturalisme (terutama dalam studi sastra) dengan demikian adalah

usaha untuk menunjukkan bagaimana makna literer bergantung pada kode-kode

yang diproduksi oleh wacana-wacana yang mendahului dari sebuah budaya.

Secara luas, kode-kode budaya ini telah menggiringkan suatu makna tertentu bagi

manusia. Kode-kode budaya ini terlihat jelas bila kita mengkaji mitos-mitos

(dalam pengertian Barthes) yang tersebar dalam kehidupan keseharian.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

40

Tanda pada tahap pertama bersifat denotatif, sedangkan pada tahap kedua

menjadi konotatif. Barthes (1993) secara tegas membedakan tanda konotatif,

yaitu pemaknaan pada tataran kedua; denotatif sebagai pemaknaan pada tataran

pertama. Tanda konotatif mengandung makna denotatif dan sekaligus makna

tambahan. Dengan mengemukakan pemaknaan konotatif, banyak peluang untuk

memperbincangkan tentang metafora dan gaya bahasa kiasan lainnya yang dapat

bermakna pada tataran kedua (konotatif).

Zoest (1996) menyatakan bahwa dalam setiap teks terdapat suatu ideologi.

Peranan ideologi di dalam semiosis tidak terlalu nyata, bahkan sering secara

praktis tidak kelihatan, dan jauh menyelinap. Makna konotatif suatu kata

berhubungan erat dengan ideologi dari orang yang berbicara dan juga orang yang

diajak berbicara. Ketidaktahuan mengenai konteks dapat menghentikan

komunikasi, tetapi tidak mengetahui masalah ideologi lebih berbahaya. Bahaya

itu muncul dari ketidaktahuan atau ketidakpahaman terhadap kode-kode, tetapi

yang lebih jauh dari kode-kode itu adalah ketidaktahuan titik-titik tolak ideologis

yang menjadi dasar kode-kode. Ideologi itu sendiri menurut Barthes (1983) adalah

petanda-petanda, dalam konotasi adalah fragmen-fragmen ideologi yang menjalin

hubungan komunikasi yang sangat erat dengan kebudayaan, pengetahuan, dan

sejarah. Melalui petanda-petanda itu dapat dikatakan bahwa dunia atau

lingkungan sekitar teresapkan ke dalam sistem. Dapat pula dikatakan bahwa

ideologi merupakan forma (istilah Hjemselv) dari petanda-petanda konotasi,

sedangkan retorik adalah forma dari penanda-penanda konotasi yang disebutnya

sebagai konotator.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

41

1.5.3 Fungsionalisme

Kajian ini juga menggunakan teori fungsi dari antropologi untuk

mengungkapkan fungsi pidato adat dalam tradisi MG bagi masyarakat

Minangkabau. Pengungkapan aspek fungsi diperlukan guna mendapatkan jawaban

tentang faktor atau gagasan yang terkait dengan pemikiran atau ide perlunya

melaksanakan pidato adat dalam tradisi MG, dan perlunya melaksanakan tradisi

MG itu sendiri, serta perlunya masyarakat mendukung pelaksanaan tradisi

tersebut. Sehubungan dengan konsep fungsi, cukup banyak arti dan makna yang

melekat pada kata fungsi ini. Bahkan, di bidang ilmu yang berbeda-beda

dipasangkan makna yang berbeda-beda pula p, sesuai konteksnya masing-masing.

Kata fungsi dalam penelitian ini, mengacu kepada arti kata fungsi dalam kajian

antropologi.

Kata fungsi dalam antropologi mengandung makna yang cukup luas.

Keluasan artinya bahkan, menyebabkan perlunya suatu perspektif yang

mengkhususkan pengamatan pada masalah fungsi, yaitu fungsionalisme. Teori

fungsionalisme dikembangkan pertama kali oleh Bronislaw Malinowski yang

kemudian lebih dikembangkan oleh Radcliffe Brown. Malinowski dipandang

sebagai tokoh aliran fungsionalisme murni yang lebih menekankan pada aspek

individu, sedangkan Brown dikenal sebagai tokoh fungsionalisme struktural yang

lebih menekankan pada aspek sosial.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

42

Hakikat teori fungsionalisme menurut Malinowski14 adalah bahwa segala

aktivitas kebudayaan manusia sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu

rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan

dengan seluruh kehidupannya. Kesenian, sebagai salah satu unsur kebudayaan

misalnya, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan

nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan

manusia untuk tahu. Melalui paham fungsionalisme, peneliti dapat menerangkan

banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.

Kaidah prinsip dalam fungsionalisme adalah bagaimana keterkaitan antara

institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk

suatu sistem yang bulat, karena sebagai suatu perspektif teoretik, fungsionalisme

dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme. Artinya, ia

membawa kita memikirkan sistem sosial budaya sebagai semacam organisme

yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan, melainkan juga

memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup organisme

itu. Dengan demikian, dasar semua penjelasan fungsionalisme ialah asumsi

(terbuka maupun tersirat) bahwa sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional

tertentu untuk memungkinkan eksistensinya.

Bisa dikatakan bahwa sistem budaya memiliki kebutuhan yang semuanya

harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup. Bila kebutuhan sistem

fungsional itu tidak dipenuhi, maka sistem itu akan mengalami disintegrasi atau

“mati” atau berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis (Kaplan, 1999: 76-

14 Periksa Koentjaraningrat, (1987: 171).

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

43

79); bandingkan dengan Propp (1968) yang melihat “konsep fungsi didefinisikan

sebagai tindak seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakon”

dalam sebuah cerita rakyat (fairy tale).

Dengan demikian, pemakaian kata dan konsep fungsi dalam penelitian ini,

mengacu pada arti dan makna yang bertujuan untuk menerangkan hubungan guna

antara sesuatu hal dengan sesuatu hal dengan tujuan tertentu. Sesuatu dikatakan

berfungsi bila dapat dipergunakan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan.

Malinowski berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan dikatakan bermanfaat

bagi individu-individu, apabila unsur kebudayaan tersebut dapat memenuhi

kebutuhan hidupnya.15 Konsep tentang fungsi itu pada dasarnya bersifat deskriptif

(Malinowski dalam Turner, 2010: 83). Konsep fungsi memungkinkan peneliti bisa

memandang ciri umum budaya dan menggunakan pengamatan atas apa yang

sama-sama ada dalam budaya sehingga dihasilkan hukum sosial.

Terkait dengan fungsi yang berbahan dasar sastra lisan, menurut Bascom

(1965: 3-20; Dundes, 1965: 290-294) ada empat fungsi folklore lisan dan sebagian

lisan (baca: sastra lisan), yaitu (a) sebagai sebuah bentuk hiburan (as a form of

amusement), (b) sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga-lembaga

kebudayaan (it plays in validating culture, in justifying its rituals and institution

to those who perform and observe them), (c) sebagai alat pendidikan anak-anak (it

plas in education, as pedagogical device), dan (d) sebagai alat pemaksa dan

pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya

15 Bronislaw Malinowski, Anthropology Vol.I (London: Encyclopedia Britanica. Sapp, 1936), 132

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

44

(maintaining conformity to the accepted patterns of behaviors, as means as of

applying social pressure and exercising social control).

William A. Haviland (1988: 219) memandang bahwa salah satu fungsi

pelaksanaan upacara adat (tradisi lisan) adalah sebagai upacara intesifikasi, yakni

untuk menandai keadaan krisis dalam kehidupan berkelompok. Pelaksanaan

upacara adat berfungsi untuk mengurangi ketakutan terhadap krisis,

menggerakkan kegiatan kolektif, serta sebagai ajang mempersatukan orang.

Sementara Tilaar (1999: 15) berpendapat bahwa tradisi lisan dalam masyarakat

berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penuh dengan nilai-nilai yang terdapat

dalam masyarakat itu sendiri. Tradisi lisan berperan dalam pembentuk

kepribadian, intelegensi kecerdasan, serta intelegensi emosional yang sangat

penting dalam pengembangan hidup seseorang. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan Teeuw (1994: 220) bahwa dalam tradisi lisan tersimpan informasi

dan sistem nilai yang relevan dengan masyarakat yang bersangkutan. Dan sistem

nilai yang terkandung dalam sastra lisan itu, kata Tuloli (1990: 308) berguna

sebagai penguat pandangan masyarakat dan pemberi arah terhadap norma-norma

pergaulan di dalam masyarakat. Oleh karena itu tidak salah jika Danandjaya

(2007: 4) menyatakan bahwa dalam tradisi lisan terdapat fakta-fakta budaya.

Pemakaian teori fungsi menjadi penting dalam penelitian ini untuk

mengungkapkan fungsi unsur-unsur kebudayaan yang terkandung dalam pidato

adat dan saling keterkaitan antar unsur dalam pidato adat dengan pelaksanaan

tradisi MG dalam masyarakat Minangkabau. Dengan perspektif fungsionalisme

menurut Ahimsa-Putra (2003: 88-89) seorang peneliti kebudayaan dapat

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

45

melakukan beberapa hal: (a) memperlihatkan bahwa unsur-unsur kebudayaan

yang masih hidup dalam suatu masyarakat pada dasarnya memenuhi fungsi

tertentu dalam keseluruhan kehidupan masyarakat dan kebudayaan itu sendiri; (b)

memperlihatkan saling keterkaitan antara unsur-unsur tertentu dalam masyarakat

yang diteliti dengan unsur-unsur lain, yang secara sepintas terlihat seperti tidak

berhubungan; dan (c) saling keterkaitan dan hubungan fungsional antara unsur-

unsur tersebut juga telah membuat perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu

unsur kebudayaan tertentu, yang kemudian akan mengakibatkan perubahan-

perubahan pada pelbagai unsur yang lain.

Sebuah sistem, kata Parson (dalam Ritzer, 2004: 121) supaya tetap bertahan,

harus memiliki empat fungsi yang disebutnya dengan fungsional imperatif, yakni

(1) adaptation (adaptasi); (2) goal attainment (pencapaian tujuan); (3) integration

(integrasi); dan (4) latency (pemeliharaan pola).

Malinowski menyarankan bahwa dalam mengaplikasi teori fungsionalisme ini

di lapangan, penting untuk melakukan pencatatan dalam sebuah buku catatan

harian. Tindakan ini penting bagi seorang peneliti ketika melakukan observasi

terhadap suatu kebudayaan yang sedang dikaji. Selain itu, melatih kemampuan

keterampilan analitikal juga menjadi hal penting dalam rangka menerangkan latar

belakang dan fungsi dari adat tingkah laku manusia dan pranata-pranata sosial

dalam masyarakat. Ia telah mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur

kebudayaan yang sangat kompleks. Inti teori fungsionalismenya adalah

pandangan bahwa seluruh aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud

memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

46

yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (dalam Koentjaraningrat, 1987:

166-171). Studi ini memilih perspektif fungsionalisme untuk meneliti karya sastra

Minangkabau, yaitu sastra lisan pidato adat yang disampaikan dalam pelaksanaan

tradisi lisan MG di Minangkabau. Perspektif ini digunakan untuk mengungkapkan

fungsi pidato adat, fungsi janang, dan juga fungsi tradisi MG bagi pribadi yang

menerima gelar, dan masyarakat nagari sebagai pemilik tradisi MG tersebut.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang datanya bersumber dari data lisan

yang dikumpulkan dari hasil rekaman di lapangan dan data lisan yang sudah

dibuatkan transkripsinya, khususnya tentang pidato adat malewakan gala

penghulu dan marapulai yang dilaksanakan dalam tradisi lisan MG di

Minangkabau. Penelitian tradisi lisan mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu

objeknya yang bersifat dinamis. Objek penelitian tradisi lisan bukan benda mati,

melainkan selalu hidup, dan berubah karena komposisinya tersaji pada saat

ditampilkan. Ada tiga tahapan yang dilalui dalam penelitian ini. Pertama, tahap

menentukan jenis data atau objek penelitian. Kedua, tahap pengumpulan data.

Ketiga, tahap analisis data.

Tahap pertama diawali dengan pengumpulan data. Ada dua jenis data yang

dikumpulkan, yaitu data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari dua

kategori, yaitu data primer utama dan data primer tambahan. Data primer

dikumpulkan dari lapangan. Pada tahap pengumpulan data primer diperoleh tiga

jenis data yaitu data rekaman audio (suara) berisi pidato adat MG; data primer

visual (gambar) berupa foto-foto; dan data primer audio visual pelaksanaan pidato

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

47

adat. Ketiga jenis data ini dikumpulkan dengan teknik rekaman yang

menggunakan alat perekam suara dan gambar, yaitu tape recorder, kamera digital,

dan handycam. Kenyataan yang diperoleh di lapangan, memang tidak selalu

berhasil mendapatkan ketiga jenis data sekaligus pada tiap lokasi penelitian.

Data primer tambahan berupa kliping koran tentang tradisi MG, dokumen-

dokumen adat istiadat yang diperoleh dari nagari setempat, dan juga buku-buku

tentang budaya Minangkabau lainnya yang relevan dengan studi ini. Data primer

tambahan dikumpulkan melalui cara membuat kliping koran, membuat foto kopi

dokumen-dokumen adat setempat, dan mengumpulkan buku-buku lainnya yang

terkait dengan kajian tentang Minangkabau. Selain itu, pada tahap pengumpulan

data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan.

Tahap kedua adalah pengumpulan data. Tahap ketiga adalah analisis data

dan pengolahan serta pembahasan. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam proses

penelitian ini. Pada tahap ketiga ini, penulis melakukan kegiatan analisis data

yang dilanjutkan dengan pembahasan. Pada tahap ini dipaparkan kajian atau tafsir

terhadap hasil data penelitian dengan berpijak pada kerangka berpikir teoretis

yang sudah dikemukakan pada bagian terdahulu. Pada bagian selanjutnya

diuraikan masing-masing tahap yang dilalui dalam metode penelitian ini, yaitu

diawali dengan proses menentukan objek penelitian hingga berakhir pada tahap

analisis dan pembahasan data.

1.6.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu objek formal

dan objek material. Objek formal penelitian ini adalah ide, gagasan, sejarah, dan

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

48

nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam pidato adat pemberian gelar kepada laki-

laki dalam budaya dan masyarakat Minangkabau. Objek materialnya adalah teks-

teks pidato adat MG beserta konteksnya. Objek material adalah data utama

(primer) dalam penelitian ini yang diperoleh dengan cara membuat rekaman audio

dan visual, dan juga teks hasil transkripsi. Ada empat teks yang dipakai sebagai

sumber data utama dalam penelitian ini, yakni satu teks diperoleh dari rekaman

audio, dua teks dari hasil transripsi yang telah dilakukan Rosa (2003) dan Devina

(2006), dan satu teks lagi bersumber dari transkripsi teks pidato adat yang telah

dilakukan oleh St. Mahmoed.

Empat korpus yang menjadi sumber data penelitian ini terdiri atas tiga

korpus teks pidato adat Malewakan Gala Penghulu (selanjutnya disebut MGP)

yang berasal dari Luhak Limopuluah Koto, Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan

satu teks pidato adat Malewakan Gala Marapulai (selanjutnya disebut MGM)

yang berasal dari daerah Pauah, Kota Padang. Pemilihan empat korpus sebagai

sumber data didasarkan atas pertimbangan wilayah budaya di Minangkabau dan

jenis teks pidato adat MG. Disamping itu, pertimbangan karakteristik adat dan

bentuk sistem pemerintahan tradisional di Minangkabau juga menjadi dasar

pemilihan atas keempat korpus tersebut. Kedua kriteria tersebut yakni,

karakteristik adat dan bentuk sistem pemerintahan tradisional yang berkembang di

(a) wilayah darek (zona of culture central); dan (b) wilayah rantau (zona of

culture margin). Kedua kriteria ini dipakai sebagai dasar pembedaan sifat dan

karakteristik adat dan sistem pemerintahan tradisional di Minangkabau, yakni sifat

dan karakteristik yang melekat pada wilayah darek dan wilayah rantau.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

49

Wilayah darek merupakan suatu kawasan di Minangkabau yang dipandang

sebagai tempat lahirnya adat dengan segala ketentuannya, sehingga aspek adat dan

budaya yang berkembang di kawasan darek terasa sangat kental. Di kawasan

darek inilah adat istiadat Minangkabau disusun dan diatur oleh nenek moyang

suku bangsa Minangkabau. Kawasan darek secara tradisional dibagi atas tiga

wilayah (luhak), yakni: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limopuluah

Koto Koto. Wilayah darek ini terletak di daerah dataran tinggi dan lembah-lembah

yang terhampar diantara tiga buah gunung, yakni Gunung Marapi, Singgalang dan

Tandikek. Sebaliknya, wilayah rantau merupakan daerah perluasan dan kolonisasi

wilayah darek, yang selanjutnya menjadi pintu masuk bagi perdagangan. Wilayah

rantau berada di sepanjang pesisir pantai Barat Sumatera. Di daerah rantau banyak

terdapat bandar-bandar dagang. Daerah rantau identik dengan perubahan,

keterbukaan, memiliki tingkat responsif yang lebih tinggi terhadap nilai-nilai dan

pengaruh budaya luar. Kawasan darek dipimpin oleh para penghulu, sedangkan

daerah rantau menjadi hak dan wewenang raja-raja. Ketentuan tentang hak dan

wewenang ini diatur melalui sebuah adagium adat Minangkabau yang berbunyi

luhak bapangulu, rantau barajo (luhak berpenghulu, rantau memiliki raja).

Adagium adat ini secara implisit bermakna bahwa sistem berpenghulu

dikenal di daerah darek, sedangkan sistem beraja-raja dikenal di daerah rantau.

Sistem dan tata cara mendirikan penghulu berpedoman kepada aturan mendirikan

penghulu di daerah darek. Bila ternyata di kemudian hari ditemukan peristiwa

mendirikan penghulu di luar kawasan darek, penyelenggaraan peristiwa

mendirikan penghulu itu dan segala aturannya tidak terlepas dari ketentuan yang

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

50

terjadi di kawasan darek sebagai wilayah culture center. Atas dasar ketentuan

seperti ini, maka titik pengamatan wilayah penelitian untuk pengumpulan data

yang terkait dengan mendirikan penghulu (Malewakan Gala Pangulu) dibatasi

hanya pada ketiga wilayah luhak ini saja, yakni yang termasuk kedalam kriteria

kawasan wilayah culture center, tanpa menyertakan teks sejenis yang terdapat di

kawasan daerah rantau. Kriteria yang demikian menjadi alasan mengapa hanya

tiga teks pidato adat MGP di wilayah darek saja yang dipilih dalam penelitian ini.

Selanjutnya, untuk kawasan wilayah rantau yang juga mengenal tradisi MG,

diputuskan sebagai titik pengamatan untuk jenis teks pidato adat yang

diselenggarakan untuk marapulai (mempelai laki-laki). Teks sejenis tidak lazim

ditemukan di kawasan darek, kecuali di Luhak Agam. Dengan demikian, satu teks

pidato adat dipilih untuk mewakili wilayah budaya rantau, yakni teks pidato adat

yang disampaikan ketika pelaksanaan tradisi MGM di daerah Pauh, kota Padang.

Berdasarkan kriteria dan aturan seperti ini, maka terdapat empat buah teks pidato

adat MG yang dijadikan sumber data primer dalam penelitian disertasi ini. Empat

teks tersebut, sebagaimana telah disebutkan terdahulu terdiri atas tiga buah teks

pidato adat MGP dan satu buah teks pidato adat MGM. Keempat teks pidato adat

tersebut terdiri dari ratusan dan bahkan ribuan larik dalam satu korpus. Keempat

jenis teks yang menjadi objek penelitian ini memiliki jumlah baris yang berbeda-

beda. Teks A terdiri atas 473 baris, teks B terdiri atas 519 baris; teks C terdiri atas

2218 baris, dan teks D terdiri atas 727 baris.

Teks A berasal dari Luhak Limo Puluah Koto yang diperoleh melalui proses

rekaman langsung di lapangan. Teks A ini terbangun atas campuran kalimat

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

51

pidato yang bersifat naratif dengan pantun-pantun. Pada teks A ditemukan

sebanyak 17 buah pantun, yang terdiri atas : 12 buah pantun empat baris; 2 buah

pantun 6 baris (karmina); 1 buah pantun delapan baris; 1 buah pantun 10 baris;

dan 1 buah pantun lima baris. Pola persajakan (rima) yang ditemukan pada

pantun-pantun tersebut adalah aa aa; aa bb; ab ba; abc abc; abcd abcd; dan juga

terdapat pola rima yang tak sempurna.

Teks B berasal dari Luhak Tanah Datar yang diperoleh dari hasil transkripsi

tertulis yang dilakukan oleh St. Mahmoed. Teks ini didapatkan dalam buku yang

berjudul Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah yang telah ditulis

oleh St. Mahmoed B.A. dan A. Manan Rajo Pangulu. Buku ini tanpa tahun

penerbitan. Akan tetapi setidaknya dapat diperkirakan dari waktu pembuatan

bagian Kata Pengantar; yakni tertulis tanggal 1 Agustus 1978 dan ditulis di Limo

Kaum; yaitu salah satu nama nagari di Minangkabau yang termasuk ke dalam

kawasan Luhak Tanah Datar. Teks B adalah yang paling tua dari keempat jenis

teks yang dipakai dalam penelitian ini. Pemilihan tahun terbit teks yang lama dan

yang dimuat dalam sebuah buku Tambo, dipandang menarik untuk melihat adakah

faktor kemiripan pola formula yang dipakai oleh juru pidato adat dari waktu ke

waktu. Teks B juga dibangun atas rangkaian kalimat-kalimat pidato yang bersifat

naratif dan pantun-pantun. Pada teks B terdapat 26 buah pantun empat baris. Pola

persajakan yang ditemukan dalam teks B yakni ab ab sebanyak 25 buah pantun

dan aa aa hanya 1 buah pantun. Pada teks B tidak ditemukan pantun yang

memiliki persajakan tidak sempurna.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

52

Teks C berasal dari Luhak Agam, yang diperoleh dari hasil transkripsi yang

telah dilakukan oleh Yadri Devina pada tahun 2005 dalam penelitian skripsi S1 di

Fakultas Sastra Universitas Andalas, yang berjudul ”Teks Pidato Pasambahan

Batagak Panghulu: Tinjauan Semiotik”. Pada Teks C ditemukan 59 pantun yang

dikombinasikan untuk melengkapi kalimat-kalimat pidato yang bersifat naratif.

Pantun-pantun yang memperkaya bangunan pidato pada teks C ini terdiri atas:

- 37 buah pantun empat baris yang terdiri atas: pola persajakan ab ab (32

buah), aa aa (3 buah), ab ac (1 buah), ab cd (1 buah), ab cb (1 buah) dan

ab ac (1 buah);

- 16 buah pantun enam baris yang terdiri atas pola persajakan abc abc (12

buah), abc abd (2 buah), aba aba (1 buah); dan aab aab (1 buah);

- 2 buah pantun delapan baris dengan pola persajakan abca aacd dan abcd

acbd;

- 2 buah pantun sepuluh baris dengan pola persajakan abcde abcde;

- 1 buah pantun 12 baris dengan pola persajakan abcabdabcbad;

- 1 buah pantun 7 baris dengan pola persajakan abc abd e .

Teks D berasal dari daerah Pauh di kawasan pesisir kota Padang. Teks ini

diperoleh dari hasil transkripsi dan transliterasi yang telah dilakukan oleh Silvia

Rosa pada tahun 2003 dalam Tesis S2 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Gadjah Mada, yang berjudul “Teks Pidato Pasambahan Batagak Gala di

Minangkabau dalam Perspektif Semiotik Roland Barthes”. Teks D berbeda

dengan tiga teks yang telah disebutkan terdahulu. Teks D digunakan sebagai

pidato adat dalam pelaksanaan tradisi MG untuk mempelai laki-laki, sedang ketiga

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

53

teks terdahulu digunakan dalam pelaksanaan tradisi MG untuk para penghulu

(pemimpin adat). Teks D mengandung 30 buah pantun yang terdiri atas:

- 26 buah pantun empat baris yang terdiri atas pola persajakan ab ab (22

buah), aa aa (1 buah), ab bc (1 buah), 2 buah pantun lima baris dengan

pola persajakan cacat;

- 3 buah pantun enam baris yang terdiri atas pola persajakan abc abc (1

buah); aaa bbb (1 buah), dan aaa aaa (1 buah);

- 1 buah pantun delapan baris yang mempunyai pola persajakan kacau atau

tidak sempurna, namun memiliki persamaan bunyi di awal larik.

Untuk menganalisis struktur teks dan struktur isi pidato adat dilakukan

perbandingan terhadap keempat teks. Kajian perbandingan dimaksudkan untuk

menemukan pola formula dan formulaik pada keempat teks tersebut.

Perbandingan juga berguna untuk memperlihatkan keterpakaian pola frasa dan

atau kalimat yang sama pada keempat teks ketika menyatakan landasan berfikir

atau tolok ukur melaksanakan pewarisan gelar kepada laki-laki dalam masyarakat

Minangkabau. Pola frasa yang dimaksudkan adalah yang dinyatakan melalui

ungkapan ”ketek banamo, gadang bagala” (kecil mempunyai nama, besar diberi

gelar). Tahun pengumpulan teks yang berbeda-beda dipandang menarik untuk

melihat faktor persamaan dan perbedaan pola formula yang dipakai oleh juru

pidato adat dari waktu ke waktu di tempat yang berbeda-beda. Apakah terdapat

formula yang khas pada tiap daerah atau terjadi saling ambil dan atau saling

mempengaruhi dalam hal penyampaian pidato adat yang dilakukan oleh si juru

pidato.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

54

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti empat

tahapan. Keempat tahap itu adalah studi kepustakaan, pengamatan, wawancara,

dan perekaman. Pada bagian berikut ini, keempat tahapan itu akan dijelaskan satu

persatu.

1.6.2.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder yang

diperoleh dari berbagai sumber, seperti: buku-buku, artikel, makalah, jurnal,

laporan penelitian, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan studi ini,

terutama yang mempunyai korelasi dengan studi sastra lisan dan kajian tentang

Minangkabau. Selain itu, studi kepustakaan juga dilakukan terhadap hasil-hasil

penelitian yang menggunakan pendekatan formula, strukturalisme Levi-Strauss,

fungsionalisme, dan semiotik (terutama semiologi dalam perspektif Roland

Barthes).

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan

perbandingan mengenai pendekatan tersebut dalam menganalisis suatu fenomena

budaya. Tujuan penting lainnya yang diharapkan dari studi kepustakaan adalah

memperoleh informasi, data yang akurat tentang budaya Minangkabau, terutama

yang berkaitan dengan sejarah, sistem nilai budaya, sistem pewarisan harta

pusaka, dan kesusateraan Minangkabau.

1.6.2.2 Pengamatan

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

55

Pengamatan berperan penting pada tahap peneliti mencari informasi

tentang tempat-tempat yang sedang melaksanakan tradisi MG di Minangkabau.

Tradisi MG memang masih dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau hingga

saat ini. Akan tetapi, pelaksanaan tradisi ini tidak bersifat mingguan, bulanan,

ataupun tahunan. Tradisi MG dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan suatu kaum

atau suku dalam nagari. Apabila suatu kaum atau suku belum memandang perlu

melaksanakan tradisi MG, terutama untuk penghulu, maka kaum atau suku itu

tidak akan menyelenggarakannya. Artinya, mendapatkan informasi tentang

pelaksanaan tradisi MG ini “gampang-gampang susah” karena frekuensi

pelaksanaannya tidak dapat diprediksi.

Oleh karena itu, peneliti menjaring informasi dan pengamatan sambil lalu

melalui relasi pertemanan, media (surat kabar lokal), kantor Kerapatan Adat

Nagari, dan sebagainya. Pengamatan terlibat dilakukan ketika peneliti mendapat

informasi tentang pelaksanaan tradisi MG di suatu tempat, pada saat itu peneliti

berada di lapangan selama pelaksanaan tradisi MG tersebut berlangsung untuk

melakukan wawancara dan perekaman. Hal-hal yang diamati terkait dengan tata

cara pelaksanaan pidato adat, tempat pelaksanaan, orang yang menyampaikan

pidato adat, orang yang mendengarkan pidato adat, pakaian orang-orang yang

menjadi penampil dan pendengar pidato adat, dan juga yang paling penting adalah

apa saja isi teks pidato adat tersebut.

1.6.2.3 Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang penting.

Wawancara dilakukan secara bebas dan terstruktur. Wawancara bebas dilakukan

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

56

terhadap anggota masyarakat biasa yang hadir dan terlibat dalam prosesi MG di

suatu nagari. Wawancara terstruktur yang dipandu dengan daftar pertanyaan (lihat

pada bagian lampiran disertasi ini) dilakukan kepada informan kunci yang telah

dipilih dan dianggap mampu memberikan informasi yang lebih rinci dan dalam

tentang pelaksanaan tradisi MG.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah juru pidato, golongan pemuka

adat (penghulu) dan ninik mamak. Ketiga tokoh kunci ini menjadi tempat

penggalian informasi yang sangat diperlukan sebagai data primer dalam penelitian

ini. Juru pidato adalah orang yang menyampaikan pidato dalam tradisi Malewakan

Gala. Dari juru pidato data tekstual berupa teks lisan pidato didapatkan.

Sementara itu, informan yang berasal dari kalangan ninik mamak dan penghulu,

menjadi tempat untuk mendapatkan informasi lebih dalam dan detail seputar

tradisi Malewakan Gala di Minangkabau. Informan dari kalangan ini juga menjadi

tempat untuk melakukan melakukan perbandingan terhadap informasi yang

diperoleh dari wawancara bebas yang dilakukan dengan anggota masyarakat biasa

(umum) seputar pelaksanaan tradisi MG.

1.6.2.4 Perekaman

Perekaman adalah teknik pengumpulan data yang juga penting dalam studi

ini. Ada dua teknik perekaman yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama,

perekaman suara (audio), dan kedua perekaman gambar atau foto (visual).

Perekaman suara dilakukan dengan cara merekam pidato adat MG dengan sebuah

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

57

tape-recorder yang menggunakan pita kaset. Perekaman gambar atau foto (visual)

dilakukan dengan cara membuat dokumentasi foto-foto pelaksanaan tradisi MG.

Tindakan perekaman ini hanya dilakukan untuk pengumpulan teks lisan

saja, yaitu teks pidato adat Malewakan Gala Penghulu yang dilaksanakan di

daerah Limo Puluah Koto. Sementara untuk tiga teks lain, meskipun tetap melalui

teknik perekaman langsung ke lapangan oleh peneliti terdahulu, tetapi sampai ke

tangan penulis telah berupa hasil transkripsinya. Satu teks hasil transkripsi telah

dikerjakan oleh penulis sendiri di daerah Kota Padang, sedangkan dua teks

lainnya berupa hasil teks transkripsi peneliti lainnya.

1.6.3 Teknik Analisis Data dan Pengolahan Data

Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini disesuaikan dengan

kerangka teori yang digunakan. Pada tahap awal, data rekaman audio pidato adat

dibuatkan transkripsi disertai dengan terjemahannya. Proses penerjemahan

dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku dalam menerjemahkan.

Brislin (1976) menyatakan bahwa penerjemahan mengacu pada pengalihan

pikiran atau gagasan dari suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran; bdk.

Kridalaksana (dalam Nababan, 2008: 19-20) yang menyebutkan bahwa

penerjemahan adalah pemindahan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam

bahasa sasaran dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kemudian

gaya bahasanya.

Selanjutnya, Nababan (2008: 29-40) mencatat bahwa terdapat beberapa

jenis penerjemahan, yaitu: (1) penerjemahan kata demi kata; (2) penerjemahan

bebas; (3) penerjemahan harfiah; (4) penerjemahan dinamik; (5) penerjemahan

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

58

pragmatik; (6) penerjemahan estetik puitik; (7) penerjemahan etnografik; (8)

penerjemahan linguistik; (9) penerjemahan komunikatif; dan (10) penejemahan

semantik. Proses penerjemahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

mengacu pada point (3), (6), dan (7).

Akan tetapi, sesuai dengan data penelitian ini yang bersifat lisan dan

mempunyai sifat dan karakteristik data yang juga spesifik, maka tidak cocok

menggunakan prinsip-prinsip penerjemahan teks tertulis seperti yang telah

disebutkan terdahulu. Hutomo (dalam Sudikan, 2001: 179-180) menyebutkan

bahwa teks lisan dalam wujud aslinya yang masih lisan, biasanya berwujud

sebagai berikut: (1) suara jelas dan tidak jelas; (2) mengandung kata-kata yang

bersifat dialek; (3) mengandung kalimat-kalimat yang tidak sempurna atau tidak

selesai diucapkan; (4) bagi tradisi lisan atau sastra lisan yang diwujudkan dalam

pertunjukkan seni, kadang-kadang suara iringan musik yang dipukul terlalu keras,

biasanya menenggelamkan suara pencerita; (5) di Indonesia tak jarang, si

pencerita memasukkan kata-kata atau kalimat-kalimat bahasa Indonesia yang

mendesak pemakaian kata-kata atau kalimat-kalimat bahasa daerah.

Oleh karena kondisi data lisan yang demikian, maka Hutomo (ibid: 180)

memberi solusi dalam tahapan kegiatan transkripsi wacana lisan, sebagai berikut:

(1) transkripsi secara kasar, artinya semua suara dalam rekaman dipindah ke

tulisan tanpa mengindahkan tanda baca; (2) transkripsi kasar tersebut

disempurnakan dan dicocokkan dengan hasil rekaman; (3) Pemberian tanda baca

pada hasil transkripsi yang sudah disempurnakan dan sekaligus memberikan

perwajahan teks. Pada tahap ini, peneliti mulai memberikan tanda baca, garis

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

59

bawah pada kata yang salah, dialek, dll. Setelah itu, penelti mulai

menentukan mana teks yang berbentuk prosa, dan mana yang berbentuk puisi,

serta mana yang berupa narasi si penutur; (4) hasil transkripsi yang sudah diberi

tanda baca diketik. Hasil ketikan inilah yang seterusnya diterjemahkan dari bahasa

sumber ke bahasa Indonesia.

Teks terjemahan menjadi teks bersih yang dianalisis sesuai tahapan analisis

data, yakni diawali dengan analisis strukturnya, kemudian diamati bentuk-bentuk

formula khas dalam teks pidato adat. Berdasarkan bentuk dan pola formula itu,

dijawab pertanyaan bagaimana fungsi pidato adat tersebut dalam pelaksanaan

tradisi Malewakan Gala di Minangkabau. Berdasatkan aspek fungsi ini, akhirnya,

analisis makna dilakukan untuk menemukan jawaban bagaimana makna pidato

adat itu, dan apa saja gagasan-gagasan yang ada di balik pelaksanaan pidato adat

tersebut. Secara lebih rinci dan menyeluruh rangkaian alur berpikir yang dipakai

dalam meneliti dan menganalisis data penelitian ini digambarkan melalui bagan

yang ditampilkan pada bagan berikut ini.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

60

BAGAN ALUR KERANGKA BERPIKIR DALAM MENGANALISIS DATA PENELITIAN

STRUKTUR TEKS

Bagian Pidato

Malewakan Gala

Dituturkan secara berulang-ulang

BUNGO PIDATO

Bagian Pembukaan

STRUKTUR SOSIAL MINANGKABAU

SASTRA PIDATO ADAT

ANALISIS STRUKTUR

STRUKTUR ISI

Bagian Sirih Pinang

Bagian Penutup

BATANG PIDATO

Digunakan secara sosial dalam masyarakat

MENGANDUNG ANEKA BENTUK FORMULA YANG MENGANDUNG IDE/ GAGASAN UNTUK MEMULIAKAN LAKI-LAKI DENGAN CARA MEWARISKAN GELAR ADAT SEBAGAI SIMBOL KEPEMIMPIANNYA

PESAN

Dipilih oleh Sejarah

MITOS (Roland Barthes)

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

61

MAKNA MALEWAKAN

GALA

ANALISIS SEMIOLOGI

MITOS (Roland Barthes)

MENGUKUHKAN IDE PATRIARKI

MEMULIAKAN KAUM LAKI-LAKI DENGAN CARA

MEMBERI HAK WARIS TERHADAP HARTA PUSAKA

MITOS KOLEKTIF TENTANG

DUNIA MINANG KABAU

ANALISIS FUNGSI

PELEGITIMASI PRANATA BUDAYA

PEMAKSA DAN PENGAWAS PEMBERLAKUAN NORMA

PEWARISAN BUDAYA

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

62

1.7 Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini disusun dalam enam bab. Bab I Pendahuluan

memuat informasi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Informasi standar dan umum tentang Alam Minangkabau dan Sistem Nilai

Budayanya disusun dalam Bab II. Pada bab ini dipaparkan juga uraian tentang

latar belakang sejarah, wilayah, sistem nilai budaya, dan tradisi MG di

Minangkabau. Uraian ini dimaksudkan sebagai gambaran umum yang penting

diketahui untuk memasuki pokok bahasan dalam penelitian ini dan menjadi dasar

bagi uraian berikutnya, khususnya dalam menafsirkan data penelitian.

Analisis tentang struktur teks pidato adat Malewakan Gala Penghulu dan

Malewakn Gala Marapulai, terkandung dalam Bab III. Bab ini merupakan bagian

analisis yang berhubungan dengan aspek penampil, pendengar, struktur teks

pidato adat, dan pembahasan aspek formula yang terdapat dalam teks pidato adat

Malewakan Gala tersebut. Uraian pada bab ini merupakan jawaban terhadap

rumusan masalah pertama dalam penelitian ini.

Analisis makna teks pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala yang

dilakukan dengan menggunakan analisis semiologi Roland Barthes merupakan

inti uraian dalam Bab IV. Pada bagian ini dijelaskan tentang pelaksanaan tradisi

Malewakan Gala, khususnya berkenaan dengan pidato adat di dalamnya. Lewat

pidato adat dalam tradisi tersebut, mitos kolektif masyarakat Minangkabau yang

mengandung gagasan tertentu yang dituturkan secara terus-menerus dan berulang-

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74163/potongan/S3-2014... · sastra lisan Minangkabau yang merupakan bagian dari kekayaan budaya

63

ulang hingga merambat pelan dalam masyarakat Minangkabau. Uraian pada bab

ini merupakan jawaban terhadap rumusan masalah kedua penelitian ini.

Bab V memuat uraian tentang fungsi pidato adat dalam tradisi Malewakan

Gala di Minangkabau. Uraian pada bab ini dimaksudkan sebagai jawaban

terhadap rumusan masalah ketiga, yaitu berkenaan dengan fungsi pidato adat yang

di baliknya terkandung gagasan yang dituturkan secara terus-menerus dan

berulang-ulang.

Akhirnya, jawaban utama dan komprehensif yang menyangkut pertanyaan

mendasar dalam penelitian ini dipaparkan dalam Bab VI, yang sekaligus

merupakan kesimpulan terhadap pembahasan yang telah dilakukan pada bab III,

IV, dan V terdahulu. Pada bagian ini juga berisi saran yang dipandang diperlukan

dan patut dipertimbangkan dalam keberlangsungan masyarakat Minangkabau

kedepan.