25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati. Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan dan peranan penting bagi kehidupan manusia khususnya bagi penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan dunia tidak terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang tidak terkontrol dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar melakukan pemanfaatan sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan pembangunan. Mengingat akan dampak negatif tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia agar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah melindungi berbagai macam satwa-satwa langka yang ada di Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan satwa yang beragam. Sederet rekor dan catatan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam,

baik hayati maupun non hayati. Sumber daya alam hayati Indonesia dan

ekosistemnya mempunyai kedudukan dan peranan penting bagi kehidupan manusia

khususnya bagi penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam

hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan

penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu

dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi

kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada

umumnya, baik masa kini maupun masa depan sejalan dengan Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan dunia tidak

terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang tidak terkontrol

dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup

tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar melakukan pemanfaatan

sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan pembangunan. Mengingat akan

dampak negatif tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai

penanggung jawab utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia agar

2

tercipta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan melindungi berbagai macam

satwa-satwa langka yang ada di Indonesia.

Indonesia memiliki kekayaan satwa yang beragam. Sederet rekor dan catatan

kekayaan dimiliki oleh negeri ini. Namun Indonesia juga merupakan salah satu

penyumbang kepunahan satwa di dunia. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya

perburuan-perburuan liar dan perdagangan ilegal yang dilakukan di Indonesia. Makin

lama, semakin panjang daftar jenis satwa Indonesia yang masuk dalam kategori

terancam kepunahan. Salah satu satwa yang terancam punah di Indonesia adalah

penyu. Penyu adalah salah satu satwa langka peninggalan dari zaman purba yang

dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Kehidupan penyu saat ini mulai terancam

punah akibat gangguan-gangguan oleh manusia, predator, lingkungan maupun penyu

itu sendiri. Penyu merupakan satwa langka yang bukan hanya milik negara tertentu

saja, akan tetapi menjadi milik dunia sehingga semua bangsa di dunia

berkepentingan untuk menjaga kelestariannya.

Penyu merupakan hewan langka yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia

tentu saja memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, sehingga terjadi perdagangan

dan penyelundupan penyu yang terjadi di perairan Indonesia. Penyelundupan satwa

penyu merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, di mana tindak pidana ini

melibatkan banyak pihak mulai dari pemburu sampai dengan eksportir. Oleh karena

itu, sangat penting bagi Indonesia memiliki pengaturan yang tegas mengatur hal-hal

yang berkaitan dengan penyelundupan penyu. Sebagai negara kepulauan dengan

kondisi geografis wilayah perairan yang luas, Indonesia menempati posisi yang

3

rentan terhadap berbagai bentuk penyelundupan, termasuk salah satunya

penyelundupan satwa penyu.

Negara-negara di dunia membentuk suatu perjanjaian yang dinamakan CITES

(Convention on International Trade in Endangered Species) adalah suatu Perjanjian

Internasional antar pemerintah (Negara Anggota) yang ditandatangani di

Washington, D.C., pada tanggal 3 Maret 1973.1 Selanjutnya diubah di Bonn, Jerman

Barat, pada tanggal 22 Juni 1979, yang kemudian diratifikasi dengan Keputusan

Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Tujuan dari CITES itu sendiri adalah untuk

memastikan bahwa perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan liar (atau

bagian dan produk olahannya yakni produk yang terbuat dari bagiannya) tidak

mengancam kelestariannya. CITES merupakan perjanjian yang memuat tiga lampiran

(appendix) yang terdiri dari :

a. Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies

tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan

internasional secara komersial,

b. Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam

kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan

terus berlanjut tanpa adanya pengaturan,

c. Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang

telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan

habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota

1 Chairul Saleh dkk. 2005, Peraturan Perundang-Undangan Penanganan Kasus PeredaranIlegal Tumbuhan dan Satwa Liar, WWF for living planet. Jakarta, h. 8.

4

CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke

Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I.2

Penyu secara Internasional telah dimasukkan dalam Appendix 1 CITES, hal

ini berarti bahwa penyu telah dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah dan

tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.3

Setelah diratifikasinya CITES, pemerintah Indonesia mengambil langkah

bertahap untuk melindungi penyu laut. Langkah awal pemerintah dalam memberikan

perlindungan terhadap satwa penyu dimulai dari Tahun 1978 melalui Keputusan

Menteri Pertanian No. 237/Kpts/Um/5/1978, tanggal 29 Mei Tahun 1978, tentang

Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi dan memberikan status

terlindungi untuk jenis penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Tahun 1980

melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980, tanggal 4 Oktober

Tahun 1980 tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi,

memberikan status terlindungi untuk jenis penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dan

penyu tempayan (Caretta-caretta). Tahun 1990 melalui Undang-undang No. 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Larangan

terhadap segala bentuk eksploitasi terhadap Satwa yang dilindungi. Tahun 1996

melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts/2/1996, tentang Penetapan

Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk

jenis Penyu Pipih (Natatordepressa). Tahun 1996 melalui Keputusan Menteri

Kehutanan No. 771/Kpts/2/1996, tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang

2http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/INFO_III01/IV_III01.htm,(diakses tanggal 26 Oktober 2015).

3 Chairul Saleh dkk. Op. Cit., h. 10.

5

Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk jenis penyu sisik (Eretmochelys

imbricata). Tahun 1999 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7

Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis

Tumbuhan dan Satwa, Perlindungan terhadap semua jenis penyu di Indonesia,

termasuk penyu hijau.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut Undang-undang KSDAHE)

merupakan payung hukum untuk memberi perlindungan terhadap berbagai jenis

tumbuhan dan satwa, salah satunya adalah penyu. Larangan terhadap segala aktivitas

pemanfaatan satwa-satwa yang dilindungi, sudah sangatlah jelas diatur sebagaimana

ketentuan dalam Undang-undang KSDAHE, Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi :

Setiap orang dilarang untuk :

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaanhidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakansatwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di indonesia ketempat lain didalam atau diluar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat daribagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat diIndonesia ke tempat lain didalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan ataumemiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindungi.

Ketentuan dari larangan-larangan di atas, diikuti pula dengan sanksi-sanksi

dari tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Sebagaimana juga diatur dalam

Undangundang KSDAHE Pasal 40 menyatakan :

6

1. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat (1) dan Pasal33 ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dandenda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

2. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal33ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dandenda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadapketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat (1) dan Pasal33ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dandenda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

4. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadapketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)serta Pasal33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah).

5. tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalahkejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) danayat (4) adalah pelanggaran.

Selain sanksi pidana sesuai ketentuan diatas, perdagangan terhadap satwa liar

yang dilindungi khususnya penyu laut juga diancam dengan sanksi denda, yaitu

sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999

tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar diatur dalam Pasal 56

menyatakan :

1. barang siapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi hukumkarena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal21Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber DayaAlam Hayati dan Ekosistemnya.

2. berbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta mertadapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan ijin usahayang bersangkutan.

Disahkannya undang-undang ini dipandang sebagai suatu bentuk keseriuasan

Indonesia untuk memberantas kejahatan lintas batas negara terutama tindak pidana

7

penyelundupan penyu serta telah mampu mengisi kekosongan legislasi terkait

dengan penyelundupan penyu.

Akan tetapi nyatanya undang-undang tersebut belum mampu mengatasi

permasalahan terkait dengan penyelundupan penyu secara signifikan. Bahkan

pergerakan kegiatan penyelundupan penyu di wilayah Indonesia masih terjadi.

Khususnya di Provinsi Bali tepatnya di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar

sering terjadinya penyelundupan penyu. Ini terbukti dari laporan Kepolisian Daerah

Bali pada bulan Agustus tahun 2014, kepolisian menggagalkan penyelundupan 17

penyu dari Banyuwangi. Dalam 2013, setidaknya lima kasus penyelundupan dengan

total bukti 85 penyu, serta 77 telur penyu. Pada Desember 2012, Polda Bali berhasil

menggagalkan penyelundupan 33 penyu.4

Walaupun Polisi sudah berhasil menggagalkan penyelundupan penyu di Bali,

namun praktek penyelundupan penyu masih marak terjadi, salah satu kasus

penyelundupan penyu yang tidak berhasil di gagalkan oleh pihak kepolisian terkait

penyelundupan karapas penyu dari Bali ke Turki. Selain itu penyelundupan penyu

yang masuk ke Bali juga melibatkan seorang oknum anggota Polair Polda Bali.

Pernyataan ini disampaikan LSM Pro Fauna terkait tertangkapnya seorang oknum

anggota Polair Polda Bali, berinisial MR, di Pantai Pandawa, Kutuh, Kuta Selatan,

Badung pada, Kamis (27/12/2012) malam lalu.5 MR ditangkap dalam kaitan dengan

dugaan penyelundupan 22 ekor penyu langka. Dan berdasarkan Konservasi Satwa

4http://www.mongabay.co.id/2014/11/21/sita-51-penyu-hijau-kapolda-bali-target-penyelundupan/ (diakses tanggal 26 Oktober 2015).

5http://www.beritabali.com/read//Pol-Air-Kembali-Gagalkan-Penyelundupan-Penyu.html(diakses tanggal 24 Nopember 2015).

8

Bagi Kehidupan (KSBK) beberapa waktu lampau mengungkapkan, perdagangan

daging, telur dan masakan daging penyu hijau terjadi secara bebas. Mulai restoran

besar hingga pedagang kecil, beberapa lokasi restoran yang dikenal menjual daging

penyu ada di Denpasar Barat, Denpasar Selatan, dan sedikit Denpasar Timur,6 yang

tidak ditangani serius oleh pihak Kepolisian. Ini berarti bahwa perdagangan penyu di

pulau Bali masih saja terjadi.

Tentu saja dalam hal ini walaupun penegak hukum sudah bekerja secara

maksimal untuk mencegah terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu dan

perdagangan daging penyu di Bali, namun penyelundupan dan perdagangan penyu

masih saja terjadi. Bahkan oknum anggota Kepolisian juga terlibat dalam tindak

pidana penyelundupan penyu di Bali, tentu saja ini menjadi keperihatinan bagi kita

semua, seharusnya oknum anggota Kepolisian sebagai penegak hukum bekerja

secara maksimal untuk mencegah terjadinya penyelundupan penyu di Bali.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut diatas,

maka menarik untuk ditulis dalam sebuah skripsi yang berjudul “Penegakan Hukum

Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Penyu di Wilayah Hukum Pengadilan

Negeri Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya terkait

dengan uraian latar belakang diatas ialah sebagai berikut:

6 http://www.kompasiana.com/wyndra/memburu-penyu-dilindungi-peringati-deklarasi-hari-konservasi_ (diakses tanggal 24 Nopember 2015).

9

1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan

penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar?

2. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dari pokok permasalahan

yang akan diuraikan, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

1. Menguraikan penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan

penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.

2. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

1. Untuk memahami tentang bagaimana penegakan hukum terhadap

tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum

Pengadilan Negeri Denpasar.

2. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis serta

mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.

3. Untuk memberikan kontribusi ilmiah terkait dengan permasalahan

hukum dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan

Tinggi, yaitu ilmu hukum khususnya dibidang pidana.

10

4. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum di

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk memahami penegakan hukum terhadap tindak pidana

penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri

Denpasar.

2. Untuk memahami faktor yang menyebabkan terjadinya tindak

pidana penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan

hukumnya.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan laporan ini, diantaranya:

1.5.1. Manfaat Teoritis

1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka

pengembangan ilmu hukum.

2. Untuk memperluas khasanah berpikir tentang penegakan hukum

terhadap tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah

Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.

1.5.2. Manfaat Praktis

1. Memberikan tambahan referensi bagi institusi pendidikan dan

mahasiswa dalam penelitian hukum pidana khususnya mengenai

penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu

di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.

11

2. Bagi masyarakat, memberikan pengetahuan praktis mengenai

hukum pidana dalam hal penegakan hukum terhadap tindak

pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan

Negeri Denpasar.

1.6 Landasan Teori

1. Teori Penanggulangan Kejahatan

Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan

waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama

kejahatan di ibukota dan kota-kota kecil. Upaya penanggulangan kejahatan

telah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada

umumnya. Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus

mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah

tersebut.7

Dalam pelaksanaannya, ada dua upaya yang digunakan untuk

menanggulangi kejahatan yaitu :

1. Upaya pencegahan (preventif)

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk

mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah

kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi

lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-

7 Dedot Kurniawan, 2013, Upaya Penanggulagan Hukum, (diakses tanggal 28 Oktober2015), available from: URL : http://dedotjcb.blogspot.com/2013/03/upaya-penanggulangan-hukum-kejahatan.html.

12

usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak

terjadi lagi kejahatan ulangan.

Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya

preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan

ekonomis.8

Terdapat beberapa cara yang dilakukan untuk menanggulangi

kejahatan :

a. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk

mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan

sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah

laku seseorang ke arah perbuatan jahat.

b. Memusatkan perhatian kepada individu-indivdu yang

menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun

potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan

psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis

yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang

harmonis.

Dari cara tersebut diatas menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita

tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang

mempengaruhi seseorang kearah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan

pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak

8 Adam Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta,. h.158.

13

dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor

yang sekunder saja.9 Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita

melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu

kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang

menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya

seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong

timbulnya perbuatan menyimpang juga disamping itu bagaimana

meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan

ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.10

2. Upaya penanggulangan (represif)

Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara

konsepsional yang tempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan

dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan

sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka

sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang

melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan

mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat

sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.

Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode

perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). Lebih jelas uraiannya

sebagai berikut :

9 Ibid.10Ibid, h. 161.

14

a. Perlakuan (treatment)

Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, yang membedakan berat

dan ringannya suatu perlakuan adalah :

1. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya

perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum

terlanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu

penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha

pencegahan.

2. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya

tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si

pelaku kejahatan.11

Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah

tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya.

Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali

sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di

dalam masyarakat seperti sedia kala.

b. Penghukuman (punishment)

Jika ada pelanggaran hukum yang tidak memungkinkan untuk

diberikan perlakuan, mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya

kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang

11 Muladi, Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,h. 20.

15

sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana. Oleh karena

Indonesia sudah menganut sistem permasyarakatan, bukan lagi sistem

kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem

permasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah

hukuman yang semaksimal mungkin dengan berorientasi pada pembinaan

dan perbaikan pelaku kejahatan.

Jadi dengan sistem permasyarakatan, di samping narapidana harus

menjalani hukumannya di lembaga permasyarakatan, mereka pun dididik dan

dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah keluar

menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi menjadi

seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan

jahat mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat,

sehingga kehidupan yang mereka jalani setelah mereka keluar dari penjara

menjadi lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan

didalam dirinya maupun bersama dengan masyarakat di sekitar tempat dia

bertempat tinggal.

2. Teori Penegekan Hukum

Hukum merupakan suatu sarana dimana di dalamnya terkandung

nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran kemanfaatan

sosial dan sebagainya. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan

penegakan ide-ide atau konsep-konsep, penegakan hukum merupakan usaha

untuk mewujudkan ide-ide dari harapan masyarakat untuk menjadi

kenyataan. Pada hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau

16

kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum

bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal

secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun

demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang

bertanggung jawab.

Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya

merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan,

kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi penegakan hukum

merupakan usaha mengumpulkan ide dan konsep-konsep tadi untuk menjadi

kenyataan. Satjipto Raharjo juga membedakan istilah penegakan hukum

dengan penggunaan hukum. Tetapi penegakan hukum adalah dua hal yang

berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tapi

orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian

tujuan atau kepentingan lain.12

Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga

penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti

perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Penegakan

hukum harus berdasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana

tersirat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan

asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab,

12 Satjipto Raharjo, 2006, Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia, Buku Kompas, Jakarta, h.169.

17

agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif

akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.13

Penegakan hukum dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan

berupa penegakan hukum dilakukan oleh orang yang betul-betul ahli

dibidangnya dan dalam penegakan hukum akan lebih baik jika penegakan

hukum mempunyai pengalaman praktik berkaitan dengan bidang yang

ditanganinya.

Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada

kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-

kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai

suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang

menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh hukum.

Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah

semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam

kenyataan di Indonesia kecendrungannya adalah seperti tersebut. Berdasarkan

penjelasan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa

masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor

yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti

yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada faktor

tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

13 Ibid, h. 70.

18

a. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasipada undang-undang saja.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentukmaupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.e. Faktor berbudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.14

Dalam proses penegakan hukum, terdapat beberapa unsur-unsur yang

harus di perhatikan dalam penegakan hukum adalah :

a. Kepastian hukumKepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadaptindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akandapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaantertentu. Masyarakat mengharap adanya kepastian hukummasyarakat akan lebih tertib.

b. KemanfaatanHukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukumharus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangansampai timbul keresahan di dalam masyarakat karena pelaksanaanatau penegak hukum.

c. KeadilanHukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifatumum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidakmenyamaratakan.15

Dalam penegakan hukum juga terdapat undang-undang dalam arti

material adalah peraturan tertulis yang berlaku dan dibuat oleh penguasa

pusat maupun daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang

tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang

tersebut mempunyai dampak positif. Asas tersebut adalah :

14Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, ( selanjutnya disingkat soerjono soekanto I) h. 8.

15Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.145.

19

a. Undang-undang tidak berlaku surut;

b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi;

c. Mempunyai kedudukan yang tinggi;

d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-

undang yang bersifat umum, apabila perbuatannya sama;

e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-

undang yang dibuat terdahulu;

f. Undang-undang tidak bisa diganggu gugat;

g. Undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan

spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, melalui

pelestarian maupun pembaharuan.

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat,

yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan

inspirasi masyarakat. Seorang penegak hukum sebagaimana halnya dengan

warga masyarakat lainnya yang mempunyai beberapa kedudukan dan peranan

sekaligus. Peranan penegak hukum sangatlah penting, oleh karena

pembahasan terhadap penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada

diskresi. Diskresi juga menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat

terkait oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peran.

3. Teori Kriminologi

Berdasarkan teori-teori kriminologi mengenai sebab-sebab kejahatan,

dapat diketahui faktor-faktor timbulnya kejahatan. Kejahatan pada umumnya

dapat terjadi karena faktor intern dan faktor ektern yaitu karena individu

20

(unsur physic dan physis) dan lingkungan (Alam dan Masyarakat) sehingga

dapat diperinci yakni keturunan buruk, cacat jasmani, rohani tidak seimbang,

cacat mental, ketidakamanan emosi, kurang pendidikan, lingkungan yang

menyedihkan, pergaulan dengan orang-orang jahat, kemiskinan.16

Mengenai faktor-faktor terjadinya kejahatan, H. Hari Saherodji

mengatakan bahwa kejahatan timbul karena adanya dua faktor yaitu:

1. Faktor intern (faktor yang terdapat pada individual) dapat ditinjau dari:

a. Sifat-sifat umum dari individu : umur, sex, kedudukan individu

dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah rekreasi/hiburan

individu, dan agama individu.

b. Sifat-sifat khusus dari individu adalah sifat kejiwaan dari individu.

2. Faktor ekstern (faktor-faktor yang berada di luar individu). Faktor ini

berpangkal tolak dari lingkungan dan dicari hal-hal yang mempunyai

korolasi dengan kejahatan seperti waktu kejahatan, tempat kejahatan,

keadaan keluarga dalam hubungannya dengan keluarga. 17

Untuk memahami sumber dan sebab-sebab kejahatan tersebut

hendaknya tidak hanya dilihat dari faktor intern (faktor individu) saja atau

hanya dilihat dari faktor ektern (faktor-faktor yang berada di luar individu),

tetapi keduanya unsur tersebut sangat penting dan perlu di perhatikan. Perlu

diingat bahwa kejahatan tidak memiliki pengertian tunggal sebab kejahatan

16B. Simanjuntak, 1997, Pengantar Kriminologi dan Patalogi Sosial, Tarsito, Bandung, h.26.

17H. Hari Saherodji. 1980, Pokok-Pokok Kriminologi, Aksara Baru, jakarta, h. 35.

21

adalah variasi dari sekian banyak perbuatan melanggar hukum yang terjadi

dalam masyarakat. Apabila kejahatan itu telah terjadi, maka sesuai dengan

aturan hukum yang berlaku, pelaku kejahatan dapat dikenai sanksi hukuman

atau sanksi karena perbuatan tersebut telah melanggar peraturan yang

berlaku, disamping itu telah mengganggu kemanan dan ketertiban dalam

masyarakat.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum empiris,

dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala

empiris yang diamati di dalam kehidupan nyata. Peter Mahmud Marzuki,

menyatakan penelitian hukum empiris adalah data yang diperoleh langsung

dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan,

yang dilakukan baik melalui pengamatan, wawancara, ataupun penyebaran

kuisioner.18 Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan

antara teori dan realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta

hukum, dan atau adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan

sistem akademik. Penelitian hukum empiris atau sosiologis lebih

menitikberatkan pada penelitian data primer yaitu melalui wawancara.

18Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Predia Media Group, Jakarta,Cetakan I, h. 35.

22

1.7.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian lebih mengarah kepada penelitian deskriptif yakni

“penelitian secara umum termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum,

bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala

dengan gejala lain dalam masyarakat”.19

1.7.3. Data dan Sumber Bahan Hukum

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris adalah

menggunakan sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama20

dilapangan dimana data itu berasal dari observasi dan pengamatan tentang

informan. Informasi yang diperoleh dari wawancara itu di dalamnya

termasuk fakta-fakta, pendapat dan persepsi.

2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian

kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber

pertamanya, melainkan sumber dari data-data yang sudah terdokumenkan

dalam bentuk bahan-bahan hukum.21 Bahan hukum sekunder adalah

bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer

di antaranya: Undang-Undang, hasil penelitian, hasil karya dari pakar

huku/literatur, jurnal, makalah dan sebagainya.22 Penulis menggunakan

19 M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I,Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43.

20 Amirudin dan H. Zaenal Azikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,RajaGrafindo Persada, Jakarta., h. 30.

21 Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Cet. V, Rineka Cipta, Jakarta., h. 103.22 H. Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.

23

bahan hukum sekunder berupa buku-buku atau literatur, hasil karya dari

kalangan hukum serta artikel-artikel yang diperoleh melalui media cetak

maupun media elektronik yang berkaitan dengan permasalahan diangkat

dalam penelitian ini.

3. Sumber bahan hukum terseir, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

diantaranya kamus, ensiklopedi dan indeks komulatif.23 Disini penulis

juga menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai sumber bahan

hukum tersier.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian Ilmu Hukum dengan Aspek Empiris, maka dalam

teknik pengumpulan data ada beberapa teknik yaitu studi dokumen,

wawancara (interview). Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah melalui:

a. Teknik Wawancara: dilakukan dengan mengajukan pertanyaan

pertanyaan kepada informan yang dirancang atau yang telah

dipersiapkan sebelum untuk memperoleh jawaban-jawaban yang

relevan mendukung permasalahan yang diajukan dalam penelitian.

Dan dari jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian

diolah dan dianalisa.24 Dalam teknik wawancara yang dilakukan

23. Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Ed. 1, Cet. 6, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13.

24Burhan Ashshofa, Op.cit, h. 59.

24

penulis informan terdiri dari pihak Dit. Pol Air Polda Bali, Hakim

Pengadilan Negeri Denpasar, dan Pengelola TCEC (Turtle

Concervation and Education Center).

b. Dokumen: studi pustaka ini diperoleh dengan cara mempelajari kitab

peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, jurnal, dan

bahan-bahan lain yang dapat dijadikan sebagai data yang mendukung

penyusunan skripsi ini.

1.7.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik

sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposif sampling yakni

sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan/penelitian subyektif dari

penelitian, jadi dalam hal ini penelitian menentukan sendiri responden mana

yang dianggap dapat mewakili populasi.25

1.7.6. Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dengan analisis

kualitatif. Adapun yang dimaksud analisis kualitatif adalah analisa yang tidak

digambarkan dengan angka-angka tetapi berbentuk penjelasan dan

pendeskripsian, dan data yang diperoleh tersebut diolah menjadi rangkaian

kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak

dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi.26 Jadi sampel lebih kepada non

probabilitas dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara ke

25 Ibid, h. 91.26Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah

Alternatif, Universitas Triksakti, Jakarta, h. 93.

25

lapangan yang disusun secara sistematis dan di analisis dengan menggunakan

teori yang ada di lapangan.