Upload
dangnhan
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam,
baik hayati maupun non hayati. Sumber daya alam hayati Indonesia dan
ekosistemnya mempunyai kedudukan dan peranan penting bagi kehidupan manusia
khususnya bagi penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam
hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan
penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu
dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada
umumnya, baik masa kini maupun masa depan sejalan dengan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan dunia tidak
terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang tidak terkontrol
dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup
tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar melakukan pemanfaatan
sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan pembangunan. Mengingat akan
dampak negatif tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai
penanggung jawab utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia agar
2
tercipta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan melindungi berbagai macam
satwa-satwa langka yang ada di Indonesia.
Indonesia memiliki kekayaan satwa yang beragam. Sederet rekor dan catatan
kekayaan dimiliki oleh negeri ini. Namun Indonesia juga merupakan salah satu
penyumbang kepunahan satwa di dunia. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya
perburuan-perburuan liar dan perdagangan ilegal yang dilakukan di Indonesia. Makin
lama, semakin panjang daftar jenis satwa Indonesia yang masuk dalam kategori
terancam kepunahan. Salah satu satwa yang terancam punah di Indonesia adalah
penyu. Penyu adalah salah satu satwa langka peninggalan dari zaman purba yang
dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Kehidupan penyu saat ini mulai terancam
punah akibat gangguan-gangguan oleh manusia, predator, lingkungan maupun penyu
itu sendiri. Penyu merupakan satwa langka yang bukan hanya milik negara tertentu
saja, akan tetapi menjadi milik dunia sehingga semua bangsa di dunia
berkepentingan untuk menjaga kelestariannya.
Penyu merupakan hewan langka yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia
tentu saja memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, sehingga terjadi perdagangan
dan penyelundupan penyu yang terjadi di perairan Indonesia. Penyelundupan satwa
penyu merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, di mana tindak pidana ini
melibatkan banyak pihak mulai dari pemburu sampai dengan eksportir. Oleh karena
itu, sangat penting bagi Indonesia memiliki pengaturan yang tegas mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan penyelundupan penyu. Sebagai negara kepulauan dengan
kondisi geografis wilayah perairan yang luas, Indonesia menempati posisi yang
3
rentan terhadap berbagai bentuk penyelundupan, termasuk salah satunya
penyelundupan satwa penyu.
Negara-negara di dunia membentuk suatu perjanjaian yang dinamakan CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species) adalah suatu Perjanjian
Internasional antar pemerintah (Negara Anggota) yang ditandatangani di
Washington, D.C., pada tanggal 3 Maret 1973.1 Selanjutnya diubah di Bonn, Jerman
Barat, pada tanggal 22 Juni 1979, yang kemudian diratifikasi dengan Keputusan
Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Tujuan dari CITES itu sendiri adalah untuk
memastikan bahwa perdagangan internasional jenis satwa dan tumbuhan liar (atau
bagian dan produk olahannya yakni produk yang terbuat dari bagiannya) tidak
mengancam kelestariannya. CITES merupakan perjanjian yang memuat tiga lampiran
(appendix) yang terdiri dari :
a. Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
internasional secara komersial,
b. Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam
kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan
terus berlanjut tanpa adanya pengaturan,
c. Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang
telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan
habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota
1 Chairul Saleh dkk. 2005, Peraturan Perundang-Undangan Penanganan Kasus PeredaranIlegal Tumbuhan dan Satwa Liar, WWF for living planet. Jakarta, h. 8.
4
CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke
Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I.2
Penyu secara Internasional telah dimasukkan dalam Appendix 1 CITES, hal
ini berarti bahwa penyu telah dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah dan
tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.3
Setelah diratifikasinya CITES, pemerintah Indonesia mengambil langkah
bertahap untuk melindungi penyu laut. Langkah awal pemerintah dalam memberikan
perlindungan terhadap satwa penyu dimulai dari Tahun 1978 melalui Keputusan
Menteri Pertanian No. 237/Kpts/Um/5/1978, tanggal 29 Mei Tahun 1978, tentang
Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi dan memberikan status
terlindungi untuk jenis penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Tahun 1980
melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980, tanggal 4 Oktober
Tahun 1980 tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi,
memberikan status terlindungi untuk jenis penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dan
penyu tempayan (Caretta-caretta). Tahun 1990 melalui Undang-undang No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Larangan
terhadap segala bentuk eksploitasi terhadap Satwa yang dilindungi. Tahun 1996
melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts/2/1996, tentang Penetapan
Jenis-jenis Binatang Liar Yang Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk
jenis Penyu Pipih (Natatordepressa). Tahun 1996 melalui Keputusan Menteri
Kehutanan No. 771/Kpts/2/1996, tentang Penetapan Jenis-jenis Binatang Liar Yang
2http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/INFO_III01/IV_III01.htm,(diakses tanggal 26 Oktober 2015).
3 Chairul Saleh dkk. Op. Cit., h. 10.
5
Dilindungi, memberikan status terlindungi untuk jenis penyu sisik (Eretmochelys
imbricata). Tahun 1999 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7
Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa, Perlindungan terhadap semua jenis penyu di Indonesia,
termasuk penyu hijau.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut Undang-undang KSDAHE)
merupakan payung hukum untuk memberi perlindungan terhadap berbagai jenis
tumbuhan dan satwa, salah satunya adalah penyu. Larangan terhadap segala aktivitas
pemanfaatan satwa-satwa yang dilindungi, sudah sangatlah jelas diatur sebagaimana
ketentuan dalam Undang-undang KSDAHE, Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi :
Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaanhidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakansatwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di indonesia ketempat lain didalam atau diluar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat daribagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat diIndonesia ke tempat lain didalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan ataumemiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindungi.
Ketentuan dari larangan-larangan di atas, diikuti pula dengan sanksi-sanksi
dari tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. Sebagaimana juga diatur dalam
Undangundang KSDAHE Pasal 40 menyatakan :
6
1. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat (1) dan Pasal33 ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dandenda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal33ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dandenda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadapketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal19 ayat (1) dan Pasal33ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dandenda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
4. barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadapketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)serta Pasal33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah).
5. tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalahkejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) danayat (4) adalah pelanggaran.
Selain sanksi pidana sesuai ketentuan diatas, perdagangan terhadap satwa liar
yang dilindungi khususnya penyu laut juga diancam dengan sanksi denda, yaitu
sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar diatur dalam Pasal 56
menyatakan :
1. barang siapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi hukumkarena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal21Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber DayaAlam Hayati dan Ekosistemnya.
2. berbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta mertadapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan ijin usahayang bersangkutan.
Disahkannya undang-undang ini dipandang sebagai suatu bentuk keseriuasan
Indonesia untuk memberantas kejahatan lintas batas negara terutama tindak pidana
7
penyelundupan penyu serta telah mampu mengisi kekosongan legislasi terkait
dengan penyelundupan penyu.
Akan tetapi nyatanya undang-undang tersebut belum mampu mengatasi
permasalahan terkait dengan penyelundupan penyu secara signifikan. Bahkan
pergerakan kegiatan penyelundupan penyu di wilayah Indonesia masih terjadi.
Khususnya di Provinsi Bali tepatnya di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar
sering terjadinya penyelundupan penyu. Ini terbukti dari laporan Kepolisian Daerah
Bali pada bulan Agustus tahun 2014, kepolisian menggagalkan penyelundupan 17
penyu dari Banyuwangi. Dalam 2013, setidaknya lima kasus penyelundupan dengan
total bukti 85 penyu, serta 77 telur penyu. Pada Desember 2012, Polda Bali berhasil
menggagalkan penyelundupan 33 penyu.4
Walaupun Polisi sudah berhasil menggagalkan penyelundupan penyu di Bali,
namun praktek penyelundupan penyu masih marak terjadi, salah satu kasus
penyelundupan penyu yang tidak berhasil di gagalkan oleh pihak kepolisian terkait
penyelundupan karapas penyu dari Bali ke Turki. Selain itu penyelundupan penyu
yang masuk ke Bali juga melibatkan seorang oknum anggota Polair Polda Bali.
Pernyataan ini disampaikan LSM Pro Fauna terkait tertangkapnya seorang oknum
anggota Polair Polda Bali, berinisial MR, di Pantai Pandawa, Kutuh, Kuta Selatan,
Badung pada, Kamis (27/12/2012) malam lalu.5 MR ditangkap dalam kaitan dengan
dugaan penyelundupan 22 ekor penyu langka. Dan berdasarkan Konservasi Satwa
4http://www.mongabay.co.id/2014/11/21/sita-51-penyu-hijau-kapolda-bali-target-penyelundupan/ (diakses tanggal 26 Oktober 2015).
5http://www.beritabali.com/read//Pol-Air-Kembali-Gagalkan-Penyelundupan-Penyu.html(diakses tanggal 24 Nopember 2015).
8
Bagi Kehidupan (KSBK) beberapa waktu lampau mengungkapkan, perdagangan
daging, telur dan masakan daging penyu hijau terjadi secara bebas. Mulai restoran
besar hingga pedagang kecil, beberapa lokasi restoran yang dikenal menjual daging
penyu ada di Denpasar Barat, Denpasar Selatan, dan sedikit Denpasar Timur,6 yang
tidak ditangani serius oleh pihak Kepolisian. Ini berarti bahwa perdagangan penyu di
pulau Bali masih saja terjadi.
Tentu saja dalam hal ini walaupun penegak hukum sudah bekerja secara
maksimal untuk mencegah terjadinya tindak pidana penyelundupan penyu dan
perdagangan daging penyu di Bali, namun penyelundupan dan perdagangan penyu
masih saja terjadi. Bahkan oknum anggota Kepolisian juga terlibat dalam tindak
pidana penyelundupan penyu di Bali, tentu saja ini menjadi keperihatinan bagi kita
semua, seharusnya oknum anggota Kepolisian sebagai penegak hukum bekerja
secara maksimal untuk mencegah terjadinya penyelundupan penyu di Bali.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut diatas,
maka menarik untuk ditulis dalam sebuah skripsi yang berjudul “Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Penyu di Wilayah Hukum Pengadilan
Negeri Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya terkait
dengan uraian latar belakang diatas ialah sebagai berikut:
6 http://www.kompasiana.com/wyndra/memburu-penyu-dilindungi-peringati-deklarasi-hari-konservasi_ (diakses tanggal 24 Nopember 2015).
9
1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan
penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar?
2. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dari pokok permasalahan
yang akan diuraikan, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
1. Menguraikan penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan
penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.
2. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan hukumnya.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
1. Untuk memahami tentang bagaimana penegakan hukum terhadap
tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Denpasar.
2. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis serta
mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.
3. Untuk memberikan kontribusi ilmiah terkait dengan permasalahan
hukum dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan
Tinggi, yaitu ilmu hukum khususnya dibidang pidana.
10
4. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk memahami penegakan hukum terhadap tindak pidana
penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri
Denpasar.
2. Untuk memahami faktor yang menyebabkan terjadinya tindak
pidana penyelundupan penyu di Bali dan penghambat penegakan
hukumnya.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan laporan ini, diantaranya:
1.5.1. Manfaat Teoritis
1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
pengembangan ilmu hukum.
2. Untuk memperluas khasanah berpikir tentang penegakan hukum
terhadap tindak pidana penyelundupan penyu di Wilayah
Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Memberikan tambahan referensi bagi institusi pendidikan dan
mahasiswa dalam penelitian hukum pidana khususnya mengenai
penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan penyu
di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.
11
2. Bagi masyarakat, memberikan pengetahuan praktis mengenai
hukum pidana dalam hal penegakan hukum terhadap tindak
pidana penyelundupan penyu di Wilayah Hukum Pengadilan
Negeri Denpasar.
1.6 Landasan Teori
1. Teori Penanggulangan Kejahatan
Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan
waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama
kejahatan di ibukota dan kota-kota kecil. Upaya penanggulangan kejahatan
telah dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada
umumnya. Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus
mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah
tersebut.7
Dalam pelaksanaannya, ada dua upaya yang digunakan untuk
menanggulangi kejahatan yaitu :
1. Upaya pencegahan (preventif)
Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk
mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah
kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi
lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-
7 Dedot Kurniawan, 2013, Upaya Penanggulagan Hukum, (diakses tanggal 28 Oktober2015), available from: URL : http://dedotjcb.blogspot.com/2013/03/upaya-penanggulangan-hukum-kejahatan.html.
12
usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak
terjadi lagi kejahatan ulangan.
Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya
preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan
ekonomis.8
Terdapat beberapa cara yang dilakukan untuk menanggulangi
kejahatan :
a. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk
mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan
sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah
laku seseorang ke arah perbuatan jahat.
b. Memusatkan perhatian kepada individu-indivdu yang
menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun
potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan
psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis
yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang
harmonis.
Dari cara tersebut diatas menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita
tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang
mempengaruhi seseorang kearah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan
pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak
8 Adam Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta,. h.158.
13
dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor
yang sekunder saja.9 Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita
melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu
kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang
menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya
seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong
timbulnya perbuatan menyimpang juga disamping itu bagaimana
meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan
ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.10
2. Upaya penanggulangan (represif)
Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara
konsepsional yang tempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan
dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan
sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka
sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang
melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan
mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat
sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.
Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode
perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). Lebih jelas uraiannya
sebagai berikut :
9 Ibid.10Ibid, h. 161.
14
a. Perlakuan (treatment)
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, yang membedakan berat
dan ringannya suatu perlakuan adalah :
1. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya
perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum
terlanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu
penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha
pencegahan.
2. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya
tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si
pelaku kejahatan.11
Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah
tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya.
Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali
sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di
dalam masyarakat seperti sedia kala.
b. Penghukuman (punishment)
Jika ada pelanggaran hukum yang tidak memungkinkan untuk
diberikan perlakuan, mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya
kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang
11 Muladi, Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,h. 20.
15
sesuai dengan perundang-undangan dalam hukum pidana. Oleh karena
Indonesia sudah menganut sistem permasyarakatan, bukan lagi sistem
kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem
permasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah
hukuman yang semaksimal mungkin dengan berorientasi pada pembinaan
dan perbaikan pelaku kejahatan.
Jadi dengan sistem permasyarakatan, di samping narapidana harus
menjalani hukumannya di lembaga permasyarakatan, mereka pun dididik dan
dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah keluar
menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi menjadi
seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan
jahat mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat,
sehingga kehidupan yang mereka jalani setelah mereka keluar dari penjara
menjadi lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan
didalam dirinya maupun bersama dengan masyarakat di sekitar tempat dia
bertempat tinggal.
2. Teori Penegekan Hukum
Hukum merupakan suatu sarana dimana di dalamnya terkandung
nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran kemanfaatan
sosial dan sebagainya. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan
penegakan ide-ide atau konsep-konsep, penegakan hukum merupakan usaha
untuk mewujudkan ide-ide dari harapan masyarakat untuk menjadi
kenyataan. Pada hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau
16
kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum
bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal
secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun
demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang
bertanggung jawab.
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan,
kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi penegakan hukum
merupakan usaha mengumpulkan ide dan konsep-konsep tadi untuk menjadi
kenyataan. Satjipto Raharjo juga membedakan istilah penegakan hukum
dengan penggunaan hukum. Tetapi penegakan hukum adalah dua hal yang
berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tapi
orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian
tujuan atau kepentingan lain.12
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga
penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti
perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Penegakan
hukum harus berdasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana
tersirat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan
asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab,
12 Satjipto Raharjo, 2006, Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia, Buku Kompas, Jakarta, h.169.
17
agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif
akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.13
Penegakan hukum dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan
berupa penegakan hukum dilakukan oleh orang yang betul-betul ahli
dibidangnya dan dalam penegakan hukum akan lebih baik jika penegakan
hukum mempunyai pengalaman praktik berkaitan dengan bidang yang
ditanganinya.
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai
suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh hukum.
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah
semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam
kenyataan di Indonesia kecendrungannya adalah seperti tersebut. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa
masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti
yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada faktor
tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
13 Ibid, h. 70.
18
a. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasipada undang-undang saja.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentukmaupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.e. Faktor berbudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.14
Dalam proses penegakan hukum, terdapat beberapa unsur-unsur yang
harus di perhatikan dalam penegakan hukum adalah :
a. Kepastian hukumKepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadaptindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akandapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaantertentu. Masyarakat mengharap adanya kepastian hukummasyarakat akan lebih tertib.
b. KemanfaatanHukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukumharus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangansampai timbul keresahan di dalam masyarakat karena pelaksanaanatau penegak hukum.
c. KeadilanHukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifatumum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidakmenyamaratakan.15
Dalam penegakan hukum juga terdapat undang-undang dalam arti
material adalah peraturan tertulis yang berlaku dan dibuat oleh penguasa
pusat maupun daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang
tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang
tersebut mempunyai dampak positif. Asas tersebut adalah :
14Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, ( selanjutnya disingkat soerjono soekanto I) h. 8.
15Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.145.
19
a. Undang-undang tidak berlaku surut;
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi;
c. Mempunyai kedudukan yang tinggi;
d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-
undang yang bersifat umum, apabila perbuatannya sama;
e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-
undang yang dibuat terdahulu;
f. Undang-undang tidak bisa diganggu gugat;
g. Undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, melalui
pelestarian maupun pembaharuan.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat,
yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan
inspirasi masyarakat. Seorang penegak hukum sebagaimana halnya dengan
warga masyarakat lainnya yang mempunyai beberapa kedudukan dan peranan
sekaligus. Peranan penegak hukum sangatlah penting, oleh karena
pembahasan terhadap penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada
diskresi. Diskresi juga menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat
terkait oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peran.
3. Teori Kriminologi
Berdasarkan teori-teori kriminologi mengenai sebab-sebab kejahatan,
dapat diketahui faktor-faktor timbulnya kejahatan. Kejahatan pada umumnya
dapat terjadi karena faktor intern dan faktor ektern yaitu karena individu
20
(unsur physic dan physis) dan lingkungan (Alam dan Masyarakat) sehingga
dapat diperinci yakni keturunan buruk, cacat jasmani, rohani tidak seimbang,
cacat mental, ketidakamanan emosi, kurang pendidikan, lingkungan yang
menyedihkan, pergaulan dengan orang-orang jahat, kemiskinan.16
Mengenai faktor-faktor terjadinya kejahatan, H. Hari Saherodji
mengatakan bahwa kejahatan timbul karena adanya dua faktor yaitu:
1. Faktor intern (faktor yang terdapat pada individual) dapat ditinjau dari:
a. Sifat-sifat umum dari individu : umur, sex, kedudukan individu
dalam masyarakat, pendidikan individu, masalah rekreasi/hiburan
individu, dan agama individu.
b. Sifat-sifat khusus dari individu adalah sifat kejiwaan dari individu.
2. Faktor ekstern (faktor-faktor yang berada di luar individu). Faktor ini
berpangkal tolak dari lingkungan dan dicari hal-hal yang mempunyai
korolasi dengan kejahatan seperti waktu kejahatan, tempat kejahatan,
keadaan keluarga dalam hubungannya dengan keluarga. 17
Untuk memahami sumber dan sebab-sebab kejahatan tersebut
hendaknya tidak hanya dilihat dari faktor intern (faktor individu) saja atau
hanya dilihat dari faktor ektern (faktor-faktor yang berada di luar individu),
tetapi keduanya unsur tersebut sangat penting dan perlu di perhatikan. Perlu
diingat bahwa kejahatan tidak memiliki pengertian tunggal sebab kejahatan
16B. Simanjuntak, 1997, Pengantar Kriminologi dan Patalogi Sosial, Tarsito, Bandung, h.26.
17H. Hari Saherodji. 1980, Pokok-Pokok Kriminologi, Aksara Baru, jakarta, h. 35.
21
adalah variasi dari sekian banyak perbuatan melanggar hukum yang terjadi
dalam masyarakat. Apabila kejahatan itu telah terjadi, maka sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku, pelaku kejahatan dapat dikenai sanksi hukuman
atau sanksi karena perbuatan tersebut telah melanggar peraturan yang
berlaku, disamping itu telah mengganggu kemanan dan ketertiban dalam
masyarakat.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum empiris,
dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala
empiris yang diamati di dalam kehidupan nyata. Peter Mahmud Marzuki,
menyatakan penelitian hukum empiris adalah data yang diperoleh langsung
dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan,
yang dilakukan baik melalui pengamatan, wawancara, ataupun penyebaran
kuisioner.18 Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan
antara teori dan realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta
hukum, dan atau adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan
sistem akademik. Penelitian hukum empiris atau sosiologis lebih
menitikberatkan pada penelitian data primer yaitu melalui wawancara.
18Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Predia Media Group, Jakarta,Cetakan I, h. 35.
22
1.7.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian lebih mengarah kepada penelitian deskriptif yakni
“penelitian secara umum termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum,
bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
dengan gejala lain dalam masyarakat”.19
1.7.3. Data dan Sumber Bahan Hukum
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris adalah
menggunakan sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama20
dilapangan dimana data itu berasal dari observasi dan pengamatan tentang
informan. Informasi yang diperoleh dari wawancara itu di dalamnya
termasuk fakta-fakta, pendapat dan persepsi.
2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber
pertamanya, melainkan sumber dari data-data yang sudah terdokumenkan
dalam bentuk bahan-bahan hukum.21 Bahan hukum sekunder adalah
bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer
di antaranya: Undang-Undang, hasil penelitian, hasil karya dari pakar
huku/literatur, jurnal, makalah dan sebagainya.22 Penulis menggunakan
19 M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I,Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43.
20 Amirudin dan H. Zaenal Azikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,RajaGrafindo Persada, Jakarta., h. 30.
21 Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Cet. V, Rineka Cipta, Jakarta., h. 103.22 H. Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.
23
bahan hukum sekunder berupa buku-buku atau literatur, hasil karya dari
kalangan hukum serta artikel-artikel yang diperoleh melalui media cetak
maupun media elektronik yang berkaitan dengan permasalahan diangkat
dalam penelitian ini.
3. Sumber bahan hukum terseir, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
diantaranya kamus, ensiklopedi dan indeks komulatif.23 Disini penulis
juga menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai sumber bahan
hukum tersier.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian Ilmu Hukum dengan Aspek Empiris, maka dalam
teknik pengumpulan data ada beberapa teknik yaitu studi dokumen,
wawancara (interview). Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah melalui:
a. Teknik Wawancara: dilakukan dengan mengajukan pertanyaan
pertanyaan kepada informan yang dirancang atau yang telah
dipersiapkan sebelum untuk memperoleh jawaban-jawaban yang
relevan mendukung permasalahan yang diajukan dalam penelitian.
Dan dari jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian
diolah dan dianalisa.24 Dalam teknik wawancara yang dilakukan
23. Soerjano Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Ed. 1, Cet. 6, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13.
24Burhan Ashshofa, Op.cit, h. 59.
24
penulis informan terdiri dari pihak Dit. Pol Air Polda Bali, Hakim
Pengadilan Negeri Denpasar, dan Pengelola TCEC (Turtle
Concervation and Education Center).
b. Dokumen: studi pustaka ini diperoleh dengan cara mempelajari kitab
peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, jurnal, dan
bahan-bahan lain yang dapat dijadikan sebagai data yang mendukung
penyusunan skripsi ini.
1.7.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik
sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposif sampling yakni
sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan/penelitian subyektif dari
penelitian, jadi dalam hal ini penelitian menentukan sendiri responden mana
yang dianggap dapat mewakili populasi.25
1.7.6. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dengan analisis
kualitatif. Adapun yang dimaksud analisis kualitatif adalah analisa yang tidak
digambarkan dengan angka-angka tetapi berbentuk penjelasan dan
pendeskripsian, dan data yang diperoleh tersebut diolah menjadi rangkaian
kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak
dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi.26 Jadi sampel lebih kepada non
probabilitas dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara ke
25 Ibid, h. 91.26Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah
Alternatif, Universitas Triksakti, Jakarta, h. 93.