29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang luas dan merupakan negara hukum. Pembangunan nasional dalam garis besar haluan negara mencakup semua aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan. Adanya proses penegakan hukum yang baik hendaknya dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, atau tidak terjadi ketimpangan didalam proses penerapannya. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menegakan tertib hukum guna mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, maka dalam upaya mencapai tujuan tersebut tidaklah jarang terjadi permasalahan-permasalahan hukum yang disebabkan karena luasanya negara Indonesia sangatlah berdampak pada permasalahan di negara ini yang kompleks terjadi dalam aspek perkembangan hukum di Indonesia, Selain itu para pihak (pejabat) dalam melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdfIndonesia sangatlah berdampak pada permasalahan di negara ini yang kompleks terjadi dalam aspek perkembangan hukum di Indonesia, Selain

  • Upload
    tranque

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang luas dan merupakan negara hukum.

Pembangunan nasional dalam garis besar haluan negara mencakup semua aspek

kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk mewujudkan

suatu masyarakat yang berkeadilan.

Adanya proses penegakan hukum yang baik hendaknya dapat berjalan sesuai

dengan apa yang diharapkan, atau tidak terjadi ketimpangan didalam proses

penerapannya. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara Indonesia

adalah negara hukum. Menegakan tertib hukum guna mencapai tujuan negara

Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan pancasila, maka dalam upaya mencapai tujuan tersebut tidaklah jarang

terjadi permasalahan-permasalahan hukum yang disebabkan karena luasanya negara

Indonesia sangatlah berdampak pada permasalahan di negara ini yang kompleks

terjadi dalam aspek perkembangan hukum di Indonesia, Selain itu para pihak

(pejabat) dalam melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum

yang berlaku di Indonesia saat ini.

2

Hukum merupakan hasil dari interaksi sosial dengan kehidupan masyarakat.

Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya,

berubahnya,lenyapnya ) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan

hukum merupakan kaca dari pembangunan masyarakat.1

Bicara pembangunan hukum kuat dan merata diseluruh kalangan masyarakat,

maka dari itu pembangunan hukum tersebut dapat dikatakan berjalan sesuai dengan

rencana, namun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa didalam proses pembangunan

hukum yang kuat masih banyak terjadi kendala, misalnya saja hukum di Indonesia ini

seakan menjadi milik segelintir orang yang mempunyai kedudukan penting di negara

ini, mereka bisa dengan mudah membeli hukum itu sendiri, namun dilain pihak

masyarakat terus menjerit ketika hukum tersebut tidak lagi berpihak kepadanya.

Masyarakat di buat frustasi dengan keadaan seperti ini, hak asasi manusia (HAM)

yang ada seakan tidak dapat menolongnya. Keadaan seperti ini membuat masyarakat

tidak memiliki jalan keluar lain, sehingga mereka melakukan tindak kejahatan yang

berdampak pada di jebloskannya orang tersebut ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang

kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang berkekuatan

hukum tetap selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai

narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar

nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan dari

1Riduan Syahrini, 1999, Rangkuman Intisari Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.51.

3

hukum pidana itu sendiri yaitu, untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat

dengan cara melaksanakan dan menegakan aturan hukum pidana demi terciptanya

keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.2

Penjatuhan pidana kepada seseorang dengan menempatkannya kedalam

Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya melihat bahwa pidana adalah alat untuk

menegakan tata tertib dalam masyarakat.Pidana adalah alat untuk mencegah

timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara,

sehingga dengan dimasukannya ke dalam Lembaga Pemasyarakatan orang tersebut

tidak mengulangi perbuatannya.

Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga

Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana.

Disini akan sedikit dijabarkan mengenai apa itu Lembaga Pemasyarakatan,

narapidana dan proses pembinaannya. Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan ( Selanjutnya di sebut UU Pemasyarakatan ) khususnya

Pasal 1 angka ke-3 menyebutkan bahwa pengertian“Lembaga Pemasyarakatan yang

selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka

ke-7 menyebutkan bahwa narapidanaadalah “terpidana yang menjalani hilang

kemerdekannya di Lapas”.

2Muhammad Zainal Abidin & I wayan Edy Kurniawan, 2013, CatatanMahasiswaPidana, Indie

Publishing, Depok, hal. 6.

4

Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

(dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa

narapidana (napi) atau bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang

tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau

tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan

tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu

lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.

Pidana penjara dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat sebagai

adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum, oleh karena itu

pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan. sistem kepenjaraan

yang di gunakan tidak konsisten dan sistem perlakuan yang diterapkan sifatnya

kurang mendidik para narapidana.Selain itu, dalam sistem penjara, hak-hak asasi

manusia sangat tidak di perhatikan. Narapidana di perlakukan secara tidak manusiawi

dan tidak kenal perikemanusiaan.Itu sebabnya mengapa dikatakan secara

konsepsional sistem kepenjaraan bertentangan dengan tujuan yang dianutnya, dan

sistem kepenjaraan tidak sesuai untuk di terapkan.

Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman

Sahardjo pada tahun1963. Tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan

hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang

yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Sesuai dengan tujuan utama didirikannya

5

Lembaga Pemasyarakatan yang disebutkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan yaitu

membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari

kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta menjadi warga negara yang baik

dan bertanggung jawab. Hal ini bertujuan supaya fungsi Lembaga Pemasyarakatan

untuk menyiapkan warga binaan permayarakatan agar dapat berintegritas secara sehat

dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat

yang bebas dan bertanggung jawab sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UU

Pemasyarakatan dapat terwujud. Tak lepas juga pola pembinaan (pembinaan karakter,

pembinaan mental, dan pembinaan iman) dalam Lembaga Pemasyarakatan harus

benar-benar dijalankan.

Pembinaan Narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan,

pembinaan narapidana diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999

tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya ditulis PP No.31

Tahun 1999 ), yakni dalam ketentuan :

Pasal 2 PP No. 31 Tahun 1999

(1) program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan

pembimbingan kepribadian dan kemandirian.

(2) program pembinaan diperuntukan bagi narapidana dan anak didik

pemasyarakatan

6

(3) program pembimbingan

Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan dan

bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan

kemandirian. Semua ini dilakukan bawasannya narapidana merupakan masyarakat

dari bangsa Indonesia sendiri yang mempunyai hak-hak yang patut dipenuhi,

diantaranya hak untuk hidup dan hak atas perlindungan dan bebas dari ancaman.

Hak-hak yang dimiliki oleh narapidana hendaknya dapat diberikan dengan

jalan adanya pembinaan kepribadian yang diarahkan pada pembinaan mental dan

watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab

kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, sedangkan pembinaan kemandirian

diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar nantinya narapidana dapat

kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Perkembangan tujuan pembinaan narapidana berkaitan erat dengan tujuan pembinaan.

Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal yaitu :

a. Setelah keluar dari Lapas tidak lagi melakukan pidana.

b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun

bangsa dan Negara.

7

c. Mampu mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa dan mendekatkan

kebahagiaan di duia maupun di akhirat3.

Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada kenyataannya tidak

sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh dimasyarakat.

dalam hal ini yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakikat hidup

yang tumbuh di masyarakat maksudnya dalam pembinaan narapidana para petugas

pembina narapidana terkadang melakukan penyimpangan dalam melaksanakan

tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum yang berlaku seperti yang

diamanahkan pada Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan mengenai hak-hak

narapidana dan dalam ketentuan PP No.31/1999 tentang Pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan, merupakan dasar bagaimana seharusnya narapidana diberlakukan

dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pemindanaan yang terpadu.

Pembinaan yang diberikan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIA Denpasar masih berada jauh dibawah standarisasi nasional, masih banyak

terjadi penyimpangan dan pelanggaran di Lembaga Pemasyarakatan yang terbesar di

Bali tersebut.4 Sebagai contoh nyata adalah peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh

narapidana hingga berujung pada pembakaran sejumlah fasilitas Lembaga

3Andi Hamzah, 1983, Tinjauan Ringkas Sistem Pemindanaan di Indonesia, Cetakan Pertama,

Nopember, Jakarta, hal.17.

4Diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/Lapas/denpasar pada 17 Mei 2013 Pukul 11.38

8

Pemasyarakatan yang terjadi pada tanggal 28 Februari 2012.5 Kerusuhan yang

diwarnai aksi pembakaran tersebut bermula dari peristiwa penusukan pada narapidana

yang dilakukan oleh narapidana lain terkait adanya perlakuan khusus atau sikap

diskriminasi oleh petugas pemasyarakatan yang dianggap tidak adil.6

Peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar juga

disebabkan terkait dengan terjadinya over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan Klas

IIA Denpasar. Lembaga Pemasyarakatan yang berkapasitas 336 hunian, pada

kenyataannya dihuni oleh sekitar 1.050 Warga Binaan Pemasyarakatan yang terdiri

dari narapidana dan tahanan.7 Sementara itu, faktor internal terkait dengan terjadinya

kerusuhan tersebut dikarenakan terbatasnya jumlah petugas keamanan

Pemasyarakatan, minimnya Sumber Daya Manusia petugas pemasyrakatan dan

kurangnya pemahaman dari petugas pemasyarakatan terhadap P.P.L.P (Peraturan

Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan) yang wajib dibawa dan dipahami ketika

melakukan pengawasan terhadap narapidana.8

Pembinaan terhadap narapidana merupakan komponen penting yang tidak

dapat dipisahkan dalam menjalankan sistem pemasyarakatan yang berlandaskan

5Kerusuhan di Lapas Klas IIA Denpasar, Bali Post, 29 Februari, 2012, hal.1.

6Diakses dari http://www.nasional.new.viva.co.id/read/news/290303-ada-senjata-yang-dirampas-

napi-kerobokan 22 Oktober 2014 Pukul 12.34.

7Diakses dari http://www.regional.kompas.com/read/inilah-penyebab-kerusuhan-Lapas-kerobokan

, 24 Oktober 2014 pukul 12.57.

8Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009, Cetak Biru

Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, hal.136.

9

pengayoman oleh setiap Lapas Khususnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar. Sistem keamanan sebagai langkah awal dari pembinaan terhadap

narapidana harus berjalan seimbang, sehingga Warga Binaan Pemasyarakatan dapat

memahami dan mematuhi segala peraturan yang berlaku di Lembaga

Pemasyarakayan Klas IIA Denpasar pada khususnya. Apabila semua proses tersebut

sudah diterapkan dan dilaksanakan dengan benar sesuai ketentuan undang-undang

yang berlaku, maka akan tercipta ketertiban dan keharmonisan terhadap seluruh

penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang meliputi narapidana, tahanan, anak didik

pemasyarakatan, petugas Lembaga Pemasyarakatan, sehingga penyelenggaraan

pembinaan berjalan dengan lancar. Pada akhirnya narapidana siap untuk

dikembalikan kepada masyarakat dan diharapkan tidak akan mengulangi tindak

pidana lagi serta menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab sesuai yang

diamanatkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan.9

Berdasarkan latar belakang bahwa terdapat ketimpangan dalam hal pembinaan

terhadap narapidana sesuai yang diamanahkan Pasal 2 UU pemasyarakatan, maka

mengangkat permasalahan ini ke dalam skripsi yang berjudul

“EFEKTIVITASLEMBAGAPEMASYARAKATANDALAMPEMBINAANNA

RAPIDANA DI LAPAS KLAS IIA DENPASAR”.

9Ibid, hal.32.

10

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga

PemasyarakatanKlas IIA Denpasar ?

2. Apa yang Menjadi Faktor Penghambat dalam Pembinaan Narapidana di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dan Bagaimana Upaya

Penanggulangannya ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan sebagaimana yang telah

diuraikan, maka akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang

lingkup permasalahan dalam penulisan penelitian ini.

Pokok permasalahan yang pertama dalam penulisan skripsi ini, akan dibahas

mengenai pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.

Ruang lingkup masalah ini diperlukan untuk menghindari terjadinya kekaburan

permasalahan yang akan dibahas. Pelaksanaan pembinaan meliputi program

pembinaan apa saja yang diberikan kepada seluruh narapidana dalam sistem

pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, karena

pembinaan yang dilakukan sangat penting dan wajib diperoleh setiap narapidana, oleh

karena fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan

11

pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU Pemasyarakatan, sehingga narapidana yang

sudah diberikan pembinaan serta pembekalan oleh pihak Lembaga

PemasyarakatanKlas IIA Denpasar siap untuk dikembalikan ke dalam masyarakat dan

tentunya tidak mengulangi perbuatannya.

Pokok permasalahan yang kedua akan dibahas mengenai faktor apa saja yang

dapat menghambat kelangsungan pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana

khsususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, selain itu akan dibahas

pula mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.

1.4 Orisinalitas

Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat dilihat

perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu skripsi berjudul Pembinaan

Narapidana Lanjut Usia di Lapas Karang Asem dengan penulis bernama Agung

Beliferdo di Fakultas Hukum Universitas Udayana pada tahun 2013. Dengan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk pembinaan terhadap narapidana lanjut usia di LP kelas II A

kabupaten Karangasem?

12

2. Faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan narapidana lanjut usia

dan upaya apa yang dilakukan ?

Adapun skripsi lain berjudul Efektivitas Pelaksanaan Pidana Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dengan penulis bernama Realizhar Adillah

Kharisma Ramadhan di Universitas Hasanudin Makasar pada tahun 2013. Dengan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika Klas II A Sungguminasa dalam menekan angka ketergantungan

Narkotika bagi warga binaan?

2. Bagaimanakah efektifitas pelaksanaan pidana pelaku penyalahgunaan narkotika

di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa ?

Penulis dapat memastikan bahwa penelitian yang dilakukan dapat terjamin

keorisinalitasannya dan berbeda dengan skripsi yang telah di sebutkan di atas. Karena

dalam penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada efektivitas Lembaga

Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan umum

dan tujuan khusus

13

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk

memperoleh pemahaman mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam

pembinaan narapidana di Lembaga PemasyarakatanKlas IIA Denpasar.

b. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelenggaraan pembinaan terhadap

Narapidanadi LapasKlas IIA Denpasar

2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam

memaksimalkan pembinaan narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar

1.6 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan

wawasan bagi para pembaca tentang bagaimana efektivitas Lembaga Pemasyarakatan

dalam pembinaannarapidanakhususnya di Lapas Klas IIA Denpasar sebagaimana

yang diamanahkan dalam ketentuan undang-undang yang mengatur. Adapaun

manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memperoleh pencerahan tentang

permasalahan hukum yang dihadapi sehingga dapat menjadi dasar pemikiran yang

14

teoritis, bahwa suatu Perundangan-undangan yang ada belum tentu berjalan sesuai,

serta sempurna dalam prakteknya.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi penulis, penelitian ini adalah untuk mendapatkan bahan informasi dalam

menganalisa serta sebagai suatu pemecahan masalah-masalah terhadap

permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi, khususnya mengenai

efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaannarapidana.

2. Bagi Petugas Lapas hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi

dalam hal membuat perencanaan pembinaan Narapidana yang berlandaskan

UU Pemasyarakatan agar efektivitas Lapas tersebut dalam memberikan

pembinaan dapat terjamin.

3. Bagi pembuat kebijakan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan sebagai

bahan dalam mengambil dan membuat kebijakan yang akan dilaksanakan

dalam upaya peningkatan pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan.

1.7 Landasan Teoritis

Secara umum Lembaga Pemasyarakatan berada dibawah pengawasan

direktorat jenderal pemasyarakatan( Dirjenpas ) Departemen Hukum dan Ham RI,

dimana departemen ini bertugas mengayomi masyarakat dalam bidang hukum dan

15

hak asasi manusia. Kewenangan departemen ini ditangan pemerintah pusat yang

diserahkan menjadi kewenangan daerah otonom.10

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk memproses atau memperbaiki

seseorang ( people processing organization ), dimana input maupun outputnya adalah

manusia yang dilabelkan penjahat.11

Demi mewujudkan sistem pemasyarakatan yang

berlandaskan pancasila, maka dibentuklah UU Pemasyarakatan. Secara yuridis

Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam UU No.12 Tahun

1995tentangPemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (3) UU No.12 Tahun

1995tentang Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sedangkan

sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara

pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan

secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat agar menyadari

kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab.

10Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009 Cetak Biru

Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan,hal.136.

11

Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, hal. 124.

16

Berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 1995tentangPemasyarakatanPasal 1

angka ke-1 yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan

pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan

cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata

peradilan pidana.

Selain itu berdasarkan surat keputusan kepala daerah direktorat

pemasyarakatan No.K.P.10/3/7, tanggal 8 Februari 1965, dimana disampaikan suatu

konsepsi pemasyarakatan, yaitu :pemasyarakatan adalah suatu proses, proses

therapeuntie dimana si narapidana pada masuk Lapas berada dalam keadaan tidak

harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan

masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari

unsur-unsur lain dalam masyarakat yang sekelilingnya tersebut merupakan suatu

keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dalam penghidupan, tersembuhkan

dari segi-segi yang merugikan (negatif).

Secara umum Lembaga Pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana fisik

yang cukup memadai bagi pelaksana seluruh proses sistem pemasyarakatan terhadap

narapidana dan anak didik pemasyarakatan, seperti adanya sarana perkantoran, sarana

perawatan (balai pengobatan), sarana untuk melakukan peribadatan sesuai dengan

kepercayaan yang dipeluk setiap Warga Binaan Pemasyarakatan, sarana pendidikan

dan perpustakaan, sarana olahraga baik diluar ruangan (outdor) maupun didalam

ruangan (indoor),sarana sosial yang terdiri dari tempat kunjungan keluarga, aula

17

pertemuan, sarana konsultasi, dan sarana transportasi (mobil dinas). Narapidana

diberikan makanan tiga kali sehari pagi, siang, dan sore setiap harinya.12

Pembinaan terhadap narapidana dikenal dengan nama pemasyarakatan.

pembinaan dilakukan oleh petugas pemasyarakatan. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU

Pemasyarakatan yang dimaksud dengan petugas pemasyarakatan adalah pejabat

fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan,

pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Tujuan dari

pembinaan menurut Pasal 2 UU Pemasyarakatan adalah untuk membentuk warga

binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat kembali ke dalam

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, hidup wajar

sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Untuk melaksanakan proses pembinaan, maka dikenal 10 prinsip pokok

pemasyarakatan, yaitu :

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal

hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara

3. Rasa tobat tidaklah dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan

4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih

jahat dari pada ia sebelum masuk Lapas

12Ibid,hal.174.

18

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan

kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi

waktu semata hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja.

Pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan negara

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan terhadap narapidana harus berdasarkan

pancasila

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun

ia telah tersesat

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

10. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem

pemasyarakatan.13

Pembinaan narapidana tidak hanya pembinaan terhadap mental spritual

(pembinaan kemandirian), tapi juga pemberian pekerjaan selama berada di Lembaga

Pemasyarakatan (pembinaan keterampilan) dan olahraga. Berdasarkan Pasal 2 dan

Pasal 3 PP No. 31 Tahun 1999, pelaksanaan pembinaan meliputi kepribadian dan

kemandirian.

Hukum pidana mengenal teori penjatuhan pidana, Ada tiga teori untuk

membenarkan penjatuhan pidana :14

13A Josias dan Simon R-Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di

Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, hal.1.

19

1. Teori absolute atau teori pembalasan ( Vergeldings theorin )

2. Teori relative atau Tujuan ( doeltheorien )

3. Teori gabungan ( Verenigings theorien )

Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18.Teori pembalasan

mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti

memperbaiki penjahat.Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk

dijatuhkannya pidana.Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu

kejahatan.Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu

dijatuhkan tetapi menjadi keharusan.Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.15

Pidana terlepas dari dampaknya dimasa depan, karena telah dilakukan suatu

kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, dalam ajaran absolute ini terdapat

keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana

sebenarnya tidak berguna bahkan memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku

kejahatan. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah

yaitu :

a. Ditujukan pada penjahatnya ( Sudut Subjektif )

b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan

masyarakat ( Sudut Objektif )

14 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan Indonesia, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.

1993,hal.21.

15

Ibid, hal. 29.

20

Teori yang kedua ialah teori relativeatau teori tujuan. Teori ini berpangkal

pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib ( hukum ) dalam

masyarakat. Pidana adalah untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan

agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.Dalam teori relatif penjatuhan pidana

tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar

seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Sementara itu, sifat pencegahan dari teori

ini ada 2 ancaman yaitu :

a. Teori pencegahan umum. Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada

penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan.

Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar

masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan

penjahat itu.

b. Teori pencegahan khusus. Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah

pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan

kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak

mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata.

Teori yang ketiga adalah teori gabungan.Teori ini mendasarkan pidana pada

asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain, dua

alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan dapat dibedakan

menjadi dua yaitu :

21

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak

boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya

dipertahankan tata tertib dimasyarakat.

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,

tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada

perbuatan yang dilakukan terpidana.16

Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa inggris

“effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan memiliki makna

“berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”.

Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-

gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu

sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektivitas hukum berarti

keberhasilan, kemajemukan hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan

hidup masyarakat secara damai.17

Secara terminologi pakar hukum dan sosiologi

hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam,

bergantung pada sudut pandang masing-masing. Soerjono Soekanto berbicara

mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga

masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya.18

Efektivitas hukum

16Muhammad zainal abidin & Iwayan Edy kurniawan, Op.cit, hal. 39

17

Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30,

hal.11.

18

Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, hal.62.

22

dilain pihak juga dipandang sebagai tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono

Soekanto, dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan

atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya

telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang

ditetapkan dalam hal ini hukum.19

Efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik

penegak hukum, subtansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak

terjadi ketimpangan antara das solendan das sein. Hal ini sesuai dengan pendapat

Lawrence M.Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sistem hukum terdapat

tiga unsur yaitu struktur, substansi dan kultur hukum.20

Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi termasuk

didalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan

dengan hakimnya. Substansi adalah keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum

dan norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis termasuk putusan

pengadilan. Kultur hukum diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara

bertindak dan cara berpikir.

19

Ibid, hal.20.

20

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial

Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal.

Kencana, Jakarta, hal.225

23

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

Soerjono Soekanto, antara lain :21

1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi Undang-

Undang saja

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Substansi hukum itu adalah Peraturan Perundang-undangan, Struktur Hukum

itu sering disebut penegak hukum, budaya hukum itu sangat luas, dapat dipahami

budaya hukum itu adalah kepatuhan masyarakat.

Kebudayaan (Culture) berarti keseluruhan dan hasil manusia hidup

bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota

masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat

21Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo,

Jakarta,hal.5.

24

kebiasaan, pengertian ini pertama kali dikemukakan oleh E.B Tylor dalam bukunya

Primitive Culture di New York.22

Jadi dari pengertian itu, kebudayaan lebih dari kesenian, melainkan ada

kepandaian, hukum, moral, dan termasuk kepercayaan, itu menunjukan budaya bukan

hanya seni.

penulisan ini menggunakan teori pemasyarakatan, teori efektivitas hukum,

dan teori pemidanaan khususnya teori tujuan (relative).

1.8 Metode Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis empiris. Pendekatan

yuridis artinya mendekati permasalahan dari segi hukum yakni berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan pendekatan dari segi empiris yaitu permasalahan yang terjadi

dalam masyarakat. Pendekatan empirisadalah penelitian hukumpositif tidak tertulis

mengenai perilaku angggota masyarakat dalam hubungan hidup

22Hassan Shadily, 1989, Sosiologi Untuk Orang Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta, hal.81.

25

bermasyarakat.Penelitian hukum empiris bertujuan untuk mengetahui sejarah mana

bekerjanya hukum di dalam masyarakat.23

Penelitian yuridis empiris ini, permasalahan dikaji dengan melakukan

pendekatan langsung di Lapas Klas IIA Denpasar, yaitu dalam hal pelaksanaan

pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar lalu dikaitkan dengan ketentuan Perundang-

undangan yang berlaku yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31/1999 khususnya

Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan.

b. Jenis Pendekatan

Pembahasan dalam penelitian ini akan di kaji dengan pendekatan Perundang-

undangan ( the statue approach ), pendekatan analisis konseptual (analitycal and

conceptual approach), dan pendekatan Fakta (The Fact Approach). Pendekatan

Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan Perundang-undangan

yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan,

kemudian dikaitkan dengan permasalahan pelaksanaan pembinaan di Lapas Klas IIA

Denpasar. Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum,

Seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum, dan sebagainya.Pendekatan

fakta dalam hal ini penulis juga melihat fakta – fakta yang ada diLapas Klas IIA

Denpasar yang berkaitan dengan efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam

Pembinaan narapidana.

23Fakultas Hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar,

hal.68.

26

c. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yaitu deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula

didalamnya ilmu hukum yang bertujuan menggambarkan secara komferhensif gejala-

gejala dalam masyarakat. Serta, menghubungkan antara gejala satu dengan gejala

lainnya.24

Penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan mengenai

penyelenggaraan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA

Denpasar.

d. Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data

primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang bersumber dari suatu penelitian lapangan, yaitu

suatu data yang diperoleh langsung dari sumber lapangan yaitu baik dari

responden maupun informan. Data primer yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah dengan melakukan wawancara langsung di ruang Kepala

Pengamanan Lapas dan di ruang Kasi. Binadik Lapas Klas IIA Denpasar.

2. Data sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan,

yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya,

melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan. Terdiri dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

24Zainudin Ali, 2009, Merode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal.25.

27

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji Menyatakan bahwa dalam suatu

penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan-bahan

hukum yang mengikat), bahan hukum sekunder (yang memberi penjelasan mengenai

bahan hukum primer), dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).25

Ketiga bahan hukum tersebut disebut data sekunder yang memiliki kekuatan

mengikat. Bahan hukum primer yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan,

yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

e. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a) Teknik Wawancara

Teknik wawancara menurut Norman K.Densim dapatlah diartikan

sebagai “any face to conversational excange where one person elicits

information from another”26

yang dimaksud dengan hal ini adalah segala

bentuk percakapan, dimana seseorang mendapatkan informasi dari orang lain.

Teknik wawancara yang dilakukan dengan cara mengajukan beberapa

25

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali, Jakarta, hal.39.

26

Sri Mamuji, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 47.

28

pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan

permasalahan penelitian terhadap Bapak I Wayan Agus Miarda selaku Kepala

Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, Bapak I

Wayan Putu Sutresna selaku Kasi. Bimbingan napi dna anak didik, dan Bapak

Mikha Simanjuntak sebagai staff bimbingan kemasyarakatan dan perawatan

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.

b) Teknik Studi Dokumen

Teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan

dengan permasalahan penelitian yaitu UU Pemasyarakatan, PP No.31/1999

serta bahan bacaan yang berkaitan dengan efektivitas Lapas dalam pembinaan

narapidana.

f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan teknik

non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposive

sampling. Sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan mencari key

information (informasi kunci) ataupun responden kecil yang dianggap mengetahui

tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti.

g. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

dengan menggunakan analisa kualitatif. Kualitatif yaitu menganalisis atau

29

menggambarkan data hasil penelitian dilapangan dengan cara kata-kata tanpa

menganalisis angka dan selanjutnya pengolahan data disajikan secara deskriptif

analisis yaitu menggambarkan secara lengkap tentang aspek yang berkaitan dengan

masalah berdasarkan literatur dan data lapangan. Kemudian pengolahan dan analisis

data dilakukan dengan cara deskripsi, sistematis dan eksplanasi