108
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat kenyang, rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat umum dan merupakan 30% sampai 40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan kepada dokter ahli Gastroenterologi (O’Mahony dkk, 2006 ). Gejalagejala yang timbul disebabkan berbagai faktor seperti gaya hidup merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres, kecemasan, dan depresi yang relevan dengan terjadinya dispepsia (Abdullah & Gunawan, 2012). Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Djojoningrat, 2006). 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang · 2017. 6. 4. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang berpusat

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau

    ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara

    spesifik meliputi rasa cepat kenyang, rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut

    bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat umum dan merupakan 30% sampai

    40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan kepada dokter ahli

    Gastroenterologi (O’Mahony dkk, 2006 ). Gejala–gejala yang timbul disebabkan

    berbagai faktor seperti gaya hidup merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres,

    kecemasan, dan depresi yang relevan dengan terjadinya dispepsia (Abdullah &

    Gunawan, 2012).

    Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia

    dibagi 2 yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik

    apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum,

    karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah

    melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun

    gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional

    apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada

    pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya

    kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Djojoningrat, 2006).

    1

  • 2

    Interaksi faktor psikis dan emosi seperti kecemasan atau depresi dapat

    mempengaruhi fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain – gut – axis.

    Adanya stimulasi atau stresor psikis menimbulkan gangguan keseimbangan saraf

    otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian (vegetatif imbalance).

    Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem imun ( psiko–

    neuro-imun-endokrin ), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH dari hipotalamus

    dan menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH hipofisis. Akibatnya hipofisis

    tidak berespons lagi atau responnya terhadap stresor menjadi datar.

    Ketidakseimbangan jalur-jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung,

    terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, yaitu :

    mempengaruhi sekresi asam lambung, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan

    ambang rasa nyeri (Andre dkk, 2013 ).

    Suatu studi dilakukan kepada 38 pasien dengan dispepsia fungsional,

    diperoleh sebanyak 26 orang (68%) mengalami kejadian hidup yang tidak

    diinginkan, 35 orang (92%) mengalami kecemasan, dan sebanyak 38 orang

    (100%) mengalami depresi. Secara statistik peristiwa hidup yang tidak diinginkan

    dan depresi tidak berhubungan dengan dispepsia fungsional. Namun kasus

    kecemasan secara statistik berhubungan dengan dispepsia fungsional (Tack dkk,

    2006 ).

    Prevalensi dispepsia di seluruh dunia cenderung mengalami peningkatan

    yang cukup signifikan. Populasi orang dewasa di negara barat yang dipengaruhi

    oleh dispepsia berkisar antara 14-38%. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia

    2007, dispepsia rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien

  • 3

    34.029 atau sekitar sudah menempati peringkat ke-10 untuk kategori penyakit

    terbanyak pasien 1,59%. Sedangkan insiden kasus dispepsia kategori non-ulcer

    (dispepsia fungsional ) di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2011 sebanyak

    231 orang (Widya dkk, 2015).

    Dalam penelitian tertutup yang dilakukan di RSCM disebutkan dari 100

    pasien dengan keluhan dispepsia, 80 % mengalami keluhan dispepsia fungsional

    (Ambarwati, 2005). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar kunjungan pasien

    rawat jalan yang mengalami keluhan dispepsia terjadi peningkatan yang signifikan

    dari tahun ke tahun hal ini disebabkan RSUP Sanglah merupakan rumah sakit

    negeri kelas A, mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan

    subspesialis, sebagai pusat rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai rumah sakit

    pusat untuk seluruh wilayah kabupaten di Bali, termasuk Nusa Tenggara Barat

    dan Nusa Tenggara Timur, serta melayani rujukan bagi peserta BPJS Mandiri dan

    BPJS Non Mandiri (RSUP Sanglah, 2013).

    Dispepsia fungsional merupakan penyakit psikosomatis yang erat

    hubungannya dengan kepribadian seseorang dalam merespon penyakit (Andre

    dkk, 2013). Suatu studi penelitian oleh Widyasari (2011), tentang hubungan antara

    kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan dispepsia fungsional

    menemukan bahwa ada hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert

    dengan dispepsia fungsional. Kepribadian dalam penelitian ini dilihat berdasarkan

    the big five personality yang dikembangkan oleh McCrae. Big five personality

    meliputi extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticsm serta

    openness to experience (Pervin dkk, 2005).

  • 4

    Penelitian tentang pengaruh big five personality dengan dispepsia

    fungsional belum banyak dijelaskan. Penelitian Grantika (2015), menyebutkan

    extraversion memiliki pengaruh terhadap nyeri kepala primer sedangkan

    neuroticism, openness, agreeableness dan conscientiousness tidak berpengaruh

    secara signifikan terhadap terjadinya nyeri kepala primer, dan traits ini berperan

    sebagai prediktor penyakit psikosomatis.

    Data 2014, menunjukan peningkatan pasien rawat jalan yang datang

    berobat ke poliklinik Penyakit Dalam Rumah Umum Sakit Umum Pusat Sanglah

    khususnya bagian Gastroenterohepatologi selama periode Januari sampai

    Desember tahun 2014 yaitu sebesar 647 pasien, dimana 370 pasien yang datang

    dengan keluhan dispepsia, dan sebanyak 39,21 % yaitu 120 pasien didiagnosis

    dengan dispepsia fungsional setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, sehingga

    dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian untuk

    mengetahui pengaruh Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional

    terutama pada pasien rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah

    Denpasar.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian

    sebagai berikut “apakah ada pengaruh Neuroticism trait, Extraversion trait,

    Openness trait, Agreeableness trait, dan Conscientiousness trait dengan dispepsia

    fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar?

  • 5

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1. Tujuan Umum

    Mengetahui pengaruh Big Five Personality Traits dengan dispepsia

    fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

    1.3.2. Tujuan Khusus

    a. Untuk mengetahui pengaruh Neuroticism trait dengan dispepsia

    fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah

    Denpasar.

    b. Untuk mengetahui pengaruh Extraversion trait dengan dispepsia

    fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah

    Denpasar.

    c. Untuk mengetahui pengaruh Openness to Experience trait dengan

    dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di

    RSUP Sanglah Denpasar.

    d. Untuk mengetahui pengaruh Agreeableness trait dengan dispepsia

    fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah

    Denpasar.

    e. Untuk mengetahui pengaruh Conscientiousness trait dengan dispepsia

    fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah

    Denpasar.

    1.4. Manfaat

    1.4.1. Manfaat Akademik

    Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

  • 6

    a. Menambah pengetahuan dalam upaya penatalaksanaan pasien dengan

    dispepsia fungsional

    b. Mendapatkan informasi tentang pengaruh Big Five personality traits pada

    pasien dispepsia fungsional

    c. Menambah literatur mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

    dispepsia fungsional

    1.4.2. Manfaat Klinis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang aktual tentang

    pengaruh big five personality dengan dispepsia fungsional sehingga keluhan atau

    gejala yang muncul serta penatalaksanaannya melibatkan berbagai disiplin

    khususnya Ilmu Penyakit Dalam, dan Ilmu Kesehatan Jiwa atau yang lebih

    dikenal dengan CLP (Consultation-Liaison Psychiatry ) yang akan menjembatani

    ilmu kedokteran medik dengan aspek biopsikososiobudaya dan spiritual dengan

    tujuan akhir terapi yaitu memulihkan kualitas hidup pasien.

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Pengertian Dispepsia

    Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein

    (digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion

    yang berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia

    didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri

    atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman

    dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau

    cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal)

    (Talley & Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu

    kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi

    dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi

    satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui

    pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,

    dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo,

    2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat

    kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri

    yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien,

    serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang

    gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta

    secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).

    7

  • 8

    Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2

    klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome.

    Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah”

    setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome

    merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait

    dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.

    Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini :

    Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III

    Dispepsia Fungsional

    Postprandial Distres Syndrome

    Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

    1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan

    porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

    2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi

    makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

    Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan

    terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

    Kriteria penunjang

    1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan

    atau bersendawa yang berlebihan

    2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

    Epigastric Pain Syndrome

    Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

    1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan

    tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam

    seminggu

  • 9

    2. Nyeri timbul berulang

    3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut

    bagian atas/epigastrium

    4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

    5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung

    empedu dan sfingter Oddi

    Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan

    terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

    Kriteria penunjang

    1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah

    retrosternal

    2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin

    timbul saat puasa

    3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.

    (Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)

    2.2. Epidemiologi

    Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik

    pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab

    yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan

    presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75%

    tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%-

    40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan.

    Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan

    peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall dkk, 2014).

    Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia

    dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria

    Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan

  • 10

    peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi

    3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional

    dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke

    sarana layanan kesehatan primer (Lee dkk, 2014).

    Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya

    menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional

    daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di

    Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum

    perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia

    pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan

    perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1

    (Kumar dkk, 2012).

    Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan

    meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada

    umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun,

    22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada

    umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan

    oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur

    kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun.

    Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak

    mempengaruhi prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit

    di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien

    yang masuk ke Bagian Gastroenterology-hepatology (Cahyanto dkk, 2014).

  • 11

    2.3. Patofisiologi Dispepsia Fungsional

    Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus

    peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini

    menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang

    heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang

    dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme

    patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,

    ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan

    perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf

    otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan

    Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara

    tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan

    defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus

    lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).

    Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori

    dibawah ini (Yehuda, 2010) :

    2.3.1. Infeksi H. Pylori

    Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai

    saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli

    Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan

    insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli

    berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan

    kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan

  • 12

    penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot

    sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin

    cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih

    lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut,

    dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.

    2.3.2. Ketidaknormalan Motilitas

    Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien

    dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam

    lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas

    antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang

    “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal

    seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila

    terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung

    menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada

    beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik

    sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa

    sebagai predictor ulkus peptikum.

    2.3.3. Gangguan Sensori Visceral

    Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap

    distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang

    sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi

    lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat

    menginduksi nyeri pada bagian ini.

  • 13

    2.3.4. Faktor Psikososial

    Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang

    dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada

    gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada

    hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia

    yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin

    beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti

    kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap

    peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang

    meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).

    2.3.5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin

    Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur

    endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada

    keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan

    dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran

    hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam

    lambung (Gene, 2012).

    2.3.6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif

    Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks

    serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf

    otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem

    saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan

    pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang

  • 14

    mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan

    sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi

    oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem

    saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung

    yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin,

    gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi

    difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan

    relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga

    menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat

    saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps

    yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan

    mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan

    parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi

    menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ

    lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua

    neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ

    lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas,

    sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).

    2.3.7. Perubahan Dalam Sistem Imun

    Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan

    menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron

    bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem

    endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau

  • 15

    kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary

    axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor

    psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem

    noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan

    pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan

    neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T,

    dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres

    dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya

    akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung

    dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini

    berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa

    ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012).

    2.4. Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional

    Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau

    ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa

    kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik,

    kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang

    memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional

    terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome,

    dan b) epigastric pain syndrome (Drug & Stanciu, 2007).

    Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung

    pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau

    berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial

  • 16

    distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome)

    (Abdullah & Gunawan, 2012).

    Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli

    daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk

    perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa

    kecemasan berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak

    berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa

    genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan

    dengan postprandial distres syndrome (Abdullah & Gunawan, 2012).

    2.5. Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional

    Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah

    adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila

    ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu

    dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak

    ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia

    fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by

    exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak

    ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah &

    Gunawan, 2012). Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia

    fungsional seperti table 2.2 berikut:

  • 17

    Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional

    Dispepsia Fungsional

    Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:

    Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.

    Rasa cepat kenyang.

    Nyeri epigastrium.

    Rasa terbakar di epigastrium.

    dan

    Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran

    cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.

    Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan

    sebelum diagnosis.

    (Diterjemahkan dari Chang, 2006).

    2.6. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional

    Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit

    untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa

    masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia

    bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen

    penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan adanya

    gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan.

    Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus

    memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya

    mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien

    dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran

    terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya (Loyd &

    McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat

  • 18

    subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan

    menjembatani Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau

    sebaliknya. CLP bertujuan memberikan pelayanan yang holistik, tidak hanya

    kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan mental serta

    kualitas hidup pasien (Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan gangguan

    dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar,

    yaitu : somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioterapi.

    Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan

    untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial-

    Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan penatalaksanaan

    tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif (Loyd & McClelan,

    2011).

    2.6.1 Consultation Liaison Psychiatry (CLP)

    Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari

    psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama

    antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater

    berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu :

    Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan komorbiditas psikologik,

    psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang mengalami keluhan dispepsia.

    Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III)

    dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus

    mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal

    interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Loyd & McClelan, 2011).

  • 19

    CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional (Loyd

    & McClelan, 2011). :

    Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini

    menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk

    dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.

    Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah

    dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu

    kelainan structural.

    Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien

    dispepsia.melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan

    keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan

    terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan

    dari pasien dispepsia

    Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi

    yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP

    harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah

    pemutusan hubungan dilakukan.

    Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga.

    Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat

    mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga.

    Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison

    dapat menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan

    kesehatan mutakhir

  • 20

    2.6.2. Penanganan Secara Farmakologi

    Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan

    gangguan dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan

    disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi

    yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2

    receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or

    mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat

    psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer.

    Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan

    struktural, tetapi pemberian farmakologi masih termasuk didalam penanganan

    gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih dikenal dengan nama

    Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011).

    2.6.3. Penanganan Secara Psikoterapi

    Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada

    beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan

    bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan

    pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien

    untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang

    gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat

    dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat.

    Bantu pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat

    yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan

    dan ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi

  • 21

    cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional.

    Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah

    episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide-

    ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik

    relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004).

    2.6.4. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi

    Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian

    dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan

    melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti

    pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic

    community (Soo dkk, 2004).

    2.7. Kepribadian

    Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah

    topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal,

    yang digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun

    seiring berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan

    mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi

    perilakunya (Feist & Feist, 2009).

    Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat sifat-sifat

    psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif

    menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk

    beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait

    digambarkan sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan dimana setiap

  • 22

    orang berbeda dengan yang lain (Larsen & Buss, 2002) Penelitian lainnya,

    mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari cara seseorang untuk

    bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

    2.7.1. Big Five Personality

    Big Five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam

    psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam

    lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis

    faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion,

    agreeableness, openness dan conscientiousnes (Friedman & Schustack, 2008).

    Big Five merupakan model dari struktur trait kepribadian. Trait

    kepribadian didefinisikan sebagai dimensi dari perbedaan individual yang

    cenderung menunjukkan pola pikiran, perasaan, dan perbuatan yang konsisten.

    Ketika mendeskripsikan individu dengan trait yang baik ini berarti bahwa

    individu tersebut cenderung berbuat baik setiap waktu dan pada setiap situasi.

    Definisi yang luas ini menyatakan bahwa traits dapat dibagi menjadi tiga fungsi

    utama: traits dapat digunakan untuk meringkas, memprediksi dan menjelaskan

    tingkah laku seseorang, sehingga salah satu alasan terkenalnya konsep traits

    adalah bahwa traits menyediakan jalan yang ekonomis untuk meringkas

    bagaimana seseorang dapat berbeda dengan yang lainnya. Traits

    memperkenankan seseorang untuk membuat prediksi mengenai perilaku

    seseorang selanjutnya (Feist & Feist, 2009).

  • 23

    2.7.2. Dimensi Big Five Personality

    Dimensi-dimensi Big Five personality menurut Costa & McCrae adalah

    sebagai berikut (Feist & Feist, 2009) :

    a. Neuroticism (N)

    Individu dengan skor tinggi pada dimensi neuroticism, memiliki

    kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri

    sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stres. Seseorang yang

    memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap

    hidup jika dibandingkan dengan yang memiliki tingkat neuroticism tinggi,

    sedangkan individu dengan skor yang rendah pada N, biasanya tenang,

    bertemperamental datar, puas akan diri sendiri, dan tidak emosional.

    b. Extraversion (E)

    Extraversion juga sering disebut dengan surgency. Individu dengan skor

    tinggi pada dimensi extraversion (E) cenderung penuh dengan kasih sayang,

    periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain itu,

    individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan

    lebih banyak orang jika dibandingkan dengan individu yang memiliki skor E

    rendah. Dimensi extraversion dicirikan dengan kecenderungan yang positif seperti

    memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal,

    mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain.

    Extraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin

    hubungan dengan sesama serta dominan dalam lingkungannya. Sebaliknya,

  • 24

    individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai berdiam diri, tenang,

    pasif, dan kurang mampu mengungkapkan perasaannya.

    c. Openness (O)

    Dimensi openness membedakan antara individu yang memilih variasi

    dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang

    mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orang-

    orang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan

    pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada dimensi (O).

    Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan

    penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki

    ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan

    mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas.

    Individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang

    berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.

    d. Agreeableness (A)

    Dimensi agreeableness membedakan antara individu yang berhati lembut

    dengan yang tidak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih

    mengarah pada dimensi ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan

    yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Dimensi A ini

    juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang

    yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik.

    Sedangkan pada individu dengan tingkat agreeableness yang rendah, suka

  • 25

    mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif

    dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif.

    e. Conscientiousness (C)

    Conscientiouness digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol,

    teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian, dan disiplin diri. Dimensi

    conscientiouness ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan

    will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini

    adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu

    yang berskor rendah dalam dimensi ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan

    tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam

    tugas-tugasnya.

    Tabel 2.3. Dimensi Big Five Personality(Pervin dkk, 2005).

    Skor Tinggi Skala Dimensi Skor Rendah

    Mudah khawatir, gugup,

    emosional, merasa tidak

    aman, tidak mampu, mudah

    panik

    Neuroticism Tenang, rileks, tidak

    emosional,

    memiliki daya tahan

    terhadap stres, merasa aman,

    puas atas diri sendiri

    Suka bergaul, aktif, banyak

    bicara, orientasi pada orang

    lain, optimis, terbuka

    terhadap perasaannya,

    penuh kasih sayang

    Extraversion Suka menyendiri, sederhana,

    tidak berlebihan dalam

    kesenangan, menjauhkan

    diri, orientasi pada tugas,

    pemalu, serius

    Memiliki rasa ingin tahu

    yang besar, minat yang

    Openness Sederhana, minat yang

    menetap, tidak artistik, tidak

  • 26

    luas, kreatif dan modern analitis, rendah hati dan

    menjaga tradisi

    Bersifat lembut, baik hati,

    mudah percaya, penolong,

    pemaaf, penurut, jujur

    Agreeableness Suka mengejek, tidak sopan,

    curiga, kasar, tidak

    kooperatif, pendendam,

    cepat marah, suka

    memerintah dan manipulatif

    Orang yang suka mengatur,

    dapat diandalkan, pekerja

    keras, disiplin, rapi,

    ambisius dan tekun

    Conscientiousness Tidak memiliki tujuan, tidak

    bisa diandalkan, lalai,

    pemalas, tidak perhatian,

    ceroboh, memiliki kemauan

    yang lemah

    2.7.3. Pengukuran Big Five Personality

    Alat ukur yang digunakan untuk mengukur Big Five personality,

    diantaranya NEO-PI-R, CPI, 16-PF, Big Five Factor Maker dan lain-lain

    (Mastuti, 2005). Sedangkan menurut Pervin dkk, 2005 terdapat dua instrumen

    untuk mengukur Big Five personality, yaitu:

    a. NEO-PI-R yang di kembangkan oleh Costa dan McCrae (1992).

    b. International Personality Item Pool NEO (IPIP-NEO) yang dibuat oleh Lewis

    Goldberg pada tahun 1992. Skala ini dibuat berdasarkan teori Big Five yang

    digunakan oleh Costa dan McCrae dalam membuat NEO PI-R. Skala ini

    terdiri dari 50 transparent bipolar adjective dan 100 unipolar adjective

    markers.

  • 27

    2.8. Big Five Personality dan Dispepsia Fungsional

    Faktor emosi, memori, dan self esteem merupakan komponen yang

    membentuk kepribadian manusia (Martens dkk, 2008). Kepribadian merupakan

    pola kompleks perilaku yang dihasilkan dari interaksi antara ciri kepribadian

    dengan neurobehaviour (Lenzenweger & Clarkin, 2005). S. Freud pada teori

    psikoanalitik klasik berhasil mengembangkan teori kepribadian yang membagi

    struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar),

    preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Dari

    ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling

    penting dalam menentukan perilaku manusia Di dalam unsconscious tersimpan

    ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness

    berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau

    ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari

    mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas

    (Koenigsberg dkk, 2009). Konflik yang terjadi pada masa awal-awal kehidupan,

    terutama pada usia 0 sampai 6 tahun yaitu pada fase oral, anal, dan phalik, sangat

    berperan terbentuknya kepribadian seseorang setelah dewasa. Semua konflik-

    konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau tersimpan ke alam

    bawah sadar atau unconscious. Saat dewasa, energi negatif yang tersimpan di

    alam bawah sadar pada awal kehidupan (fase oral, anal dan phalik) akan muncul

    dalam bentuk suatu demensi kepribadian tertentu atau personality traits

    misalnya terfiksasi fase oral akan bisa membentuk suatu kepribadian skizoid atau

    paranoid, bila terfiksasi di fase anal atau phalik akan membentuk kepribadian

  • 28

    histrionik, dependen atau cemas menghindar. Khususnya pada kepribadian

    histrionik dan cemas menghindar konflik-konflik yang tersimpan di alam bawah

    sadar akan dimunculkan ke alam sadar dalam bentuk gejala-gejala konversi

    sebagai bentuk mekanisme pembelaan diri. Gejala-gejala konversi bila

    berlangsung berulang kali akan muncul keluhan-keluhan fisik dalam wujud

    Somatisasi, salah satunya dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009; Kaplan dkk,

    2010). Teori Psikoanalisis dari S. Freud lainnya mengembangkan suatu konsep

    struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling

    mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip

    kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari

    id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan

    atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti

    nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan

    menyadarkan individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai,

    superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu

    menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini

    tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan

    (anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi

    defensif atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang

    jenisnya bisa bermacam-macam, salah satunya: konversi, represi yang bila

    berlangsung lama, akan muncul keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah

    mengenai organ lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia (Kaplan

    dkk,2010;Krueger& Tackett, 2006).

  • 29

    Memori merupakan inti dari kepribadian. Memori individu didapat dari

    kognitif atau dari trauma yang dialami saat masa perkembangan. Kepribadian

    dipengaruhi oleh derajat trauma, tahap perkembangan saat terjadi trauma,

    keluarga meliputi dinamika interpersonal, genetik, dan neurobiologi (Magnavita,

    2004). Kepribadian juga ditentukan oleh mekanisme koping yang dilakukan

    individu tersebut akibat suatu stresor. Stresor atau stimulus asing yang

    berlangsung lama akan menyebabkan respon neurobiologi sebagai berikut: 1)

    adanya perasaan negatif dari kecemasan karena merasa tidak aman dan tidak

    yakin, 2) peningkatan gejala otonomik untuk cadangan energi dalam potensial

    aksi sel, 3) selektif dalam perhatian untuk memaksimalkan input sensorik pada

    lokasi tertentu, 4) peran kognitif untuk menerapkan strategi tertentu. Daerah

    hipotalamus dan amigdala terangsang dan terjadi peningkatan CRH sebagai

    respon terhadap stimulus yang ada. Jalur CRH di sistem peripheral yang berlokasi

    di nukleus paraventrikular dari hipotalamus akan teraktivasi dan menyebabkan

    pengeluaran kortisol dari kelenjar adrenal. Kortisol akan masuk ke pembuluh

    darah dan meningkatkan glukoneogenesis dan jika kadarnya berlebihan akan

    mempengaruhi keseimbangan neurotransmiter yang mengatur emosi, memori, dan

    kemauan. Amigdala sentral dan amigdala basolateral mengaktifkan neuron CRH

    di lateral hipotalamus. CRH di lateral hipotalamus akan memodulasi kerja dari

    sistem saraf otonomik. Proyeksi neuron ke intermediolateral cell coloumn ke

    spinal cord akan mengaktifkan sistem otonom simpatik preganglion. Jalur CRH

    juga mengaktifkan Locus coeruleus sehingga norepinephrine dikeluarkan ke

  • 30

    reseptor beta adrenergik yang menciptakan emosi yang tidak spesifik

    (Lenzenweger & Clarkin, 2005).

    Neurotransmiter yang juga terpengaruh adalah dopamin. Peningkatan

    aktivasi amigdala menyebabkan kadar metabolit dopamin di CSF rendah, ikatan

    dopamin transporter juga rendah, dan jumlah reseptor D2 berkurang sehingga

    menyebabkan perubahan perilaku yang terjadi dan jika berlangsung lama maka

    perilaku tersebut bisa menetap dan membentuk kepribadian individu tersebut

    (Oldham dd, 2009). Genetik berhubungan erat dengan terbentuknya struktur

    kepribadian. Genetik berhubungan erat dengan extravertion dan neuroticism,

    sedangkan pengaruh genetik pada concientiousness, agreeableness, dan openness

    masih diragukan. Extraversion dan neuroticism berhubungan dengan proses

    psikologi seperti perhatian, persepsi, memori, dan emosi. Neuroticism berkaitan

    dengan peningkatan aktivasi amigdala dan subgenual Anterior Cingulate Cortex

    pada saat menghadapi konflik emosional (John dkk, 2008). Aktivasi saraf simpatis

    akan menyebabkan berbagai respon tubuh salah satunya di lambung. Kadar

    kortisol yang tinggi dalam darah juga akan menyebabkan seseorang menjadi

    rentan terhadap stimulus dan stresor dari luar dirinya. Gangguan lambung yang

    bersifat fungsional merupakan manifestasi dari sensitivitas menyeluruh terhadap

    adanya rangsangan yang baru atau stimulus yang dianggap bersifat ancaman.

    Gangguan lambung fungsional yang paling sering terjadi adalah dispepsia

    fungsional ( Ammerman, 2006).

  • 31

    BAB III

    KERANGKA BERFIKIR, KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN

    HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1. Kerangka Berfikir

    Gangguan dispepsia fungsional dan dispepsia organik merupakan bagian

    dari gangguan gastrointestinal dan memiliki karakteristik umum yang ditandai

    oleh adanya gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural melalui

    pemeriksaan klinik, laboratorium dan pemeriksaan endoskopi. Patogenesis

    dispepsia meliputi beberapa mekanisme yang mungkin, antara lain: Infeksi

    Helicobacter pylori (H. pylori), ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori

    visceral, perubahan sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, sistem

    imun dan faktor psikososial. Faktor lain yang juga berpengaruh timbulnya

    dispepsia fungsional antara lain: depresi, kecemasan, stress, jenis kelamin, umur,

    pendidikan, pekerjaan. Kaitan antara kepribadian seseorang dengan dispepsia

    merupakan suatu mekanisme yang kompleks antara faktor organobiologi dengan

    faktor psikososial. Kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan

    mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi

    perilakunya. Kepribadian mempengaruhi kognitif, emosi dan motivasi seseorang

    dalam menghayati health awareness. Big five Personality traits model dapat

    digunakan sebagai teori kepribadian yang dikaitkan dengan penyakit dispepsia

    fungsional. Big five Personality traits model merupakan dimensi kepribadian ke

    dalam lima dimensi yaitu Neuroticism (N) Extraversion (E), Openness to

    Experience (O), Agreeableness (A) dan Conscientiousness (C). Model personality

    31

  • 32

    traits yang dikembangkan secara leksikal ini dikenal dengan Big Five model.

    Berdasarkan teori Psikoanalisis dari S. Freud mengembangkan suatu konsep

    struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Struktur kepribadian ego yang

    paling memegang peranan penting terhadap terbentuknya kepribadian dan

    munculnya dispepsia fungsional. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian

    yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia.

    Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan

    menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id

    dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik dan

    berlangsung lama, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety) yang

    selanjutnya akan membentuk suatu Neurotism Personality Trait, atau apabila

    tuntutan berasil diatasi dengan baik maka ego tidak terancam dan muncullah

    sikap sabar, mengalah, menerima, yang pada akhirnya membentuk suatu

    Agreeableness Personality Trait. Pada dimensi trait kepribadian Big Five model

    yang memiliki skor yang rendah, dimana ego merasa terancam maka ego akan

    melakukan reaksi defensif atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense

    mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam, salah satunya yang imatur

    adalah : konversi, dan represi. Bila gejala koversi dan represi terus berlangsung

    lama, akan memunculkan keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah

    mengenai organ lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia.

  • 33

    Bagan di bawah ini menunjukkan hubungan antara Big five Personality traits

    model dengan gangguan dispepsia

    Gambar 3.1. Kerangka Berpikir

    Faktor Penyebab :

    Infeksi H. Pylori

    Ketidaknormalan motilitas

    Gangguan sensori visceral

    Faktor psikososial

    Faktor sistem saraf otonom,

    neuroendokrin, sistem imun

    Kecemasan,Depresi,Stres, jenis

    kelamin, umur, pendidikan,

    pekerjaan, status pernikahan

    Diagnosis setelah

    endoskopi : fungsional

    dan organik

    Gejala Dispepsia :

    Rasa penuh setelah makan

    yang mengganggu.

    Rasa terbakar di epigastrium

    Nyeri epigastrium

    Rasa cepat kenyang.

    Big Five personality traits:

    Extraversion

    Openness

    Agreeableness

    Conscientiesness

  • 34

    Depresi

    Kecemasan

    Stres

    Jenis kelamin

    Pendidikan

    Pekerjaan

    Umur

    Status pernikahan

    Dependent Variables:

    Dispepsia Fungsional

    Independent Variables

    Big Five personality traits:

    Neuroticism

    Extraversion

    Openness

    Agreeableness

    Conscientiesness

    3.2. Kerangka Konsep

    Keterangan : ----------- (garis putus-putus) : variabel yang diteliti

    Gambar 3.2 kerangka konsep penelitian

    3.3. Hipotesis Penelitian

    Berdasarkan kajian pustaka kerangka berpikir dan konsep yang telah

    diuraikan di atas, maka dapatlah dikemukakan rumusan hipotesis sebagai berikut

    1. Terdapat pengaruh antara Neuroticism trait dengan dispepsia fungsional pada

    pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

    2. Terdapat pengaruh antara Extraversion trait dengan dyspepsia fungsional

    pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

  • 35

    3. Terdapat pengaruh antara Openness trait dengan dispepsia fungsional pada

    pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

    4. Terdapat pengaruh antara Agreeableness trait dengan dispepsia fungsional

    pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

    5. Terdapat pengaruh antara Conscientiousness trait dengan dyspepsia

    fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah

    Denpasar.

  • 36

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

    4.1.1. Lokasi Penelitian

    Penelitian dilakukan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum

    Pusat Sanglah Denpasar.

    4.1.2 Waktu Penelitian

    Penelitian dimulai pada Agustus sampai September 2015

    4.2. Rancangan Penelitian

    Penelitian ini merupakan suatu studi dengan menggunakan rancangan

    penelitian observasional analitik dengan rancangan yang digunakan potong

    lintang (cross sectional analytic) untuk mengetahui pengaruh Big Five Personality

    Traits dengan dispepsia fungsional pada pasien rawat jalan poliklinik Penyakit

    Dalam di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dimulai dengan identifikasi kasus,

    yaitu individu yang mengalami keluhan dispepsia dan sudah terdiagnosis dengan

    dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah dilakukan pemeriksaan

    endoskopi, kemudian dilakukan wawancara dan kuesioner pada pasien dispepsia

    fungsional dan dispepsia organik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

    Hasil evaluasi ini berupa hasil wawancara dan kuesioner dengan responden.

    36

  • 37

    Big Five personality traits:

    Openness

    Conscientiesness

    Extraversion

    Agreeableness

    Neuroticism

    Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

    Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik

    Gambar 4.1. Rancangan Penelitian

    4.3. Populasi dan Sampel

    4.3.1. Populasi Target

    Populasi target (target population) adalah semua pasien dengan dispepsia

    4.3.2. Populasi Terjangkau

    Populasi terjangkau (accessible population) adalah semua pasien dengan

    dispepsia yang pernah rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit

    Eligible

    sampling:

    Dispepsia

    Populasi

  • 38

    Umum Pusat Sanglah Denpasar yang tercatat di buku register selama periode

    tahun 2014.

    4.3.3. Sampel (intended sample)

    Sampel yang dipilih dari populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria

    inklusi dan eksklusi. Subyek yang diteliti (actual study subjects) adalah sampel

    yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi formulir

    informed consent.

    a. Kriteria Inklusi

    Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu:

    1. Seluruh penderita yang menderita dispepsia fungsional dan dispepsia

    organik yang tercatat di register rawat jalan poliklinik Penyakit Dalam

    di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari bulan Januari 2014 sampai

    Desember 2014, yang telah dilakukan pemeriksaan fisik dan

    pemeriksaan penunjang ( endoskopi ) sesuai standar medik yang

    berlaku dan didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik

    oleh dokter Spesialis Penyakit Dalam di RSUP Sanglah.

    2. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani formulir informed

    consent.

    3. Mampu membaca dan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia

    b. Kriteria Ekslusi

    1. Penderita dengan dispepsia fungsional atau dispepsia organik yang

    yang tinggal di luar Bali, atau sudah meninggal

  • 39

    2 2

    2

    2. Penderita dispepsia yang mengalami gangguan jiwa berat seperti

    Skizofrenia, Retardasi Mental Berat

    3. Penderita dengan penyakit kronik seperti Diabetes Melitus, Hipertensi,

    Gagal Ginjal, Sirosis Hepatis, dan penyakit keganasan

    4. Penderita dispepsia yang terganggu fungsi panca indra terutama

    pengeliatan dan pendengaran

    5. Penderita yang tidak tercatat no HP atau telepon rumah pada komputer

    registrasi RSUP

    6. Menolak ikut dalam penelitian

    c. Besar Sampel

    Penghitungan besar sampel pada penelitian ini memakai rumus besar

    sampel untuk penelitian analitik korelatif sebagai berikut (Dahlan, 2009):

    n = (nn) n n

    n2 =

    (1,96) × 0,20 × (1 ' 0,20)

    0,12

    n = (nn) n n

    n2 =

    3,84× 0,20 × 0,8

    0,12

    n = 0,614

    0,01

    n = 61,4 dibulatkan menjadi 62orang

    Keterangan:

    Zα =Kesalahan tipe I ditetapkan 5% = 1, 96

    d =Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki ditetapkan sebesar

    10%

    Q =1 – P

    P =Proporsi dispepsia sebesar 20 % (Harahap, 2010)

  • 40

    d. Penentuan Sampel

    Pasien rawat jalan yang tercatat di register poliklinik Penyakit Dalam di

    Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari 1 Januari 2014 sampai dengan 31

    Desember 2014. Sampel penelitian memenuhi syarat berdasarkan kriteria inklusi,

    dan dipilih secara simple random sampling: dimulai dengan membuat daftar

    identitas pasien yang memenuhi syarat sebagai sampel, kemudian pemilihan

    diawali dengan menjatuhkan pensil untuk menentukan sampel pertama, sedangkan

    untuk sampel berikutnya dengan kelipatan tiga, sampai besar sampel terpenuhi.

    Sampelnya adalah yang telah dilakukan pemeriksaan endoskopi oleh dokter

    Penyakit Dalam dan didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik

    3.4. Variabel Penelitian

    Pada penelitian ini variabel merupakan karakteristik sampel penelitian

    yang diukur baik secara numerik maupun nominal (Sastroasmoro, 2011). dan

    disusun menurut rancangan penelitian cross sectional analytic.

    4.4.1. Variabel Bebas

    Variabel bebas yang diteliti adalah Big Five Personality Traits terdiri dari :

    Neuroticism trait, Extraversion trait, Openness trait, Agreeableness trait, dan

    Conscientiousness trait

    4.4.2. Variabel Tergantung

    Variabel tergantung pada penelitian ini adalah dispepsia fungsional

    4.4.3. Variabel Perancu

    Variabel perancu pada penelitian ini adalah : kecemasan, depresi, stress,

    jenis kelamin, umur, pendidikan, status pernikahan, dan pekerjaan

  • 41

    4.5. Definisi Operasional Variabel

    Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variabel-

    variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi

    operasional dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut.

    a. Big five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam

    psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun

    dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan

    menggunakan analisis faktor. Lima dimensi personality traits tersebut

    adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan

    conscientiousness (Friedman & Schustack, 2008). Data disajikan dalam

    bentuk numerik.

    b. Dispepsia fungsional adalah bagian dari gangguan gastrointestinal

    fungsional dan memiliki karakteristik umum yang ditandai oleh adanya

    gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural memenuhi

    salah satu gejala atau lebih gejala rasa penuh setelah makan yang

    mengganggu, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, rasa terbakar di

    epigastrium dan tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil

    endoskopi saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan

    timbulnya gejala. Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset

    gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis dan didiagnosis oleh Dokter

    Penyakit Dalam. Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal

    dikotomi (Abdullah & Gunawan, 2012 ).

  • 42

    c. Dispepsia organik adalah kelainan struktural pada organ gastrointestinal,

    dimana penyebabnya sudah jelas setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi

    serta didiagnosis oleh Ahli Penyakit Dalam. Misalnya adanya ulkus

    peptikum atau duodenum, karsinoma lambung, atau cholelithiasis.

    d. Umur adalah umur yang tertera pada kartu tanda penduduk (KTP) pasien

    yang juga dikonfirmasi melalui wawancara saat dilakukan penelitian dan

    pada rekam medis. Data disajikan dalam bentuk skala non kategorikal.

    e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tertera di kartu tanda penduduk

    (KTP) dan tertera di catatan medik responden. Data disajikan dalam

    bentuk skala kategorikal nominal.

    f. Pendidikan adalah pendidikan yang dapat diklasifikasi kedalam kelompok

    : Tidak Sekolah, SD, SMP, SMA atau sederajat, Diploma atau Sarjana

    g. Pekerjaan adalah dapat diklasifikasi kedalam kelompok : Bekerja, dan

    Tidak Bekerja

    h. Status pernikahan meliputi : tidak menikah, menikah, duda, dan janda

    i. Stres adalah tekanan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan

    lingkungan, misalnya tuntutan belajar menjelang ujian, menghadapi

    masalah keluarga atau hubungan antar teman dengan menggunakan

    kuesioner DASS 42 (Rathus & Nevid, 2007).

    j. Depresi adalah suasana hati (afek) atau hilang minat atau kesenangan

    dalam semua aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu, disertai

    beberapa gejala berhubungan (Maslim, 2001).

  • 43

    k. Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan

    ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang

    hiperaktif (Maslim, 2001). Depresi, kecemasan, dan stres diukur dengan

    Depression Anxiety Stres Scale (DASS) 42 (Lovibond, 1995; Crawford &

    Henry, 2003; Kholifah, 2013 ).

    Depresi (ada) : bila skor DASS 42 untuk depresi > 9

    Tidak ada : bila skor DASS untuk depresi 0-9

    Kecemasan (ada) : bila skor DASS 42 untuk kecemasan > 7

    Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk kecemasan 0-7

    Stres (ada) : bila skor DASS 42 untuk stres > 14

    Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk stres 0-14

    Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal.

    4.6. Bahan dan Instrument Penelitian

    Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: formulir kuesioner

    yang digunakan untuk mengeksplorasi faktor demografi (umur, jenis kelamin,

    pendidikan, status pernikahan dan pekerjaan). Instrumen pengumpulan data yang

    digunakan adalah berbentuk kuesioner yang berbentuk skala Likert. Kuesioner

    adalah salah satu jenis alat pengumpulan data berupa daftar pertanyaan. Instrumen

    pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari dua alat ukur. Adapun dua alat

    ukur tersebut adalah:

    a. Alat ukur Big Five personality

    Big Five personality akan diukur dengan IPIP-FFI (International

    Personality Item Pool-Five Factor Inventory). Alat ukur ini merupakan

  • 44

    alat ukur kepribadian yang dibuat oleh Lewis Goldberg. Skala ini

    berjumlah 50 item yang memilki rentang diri sangat tidak sesuai (skala

    1) sampai sangat sesuai (skala 5), dimana setiap variabelnya terdiri dari

    10 item (5 favorable dan 5 unfavorable) yaitu openness to experience,

    conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism.

    Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan

    penilaian Cronbach’s alpha dengan nilai di atas 0,6 (Donnellan dkk,

    2006).

    b. Alat ukur depresi, kecemasan dan stres

    Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah DASS 42

    menilai ada tidaknya depresi, kecemasan, dan stres. Instrumen DASS 42

    terdiri dari 42 item pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik,

    psikologi dan perilaku. Nilai depresi, kecemasan, dan stres ditentukan

    oleh nilai dari komponen DASS yang relevan untuk masing-masing

    kriteria. Komponen DASS untuk depresi adalah 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21,

    24, 26, 31, 34, 37, 38, 42. Kecemasan diukur oleh komponen nomor 2, 4,

    7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41. Sedangkan stres ditunjukkan

    oleh komponen 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.

    Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan

    penilaian Cronbach’s alpha sebesar 0,91 (Lovibond & Lovibond, 1995;

    Crawford & Henry, 2003; Kholifah, 2013).

  • 45

    4.7. Analisis Statistik

    Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan mengenai

    kelengkapan data tersebut. Data hasil penelitian dilakukan perhitungan dan

    dianalisis secara statistik dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak

    komputer. Jika ada data yang belum lengkap akan dilengkapi kemudian dilakukan

    serangkaian analisis statistik menggunakan SPSS.20 sebagai berikut:

    4.7.1. Statistik Deskritif

    Analisis statistik deskriptif untuk menggambarkan karakteristik data

    sampel variabel usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan,

    kecemasan, depresi, dan stres

    4.7.2. Uji normalitas data

    Data mengenai umur dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data

    dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05 dan tidak apabila nilai p <

    0,05. Levene’s test digunakan untuk mengetahui homogenitas kedua kelompok.

    4.7.3. Uji parametrik t tidak berpasangan.

    Uji parametrik t-test tidak berpasangan digunakan untuk uji hipotesis pada

    data numerik yang berdistribusi normal. Uji non-parametrik Mann-Whitney

    digunakan untuk uji perbandingan pada data yang tidak berdistribusi normal,

    sedangkan uji Chi-Square digunakan untuk uji perbandingan pada data kategorik

    (Dahlan, 2009). Dalam penelitian ini ditentukan derajat kemaknaan α = 0,05 (p <

    0,05)

  • 46

    4.7.4.Statistik Bivariat

    Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas dengan variabel tergantung

    dilakukan analisis multivariat, dengan terlebih dahulu melakukan analisis bivariat

    menggunakan regresi logistik terhadap masing-masing variabel Big Five

    personality traits (neuroticism, openness, extraversion, agreeableness, dan

    conscientiousness) sebagai variabel bebas dengan dyspepsia fungsional sebagai

    variabel tergantung dengan metode enter. Variabel yang dimasukkan ke dalam

    analisis multivariat apabila nilai p < 0,5.

    4.7.5. Statistik Multivariat

    Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik

    terhadap masing-masing variabel Big Five personality traits (neuroticism,

    openness, extraversion, agreeableness, dan conscientiousness) sebagai variabel

    bebas dihubungkan dengan dispepsia sebagai variabel tergantung setelah dikontrol

    dengan variabel depresi, kecemasan, stress. Pendidikan, pekerjaan, status

    pernikahan, jenis kelamin, umur dengan metode enter.

    4.8. Alur Penelitian

    4.8.1. Tahap Persiapan

    Sampel penderita yang didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia

    organik dipilih secara simple random sampling. Instrument kuesioner dan

    wawancara terpimpin disiapkan.

    4.8.2. Pelaksanaan Penelitian

    Sebelum pelaksanaan penelitian semua yang menyangkut etika penelitian

    dikonsultasikan dengan Komisi Etika Penelitian Unit penelitian dan

  • 47

    Pasien Dispepsia Fungsional dan dispepsia organik yang sudah tegak

    diagnosa yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak kriteria eksklusi

    dan tercatat di buku register poliklinik

    Informed Consent

    Pengembangan Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar guna mendapatkan surat

    kelaikan etika. Semua penderita yang didiagnosis dispepsia fungsional dan

    dispepsia organik diberikan penjelasan rinci tentang tujuan penelitian dan setelah

    memahami barulah dilanjutkan dengan penandatanganan informed consent.

    4.8.3. Alur Penelitian

    Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah mendapatkan kelaikan etik

    (ethical clearence) dari RSUP Sanglah. Alur adalah sebagai berikut :

    Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian

    Pengumpulan data

    Laporan Hasil Penelitian

    Analisis statistik Data

    Wawancara

    Kuesioner IPIP-FFI untuk Big five personality traits Kuesioner DASS 42 untuk cemas, depresi, stres

    Simpel random

    sampling

    Sampling

    Dispepsia fungsional Dispepsia organik

  • 48

    BAB V

    HASIL PENELITIAN

    5.1 Karakteristik Dasar

    Berdasarkan data register kunjungan pasien yang melakukan pemeriksaan

    endoskopi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah selama tahun 2014 adalah

    sebanyak 647 orang, 370 orang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian ini.

    Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling. Sebanyak 13

    orang tidak dimasukan sebagai sampel karena alasan menolak, alamat tidak jelas (

    tidak tercantum nomor HP atau telepon rumah di komputer registrasi), atau alamat

    tidak ditemukan. Pada akhir penelitian ini didapatkan total sampel sebesar 62

    orang, dan mereka bersedia mengisi kuesioner Big Five Personality Traits dan

    DASS 42. Hasil yang didapat dari kuesioner yang diisi oleh sampel, didapatkan

    62 kuesioner yang terisi secara lengkap. Karakteristik dasar subjek penelitian

    dapat dilihat pada Tabel 5.1.

    48

  • 49

    Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

    Karakteristik Jumlah

    N % Umur

    Jenis kelamin

    51,31 ± 14,830

    Laki-laki 35 56,50

    Perempuan 27 43,50

    Pekerjaan

    Bekerja

    24

    38,70

    Tidak bekerja 38 61,30

    Pendidikan

    Tidak sekolah 8 12,90

    SD 14 22,60

    SMP 4 6,50

    SMA 30 48,40 Diploma/sarjana 6 9,70

    Pernikahan

    Tidak menikah 12 19,40

    Menikah 32 51,60

    Duda 11 17,70

    Janda 7 11,30

    Dispepsia

    Fungsional

    27

    43,50

    Organik 35 56,50

    Depresi

    Tidak Depresi 54 87,10

    Depresi 8 12,90

    Cemas

    Tidak Cemas

    49

    79,00

    Cemas 13 21,00

    Stres

    Tidak Stres 55 88,70

    Stres 7 11,30

    Data umur ditampilkan dalam rerata ± SD

    Berdasarkan Tabel 5.1. dapat dilihat bahwa karakteristik umur didapatkan rerata

    51,31 ± 14,830. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi laki-laki lebih tinggi yaitu

    sebesar 56,50%, sedangkan proporsi perempuan sebesar 43,50%. Berdasarkan

    karakteristik pekerjaan yang tercatat, proporsi tertinggi adalah tidak bekerja

    sebesar 61,30%, dan terendah bekerja sebesar 38,70%. Proporsi tertinggi

  • 59

    berdasarkan tingkat pendidikan adalah SMA sebesar 48,40%, dan terendah adalah

    SMP sebesar 6,50%. Berdasarkan status pernikahan yang tercatat, proporsi

    tertinggi adalah menikah sebesar 51,60% dan terendah adalah janda sebesar

    11,30%. Sedangkan responden yang mengalami depresi didapatkan pada 12 orang

    (12,90%), kecemasan didapatkan pada 13 orang (21,00%) dan stres didapatkan

    pada 7 orang (11,30%).

    Dari 62 responden yang menjadi sampel penelitian, 27 orang (43,50%)

    termasuk dalam kategori dispepsia fungsional dan sisanya sejumlah 35 orang

    (56,50%) dispepsia organik. Data variabel umur akan diuji normalitas data dengan

    uji Kolmogorov-Smirnov. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p >

    0,05 dan tidak apabila nilai p < 0,05. Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua

    rerata umur tersebut dengan menggunakan uji t tidak berpasangan bila data

    berdistribusi normal. Bila distribusi data tidak normal maka kedua rerata umur

    dilakukan analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Uji beda karakteristik

    subjek pada kelompok dispepsia fungsional dan dispepsia organik dapat dilihat

    pada Tabel 5.2.

  • 51

    Tabel 5.2 Uji beda karakteristik subjek pada kelompok dispepsia fungsional dan

    dispepsia organik

    Variabel

    Dispepsia Fungsional

    N (%)

    Total = 27

    Dispepsia Organik

    N (%)

    Total = 35

    Nilai p

    Umur 48,29 ± 14,525 53,66 ± 14,838 0,134**

    Jenis kelamin

    Pekerjaan

    0,094***

    Bekerja 14(51,90%) 10 (28,60%) 0,062***

    Tidak bekerja 13 (48,10%) 25(71,40%) Pendidikan

    Tidak sekolah 3 (11,10%) 5 (14,30%) SD 3 (11,10%) 11 (31,40%)

    SMP 3 (11,10%) 1 (2,90%) 0,121*

    SMA 14 (51,90%) 16 (45,70%) Diploma/Sarjana 4 (14,80%) 2 (5,70%)

    Pernikahan

    **

    **

    **

    Data umur ditampilkan dalam rerata ± SD * Uji Mann-Whitney

    ** Independent sampel test

    *** Uji Pearson Chi-Square

    **** Uji Fisher’s exact

    Pada kelompok dispepsia fungsional kami dapatkan umur dengan rerata

    48,29 ± 14,525, dan rerata umur untuk kelompok dispepsia organik adalah 53,66

    ± 14,838. Kedua data tersebut didapatkan berdistribusi normal dengan nilai p

    adalah 0,200 (p ˃ 0,05), dan homogen pada levene test dengan nilai p adalah 0,69

    Laki-laki 12 (44,40%) 23 (65,70%) Perempuan 15 (55,60%) 12 (34,30%)

    Tidak Menikah 8 (29,60%) 4 (11,40%) Menikah 14 (51,90%) 18 (51,40%) 0,059*

    Duda 2 (7,40%) 9 (25,70%)

    Janda 3 (11,10%) 4 (11,40%) Depresi

    Tidak Ada 26 (96,30%) 28(80,00%) 0,123**

    Ada Kecemasan

    1 (3,70%) 7 (20,00%)

    Tidak Ada 15 (55,60%) 34(97,10%) 0,000**

    Ada 12 (44,40%) 1 (2,90%)

    Stres

    Tidak Ada 25 (92,60%) 30 (85,70%) 0,455**

    Ada 2 (7,40%) 5 (14,30%)

  • 52

    ( p ˃ 0,05). Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua rerata umur tersebut

    menggunakan uji t tidak berpasangan. Uji beda kedua rerata umur tersebut

    didapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai p adalah 0,134 ( -5,9

    ± SE 3,906; CI 95%: -13,754 sampai 1,872; t = -1,521; p = 0,134). Pada variabel

    jenis kelamin, dan pekerjaan yang merupakan variabel katagorikal, uji beda

    menggunakan pearson chi-square test. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada

    perbedaan bermakna pada variabel jenis kelamin dan pekerjaan (nilai p > 0,05).

    Pada variabel pendidikan dan variabel pernikahan, uji beda menggunakan uji

    Mann-Whitney. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada perbedaan bermakna

    pada variabel pendidikan, dan variabel pernikahan (nilai p > 0,05). Pada variabel

    depresi, kecemasan, dan stress yang merupakan variabel katagorikal uji beda tidak

    dapat menggunakan pearson chi-square test karena terdapat sel yang bernilai

    kurang dari 5 sehingga digunakan uji alternatif fisher’s exact test, pada uji beda

    tersebut didapatkan perbedaan bermakna pada variabel kecemasan (nilai p <

    0,05).

    Secara statistik didapatkan bahwa variabel kecemasan pada kedua

    kelompok ada perbedaan secara signifikan (p ˂ 0,05). Sedangkan variabel umur,

    jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pernikahan, depresi, dan stres pada kedua

    kelompok secara statistik tidak didapatkan perbedaan secara signifikan (p ˃ 0,05).

    5.2 Uji Hipotesis

    Permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah apakah ada

    pengaruh antara masing-masing variabel pada Big Five personality traits dengan

    dispepsia fungsional Peneliti ingin menguji lima hipotesis tentang pengaruh

  • 53

    kelima variabel pada Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional.

    Sebagai langkah awal dilakukan analisis bivariat masing-masing variabel pada Big

    Five personality traits (Openess, Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness

    dan Neuroticism) sebagai variabel bebas dengan dispepsia fungsional sebagai

    variabel tergantung. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.3.

    Tabel 5.3 Analisis Bivariat Pengaruh Antara Big Five Personality Traits Sebagai

    Variabel Bebas dan Dispepsia fungsional Sebagai Variabel Tergantung

    Variabel Big Five

    personality traits B

    Unadjusted

    Odd Ratio

    CI 95%

    Low

    OR

    High p Value

    Neuroticism 0,576 0,562 0,416 0,760 0,000 Extraversion 0,290 1,337 1,108 1,612 0,002

    Openness -0,182 1,200 1,025 1,404 0,023

    Agreeableness 0,267 1,306 1,135 1,504 0,000

    Conscientiousness -0,743 0,476 0,323 0,701 0,000

    Sesuai kesepakatan, variabel personality traits pada analisis bivariat yang

    akan dimasukkan kembali pada analisis multivariat menggunakan regresi logistik

    apabila memiliki nilai p < 0,25. Sehingga ada lima variabel personality traits yang

    bisa dimasukkan ke dalam analisis multivariat, yaitu Openess, Concienstiousness,

    Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism. Dari hasil analisis bivariat, dapat

    dikatakan bahwa dispepsia fungsional berpengaruh dengan Openess,

    Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism.

    Dari analisis multivariat antara personality traits sebagai variabel bebas

    dengan dispepsia fungsional sebagai variabel tergantung setelah dikontrol dengan

    variabel kecemasan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.4.

  • 54

    Tabel 5.4 Analisis Multivariat Pengaruh Antara Big Five Personality Traits sebagai Variabel Bebas dengan Dispepsia Fungsional sebagai Variabel

    Tergantung setelah dikontrol dengan variabel kecemasan

    Big Five

    Personality Traits B

    Adjusted

    OR CI 95%

    Low

    OR

    High p value

    Neuroticism 0,515 0,598 0,396 0,901 0,014 Extraversion -0,144 0,866 0,395 1,898 0,719

    Openness -0,347 1,415 0,741 2,700 0,293

    Agreeableness -0,090 0,914 0,580 1,441 0,699

    Conscientiousness -0,435 0,647 0,404 1,035 0,070

    Anxiety_nominal 0,313 1,367 0,025 75,859 0,879

    Pada tabel di atas dapat kita lihat ada satu trait yang memiliki nilai p <

    0,05 dan nilai CI 95% yang tidak bersinggungan dengan nilai satu yaitu

    Neuroticism (p=0,014; CI 95% 0,396-0,901). Neuroticism menunjukkan Adjusted

    OR sebesar 0,598 dan nilai B yang positif yang berarti setiap kenaikan 1 unit

    skala Neuroticism akan meningkatkan kemungkinan terjadinya dispepsia

    fungsional sebesar 0,515 kali. Dengan kata lain setiap kenaikan 10 unit skala

    Neuroticism akan meningkatkan risiko terjadinya dispepsia fungsional sebesar

    5,15 kali. Dengan demikian hipotesis pertama yaitu Neuroticism memiliki

    pengaruh terhadap dispepsia fungsional terbukti.

    Sedangkan untuk openness walaupun memiliki nilai OR > 1 namun secara

    statistik tidak signifikan (nilai p > 0,05). Begitu pula untuk extraversion,

    agreeableness, dan conscientiousness secara statistik tidak signifikan (p > 0,05).

    Ini berarti extraversion, openness, agreeableness dan conscientiousness tidak

    berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya dispepsia fungsional. Dengan

    demikian hipotesis kedua yang menyatakan adanya pengaruh extraversion dengan

    dispepsia fungsional tidak terbukti. Hipotesis ketiga yang menyatakan adanya

    pengaruh openness dengan dispepsia fungsional tidak terbukti. Hipotesis keempat

  • 55

    yang menyatakan adanya pengaruh agreeableness dengan dispepsia fungsional

    tidak terbukti. Hipotesis kelima yang menyatakan adanya pengaruh

    conscientiousness dengan dispepsia fungsional juga tidak terbukti.

  • 56

    BAB VI

    PEMBAHASAN

    6.1 Pembahasan Karakteristik Dasar

    Data deskriptif pada penelitian ini dapat digambarkan dari data yang

    diperoleh diantaranya yaitu: 62 orang sampel yang dipilih secara simple random

    sampling ditemukan perbedaan angka prevalensi antara dispepsia fungsional

    dengan dispepsia organik pada pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam

    RSUP Sanglah Denpasar yaitu sebesar 43,50% pada dispepsia fungsional dan

    56,50% pada dispepsia organik. Angka ini serupa dengan data penelitian yang

    dilakukan oleh Kumar dkk, yang menemukan perbedaan prevalensi dispepsia

    fungsional dengan dispepsia organik di Mumbai India sebesar 34,2% dan 65,80%

    (Kumar dkk, 2012), bahkan penelitian yang dilakukan oleh Nwokediuko dkk, di

    Nigeria menemukan angka prevalensi dispepsia fungsional lebih tinggi

    dibandingkan dengan dispepsia organik yaitu sebesar 64,90% (Nwokediuko dkk,

    2012). Meningkatkan angka prevalensi dispepsia fungsional pada beberapa

    penelitian mungkin berkaitan dengan stresor psikososial. Seperti penelitian yang

    dilakukan oleh Cheng dkk, didapatkan derajat stresor psikososial berhubungan

    bermakna pada penderita dispepsia fungsional. Semakin banyak stresor

    psikososial yang dialami, semakin tinggi sindrom dispepsia yang menyertai

    penderita dispepsia fungsional. Adapun stresor psikososial pada dispepsia

    fungsional terbanyak ditemukan berturut – turut adalah masalah pekerjaan (47,5

  • 57

    %), masalah hubungan suami/istri (22,5 %), masalah anak (17,5 %) dan masalah

    hubungan antar manusia (12,5 %) (Cheng dkk, 2005).

    Dilihat dari proporsi umur dengan menggunakan rerata ± SD, didapatkan

    pada dispepsia fungsional yaitu: 48,29 ± 14,525, dan 53,66 ± 14,838 pada

    dispepsia organik. Angka yang diperoleh ini mirip dengan penelitian yang

    dilakukan oleh Mahadeva & Lee di Mumbai India, didapatkan angka prevalensi

    menurut umur pada dispepsia fungsional maupun organik ˃ 40 tahun,

    kemungkinan hal ini disebabkan oleh pengaruh faktor ketahanan tubuh itu sendiri,

    bertambahnya umur seseorang maka semakin rentan terhadap kejadian penyakit

    (Mahadeva & Lee, 2006).

    Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, pada dispepsia fungsional jenis

    kelamin perempuan mempunyai prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis

    kelamin laki-laki yaitu sebesar 55,60%, berbanding terbalik dengan dispepsia

    organik dimana prevalensi jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan

    dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 71,40%. Angka ini mirip dengan

    angka yang diperoleh oleh Widya dkk, dimana perbandingan jenis kelamin

    perempuan : laki-laki pada dispepsia fungsional adalah 2 : 1, sedangkan pada

    dispepsia organik perbandingan jenis kelamin perempuan : laki-laki adalah 1 : 2

    (Widya dkk, 2015) atau data yang diperoleh pada tahun 2009 pada pemeriksaan

    endoskopi yang dilakukan di bagian Endoskopi RS Wahidin Sudiro Husodo,

    ditemukan dispepsia organik lebih banyak pada laki-laki sedangkan dispepsia

    fungsional lebih banyak pada wanita (Tenri dkk, 2011). Tingginya prevalensi

    dispepsia fungsional pada perempuan, hal ini karena pada perempuan lebih rentan

  • 58

    untuk mengalami stres, pola makan sering tidak teratur dan pada wanita sering

    menjalankan program diit yang salah, menggunakan obat-obat pelangsing yang

    justru membuat produksi asam lambung terganggu. Diit ketat dengan hanya

    mengonsumsi buah-buahan atau sayuran, akan menimbulkan gangguan

    pencernaan, atau pada perempuan yang mengalami kehamilan trimester pertama,

    sering mengalami gejala yang mirip dispepsia (Widya dkk, 2015), atau penelitian

    yang dilakukan oleh Farejo dkk, mengatakan bahwa perempuan memiliki

    ekspektasi yang berbeda terhadap perasaan tidak nyaman ketika mengalami gejala

    seperti perut kembung atau nyeri perut, hal ini karena penyakit ini dianggap

    subjek sensitif dan kondisi memalukan yang mungkin lebih sulit bagi perempuan

    untuk mengatasi daripada laki-laki, sehingga perempuan lebih sering datang

    kontrol ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan keluhannya ini ( Farejo dkk,

    2007). Sedangkan angka prevalensi dispepsia organik lebih tinggi didapatkan

    pada laki-laki, hal ini berkaitan dengan pola hidup yang cenderung tidak sehat

    dibandingkan dengan perempuan seperti misalnya: kebiasaan merokok, konsumsi

    kafein (kopi), alkohol, atau minuman yang sudah dikarbonasi (softdrink),

    makanan yang menghasilkan gas (tape, nangka, durian), atau konsumsi obat-obat

    tertentu (Nwokediuko dkk, 2012).

    Berdasarkan proporsi tertinggi jenis pekerjaan didapatkan 51,90% adalah

    bekerja pada kelompok dispepsia fungsional dan sebesar 71,40% tidak bekerja

    pada kelompok dispepsia organik. Angka ini mirip dengan penelitian yang

    dilakukan oleh Cheng dkk, bahwa dispepsia fungsional lebih banyak ditemukan

    pada orang yang bekerja di kantoran. Dalam penelitian tersebut disimpulkan

  • 59

    semakin tinggi beban kerja, lama jam kerja, dan posisi jabatan yang semakin

    tinggi maka kejadian untuk menderita dispepsia fungsional akan semakin tinggi

    (Cheng dkk, 2011). Sedangkan pada dispepsia organik lebih banyak tidak bekerja,

    ini sesuai dengan penelitian Tenri dkk, yang mengatakan pada dispepsia organik

    lebih banyak berhubungan dengan faktor usia, penyakit yang bersifat kronis atau

    berulang dan faktor ketahanan tubuh yang semakin menurun dengan

    bertambahnya usia (Tenri dkk, 2011).

    Dilihat dari proporsi kecemasan yang dialami oleh kedua kelompok p