Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau
ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara
spesifik meliputi rasa cepat kenyang, rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut
bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat umum dan merupakan 30% sampai
40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan kepada dokter ahli
Gastroenterologi (O’Mahony dkk, 2006 ). Gejala–gejala yang timbul disebabkan
berbagai faktor seperti gaya hidup merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres,
kecemasan, dan depresi yang relevan dengan terjadinya dispepsia (Abdullah &
Gunawan, 2012).
Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia
dibagi 2 yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik
apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum,
karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah
melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun
gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional
apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada
pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya
kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Djojoningrat, 2006).
1
2
Interaksi faktor psikis dan emosi seperti kecemasan atau depresi dapat
mempengaruhi fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain – gut – axis.
Adanya stimulasi atau stresor psikis menimbulkan gangguan keseimbangan saraf
otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian (vegetatif imbalance).
Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem imun ( psiko–
neuro-imun-endokrin ), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH dari hipotalamus
dan menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH hipofisis. Akibatnya hipofisis
tidak berespons lagi atau responnya terhadap stresor menjadi datar.
Ketidakseimbangan jalur-jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung,
terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, yaitu :
mempengaruhi sekresi asam lambung, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan
ambang rasa nyeri (Andre dkk, 2013 ).
Suatu studi dilakukan kepada 38 pasien dengan dispepsia fungsional,
diperoleh sebanyak 26 orang (68%) mengalami kejadian hidup yang tidak
diinginkan, 35 orang (92%) mengalami kecemasan, dan sebanyak 38 orang
(100%) mengalami depresi. Secara statistik peristiwa hidup yang tidak diinginkan
dan depresi tidak berhubungan dengan dispepsia fungsional. Namun kasus
kecemasan secara statistik berhubungan dengan dispepsia fungsional (Tack dkk,
2006 ).
Prevalensi dispepsia di seluruh dunia cenderung mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Populasi orang dewasa di negara barat yang dipengaruhi
oleh dispepsia berkisar antara 14-38%. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia
2007, dispepsia rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien
3
34.029 atau sekitar sudah menempati peringkat ke-10 untuk kategori penyakit
terbanyak pasien 1,59%. Sedangkan insiden kasus dispepsia kategori non-ulcer
(dispepsia fungsional ) di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2011 sebanyak
231 orang (Widya dkk, 2015).
Dalam penelitian tertutup yang dilakukan di RSCM disebutkan dari 100
pasien dengan keluhan dispepsia, 80 % mengalami keluhan dispepsia fungsional
(Ambarwati, 2005). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar kunjungan pasien
rawat jalan yang mengalami keluhan dispepsia terjadi peningkatan yang signifikan
dari tahun ke tahun hal ini disebabkan RSUP Sanglah merupakan rumah sakit
negeri kelas A, mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan
subspesialis, sebagai pusat rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai rumah sakit
pusat untuk seluruh wilayah kabupaten di Bali, termasuk Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur, serta melayani rujukan bagi peserta BPJS Mandiri dan
BPJS Non Mandiri (RSUP Sanglah, 2013).
Dispepsia fungsional merupakan penyakit psikosomatis yang erat
hubungannya dengan kepribadian seseorang dalam merespon penyakit (Andre
dkk, 2013). Suatu studi penelitian oleh Widyasari (2011), tentang hubungan antara
kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan dispepsia fungsional
menemukan bahwa ada hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert
dengan dispepsia fungsional. Kepribadian dalam penelitian ini dilihat berdasarkan
the big five personality yang dikembangkan oleh McCrae. Big five personality
meliputi extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticsm serta
openness to experience (Pervin dkk, 2005).
4
Penelitian tentang pengaruh big five personality dengan dispepsia
fungsional belum banyak dijelaskan. Penelitian Grantika (2015), menyebutkan
extraversion memiliki pengaruh terhadap nyeri kepala primer sedangkan
neuroticism, openness, agreeableness dan conscientiousness tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap terjadinya nyeri kepala primer, dan traits ini berperan
sebagai prediktor penyakit psikosomatis.
Data 2014, menunjukan peningkatan pasien rawat jalan yang datang
berobat ke poliklinik Penyakit Dalam Rumah Umum Sakit Umum Pusat Sanglah
khususnya bagian Gastroenterohepatologi selama periode Januari sampai
Desember tahun 2014 yaitu sebesar 647 pasien, dimana 370 pasien yang datang
dengan keluhan dispepsia, dan sebanyak 39,21 % yaitu 120 pasien didiagnosis
dengan dispepsia fungsional setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, sehingga
dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian untuk
mengetahui pengaruh Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional
terutama pada pasien rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah
Denpasar.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut “apakah ada pengaruh Neuroticism trait, Extraversion trait,
Openness trait, Agreeableness trait, dan Conscientiousness trait dengan dispepsia
fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar?
5
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh Big Five Personality Traits dengan dispepsia
fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh Neuroticism trait dengan dispepsia
fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah
Denpasar.
b. Untuk mengetahui pengaruh Extraversion trait dengan dispepsia
fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah
Denpasar.
c. Untuk mengetahui pengaruh Openness to Experience trait dengan
dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di
RSUP Sanglah Denpasar.
d. Untuk mengetahui pengaruh Agreeableness trait dengan dispepsia
fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah
Denpasar.
e. Untuk mengetahui pengaruh Conscientiousness trait dengan dispepsia
fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah
Denpasar.
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Akademik
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
6
a. Menambah pengetahuan dalam upaya penatalaksanaan pasien dengan
dispepsia fungsional
b. Mendapatkan informasi tentang pengaruh Big Five personality traits pada
pasien dispepsia fungsional
c. Menambah literatur mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
dispepsia fungsional
1.4.2. Manfaat Klinis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang aktual tentang
pengaruh big five personality dengan dispepsia fungsional sehingga keluhan atau
gejala yang muncul serta penatalaksanaannya melibatkan berbagai disiplin
khususnya Ilmu Penyakit Dalam, dan Ilmu Kesehatan Jiwa atau yang lebih
dikenal dengan CLP (Consultation-Liaison Psychiatry ) yang akan menjembatani
ilmu kedokteran medik dengan aspek biopsikososiobudaya dan spiritual dengan
tujuan akhir terapi yaitu memulihkan kualitas hidup pasien.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Dispepsia
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein
(digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion
yang berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia
didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri
atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman
dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau
cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal)
(Talley & Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu
kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi
dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi
satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui
pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo,
2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat
kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri
yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien,
serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang
gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta
secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).
7
8
Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2
klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome.
Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah”
setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait
dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.
Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III
Dispepsia Fungsional
Postprandial Distres Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan
porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan
atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu
9
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut
bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung
empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah
retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin
timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
(Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)
2.2. Epidemiologi
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik
pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab
yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan
presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75%
tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%-
40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan.
Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan
peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall dkk, 2014).
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia
dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria
Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan
10
peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi
3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional
dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke
sarana layanan kesehatan primer (Lee dkk, 2014).
Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya
menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional
daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di
Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum
perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia
pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan
perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1
(Kumar dkk, 2012).
Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan
meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada
umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun,
22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada
umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur
kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun.
Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak
mempengaruhi prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit
di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien
yang masuk ke Bagian Gastroenterology-hepatology (Cahyanto dkk, 2014).
11
2.3. Patofisiologi Dispepsia Fungsional
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme
patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,
ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan
perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf
otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan
Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan
defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus
lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori
dibawah ini (Yehuda, 2010) :
2.3.1. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai
saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli
Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan
insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli
berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan
kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
12
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot
sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin
cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih
lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut,
dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
2.3.2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien
dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas
antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang
“kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal
seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila
terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung
menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik
sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa
sebagai predictor ulkus peptikum.
2.3.3. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap
distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi
lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat
menginduksi nyeri pada bagian ini.
13
2.3.4. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang
dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada
gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada
hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia
yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin
beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti
kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap
peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang
meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).
2.3.5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur
endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada
keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan
dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran
hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam
lambung (Gene, 2012).
2.3.6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks
serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf
otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem
saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan
pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang
14
mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi
oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem
saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung
yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin,
gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi
difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat
saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps
yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan
mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan
parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi
menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ
lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua
neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ
lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas,
sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).
2.3.7. Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan
menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron
bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem
endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau
15
kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary
axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor
psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan
pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan
neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T,
dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres
dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya
akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung
dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini
berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa
ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012).
2.4. Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional
Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa
kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik,
kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang
memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional
terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome,
dan b) epigastric pain syndrome (Drug & Stanciu, 2007).
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung
pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau
berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial
16
distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome)
(Abdullah & Gunawan, 2012).
Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli
daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk
perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa
kecemasan berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak
berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa
genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan
dengan postprandial distres syndrome (Abdullah & Gunawan, 2012).
2.5. Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila
ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak
ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia
fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by
exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak
ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah &
Gunawan, 2012). Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia
fungsional seperti table 2.2 berikut:
17
Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional
Dispepsia Fungsional
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
Rasa cepat kenyang.
Nyeri epigastrium.
Rasa terbakar di epigastrium.
dan
Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran
cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan
sebelum diagnosis.
(Diterjemahkan dari Chang, 2006).
2.6. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional
Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit
untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa
masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia
bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen
penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan adanya
gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan.
Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus
memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya
mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien
dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran
terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya (Loyd &
McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat
18
subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan
menjembatani Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau
sebaliknya. CLP bertujuan memberikan pelayanan yang holistik, tidak hanya
kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan mental serta
kualitas hidup pasien (Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan gangguan
dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar,
yaitu : somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioterapi.
Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan
untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial-
Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan penatalaksanaan
tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif (Loyd & McClelan,
2011).
2.6.1 Consultation Liaison Psychiatry (CLP)
Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari
psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama
antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater
berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu :
Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan komorbiditas psikologik,
psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang mengalami keluhan dispepsia.
Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III)
dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus
mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal
interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Loyd & McClelan, 2011).
19
CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional (Loyd
& McClelan, 2011). :
Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini
menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk
dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.
Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu
kelainan structural.
Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien
dispepsia.melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan
keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan
terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan
dari pasien dispepsia
Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi
yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP
harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah
pemutusan hubungan dilakukan.
Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga.
Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat
mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga.
Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison
dapat menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan
kesehatan mutakhir
20
2.6.2. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan
gangguan dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan
disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi
yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2
receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or
mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat
psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer.
Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan
struktural, tetapi pemberian farmakologi masih termasuk didalam penanganan
gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih dikenal dengan nama
Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011).
2.6.3. Penanganan Secara Psikoterapi
Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada
beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan
bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan
pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien
untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang
gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat
dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat.
Bantu pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat
yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan
dan ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi
21
cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional.
Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah
episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide-
ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik
relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004).
2.6.4. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian
dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan
melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti
pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic
community (Soo dkk, 2004).
2.7. Kepribadian
Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah
topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal,
yang digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun
seiring berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan
mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi
perilakunya (Feist & Feist, 2009).
Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat sifat-sifat
psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif
menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk
beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait
digambarkan sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan dimana setiap
22
orang berbeda dengan yang lain (Larsen & Buss, 2002) Penelitian lainnya,
mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari cara seseorang untuk
bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.
2.7.1. Big Five Personality
Big Five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam
psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam
lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis
faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion,
agreeableness, openness dan conscientiousnes (Friedman & Schustack, 2008).
Big Five merupakan model dari struktur trait kepribadian. Trait
kepribadian didefinisikan sebagai dimensi dari perbedaan individual yang
cenderung menunjukkan pola pikiran, perasaan, dan perbuatan yang konsisten.
Ketika mendeskripsikan individu dengan trait yang baik ini berarti bahwa
individu tersebut cenderung berbuat baik setiap waktu dan pada setiap situasi.
Definisi yang luas ini menyatakan bahwa traits dapat dibagi menjadi tiga fungsi
utama: traits dapat digunakan untuk meringkas, memprediksi dan menjelaskan
tingkah laku seseorang, sehingga salah satu alasan terkenalnya konsep traits
adalah bahwa traits menyediakan jalan yang ekonomis untuk meringkas
bagaimana seseorang dapat berbeda dengan yang lainnya. Traits
memperkenankan seseorang untuk membuat prediksi mengenai perilaku
seseorang selanjutnya (Feist & Feist, 2009).
23
2.7.2. Dimensi Big Five Personality
Dimensi-dimensi Big Five personality menurut Costa & McCrae adalah
sebagai berikut (Feist & Feist, 2009) :
a. Neuroticism (N)
Individu dengan skor tinggi pada dimensi neuroticism, memiliki
kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri
sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stres. Seseorang yang
memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap
hidup jika dibandingkan dengan yang memiliki tingkat neuroticism tinggi,
sedangkan individu dengan skor yang rendah pada N, biasanya tenang,
bertemperamental datar, puas akan diri sendiri, dan tidak emosional.
b. Extraversion (E)
Extraversion juga sering disebut dengan surgency. Individu dengan skor
tinggi pada dimensi extraversion (E) cenderung penuh dengan kasih sayang,
periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain itu,
individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan
lebih banyak orang jika dibandingkan dengan individu yang memiliki skor E
rendah. Dimensi extraversion dicirikan dengan kecenderungan yang positif seperti
memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal,
mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain.
Extraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin
hubungan dengan sesama serta dominan dalam lingkungannya. Sebaliknya,
24
individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai berdiam diri, tenang,
pasif, dan kurang mampu mengungkapkan perasaannya.
c. Openness (O)
Dimensi openness membedakan antara individu yang memilih variasi
dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang
mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orang-
orang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan
pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada dimensi (O).
Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan
penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki
ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan
mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas.
Individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang
berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.
d. Agreeableness (A)
Dimensi agreeableness membedakan antara individu yang berhati lembut
dengan yang tidak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih
mengarah pada dimensi ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan
yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Dimensi A ini
juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang
yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik.
Sedangkan pada individu dengan tingkat agreeableness yang rendah, suka
25
mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif
dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif.
e. Conscientiousness (C)
Conscientiouness digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol,
teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian, dan disiplin diri. Dimensi
conscientiouness ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan
will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini
adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu
yang berskor rendah dalam dimensi ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan
tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam
tugas-tugasnya.
Tabel 2.3. Dimensi Big Five Personality(Pervin dkk, 2005).
Skor Tinggi Skala Dimensi Skor Rendah
Mudah khawatir, gugup,
emosional, merasa tidak
aman, tidak mampu, mudah
panik
Neuroticism Tenang, rileks, tidak
emosional,
memiliki daya tahan
terhadap stres, merasa aman,
puas atas diri sendiri
Suka bergaul, aktif, banyak
bicara, orientasi pada orang
lain, optimis, terbuka
terhadap perasaannya,
penuh kasih sayang
Extraversion Suka menyendiri, sederhana,
tidak berlebihan dalam
kesenangan, menjauhkan
diri, orientasi pada tugas,
pemalu, serius
Memiliki rasa ingin tahu
yang besar, minat yang
Openness Sederhana, minat yang
menetap, tidak artistik, tidak
26
luas, kreatif dan modern analitis, rendah hati dan
menjaga tradisi
Bersifat lembut, baik hati,
mudah percaya, penolong,
pemaaf, penurut, jujur
Agreeableness Suka mengejek, tidak sopan,
curiga, kasar, tidak
kooperatif, pendendam,
cepat marah, suka
memerintah dan manipulatif
Orang yang suka mengatur,
dapat diandalkan, pekerja
keras, disiplin, rapi,
ambisius dan tekun
Conscientiousness Tidak memiliki tujuan, tidak
bisa diandalkan, lalai,
pemalas, tidak perhatian,
ceroboh, memiliki kemauan
yang lemah
2.7.3. Pengukuran Big Five Personality
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur Big Five personality,
diantaranya NEO-PI-R, CPI, 16-PF, Big Five Factor Maker dan lain-lain
(Mastuti, 2005). Sedangkan menurut Pervin dkk, 2005 terdapat dua instrumen
untuk mengukur Big Five personality, yaitu:
a. NEO-PI-R yang di kembangkan oleh Costa dan McCrae (1992).
b. International Personality Item Pool NEO (IPIP-NEO) yang dibuat oleh Lewis
Goldberg pada tahun 1992. Skala ini dibuat berdasarkan teori Big Five yang
digunakan oleh Costa dan McCrae dalam membuat NEO PI-R. Skala ini
terdiri dari 50 transparent bipolar adjective dan 100 unipolar adjective
markers.
27
2.8. Big Five Personality dan Dispepsia Fungsional
Faktor emosi, memori, dan self esteem merupakan komponen yang
membentuk kepribadian manusia (Martens dkk, 2008). Kepribadian merupakan
pola kompleks perilaku yang dihasilkan dari interaksi antara ciri kepribadian
dengan neurobehaviour (Lenzenweger & Clarkin, 2005). S. Freud pada teori
psikoanalitik klasik berhasil mengembangkan teori kepribadian yang membagi
struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar),
preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Dari
ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling
penting dalam menentukan perilaku manusia Di dalam unsconscious tersimpan
ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness
berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau
ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari
mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas
(Koenigsberg dkk, 2009). Konflik yang terjadi pada masa awal-awal kehidupan,
terutama pada usia 0 sampai 6 tahun yaitu pada fase oral, anal, dan phalik, sangat
berperan terbentuknya kepribadian seseorang setelah dewasa. Semua konflik-
konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau tersimpan ke alam
bawah sadar atau unconscious. Saat dewasa, energi negatif yang tersimpan di
alam bawah sadar pada awal kehidupan (fase oral, anal dan phalik) akan muncul
dalam bentuk suatu demensi kepribadian tertentu atau personality traits
misalnya terfiksasi fase oral akan bisa membentuk suatu kepribadian skizoid atau
paranoid, bila terfiksasi di fase anal atau phalik akan membentuk kepribadian
28
histrionik, dependen atau cemas menghindar. Khususnya pada kepribadian
histrionik dan cemas menghindar konflik-konflik yang tersimpan di alam bawah
sadar akan dimunculkan ke alam sadar dalam bentuk gejala-gejala konversi
sebagai bentuk mekanisme pembelaan diri. Gejala-gejala konversi bila
berlangsung berulang kali akan muncul keluhan-keluhan fisik dalam wujud
Somatisasi, salah satunya dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009; Kaplan dkk,
2010). Teori Psikoanalisis dari S. Freud lainnya mengembangkan suatu konsep
struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling
mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip
kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari
id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan
atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti
nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan
menyadarkan individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai,
superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu
menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini
tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan
(anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi
defensif atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang
jenisnya bisa bermacam-macam, salah satunya: konversi, represi yang bila
berlangsung lama, akan muncul keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah
mengenai organ lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia (Kaplan
dkk,2010;Krueger& Tackett, 2006).
29
Memori merupakan inti dari kepribadian. Memori individu didapat dari
kognitif atau dari trauma yang dialami saat masa perkembangan. Kepribadian
dipengaruhi oleh derajat trauma, tahap perkembangan saat terjadi trauma,
keluarga meliputi dinamika interpersonal, genetik, dan neurobiologi (Magnavita,
2004). Kepribadian juga ditentukan oleh mekanisme koping yang dilakukan
individu tersebut akibat suatu stresor. Stresor atau stimulus asing yang
berlangsung lama akan menyebabkan respon neurobiologi sebagai berikut: 1)
adanya perasaan negatif dari kecemasan karena merasa tidak aman dan tidak
yakin, 2) peningkatan gejala otonomik untuk cadangan energi dalam potensial
aksi sel, 3) selektif dalam perhatian untuk memaksimalkan input sensorik pada
lokasi tertentu, 4) peran kognitif untuk menerapkan strategi tertentu. Daerah
hipotalamus dan amigdala terangsang dan terjadi peningkatan CRH sebagai
respon terhadap stimulus yang ada. Jalur CRH di sistem peripheral yang berlokasi
di nukleus paraventrikular dari hipotalamus akan teraktivasi dan menyebabkan
pengeluaran kortisol dari kelenjar adrenal. Kortisol akan masuk ke pembuluh
darah dan meningkatkan glukoneogenesis dan jika kadarnya berlebihan akan
mempengaruhi keseimbangan neurotransmiter yang mengatur emosi, memori, dan
kemauan. Amigdala sentral dan amigdala basolateral mengaktifkan neuron CRH
di lateral hipotalamus. CRH di lateral hipotalamus akan memodulasi kerja dari
sistem saraf otonomik. Proyeksi neuron ke intermediolateral cell coloumn ke
spinal cord akan mengaktifkan sistem otonom simpatik preganglion. Jalur CRH
juga mengaktifkan Locus coeruleus sehingga norepinephrine dikeluarkan ke
30
reseptor beta adrenergik yang menciptakan emosi yang tidak spesifik
(Lenzenweger & Clarkin, 2005).
Neurotransmiter yang juga terpengaruh adalah dopamin. Peningkatan
aktivasi amigdala menyebabkan kadar metabolit dopamin di CSF rendah, ikatan
dopamin transporter juga rendah, dan jumlah reseptor D2 berkurang sehingga
menyebabkan perubahan perilaku yang terjadi dan jika berlangsung lama maka
perilaku tersebut bisa menetap dan membentuk kepribadian individu tersebut
(Oldham dd, 2009). Genetik berhubungan erat dengan terbentuknya struktur
kepribadian. Genetik berhubungan erat dengan extravertion dan neuroticism,
sedangkan pengaruh genetik pada concientiousness, agreeableness, dan openness
masih diragukan. Extraversion dan neuroticism berhubungan dengan proses
psikologi seperti perhatian, persepsi, memori, dan emosi. Neuroticism berkaitan
dengan peningkatan aktivasi amigdala dan subgenual Anterior Cingulate Cortex
pada saat menghadapi konflik emosional (John dkk, 2008). Aktivasi saraf simpatis
akan menyebabkan berbagai respon tubuh salah satunya di lambung. Kadar
kortisol yang tinggi dalam darah juga akan menyebabkan seseorang menjadi
rentan terhadap stimulus dan stresor dari luar dirinya. Gangguan lambung yang
bersifat fungsional merupakan manifestasi dari sensitivitas menyeluruh terhadap
adanya rangsangan yang baru atau stimulus yang dianggap bersifat ancaman.
Gangguan lambung fungsional yang paling sering terjadi adalah dispepsia
fungsional ( Ammerman, 2006).
31
BAB III
KERANGKA BERFIKIR, KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berfikir
Gangguan dispepsia fungsional dan dispepsia organik merupakan bagian
dari gangguan gastrointestinal dan memiliki karakteristik umum yang ditandai
oleh adanya gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural melalui
pemeriksaan klinik, laboratorium dan pemeriksaan endoskopi. Patogenesis
dispepsia meliputi beberapa mekanisme yang mungkin, antara lain: Infeksi
Helicobacter pylori (H. pylori), ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori
visceral, perubahan sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, sistem
imun dan faktor psikososial. Faktor lain yang juga berpengaruh timbulnya
dispepsia fungsional antara lain: depresi, kecemasan, stress, jenis kelamin, umur,
pendidikan, pekerjaan. Kaitan antara kepribadian seseorang dengan dispepsia
merupakan suatu mekanisme yang kompleks antara faktor organobiologi dengan
faktor psikososial. Kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan
mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi
perilakunya. Kepribadian mempengaruhi kognitif, emosi dan motivasi seseorang
dalam menghayati health awareness. Big five Personality traits model dapat
digunakan sebagai teori kepribadian yang dikaitkan dengan penyakit dispepsia
fungsional. Big five Personality traits model merupakan dimensi kepribadian ke
dalam lima dimensi yaitu Neuroticism (N) Extraversion (E), Openness to
Experience (O), Agreeableness (A) dan Conscientiousness (C). Model personality
31
32
traits yang dikembangkan secara leksikal ini dikenal dengan Big Five model.
Berdasarkan teori Psikoanalisis dari S. Freud mengembangkan suatu konsep
struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Struktur kepribadian ego yang
paling memegang peranan penting terhadap terbentuknya kepribadian dan
munculnya dispepsia fungsional. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian
yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia.
Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan
menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id
dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik dan
berlangsung lama, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety) yang
selanjutnya akan membentuk suatu Neurotism Personality Trait, atau apabila
tuntutan berasil diatasi dengan baik maka ego tidak terancam dan muncullah
sikap sabar, mengalah, menerima, yang pada akhirnya membentuk suatu
Agreeableness Personality Trait. Pada dimensi trait kepribadian Big Five model
yang memiliki skor yang rendah, dimana ego merasa terancam maka ego akan
melakukan reaksi defensif atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense
mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam, salah satunya yang imatur
adalah : konversi, dan represi. Bila gejala koversi dan represi terus berlangsung
lama, akan memunculkan keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah
mengenai organ lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia.
33
Bagan di bawah ini menunjukkan hubungan antara Big five Personality traits
model dengan gangguan dispepsia
Gambar 3.1. Kerangka Berpikir
Faktor Penyebab :
Infeksi H. Pylori
Ketidaknormalan motilitas
Gangguan sensori visceral
Faktor psikososial
Faktor sistem saraf otonom,
neuroendokrin, sistem imun
Kecemasan,Depresi,Stres, jenis
kelamin, umur, pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan
Diagnosis setelah
endoskopi : fungsional
dan organik
Gejala Dispepsia :
Rasa penuh setelah makan
yang mengganggu.
Rasa terbakar di epigastrium
Nyeri epigastrium
Rasa cepat kenyang.
Big Five personality traits:
Extraversion
Openness
Agreeableness
Conscientiesness
34
Depresi
Kecemasan
Stres
Jenis kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Umur
Status pernikahan
Dependent Variables:
Dispepsia Fungsional
Independent Variables
Big Five personality traits:
Neuroticism
Extraversion
Openness
Agreeableness
Conscientiesness
3.2. Kerangka Konsep
Keterangan : ----------- (garis putus-putus) : variabel yang diteliti
Gambar 3.2 kerangka konsep penelitian
3.3. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka kerangka berpikir dan konsep yang telah
diuraikan di atas, maka dapatlah dikemukakan rumusan hipotesis sebagai berikut
1. Terdapat pengaruh antara Neuroticism trait dengan dispepsia fungsional pada
pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Terdapat pengaruh antara Extraversion trait dengan dyspepsia fungsional
pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.
35
3. Terdapat pengaruh antara Openness trait dengan dispepsia fungsional pada
pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.
4. Terdapat pengaruh antara Agreeableness trait dengan dispepsia fungsional
pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.
5. Terdapat pengaruh antara Conscientiousness trait dengan dyspepsia
fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah
Denpasar.
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.1.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar.
4.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian dimulai pada Agustus sampai September 2015
4.2. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu studi dengan menggunakan rancangan
penelitian observasional analitik dengan rancangan yang digunakan potong
lintang (cross sectional analytic) untuk mengetahui pengaruh Big Five Personality
Traits dengan dispepsia fungsional pada pasien rawat jalan poliklinik Penyakit
Dalam di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dimulai dengan identifikasi kasus,
yaitu individu yang mengalami keluhan dispepsia dan sudah terdiagnosis dengan
dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah dilakukan pemeriksaan
endoskopi, kemudian dilakukan wawancara dan kuesioner pada pasien dispepsia
fungsional dan dispepsia organik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil evaluasi ini berupa hasil wawancara dan kuesioner dengan responden.
36
37
Big Five personality traits:
Openness
Conscientiesness
Extraversion
Agreeableness
Neuroticism
Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik
Gambar 4.1. Rancangan Penelitian
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi Target
Populasi target (target population) adalah semua pasien dengan dispepsia
4.3.2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau (accessible population) adalah semua pasien dengan
dispepsia yang pernah rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Eligible
sampling:
Dispepsia
Populasi
38
Umum Pusat Sanglah Denpasar yang tercatat di buku register selama periode
tahun 2014.
4.3.3. Sampel (intended sample)
Sampel yang dipilih dari populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Subyek yang diteliti (actual study subjects) adalah sampel
yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi formulir
informed consent.
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu:
1. Seluruh penderita yang menderita dispepsia fungsional dan dispepsia
organik yang tercatat di register rawat jalan poliklinik Penyakit Dalam
di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari bulan Januari 2014 sampai
Desember 2014, yang telah dilakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang ( endoskopi ) sesuai standar medik yang
berlaku dan didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik
oleh dokter Spesialis Penyakit Dalam di RSUP Sanglah.
2. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani formulir informed
consent.
3. Mampu membaca dan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia
b. Kriteria Ekslusi
1. Penderita dengan dispepsia fungsional atau dispepsia organik yang
yang tinggal di luar Bali, atau sudah meninggal
39
2 2
2
2. Penderita dispepsia yang mengalami gangguan jiwa berat seperti
Skizofrenia, Retardasi Mental Berat
3. Penderita dengan penyakit kronik seperti Diabetes Melitus, Hipertensi,
Gagal Ginjal, Sirosis Hepatis, dan penyakit keganasan
4. Penderita dispepsia yang terganggu fungsi panca indra terutama
pengeliatan dan pendengaran
5. Penderita yang tidak tercatat no HP atau telepon rumah pada komputer
registrasi RSUP
6. Menolak ikut dalam penelitian
c. Besar Sampel
Penghitungan besar sampel pada penelitian ini memakai rumus besar
sampel untuk penelitian analitik korelatif sebagai berikut (Dahlan, 2009):
n = (nn) n n
n2 =
(1,96) × 0,20 × (1 ' 0,20)
0,12
n = (nn) n n
n2 =
3,84× 0,20 × 0,8
0,12
n = 0,614
0,01
n = 61,4 dibulatkan menjadi 62orang
Keterangan:
Zα =Kesalahan tipe I ditetapkan 5% = 1, 96
d =Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki ditetapkan sebesar
10%
Q =1 – P
P =Proporsi dispepsia sebesar 20 % (Harahap, 2010)
40
d. Penentuan Sampel
Pasien rawat jalan yang tercatat di register poliklinik Penyakit Dalam di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari 1 Januari 2014 sampai dengan 31
Desember 2014. Sampel penelitian memenuhi syarat berdasarkan kriteria inklusi,
dan dipilih secara simple random sampling: dimulai dengan membuat daftar
identitas pasien yang memenuhi syarat sebagai sampel, kemudian pemilihan
diawali dengan menjatuhkan pensil untuk menentukan sampel pertama, sedangkan
untuk sampel berikutnya dengan kelipatan tiga, sampai besar sampel terpenuhi.
Sampelnya adalah yang telah dilakukan pemeriksaan endoskopi oleh dokter
Penyakit Dalam dan didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik
3.4. Variabel Penelitian
Pada penelitian ini variabel merupakan karakteristik sampel penelitian
yang diukur baik secara numerik maupun nominal (Sastroasmoro, 2011). dan
disusun menurut rancangan penelitian cross sectional analytic.
4.4.1. Variabel Bebas
Variabel bebas yang diteliti adalah Big Five Personality Traits terdiri dari :
Neuroticism trait, Extraversion trait, Openness trait, Agreeableness trait, dan
Conscientiousness trait
4.4.2. Variabel Tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah dispepsia fungsional
4.4.3. Variabel Perancu
Variabel perancu pada penelitian ini adalah : kecemasan, depresi, stress,
jenis kelamin, umur, pendidikan, status pernikahan, dan pekerjaan
41
4.5. Definisi Operasional Variabel
Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variabel-
variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi
operasional dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut.
a. Big five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam
psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun
dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan
menggunakan analisis faktor. Lima dimensi personality traits tersebut
adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan
conscientiousness (Friedman & Schustack, 2008). Data disajikan dalam
bentuk numerik.
b. Dispepsia fungsional adalah bagian dari gangguan gastrointestinal
fungsional dan memiliki karakteristik umum yang ditandai oleh adanya
gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural memenuhi
salah satu gejala atau lebih gejala rasa penuh setelah makan yang
mengganggu, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, rasa terbakar di
epigastrium dan tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil
endoskopi saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan
timbulnya gejala. Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset
gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis dan didiagnosis oleh Dokter
Penyakit Dalam. Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal
dikotomi (Abdullah & Gunawan, 2012 ).
42
c. Dispepsia organik adalah kelainan struktural pada organ gastrointestinal,
dimana penyebabnya sudah jelas setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi
serta didiagnosis oleh Ahli Penyakit Dalam. Misalnya adanya ulkus
peptikum atau duodenum, karsinoma lambung, atau cholelithiasis.
d. Umur adalah umur yang tertera pada kartu tanda penduduk (KTP) pasien
yang juga dikonfirmasi melalui wawancara saat dilakukan penelitian dan
pada rekam medis. Data disajikan dalam bentuk skala non kategorikal.
e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tertera di kartu tanda penduduk
(KTP) dan tertera di catatan medik responden. Data disajikan dalam
bentuk skala kategorikal nominal.
f. Pendidikan adalah pendidikan yang dapat diklasifikasi kedalam kelompok
: Tidak Sekolah, SD, SMP, SMA atau sederajat, Diploma atau Sarjana
g. Pekerjaan adalah dapat diklasifikasi kedalam kelompok : Bekerja, dan
Tidak Bekerja
h. Status pernikahan meliputi : tidak menikah, menikah, duda, dan janda
i. Stres adalah tekanan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan
lingkungan, misalnya tuntutan belajar menjelang ujian, menghadapi
masalah keluarga atau hubungan antar teman dengan menggunakan
kuesioner DASS 42 (Rathus & Nevid, 2007).
j. Depresi adalah suasana hati (afek) atau hilang minat atau kesenangan
dalam semua aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu, disertai
beberapa gejala berhubungan (Maslim, 2001).
43
k. Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan
ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang
hiperaktif (Maslim, 2001). Depresi, kecemasan, dan stres diukur dengan
Depression Anxiety Stres Scale (DASS) 42 (Lovibond, 1995; Crawford &
Henry, 2003; Kholifah, 2013 ).
Depresi (ada) : bila skor DASS 42 untuk depresi > 9
Tidak ada : bila skor DASS untuk depresi 0-9
Kecemasan (ada) : bila skor DASS 42 untuk kecemasan > 7
Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk kecemasan 0-7
Stres (ada) : bila skor DASS 42 untuk stres > 14
Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk stres 0-14
Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal.
4.6. Bahan dan Instrument Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: formulir kuesioner
yang digunakan untuk mengeksplorasi faktor demografi (umur, jenis kelamin,
pendidikan, status pernikahan dan pekerjaan). Instrumen pengumpulan data yang
digunakan adalah berbentuk kuesioner yang berbentuk skala Likert. Kuesioner
adalah salah satu jenis alat pengumpulan data berupa daftar pertanyaan. Instrumen
pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari dua alat ukur. Adapun dua alat
ukur tersebut adalah:
a. Alat ukur Big Five personality
Big Five personality akan diukur dengan IPIP-FFI (International
Personality Item Pool-Five Factor Inventory). Alat ukur ini merupakan
44
alat ukur kepribadian yang dibuat oleh Lewis Goldberg. Skala ini
berjumlah 50 item yang memilki rentang diri sangat tidak sesuai (skala
1) sampai sangat sesuai (skala 5), dimana setiap variabelnya terdiri dari
10 item (5 favorable dan 5 unfavorable) yaitu openness to experience,
conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism.
Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan
penilaian Cronbach’s alpha dengan nilai di atas 0,6 (Donnellan dkk,
2006).
b. Alat ukur depresi, kecemasan dan stres
Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah DASS 42
menilai ada tidaknya depresi, kecemasan, dan stres. Instrumen DASS 42
terdiri dari 42 item pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik,
psikologi dan perilaku. Nilai depresi, kecemasan, dan stres ditentukan
oleh nilai dari komponen DASS yang relevan untuk masing-masing
kriteria. Komponen DASS untuk depresi adalah 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21,
24, 26, 31, 34, 37, 38, 42. Kecemasan diukur oleh komponen nomor 2, 4,
7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41. Sedangkan stres ditunjukkan
oleh komponen 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.
Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan
penilaian Cronbach’s alpha sebesar 0,91 (Lovibond & Lovibond, 1995;
Crawford & Henry, 2003; Kholifah, 2013).
45
4.7. Analisis Statistik
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan mengenai
kelengkapan data tersebut. Data hasil penelitian dilakukan perhitungan dan
dianalisis secara statistik dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak
komputer. Jika ada data yang belum lengkap akan dilengkapi kemudian dilakukan
serangkaian analisis statistik menggunakan SPSS.20 sebagai berikut:
4.7.1. Statistik Deskritif
Analisis statistik deskriptif untuk menggambarkan karakteristik data
sampel variabel usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan,
kecemasan, depresi, dan stres
4.7.2. Uji normalitas data
Data mengenai umur dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data
dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05 dan tidak apabila nilai p <
0,05. Levene’s test digunakan untuk mengetahui homogenitas kedua kelompok.
4.7.3. Uji parametrik t tidak berpasangan.
Uji parametrik t-test tidak berpasangan digunakan untuk uji hipotesis pada
data numerik yang berdistribusi normal. Uji non-parametrik Mann-Whitney
digunakan untuk uji perbandingan pada data yang tidak berdistribusi normal,
sedangkan uji Chi-Square digunakan untuk uji perbandingan pada data kategorik
(Dahlan, 2009). Dalam penelitian ini ditentukan derajat kemaknaan α = 0,05 (p <
0,05)
46
4.7.4.Statistik Bivariat
Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas dengan variabel tergantung
dilakukan analisis multivariat, dengan terlebih dahulu melakukan analisis bivariat
menggunakan regresi logistik terhadap masing-masing variabel Big Five
personality traits (neuroticism, openness, extraversion, agreeableness, dan
conscientiousness) sebagai variabel bebas dengan dyspepsia fungsional sebagai
variabel tergantung dengan metode enter. Variabel yang dimasukkan ke dalam
analisis multivariat apabila nilai p < 0,5.
4.7.5. Statistik Multivariat
Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik
terhadap masing-masing variabel Big Five personality traits (neuroticism,
openness, extraversion, agreeableness, dan conscientiousness) sebagai variabel
bebas dihubungkan dengan dispepsia sebagai variabel tergantung setelah dikontrol
dengan variabel depresi, kecemasan, stress. Pendidikan, pekerjaan, status
pernikahan, jenis kelamin, umur dengan metode enter.
4.8. Alur Penelitian
4.8.1. Tahap Persiapan
Sampel penderita yang didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia
organik dipilih secara simple random sampling. Instrument kuesioner dan
wawancara terpimpin disiapkan.
4.8.2. Pelaksanaan Penelitian
Sebelum pelaksanaan penelitian semua yang menyangkut etika penelitian
dikonsultasikan dengan Komisi Etika Penelitian Unit penelitian dan
47
Pasien Dispepsia Fungsional dan dispepsia organik yang sudah tegak
diagnosa yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak kriteria eksklusi
dan tercatat di buku register poliklinik
Informed Consent
Pengembangan Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar guna mendapatkan surat
kelaikan etika. Semua penderita yang didiagnosis dispepsia fungsional dan
dispepsia organik diberikan penjelasan rinci tentang tujuan penelitian dan setelah
memahami barulah dilanjutkan dengan penandatanganan informed consent.
4.8.3. Alur Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah mendapatkan kelaikan etik
(ethical clearence) dari RSUP Sanglah. Alur adalah sebagai berikut :
Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian
Pengumpulan data
Laporan Hasil Penelitian
Analisis statistik Data
Wawancara
Kuesioner IPIP-FFI untuk Big five personality traits Kuesioner DASS 42 untuk cemas, depresi, stres
Simpel random
sampling
Sampling
Dispepsia fungsional Dispepsia organik
48
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Dasar
Berdasarkan data register kunjungan pasien yang melakukan pemeriksaan
endoskopi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah selama tahun 2014 adalah
sebanyak 647 orang, 370 orang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian ini.
Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling. Sebanyak 13
orang tidak dimasukan sebagai sampel karena alasan menolak, alamat tidak jelas (
tidak tercantum nomor HP atau telepon rumah di komputer registrasi), atau alamat
tidak ditemukan. Pada akhir penelitian ini didapatkan total sampel sebesar 62
orang, dan mereka bersedia mengisi kuesioner Big Five Personality Traits dan
DASS 42. Hasil yang didapat dari kuesioner yang diisi oleh sampel, didapatkan
62 kuesioner yang terisi secara lengkap. Karakteristik dasar subjek penelitian
dapat dilihat pada Tabel 5.1.
48
49
Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Karakteristik Jumlah
N % Umur
Jenis kelamin
51,31 ± 14,830
Laki-laki 35 56,50
Perempuan 27 43,50
Pekerjaan
Bekerja
24
38,70
Tidak bekerja 38 61,30
Pendidikan
Tidak sekolah 8 12,90
SD 14 22,60
SMP 4 6,50
SMA 30 48,40 Diploma/sarjana 6 9,70
Pernikahan
Tidak menikah 12 19,40
Menikah 32 51,60
Duda 11 17,70
Janda 7 11,30
Dispepsia
Fungsional
27
43,50
Organik 35 56,50
Depresi
Tidak Depresi 54 87,10
Depresi 8 12,90
Cemas
Tidak Cemas
49
79,00
Cemas 13 21,00
Stres
Tidak Stres 55 88,70
Stres 7 11,30
Data umur ditampilkan dalam rerata ± SD
Berdasarkan Tabel 5.1. dapat dilihat bahwa karakteristik umur didapatkan rerata
51,31 ± 14,830. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi laki-laki lebih tinggi yaitu
sebesar 56,50%, sedangkan proporsi perempuan sebesar 43,50%. Berdasarkan
karakteristik pekerjaan yang tercatat, proporsi tertinggi adalah tidak bekerja
sebesar 61,30%, dan terendah bekerja sebesar 38,70%. Proporsi tertinggi
59
berdasarkan tingkat pendidikan adalah SMA sebesar 48,40%, dan terendah adalah
SMP sebesar 6,50%. Berdasarkan status pernikahan yang tercatat, proporsi
tertinggi adalah menikah sebesar 51,60% dan terendah adalah janda sebesar
11,30%. Sedangkan responden yang mengalami depresi didapatkan pada 12 orang
(12,90%), kecemasan didapatkan pada 13 orang (21,00%) dan stres didapatkan
pada 7 orang (11,30%).
Dari 62 responden yang menjadi sampel penelitian, 27 orang (43,50%)
termasuk dalam kategori dispepsia fungsional dan sisanya sejumlah 35 orang
(56,50%) dispepsia organik. Data variabel umur akan diuji normalitas data dengan
uji Kolmogorov-Smirnov. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p >
0,05 dan tidak apabila nilai p < 0,05. Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua
rerata umur tersebut dengan menggunakan uji t tidak berpasangan bila data
berdistribusi normal. Bila distribusi data tidak normal maka kedua rerata umur
dilakukan analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Uji beda karakteristik
subjek pada kelompok dispepsia fungsional dan dispepsia organik dapat dilihat
pada Tabel 5.2.
51
Tabel 5.2 Uji beda karakteristik subjek pada kelompok dispepsia fungsional dan
dispepsia organik
Variabel
Dispepsia Fungsional
N (%)
Total = 27
Dispepsia Organik
N (%)
Total = 35
Nilai p
Umur 48,29 ± 14,525 53,66 ± 14,838 0,134**
Jenis kelamin
Pekerjaan
0,094***
Bekerja 14(51,90%) 10 (28,60%) 0,062***
Tidak bekerja 13 (48,10%) 25(71,40%) Pendidikan
Tidak sekolah 3 (11,10%) 5 (14,30%) SD 3 (11,10%) 11 (31,40%)
SMP 3 (11,10%) 1 (2,90%) 0,121*
SMA 14 (51,90%) 16 (45,70%) Diploma/Sarjana 4 (14,80%) 2 (5,70%)
Pernikahan
**
**
**
Data umur ditampilkan dalam rerata ± SD * Uji Mann-Whitney
** Independent sampel test
*** Uji Pearson Chi-Square
**** Uji Fisher’s exact
Pada kelompok dispepsia fungsional kami dapatkan umur dengan rerata
48,29 ± 14,525, dan rerata umur untuk kelompok dispepsia organik adalah 53,66
± 14,838. Kedua data tersebut didapatkan berdistribusi normal dengan nilai p
adalah 0,200 (p ˃ 0,05), dan homogen pada levene test dengan nilai p adalah 0,69
Laki-laki 12 (44,40%) 23 (65,70%) Perempuan 15 (55,60%) 12 (34,30%)
Tidak Menikah 8 (29,60%) 4 (11,40%) Menikah 14 (51,90%) 18 (51,40%) 0,059*
Duda 2 (7,40%) 9 (25,70%)
Janda 3 (11,10%) 4 (11,40%) Depresi
Tidak Ada 26 (96,30%) 28(80,00%) 0,123**
Ada Kecemasan
1 (3,70%) 7 (20,00%)
Tidak Ada 15 (55,60%) 34(97,10%) 0,000**
Ada 12 (44,40%) 1 (2,90%)
Stres
Tidak Ada 25 (92,60%) 30 (85,70%) 0,455**
Ada 2 (7,40%) 5 (14,30%)
52
( p ˃ 0,05). Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua rerata umur tersebut
menggunakan uji t tidak berpasangan. Uji beda kedua rerata umur tersebut
didapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai p adalah 0,134 ( -5,9
± SE 3,906; CI 95%: -13,754 sampai 1,872; t = -1,521; p = 0,134). Pada variabel
jenis kelamin, dan pekerjaan yang merupakan variabel katagorikal, uji beda
menggunakan pearson chi-square test. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada
perbedaan bermakna pada variabel jenis kelamin dan pekerjaan (nilai p > 0,05).
Pada variabel pendidikan dan variabel pernikahan, uji beda menggunakan uji
Mann-Whitney. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada perbedaan bermakna
pada variabel pendidikan, dan variabel pernikahan (nilai p > 0,05). Pada variabel
depresi, kecemasan, dan stress yang merupakan variabel katagorikal uji beda tidak
dapat menggunakan pearson chi-square test karena terdapat sel yang bernilai
kurang dari 5 sehingga digunakan uji alternatif fisher’s exact test, pada uji beda
tersebut didapatkan perbedaan bermakna pada variabel kecemasan (nilai p <
0,05).
Secara statistik didapatkan bahwa variabel kecemasan pada kedua
kelompok ada perbedaan secara signifikan (p ˂ 0,05). Sedangkan variabel umur,
jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pernikahan, depresi, dan stres pada kedua
kelompok secara statistik tidak didapatkan perbedaan secara signifikan (p ˃ 0,05).
5.2 Uji Hipotesis
Permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah apakah ada
pengaruh antara masing-masing variabel pada Big Five personality traits dengan
dispepsia fungsional Peneliti ingin menguji lima hipotesis tentang pengaruh
53
kelima variabel pada Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional.
Sebagai langkah awal dilakukan analisis bivariat masing-masing variabel pada Big
Five personality traits (Openess, Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness
dan Neuroticism) sebagai variabel bebas dengan dispepsia fungsional sebagai
variabel tergantung. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Analisis Bivariat Pengaruh Antara Big Five Personality Traits Sebagai
Variabel Bebas dan Dispepsia fungsional Sebagai Variabel Tergantung
Variabel Big Five
personality traits B
Unadjusted
Odd Ratio
CI 95%
Low
OR
High p Value
Neuroticism 0,576 0,562 0,416 0,760 0,000 Extraversion 0,290 1,337 1,108 1,612 0,002
Openness -0,182 1,200 1,025 1,404 0,023
Agreeableness 0,267 1,306 1,135 1,504 0,000
Conscientiousness -0,743 0,476 0,323 0,701 0,000
Sesuai kesepakatan, variabel personality traits pada analisis bivariat yang
akan dimasukkan kembali pada analisis multivariat menggunakan regresi logistik
apabila memiliki nilai p < 0,25. Sehingga ada lima variabel personality traits yang
bisa dimasukkan ke dalam analisis multivariat, yaitu Openess, Concienstiousness,
Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism. Dari hasil analisis bivariat, dapat
dikatakan bahwa dispepsia fungsional berpengaruh dengan Openess,
Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism.
Dari analisis multivariat antara personality traits sebagai variabel bebas
dengan dispepsia fungsional sebagai variabel tergantung setelah dikontrol dengan
variabel kecemasan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.4.
54
Tabel 5.4 Analisis Multivariat Pengaruh Antara Big Five Personality Traits sebagai Variabel Bebas dengan Dispepsia Fungsional sebagai Variabel
Tergantung setelah dikontrol dengan variabel kecemasan
Big Five
Personality Traits B
Adjusted
OR CI 95%
Low
OR
High p value
Neuroticism 0,515 0,598 0,396 0,901 0,014 Extraversion -0,144 0,866 0,395 1,898 0,719
Openness -0,347 1,415 0,741 2,700 0,293
Agreeableness -0,090 0,914 0,580 1,441 0,699
Conscientiousness -0,435 0,647 0,404 1,035 0,070
Anxiety_nominal 0,313 1,367 0,025 75,859 0,879
Pada tabel di atas dapat kita lihat ada satu trait yang memiliki nilai p <
0,05 dan nilai CI 95% yang tidak bersinggungan dengan nilai satu yaitu
Neuroticism (p=0,014; CI 95% 0,396-0,901). Neuroticism menunjukkan Adjusted
OR sebesar 0,598 dan nilai B yang positif yang berarti setiap kenaikan 1 unit
skala Neuroticism akan meningkatkan kemungkinan terjadinya dispepsia
fungsional sebesar 0,515 kali. Dengan kata lain setiap kenaikan 10 unit skala
Neuroticism akan meningkatkan risiko terjadinya dispepsia fungsional sebesar
5,15 kali. Dengan demikian hipotesis pertama yaitu Neuroticism memiliki
pengaruh terhadap dispepsia fungsional terbukti.
Sedangkan untuk openness walaupun memiliki nilai OR > 1 namun secara
statistik tidak signifikan (nilai p > 0,05). Begitu pula untuk extraversion,
agreeableness, dan conscientiousness secara statistik tidak signifikan (p > 0,05).
Ini berarti extraversion, openness, agreeableness dan conscientiousness tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya dispepsia fungsional. Dengan
demikian hipotesis kedua yang menyatakan adanya pengaruh extraversion dengan
dispepsia fungsional tidak terbukti. Hipotesis ketiga yang menyatakan adanya
pengaruh openness dengan dispepsia fungsional tidak terbukti. Hipotesis keempat
55
yang menyatakan adanya pengaruh agreeableness dengan dispepsia fungsional
tidak terbukti. Hipotesis kelima yang menyatakan adanya pengaruh
conscientiousness dengan dispepsia fungsional juga tidak terbukti.
56
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Pembahasan Karakteristik Dasar
Data deskriptif pada penelitian ini dapat digambarkan dari data yang
diperoleh diantaranya yaitu: 62 orang sampel yang dipilih secara simple random
sampling ditemukan perbedaan angka prevalensi antara dispepsia fungsional
dengan dispepsia organik pada pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUP Sanglah Denpasar yaitu sebesar 43,50% pada dispepsia fungsional dan
56,50% pada dispepsia organik. Angka ini serupa dengan data penelitian yang
dilakukan oleh Kumar dkk, yang menemukan perbedaan prevalensi dispepsia
fungsional dengan dispepsia organik di Mumbai India sebesar 34,2% dan 65,80%
(Kumar dkk, 2012), bahkan penelitian yang dilakukan oleh Nwokediuko dkk, di
Nigeria menemukan angka prevalensi dispepsia fungsional lebih tinggi
dibandingkan dengan dispepsia organik yaitu sebesar 64,90% (Nwokediuko dkk,
2012). Meningkatkan angka prevalensi dispepsia fungsional pada beberapa
penelitian mungkin berkaitan dengan stresor psikososial. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Cheng dkk, didapatkan derajat stresor psikososial berhubungan
bermakna pada penderita dispepsia fungsional. Semakin banyak stresor
psikososial yang dialami, semakin tinggi sindrom dispepsia yang menyertai
penderita dispepsia fungsional. Adapun stresor psikososial pada dispepsia
fungsional terbanyak ditemukan berturut – turut adalah masalah pekerjaan (47,5
57
%), masalah hubungan suami/istri (22,5 %), masalah anak (17,5 %) dan masalah
hubungan antar manusia (12,5 %) (Cheng dkk, 2005).
Dilihat dari proporsi umur dengan menggunakan rerata ± SD, didapatkan
pada dispepsia fungsional yaitu: 48,29 ± 14,525, dan 53,66 ± 14,838 pada
dispepsia organik. Angka yang diperoleh ini mirip dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mahadeva & Lee di Mumbai India, didapatkan angka prevalensi
menurut umur pada dispepsia fungsional maupun organik ˃ 40 tahun,
kemungkinan hal ini disebabkan oleh pengaruh faktor ketahanan tubuh itu sendiri,
bertambahnya umur seseorang maka semakin rentan terhadap kejadian penyakit
(Mahadeva & Lee, 2006).
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, pada dispepsia fungsional jenis
kelamin perempuan mempunyai prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
kelamin laki-laki yaitu sebesar 55,60%, berbanding terbalik dengan dispepsia
organik dimana prevalensi jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 71,40%. Angka ini mirip dengan
angka yang diperoleh oleh Widya dkk, dimana perbandingan jenis kelamin
perempuan : laki-laki pada dispepsia fungsional adalah 2 : 1, sedangkan pada
dispepsia organik perbandingan jenis kelamin perempuan : laki-laki adalah 1 : 2
(Widya dkk, 2015) atau data yang diperoleh pada tahun 2009 pada pemeriksaan
endoskopi yang dilakukan di bagian Endoskopi RS Wahidin Sudiro Husodo,
ditemukan dispepsia organik lebih banyak pada laki-laki sedangkan dispepsia
fungsional lebih banyak pada wanita (Tenri dkk, 2011). Tingginya prevalensi
dispepsia fungsional pada perempuan, hal ini karena pada perempuan lebih rentan
58
untuk mengalami stres, pola makan sering tidak teratur dan pada wanita sering
menjalankan program diit yang salah, menggunakan obat-obat pelangsing yang
justru membuat produksi asam lambung terganggu. Diit ketat dengan hanya
mengonsumsi buah-buahan atau sayuran, akan menimbulkan gangguan
pencernaan, atau pada perempuan yang mengalami kehamilan trimester pertama,
sering mengalami gejala yang mirip dispepsia (Widya dkk, 2015), atau penelitian
yang dilakukan oleh Farejo dkk, mengatakan bahwa perempuan memiliki
ekspektasi yang berbeda terhadap perasaan tidak nyaman ketika mengalami gejala
seperti perut kembung atau nyeri perut, hal ini karena penyakit ini dianggap
subjek sensitif dan kondisi memalukan yang mungkin lebih sulit bagi perempuan
untuk mengatasi daripada laki-laki, sehingga perempuan lebih sering datang
kontrol ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan keluhannya ini ( Farejo dkk,
2007). Sedangkan angka prevalensi dispepsia organik lebih tinggi didapatkan
pada laki-laki, hal ini berkaitan dengan pola hidup yang cenderung tidak sehat
dibandingkan dengan perempuan seperti misalnya: kebiasaan merokok, konsumsi
kafein (kopi), alkohol, atau minuman yang sudah dikarbonasi (softdrink),
makanan yang menghasilkan gas (tape, nangka, durian), atau konsumsi obat-obat
tertentu (Nwokediuko dkk, 2012).
Berdasarkan proporsi tertinggi jenis pekerjaan didapatkan 51,90% adalah
bekerja pada kelompok dispepsia fungsional dan sebesar 71,40% tidak bekerja
pada kelompok dispepsia organik. Angka ini mirip dengan penelitian yang
dilakukan oleh Cheng dkk, bahwa dispepsia fungsional lebih banyak ditemukan
pada orang yang bekerja di kantoran. Dalam penelitian tersebut disimpulkan
59
semakin tinggi beban kerja, lama jam kerja, dan posisi jabatan yang semakin
tinggi maka kejadian untuk menderita dispepsia fungsional akan semakin tinggi
(Cheng dkk, 2011). Sedangkan pada dispepsia organik lebih banyak tidak bekerja,
ini sesuai dengan penelitian Tenri dkk, yang mengatakan pada dispepsia organik
lebih banyak berhubungan dengan faktor usia, penyakit yang bersifat kronis atau
berulang dan faktor ketahanan tubuh yang semakin menurun dengan
bertambahnya usia (Tenri dkk, 2011).
Dilihat dari proporsi kecemasan yang dialami oleh kedua kelompok p