23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara topografis Kota Palembang merupakan suatu wilayah yang lahannya selalu digenangi air atau dengan kata lain sebuah wilayah yang menghadap ke air dengan anak – anak sungai yang besar dan kecil memotong tepiannya sehingga membentuk sebuah laguna. Keadaan permukaan tanah yang luas di daerah ini didominasi oleh rawa. Air yang disebutkan bukan sebuah danau atau lautan, melainkan sebuah sungai yaitu Sungai Musi. Sungai Musi yang membelah kota dengan anak – anak sungainya yang mengalir tersebut menjadi urat nadi kehidupan masyarakat di Kota Palembang sejak dahulu. Pada tepian Sungai Musi ini terdapat permukiman penduduk yang berupa rumah – rumah rakit dari bambu dan kayu terapung serta rumah tiang kayu. Penduduk yang ada di wilayah ini meliputi tiga suku yakni Arab, orang Tionghoa, dan orang Melayu. Bagi mereka air menjadi alat transportasi utama karena barang – barang yang dibutuhkan dapat diangkut melalui air di setiap rumah, baik panggung maupun rakit. Tempat tinggal yang berisikan orang – orang asing ini dikarenakan pada jaman dahulu Sungai Musi menjadi tempat berlabuhnya para pedagang dari seluruh dunia, sehingga lama kelamaan para pedagang ini bertempat tinggal disini. Pada jaman kolonial juga tempat tinggal orang asing ini dibagi berdasarkan ras antara lain orang Melayu, orang Tionghoa, dan orang Arab. Secara garis besar Sungai Musi ini membagi dua wilayah yaitu wilayah seberang hulu dan seberang hilir. Wilayah ini terpisah oleh Sungai Musi sehingga dalam aksesibilitas kedua wilayah ini masyarakat menggunakan kapal – kapal kecil. Pada masa pascakolonial untuk mempermudah akses dari wilayah seberang hulu dan seberang hilir maka dibangun jembatan yang menghubungkan kedua wilayah ini oleh Presiden Republik Indonesia saat itu yaitu Soekarno. Jembatan ini pertama kali dibangun pada tahun 1962 menggunakan dana pampasan perang Jepang. Nama Jembatan diberi nama Jembatan Bung Karno karena, sebagai penghargaan atas perjuangan Soekarno untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Palembang dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90831/potongan/S1-2015... · 3 penataan ruang di tepian air perkotaan. Prinsip – prinsip waterfront city

  • Upload
    lamnhi

  • View
    228

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara topografis Kota Palembang merupakan suatu wilayah yang lahannya

selalu digenangi air atau dengan kata lain sebuah wilayah yang menghadap ke air

dengan anak – anak sungai yang besar dan kecil memotong tepiannya sehingga

membentuk sebuah laguna. Keadaan permukaan tanah yang luas di daerah ini

didominasi oleh rawa. Air yang disebutkan bukan sebuah danau atau lautan,

melainkan sebuah sungai yaitu Sungai Musi. Sungai Musi yang membelah kota

dengan anak – anak sungainya yang mengalir tersebut menjadi urat nadi kehidupan

masyarakat di Kota Palembang sejak dahulu.

Pada tepian Sungai Musi ini terdapat permukiman penduduk yang berupa

rumah – rumah rakit dari bambu dan kayu terapung serta rumah tiang kayu. Penduduk

yang ada di wilayah ini meliputi tiga suku yakni Arab, orang Tionghoa, dan orang

Melayu. Bagi mereka air menjadi alat transportasi utama karena barang – barang yang

dibutuhkan dapat diangkut melalui air di setiap rumah, baik panggung maupun rakit.

Tempat tinggal yang berisikan orang – orang asing ini dikarenakan pada jaman

dahulu Sungai Musi menjadi tempat berlabuhnya para pedagang dari seluruh dunia,

sehingga lama kelamaan para pedagang ini bertempat tinggal disini. Pada jaman

kolonial juga tempat tinggal orang asing ini dibagi berdasarkan ras antara lain orang

Melayu, orang Tionghoa, dan orang Arab.

Secara garis besar Sungai Musi ini membagi dua wilayah yaitu wilayah

seberang hulu dan seberang hilir. Wilayah ini terpisah oleh Sungai Musi sehingga

dalam aksesibilitas kedua wilayah ini masyarakat menggunakan kapal – kapal kecil.

Pada masa pascakolonial untuk mempermudah akses dari wilayah seberang hulu dan

seberang hilir maka dibangun jembatan yang menghubungkan kedua wilayah ini oleh

Presiden Republik Indonesia saat itu yaitu Soekarno. Jembatan ini pertama kali

dibangun pada tahun 1962 menggunakan dana pampasan perang Jepang. Nama

Jembatan diberi nama Jembatan Bung Karno karena, sebagai penghargaan atas

perjuangan Soekarno untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Palembang dalam

2

mobilisasi. Seiring berjalannya waktu nama jembatan ini diganti menjadi “ampera”

karena pada tahun 1966 adanya gerakan anti-Soekarno di Kota Palembang.

Jembatan Ampera pada masa pascakolonial merupakan produksi atau

reproduksi dari simbolisme ruang air dan ruang daratan sebelumnya. Pembangunan

Jembatan Ampera ini diarahkan untuk melekatkan suatu identitas nasional dan lokal

sehingga dapat diingat oleh masyarakat luas. Menurut Ken Plumer (1994), identitas

merupakan proses penanaman atau penempatan diri di dalam suatu kategori atau

konstruksi sosial tertentu. Terciptanya ruang membuat masyarakat yang ada

didalamnya memahami citra keruangan berbagai perspektif sehingga memunculkan

suatu identitas bagi ruang itu sendiri.

Keberadaan Sungai Musi yang merupakan tempat yang strategis, berfungsi

sebagai kota pelabuhan dan tempat perdagangan. Hal inilah yang membuat

pemerintah Kota Palembang akan memfokuskan pembangunan di tepian Sungai

Musi. Konsep perancangan pembangunan ini disebut dengan konsep waterfront city.

Pembangunan ini bertujuan untuk menata ruang yang ada di tepian sungai (revitalisasi

dan relokasi permukiman) dan menciptakan suatu tempat yang memiliki fungsi ganda

antara lain sebagai tempat perdagangan, pelabuhan, permukiman, dan rekreasi.

Penetapan Kota Palembang sebagai kota wisata air oleh Bapak Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono pada tahun 2005 semakin mendukung penataan ruang di

Sungai Musi menjadi waterfront city. Oleh karena itu, pemerintah Kota Palembang

menetapkan di dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota

Palembang tahun 2012 – 2032 yang berisi tentang Kawasan Tepian Sungai Musi

merupakan salah satu kawasan strategis kota yang diprioritaskan pengembangannya.

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir

(2006) mengemukakan bahwa kota pesisir atau waterfront city merupakan suatu

kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau,

dan sejenisnya.

Waterfront city memiliki berbagai teori dalam implementasinya. Teori

mengenai waterfront dibuat untuk menghindari kerusakan lingkungan dan

menimbulkan berbagai bencana. Penelitian ini menggunakan teori menurut Nicholas

Falk (2002) mengenai prinsip – prinsip dalam penataan ruang waterfront city di

perkotaan. Prinsip – prinsip ini menjelaskan kontribusi konsep waterfront yang

mampu membangun kembali suatu perkotaan serta memberikan arahan

pengembangan, perencanaan, dan saran untuk mendapatkan hasil maksimal dari

3

penataan ruang di tepian air perkotaan. Prinsip – prinsip waterfront city tersebut

terbagi menjadi tiga yang meliputi spirit of place, integration with surrounding, dan

resourcefullness.

Pembangunan Kawasan Tepian Sungai Musi menjadi waterfront city

diharapkan dapat menjadi tempat pariwisata di Kota Palembang. Tempat pariwisata

akan melahirkan zona ekonomi baru untuk meningkatkan perekonomian penduduk

sekitar. Perekonomian yang meningkat dapat berimbas juga ke pendapatan asli daerah

Kota Palembang. Dan juga adanya para pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar

area Sungai Musi menjadikan kawasan ini lebih menarik. Banyaknya perdagangan

dan restoran ini terlihat banyaknya peran masyarakat yang memanfaatkan air ini

sebagai tempat untuk mencari hiburan dan banyaknya masyarakat yang berdatangan

menjadikan tempat ini sebagai tempat hiburan.

Penataan kawasan di Kota Palembang tidak terlepas dari penataan di tepian

sungainya. Di tepian Sungai Musi ini terdapat monumen-monumen bersejarah seperti

BKB (Benteng Kuto Besak), Masjid Agung, Museum Sultan Mahmud Badaruddin,

Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera), serta bangunan kuno bergaya Kolonial,

Melayu dan Cina. Oleh karena itu, kawasan ini perlu dikembangakan dengan

mempertimbangkan segala potensi yang ada sehingga tujuan pembangunan untuk

memajukan kawasan ini dapat tercapai.

Penataan kawasan di tepian Sungai Musi tentunya mengikutsertakan beberapa

stakeholder atau pelaku dalam implementasinya. Pelaku dalam hal ini meliputi peran

serta masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta yang dalam pelaksanaan konsep

waterfront city ini memiliki peran yang berbeda – beda sehingga dibutuhkan suatu

pengamatan untuk melihat keikutsertaan para pemangku kepentingan dalam

realisasinya.

1.2 Rumusan Masalah

Pemerintah Kota Palembang pada tahun 2012 telah merencanakan penataan

ruang di sekitar Sungai Musi. Penataan ruang ini bertujuan untuk merelokasi dan

merevitalisasi kawasan tepian Sungai Musi serta menata kembali ruang di Tepian

Sungai Musi menjadi tempat rekreasi, perdagangan, industri, dan tempat bersejarah.

Perencanaan ini dapat berjalan dengan baik apabila adanya kerjasama antara

masyarakat dan pemerintah dengan didukung oleh pihak swasta sebagai investornya.

4

Penataan ruang dengan konsep waterfront city jika dapat dilaksanakan dengan

baik, maka dapat menjadikan Kota Palembang sebagai wajah baru dalam sektor

pariwisata. Namun, keadaan realitasnya banyak masyarakat yang belum memahami

penataan ruang dengan konsep waterfront city. Permukiman yang semakin memasuki

badan Sungai Musi menjadi permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah

Kota Palembang. Kurangnya penataan rumah di pinggir Sungai Musi ini, menjadi

permasalahan yang sangat komplek. Hal inilah yang mendorong Walikota Kota

Palembang menata ulang agar sesuai dengan peruntukan yang ada.

Peruntukkan pinggiran Sungai Musi untuk rekreasi, perdagangan, pelabuhan,

restoran, dan lain sebagainya. Sebagai bagian dari perwujudan dari cita-cita Kota

Palembang sebagai waterfront city. Dengan demikian, perlu dilihat sejauh mana

konsep waterfront ini diterapkan oleh para pemangku kepentingan. Pelaksanaan

konsep ini mencakup peran pemangku kepentingan yang meliputi masyarakat,

pemerintah, dan pihak swasta. Rencana Tata Ruang Kota Palembang tahun 2012 –

2032 juga telah berisikan mengenai Kota Palembang yang menuju kota waterfront

city. Hal ini dapat terlihat dari tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota Palembang tahun

2012 – 2032 pada butir ke lima yaitu dalam rangka mewujudkan Palembang sebagai

Kota Tepian Sungai dengan konsep waterfront city.

Pengkajian peran pemangku kepentingan yang meliputi masyarakat,

pemerintah, dan swasta dapat dilihat berdasarkan prinsip – prinsip yang diterapkan

oleh Nicholas Falk di Bristol, Inggris. Prinsip – prinsip ini digunakan unuk melihat

peran dari pemangku kepentingan terhadap penataan ruang waterfront city, sehingga

dapat dilihat yang lebih memenuhi prinsip – prinsip tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang, rumusan masalah, dan tema dalam penelitian

ini maka tujuan yang diharapkan adalah untuk :

1. Mendeskripsikan realisasi konsep waterfront city di Kota Palembang.

2. Memetakan peran stakeholder (masyarakat, swasta, dan pemerintah) dalam konsep

waterfront city di Kota Palembang menurut Nicholas Falk.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

5

1. Sebagai bahan penyusunan skripsi guna memenuhi persyaratan dalam menempuh

ujian akhir tingkat sarjana (S1) di Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada;

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi

pengambilan kebijakan oleh pemerintah terutama dalam penataan ruang di Kota

Palembang;

3. Sebagai sumbangsih informasi dalam studi perkotaan di Fakultas Geografi

Universitas Gadjah Mada.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai penataan ruang pernah diteliti oleh Surani Hasanati tahun

2009. Penelitian ini berjudul Persepsi Stakeholder terhadap Implementasi Penataan

Ruang Kawasan Pesisir Parangtritis. Lokasi penelitian ini berada di Dusun

Mancingan, Bantul dengan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan ekologi

dan metode analisis data menggunakan pendektan induktif, yakni dari khusus ke

umum. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, indepth interview,

penelaahan data sekunder. Hasil dari penelitian ini meliputi keragaman persepsi

stakeholder terhadap penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis di Dusun

Mancingan mulai dari pemahaman terhadap program penataan (relokasi), sosialisasi

dan promosi, kondisi fisik dan lingkungan pantai sampai dengan kerjasama antara

pemerintah dan masyarakat.

Penelititian mengenai pusat pertumbuhan baru pernah dilakukan oleh Prakoso

pada tahun 2004. Penelitian ini mengenai dinamika sistem kota-kota dan alternatif

pusat pertumbuhan baru oleh Prakoso pada tahun 2004. Lokasi penelitian ini berada

di Kota Yogyakarta dengan tujuan peneliti untuk melihat dinamika sistem kota pada

rentang tahun 1960 – 2002, dari dinamika ini akan dibuat suatu hirarki sebagai dasar

penentuan pusat pertumbuhan baru serta menganalisi peringkat hirarki denga

karakteristik kota yang ada. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis

deskriptif dan pendekatan kuantitatif dengan basis analisa data sekunder. Hasil dari

penelitian ini dinamika sistem kota-kota DIY tahun 1960 - 2002 yang memperlihatkan

adanya primasi di Kota Yogyakarta

Penelitian mengenai studi waterfront city pernah dilakukan sebelumnya oleh

Muhammad Faisal Albar tahun 2011, Yoga Putra Prameswari pada tahun 2014, dan

Muhammad Giri Hasan Besari pada tahun 2014. Penelitian Muhammad Faisal Albar

dilakukan di lokasi Kota Ternate. Penelitian ini mengkaji mengenai pengembangan

6

waterfront city, persepsi masyarakat terhadap waterfront city, dan perbaikan konsep

waterfront. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

rasionalistik yang bersifat eksploratif, dengan analisa menggunakan metode

kuantitatif dan kualitatif. Hasil dari penelitian ini, berdasarkan persepsi masyarakat

proses pengembangan waterfront city ini berhasil. Keberhasilan ini dapat dilihat dari

semakin meningkatnya pendapatan asli daerah (PAD) Kota Ternate, selain itu juga

terbukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Yoga Putra Prameswari adalah

mengenai implementasi kebijakan pengelolaan kawasan tepi/sempadan sungai di

Jepara dari tahun 2002 – 2009 (Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Tepi/Sempadan

Kali Wiso dan Kali Kanal). Lokasi yang dikaji pada penelitian ini adalah Kali Kanal

tepatnya di sepanjang jalan KM Sukri dan Kali Wiso. Metode penelitian yang

digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Studi kasus ini dilakukan untuk

menjawab pertanyaan how dan why. Berdasarkan penelitian diatas maka diperoleh

hasil implementasi pemerintah terhadap Kali Kanal telah tercapai dengan kehadiran

pembangunan taman kota. Keberadaan taman ini dapat dimanfaatkan sebagai ruang

publik perkotaan oleh masyarakat, baik sekedar untuk aktivitas “ngobrol ala

angkringan” maupun untuk berdisukusi. Tahap implementasi di Kali Wiso pemerintah

melakukan pembangunan Shopping Centre Jepara. Pembangunan ini hanya

difungsikan sebagai kawasan perdagangan yang terintegrasi. Kebijakan pemerintah

untuk mengubah kawasan sempadan sungai yang kumuh menjadi tertata dan terkelola

dengan baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Giri Hasan Besari mengenai

Adaptasi Masyarakat terhadap Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pengembangan

Waterfront Kota Surabaya. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tambak

Osowilangon dan Kelurahan Greges. Metode penelitian yang digunakan metode

deskriptif kualitatif dan kuantitiatif dari hasil wawancara masyarakat, observasi

wilayah dan data sekunder dikumpulkan. Hasil dari penelitian ini faktor alam dan

kegiatan manusia dianggap menjadi penyebab utama terjadinya banjir rob di kedua

kelurahan. Tindakan strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah gotong

royong kebersihan saluran drainase dan tanggul permukiman, menabung dan

mempersiapkan kebutuhan logistikm serta meninggalkan rumah saat terjadi bencana.

Sedangkan tindakan adaptasi oleh pemerintah saat ini masih bersifat penanganan fisik

7

seperti peninggian jalan permukiman, pembangunan tambat labuh nelayan, revitalisasi

saluran drainase, serta pembangunan pompa dan pintu air.

Perbedaan dengan skripsi yang dibuat adalah pada penelitian ini membahas

mengenai Peran Pemangku Kepentingan dalam Realisasi Konsep Waterfront City di

Kota Palembang. Peran pemangku kepentingan ini meliputi pemerintah, swasta, dan

masyarakat yang ikut serta atau beraktivitas di sekitar Tepian Sungai Musi. Tujuan

dari penelitian ini adalah mendeskripsikan penerapan konsep waterfront city di Kota

Palembang dan memetakan peran stakeholder (masyarakat, swasta, dan pemerintah)

dalam konsep waterfront city di Kota Palembang menurut Nicholas Falk.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan

kualitatif dan kuantitatif serta analisis spasial. Penelitian deskriptif dimaksudkan

untuk mengukur dengan cermat fenomena sosial tertentu, sedangkan pendekatan

kualitatif digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena

yang sedikit pun belum diketahui. Analisis secara spasial bertujuan untuk

mendeskripsikan ke dalam peta, daerah yang menjadi sampel dalam penelitian. Untuk

menjelaskan daerah kajian ini digunakan metode pengambilan sampel non –

probabiliity (non – probabilitas) yaitu metode accidental sampling (sampel

aksidental). Sampel non – probabilitas merupakan teknik yang tidak memberikan

peluang atau kesempatana sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih

menjadi sampel. Pengambilan sampel dengan cara aksidental adalah tenik

pengambilan sampel berdasarkan faktor spontanitas serta sesuai dengan karakteristik

objek yang diteliti. Perbedaan penelitian dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat

pada Tabel 1.1.

8

Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya

Judul Peneliti &

Tahun Tujuan

Metode Hasil

Persepsi Stakeholder terhadap Implementasi Penataan Ruang Kawasan Pesisir Parangtritis

Surani Hasanati. 2009. Skripsi

1)Mendeskripsikan keragaman persepsi stakeholder terhadap implementasi penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis di Dusun Mancingan

Metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan ekologi

1)Keragaman persepsi stakeholder terhadap penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis di Dusun Mancingan yaitu pemahaman terhadap program penataan, motivasi pelaksanaan program, sosialisasi dan promosi, kondisi pasar lokal, dan pemanfaatan lahan di Sultan Ground

2)Mengkaji harapan stakeholder terhadap implementasi penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis di Dusun Mancingan

2)Harapan stakeholder yang dapat diidentifikasi terkait penataan ruang kawasan pesisir Parangtritis yang sedang berlangsung di Dusun Mancingan yaitu adanya sinergi antara Pemerintah dengan masyarakat, kepastian program penataan tahap berikutnya, dan peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan PAD

Persepsi Stakholder Pembangunan Wilayah terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DIY tahun 2009 - 2029

Amatullah Zahiroh. 2010. Skripsi

1)Mengetahui keragaman persepsi stakeholder pembangunan wilayah terhadap RTRW Provinsi DIY tahun 2009 – 2029

Metode penelitian kualitatif dengan in-depth interview dan

observasi

1)Keragaman persepsi stakeholder terhadap RTRWP DIY yaitu Pemprov DIY , masyarakat, dan swasta sangat mendukung perda dan dokumen RTRWP, serta LSM menunjukkan respon tidak mendukung dan cenderung mengkritisi substansi RTRWP DIY

2)Mengetahui harapan stakeholder terhadap RTRW Provinsi DIY 2009 – 2029 serta rekomendasinya untuk RTRWP periode selanjutnya

2)Harapan stakeholder serta rekomendasi terhadap penyelenggaraan RTRWP DIY tahun 2009 – 2029 periode selanjutnya yaitu adanya kesesuaian antara implementasi dengan rencana, tanggung jawab pemerintah, pemberdayaan masyarakat, dan konsistensi penegakan hukum.

Persepsi Masyarakat Kota Ternate terhadap Waterfront City

Muhammad Faisal Albar. 2011. Tesis

1)Mendeskripsikan proses pengembangan waterfront city di Kota Ternate dan hasilnya Metode rasionalistik

yang bersifat eksploratif dengan

analisa metode kuantitatif dan

kualitatif

Berdasarkan persepsi masyarakat proses pengembangan waterfront city ini berhasil. Keberhasilan ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya pendapatan asli daerah Kota Ternate, selain itu juga terbukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar.

2)Mendeskripsikan persepsi masyarakat Kota Ternate terhadap waterfront city 3)Merumuskan masukan untuk perbaikan konsep waterfront city tersebut

9

Lanjutan Tabel 1.2 Penelitian Sebelumnya

Implementasi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Tepi/Sempadan Sungai di Jepara dari Tahun 2002 – 2009 (Studi Kasus Pengelolaan Kawasan Tepi/Sempadan Kali Wiso dan Kali Kanal)

Yoga Putra Prameswari. 2014. Skripsi

1)Mengetahui tahap implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan Kali Wiso dan Kali Kanal

Penelitian kualitatif dengan studi kasus

Tahap implementasi kebijakan oleh pemerintah terhadap Kali Kanal dan Kali Wiso tercapai. Kebijakan ini meliputi pembangunan taman kota di kawasan sempadan Kali Kanal dan Shopping Centre Jepara di Kali Wiso. Kebijakan yang dibuat ini untuk memperlihatkan pengelolaan kawasan sempadan sungai yang kumuh menjadi tertata dan terkelola dengan baik

2)Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pengelolaan sungai yang baik dan benar, berdampak positif pada keindahan, kenyamanan, dan kebersihan kota.

Adaptasi Masyarakat Terhadap Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya

Muhammad Giri Hasan Besari. 2014. Skripsi

1) Mengidentifikasi potensi bencana yang dapat terjadi akibat kenaikan muka air laut di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya

Metode deskriptif kualitatif dan

kuantitiatif dari hasil wawancara

masyarakat, observasi wilayah dan data sekunder

dikumpulkan.

Adaptasi masyarakat terhadap kenaikan muka air laut di kawasan pengembangan waterfront Kota Surabaya dengan menggunakan strategi sosial. Strategi sosial yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat sebelum banjir rob terjadi di kedua kelurahan adalah gotong royong membersihkan saluran draiase dan memperbaiki tanggul di permukiman, namun terjadi penurunan partisipasi masyarakat di kedua kelurahan dalam mengikuti gotong royong kebersihkan lingkungan di permukiman pasca banjir rob

2) Mengidentifikasi kapasitas adaptasi masyarakat pesisir di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya terhadap kenaikan muka air laut

3) Mengidentifikasi adaptasi dan strategi masyarakat pesisir serta langkah antisipasi pemerintah lokal di Kawasan Pengembangan Waterfront Kota Surabaya dalam menghadapi kenaikan muka air laut

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat dijabarkan dengan jelas yang meliputi :

Fokus : Peran Pemangku Kepentingan Dalam Implementasi Konsep Waterfront City di Kota Palembang.

Lokus : Bagian Ilir Kota Palembang yang meliputi Kelurahan 19 Ilir, Kelurahan 16 Ilir, Kelurahan 28 Ilir, dan Kelurahan 29 Ilir.

Metode: Metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, serta analisis secara spasial

10

1.6 Tinjauan Pustaka

1.6.1 Pendekatan Geografi

Geografi adalah ilmu yang menguraikan tentang permukaan bumi, iklim,

penduduk, flora, fauna serta basil – basil yang diperoleh dari bumi. Menurur Bintarto

dan Surastopo (1979), Ilmu geografi meliputi berbagai fenomena yang ada di

permukaan bumi, serta di dalam ilmu geografi terdapat beberapa pendekatan.

Pendekatan dalam geografi terbagi menjadi 3 yang meliputi pendekatan keruangan,

pendekatan ekologikal, dan pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan keruangan

merupakan analisa keruangan yang mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat –

sifat penting atau seri sifat – sifat penting, sedangkan pendekatan ekologikal

merupakan pendekatan yang mendasar pada interaksi organisme hidup dengan

lingkungannya. Pendekatan yang terakhir yakni pendekatan kompleks wilayah yang

merupakan kombinasi antara analisa keruangan dan analisa ekologi. Pada analisa ini

wilayah – wilayah tertentu dihampiri dengan pengertian aerial differentiation, yaitu

suatu anggapan bahwa interaksi antar wilayah akan berkembang karena pada

hakekatnya suatu wilayah berbeda dengan wilayah lain, oleh karena terdapat

permintaan dan penawaran antar wilayah tersebut.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekologikal

(ecologycal approach). Pendekatan ekologikal merupakan keterkaitam antara

fenomena geosfer tertentu dengan variabel lingkungan yang ada bukan eksistensi

keruangan. Pengertian analisis ekologi bukan hanya hubungan antara mahluk hidup

dengan natural environment saja, tetapi juga harus dikaitkan dengan phenomenal

environment yang di dalamnya meliputi natural phenomena beserta physical relics of

human actions dan behavioural environment yang meliputi perkembangan ide – ide

dan nilai geografis serta kesadaran akan lingkungan.

Pada pendekatan ekologikal dapat dikaji hubungan antara organisme hidup

dengan lingkungannya. Organisme hidup dalam penelitian ini meliputi manusia dan

lingkungan hidup berupa lingkungan fisikal yang melputi sungai, air, kendaraan,

rumah, dan lain sebagainya. Keterkaitan manusia dengan lingkungan fisikalnya dilihat

dari aktivitas yang dilakukan manusia khususnya di tepian Sungai Musi yakni

menjadikan kawasan tepian sebagai tempat tinggal, tempat bekerja, rekreasi serta

sebagai objek ketenangan. Keadaan ini dapat menjelaskan bahwa adanya hubungan

manusia dengan lingkungannya yaitu Sungai Musi yang telah menyediakan sumber –

11

sumber daya alam yang bersifat ekonomi dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat

akan air.

1.6.2 Pengertian Umum Waterfront

Pembangunan wilayah di suatu daerah dapat bermanfaat bagi daerah itu

sendiri. Manfaatnya dapat memajukan perekonomian wilayah, meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan kemakmuran di dalam suatu sistem

wilayah. Keselarasan antara alam dan kondisi wilayah menjadi syarat dalam

membangun wilayah agar dapat berkelanjutan. Berbicara mengenai pembangunan

wilayah, pembangunan bukan hanya difokuskan pada daratan akan tetapi dapat pula

di tepian atau dipinggiran perairan. Pembangunan yang berada di tepian biasanya

disebut dengan konsep waterfront.

Konsep waterfront city menurut Butuner (2006) dikemukakan pertama kali

pada abad ke-19. Penerapan konsep waterfront ini digunakan untuk merevitalisasi

kawasan industri yang ada di Kota Baltimore (Amerika), Boston, dan San Fransisco.

Revitalisasi ini dilakukan untuk menghilangkan efek negatif dari bekas pembangunan

suatu industri. Oleh karena itu, diterapkanlah konsep pembangunan waterfront city ini

untuk memulihkan kondisi kota di Baltimore, Boston, San Fransisco, dan Amerika

bagian Utara.

Waterfront adalah suatu tempat yang dinamis kondisinya dan dipengaruhi

oleh alam. Waterfront development adalah konsep pengembangan daerah tepian air

baik itu tepi pantai, sungai ataupun danau. Pengertian waterfront dalam Bahasa

Indonesia secara harfiah adalah daerah tepi laut, bagian kota yang berbatasan dengan

air, daerah pelabuhan (Echols, 2003).

Waterfront development juga dapat diartikan suatu proses dari hasil

pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya

pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air

dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi ke

arah perairan. Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam

Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront

city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke

laut, sungai, danau dan sejenisnya.

12

Penataan ruang dengan konsep waterfront memiliki sejarah yang panjang dan

berubah setiap waktunya. Waterfront diawali dengan munculnya permukiman di

sekitar area danau, sungai, ataupun pesisir pantai dan berkembang menjadi pelabuhan.

Sejalan dengan perkembangan global penataan ruang ini pun semakin menarik di

wilayah – wilayah yang berada di tepian air, mulai dari adanya akuarium, tempat

bersejarah, rekreasi, perdagangan, dan taman kota.

Penataan kota di tepian sungai dengan memadukannya daratan dan perairan

bukan sesuatu yang baru. Indonesia sudah merealisasikan konsep ini sejak zaman

penjajahan kolonial Belanda. Konsep ini digunakan pada saat Belanda menduduki

Jakarta atau Batavia. Hal ini dilakukan oleh Belanda untuk membuat kota tiruan yang

ada di Belanda.

Kawasan waterfront city diharapkan dapat menciptakan nilai ekonomi dan

daya tarik bagi kota itu sendiri. Banyaknya wisatawan akan datang dengan keunikan

dari penataan ruang ini selain itu, zona ekonomi yang baru juga dapat terbentuk

dengan adanya perencanaan konsep ini. Hal ini dapat berdampak juga pada

penciptaan lapangan kerja bagi masyarakatnya sehingga dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat.

1.6.3 Prinsip – Prinsip Waterfront

Menurut Nicholas Falk (2002) ada tiga prinsip di dalam pelaksanaan konsep

waterfront city yang meliputi daya tarik dari suatu tempat, integrasi antar wilayah, dan

sumberdaya air. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Daya Tarik dari Suatu Tempat

a) Unik

Ketika mengunjungi sebuah kota asing, seringkali orang melihat karakter dari

wilayah tersebut dan menjadikannya sebagai pengalaman yang baru. (Norberg-Schulz

1980). Setiap masing – masing tempat memiliki karakteristik diantaranya umum dan

lokal. Karakteristik umum adalah sesuatu yang mendefinisikan dimensi spasial dari

suatu tempat, sedangkan karakteristik lokal adalah sesuatu hal yang membuat tempat

tersebut terlihat unik. Karakteristik lokal dimaksudkan juga sebagai suatu tempat yang

terlihat eksklusif dan beda dengan tempat yang lain.

Pengukuran yang konkrit dalam mengukur keunikan suatu tempat, belum bisa

ditentukan dengan sendirinya. Penjelasan dari keunikan ini lebih baik jika ditanyakan

13

langsung kepada orang yang menikmati secara visual konsep waterfront city.

Keunikan ini lebih dimaksudkan sebagai suatu tempat yang dapat memanjakan mata

para pengunjung dan memberikan suatu pengalaman yang tidak tertandingi

dibandingkan tempat yang lain.

b) Ketersediaan Ruang Publik

Ketersediaan ruang publik dinilai oleh kenampakan fisik dari suatu kondisi.

Jika ruang publik tidak digunakan dan tidak dihormati maka akan sangat beresiko.

Tempat akan dikenakan sanksi apabila dipenuhi dengan coretan, trotoar yang kurang

kokoh, sampah di jalan setapak, dan prasarana yang buruk. Ruang publik sebaiknya

dapat menjaga keselamatan pengguna. Jika hal ini tidak memenuhi, maka ruang

publik yang ada akan kehilangan nilainya.

c) Unsur Sejarah

Unsur sejarah diterapkan pada suatu perencanaan yang baru dengan konsep

waterfront city. Perencanaan ini dinilai dengan cara melihat unsur sejarah yang ada

masih meninggalkan bentuk aslinya ataukah sudah merubah keasliannya. Suatu

metode adaptasi dengan menggunakan kembali tempat sejarah cocok dengan

perencanaan yang menghormati dan menafsirkan masa lalu. Prosedur ini diterapkan

dengan menggunakan dan melestarikan kembali arsitektur, struktur bangunan elemen

bersejarah didalamnya, serta mengadaptasi suatu perencanaan baru tanpa merubah

bentuk aslinya. Perencanaan yang ideal untuk bagian ini adalah keseimbangan masa

lalu dan masa kini.

Menurut James W. Good dan Robert F. Goodwin (1990) dalam studi kasusnya

di Skamokawa, Washington. Rencana konseptual pembangunan untuk Skamokawa

salah satunya mengidentifikasi bangunan – bangunan bersejarah untuk digunakan

kembali sebagi tempat coffee shop, pusat interpretatif, dan tempat perahu – perahu

kecil untuk berlabuh. Bangunan bersejarah dilindungi dan dimanfaatkan kembali

dengan melakukan pengecatan ulang dan memperbaiki struktur bangunan yang rapuh.

Hal ini dilakukan untuk melestarikan karakter dan tempat bersejarah di sini.

14

2. Integrasi dengan Wilayah Sekitarnya

a) Tempat Pejalan Kaki (Akses Keterjangkauan)

Adanya tempat pejalan kaki merupakan hal terpenting karena dapat membuat

suatu keberhasilan atau sebaliknya dapat menggagalkan suatu konsep waterfront city.

Bagian ini akan memperhitungkan jarak dari pusat kota utama dengan letak

waterfront ini. Perhatian utama untuk bagian ini adalah lokasi tempat dan keadaan

sekitarnya, dilihat aman atau tidak untuk para pejalan kaki serta mudah untuk

dijangkau oleh masyarakat. Kemudahan jangkauan masyarakat ini dilihat dari akses

yang digunakan seperti mobil, motor, kapal, dan kendaraan lainnya yang mampu

menjangkau tempat ini.

b) Menawarkan Semua Jenis Aktivitas untuk Semua Komunitas

Sebuah tempat yang menawarkan berbagai aktivitas baik itu di darat ataupun

di air. Aktivitas yang dimaksudkan adalah aktivitas yang berbeda satu dengan yang

lainnya dan dilakukan oleh orang yang berbeda juga misalnya aktivitas untuk hiburan

seperti klub, restoran, bar, olahraga, dan hiburan lainnya. (Studi Kasus : Kota Bristol,

Inggris). Menurut National Oceanic And Atmospheric Administration (NOAA)

dengan adanya pembangunan di tepian air akan menciptakan berbagai berbagai

aktivitas seperti perumahan, toko, kantor, sekolah, serta tersedianya tempat untuk

pejalan kaki. Dengan adanya berbagai aktivitas maka akan menciptakan berbagai

komunitas yang menggunakan sarana dan prasarana yang tersedia.

c) Memperdulikan dan Menghormati Sejarah dan Arsitektur Jaman Dahulu

Bagian ini untuk melihat seberapa baik konsep waterfront city mempengaruhi

sejarah dan arsitektur ruangannya. Dalam hal ini dapat dilihat secara visual suatu

perencanaan dengan melihat corak mode, material, dan warnanya. Tempat yang baru

dinilai dengan cara melihat tempat tersebut menyesuaikan sejarah dan arsitekturnya

atau tidak.

3. Sumber Daya

a) Air sebagai Tempat Bekerja, Tempat Tinggal, dan Rekreasi

Air sebagai sumberdaya dan memiliki nilai tambah dalam suatu perencanaan.

Bagian ini akan menjelaskan berbagai ragam suatu perencanaan di tepian air. Hal ini

dilihat dari manfaat air itu sendiri yang meliputi sebagai salah satunya untuk

15

kesenangan atau rekreasi, tepian air harus menciptakan lingkungan yang tenang dan

mudah di akses secara fisik (infrastruktur) dan visual (iklan, informasi melalui media

sosial, dan lain sebaginya) oleh publik. Adapun air sebagai tempat tinggal, waterfront

harus menyediakan tempat untuk bersandar baik itu sementara atau permanen. Dan

yang terakhir memanfaatkan air sebagai tempat bekerja yang memiliki artian sebagian

dari properti di tepian air disediakan untuk ruang kantor. Penggunaan akan sumber

daya air ini dilihat apakah sudah digunakan ketiganya, atau hanya satu, dan dua saja.

Situasi yang ideal apabila ketiganya digunakan secara harmonis.

Hal ini didukung dengan pendapat menurut Young (2000) yang beranggapan

perencanaan dalam konsep waterfront menjadikan kawasan tepian air sebagai tempat

tinggal, tempat bekerja, dan bermain. Konsep di tepian air dijadikan sebagai tempat

berkumpul, jalan – jalan, tempat makan dan minum, menatap cakrawala kota, dan

menonton aktivitas yang berada di air.

b) Melindungi dan Meningkatkan Kualitas Air untuk Keberlanjutan Sumberdaya Air

Dengan kegiatan pembangunan di sepanjang area tepian air, kualitas air, dan

kualitas hidup akan terpengaruh. Hal ini sangat sulit untuk dikontrol, terutama daerah

yang berdekatan dengan daerah perkotaan, dimana potensi dapat terkontaminasinya

sangat tinggi. Dalam melindungi dan meningkatkan kualitas air dapat dilihat dari

tersedia atau tidaknya saluran drainase, tempat pengolahan limbah (khusus indutri

besar), tempat sampah, serta ada zona khusus yang jauh dari gangguan manusia untuk

hidupnya flora dan fauna, sehingga dapat menciptkan keseimbangan dalam konsep

waterfront city. Menurut Fisher (2004), dalam pembangunan waterfront, regulasi

mengenai perbaikan lingkungan dimulai pada tahun 1970 dan 1980. Peraturan ini

dibuat agar dapat menciptakan kondisi lahan agar terlihat lebih menarik di tepian air.

c) Air sebagai Suatu Objek yang Memberikan Ketenangan dan Kenyamanan

Air adalah aset yang paling besar di daerah tepian dan tidak bisa tergantikan.

Sementara dalam konsep perencanaan waterfront, air tidak harus dilihat sebagai

penghalang atau kendala di sutau wilayah, akan tetapi sebagai kesempatan untuk

memperluas penggunaan keluar atau ke tepi. Pada bagian ini, perencana mencari

penggunaan tepian air yang unik. Contoh idealnya menggunakan fitur pencahayaan

warna-warni di tepian air sehingga memberikan nilai tambah dan memperindah

kawasan tersebut di malam hari.

16

d) Analisis Kritis

Bagian ini didedikasikan untuk wawasan kritis peneliti pada konsep

waterfront. Mengingat semua hasil dari bagian sebelumnya, peneliti harus

memutuskan untuk merumuskan kesuksesan dari suatu waterfront.

1.6.4 Jenis – Jenis Waterfront

Waterfront city memiliki dua jenis diantaranya yang berdasarkan tipe proyek

dan berdasarkan fungsi yaitu (Breen dan Rigby, 1996) :

a. Berdasarkan tipe proyeknya, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada

sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat;

2. Pembangunan Kembali (redevelopment) adalah upaya menghidupkan

kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan

untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali

fasilitas – fasilitas yang ada;

3. Pengembangan (development) adalah usaha menciptakan waterfront yang

memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi

pantai.

b. Berdasarkan fungsinya, waterfront dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :

1. Mixed-used waterfront, adalah waterfront yang merupakan kombinasi dari

perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-

tempat kebudayaan;

2. Recreational waterfront, adalah semua kawasan waterfront yang

menyediakan sarana-sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi, seperti

taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar;

3. Residential waterfront, adalah perumahan, apartemen, dan resort yang

dibangun di pinggir perairan;

4. Working waterfront, adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial,

reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuhan.

17

1.6.4 Kriteria - Kriteria Waterfront

Dalam menentukan suatu lokasi tersebut waterfront atau tidak maka ada

beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai lokasi suatu tempat apakah masuk

dalam waterfront atau tidak.

Berikut kriteria yang ditetapkan :

1. Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut, danau,

sungai, dan sebagainya);

2. Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman, atau pariwisata;

3. Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri,

atau pelabuhan;

4. Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan;

5. Pembangunannya dilakukan ke arah horisontal.

1.6.5 Aspek- Aspek yang Menjadi Dasar Perancangan KonsepWaterfront Development

Pada perancangan kawasan tepian air, ada dua aspek penting yang mendasari

keputusan - keputusan rancangan yang dihasilkan.Kedua aspek tersebut adalah faktor

geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989).

a. Faktor geografis merupakan faktor yang menyangkut geografis kawasan dan akan

menentukan jenis serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam hal ini adalah

Kondisi perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dan seterusnya), dimensi dan

konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya.

1. Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta

kepemilikannya;

2. Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.

b. Konteks perkotaan (Urban Context) merupakan faktor-faktor yang nantinya akan

memberikan ciri khas tersendiri bagi kota yang bersangkutan serta menentukan

hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota

yang terkait. Termasuk dalam aspek ini adalah:

1. Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di

kawasan waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut

sebagai sarana publik;

18

2. Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang

perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau

penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan;

3. Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan

sirkulasi didalamnya;

4. Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu

kawasan waterfront dengan lainnya.

1.7 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Nicholas Falk

(2002) mengenai Turning the Tide: The Renaissance of Urban Waterfront. Ada 3

prinsip dalam konsep waterfront yang meliputi spirit of place, integration with the

surrounding area, dan resourcefulness (lihat gambar 1.1).

.

 

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

1. Unik 2. Ketersediaan

Ruang Publik 3. Unsur Sejarah

Konsep Waterfront City menurut Nicholas Falk

1. Tempat Pejalan Kaki

2. Jenis Aktivitas 3. Sejarah Arsitektur

1. Tempat Bekerja 2. Tempat Tinggal 3. Kualitas Air

Dan Analisis Kritis

Deskripsi Penataan Ruang Waterfront City menurut RTRW Kota Palembang

Pemerintah Masyarakat Swasta

Peran Pemangku Kepentingan dalam Konsep Waterfront City

Daya Tarik Tempat

Integrasi antar wilayah

Sumber Daya Air

19

Kota yang digunakan dalam teori ini berada di Eropa tepatnya di Bristol,

Inggris. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat bagaimana dan seberapa

baiknya reformasi waterfront yang diterapkan di kota ini. Reformasi ini dilakukan

untuk mengembalikan kondisi ideal dari sebuah tepian yang rusak akibat aktivitas

industri. Studi ini juga membicarakan tentang pembangunan kembali waterfront city.

Teori yang digunakan ini memiliki kecocokan pada wilayah yang akan dikaji.

Kota Palembang tepatnya di tepian Sungai Musi dahulunya adalah sebuah pelabuhan

yang digunakan dalam sektor komersial, beda halnya dengan pelabuhan yang ada di

Bristol yang digunakan sebagai pelabuhan industri. Sejalan dengan perkembangan

globalisasi pelabuhan di Bristol berganti fungsinya, yang awalnya sebagai pelabuhan

industri menjadi tempat perdagangan dan rekreasi yang berkelanjutan.

Ada dua perbandingan yang digunakan pada studi kasus Kota Bristol meliputi

perencanaan sebelum waterfront dilaksanakan dan sesudah waterfront dilaksanakan

(Rosenberger, 2004). Teori ini dikembangkan dari hasil penelitian yang dilakukan

oleh Nicholas Falk yang mengacu pada prinsip-prinsip kesuksesan dalam waterfront.

Prinsip-prinsip ini diterapkan ke dalam penelitian waterfront city di Kota Palembang.

Pelaksanaan penataan ruang dengan konsep waterfront memerlukan pelaku

dalam pelaksanaanya. Pelakunya meliputi beberapa stakeholder yakni peran

masyarakat, pemerintah, dan swasta yang berada di tepian Sungai Musi. Peran

stakeholder dilihat melalui 3 prinsip Nicholas Falk yang meliputi daya tarik, integrasi

antar wilayah, dan sumberdaya air. Peran dari setiap pemangku kepentingan ini akan

dijelaskan sebagai berikut :

1.7.1 Peran Masyarakat

Conyers (1994) dalam Muta’ali (2013) menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) alasan

utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama,

partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai

kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya

program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih

mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses

persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui detail dari

proyek tersebut. Ketiga, timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila

masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Dapat

20

dirasakan bahwa merekapun mempunyai hak untuk turut memberikan saran dalam

menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan.

Partisipasi atau peran masyarakat dalam proses perencanaan maupun proses

pembangunan dianggap cukup penting, Jnanabrota Bhattacharyya (1972) mengartikan

partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Mubyarto (1984)

mendefinisikannya sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program

sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Nelson (Bryant dan White, 1982) menyebut dua macam partisipasi : partisipasi antara

sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang dinamakannya partisipasi

horisontal, dan partispasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antar klien

dengan patron, atau antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah,

yang diberi nama partisipasi vertikal. Pada hakekatnya, partisipasi atau peran

masyarakat sebagai masukan pembangunan yang dapat meningkatkan usaha

perbaikan kondisi dan taraf hidup masyarakat yang bersangkutan.

Adapun tujuan dari peran masyarakat sejak tahap perencanaan adalah untuk

menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat

yang berkepentingan dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan

(Cohen dan Uphoff 1977). Karena dengan melibatkan masyarakat ke dalam suatu

penataan ruang waterfront city maka masyarakat sendiri akan terkena dampak

kegiatan dan kelompok kepentingan. Para pengambil keputusan dapat menangkap

pandangan, kebutuhan, pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut dengan

menuangkan ke dalam konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan

menolong pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah

yang positif dari berbagai faktor.

1.7.2 Peran Pemerintah

Keberhasilan suatu pembangunan pada umumnya bergantung pada beberapa

faktor seperti tenaga terlatih, biaya, informasi peralatan, pastisipasi, dan kewenangan

yang sah (Ketz, 1969). Kendatipun ada berbagai faktor, namun seperti sudah

dikemukakan di atas, di negara – negara yang sedang berkembang faktor

pemerintahlah yang terpenting, karena pemerintah yang berperan menggali,

menggerakkan, dan mengkombinasikan faktor – faktor tersebut (Ketz, 1965).

Pemerintah memegang peranan sentral dalam pembangunan nasionalnya (Ponsioen,

1968) yaitu dalam menetapkan kebijakan umum (policy) dan melaksanakannya.

21

Proses penetapan kebijakan umum disebut pemerintahan (Apter, 1972), dan proses

pelaksanaannya disebut business side pemerintahan dinamakan administrasi negara

(Waldo, 1972) atau dapat juga disebut administrasi pemerintahan (negara).

Peranan dalam hal ini merupakan aspek dinamis suatu lembaga, atau seperti

yang dikatakan oleh Berger dan Luckmann (1972), peranan mewakili tata institusional

(institutional order) suatu lembaga (dalam hal ini pemerintah). Semua peranan

mewakili suatu lembaga secara menyeluruh, tetapi ada beberapa diantaranya yang

secara simbolis dapat dianggap mewakili lembaga yang bersangkutan secara total.

Peranan seperti ini mempunyai makna strategis di dalam pembangunan, sebab peran

tersebut tidak saja mewakili lembaganya sendiri melainkan juga merupakan faktor

integratif antar seluruh lembaga. Penetapan kebijakan umum dan penyusunan rencana

pelaksanaanya, yang dilakukan oleh pemerintah, dapat dianggap sebagai peranan

strategis. Peranan strategis disebut oleh Collins (ed., 1983) sebagai peranan dasar

(basic role).

Peran pemerintah dalam hal ini mengenai wewenang dan kebijakan perihal

pembangunan wilayahnya masing – masing. Dalam Undang – Undang tentang

Otonomi Daerah menekankan setiap daerah untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri sebagai manivestasi dari desentralisasi serta merencanakan

daerahnya sesuai dengan potensi dan peraturan perundang – undangan yang ada.

Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan – ketentuan yang harus dijadikan

pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan aparatur pemerintah,

sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu. Daerah

memiliki kebijakan dalam ruang lingkup teritorial daerahnya sendiri.

Salah satu yang diatur dalam pembangunan yakni terdapat pada Undang –

Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa

negara bertanggung jawab menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaannya, negara memberikan kewenangan

penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah daerah baik itu provinsi atau

kabupaten.

Sesuai dengan batas kewenangan masing-masing Pemerintah dan Pemerintah

Daerah yang diberikan kewenangan dengan prinsip dekosentrasi atau tugas

pembantuan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi

pengaturan, pembinaan, pengawasan, pelaksanaan, kerja sama penataan ruang, dan

22

koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas

pemangku kepentingan.

Dalam pelaksanaan penataan ruang, pemerintah, dan pemerintah daerah

bertanggung jawab pada RTRW dan RTRKS dalam hal perencanaan, pemanfaatan,

dan pengendalian pemanfaatan, serta penetapan kawasan strategis. Pemerintah dalam

hal ini bertugas untuk melihat potensi dan hambatan yang ada di lapangan terkait

untuk penetapan kawasan strategis suatu wilayah. Penelitian ini akan melihat seberapa

jauh pemerintah Kota Palembang telah merencanakan wilayahnya dengan konsep

waterfront city.

1.7.3 Peran Swasta

Ekonomi global mengalami krisis dan penurunan ekonomi, untuk

menstabilkannya, suatu kota membutuhkan kemitraan yang melibatkan proses yang

dinamis dan fleksibel guna mengatasi permasalahan ini. Oleh karena itu, beberapa

peneliti mengemukakan penyelesaian ini dapat diatasi dengan model public private

partnership (PPP).

Menurut National Council for Public – Private Partnership, public – private

partnership adalah perjanjian kontraktual antara instansi publik (federal, negara

bagian, atau lokal) dan sektor swasta. Melalui perjanjian ini, aset dari masing-masing

sektor (publik dan swasta) saling memberikan pelayanan dan fasilitas untuk

masyarakat umum. Selain berbagi sumber daya, masing-masing sektor (publik dan

swasta) saling berbagi resiko dan manfaat mengenai pelayanan dan fasilitas.

Kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta dapat membantu permasalahan

pembangunan dengan cara membiayai proyek-proyek dari pemerintah atau dengan

kata lain berinvestasi. Model public private partnership ini sangat menguntungkan

bagi kedua pihak yang antara lain pemerintah dan pihak swasta. Pemerintah dapat

memberikan pelayanan publik yang berkualitas tanpa mendapatkan beban

pembiayaan, sedangkan pihak swasta sebagai pemberi dana mendapatkan keuntungan

dari membiayai proyek-proyek pemerintah tersebut.

Menurut Direktorat Penataan Ruang Nasional, pihak swasta merupakan pelaku

pembangunan yang penting dalam pemanfaatan ruang perkotaan. Terutama karena

kemampuan kewirausahaan yang mereka miliki. Peran swasta yang diharapkan dalam

pemanfaatan ruang perkotaan sama seperti peran yang diharapkan dari masyarakat.

Namun, karena swasta memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat

23

umum, maka terdapat peran lain yang dapat dilakukan oleh swasta, yaitu untuk tidak

saja menekankan pada tujuan ekonomi, namun juga sosial dan lingkungan dalam

memanfaatkan ruang perkotaan.