35
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan industri dan perdagangan tersebut secara tidak langsung menyebabkan dunia usaha menjadi arena persaingan bisnis yang ketat dan selektif. Keberadaan teknologi modern yang mampu mempersingkat jarak waktu, membuat negara-negara di dunia seakan menjadi satu, dan dibidang perdagangan menyebabkan saling ketergantungan serta saling mempengaruhi. Dunia industri dan perdagangan nasional menunjukan berbagai gejala persaingan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan. Keadaan ini sering kali bukan hanya merugikan produsen, tetapi juga merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Disinilah merek sebagai salah 1

Bab i peci

  • Upload
    peci

  • View
    277

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab i peci

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan industri dan perdagangan tersebut secara

tidak langsung menyebabkan dunia usaha menjadi arena persaingan

bisnis yang ketat dan selektif. Keberadaan teknologi modern yang

mampu mempersingkat jarak waktu, membuat negara-negara di dunia

seakan menjadi satu, dan dibidang perdagangan menyebabkan saling

ketergantungan serta saling mempengaruhi.

Dunia industri dan perdagangan nasional menunjukan

berbagai gejala persaingan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak

simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan.

Keadaan ini sering kali bukan hanya merugikan produsen, tetapi juga

merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Disinilah merek

sebagai salah satu wujud karya intelektual memegang peranan yang

amat penting di dalam mencegah terjadinya persaingan usaha tidak

sehat.

Merek merupakan salah satu komponen hak kekayaan

intelektual yang perlu mendapat perhatian khusus. Pelanggaran atau

perilaku menyimpang dibidang merek akan selalu terjadi. Hal ini

berkaitan dengan perilaku bisnis yang curang yang menghendaki

1

Page 2: Bab i peci

persaingan (competitive) dan berorientasi keuntungan (profit oriented),

sehingga membuka potensi aktivitas bisnis yang curang atau

melanggar hukum, dan motivasi seseorang melakukan pelanggaran

merek terutama adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan di

dalam praktek bisnisnya

Merek sebagai identitas dari suatu merek akan merujuk pada

kualitas (mutu) dan harga terhadap suatu produk barang dan atau jasa

yang telah dibentuk oleh pemiliknya.1 Sedangkan pengertian merek

dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang

merek, memberikan suatu definisi tentang merek yaitu Merek adalah

tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,

susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang

memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan

barang atau jasa. Melalui merek, masyarakat sebagai konsumen akan

dengan mudah mengenali suatu produk perusahaan tertentu. Merek

biasanya dicantumkan pada barang atau pada kemasan atau bungkus

barang yang dijual atau dicantumkan secara tertentu pada hal-hal yang

terkait pada jasa yang dijual.

Pemasaran dari suatu produk barang dan jasa tidak terbatas

pada suatu Negara, akibatnya suatu merek produk barang dan jasa

yang berkualitas akan menjadi trend dan digemari secara umum. Hal

tersebut memberikan dampak yang negatif berupa makin banyaknya

1 Ok Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual ( intellectual Property Rights), Jakarta. Raja Grafindo Persada, 2004, Hal 330

2

Page 3: Bab i peci

peniruaan dan penjiplakan yang secara jelas tidak mencerminkan

perdagangan modern yang menekankan adanya suatu persaingan,

tetapi persaingan yang sehat, persaingan yang kompetitif.

Salah satu prinsip ekonomi modern adalah iklim perdagangan

dan adanya sistem persaingan yang sehat2, yaitu dalam meraih

keuntungan melalui kompetisi yang sehat bukan persaingan curang,

yang akan menyenbabkan kerugian orang lain atau perusahaan lain

yang mempunyai merek terkenal atau yang sudah mempunyai

reputasi, terhadap merek-merek produk barang dan jasa yang

berkualitas. Persoalan pemalsuan merek tersebut tidak saja

memberikan kerugian di pihak produsen pemilik merek, para

konsumen dan pemerintah ini membutuhkan suatu pengaturan yang

baik agar dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam

dunia merek.

Indonesia telah berupaya memberikan perlindungan hukum di

bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya pada bidang merek

sebagai bagian dari lingkup Hak Kekayaan Intelektual (HKI),

perlindungan hukum terhadap merek tersebut sudah berlaku di

Indonesia sejak tahun 1912, yaitu pada saat penjajahan Belanda di

Indonesia sebagaimana di atur dalam Reglement Industrieele

Eigendom (RIE) Tahun 1912 yang dimuat dalam Stb. 1912 No. 545 jo

Stb. Nomor 214.3 Reglement tersebut diganti dengan Undang-undang

2 Sri Redjeki Hartono, Hak Kekayaaan Intelektual Dalam Era Persaingan Pasar Bebas, Penerbit Undip, Agustus 2000

3 Ibid ,Hal 331

3

Page 4: Bab i peci

Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek. Kemudian, Undang-undang

Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek tersebut diganti dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang

Merek.

Indonesia saat ini telah mempunyai Undang-Undang Merek

terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang

diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001 Undang-Undang merek

baru ini merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya

yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 14

Tahun 1997. Dengan undang-undang merek baru ini terciptalah

pengaturan merek dalam satu naskah (single text) sehingga lebih

memudahkan masyarakat untuk memahami dan selanjutnya untuk

dilaksanakan. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan dalam Undang-

Undang merek lama, yang substansinya tidak diubah, dituangkan

kembali dalam Undang-Undang Nomor.15 tahun 2001.4

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang

merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Merek yang telah

ada sebelumnya memberikan penegasan bahwa apabila terjadi suatu

sengketa terhadap suatu merek terdaftar maka gugatan pembatalan

pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga.

4 Ardian Sutedi, Hak atas Kekayaan Intelektual.,Jakarta, Sinar Grafika, 2009.Hal 91

4

Page 5: Bab i peci

Pada kasus sengketa merek antara PT. DUA KELINCI dan

PT.GARUDA FOOD yang terjadi pada bulan juni 2007. Kedua

perusahaan makanan itu memperebutkan nama “KATOM” sebagai

merek produk kacang atom yang diproduksi kedua perusahaan itu. PT.

GARUDA FOOD yang merasa didahului PT. DUA KELINCI untuk

mendaftarkan merek itu ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan

Intelektual (Ditjen HaKI), menggugat PT. DUA KELINCI di Pengadilan

Niaga Semarang .

PT. GARUDA FOOD baru mendaftarkan merek “KATOM” ke

Ditjen HaKI pada 30 Maret 2004. Pada proses pemeriksaan ternyata

ditemukan merek yang sama yang telah didaftarkan terlebih dahulu

oleh PT. DUA KELINCI pada tanggal 16 Maret 2004. Sertifikat

pendaftaran merek “KATOM” yang dilakukan PT. DUA KELINCI itu,

dikeluarkan Dirjen HaKI pada 19 September 2005. Sebagai pemilik

sekaligus pemakai pertama dari merek KATOM itu, maka keluarnya

sertifikat pendaftaran merek atas nama Hadi Sutiono, jelas sangat

merugikan bisnis PT. GARUDA FOOD. Karena itulah PT. GARUDA

FOOD kemudian menggugat Hadi di Pengadilan Niaga Semarang.

Dalam gugatannya disebutkan, bahwa Hadi telah mendaftarkan merek

“KATOM” dengan iktikad tidak baik. Alasan dari gugatan itu karena PT.

GARUDA FOOD adalah pemilik dan pemakai pertama.5

5 http:/bhayusenoaji.wordpress.com/2008/07/13/tentang-atom di unduh tanggal 3 september 2010

5

Page 6: Bab i peci

Pada sengketa kasus di atas maka penulis ingin mengetahui

implementasi Undang-Undang No.15 Tahun 2001 atas penyelesaian

hukum terhadap sengketa pembatalan pendaftaran merek antara PT.

DUA KELINCI dan PT. GARUDAFOOD.

ALUR PIKIR PEMBATALAN PENDAFTARAN MEREK ANTARA PT. GARUDA FOOD DAN PT. DUA KELINCI

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

6

PERUSAHAA

N

GARUDA FOOD

&DUA

KELINCIDOMISILI PATI, JAWA

TENGAH

Merek “KATO

M” tidak dapat

didaftarkan

karena ada

pendaftar

merek yang sama yaitu DUA

KELINCI

TIMBUL NYA SENGKETA

GARUDA FOOD

ingin mendaftarkan merek “ KATOM” pada Dirjen

HKI

MEDIASI

MAKHAMAH AGUN

G

PENGADILAN NIAGA

PUTUSAN :

DUA KELINCI

Di menang

MA karena sebagai pendaft

ar pertama sesuia

UU No.15 tahun 2001

PUTUSAN

Pengadialan

Niaga Semara

ng, memenagkan

perkaran

GARUDA FOOD

GARUDA FOOD melaku

kan gugatan ke DUA KELINCI

atas Merek “KATO

M”

DUA KELINCI

& GARUDA FOOD mengad

akan mediasi

, dengan penandatangan

AKTA Perdam

aian

CARA PENYELESAIAN SENGKETA

Dengan adanya putusan di atas maka DUA KELINCI mengajukan KASASI

Garuda food mengajukan

gugatan ke PN karena sebagai

pemilik dan pemakai pertama

Page 7: Bab i peci

1. Bagaimanakah terjadinya sengketa pembatalan pendaftaran

merek antara PT.GARUDA FOOD PUTRA PUTRI JAYA dan

PT.DUA KELINCI ?

2. Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa pembatalan

pendaftaran merek antara PT.GARUDA FOOD PUTRA PUTRI

JAYA dan PT.DUA KELINCI ?

3. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim pada Pengadilan

Niaga Semarang pada Putusan No.05/HAKI/M/2007/PN.NIAGA

SMG menggunakan sistem deklaratif sehingga bertentangan

dengan UU No.15 tahun 2001 yang menggunakan sistem

Konstitutif ?

C. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Secara Akademis, dengan penelitian ini dapat

memperoleh data sebagai bahan penyusunan tesis

sebagai salah satu syarat penyelesaian studi tingkat S-2

pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

b. Secara Teoritis, dengan adanya penelitian ini dapat

dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk berbagai konsep

ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan

bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang

7

Page 8: Bab i peci

hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), khususnya

penyelesaian sengketa gugatan pembatalan pendaftaran

merek antara dua kelinci dan garuda food

2. Secara Praktis, dapat dipergunakan sebagai bahan masukan

yang bermanfaat untuk memberikan informasi dan pengetahuan

bagi masyarakat tentang upaya hukum yang dapat dilakukan

apabila terjadi sengketa terhadap suatu hak merek yang telah

terdaftar dalam kaitannya dengan Undang-Undang nomor 15

Tahun 2001 tentang Merek.

D. Kerangka Pemikiran

Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam hukum

menurut Gustav Radbruch6 mengemukan adanya tiga nilai

dasar terdiri dari keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.

Realita menjukan bahwa hukum tidak hanya menciptakan

keadilan dalam masyarakat dan melayani kepentingan-

kepentingannya, tetapi secara yuridis dituntut untuk

memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum dibutuhkan

oleh masyarakat untuk mengisi kekosongan hukum. Oleh

karena itu Radbruch mengatakan bahwa unsur yang paling

utama bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan

perundang-undangan.

6 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Suryandaru Utama. Semarang. 2005, Hal 13

8

Page 9: Bab i peci

Peraturan perundang-undangan dapat memberikan

kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu

peraturan dibuat maka menjadi pasti pulalah nilai hendak

dilindungi oleh peraturan yang dibuat. Mengacu pada teori di

atas hukum merek sebagai lembaga peraturan di bidang merek

akan mampu memberikan kepastian hukum atas karya

intelektual (merek) dengan cara mendaftarkan hak atas merek

sesuai prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.15

Tahun 2001 Tentang merek, sehingga kepada pihak-pihak yang

melanggar hak-haknya dapat dituntut.

Suatu merek selain memiliki nilai ekonomis karena

dapat mengahasilkan profit yang besar juga keberadaannya

memiliki suatu aspek hukum yaitu sehubungan adanya

kepastian hukum bagi hak atas merek. Hak Kekayaan

Intelektual itu merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh

Negara kepada seseorang atau kelompok orang, dan

merupakan perlindungan atas penemuan ciptaan di bidang seni

dan sastra ilmu pengetahuan, teknologi dan pemakain simbol

atau lambang dagang.

Di lapangan, sangat memungkinkan terjadi perbedaan

dalam melihat apa yang dimaksud dengan merek atas suatu

barang dan jasa, namun definisi ataupun terminology mengenai

merek yang banyak dikemukakan para ahli terminology dan

9

Page 10: Bab i peci

para sarjana dalam literature Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

mempunyai esensi sama yaitu suatu tanda yang digunakan

dalam kegiatan perdagangan dan jasa, menurut Etty Susilowati

merek adalah tanda yang dilekatkan pada sutu produk, berupa

gambar, nama, kata, huruf, angka, susunan, warna yang

mempunyai daya pembeda dengan barang sejenis7.

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 tentang merek, memberikan suatu definisi tentang merek

yaitu Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,

huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari

unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan

digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Bila

dilihat dari batas yuridis yang telah diberikan oleh Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Nomor 15 Thaun 2001 tentang Merek tersebut,

dapat diambil unsur-unsur merek sebagai berikut :

a. adanya tanda berupa gambar atau nama, kata, huruf-huruf,

angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari

semuannya;

b. adanya daya pembeda atau ciri khas tertentu;

c. digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.

Pemberian merek suatu merek bagi suatu barang dan

jasa bila di perhatikan lebih lanjut tidak hanya bermanfaat dan

berguna bagi pemilik merek atau produsen, tetapi juga bagi 7 Etty Susilowati, Hak kekayaan Intelektual,Bunga Rambai, Undip Press 2002

10

Page 11: Bab i peci

konsumen sebagai pemakai dari barang atau jasa tersebut.

Pemberian dari suatu merek bertujuan yaitu untuk :

a. menjamin kepada konsumen bahwa barang yang dibelinya

itu dari perusahaan;

b. untuk menjamin mutu barang;

c. untuk memberi nama;

d. memberi perlindungan kepada pemilik merek yang sah yang

ditiru orang lain untuk barang yang bermutu rendah.8

Merek digunakan secara sah, maksudnya didaftarkan

maka kepada pemilik merek tersebut diberi hak atas merek. Hak

atas merek tersebut penegasannya dapat ditemui pada Pasal 3

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 yang menegaskan

bahwa : ”Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan

oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar

Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan mengunakan

sendiri Merek tersebut dan memberikan izin kepada pihak lain

untuk menggunakannya”

Merek hanya dapat didaftarkan atas dasar

permohonan yang diajukan pemiliknya atau kuasanya. Dalam

pendaftaran merek saat ini dikenal 2 (dua) macam sistem

pendaftaran yaitu :

a) Sistem deklaratif (passief stelsel )

b) Sistem Konstitutif ( aktif ) atau attribut.

8 N.A. Soetijarto, Seri Hukum dagang, Hak Milik Perusahaan, Jakarta, 1998. Hal 22

11

Page 12: Bab i peci

Seperti juga Undang-Undang merek sebelumnya

yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 dan Undang-

Undang Nomor 14 tahun 1997, Undang-Undang Merek Nomor

15 Tahun 2001 menganut sistem konstitutif, yang merupakan

kebalikan dan perubahan yang mendasar dari prinsip yang

dianut sebelum pada Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun

1961 yang menganut sistem deklaratif. Sistem konstitutif

maksudnya bahwa hanya merek-merek yang terdaftar saja yang

dilindungi oleh hukum, dan juga pada sistem konstitutif ini baru

akan menimbulkan hak apabila telah didaftarkan oleh si

pemegang merek. Sedangkan pada sistem deklaratif titik berat

diletakan atas pemakai pertama, siapa yang memakai pertama

sesuatu merek dialah yang berhak menurut hukum atas merek

yang bersangkutan. Jadi pemakai pertama yang menciptakan

hak atas merek, bukan pendaftar.

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek

memberikan penegasan bahwa tidak semua merek dapat

didaftarkan. Undang-undang merek ini memberikan penegasan

yang terdapat pada Pasal 4 undang-Undang Nomor 15 tahun

2001 menyebutkan bahwa : ” Merek tidak dapat didaftarkan atas

dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad

tidak baik”. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 menegaskan bahwa :

12

Page 13: Bab i peci

“Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini:a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau kertertiban umum;

b. tidak memiliki daya pembeda;c. telah menjadi milik umum; ataud. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang

atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Merek yang telah terdaftar juga dapat berakhir yang

disebabkan oleh berakhirnya jangka waktu dari merek tersebut

dan tidak diperpanjang lagi, penghapusan pendaftaran merek,

serta pembatalan merek.

Mengenai penghapusan merek yang telah terdaftar

pada Direktorat Jendaral HKI dari Daftar Umum Merek dapat

dilakuakan dengan dua cara :

1. Atas prakarsa Direktorat Jendaral HKI

2. Atas prakarsa sendiri yaitu berdasarkan permintaan

pemilik merek yang bersangkutan.

Hal ini seperti yang tercantum pada Pasal 61 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang

menegaskan bahwa : “Penghapusan pendaftaran merek dari

Daftar Umum Merek dapat dilakukan atas prakarsa Direktorat

Jendaral atau berdasarkan permohonan pemilik merek yang

bersangkutan”

Pembatalan merek terdaftar yang juga diatur dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ini dapat diajukan oleh

13

Page 14: Bab i peci

pihak yang berkepentingan atau pemilik merek terdaftar, baik

dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jendral HKI

maupun gugatan kepada Pengadilan Niaga. Pengaturan

mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 68 sampai dengan

72 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Dimungkinkan bagi pemilik merek terdaftar mempunyai hak

untuk mengajukan gugatan perdata di dalam penyelesaian

suatu sengketa merek pada Pengadilan Niaga, merupakan

suatu konsekuensi dari perlindungan hukum hak atas merek

yang diberikan oleh Undang-undang 15 Tahun 2001 tentang

merek. Pemilik merek terdafar mempunyai hak untuk

mengajukan gugatan perdata baik berupa ganti rugi jika

mereknya dipergunakan pihak lain tanpa seizin darinya, juga

penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan

penggunaan merek tersebut. Hal ini terdapat pada Pasal 76

undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang berbunyi :

1) Pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa:a. gugatan ganti rugi, dan/ataub. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan

penggunaan Merek tersebut.2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan

kepada Pengadilan Niaga.

Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi pada

Pengadilan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 juga

14

Page 15: Bab i peci

mengatur penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non

litigasi. Yang terdapat pada Pasal 84 Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2001 tentang Merek bahwa: “Selain penyelesaian

gugatan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Pertama Bab ini,

para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase

atau Alternatif Penyelesaian Sengketa”

Keberadaan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999

tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa telah

mengukuhkan pengakuan urgensi lembaga “Alternatif

Penyelesaian Sengketa“ atau disingkat APS sebagaimana

mekanisme penyelesaian sengketa di Indonesia.

Urgensialtenatif penyelesaian sengketa di Indonesia

diantaranya didasari pertimbangan – pertimbangan sebagai

berikut :

1. Kepentingan meningkatnya arus investasi , baik domestik

maupun asing harus disertai dengan tersedianya

mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak saja adil

dan menjamin kepastian hukum , tetapi juga dapat

diterima oleh semua pihak yang bersengketa.

2. Penyelesain sengketa yang cepat , murah, sederhana

dan konfidental sangat dibutuhkan dalam sengketa

sengketa yang menyangkut persoalan-persoalan privat

(perdata) termasuk bisnis atau perdagangan.

15

Page 16: Bab i peci

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di Indonesia

tidakmmudah dilaksanakan meskipun masyrakat tradisional kita

memiliki akar budaya (cultural roots) penyelsaian secara

musyawarah untuk mencapai mufakat (peaceful deliberations)

dan pola penyelesaian sengketa ‘menang-menang ‘ (win win

solution).

Dalam Undang –Undang Nomor 30 Tahun 1999

Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud Arbitrase adalah cara

penyelesain suatu sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase. Sedangkan dalam

Pasal 1 ayat (1) Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah

lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian diluar

pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi atau penilaian ahli. Perbedaan antara Arbitrase

dengan APS menunjukkan bahwa APS dianggap sebagai

alternatif dari mekanisme ajudikasi baik itu dari pengadilan

maupun arbitrase. Arbitrase termasuk lembaga penyelesaian

sengketa secara ajudikatif karena melibatkan pihak ketiaga

penengah (arbiter) yang memiliki kewenangan mengambil

keputusan setelah pihak yang bersengketa menyajikan fakta

fakta, bukti sampai alasan hukum yang mendasari tuntutan atau

pembelaanya.

16

Page 17: Bab i peci

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis

normatif yang berusaha untuk memahami Hak Merek sebagai

bagian dari lingkup Hak Kekayaan Intelektual (HKI) secara

yuridis dan melihat sejauh mana Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2001 tentang merek di dalam penyelesaian suatu

sengketa gugatan pembatalan Merek yang diperiksakan pada

Pengadilan Niaga.

Asas keadilan dan kepastian hukum yang mendasari

dalam suatu penyelesaian sengketa pembatalan pendaftran

merek antara PT.GARUDA FOOD PUTRA PUTRI JAYA dan

PT.DUA KELINCI ini, dapat menggunakan teori Radbruh.

Dimana kepastian hukum memerlukan hukum positif yang

ditetapkan melalui kekuasaan pemerintah dan aparatnya,

keadilan dan kepastian hukum menjadi dasar dan tujuan akhir

bagi pengadilan dalam memutuskan suatu perkara Hak

Kekayaan Intelektual (HKI) khususnya disini merek. Pengadilan

merupakan instansi terakhir bagi para pihak untuk memecahkan

masalah hukum yang mereka hadapi, kecuali para pihak yang

menyerahkan konflik mereka kepada badan alternative

penyelesaian sengketa.

E. Metode Penelitian

17

Page 18: Bab i peci

Penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metode

penelitian diterapkan harus senatiasa disesuaikan dengan ilmu

pengetahuan dengan induknya. Hal ini tidaklah selalu berarti

metode penelitian yang dipergunakan berbagai ilmu

pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Akan tetapi

setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas masing-masing,

sehingga pasti akan ada perbedaan.9

a) Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah yuridis normatif. Istilah ”pendekatan” adalah

sesuatu hal (perbuatan, usaha) mendekati atau

mendekatkan.10 ”pendekatan normatif” dimaksudkan sebagai

usaha mendekatkan masalah yang diteliti dengan sifat hukum

normatif. Pendekatan normatif meliputi asas-asas hukum,

sistematika hukum, sinkronisasi (penyesuaian) hukum,

perbandingan hukum,11 yang berhubungan dengan

penyelesaian hukum terhadap sengketa pembatalan

pendaftaran merek antara PT.GARUDA FOOD PUTRA

PUTRI JAYA dan PT.DUA KELINCI.

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Ibid, Hal 1 10 Hilman hadikusuma,Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,

Bandung, Mandar Maju, 1995, Hal 5811 Loc.Cit

18

Page 19: Bab i peci

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian

kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.12 Jadi

metode pendekatan normatif, yaitu suatu cara yang

digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan

meneliti bahan pustaka atau bahan data sekunder.

b) Spesifikasi Penelitian

Dalam penulisan tesis ini, menggunakan spesifikasi

penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Yang

mengambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan

hukum positif yang menyangkut masalah tersebut.13 Metode

deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki

dengan mengamabarkan atau melukiskan keadan objek

penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang

tampak. Selanjutnya dilakukan analisis melalui peraturan-

peratuaran yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum,

pendapat sarjana, praktisi, dan praktek pelaksanaan hukum

yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pembatalan

pendaftaran merek.

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif-

analitis yang dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan

12 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, ghalia Indonesia 1998, Hal 11

13 Op Cit.Hal 98

19

Page 20: Bab i peci

masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan atau

melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang,

berdasrkan fakta-fakta uyang tampak sebagaimana adanya.14

Dalam hal ini penyelesaian hukum terhadap sengketa

pembatalan pendaftaran merek antara dua kelinci dan garuda

food, deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melukiskan

tentang suatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.

c) Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data, sebagai sarana untuk

mendeskripsikan sesuatu masalah hukum, dalam penelitian ini

dilakukan dengan melalui studi kepustakan. Studi

kepustakaan diperoleh dari bahan pustaka atau data sekunder

yang bersifat pribadi dan publik.

Studi kepustakan merupakan metode yang digunakan

dalam penelitian hukum normatif. Data sekunder adalah data

yang diperoleh dengan cara mengumpulkan, menyeleksi, dan

meneliti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan

sumber bacaan yang berkait dengan masalah yang diteliti,

termasuk data yang diperoleh dari objek penelitian. Data

sekunder terbagi menjadi :15

1. Bahan Hukum Primer

14 Soerjono Soekamto,Ibid, Hal 6915 Soerjono, Soekanto dan Siti, Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta :

Rajawali Press, 1985), Hal 35.

20

Page 21: Bab i peci

Bahan hukum yang mengikat, terdiri dari bahan pustaka

yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian baru

tentang fakta yang diketahui melalui gagasan (ide) seperti :

a. Norma Dasar Pancasila dan Undang-Undang dasar

1945;

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)

d. Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Merek, yakni :

- Undang-Undang No. 21 tahun 1961

- Undang-Undang No.19 tahun 1992

- Undang-Undang No.14 tahun 1997

- Undang-Undang No.15 tahun 2001.

e. Salinan Putusan Pengadilan

- Salianan Putusan Pengadilan Niaga

- Salinan Putusan Mahkamah Agung

2. Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan yang berfungsi memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa bahan

hukum pustaka yang meliputi :

a. Buku-buku hasil karya para sarjana

21

Page 22: Bab i peci

b. Hasil-hasil penelitian

c. Hasil penemuan ilmiah yang berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas.

3. Bahan Hukum tersier

Bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

berupa bahan pustaka seperti surat kabar, majalah, kamus

hukum dan kamus lainnya yang bersangkutan dengan

penelitian ini, situs-situs internet juga menjadi sumber bahan

bagi penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang

relevan terhadap penulisan tesis ini.

d) Metode Analisis Data

Data yang telah terkumpul dianalisis untuk mendapat

kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Semua

data yang telah terkumpul diedit, diolah, dan disusun

secara sistematis untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk

deskriptif yang kemudian disimpulkan.16

F. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini disusun dan disajikan dalam suatu

karya ilmiah berupa tesis yang terdiri dari 4 (empat) Bab dan

tiap-tiap bab akan dirinci lagi menjadi beberapa sub bab.16 Soerjono Soekamto, Ibid, Hal 264

22

Page 23: Bab i peci

BAB 1 : PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi tentang dasar atau latar belakang

diadakan penelitian ini, yaitu tentang penanganan sengketa

merek sebagai upaya penyelesaian sengketa pembatalan

pendaftaran merek dalam bidang merek. Bab ini juga memuat

tentang perumusan masalah, manfaat penelitian, kerangka

pemikiran, metode penelitian serta sistematika penulisan itu

sendiri.

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka memuat tentang uraian teori-teori yang

mendasari penganalisisan masalah yang berkaitan dengan

penyelesaian sengketa pembatalan pendaftaran merek yang

lebih banya diambil dari literatur yang berhubungan dengan

permasalahan yang akan menjadi landasan dalam analisa

data.

BAB 3 : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan

yang didasarkan pada data-data yang didapatkan dari objek

penelitian. Pembahasan dalam penulisan tesisi ini difokuskan

pada pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan dalam

Bab I .

BAB 4 : PENUTUP

23

Page 24: Bab i peci

Bab ini merupakan bab penutup yang barisi tentang

kesimpulan dan saran. Sementara itu, kesimpulan adalah

ringkasan dari penelitian dan pembahasan. Sedangkan dalam

penyampaian saran, berdasarkan data-data yang ada di dalam

penulisan ini yang dapat dijadikan masukan.

24