123
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam aktivitas perekonomian suatu negara, konsumsi mempunyai peran penting di dalamnya serta mempuyai pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas perekonomian. Semakin tinggi tingkat konsumsi, semakin tinggi tingkat perubahan kegiatan ekonomi dan perubahan dalam pendapatan nasional suatu negara. Konsumsi keluarga merupakan salah satu kegiatan ekonomi keluarga untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Dari komoditi yang dikonsusmi itulah akan mempunyai kepuasan tersendiri. Oleh karena itu, konsumsi seringkali dijadikan salah satu indikator kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan dan cita-cita suatu negara. (Mizkat,2005) Tingkat kesejahteraan suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk mengetahui keberhasilan 1

BAB I-BAB V

Embed Size (px)

DESCRIPTION

-

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Dalam aktivitas perekonomian suatu negara, konsumsi mempunyai peran penting di dalamnya serta mempuyai pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas perekonomian. Semakin tinggi tingkat konsumsi, semakin tinggi tingkat perubahan kegiatan ekonomi dan perubahan dalam pendapatan nasional suatu negara. Konsumsi keluarga merupakan salah satu kegiatan ekonomi keluarga untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Dari komoditi yang dikonsusmi itulah akan mempunyai kepuasan tersendiri. Oleh karena itu, konsumsi seringkali dijadikan salah satu indikator kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan dan cita-cita suatu negara. (Mizkat,2005)Tingkat kesejahteraan suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di negara tersebut dan konsumsi adalah salah satu penunjangnya. Makin besar pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa, maka makin tinggi tahap kesejahteraan keluarga tersebut. Konsumsi rumah tangga berbeda-beda antara satu dengan lainya dikarenakan pendapatan dan kebutuhan yang berbeda-beda pula.Setiap orang atau keluarga mempunyai skala kebutuhan yang dipengaruhi oleh pendapatan. Kondisi pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat konsumsinya. Makin tinggi pendapatan makin banyak jumlah barang yang dikonsumsi. Bila konsumsi ingin ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap maka terpaksa tabungan yang digunakan maka tabungan akan berkurang.Secara umum dapat dikatakan bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat adalah bersumber dari jumlah kebutuhan yang tidak terbatas. Biasanya manusia merasa tidak pernah merasa puas dengan benda yang mereka peroleh dan prestasi yang mereka capai. Apabila keinginan dan kebutuhan masa lalu sudah dipenuhi maka keinginan yang baru akan muncul. Di negara miskin hal seperti itu memang lumrah. Konsumsi makanan yang masih rendah dan perumahan yang kurang memadai telah mendorong masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Di negara kaya sekalipun, seperti Jepang dan Amerika serikat masyarakat masih mempunyai keinginan untuk mencapai kemakmuran yang lebih tinggi dari yang telah mereka capai sekarang ini (Sukirno 2008:6)Pola konsumsi sering digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dapat pula dikatakan membaik apabila pendapatan meningkat dan sebagian pendapatan tersebut digunakan untuk mengkonsumsi non makanan, begitupun sebaliknya. Pergeseran pola pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dari makanan ke non makanan dapat dijadikan indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan anggapan bahwa setelah kebutuhan makanan telah terpenuhi, kelebihan pendapatan akan digunakan untuk konsumsi bukan makanan. Oleh karena itu motif konsumsi atau pola konsumsi suatu kelompok masyarakat sangat ditentukan pada pendapatan. Atau secara umum dapat dikatakan tingkat pendapatan yang berbeda-beda menyebabkan keanekaragaman taraf konsumsi suatu masyarakat atau individu.Namun, bila dilihat lebih jauh peningkatan pendapatan tersebut tentu mengubah pola konsumsi anggota masyarakat luas karena tingkat pendapatan yang bervariasi antar rumah tangga sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemampuan mengelolanya. Dengan perkataan lain bahwa peningkatan pendapatan suatu komunitas selalu diikuti bertambahnya tingkat konsumsi semakin tinggi pendapatan masyarakat secara keseluruhan maka makin tinggi pula tingkat konsumsi. (Sayuti, 1989:46-47).Kemudian hubungan konsumsi dengan pendapatan dijelaskan dalam teori Keynes yang menjelaskan bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan disposible saat ini. Dimana pendapatan disposible adalah pendapatn yang tersisa setelah pembayaran pajak. Jika pendapatn disposible tinggi maka konsumsi juga naik. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposibel. Selanjutnya menurut Keynes ada batas konsumsi minimal, tidak tergantung pada tingkat pendapatan yang disebut konsumsi otonom. Artinya tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi walaupun tingkat pendapatan = nol, dan hal ini ditentukan oleh faktor di luar pendapatan, seperti ekspektasi ekonomi dari konsumen, ketersediaan dan syarat-syarat kredit, standar hidup yang diharapkan, distribusi umur, lokasi geografis (Nanga,2001).Kebutuhan hidup manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhaan hayatinya saja akan tetapi menyangkut kebutuhan lainya seperti kebutuhan pakaian, rumah, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai dengan proses pemerataan akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antar keluarga. Di satu pihak rumah tangga dengan pendapatan yang lebih dari cukup cenderung mengkonsumsi secara berlebih di lain pihak rumah tangga miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Kota Makassar sebagai kota metropolitan menurut data yang bersumber dari BPS sudah dapat kita lihat bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga di Kota Makassar selama tahun 2002-2006 meningkat dengan cukup berarti. Pada tahun 2002 rata-rata pengeluaran rumah tangga di Kota Makassar mencapai Rp.1.068.429, kemudian meningkat menjadi Rp.1.976.959 pada tahun 2007. Disamping peningkatan rata-rata pengeluaran, indikasi meningkatnya kesejahteraan masyarakat ditunjukkan dengan terjadinya pergeseran pola konsumsi. Pengeluaran konsumsi makanan di tahun 2002 mencapai 54,83 persen menjadi 51,74 persen untuk konsumsi makanan dan 48,26 persen untuk konsumsi bukan makanan (BPS,2007). Berikut adalah tabel yang memperlihatkan rata-rata pengeluaran rumah tangga tahun 2002-2007Tabel 1.1 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Sebulan Menurut Jenis Pengeluaran Kota Makassar,2002-2007.Jenis pengeluaran20022007

Rata-rataRata-rata

(Rp)(%)(Rp)(%)

Pengeluaran Makanan585.81854,83%1.022.95651,74%

Pengeluaran Bukan Makanan482.61145,17%954.00348,26%

Pengeluaran Rumah Tangga1.068.429100,00%1.976.959100,00%

Sumber : BPS Kota Makassar,Susenas 2002-2007Namun masih ada juga penduduk yang kurang sejahtera dalam hal ini adalah rumah tangga miskin. Akan tetapi, pola konsumsi masyarakat makassar tergolong konsumtif. Konsumsi rumah tangga yang tinggi namun dapat diseimbangkan dengan pendapatan yang tinggi merupakan suatu kondisi yang wajar, namun apabila konsumsi yang tinggi dengan pendapatan yang rendah oleh karena ada demonstration effect bisa mengakibatkan masalah perekonomian yang dapat mengurangi tingkat kesejahteraan di suatu negara. Hal tersebut di atas, yang menjadi dasar ketertarikan penulis mengadakan penelitian dengan objek rumah tangga dalam hal ini rumah tangga miskin dan kaya yang dalam kenyataanya mempunyai pendapatan yang jumlahnya berbeda-beda dan pola konsumsinya dapat dikatakan cukup bervariasi.Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul Studi Perbandingan Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar.

1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan uraian di atas maka penelitian ini hanya memasukkan unsur pendapatan sebagai variabel yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat Kota Makassar. Maka dapat dikemukakan masalah pokok penelitian ini adalah terjadinya perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin di Kota Makassar . Oleh karena itu pertanyaan penelitian ini adalah1. Adakah perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin di Kota Makassar terhadap konsumsi pangan dan non pangan?

1.3 Tujuan PenelitianAdapun tujuan yang ingin penulis capai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin untuk konsumsi pangan dan non pangan di Kota Makassar.

1.4 Kegunaan PenelitianKegunaan penelitian ini secara umum diharapkan dapat berguna sebagai :a. Bagi peneliti sendiri diharapkan akan dapat mengetahui berbagai macam pola konsumsi dari berbagai lapisan masyarakat. b. Bagi responden diharapkan dapat memberikan bantuan berupa informasi tentang pola konsusmi masing-masing responden sehingga nantinya responden diharapkan dapat mengatur pola konsumsinya.c. Bahan masukan bagi pemerintah terutama dalam rangka mengevaluasi kebijaksanan dan menyusun perencanaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.d. Sebagai aplikasi ilmiah untuk mengetahui dan membuktikan teori-teori yang berkenaan dengan penulisan ini.e. Sebagai salah satu studi yang diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi yang ingin melakukan penelitian yang relevan dengan materi dari skripsi ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis2.1.1 Pengertian KonsumsiDalam makro ekonomi, Konsumsi adalah jumlah seluruh pengeluaran perorangan atau negara untuk barang-barang konsumsi selama satu periode tertentu. Tegasnya konsumsi menyangkut barang-barang yang digunakan habis, dinikmati atau di makan selama periode bersangkutan. Dalam prakteknya banyak barang-barang konsumsi tersebut umumnya mungkin melebihi periode waktu tersebut seperti baju, tas, baju atau mobil.Menurut Mankiw (2000) Konsumsi adalah barang atau jasa yang dibeli oleh rumah tangga, konsumsi terdiri dari barang tidak tahan lama (Non Durable Goods) adalah barang yang habis dipakai dalam waktu pendek, seperti makanan dan pakaian. Kedua adalah barang tahan lama (Durable Goods) adalah barang yang memiliki usia panjang seperti mobil, televisi, alat-alat elektronik, ponsel dan lainya. Ketiga, jasa (services) meliputi pekerjaan yang dilakukan untuk konsumen oleh individu dan perusahaan seperti porong rambut dan berobat ke dokter. Yang dibelanjakan untuk pembelian barang-barang dan jasa guna mendapatkan kepuasan dan memenuhi kebutuhan.

2.1.2 Pengeluaran Konsumsi rumah TanggaPengeluaran konsumsi rumah tangga adalah nilai belanja yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhanya dalam satu tahun tertentu. Pendapatan yang diterima rumah tangga akan digunakan untuk membeli makanan, membiayai jasa angkutan, membayar pendidikan anak, membayar sewa rumah dan membeli kendaraan. Barang-barang tersebut dibeli rumah tangga untuk memenuhi kebutuhanya, dan pembelanjaan tersebut dinamakan konsumsi. (Sukirno,1994:38).Tidak semua transaksi yang dilakukan oleh rumah tangga digolongkan sebagai konsumsi (rumah tangga). Kegiatan rumah tangga untuk membeli rumah digolongkan investasi. Seterusnya sebagai pengeluaran mereka, seperti membayar asuransi dan mengirim uang kepada orang tua (atau anak yang sedang bersekolah) tidak digolongkan sebagai konsumsi karena ia tidak merupakan pembelanjaan terhadap barang atau jasa yang dihasilkan dalam perekonomian ( Sukirno 2004).Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga dalam perekonomian tergantung kepada pendapatan yang diterima oleh mereka. Makin besar pendapatan mereka, makin besar pula pengeluaran konsumsi mereka. Sifat penting lainya dari konsumsi rumah tangga adalah hanya sebagian saja dari pendapatan yang mereka terima yang akan digunakan untuk pengeluaran konsumsi (Sukirno,1981:104).Untuk memahami pengeluaran konsumsi, ada baiknya terlebih dahulu memahami beberapa teori tentang pengeluaran konsumsi yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi. J.M Keynes dalam tulisan Kamaluddin, 2009 menyatakan bahwa Konsumsi seseorang akan tergantung pada tingkat pendapatan yang telah diterima ( pendapatan aktual atau absolut ) oleh seseorang atau masyarakat. Di dalam teori tersebut Keynes (1969) menjelaskan bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan aktual maka kenaikan konsumsi seseorang lebih kecil dari kenaikan pendapatan aktual yang diterima. Hal ini dikarenakan seseorang pasti menyisihkan sebagian pendapatan yang diterimanya untuk tujuan lain yaitu menabung dan membayar hutang.Teori yang dikemukakan oleh Keynes tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Ando, Modigliani dan Brunberg.Menurut mereka, pengeluaran konsumsi akan tergantung dari siklus hidup seseorang pada saat seseorang belum, bekerja, maka untuk membiayai pengeluaran konsumsinya ia akan disubsidi oleh oleh orang tuannya atau hutang. pada saat sudah bekerja ia akan menyisihkan sebagian pendapatannya guna ditabung untuk membayar utang sebelum ia bekerja dan membiayai konsumsi setelah pensiun, seperti telah disebutkan, ia akan memakai tabungannya untuk membiayai konsumsinya. (Kamaluddin,2009).Sedangkan menurut Milton Friedman ( 1957 ) menyatakan bahwa,konsumsi seseorang tergantung pada pendapatan permanennya ( pendapatan yang rutin ia terima setiap periode tertentu ) dan bukan pada pendapatan transiteori (pendapatan yang tak terduga)Jika ahli ekonomi diatas menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi sangat dipengaruhi oleh pendapatan absolut atau pendapatan permanennya, maka sedikit berbeda dengan teori James Dussenberry ( 1949 ) yang menyatakan bahwa,Pengeluaran konsumsi seseorang bukan tergantung dari pendapatan absolute aktualnya tetapi tergantung dari pendapatan relatifnya. (Kamaluddin,2009)Maksud dari teori James Dussenberry tersebut adalah konsumsi seseorang tergantung dari tingkat pendapatannya disbanding atau relatif terhadap pendapatan orang lain. Orang yang pendapatannya lebih rendah akan meniru pola konsumsi orang yang pendapatannya lebih tinggi di sekelilingnya. Karakteristik lain dari pengeluaran konsumsi adalah sekali pengeluaran konsumsi seseorang meningkat, maka tidak mungkin pengeluaran konsumsi tersebut menurun sekalipun pendapatannya menurun.Dari beberapa teori tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengeluaran konsumsi merupakan keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya di mana pengeluaran tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatannya tetapi juga lingkungan atau masyarakat sekitar ia tinggal.

2.2 Konsep Kebutuhan DasarBantuan Luar Negeri memang berhasil meningkatkan ekonomi negara yang sedang berkembang tapi jurang kemiskinan antar penduduk tetap melebar dengan kata lain strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi belum mampu mengadakan pemerataan pendapatan,mengurangi kemiskinan,dan juga belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang luas guna mengatasi pengangguran. Kegagalan strategi inilah yang menyebabkan dicarinya strategi baru dan dipilihnya model kebutuhan dasar sebagai dasar upaya pengganti. Kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia,baik yang terdiri dari kebutuhan atau konsumsi individu maupun kebutuhan pelayanan sosial.Manusia mempunyai kecendrungan untuk tetap hidup serta mempertahankan bakat dan kehidupan sosialnya. Sebagai konsekuensinya mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya baik itu primer maupun sekunder agar hidup layak sesuai dengan harkatnya sebagai anggota masyarakat (Sumardi dan Evers,1989:129).Adapun kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat adanya. Pada tingkat pertama primary needs atau kebutuhan primer orang membutuhkan sandang, pangan, papan. Apabila kebutuhan primer ini sudah terpenuhi, maka muncullah dalam pikiran manusia untuk memenuhi secondary needs (kebutuhan tingkat kedua) yang merupakan kebutuhan akan barang-barang perlu, yang antara lain berupa kebutuhan akan sepatu, pendidikan dan sebagainya. Jika keadaan memungkinkan (bertambah kaya ) muncul keinginan untuk memenuhi kebutuhan tingkat ketiga yang berisi kebutuhan akan barang mewah, kebutuhan tingkat keempat (quartiary needs) yang berisi akan kebutuhan barang-barang yang benar-benar mubadzir (yang sebenarnya tidak diperlukan sama sekali) dan seterusnya.Orang atau masyarakat akan sampai pada tingkat kebutuhan tertentu hanya sesudah tingkat kebutuhan sebelumnya terpenuhi. Bagi masyarakat kaya, uang tersedia dengan relatif muda. Bagi masyarakat seperti itu, kebutuhan tersier dan kebutuhan quarter sudah mereka penuhi. Akan tetapi uang masih ada, lalu buat apa? Maka muncullah kebutuhan yang macam-macam seperti kebutuhan untuk berbuat maksiat (Rosyidi 2006:50)

2.3 Konsep dan Urutan Jenis Pengeluaran Konsumsi MasyarakatAsumsi dasar tentang pola konsumsi rumah tangga atau individu adalah bahwa setiap rumah tangga atau individu tersebut akan memaksimumkan kepuasanya, kesejahteraanya, kemakmuranya, atau kegunaanya.Pola konsumsi itu sendiri adalah jumlah persentase dari distribusi pendapatan terhadap masing-masing pengeluaran pangan, sandang , jasa-jasa serta rekreasi dan hiburan. BPS menyatakan kategori adalah pengeluaran makanan, perumahan, pakaian, barang, jasa, dan pengeluaran non konsumsi seperti untuk usaha dan lain-lain pembayaran. Secara terperinci pengeluaran konsumsi adalah semua pengeluaran untuk makanan, minuman, pakaian, pesta atau upacara, barang-barang lama ,dan lain-lain. Yang dilakukan oleh setiap anggota rumah tangga baik itu di dalam maupun di luar rumah, baik keperluan pribadi maupun keperluan rumah tangga (BPS,2007:10)Kebutuhan pokok sebagai kebutuhan esensial sedapat mugkin harus dipenuhi oleh suatu rumah tangga supaya mereka dapat hidup wajar. Kebutuhan Esensial ini antara lain: makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan partisipasi, transportasi, perawatan pribadi, rekreasi. Alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat secara garis besar dapat digolongkan dalam dua kelompok penggunaan, yaitu pengeluaran untuk makanan, dan pengeluaran untuk bukan makanan. Berikut ini disajikan daftar alokasi pengeluaran masyarakat:

A. MAKANANB. BUKAN MAKANAN

1.Sayur-sayuran1. Perumahan dan Bahan Bakar

2.Kacang-kacangan2. Aneka Barang dan Jasa a. Barang Perawatan badanb. Bacaan c. Komunikasid. Kendaraan bermotore. Transportasif. Pembantu Rumah Tangga dan Sopir

3.Buah-buahan

4.Minyak dan Lemak

5.Bahan minuman

6.Bumbu-Bumbuan

7.Bahan Pangan

8.Makanan Jadi3. Biaya Pendidikan

9.Minuman Beralkohol4. Kesehatan

10.Tembakau dan Sirih5. Pakaian,Alas Kaki Tutup Kepala

11.Padi-Padian6. Barang-barang Tahan Lama

12.Umbi-Umbian7. Pajak Dan Premi Asuransi

13.Ikan 8. Keperluan Pesta dan upacara

14.Daging

15.Telur dan Susu

Sumber: BPS Pengeluaran Konsumsi Untuk Penduduk Indonesia Per Provinsi 200 2.4 Pengertian KemiskinanKemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia walaupun seringkali tidak disadari kehadirannya bagi manusia yang bersangkutan. Kemiskinan menurut Rais (1995: 9) adalah kondisi depresiasiterhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomis yang dimiliki.Substansi kemiskinan (Sudibyo dalam Rais 1995: 11) adalah kondisi depresiasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa sandang, pangan, papan, dan pendidikan dasar. Sedangkan substansi kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomis. Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial.Kemiskinan (Friedmann dalam Suyanto, 1995: 207) adalah ketidaksamaankesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Kemiskinan memang merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktorekonomi tetapi juga faktor sosial dan faktor budaya. Menurut Suparlan (1993: 9) kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.Dalam ilmu sosial pemahaman mengenai pengertian kemiskinan dilakukandengan menggunakan tolak ukur tertentu. Menurut Suparlan (1993: 10) tolak ukuryang pertama adalah tingkat pendapatan per waktu kerja, dengan adanya tolak ukur ini maka jumlah dan siapa-siapa saja yang tergolong sebagai orang miskin dapat diketahui, untuk dijadikan sebagai kelompok sasaran yang diperangi kemiskinannya. Tolak ukur yang kedua adalah tolak ukur kebutuhan relatif perkeluarga yang batasannya dibuat berdasarkan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Tercakup dalam tolak ukur kebutuhan relatif per keluarga ini adalah: kebutuhan-kebutuhan yang berkenan dengan biaya sewa rumah, biaya-biaya untuk memelihara kesehatan danuntuk pengobatan, biaya-biaya untuk menyekolahkan anak-anak, dan biaya untuksandang yang sewajarnya dan pangan yang sederhana tetapi mencukupi dan memadai.

2.4.1 Karakteristik Golongan MiskinMenurut Zelinsky (1996: 88) karakteristik penduduk dapat dikategorikan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan rumah tempat tinggal, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, penggunaan lahan, dan kecukupan gizi serta perawatan kesehatan bisa menjadi indikator peningkatan kehidupan sosial masyarakat. Karakteristik golongan miskin menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:13) adalah:1. Karakteristik demografi dari penduduk miskin.Secara umum, rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin di Indonesiaadalah 5,8 orang sedangkan yang bukan miskin adalah 4,5 orang. Banyaknya jumlah anggota rumah tangga adalah indikasi yang dominan dalam menentukan miskin atau ketidak-miskinan suatu rumah tangga. Bertambah besarnya jumlah anggota rumah tangga maka bertambah besar pula kecenderungan menjadi miskin. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Keluarga Berencana (KB) memiliki tujuan untuk membatasi jumlah anggota rumah tangga adalah relevan dengan upaya-upaya pengentasan kemiskinan.2. Karakteristik ekonomi dari penduduk miskinKarakteristik dari ekonomi rumah tangga mencakup informasi atas pekerjaan kepala rumah tangga apakah sebagai karyawan atau sebagai pengusaha atau bahkan sebagai keduanya. Pekerjaan kepala rumah tangga mempengaruhi jumlah pendapatan keluarga. Pola pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan indikator kemiskinan. Jumlah pengeluaran rumah tangga untuk pangan sangat besar perbandingannya dengan pengeluaran bukan pangan adalah salah satu karakteristik ekonomi penduduk miskin.3. Karakteristik dilihat dari pekerjaan kepala rumah tangga.Pekerjaan kepala rumah tangga terbagi menjadi dua jenis yaitu: karyawan/buruh dan pengusaha/majikan. Pekerjaan dengan status karyawan/buruh dalam istilah ini merupakan kepala rumah tangga yang memperoleh upah atau gaji sebagai imbalan atau balas jasa dari pekerjaannya sebagai contoh pegawai negeri, karyawan perusahaan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pengemudi dengan sistem upah atau gaji. Kepala keluarga yang mempunyai pekerjaan sebagai pengusaha misalnya sebagai pemilik tanah, nelayan yang mempunyai atau menyewa kapal dan lain-lain. Di perkotaan dan pedesaan seperti di Jawa dan Bali, di bagian timur Indonesia, maupun di bagian barat Indonesia lebih banyak kepala rumah tangga miskin yang menjadi pengusaha ketimbang yang menjadi buruh.4. Karakteristik dari pola konsumsi rumah tangga miskin.Gambaran tentang pola konsumsi makanan dan bukan makanan dari kelompok komunitas (miskin dan bukan miskin), menunjukkan bahwa secara umum porsi konsumsi makanan dari rumah tangga miskin sampai sebesar 70% dibandingkan dengan porsi konsumsi bukan makanan yang hanya 29, 31%. dibandingkan dengan kondisi perkotaan porsi konsumsi makanan rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan di pedesaan. Hal ini agak kurang dapat dipercaya mengingat rumah tangga miskin di pedesaan harus mengambil makanan dari tanah mereka. Penjelasan yang paling memungkinkan untuk kondisi ini adalah kemiskinan di pedesaan sudah sedemikian buruknya dimana keluarga miskin harus mengkonsumsi porsi yang besar dari pendapatannya hanya untuk makan.5. Karakteristik sosial budayaRata-rata orang miskin di perkotaan berpendidikan lebih tinggi daripada di pedesaan. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh tingkat pendapatan warga yang tinggal di perkotaan memiliki pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan di pedesaan. Selain itu di perkotaan fasilitas pendidikan lebih lengkap dan lebih memadai jika dibandingkan dengan pedesaan.

2.4.2 Kemiskinan Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS)Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun nonmakanan yang bersifat mendasar. Pengukurannya dilakukan dengan menghitung pengeluaran kebutuhan makanan dan kebutuhan non makanan per kapita per bulan. Singkatnya penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran (makanan dan non makanan) per kapita perbulan dibawah Garis Kemiskinan. Komponen Garis Kemiskinan adalah Garis Kemiskinan makanan dan Garis Kemiskinan Non makanan. Garis Kemiskinan makanan adalah batas minimal kebutuhan dasar makanan yang setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori 2.100 kalori per kapita perhari dimana paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, lemak dan lain-lain. Garis Kemiskinan Non makanan adalah batas minimal kebutuhan dasar bukan makanan berupa kebutuhan minimum akan perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan dimana paket komoditi kebutuhan dasar bukan makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

2.4.3 Kemiskinan Berdasarkan BKKBNBKKBN menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan kesejahteraan. Keluarga dapat dibagi dalam beberapa kategori: prasejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III, dan sejahtera III plus.Keluarga dimasukkan dalam kategori prasejahtera apabila tidak dapat memenuhi satu dari lima syarat berikut: melaksanakan ibadah menurut agamanya, makan dua kali sehari atau lebih, pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan, lantai rumah bukan dari tanah, dan bila anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan. Miskin menurut BKKBN adalah mereka yang termasuk dalam kategori prasejahtera dan sejahtera I. Sedangkan keluarga sejahtera II adalah keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan akan tabungan, makan bersama sambil berkomunikasi, rekreasi bersama 6 bulan sekali, menggunakan sarana transportasi. Keluarga sejahtera III sudah dapat memenuhi kebutuhan berupa tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, rekreasi selama 6 bulan sekali, menggunakan sarana transportasi dan tidak aktif memberikan sumbangan materil secara teratur. Keluarga sejahtera III plus adalah keluarga yang sudah mampu memberikan sumbangan materil secara aktif dan teratur serta aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.

2.4.4 Indikator KemiskinanTerdapat beberapa indikator kemiskinan yang biasa digunakan, yaitu indikator:1) Kemiskinan relatif seseorang dikatakan berada dalam kelompok kemiskinan relatif, pertama jika pendapatannya berada di bawah pendapatan di sekitarnya, atau dalam kelompok masyarakat tersebut, ia berada di lapisan paling bawah. Kedua, Bisa jadi meskipun pendapatannya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, namun karena dibanding masyarakat di sekitarnya, pendapatannya dinilai rendah, ia termasuk miskin. Ketiga, Amerika Serikat menggunakan indikator kemiskinan semacam ini. 2) Kemiskinan absolut. Kemiskinan jenis ini dicirikan sebagai berikut: Pertama, dilihat dari kemampuan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, pemukiman, pendidikan dan kesehatan). Kedua, Jika pendapatan seseorang di bawah pendapatan minimal untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka ia disebut miskin. Ketiga, Indonesia menggunakan indikator kemiskinan jenis ini. 3) Kemiskinan kultural dikaitkan dengan budaya masyarakat yang menerima kemiskinan yang terjadi pada dirinya, bahkan tidak merespons usaha-usaha pihak lain yang membantunya keluar dari kemiskinan tersebut. 4) Kemiskinan struktural dimana kemiskinan yang disebabkan struktur dan sistem ekonomi yang timpang dan tidak berpihak pada si miskin, sehingga memunculkan masalah-masalah struktural ekonomi yang makin meminggirkan peranan orang miskin.

2.4.5 Penggolongan Rumah Tangga Berdasarkan Daya ListrikMenurut Nengah Subadra dalam tulisanya (2008) orang kaya yang umumnya tinggal di rumah-rumah mewah biasanya menggunakan daya listrik yang tinggi (paling sedikit 1.200 watt) untuk keperluan sehari-hari karena semua fasilitas rumahnya seperti lampu, setrika, televisi, kulkas, mesin cuci dan pendingin ruangan menggunakan energi listrik yang sangat banyak. Sedangkan orang miskin hanya menggunakan daya listrik dengan kapasitas 450-900 watt saja karena mereka tidak memiliki alat-alat rumah tangga yang lengkap. Umumnya mereka hanya menggunakan energi listrik untuk penerangan karena mereka memiliki daya bayar yang sangat rendah.Studi Empris memperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya rumah tangga kaya adalah rumah tangga yang memiliki daya listrik yang terpasang >900 watt. Alat listrik yang digunakan adalah AC, kulkas, dispenser, ricecooker, dan alat-alat elektronik lainya. Sementara untuk rumah tangga miskin adalah rumah tangga yang memiliki daya terpasang kurang atau sama dengan 900 watt.

2.5 Perbandingan Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Kaya dan Miskin Pola konsumsi atau pola pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan indikator sosial ekonomi rumah tangga sehingga semakin tinggi pengeluaran makanan dari porsi pendapatan maka rumahtangga tersebut dapat dikategorikan miskin. Begitu pula sebaliknya bila porsi pengeluaran untuk bukan makanan tinggi dari pada makanan maka rumah tangga tersebut dikategorikan tidak miskin. Tingkat pendapatan rumah tangga yang semakin tinggi pada umumnya menyebabkan pengeluaran konsumsi untuk bukan makanan akan cenderung semakin besar, karena seluruh kebutuhan untuk konsumsi makanan sudah terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Selanjutnya Firman (1990) menambahkan bahwa semakin besar pengeluaran rumah tangga terutama proporsi bukan makanan maka kondisi ekonomi rumah tangga semakin baik.

2.6 Teori Konsumsi2.6.1 Teori Konsumsi John Maynard KeynesJohn Maynard keynes (1969) dalam General Theory nya membuat fungsi konsumsi sebagai pusat fluktuasi ekonominya dan teori itu telah memainkan peran penting dalam analisis makro ekonomi sampai saat ini. Keynes membuat dugaan tentang fungsi ekonomi berdasarkan intropeksi dan observasi kasual.Dugaan pertama keynes adalah bahwa kecendrungan mengkonsumsi marginal adalah antara nol dan satu. Ia menulis bahwa hukum psikologis fundamental, dengan apa kita dinisbikan untuk tergantung pada keyakinan yang besar adalah bahwa manusia diatur, sebagai peraturan atau berdasarkan rata-rata, untuk meningkatkan konsumsi ketika pendapatan mereka naik, tetapi tidak sebanyak kenaikan dalam pendapatan mereka.Dugaan kedua, keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan yang disebut kecendrungan mengkonsumsi rata-rata turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan sehingga ia berharap orang kaya menabung proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin.Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting. Keynes mengatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori.

2.6.2 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hipothesis)Teori konsumsi yang dikemukakan oleh James S. Duesenberry (1949), yang dikenal sebagai teori pendapatan relatif tentang konsumsi atau hipotesis pendapatan relatif, lebih menekankan pada pendapatan relatif (relative income) dari pada pendapatan absolute sebagaimana dikemukakan Keynes. Selain itu, teori ini mengatakan bahwa pengeluaran konsumsi dari individu atau rumah tangga tidak bergantung pada pendapatan sekarang dari individu, tetapi pada tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dicapai seseorang sebelumnya.Menurut Duesenberry (Nanga,2001) pengeluaran konsumsi seseorang atau rumah tangga bukanlah fungsi dari pendapatan absolute, tetapi fungsi dari posisi relatif seseorang di dalam pembagian pendapatan di dalam masyarakat. Artinya pengeluaran konsumsi individu tersebut tergantung pada pendapatanya relatif terhadap pendapatan individu lainya di dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, Duesenberry menyebutkan bahwa ada dua karakteristik penting dari perilaku konsumsi rumah tangga yaitu adanya sifat saling ketergantungan (interpendent) diantara rumah tangga, dan tidak dapat dirubah (irreversibility) sepanjang waktu. Saling ketergantungan disini menjelaskan mengapa rumah tangga yang berpendapatan rendah cenderung memiliki APC yang lebih tinggi daripada rumah tangga yang berpendapatan tinggi. Hal ini terjadi karena rumah tangga yang berpendapatan rendah telah terkena apa yang oleh Duesenberry disebutnya sebagai efek demonstrasi (demonstration effect), dimana masyarakat berpendapatan rendah cenderung meniru atau mengkopi pola konsumsi dari masyarakat sekelilinya yang cenderung menaikkan pengeluaran konsumsinya.Adanya sifat irreversibility dari perilaku konsumsi tersebut telah menyebabkan short-run ratchet effect dari perubahan di dalam pendapatan,dimana seseorang atau rumah tangga lebih mudah untuk meningkatkan pengeluaran konsumsinya kalau terjadi kenaikan pendapatan, tetapi sebaliknya lebih sulit untuk mengurangi pengeluaran konsumsinya. Kalau terjadi kenaikan pendapatan, tetapi sebaliknya lebih sulit untuk mengurangi pengeluaran konsumsinya kalau terjadi penurunan pendapatan. Dengan kata lain, seseorang atau rumah tangga menurut Duesenberry akan berusaha sedemikian rupa untuk mempertahankan standar hidup atau pola konsumsi mereka, dan itu dilakuakn dengan cara mengurangi tabungan. Rumah tangga akan memulai hidup dengan tabungan negatif (dissaving). Hal ini berarti penurunan yang terjadi di dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga hanyalah satu penurunan yang bersifat parsial. Pengeluaran konumsi sebagaimana telah dikemukakan adalah bersifat irreversible sepanjag waktu, yang berarti bahwa dengan suatu penurunan di dalam pendapatan, maka pengeluaran konsumsi juga akan mengalami penurunan, namun dalam jumlah yang lebih kecil. Secara singkat adanya sifat irreversibility dari pengeluaran konsumsi rumah tangga itu mempunyai makna bahwa sekali fungsi konsumsi jangka pendek itu bergeser ke atas, maka akan sangat sulit untuk bergeser kembali ke bawah apalagi terjadi penurunan di dalam pendapatan.

2.6.3 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income hypothesis)

Dalam bukunya yang berjudul A Theory of the Consumption Function (1957) Miton Friedman menawarkan hipotesis pendapatan permanen untuk menjelaskan perilaku konsumsi. Hipotesis pendapatan permanen mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi sekarang bergantung pada pendapatan sekarang dan pendapatan yang diperkirakan di masa yang akan datang. Hipotesis juga menekankan bahwa manusia mengalami perubahan acak dan temporer dalam pendapatan mereka dari tahun ke tahun. Friedman beralasan bahwa konsusmi seharusnya terutama bergantung pada pendapatan permanen, kerena konsumen menggunakan tabungan dan pinjaman untuk melancarkan konsumsi dalam menanggapi perubahan transistoris dalam pendapatan.

2.6.4 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Siklus Hidup (Life Cycle Hipothesis)Teori dengan hipotesis ini dikemukakan oleh Albert Ando,Richard Brumberg dan Franco Modigliani. Dalam teori ini membagi pola konsumsi seseorang menjadi tiga bagian, yaitu 1) Usia nol sampai usia kerja, maka konsumsinya dalam kondisi Dissavingyaitu konsumsi masih tergantung pada orang lain. 2) Dimulai dari usia kerja (sudah kerja) sampai dengan usia dimana orang tersebut sudah menjelang usia tua (kurang produktif) atau bisa disebut mandiri. 3) Tahap ini seseorang kembali berada dalam kondisi Dissaving.Hipoesis siklus hidup memberikan sumbangan penting di dalam memahamiTingkah laku konsumsi masyarakat. Hipotesis ini menunjukkan bahwa konsumsi tidak hanya ditentukan pendapatan masa kini tetapi juga oleh pendapatan yang diramalkan akan diterima di masa depan. Seterusnya ia menunjukkan pula peranan kekayaan dalam mempengaruhi konsumsi.Hipotesis ini juga menerangkan motivasi masyarakat untuk menabung. Ketika muda mereka cenderung untuk menabung hingga masa pensiunanya. Tujuan penting dari penabungan ini adalah untuk membiayai konsumsi di hari tua.Sedangkan dalam karangan Reksoprayitno (1997), ABM (Ando-Brumberg-Modigliani) menggunakan asumsi bahwa konsumen bersikap rasional. Ini berarti bahwa konsumen berusaha untuk memaksimumkan kepuasan dari aliran pendapatan yang ia perkirakan berlaku untuknya. Mengenai sumber pendapatan, ABM membedakan dua sumber pendapatan yaitu tenaga kerja sebagai sumber labour income dan kekayaan sebagai sumber property income.

2.7 Teori EngelMenurut Meiler dan meineres (1997) dalam tesis Farida Milias Tuty , sebagai pelopor dalam penelitian tentang pengeluaran rumah tangga. Penelitian Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan hukum Engel. Ke empat butir kesimpulanya yang dirumuskan tersebut adalah :a. Jika Pendapatan meningkat, maka persentasi pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil.b. Persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.c. Persentase pengeluaran konsumsi untuk pengeluaran rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.d. Jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah, dan tabungan semakin meningkat.Menurut Prathama Rahardja dan Mandala Manurung (2000:115) untuk mengetahui suatu barang sebagai kebutuhan pokok atau barang mewah dilakukan dengan menggunakan kurva Engel. Kurva ini mencoba melihat hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat konsumsi sebagai berikut :a. Barang kebutuhan pokok, seperti makanan pokok. Perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan permintaan. Bahkan jika pendapatan terus meningkat,permintan terhadap barang tersebut perubahanya makin kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatan. Jika dikaitkan dengan konsep elastisitas, maka elastisitas pendapatan dari kebutuhan pokok makin kecil bila tingkat nominal pendapatan makin tinggi.b. Barang mewah. Kenaikan pendapatan terhadap barang tersebut lebih besar dibandingkan dengan kenaikan tingkat pendapatan. Atau dapat dikatakan bahwa permintaan terhadap barang mewah mempunyai elatisitas yang besar.(Farida Milias)Berikut adalah kuva yang menunjukkan hubungan pendapatan dengan konsumsi Kelompok Pangan

2.7.1 Hubungan Pendapatan Dengan Konsumsi Barang Pokok Untuk Kelompok Pangan

P1P0KAYA(INFERIOR)INCOME0Y3Y2Y1Px.Qx(B eras) P2

MISKIN(SUPERIOR)

Dari kurva diatas memperlihatkan hubungan pendapatan dengan barang yang dalam hal ini adalah beras yang masuk dalam kelompok konsumsi makanan. Apabila terjadi peningkatan income dari Y ke Y1 maka penambahan income akan digunakan atau akan dialokasikan untuk membeli beras pada titik P2. Jadi, Untuk golongan rumah tangga miskin menganggap bahwa beras adalah barang superior karena peningkatan pendapatan mengakibatkan bertambahnya proporsi alokasi untuk kebutuhan beras dalam hal ini beras adalah kelompok konsumsi makanan. Dan justru sebaliknya untuk keluarga kaya. Apabila terjadi peningkatan income dari Y1 ke Y3 maka permintaan beras akan berada pada posisi P0. Artinya jika terjadi peningkatan pendapatan untuk rumah tangga kaya, maka proporsi alokasi untuk beras reletive sedikit dibandingkan rumah tangga miskin. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pendapatannya dialokasikan untuk keperluan non pangan dan untuk ditabung.Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika terjadi peningkatan pendapatan maka juga akan terjadi peningkatan konsumsi. Namun, peningkatan pengeluaran konsumsi untuk rumah tangga kaya dan miskin berbeda, pada rumah tangga kaya akan mengakibatkan kenaikan konsumsi pangan namun tidak sebesar proporsi konsumsi pangan pada rumah tangga miskin.Kelompok pengeluaran untuk Konsumsi Pangan dan Non Pangan dapat dilihat pada rumus berikut:Konsumsi Pangan : Pi x Qi = (Pa.Qa+ Pb.Qb+ Pc.Qc+ Pd.Qd+ Pe.Qe+ Pf.Qf+ Pg.Qg+..........................)Konsumsi Non Pangan: Px x Qx = (Pa.Qa+ Pb.Qb+ Pc.Qc+ Pd.Qd+ Pe.Qe+ Pf.Qf +Pg.Qg+...............................)

2.8 PendapatanMenurut Sumitro (1957): Pendapatan merupakan jumlah barang dan jasa yang memenuhi tingkat hidup masyarakat, dimana dengan adanya pendapatan yang dimiliki oleh masyarkat dapat memenuhi kebutuhan dan pendapatan rata-rata yang dimiliki oleh setiap jiwa disebut juga dengan pendapatan perkapita yang menjadi tolak ukur kemajuan atau perkembangan ekonomi. Defenisi pendapatan adalah uang yang diterima oleh perorangan, perusahaan dan organisasi-organisasi lain dalam bentuk upah, gaji, sewa, bunga, komisi,ongkos, dan laba, bantuan, tunjangan pengangguran, pensiun, dan lain sebagainya. Pendapatan adalah total penerimaan uang dan bukan uang seseorang atau rumah tangga selama periode tertentu.Menurut Eugene A. Diulio Ph. D (1993) mengatakan pendapatan sekarang terdiri atas pendapatan permanen dan pendapatan sementara. Pendapatan permanen adalah pendapatan yang diharapkan akan diterima oleh rumah tangga selama beberapa tahun mendatang, sedangkan pendapatan sementara terdiri dari tiap tambahan atau pengeluaran yang tidak terduga terhadap pendapatan permanen.Selanjutnya pendapatan perorangan (personal income) merupakan pendapatan agregat (yang berasal dari berbagi sumber) yang secara actual diterima oleh seseorang atau rumah tangga (Nanga,2001).Menurut Mankiw (2000) pendapatan perorangan adalah jumlah pendapatan yang diterima rumah tangga dan bisnis nonkorporat. Sedangkan menurut Sukirno (2004), pendapatan pribadi dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apa pun, yang diterima oleh penduduk suatu negara.Pendapatan (income) adalah total penerimaan (uang dan bukan uang) seseorang atau suatu rumah tangga selama periode tertentu. Ada tiga sumber penerimaan rumah tangga yaitu: 1)Pendapatan dari gaji dan upah.Gaji dan upah adalah balas jasa terhadap kesediaan menjadi tenaga kerja. Besar gaji atau upah seseorang secara teoritis sangat tergantung dari prodiktivitasnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas yaitu :a) Keaahlian (Skill) adalah kemampuan teknis yang dimiliki seseorang untuk mampu menengani pekerjaan yang dipercayakan. Makin tinggi jabatan seseorang, keahlian yang dibutuhkan semakin tinggi, karena itu gaji atau upahnya juga semakin tinggi, b) mutu modal manusia (human capital) adalah kapasitas pengetahuan, keahlian dan kemampuan yang dimiliki seseorang., baik karena bakat bawaan maupun hasil pendidikan dan penelitian, c) Kondisi kerja (Working conditions) adalah lingkungan dimana seseorang bekerja. Bila risiko kegagalan atau kecelakaan makin tinggi, walaupun tingkat keahlian yang dibutuhkan tidak jauh berbeda. 2) Pendapatan dari asset produktif. Asset produktif adalah asset yang memberikan pemasukan atas batas jasa penggunaanya. Ada dua kelompok asset produktif. Pertama, asset financial seperti deposito yang menghasilkan pendapatan bunga, saham, yang menghasilkan deviden dan keuntungan atas modal bila diperjualbelikan. Kedua, asset bukan financial seperti rumah yang memberikan penghasilan sewa. 3) Pendapatan dari pemerintah. Pendapatan dari pemerintah atau penerimaan transfer adalah pendapatan yag diterima bukan sebagai balas jasa input yang diberikan. Atau pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah misalnya pembayaran untuk jaminan sosial yang diambil dari pajak yang tidak menyebabkan pertambahan dalam output.

2.9 Pengaruh Pendapatan Terhadap Pola Konsumsi Rumah TanggaMasliah (1991) dalam penelitianya Hubungan antara konsumsi dan pendapatan nasional sendiri saling berhubungan. Hal ini didasarkan kondisi yang terjadi bahwa konsumsi tergantung pada persepsi masyarakat terhadap pendapatan permanen (pendapatan masyarakat dalam hidupnya) dari pada pendapatan yang dibelanjakan yang mereka peroleh pada saat ini dalam kondisi ekonomi mengalami kemajuan, konsumsi akan cenderung tertinggal oleh naiknya tingkat pendapatan sementara pada masa ekonomi mengalami kemunduran, tingkat konsumsi tidak akan turun secepat tingkat pertumbuhan pendapatan.Teori Engels yang menyatakan bahwa : Semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan (Sumarwan ,1993). Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih sejahtera bila persentasi pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dari persentasi pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan keluarga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan.Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan. Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya pendapatan rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta tingkat pendidikannya (Soekirman, 1991).Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskindibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 1991).Penelitian Crotty, dkk (1989) menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah di Australia mengalokasikan uangnya dalam jumlah yang sedikit untuk bahan makanan seperti gandum, produk susu, buah dan sayuran.Pengeluaran rumah tangga sebagai proksi dari pendapatan mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin besar pengeluaran total mengakibatkan konsumsi energi rumah tangga juga bertambah dengan kata lain apabila pengeluaran total rumah tangga bertambah maka pertambahan tersebut digunakan untuk memenuhi kekurangan konsumsi energi (Arifin danSudaryanto,1991).Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan daya beli rumah tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh tidak terpenuhi (Apriadji, 1986)

2.10 Tinjauan Empiris Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rahmatia (2004) mengamati pola konsumsi wanita pekerja Sulsel pada umumnya dan Kota Makassar pada khususnya memperoleh hasil bahwa pola konsumsi wanita pekerja SULSEL pada umumnya adalah barang kebutuhan pokok baik barang kebutuhan sehari-hari maupun barang tahan lama yang seharusnya barang Lux.Herni winarti (2007) mengamati tingkat konsumsi pangan rumah tangga nelayan di kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar adalah bahwa proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan berbanding lurus dengan besarnya pendapatan total keluarga, artinya semakin besar pendapatan total keluarga maka proporsi alokasi untuk konsumsi pangan semakin besar. Selain itu besarnya tanggungan berbanding lurus dengan konsumsi pangan artinya terdapat hubungan yang positif antara besarnya tanggungan dengan tingkat konsumsi pangan walaupun dengan tingkat konsumsi pangan walaupun dengan tingkat konsumsi pangan, dan dengan tingkat koefisien yang kecil.Miskat (2005) dalam skripsinya menemukan bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat Makassar di Kecamatan Tamalanrea rata-rata dialokasikan untuk kebutuhan Non pangan dibandingkan dengan kebutuhan pangan,dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga dan jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap pola pengeluaran konsumsi masyarakat.Elwin (2001) dalam skripsinya Analisis Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin Pasca Kenaikan Harga BBM Di Kota Makassar menemukan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin pasca kenaikan harga BBM relatif menurun, hal ini disebabkan karena harga barang naik, sedangkan kemampuan konsumsi tidak mampu lagi untuk menjangkaunya.

2.11 Kerangka KonseptualPola Konsumsi sering digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Konsumsi seseorang sangat dipengaruhi oleh pendapatan yang diterimanya. Berdasarkan kurva Engel yaitu tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dapat pula dikatakan membaik apabila pendapatan meningkat dan sebagian pendapatan tersebut digunakan untuk mengkonsumsi non makanan, begitupun sebaliknya. Mereka mengalokasikan kelebihan pendapatan mereka pada pengeluaran non makanan dan selebihnya mereka tabung. Namun hal ini begitu berbeda dengan seseorang/rumah tangga yang berpendapatan rendah dalam hal ini adalah rumah tangga miskin dimana penghasilanya pas-pasan, mereka lebih cenderung untuk memprioritaskan pengeluaran mereka untuk konsumsi makanan dan berbagai macam kebutuhan lainya dan terkadang pendapatan mereka tidak tersisa lagi untuk ditabung. Hal ini membuktikan bahwa konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatan.Dari gambar 2.11 di bawah ini, dapat dilihat bahwa pola konsumsi dalam penelitian ini diduga dipengaruhi pendapatan.Berdasarkan batasan teoritik serta rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka kerangka konseptual dari penelitian ini yaitu

Rumah Tangga

KayaMiskin

Pendapatan dan pengeluaran

Pola konsumsi

Konsumsi PanganKonsumsi Non Pangan

Gambar 2.11 Keranggka Konseptual

2.12 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah seperti yang telah diuraikan dalam bab.I serta dengan berpedoman kepada kerangka konseptual seperti di atas, maka hipotesis yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut : Diduga pola konsumsi rumah tangga kaya adalah lebih banyak porsinya untuk memenuhi kebutuhan non makanan dari pada untuk konsumsi makanan dan sebaliknya pola konsumsi rumah tangga miskin adalah lebih banyak porsinya untuk memenuhi kebutuhan makanan dari pada untuk konsumsi non makanan

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi PenelitianSuatu hal yang sangat penting dalam penelitian adalah menentukan waktu dan lokasi penelitian. Pengumpulan data pada penelitian ini berlangsung selama tiga bulan dari bulan maret sampai dengan mei 2011.Kota Makassar saat ini meliputi 14 kecamatan dan 143 Kelurahan. Lokasi penelitian yang dianggap mewakili Kota Makassar berdasarkan penelitian adalah pada sebelah barat kota Makassar diambil adalah Kecamatan Tallo, sebelah utara Kota Makassar adalah Kecamatan Biringkanaya, sebelah Timur Kota makassar adalah Kecamatan Manggala, sebelah Selatan adalah kecamatan Tamalate dimana lokasi itu yang dianggap mewakili dengan pertimbangan pada lokasi tersebut terdapat orang kaya dan miskin yang tersebar merata dan memiliki jumlah rumah tangga paling banyak.

3. 2 Populasi dan SampelMenurut Anto Dajan (1996) populasi merupakan keseluruhan unsurunsur yang memiliki satu atau beberapa ciri atau karakteristik yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah semua rumah tangga yang ada di Kota Makassar yang terdiri dari 102551 KK yang tersebar di 4 kecamatan (Tamalate, Tallo, Manggala, Biringkanaya). Adapun sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya (Sugianto,dkk, 1998).Teknik sampling yang digunakan dalam pemilihan lokasi adalah teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling menurut Narbuko dan Achmadi (2001: 116) merupakan suatu teknik yang berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang spesifik yang dilihat dalam populasi. Sedangkan menurut Sutopo (2002: 36). Pemilihan sampel berdasarkan teknik ini adalah diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.Ciri-ciri purposive sampling menurut Moleong (2004: 224) adalah sampel tidak dapat ditarik terlebih dahulu, pemilihan sampel secara berurutan, penyesuaian berkelanjutan dari sampel, dan pemilihan sampel berakhir jika sudah terjadi pengulangan. Sesuai dengan pengertian dan ciri-ciri purposive sampling diatas maka sampel dalam penelitian adalah rumah tangga kaya dan miskin yang tersebar pada 4 kecamatan. Kemudian pada tingkat kecamatan dipilih lagi kelurahan yang mewakili dan akhirnya sampai pada unit terkecil yaitu pada tingkat RT. Penentuan jumlah sampel berdasarkan pada rumus slovin sebagai berikut:n= N/1+Ne2Dimana: 1= konstanta n = ukuran sampel N = Ukuran Populasi e2= kelonggaran atau ketidaktelitian karena kesalahan pengubah sampel yang dapat ditolerir yakni 1% dengan tingkat kepercayaan 99% . Tabel 3.2 Jumlah Rumah Tangga Menurut Kecamatan Di Kota MakassarKecamatnRumah tangga

Mariso13.401

Mamajang16.294

Tamalate32.904

Rappocini 28.444

Makassar15.949

Ujungpandang7.177

Wajo11.347

Bontoala14.140

Ujung tanah11.331

Tallo35.618

Panakukang26.969

Manggala24.658

Biringkanya35.684

Tamalanrea22.498

Jumlah296.374

Jumlah Sampel (n)= n= N/1+Ne2=128.864/1+128.864.0,01=99,96=100 sampelPengambilan sampel adalah dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling) di tingkat Rumah Tangga ( RT ) pada setiap kecamatan sebanyak 100 sampel. Dalam metode ini pengambilan sampel dilakukan secara random,artinya semua populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel,berdasarkan karakteristik yang dimaksud, siapapun, dimana dan kapan saja dapat ditemui yang selanjutnya dijadikan responden. 3.3 Jenis dan Sumber DataJenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kousioner) mengenai karakteristik responden.2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait yakni dari Badan Pusat Statistik (BPS) meliputi berbagai data sosial ekonomi penduduk, dan data yang diperoleh dari buku-buku acuan dan berbagai artikel.

3. 4 Model Analisis3.4.1 Model Analisis Deskriptif KomparatifUntuk membuktikan hipotesis yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis deskriptif untuk mengungkapkan atau menggambarkan mengenai keadaan atau fakta yang akurat dari obyek yang diamati,yaitu rumah tangga kaya dan miskin yang disesuaikan dengan teori atau dalil yang berlaku dan diakui. Baik yang menyangkut data primer dan data sekunder akan dilakukan untuk memperoleh informasi.

3.5 Batasan variabel Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasan ini, maka penulis memberikan batasan variabel yang meliputi:1) Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. (BPS,2009)2) Pola konsumsi rumah tangga adalah jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhanya dalam satu bulan yang diukur dengan satuan rupiah. Pendapatan yang diterima rumah tangga akan digunakan untuk konsumsi pangan dan non pangan. Untuk analisis deskriptif, pola konsumsi dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu :a. Rendah adalah alokasi pola konsumsi pangan sebanyak kurang 50 % dari total pengeluaranb. Sedang adalah alokasi pola konsumsi pangan sebanyak 50 - 60 % daritotal pengeluaran.c. Tinggi adalah alokasi pola konsumsi pangan lebih besar 60 % dari total pengeluaran.3) Konsumsi pangan adalah jumlah pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dikeluarkan setiap bulan untuk kebutuhan bahan makanan, yaitu makanan pokok, protein hewani, sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan, dan kelompok kebutuhan lain-lain (teh, kopi, gula, minyak goreng, bumbu-bumbu dapur dan lain-lain) yang diukur dalam rupiah.4) Konsumsi Non Pangan adalah jumlah pengeluaran konsusmi rumah tangga yang dikeluarkan setiap bulan untuk kebutuhan di luar bahan makanan yaitu berupa sandang, papan, penddikan, kesehatan, transportasi, elektronika, hiburan, minyak tanah, gas, rekening (listrik, telepon, air) dan lain-lain yang diukur dalam rupiah.5) Menurut Suyastiri pendapatan total keluarga diukur dengan banyaknya akumulasi pendapatan semua anggota keluarga, setelah dikonpersi menjadi per bulan, jadi satuannya adalah rupiah per bulan (Rp/bulan). Pendapatan rumah tangga dibagi menjadi dua macam yaitu pendapatan total rumah tangga kaya dan pendapatan total rumah tangga miskin. Dalam penelitian ini pendapatan total rumah tangga miskin dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pendapatan rendah, sedang, tinggi. Rata-rata pendapatan rumah tangga miskin (X) adalah sebesar Rp.1.504.000,00 standar deviasi pendapatan (Sd) adalah sebesar Rp.630.341,66. Sehingga tingkat pendapatan dibagi menjadi:1. Pendapatan rendah X Rp.873.658,342. Pendapatan sedang Rp.873.658,34