22
BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksi Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga pembiasan sinar tidak difokuskan pada retina (bintik kuning). Untuk memasukkan sinar atau bayangan benda ke mata diperlukan suatu sistem optik. Diketahui bahwa bola mata mempunyai panjang kira-kira 2.0 cm. Untuk memfokuskan sinar ke retina diperlukan kekuatan 50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri mempunyai titik api pada titik 2.0 cm (Ilyas , 2006, p1). Pada mata yang tidak memerlukan alat bantu penglihatan (biasa disebut mata normal) terdapat 2 sistem yang membiaskan sinar yang menghasilkan kekuatan 50.0 dioptri. Kornea mata mempunyai kekuatan 80% atau 40 dioptri dan lensa mata berkekuatan 20% atau 10 dioptri (Ilyas , 2006, p1). Menurut Ilyas (2006, p2) kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina seperti terlihat pada Gambar 3.1. Pada kelainan refraksi, sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, akan tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan astigmat.

BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

  • Upload
    lamdien

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

BAB 3

LANDASAN TEORI

3.1 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga

pembiasan sinar tidak difokuskan pada retina (bintik kuning). Untuk memasukkan sinar

atau bayangan benda ke mata diperlukan suatu sistem optik. Diketahui bahwa bola mata

mempunyai panjang kira-kira 2.0 cm. Untuk memfokuskan sinar ke retina diperlukan

kekuatan 50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri mempunyai titik api pada titik 2.0

cm (Ilyas , 2006, p1).

Pada mata yang tidak memerlukan alat bantu penglihatan (biasa disebut mata

normal) terdapat 2 sistem yang membiaskan sinar yang menghasilkan kekuatan 50.0

dioptri. Kornea mata mempunyai kekuatan 80% atau 40 dioptri dan lensa mata

berkekuatan 20% atau 10 dioptri (Ilyas , 2006, p1).

Menurut Ilyas (2006, p2) kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas

tidak dibentuk pada retina. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik

pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal kornea dan

lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina seperti terlihat

pada Gambar 3.1. Pada kelainan refraksi, sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, akan

tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik

yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan astigmat.

Page 2: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

12

Gambar 3.1 Mata Normal / Tanpa Kelainan Refraksi

Sebelum membahas lebih lanjut, adalah lebih baik mengetahui sedikit anatomi mata

yang memegang peranan di dalam kelainan refraksi. Pada penglihatan terdapat proses

yang cukup rumit oleh jaringan yang dilalui seperti membelokkan sinar, memfokuskan

sinar dan meneruskan rangsangan sinar yang membentuk bayangan yang dapat dilihat.

Menurut Ilyas (2006, p3) yang memegang peranan pembiasan sinar pada mata adalah:

1. Kornea

Kornea merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk dan

difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dengan sifatnya yang

transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang masuk

80% atau dengan kekuatan 40 dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh kornea ini.

2. Iris

Iris atau selaput pelangi yang berwarna akan menghalangi sinar masuk ke dalam

mata. Iris akan mengatur jumlah sinar masuk ke dalam pupil melalui besarnya

pupil.

Page 3: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

13

3. Pupil

Pupil berwarna hitam pekat pada sentral iris mengatur jumlah sinar masuk ke

dalam bola mata.

4. Badan Siliar

Badan siliar merupakan bagian khusus uvea yang memegang peranan untuk

akomodasi dan menghasilkan cairan mata.

5. Lensa

Lensa yang jernih mengambil peranan membiaskan sinar 20% atau 10 dioptri.

Peranan lensa yang terbesar adalah pada saat melihat dekat atau berakomodasi.

Lensa ini menjadi kaku dengan bertambahnya umur sehingga akan menjadi

presbiopia.

6. Retina

Retina merupakan bungkus bola mata sebelah dalam dan terletak di belakang

pupil. Retina akan meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan

benda sebagai rangsangan elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal.

7. Saraf Optik

Saraf penglihat meneruskan rangsangan listrik dari mata untuk dikenali

bayangannya.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Page 4: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

14

Gambar 3.2 Bagian Mata

Penglihatan seseorang ditentukan oleh tajam penglihatan, penglihatan warna dan

lapang pandangan. Penderita dengan kelainan refraksi terlihat mengedip lebih kurang

dibanding yang memiliki penglihatan normal (biasanya akan mengedip 4-6 kali dalam 1

menit).

Penderita dengan kelainan refraksi biasanya akan memberikan keluhan berikut :

• Sakit kepala terutama di daerah tengkuk atau dahi

• Mata mudah berair

• Cepat mengantuk

• Mata terasa pedas

• Pegal pada bola mata

• Penglihatan kabur

Page 5: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

15

3.1.1 Emetropia

Emetropia (mata normal) berasal dari kata Yunani, emetros, yang berarti ukuran

normal atau pembiasan sinar dalam mata dalam keseimbangan wajar, dan opsis, yang

berarti penglihatan. Mata emetropia akan mempunyai penglihatan normal, 6/6 atau 100%.

3.1.2 Ametropia

Ametropia (mata dengan kelainan refraksi) berasal dari bahasa Yunani; ametros,

yang berarti tidak seimbang/sebanding, dan opsis, adalah penglihatan. Jadi ametropia

adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi dimana mata yang dalam keadaan

tanpa akomodasi atau istirahat memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak

terletak pada retina.

Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya.

Lensa mata memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan

akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.

Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea atau adanya perubahan

panjang bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini

disebut sebagai ametropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmat.

Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan kecembungan

lensa akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi dimana

gangguan ini dapat terjadi pada usia lanjut yang disebut presbiopia.

Page 6: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

16

Bentuk-bentuk ametropia (Ilyas, 2006, p25) :

A. Miopia (rabun jauh)

Miopia atau biasa disebut sebagai rabun jauh diakibatkan berkurangnya

kemampuan untuk melihat jauh akan tetapi dapat melihat dekat dengan jelas.

Menurut Jenkins (1981, p199) pada penderita miopia, titik fokus sinar yang

datang dari benda yang jauh jatuh di depan retina, seperti yang terlihat pada

Gambar 3.3 .

Gambar 3.3 Mata Miopia

Menurut Ilyas (2006, p30) faktor-faktor yang berkaitan dengan penyebab

terjadinya miopia :

1. faktor herediter atau keturunan

2. faktor lingkungan

3. faktor gizi

Menurut Ilyas (2006,p30) miopia pada anak dimasukkan ke dalam dua kelompok:

• kongenital, yang biasanya miopia tinggi

• developmental (perkembangan), yang biasanya terlihat pada anak berusia

7-10 tahun, tidak begitu berat dan lebih mudah ditangani.

Page 7: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

17

Keduanya berjalan progresif dan memerlukan pemeriksaan kacamata yang teratur.

Sering terlihat pada anak miopianya berjalan progresif yang mungkin disebabkan

bekerja atau membaca dekat.

Miopia ditentukan dengan ukuran lensa negatif di dalam dioptri, dimana 1.00

dioptri merupakan kekuatan lensa yang memfokuskan sinar sejajar pada jarak satu

meter.

Klasifikasi beratnya miopia :

• miopia ringan <-2.00 dioptri

• miopia sedang -2.00 hingga -6.00 dioptri

• miopia berat -6.00 hingga -9.00 dioptri

• miopia sangat berat >-9.00 dioptri

Miopia dapat diobati dengan menggunakan lensa negatif atau biasa juga disebut

lensa konkaf/divergen.

B. Hipermetropia

Hipermetropia juga dikenal dengan istilah rabun dekat. Hipermetropia

lebih jarang dibandingkan dengan miopia. Penderita hipermetropia mengalami

kesulitan untuk melihat dekat akibat sukarnya lensa mata berakomodasi. Dan

biasanya keluhan akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya usia

yang diakibatkan melemahnya otot siliar untuk berakomodasi dan berkurangnya

kekenyalan lensa. Pada hipermetropia, fokus bayangan jatuh dibelakang retina,

seperti terlihat pada Gambar 3.4 . Adapun bentuk hipermetropia dimana penderita

mengalami kelainan refraksi sehingga memerlukan kacamata dengan lensa positif

untuk melihat jauh, hal ini disebut hipermetropia absolut. Untuk membantu

Page 8: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

18

penglihatan bagi penderita hipermetropia digunakan lensa positif atau

konveks/konvergen (Jenkins, 1981, p199).

Gambar 3.4 Mata Hipermetropia

C. Astigmat (Silinder)

Yang dimaksud dengan astigmat atau silinder disini adalah terdapatnya

variasi kelengkungan kornea atau lensa mata pada meridian yang berbeda yang

akan menyebabkan sinar tidak terfokus pada satu titik sehingga penderita tidak

dapat melihat dengan fokus/berbayang (Ilyas, 2006, p43) seperti yang dapat

dilihat pada Gambar 3.5 . Astigmat merupakan akibat bentuk kornea yang oval

seperti telur, makin lonjong bentuk kornea makin tinggi astigmat mata tersebut.

Umumnya setiap orang mempunyai astigmat ringan. Astigmat bisa

bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir dan biasanya berjalan bersama dengan

miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi perubahan selama hidup.

Gambar 3.5 Mata Astigmat

Page 9: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

19

Menurut Ilyas (2006, p45) seorang penderita astigmat biasanya akan memberikan

keluhan :

• Melihat ganda dengan satu atau kedua mata

• Melihat benda bulat menjadi lonjong

• Pada astigmat, penglihatan akan kabur untuk jauh maupun dekat

• Untuk melihat sering mengecilkan celah kelopak mata

• Sakit kepala

• Mata tegang atau pegal

• Mata cepat lelah

Satuan atau ukuran pada astigmat dinyatakan dengan silinder dapat dengan

notasi minus ataupun notasi plus. Dimana pada astigmat terdapat axis yang

menyatakan sudut sumbu garis yang menghubungkan titik pertengahan pupil

dengan titik nodus.

Kenaikan silinder berpengaruh juga terhadap besar pertumbuhan spheres untuk

miopia maupun astigmat. Misal kenaikan silinder sebesar -0.25 maka dapat berarti

kenaikan spheres sebesar -0.25 dan notasi kenaikan silinder menjadi +0.25 dengan

axis ditambah atau dikurangi 90o . Hal ini dapat terjadi karena adanya ekuivalensi

silinder terhadap spheres. Contoh : dalam resep didapat ukuran Sph -1.00 Cyl -

0.50 Axis 90o (notasi silinder minus) maka akan sama dengan Sph -1.50 Cyl

+0.50 Axis 180o (notasi silinder menjadi plus).

Untuk koreksi astigmat digunakan lensa silinder.

Page 10: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

20

D. Presbiopia (mata tua)

Presbiopia adalah perkembangan normal yang berhubungan dengan usia,

dimana akomodasi yang diperlukan untuk melihat dekat perlahan-lahan

berkurang. Pada umumnya jika telah berada pada usia diatas 40 tahun seseorang

akan membutuhkan kacamata baca akibat telah terjadinya presbiopia (Jenkins,

1981, p199).

Untuk membantu kekurangan daya akomodasi pada presbiopia

dipergunakan lensa positif untuk menambah kekuatan lensa yang berkurang

sesuai usia. Menurut Ilyas (2006, p48) pada pasien presbiopia diperlukan

kacamata baca atau adisi/penambahan untuk membca dekat yang berkekuatan

tertentu, biasanya :

• +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun

• +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun

• +2.00 dioptri untuk usia 50 tahun

• +2.50 dioptri untuk usia 55 tahun

• +3.00 dioptri untuk usia 60 tahun

Dikarenakan jarak baca biasanya adalah 33 cm, maka adisi +3.00 dioptri adalah

lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang.

Suatu keadaan dimana mata mempunyai kelainan refraksi yang berbeda antara

mata kanan dan kiri disebut anisometropia.

Page 11: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

21

Dioptri adalah ukuran kekuatan pembiasan sebuah lensa sebagai bagian meter,

dimana bila lensa memfokuskan sinar sejajar melalui lensa yang berkekuatan 1.00 dioptri

dibiaskan pada jarak 1 meter.

3.2 Kacamata

Terdapat berbagai alat dan cara untuk memperbaiki tajam penglihatan seperti

menggunakan kacamata, lensa kontak maupun bedah refraksi.

Seperti diketahui kacamata merupakan alat bantu penglihatan yang paling banyak

dipergunakan oleh karena perawatan yang lebih mudah dan relatif lebih murah. Tetapi

menggunakan kacamata juga terdapat keluhan-keluhan seperti :

• kacamata tidak selalu bersih

• coating kacamata mengurangi kecerahan warna benda yang dilihat

• mengubah wajah

• jika ukuran dioptri/spheres tinggi lensa tebal

• sering pegal pada pangkal hidung dan telinga

3.3 Lensa

Pada kacamata lensa merupakan bagian yang paling penting sebab lensa itulah

yang memberikan koreksi penglihatan. Lensa bekerja membelokkan jalan sinar yang

disebut pembiasan atau refraksi. Lensa bersifat menyebarkan atau memusatkan sinar

yang melaluinya.

Page 12: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

22

Menurut Ilyas (2006, p101) untuk membantu koreksi penglihatan lensa terdapat

beberapa jenis, yaitu :

1. lensa negatif (lensa divergen atau lensa konkaf)

Lensa negatif dapat dengan permukaan plano konkaf, konkaf gand dan konkaf

konveks. Lensa ini tebal pada bagian perifer/tepi lensa dan pada bagian sentral

lebih tipis. Lensa ini digunakan untuk koreksi miopia/rabun jauh.

Gambar 3.6 Koreksi Miopia Dengan Lensa Konkaf

2. lensa postif (lensa konvergen atau lensa konveks)

Lensa positif dipergunakan untuk koreksi hipermetropia/rabun dekat. Lensa ini

kebalikan dari lensa negatif, dimana bagian perifer lebih tipis dibandingkan

bagian sentral.

Gambar 3.7 Koreksi Hipermetropia Dengan Lensa Konveks

Page 13: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

23

3. lensa cylinder (silinder)

Lensa ini diperlukan untuk memperbaiki kelainan refraksi astigmat. Lensa silinder

mempunyai kekuatan maksimal pada satu sumbu. Sumbu dari bagian yang

melengkung disebut sebagai sumbu silinder atau biasa disebut axis. Letak sumbu

pada mata berkisar antara 0 hingga 180 derajat.

Gambar 3.8 Koreksi Astigmat Dengan Lensa Cylinder

Berdasarkan bahannya lensa terdapat dua jenis yaitu lensa kaca dan lensa plastik.

Keuntungan dan kerugian lensa kaca dibandingkan dengan lensa plastik :

a. Lensa kaca lebih mudah berembun dibandingkan lensa plastik;

b. Lensa kaca lebih mudah pecah dibandingkan lensa plastik;

c. Lensa plastik lebih mudah tergores dibandingkan lensa kaca;

d. Lensa kaca lebih berat dibandingkan lensa plastik;

e. Lensa kaca lebih tipis dibandingkan lensa plastik.

Berdasarkan fokusnya lensa dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Lensa Single Vision (SV), atau lensa single focus yaitu lensa untuk koreksi satu

masalah penglihatan saja;

Page 14: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

24

b. Lensa Bifocal/Bifocus , yaitu lensa yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat

digunakan untuk koreksi dua masalah penglihatan dimana lensa yang bagian

atasnya untuk koreksi penglihatan jauh dan bagian bawah untuk koreksi

penglihatan dekat;

c. Lensa Multifocus, biasa disebut juga lensa progressive, yaitu lensa yang seperti

bifocus akan tetapi tanpa batas garis dengan kekuatan spheresnya bertambah

perlahan dari atas hingga bawah, kelebihannya selain dapat digunakan untuk

melihat jauh dan dekat dapat pula untuk melihat jarak menengah/sedang.

3.4 Spheres

Spheres adalah ukuran lensa yang ditulis pada resep untuk lensa koreksi yang

menyatakan bentuk lensa (negatif atau positif) dan besar koreksi mata yang diperlukan

dengan satuan dioptri (Ilyas, 2006, p150).

3.5 Inferensia Statistik

Menurut Walpole (1995, p238) inferensia statistik dapat dikelompokkan ke dalam

dua bidang utama yaitu :

1. pendugaan parameter

2. pengujian hipotesis

3.5.1 Pendugaan Parameter

Suatu statistik Θ̂ merupakan nilai dugaan bagi parameter populasi Ө. Misalnya,

nilai x merupakan nilai dugaan bagi parameter populasi μ.

Page 15: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

25

Tidak dapat dibayangkan bahwa suatu penduga akan menduga parameter

populasinya tanpa galat. Jadi tidak dapat dibayangkan bahwa x akan menduga μ secara

tepat, tetapi tentu saja diharapkan bahwa penduga itu tidak terlalu jauh menyimpang dari

parameternya.

Statistik Θ̂ dikatakan penduga takbias bagi parameter θ bila θμ =Θ=Θ

)ˆ(ˆ E .

Di antara semua kemungkinan penduga takbias bagi parameter θ, yang ragamnya

terkecil adalah penduga paling efisien bagi θ. Akan tetapi penduga takbias yang paling

efisien sekalipun kecil sekali kemungkinannya menduga parameter populasi secara tepat

betul. Jadi untuk penduga yang lebih baik digunakan dugaan selang. Secara umum

dugaan selang bagi parameter populasi θ adalah suatu selang yang berbentuk Θ̂ < Θ < Θ̂

(Walpole, 1995, p241).

3.5.1.1 Dalil Limit Pusat

Bila contoh acak berukuran n ditarik dari suatu populasi yang besar atau tak

hingga dengan nilai tengah μ dan ragam 2σ , maka nilai tengah contoh x akan menyebar

menghampiri normal dengan nilai tengah contoh μμ =x dan simpangan baku

nxσσ = . Dengan demikian

n

xzσμ−

= ~ normal baku. (3.1)

Dalil limit pusat berlaku pula untuk σ yang tidak diketahui asalkan n≥20, bagaimanapun

bentuk populasinya (Agresti, 1999).

Page 16: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

26

3.5.1.2 Pendugaan Beda Dua Nilai Tengah Populasi

Bila terdapat dua populasi dengan nilai tengah μ1 dan μ2 dan ragam 21σ dan 2

maka penduga titik bagi selisih antara μ1 dan μ2 diberikan oleh statistik 21 XX − . Oleh

karena itu, untuk mendapatkan nilai dugaan titik bagi μ1 - μ2 , diambil dua contoh acak

bebas, satu dari masing-masing populasi, yang berukuran n1 dan n2 , dan kemudian

menghitung selisih kedua nilai tengah contohnya 21 xx − .

Menurut Agresti (1999, p14) bila kedua sampel diambil dari populasi normal,

atau bila n1≥20 dan n2 ≥20, maka biasanya diperoleh selang kepercayaan bagi μ1 - μ2

yang valid dengan didasarkan pada sebaran penarikan contoh bagi 21 XX − , sekiranya

akan menyebar normal dengan nilai tengah 2121μμμ −=−xx dan simpangan baku sebesar

)()(2

22

1

21

21 nS

nS

xx +=−σ . Dengan demikian diperoleh peubah acak normal baku

( ) ( )

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +

−−−=

2

22

1

21

2121

nS

nS

xxZ μμ (3.2)

Akan jatuh antara -2

αz dan 2

αz dengan peluang 1-α.

21S = ragam sampel pertama

22S = ragam sampel kedua

n1 = jumlah sampel pertama

n2 = jumlah sampel kedua

1x = rata-rata sampel pertama

2x = rata-rata sampel kedua

Page 17: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

27

maka selang kepercayaan sampel besar (1-α)100% bagi μ1 - μ2 adalah

( ) ( )2

22

1

21

22121

2

22

1

21

221 n

SnSzxx

nS

nSzxx ++−<−<+−− αα μμ (3.3)

Dalam hal ini 2αz adalah nilai peubah normal baku z yang luas daerah sebelah kanannya

sebesar α/2.

3.5.2 Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis statistik merupakan bidang paling penting dalam inferensia

statistik. Hipotesis statistik adalah pernyataan atau dugaan mengenai satu atau lebih

populasi. Hipotesis yang dirumuskan dengan harapan akan ditolak diistilahkan hipotesis

nol, dengan lambang H0 . Yang mana penolakan H0 mengakibatkan penerimaan suatu

hipotesis alternatif, yang dilambangkan dengan H1 (Walpole, 1995, p288)

3.5.2.1 Uji Z Untuk Perbandingan Dua Buah Nilai Tengah Sampel Besar

Menurut Agresti (1999, p215) ada beberapa cara untuk membandingkan rata-rata

dari 2 buah sampel bebas. Tetapi semua itu bergantung kepada standar deviasi dari

sebaran sampel sebagai standar error yang mana diasumsikan bahwa sampel yang

diambil normal atau sampel yang diambil besar (setidaknya n1 dan n2 ≥20).

Meurut Agresti (1999, p215) untuk uji signifikan rata-rata 2 buah sampel besar (n1≥20,

n2≥20) dari hipotesis ini menggunakan 21 XX − dan standar error.

Page 18: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

28

Hipotesis :

1. Right – tailed test

211

210

μμμμ

>=≤=

HH

2. Left – tailed test

211

210

μμμμ

<=≥=

HH

3. Two – tailed test

211

210

μμμμ

≠===

HH

Statistik uji sampel besar z :

2221

21

2121 )()(

nSnS

xxz

+

−−−=

μμ (3.4)

Dimana

)1(

)( 2

11

2

2

−=

∑∑==

ii

n

jij

n

jiji

i nn

xxnS

ii

(3.5)

Keterangan :

21S = ragam sampel pertama

22S = ragam sampel kedua

n1 = jumlah sampel pertama

n2 = jumlah sampel kedua

Page 19: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

29

1x = rata-rata sampel pertama

2x = rata-rata sampel kedua

Keputusan :

1. Tolak H0 bila zhitung>zα

2. Tolak H0 bila zhitung <-zα

3. Tolak H0 bila zhitung <-zα/2 dan zhitung>zα/2

Menggunakan tabel sebaran z.

3.5.2.2 Uji T2 Hotelling

Statistik T2-Hotelling digunakan untuk uji ketidaksamaan rata-rata multivariat dari

2 populasi (dalam hal ini berbentuk vektor). Uji ini cocok untuk membandingkan respon

dari satu set populasi eksperimen dengan respon bebas dari set populasi eksperimen yang

lainnya. T2-Hotelling adalah distribusi sampling untuk menguji hipotesis yang sampelnya

berbentuk matriks (Morrison, 1976, p188).

Hipotesis :

0:0:

211

210

≠−=−

μμμμrr

rr

HH

Uji statistik :

Misalkan akan diuji rata-rata respon dari dua populasi eksperimen dimana

terdapat 2 sifat respon yang dihasilkan. Masing-masing sampel bebas (X dan Y saling

bebas).

Page 20: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

30

Perlakuan I (X) :

X = ⎥⎦

⎤⎢⎣

n

n

xx

xxxx

2

1

2221

1211

....

....

Perlakuan II (Y) :

Y = ⎥⎦

⎤⎢⎣

m

m

yy

yyyy

2

1

2221

1211

....

....

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡=

2

1

xxX (3.6)

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡=

2

1

yyY (3.7)

Keterangan :

1x = rata-rata dari 1xr

2x = rata-rata dari 2xr

1y = rata-rata dari 1yr

2y = rata-rata dari 2yr

Perlakuan I :

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡=

2221

12111 SS

SSS

Page 21: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

31

Dimana :

∑=

−−

=n

jiijij xx

nS

1

2)(1

1 (3.8)

Keterangan :

S11 = ragam dari 1xr

S22 = ragam dari 2xr

S12 = S21 = kovarian dari 1xr dan 2xr

Perlakuan II :

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡=

2221

12112 SS

SSS

Dimana :

∑=

−−

=m

jiijij yy

mS

1

2)(1

1 (3.9)

Keterangan :

S11 = ragam dari 1yr

S22 = ragam dari 2yr

S12 = S21 = kovarian dari 1yr dan 2yr

21 21

21 S

mnmS

mnnS geb −+

−+

−+−

= (3.10)

Page 22: BAB 3 LANDASAN TEORI 3.1 Kelainan Refraksithesis.binus.ac.id/Doc/Bab3/2007-2-00539 BAB III.pdf · • +1.00 dioptri untuk usia 40 tahun • +1.50 dioptri untuk usia 45 tahun • +2.00

32

[ ] [ ]YXSYX gabD −−×××

−=1222

'

21

2 1 (3.11)

22 .. Dmn

mnThitung += (3.12)

( )2.

21

hitunghitung Tpmn

pmnF−+

−−+= (3.13)

)(21 , αvvtabel FF = (3.14)

Dimana :

12

1

−−+==

pmnvpv

Keterangan:

n = jumlah sampel perlakuan I

m = jumlah sampel perlakuan II

p = banyaknya perlakuan

α = taraf nyata

Keputusan :

Tolak H0 jika tabelhtiung FF > , yang mana berarti vektor rata-rata variabel-variabel dari

perlakuan I berbeda dari vektor rata-rata variabel-variabel perlakuan II.