23
BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATANYANG LEBIH BERKUALITAS Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H yang menetapkan bahwa mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal merupakan hak azasi manusia. Selanjutnya, Undang- Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menetapkan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional yang ingin dicapai adalah mewujudkan daya saing bangsa. Status kesehatan dan gizi merupakan salah satu komponen penting dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam periode pelaksanaan RPJMN 2004-2009, pembangunan kesehatan telah berhasil meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan membaiknya beberapa indikator yaitu meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu, menurunnya angka kematian bayi, dan menurunnya prevalensi kekurangan gizi pada anak balita. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT · PDF fileBAB 28 PENINGKATAN AKSES ... puskesmas, puskesmas pembantu, pos kesehatan desa (poskesdes), 28 - 5 ... standarisasi dan akreditasi institusi

  • Upload
    ngodieu

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 28

PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATANYANG LEBIH BERKUALITAS

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H yang menetapkan bahwa mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal merupakan hak azasi manusia. Selanjutnya, Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menetapkan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional yang ingin dicapai adalah mewujudkan daya saing bangsa. Status kesehatan dan gizi merupakan salah satu komponen penting dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Dalam periode pelaksanaan RPJMN 2004-2009, pembangunan kesehatan telah berhasil meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan membaiknya beberapa indikator yaitu meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu, menurunnya angka kematian bayi, dan menurunnya prevalensi kekurangan gizi pada anak balita. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti

28 - 2

Singapura, Thailand, Malaysia dan Philipina, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia masih tertinggal. Status kesehatan dan gizi yang masih rendah tersebut memberi dampak terhadap rendahnya daya saing bangsa.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Permasalahan penting yang masih dihadapi dalam pembangunan kesehatan saat ini adalah terbatasnya aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas terutama pada kelompok penduduk miskin, penduduk daerah tertinggal, terpencil dan di daerah perbatasan serta pulau-pulau terluar. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh karena kendala jarak, biaya dan kondisi fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan jaringannya yang belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat.

Selain itu, beberapa permasalahan lainnya adalah : (1) tingginya prevalensi anak yang pendek (stunting) sebagai indikasi kekurangan gizi kronis; (2) terjadinya beban ganda penyakit (double burden of diseases), yaitu suatu keadaan ketika penyakit menular masih merupakan masalah, di lain pihak penyakit tidak menular menunjukkan kecenderungan meningkat; (3) masih tingginya ketergantungan pada bahan baku obat dari luar negeri; rendahnya tingkat ketersediaan obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu dengan harga terjangkau; serta rendahnya tingkat pemanfaatan obat generik di sarana pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta: (4) terjadinya kekurangan jumlah, jenis, mutu tenaga kesehatan dan persebarannya yang kurang merata; (5) jaminan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin belum sepenuhnya dapat meningkatkan status kesehatan penduduk miskin dan skema asuransi kesehatan nasional seperti diamanatkan oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional belum terlaksana; (6) pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan belum digarap dengan optimal.

Di bawah ini diuraikan beberapa permasalahan penting dalam lima tahun terakhir di bidang kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu peningkatan akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan; perbaikan status kesehatan dan gizi masyarakat; peningkatan akses terhadap layanan kesehatan; penanggulangan

28 - 3

penyakit; pemenuhan tenaga kesehatan; penanggulangan bencana; dan ketersediaan, keterjangkauan obat esensial, dan pengawasan terhadap obat dan makanan.

A. Peningkatan akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan

Kelompok miskin pada umumnya mempunyai status kesehatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan status kesehatan rata-rata penduduk. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya. Utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga, persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin hanya mencapai 39,1 persen dibanding dengan 82,3 persen pada penduduk kaya.

Selain itu, penduduk miskin belum seluruhnya terjangkau oleh sistem jaminan/asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,7 persen penduduk, yang sebagian besar di antaranya adalah pegawai negeri dan penduduk mampu. Walaupun Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah ditetapkan, pengalaman di berbagai wilayah menunjukkan bahwa keterjangkauan penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan belum cukup terjamin.

Meskipun pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin telah tersedia, belum semua penduduk miskin memanfaatkan pelayanan ini karena mereka tidak mampu menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan akibat kendala biaya karena jarak dan transportasi. Permasalahan lainnya yang berkaitan dengan distribusi kartu miskin adalah penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) oleh orang yang tidak berhak dan ketiadaan obat dalam pelayanan kesehatan. Banyak pihak yang mengharapkan bahwa Jamkesmas dapat menjadi cikal bakal asuransi kesehatan nasional. Namun, banyak hal dari sistem dan pengelolaan Jamkesmas yang perlu disempurnakan.

28 - 4

B. Perbaikan status kesehatan dan gizi masyarakat

Dalam tiga dekade terakhir, pembangunan kesehatan telah berhasil meningkatkan jumlah, pemerataan, dan kualitas pelayanan kesehatan dasar sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan status gizi masyarakat, dan memperpanjang harapan hidup rata-rata penduduk. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Singapura, Thailand, Malaysia dan Philipina, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia masih tertinggal. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir pembangunan kesehatan menghadapi tantangan yang besar dalam mempertahankan peningkatan status kesehatan masyarakat. Indikasi ini terlihat, antara lain, dari adanya pelambatan penurunan angka kematian bayi dan angka kematian ibu.

Upaya perbaikan gizi telah berhasil memperbaiki keadaan gizi anak balita. Namun, kekurangan gizi kronis yaitu stunting (pendek dan sangat pendek, diukur dengan tinggi badan menurut umur) pada anak balita masih terlihat cukup tinggi yaitu sebesar 36,8 persen (Depkes, 2008). Indikator ini menunjukkan kekurangan gizi terjadi dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Selain itu, disparitas status gizi pada anak balita antarprovinsi dan antarkabupaten/kota masih cukup lebar. Masih terdapat 7 provinsi yang mempunyai rata-rata prevalensi kekurangan gizi lebih dari 25 persen, dan 10 provinsi dengan rata-rata gizi buruk lebih dari 8 persen. Bahkan, sepuluh kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi buruk mencapai 40 persen. Permasalahan gizi lain yang dianggap cukup besar yang dihadapi di Indonesia adalah kekurangan gizi mikro yaitu kekurangan vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium dan anemia gizi besi. Akhir-akhir ini muncul kecenderungan peningkatan permasalahan gizi lebih yang ditandai oleh kegemukan dan obesitas.

C. Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan

Aksesibilitas masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan terus membaik dengan bertambahnya fasilitas kesehatan seperti puskesmas, puskesmas pembantu, pos kesehatan desa (poskesdes),

28 - 5

serta rumah sakit. Jumlah puskesmas terus meningkat. Namun, sekitar 14 persen puskesmas berada dalam kondisi rusak. Peningkatan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan juga ditunjukkan dengan bertambahnya puskesmas pembantu dan puskesmas keliling.

Sementara itu, lebih dari 95 persen masyarakat dapat menjangkau sarana kesehatan dalam jarak dan waktu tempuh yang pendek. Demikian pula, utilisasi fasilitas kesehatan meningkat pesat namun akses penduduk terhadap fasilitas belum optimal sehingga masih terdapat sekitar 33,7 persen penduduk mengalami kendala jarak dan biaya. Di pulau Jawa dengan jumlah penduduk yang lebih padat, akses terhadap pelayanan kesehatan relatif mudah karena permukiman penduduk lebih dekat dengan Puskemas dan jaringannya. Namun, di kawasan Indonesia bagian timur, dengan jumlah penduduk kecil dan bertempat tinggal tersebar dan menghadapi kendala geografis menyebabkan akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan lebih rendah.

D. Penanggulangan penyakit

Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare, dan penyakit kulit. Namun, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus, dan kanker. Selain itu, Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD), HIV/AIDS, chikungunya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS). Beberapa penyakit zoonotik seperti flu burung (H5N1) dan flu babi (H1N1), muncul di Indonesia dan menjadi masalah kesehatan yang meresahkan masyarakat. Penyakit flu burung pada unggas dilaporkan pada bulan Agustus 2003, dan menyebar hampir keseluruh provinsi di Indonesia. Pada bulan Juni tahun 2005, flu burung dilaporkan pertama kali menyerang manusia di Tangerang-Banten dan menyebar ke beberapa provinsi. Pada tahun 2009, dunia dihadapkan pada pandemi penyakit influenza type A baru (flu babi/virus H1N1) yang penyebarannya dimulai dari Mexico dan saat ini kasusnya telah ditemukan di Indonesia. Dengan demikian, telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burdens). Terjadinya

28 - 6

beban ganda yang disertai dengan meningkatnya jumlah penduduk, serta perubahan struktur umur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya penduduk usia produktif dan usia lanjut, akan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat di masa datang.

E. Pemenuhan tenaga kesehatan

Tenaga kesehatan mengalami perbaikan walaupun tantangannya cukup berat. Beberapa indikator ketenagaan kesehatan, antara lain, menunjukkan rasio jumlah tenaga kesehatan untuk dokter umum 27 per 100.000 penduduk, dokter spesialis 8 per 100.000 penduduk, perawat 158 per 100.000 penduduk, dan bidan 44 per 100.000 penduduk. Dengan mengacu pada jumlah dan rasio yang diharapkan tahun 2010 dalam Indonesia Sehat, walaupun jumlah tenaga kesehatan terus bertambah masih terjadi kekurangan di semua jenis tenaga kesehatan yang ada. Jumlah tenaga kesehatan masyarakat, seperti perencana dan manajemen kesehatan, tenaga kesehatan lingkungan, gizi, promosi kesehatan, dan tenaga apoteker juga mengalami kekurangan.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di regional Asia Tenggara, jumlah dan rasio tenaga kesehatan Indonesia relatif rendah. Sebagai contoh, rasio dokter per 100.000 penduduk di Indonesia (27) masih lebih rendah daripada di Filipina (58) dan Malaysia (70), bahkan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah yaitu Vietnam (53). Untuk rasio bidan (44) masih lebih rendah dari rata-rata Asia Tenggara yaitu 50 per 100.000 penduduk. Walaupun demikian, untuk rasio perawat di Indonesia (158) lebih baik dari rata-rata di wilayah Asia Tenggara yaitu 62 per 100.000 penduduk.

Kekurangan jumlah, jenis, mutu, dan penyebaran tenaga kesehatan terus dipenuhi untuk memperkecil kesenjangan. Upaya tersebut perlu didukung dengan perbaikan regulasi, termasuk standarisasi dan akreditasi institusi pendidikan, sertifikasi hasil lulusan, dan lisensi ketenagaan. Sementara itu, di bidang perencanaan, produksi dan pendayagunaan sumber daya manusia kesehatan masih lemah.

28 - 7

F. Penanggulangan bencana

Selama lima tahun terakhir di Indonesia masih sering terjadi berbagai peristiwa bencana alam seperti banjir, angin siklon tropis, tanah longsor, dan banjir bandang. Peristiwa bencana tersebut terdistribusi di 28 provinsi. Provinsi yang paling rawan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Salah satu dampak akibat terjadinya bencana adalah jatuhnya korban manusia baik yang meninggal, yang hilang maupun yang luka-luka serta mengakibatkan pula adanya sejumlah penduduk yang mengungsi ke daerah yang relatif lebih aman. Selain itu, bencana juga mengakibatkan rusaknya beberapa fasilitas kesehatan seperti RS, puskesmas, puskesmas pembantu, dan pondok bersalin desa (polindes).

Mengingat Indonesia merupakan negara yang akan terus dihadapkan pada ancaman bencana dan gangguan tersebut yang umumnya datang secara mendadak, kesiapsiagaan menghadapi bencana perlu terus ditingkatkan.

G. Ketersediaan, keterjangkauan obat esensial dan pengawasan

terhadap obat dan makanan

Ketersediaan, keterjangkauan, mutu, penggunaan obat, makanan dan perbekalan kesehatan terus mengalami perbaikan. Indonesia dianggap mampu menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga obat. Namun, ancaman fluktuasi harga obat masih tinggi, antara lain, karena tingginya ketergantungan pada bahan baku obat dari luar negeri, yaitu sekitar 80-85 persen. Demikian pula dengan harga obat yang masih relatif mahal akibat biaya transportasi, dan peresepan obat generik masih rendah terutama di Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Swasta.

Dari aspek pengawasan obat, peredaran obat palsu dan obat illegal masih merupakan masalah yang dihadapi. Masalah ini terjadi pula di tingkat global, baik di negara berkembang maupun di negara maju. WHO memperkirakan bahwa peredaran obat palsu di dunia adalah sebesar 8-10 persen dari seluruh obat yang beredar dan di beberapa negara hal ini meningkat hingga seperempat kali atau bahkan lebih dari estimasi tersebut.

28 - 8

Sementara itu, pencampuran bahan kimia obat ke dalam obat tradisional juga telah menghambat perkembangan industri obat tradisional. Hal ini terjadi akibat menurunnya kepercayaan dunia internasional terhadap mutu dan keamanan obat tradisional Indonesia, yang pada gilirannya mengancam nilai ekspor komoditi ini.

Masalah keamanan makanan saat ini masih menjadi perhatian utama. Makanan yang aman, bermutu, dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan, serta kecerdasan masyarakat. Beberapa permasalahan dalam keamanan makanan, antara lain, penyalahgunaan formalin, borax dan bahan berbahaya lain dalam makanan yang memprihatinkan. Selain itu, pada produk makanan jajanan anak sekolah masih ditemukan penggunaan bahan tambahan makanan yang dilarang, penggunaaan bahan tambahan makanan yang melebihi batas, serta cemaran mikroba. Masalah lain yang perlu diwaspadai adalah peredaran berbagai peralatan makan dan kemasan makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya.

II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Pembangunan kesehatan selama lima tahun terakhir merupakan bagian dari upaya pencapaian sasaran pembangunan kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004–2009. Untuk mengatasi berbagai permasalahan di bidang kesehatan, kebijakan umum pembangunan kesehatan selama lima tahun terakhir diarahkan pada: (1) peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas; (2) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan; (3) pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin; (4) peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; (5) peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini; dan (6) pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar.

Dalam pelaksanaannya, pembangunan kesehatan memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Perhatian

28 - 9

khusus diberikan kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, penduduk daerah tertinggal dan penduduk daerah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender.

Langkah-langkah yang telah ditempuh untuk mengatasi berbagai masalah yang menonjol selama empat tahun terakhir dan hasil yang dicapai adalah sebagai berikut.

A. Peningkatan akses masyarakat kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang pada tahun 2004 dilaksanakan melalui Program Jaminan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) telah ditingkatkan pelaksanaannya menjadi Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di tahun 2007. Program yang kemudian disempurnakan dan mulai tahun 2008 ditetapkan menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Semula (tahun 2004) jumlah sasaran program ini hanya 36,4 juta penduduk miskin, kemudian pada tahun 2006 cakupannya ditingkatkan menjadi 60 juta penduduk miskin serta penduduk hampir miskin dan tidak mampu, mengingat kelompok masyarakat tersebut apabila sakit menjadi miskin atau miskin sekali. Sejak tahun 2007 sampai dengan 2009, jumlah sasaran program telah ditingkatkan lagi menjadi 76,4 juta penduduk.

Selain itu jenis pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin telah dapat ditingkatkan. Jika pada awal program (tahun 2004) jenis pelayanan kesehatan dibatasi hanya pada pelayanan emergensi, pelayanan yang mengancam jiwa, pelayanan ibu dan anak, sejak tahun 2005 jenis pelayanan bagi masyarakat miskin lebih ditingkatkan lagi sehingga mencakup pelayanan khusus, antara lain, hemodialisa, operasi jantung, operasi caesar, serta tindakan besar lainnya sehingga semua pelayanan yang semula hanya dapat diperoleh masyarakat berkecukupan, telah dapat diterima oleh masyarakat miskin, hampir miskin, dan tidak mampu yang menjadi peserta program Jamkesmas. Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia, dalam tingkat ekonomi mana pun baik yang menjadi peserta Jamkesmas maupun tidak, telah dapat menikmati pelayanan kesehatan yang relatif sama kualitasnya.

28 - 10

Karena memahami pentingnya melindungi kesehatan warganya, terlebih bagi masyarakat kurang mampu, agar setiap penduduk dapat meningkatkan produktivitas hidupnya, sebagian pemerintah daerah telah menyisihkan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) untuk melindungi kesehatan penduduk miskinnya sebagai tambahan terhadap kuota Jamkesmas. Hal ini dilakukan baik melalui program Jamkesda maupun program sejenisnya.

Untuk mengurangi kesalahan/ penetapan sasaran pelayanan Program Jamkesmas, penetapan sasaran dilakukan oleh pemerintah daerah. Hingga saat ini telah hampir semua Bupati/Walikota menetapkan daftar nama sasaran Program Jamkesmas melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota dan bahkan beberapa daerah melalui Perda. Sebanyak 465 (98,7 persen) kabupaten/kota dari 471 kabupaten/kota telah menetapkan kepesertaan Jamkesmas. Surat keputusan ini diperbaiki setiap tahunnya dengan memperhatikan kondisi terakhir peserta.

Dalam penyelenggaraan Jamkesmas, bila masih terdapat kekurangan terutama dalam hal pembiayaan, Pemerintah mengharapkan pemerintah daerah dapat menanggulanginya. Kepada penduduk yang berhak mendapat layanan Jamkesmas sampai saat ini telah diterbitkan sebanyak 71.911.261 (94,1 persen) kartu peserta, dan telah didistribusikan sebanyak 71.889.245 (94,1 persen) dari target sebesar 76,4 juta jiwa.

Jamkesmas terus dilanjutkan untuk meningkatkan akses penduduk miskin dan kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan dasar baik di Puskesmas maupun di rumah sakit. Sejalan dengan itu, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar terutama di daerah tertinggal, terpencil, daerah perbatasan, kepulauan dan daerah bencana terus ditingkatkan.

B. Perbaikan status kesehatan dan gizi masyarakat

Status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia terus menunjukkan perbaikan. Empat sasaran dampak yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009 diperkirakan akan tercapai, kecuali angka kematian bayi. Umur harapan hidup telah meningkat dari 66,2 tahun (2004) menjadi 70,5 tahun (2008). Angka kematian ibu menunjukkan penurunan yang cukup tajam yaitu dari 307 (SDKI

28 - 11

2002-2003) menjadi 228 per 100 ribu kelahiran hidup (SDKI, 2007). Angka kematian bayi juga cenderung mengalami penurunan walaupun tidak tajam, yaitu dari 35 (SDKI,2002-2003) menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Diperlukan upaya lebih kuat lagi untuk mencapai target sasaran angka kematian bayi menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2009.

Prevalensi kurang gizi pada anak balita menurun dari 25,8 persen (Susenas.2005) menjadi 18,4 persen (Riskesdas,2007), terdiri atas gizi-kurang menjadi 13,0 persen dan gizi-buruk 5,4 persen dan telah melampaui target yang ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009, yaitu sebesar 20 persen. Pada tahun 2009, apabila dilihat dari data jumlah kasus kekurangan gizi menurut laporan Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya, pada tahun 2007 terdapat sekitar 39 ribu kasus gizi buruk pada balita yang ditemukan dan ditangani, sedangkan pada tahun 2008 tercatat sekitar 40.500 kasus gizi buruk yang dilaporkan dan ditangani. Jumlah kasus ini sebenarnya sudah jauh menurun bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 ditemukan dan ditangani sekitar 76 ribu kasus gizi buruk. Beberapa cakupan hasil kegiatan program perbaikan gizi, antara lain, pemberian makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) pada anak usia 6-9 bulan mencakup 75 persen (SDKI, 2007), pemberian ASI pada bayi umur 0-6 bulan mencakup 32,4 persen (SDKI, 2007), pemberian kapsul vitamin A pada balita usia 6 - 59 bulan mencakup 71,5 persen (Riskesdas, 2007) dan pemberian tablet besi (Fe) pada ibu hamil tahap pertama mencakup 92,2 persen (Riskesdas, 2007).

Keadaan gizi pada ibu hamil, bayi, dan balita pada tahun-tahun mendatang perlu terus ditingkatkan terutama karena masih tingginya bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu sebesar 11,5 persen dan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting) akibat kekurangan gizi dalam jangka waktu lama. Disparitas status gizi juga cukup lebar antarwilayah dan antartingkat sosial ekonomi. Oleh sebab itu, ke depan perbaikan gizi perlu difokuskan pada kelompok sasaran ibu hamil dan anak sampai 2 tahun, mengingat dampaknya sangat besar terhadap tingkat pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas mereka.

28 - 12

C. Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan

Pembangunan dan rehabilitasi puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas dengan perawatan, puskesmas keliling, serta pos kesehatan desa (poskesdes) terus dilakukan untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Di samping itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan rujukan, berbagai rumah sakit terus ditingkatkan kemampuannya, baik daya tampung untuk perawatan maupun peningkatan fasilitas pelayanan medik, seperti ruang operasi, unit gawat darurat, ruang isolasi, unit transfusi darah dan laboratorium kesehatan, serta penambahan jumlah tempat tidur.

Jumlah sarana pelayanan kesehatan yang terus meningkat dapat dilihat dari meningkatnya jumlah puskesmas dari 7.669 unit (2005) menjadi 8.548 unit (2008), puskesmas pembantu (Pustu) dari 22.002 unit (2005) menjadi 22.347 unit (2008), puskesmas keliling (Pusling) perahu air dari 591 unit (2005) menjadi 644 unit (2008), Pusling kendaraan roda empat dari 5.064 unit (2005) menjadi 6.544 unit (2008). Selain itu, jumlah upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) juga meningkat, seperti jumlah posyandu dari 228.659 unit (2005) menjadi 269.202 unit (2008) dan jumlah Desa Siaga yang terbentuk sampai dengan tahun 2008 yang dilengkapi dengan pembangunan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sejumlah 47.111 unit. UKBM lainnya yang terus berkembang adalah 600 Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) dan berkembangnya 967 Musholla Sehat yang didorong dengan bantuan stimulan. Untuk percepatan pembangunan kesehatan di daerah terpencil, daerah perbatasan, dan daerah kepulauan telah dilakukan peningkatan status Puskesmas menjadi Puskesmas Perawatan. Saat ini dari sejumlah 100 Puskesmas di daerah tersebut sebanyak 52 Puskesmas di antaranya telah terbentuk dan berfungsi memberikan pelayanan sebagai Puskesmas Perawatan.

Sementara itu, jumlah rumah sakit umum pemerintah (RSUP) meningkat dari 625 unit (2004) menjadi 667 unit (2007), rumah sakit swasta meningkat dari 621 unit (2004) menjadi 652 unit (2007), sedangkan jumlah tempat tidur (TT) yang tersedia sampai dengan tahun 2007 di rumah sakit pemerintah sebanyak 86.976 TT dan rumah sakit swasta sebanyak 51.475 TT (Profil Kesehatan, 2007).

28 - 13

Rasio tempat tidur rumah sakit terhadap penduduk secara nasional mengalami peningkatan dari tahun 2004 sebesar 61 TT per 100.000 penduduk menjadi 63,3 TT per 100.000 penduduk pada tahun 2007 (Profil Kesehatan, 2007), namun masih lebih rendah dibandingkan target nasional tahun 2009, yaitu sebesar 75 TT per 100.000 penduduk. Tantangan lainnya adalah sistem rujukan yang belum optimal walaupun utilisasi fasilitas kesehatan meningkat pesat. Khusus untuk penanganan kasus flu burung, hingga saat ini telah terdapat 100 rumah sakit rujukan flu burung (Depkes, 2008). Guna meningkatkan profesionalisme dan efesiensi serta efektifitas pengelolaan keuangan sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal, pengelolaan rumah sakit diarahkan sesuai dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Dengan pola tersebut, rumah sakit dapat cepat memperoleh dukungan pembiayaan bagi peningkatan kualitas pelayanan. Sampai tahun 2008 telah ditetapkan sebanyak 27 RS pemerintah yang ditetapkan menjadi RS-BLU, yang akan terus ditingkatkan dengan melakukan perbaikan-perbaikan ke arah yang lebih sempurna.

Akses terhadap fasilitas pelayanan terus meningkat. Saat ini, sekitar 97,3 persen penduduk dapat menjangkau sarana kesehatan dalam waktu kurang dari 60 menit. Akses terhadap upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM ) juga meningkat. Saat ini sekitar 78,9 persen rumah tangga rata-rata berada kurang dari satu kilometer dari fasilitas pelayanan. Sementara itu, lebih dari 95 persen masyarakat dapat menjangkau sarana kesehatan dalam jarak dan waktu tempuh yang pendek.

D. Penanggulangan penyakit

Sejalan dengan meningkatnya pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan dan menguatnya surveilans, keadaan kesakitan beberapa penyakit menular terlihat mengalami penurunan. Demikian pula, dengan kematian dan kecacatan akibat penyakit menular telah dapat ditekan. Penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah dan prioritas dalam penanggulangannya adalah Tuberculosis (TB), Malaria, Demam Berdarah Dengue, dan HIV/AIDS.

28 - 14

Angka kesakitan penyakit TB telah menurun dari 107 per 100.000 pada tahun 2005 menjadi 101 per 100.000 penduduk pada tahun 2008. Angka penyembuhannya (success rate) telah mencapai lebih dari 89 persen, yang juga melebihi target internasional sebesar 85 persen.

Angka kesakitan penyakit malaria juga menurun, yang dapat dilihat dari Annual Malaria Incidence (AMI) yang menurun dari 24,8 per 1.000 pada tahun 2005 menjadi 16,1 per 1.000 penduduk pada tahun 2008. Demikian pula, Annual Parasite Incidence (API) menurun dari 19,6 per 1.000 pada tahun 2005 menjadi 13,8 per 1.000 penduduk pada tahun 2008. Namun demikian, terjadi peningkatan angka kematian dari 0,9 persen pada tahun 2005 menjadi 3,1 persen pada tahun 2008.

Incidence Rate penyakit demam berdarah (DBD) memang meningkat tahun demi tahun, yang disebabkan oleh penanganan lingkungan yang kurang baik dan berkaitan dengan masih kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat. Namun, angka kematiannya (CFR) terus dapat ditekan dari 1,4 persen pada tahun 2005 menjadi 0,9 persen pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan semakin baiknya penatalaksanaan kasus demam berdarah, baik di Puskesmas maupun di RS.

Surveillans penyakit HIV dan AIDS juga terus meningkat. Kasus baru AIDS yang dapat ditemukan terus meningkat sehingga pada tahun 2008 secara kumulatif terdapat 16.110 penderita AIDS yang sedang menjalani perawatan dan pengobatan. Pengobatan dengan Anti Retro Viral (ARV) dilakukan melalui pelayanan komprehensif HIV dan AIDS di RS meningkat dari 25 RS pada tahun 2004 menjadi 153 RS pada tahun 2006 dan sekitar 200 RS pada tahun 2008, dan akan terus dikembangkan sehingga mencakup semua RSUD (lebih dari 400 RS) kabupaten/kota pada tahun 2009. Upaya pencegahan penyakit AIDS juga terus ditingkatkan agar tidak terjadi penularan pada orang lain.

Jumlah kasus flu burung menurun dari 39 kasus pada semester I (Januari-Juni) tahun 2006 menjadi 26 kasus pada periode yang sama tahun 2007. Jumlah penderita yang meninggal juga menurun dari 31 kasus pada semester I (Januari-Juni) tahun 2006 (CFR 79,5

28 - 15

persen) menjadi 22 kasus pada periode yang sama tahun 2007 (CFR 84,6 persen). Indonesia juga masih dapat mempertahankan wabah flu burung pada Fase-3, yaitu keadaan ketika virus flu burung hanya menular dari unggas ke manusia. Tingkat kematian akibat penyakit flu burung sangat tinggi, sampai dengan akhir tahun 2008, terdapat 141 kasus positif dan 115 orang di antaranya meninggal (CFR, 81,6 persen). Untuk menangani hal itu telah disiapkan 44 Rumah Sakit rujukan pada tahun 2006, dan dikembangkan menjadi 100 Rumah Sakit rujukan pada tahun 2007. Obat Oseltamivir atau Tamiflu telah dapat diproduksi di dalam negeri, dan telah disiapkan sebanyak 16 juta kapsul serta telah tersedia di setiap Puskesmas dan Rumah Sakit. Di samping itu, dikembangkan pula 8 laboratorium diagnostik dan peningkatan kompetensi laboratorium Badan Litbangkes Depkes sehingga sejak Juli 2006 pemeriksaan laboratorium flu burung sudah dapat dilakukan sendiri di Indonesia tanpa harus mengirim spesimen ke Hongkong. Dalam tahun 2007 laboratorium Badan Litbangkes di Surabaya telah dapat dikembangkan menjadi laboratorium Bio Safety Level 3 (BSL-3). Laboratorium Bio Safety Level 3 merupakan laboratorium pada level keamanan pemeriksaaan virus dan bakteri yang cukup tinggi. Laboratorium ini merupakan sarana untuk menerima, menguji, dan menganalisis, serta mendiagnosis agen patogenik berbahaya.

Khusus untuk penanggulangan influenza type A baru (flu babi/virus H1N1) yang telah ditemukan kasusnya di Indonesia, Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya kesiapsiagaan dan penanggulangannya dengan belajar dari pengalaman penanggulangan kasus Flu Burung.

Untuk penyakit tidak menular (PTM), data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi penduduk umur lebih 18 tahun sebesar 7,6 persen, tertinggi di Sulawesi Utara (11,4 persen), terendah di Papua dan Maluku (4,4 persen). Prevalensi penyakit jantung sebesar 7,2 persen, tertinggi di Aceh (12,6 persen), terendah Sumatera Utara (3 persen). Prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,1 persen, tertinggi di DKI Jakarta (2,6 persen), terendah di Lampung (0,4 persen). Penyakit tidak menular merupakan ancaman baik bagi negara maju maupun negara berkembang. WHO memprediksi bahwa PTM berkontribusi sebesar 56 persen dari semua kematian dan 44

28 - 16

persen dari beban penyakit dalam negara negara di Asia Tenggara. Di Indonesia penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian. Faktor risiko utama yang menyebabkan berbagai PTM tersebut adalah hipertensi, glukosa darah yang tinggi, obesitas dan lemak darah yang tidak normal. Perilaku berisiko yang sangat berpengaruh terhadap faktor risiko tersebut, antara lain, pola makan yang tidak sehat, fisik yang tidak aktif, dan kebiasaan merokok. Saat ini lebih sepertiga dari penduduk usia sepuluh tahun ke atas adalah perokok, dan kebiasaan merokok ini telah dimulai sejak remaja.

E. Pemenuhan tenaga kesehatan

Indonesia merupakan daerah kepulauan, yang sampai saat ini masih terdapat sekitar 199 kabupaten tertinggal, 19 kabupaten perbatasan dan 33 pulau kecil terluar berpenduduk. Secara bertahap pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan juga telah dilakukan untuk daerah-daerah tersebut. Guna memenuhi kebutuhan dan pemerataan tenaga kesehatan di daerah, terutama di daerah terpencil, sangat terpencil, dan daerah perbatasan, telah dilakukan penempatan tenaga kesehatan, untuk menjamin pelayanan kesehatan yang lebih baik di daerah-daerah tersebut.

Sejak tahun 2005 sampai dengan Juni 2009, telah diangkat dan ditempatkan dokter spesialis PTT sebanyak 249 orang, dengan rincian 48 orang bertugas di daerah biasa, 272 orang bertugas di daerah terpencil, dan 29 orang bertugas di daerah sangat terpencil. Pada tahun 2005 sampai 2008 telah diangkat dan ditempatkan dokter umum PTT sebanyak 13.370 orang, dengan rincian 3.106 orang bertugas di daerah biasa, 4.658 orang bertugas di daerah terpencil, dan 5.606 orang bertugas di daerah sangat terpencil, sedangkan untuk dokter gigi PTT untuk kurun waktu yang sama diangkat dan ditempatkan sebanyak 3.998 orang, dengan rincian 1.187 orang bertugas di daerah biasa, 1.037 orang bertugas di daerah terpencil, dan 1.774 orang bertugas di daerah sangat terpencil. Bidan PTT yang diangkat untuk kurun waktu tahun 2005-2008 berjumlah 45.379 orang, yang terdiri dari 26.298 orang untuk daerah biasa, dan 19.081 orang untuk daerah terpencil.

Untuk menarik minat tenaga kesehatan ditempatkan di daerah terpencil, sangat terpencil, perbatasan, dan pulau-pulau terluar,

28 - 17

Departemen Kesehatan telah memberikan insentif setiap bulan untuk dokter spesialis sebesar Rp. 7,5 juta, dokter/ dokter gigi sebesar Rp. 5 juta dan bidan Rp. 2,5 juta. Agar tidak terjadi kekosongan tenaga kesehatan di suatu daerah (termasuk tenaga residence senior), yang akan berakibat terganggunya penyelenggaraan pelayanan kesehatan di daerah tersebut, peran dan dukungan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk dapat memberikan insentif tambahan serta fasilitas perumahan dan transportasi. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan dapat menyediakan formasi CPNS Daerah (CPNS-D) untuk daerah biasa agar dapat menampung dokter/dokter gigi Pasca PTT.

Sejalan dengan upaya percepatan peningkatan pelayanan medik spesialistik secara nasional, pada tahun 2008 telah diselenggarakan sebanyak 700 orang tugas belajar Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dan tahun 2009 menjadi 1.740 orang tugas belajar PPDS. Selain itu pada tahun 2008 telah didayagunakan pula sebanyak 52 orang residen senior di 8 provinsi, yaitu: Provinsi Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, NAD, Sumatera Utara, Papua, Papua Barat dan Jawa Tengah. Tahun 2009 direncanakan akan didayagunakan pula 150 orang residen senior di 8 provinsi.

Sebagai salah satu upaya peningkatan mutu penyiapan dokter di Indonesia telah diberlakukan kurikulum pendidikan dokter yang baru, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang setiap dokter yang baru lulus wajib mengikuti program kemahiran keterampilan (internship). Dalam rangka penyiapan pelaksanaan program ini, Departemen Kesehatan telah berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional, Konsil Kedokteran Indonesia, dan Ikatan Dokter Indonesia menyusun program Internship. Program ini direncanakan akan dilaksanakan mulai tahun 2010 dan diikuti oleh 12 Fakultas Kedokteran yang telah meluluskan dokter menggunakan KBK yaitu Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Jakarta, Universitas Hasanudin, Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Pajajaran, Universitas Tanjungpura, Universitas Andalas, Universitas Airlangga, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Jenderal Sudirman dan Universitas Brawijaya.

28 - 18

F. Penanggulangan bencana

Bencana alam ataupun bencana sosial yang terjadi di berbagai wilayah dan menimbulkan masalah kesehatan telah dapat ditangani dan ditanggulangi dengan baik. Upaya penanggulangan masalah krisis kesehatan akibat bencana tidak selamanya dapat diatasi oleh pemerintah kabupaten/kota sehingga pada beberapa kejadian bencana juga dibantu baik oleh provinsi maupun Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Regional dan Pusat. Bantuan kesehatan tersebut berupa sarana, tenaga, dan biaya operasional penanggulangan pada masa tanggap darurat. Pusat bantuan Regional Penanganan Krisis Kesehatan tersebut telah didirikan di 9 tempat di Indonesia (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan) dan 2 subregional di Sumatera Barat dan Papua. Masing-masing pusat tersebut dilengkapi dengan tenaga terlatih dan logistik yang lengkap, yang setiap saat siap digerakkan dan didistribusikan ke daerah bencana. Walaupun demikian, dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, peran aktif dan kontribusi positif masyarakat dan pemerintah daerah diminta untuk dapat melakukan berbagai upaya tetap diharapkan, terutama untuk kejadian bencana dalam skala lokal.

Sepanjang tahun 2008 terdapat 5 provinsi yang telah memberikan bantuan kesehatan kepada kabupaten/kota di wilayah kerjanya yang mengalami kejadian bencana yaitu Provinsi NAD, Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Bantuan yang diberikan umumnya berupa sarana dan tenaga kesehatan, sedangkan bantuan kesehatan dalam upaya tanggap darurat tidak hanya dalam bentuk pengiriman tim kesehatan, bahan dan sarana kesehatan, tetapi termasuk juga biaya operasional penanganan masalah kesehatan di daerah bencana.

G. Ketersediaan, keterjangkauan obat esensial dan pengawasan terhadap obat dan makanan

Ketersediaan, keterjangkauan, mutu, penggunaan obat, makanan dan perbekalan membaik. Hingga saat ini terdapat sekitar 16.000 jenis obat yang terdaftar di Indonesia. Sekitar 400 jenis obat tercantum dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan 220 di

28 - 19

antaranya merupakan obat generik esensial. Dalam rangka meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap obat, sejak tahun 2006 lebih dari 150 item/jenis obat generik harganya telah dapat diturunkan sampai dengan 70 persen, dan disusul dengan penurunan harga 1.418 item/jenis obat esensial generik bermerek antara 10-80 persen pada tahun 2007.

Untuk lebih meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap obat, telah diluncurkan pula program Obat Serba Seribu agar masyarakat dapat melakukan pengobatan sendiri (self medication) untuk keluhan-keluhan umum. Saat ini, melalui program Obat Serba Seribu telah tersedia 12 jenis dan akan terus bertambah dalam waktu dekat. Obat Serba Seribu dapat dibeli oleh masyarakat di apotik, apotik rakyat, toko obat, toko maupun warung dan juga di Pos Kesehatan Desa. Di Indonesia tercatat sekitar 10.880 apotik dan 8.000 toko obat. Agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar tentang obat generik dan harganya, telah dilakukan pula labelisasi obat generik pada kemasannya, dan dengan pencantuman harga eceran tertingginya (HET).

Obat-obat tradisional secara luas masih digunakan terutama di daerah perdesaan. Dalam beberapa dekade terakhir obat tradisional produksi rumah tangga berkembang menjadi industri dengan lebih dari 900 industri kecil dan 130 industri menengah, 69 di antaranya telah mendapat sertifikat Good Traditional Medicine Manufacturing Practice (GTMMP). Perkembangan industri obat tradisional ini didukung dengan potensi 9.600 jenis tanaman yang berpotensi mempunyai efek pengobatan, dengan 300 di antaranya telah digunakan sebagai bahan baku industri. Dalam hal distribusi, terdapat sekitar 2.600 agen (wholesaler) yang beroperasi di tingkat kabupaten/kota, walaupun semuanya terafiliasi pada 10 distributor nasional.

Sementara itu, tuntutan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan terhadap peredaran produk obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan semakin meningkat. Oleh karena itu, pengawasan obat dan makanan tidak dapat dilakukan hanya secara parsial pada produk akhir yang beredar di masyarakat, tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik, mulai dari kualitas bahan yang digunakan, cara-cara produksi, distribusi, penyimpanan,

28 - 20

sampai produk tersebut siap dikonsumsi konsumen. Selain itu, penegakan hukum terhadap penyimpangan di bidang obat dan makanan perlu ditingkatkan.

Dalam rangka pengawasan mutu obat tradisional yang beredar, selama tahun 2004 sampai dengan Juni 2009 didapati 20,7 persen sampel yang tidak memenuhi persyaratan farmasetik, yaitu obat tradisional dicampur bahan kimia obat. Terhadap temuan ini telah dilakukan pengamanan dengan menarik produk-produk tersebut dari peredaran. Selain itu, dilakukan berbagai upaya tindak lanjut mulai dari pembinaan untuk memperbaiki proses produksi serta public warning melalui berbagai media massa.

Untuk memberantas dan menertibkan peredaran produk obat dan makanan ilegal dan palsu serta obat keras di sarana yang tidak berhak, Badan POM telah melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana di bidang obat dan makanan, serta secara khusus menindaklanjuti kasus pelanggaran di bidang obat dan makanan termasuk yang dilakukan oleh instansi penegak hukum lainnya. Selama tahun 2004 sampai dengan Juni 2009 ditemukan sejumlah 4.865 kasus pelanggaran ditinjau dari jenis komoditas. Dari total kasus pelanggaran tersebut, 1.406 kasus (28,9 persen) ditindaklanjuti dengan tindakan pro-justisia dan 71,1 persen lainnya ditindaklanjuti dengan sanksi administratif.

Sebagai bentuk pelaksanaan kebijakan obat, telah dilakukan langkah-langkah dalam upaya menjamin ketersediaan dan stabilitas harga obat. Pemerintah telah mengeluarkan dua Peraturan Presiden dan dua Peraturan Menteri, yaitu

1. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 94 Tahun 2007 tentang Pengendalian dan Pengawasan Atas Pengadaan dan Penyaluran Bahan Obat, Obat Spesifik dan Alat Kesehatan yang berfungsi sebagai obat.

2. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2007, tentang Perubahan ke-7 Atas Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102 Tahun 2007 yang mengatur tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Obat-

28 - 21

obatan yang dibiayai dengan menggunakan Anggaran Pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.

4. Kepmenkes Nomor 381/Menkes/SK/III/2007 yang mengatur tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional untuk menjamin ketersediaan dan stabilitas harga obat dalam upaya kemandirian di bidang farmasi

Dalam rangka pengawasan mutu dan keamanan makanan, selama tahun 2004 sampai dengan Juni 2009 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 16.180 sarana industri yang terdiri dari industri makanan, industri rumah tangga, dan industri makanan yang tidak terdaftar. Hasil pemeriksaan sarana industri makanan memperlihatkan bahwa 30,4 persen sarana sudah menerapkan cara-cara produksi makanan yang baik, 56,9 persen cukup, dan 12,7 persen dinilai kurang. Pemeriksaan industri rumah tangga telah dilakukan terhadap 11.990 industri dan dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa 5,4 persen dinilai baik, 53,3 persen cukup, dan 41,3 persen dinilai kurang, sedangkan untuk pengawasan mutu produk makanan yang beredar di masyarakat secara rutin telah dilakukan pengujian terhadap 129.824 sampel makanan, 13,9 persen di antaranya tidak memenuhi persyaratan mutu dan kemanan. Terhadap hasil pemeriksaan telah dilakukan tindak lanjut berupa teguran, peringatan, dan pembinaan. Pengawasan keamanan makanan harus dilakukan secara total karena masalah keamanan makanan dapat terjadi di mana saja mulai dari makanan yang dibudidayakan hingga yang siap dikonsumsi.

III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Langkah tindak lanjut yang diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan di bidang kesehatan, antara lain, diuraikan melalui berbagai kebijakan yang akan diterapkan pada tahun 2010 meliputi antara lain,

1. peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, terutama pada daerah dengan aksesibiltas yang relatif rendah;

28 - 22

2. perbaikan gizi masyarakat, dengan fokus utama pada ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun, dan penanggulangan gizi lebih, antara lain, melalui kerjasama lintas sektor, pemilihan intervensi yang efektif dengan didukung oleh data yang kuat;

3. pengendalian penyakit menular, terutama TB, Malaria, HIV/AIDS, DBD dan diare serta penyakit zoonotik, dan penguatan upaya eliminasi penyakit-penyakit terabaikan, seperti kusta, frambusia, filariasis, schistomiasis serta penyakit baru maupun penyakit yang muncul kembali;

4. pengendalian penyakit tidak menular terutama penyakit jantung, kanker, diabetes melitus, dan metabolisme syndrom serta penyakit gangguan kejiwaan;

5. pengendalian faktor risiko lingkungan (fisik, kimia, biologis, psychosocial termasuk perubahan iklim) yang difokuskan pada faktor risiko kejadian penyakit menular dan tidak menular;

6. pencegahan penyebaran faktor risiko dan kejadian penyakit dari dan dalam suatu wilayah negara sesuai dengan komitmen nasional ataupun komitmen internasional seperti International Health Regulation (IHR) 2005;

7. pengendalian penyakit menular dan tidak menular melalui pendekatan surveilans, promosi dan pemberdayaan masyarakat, serta penguatan manajemen pelayanan kesehatan;

8. peningkatan pembiayaan yang diikuti oleh efisiensi penggunaan anggaran;

9. pengembangan jaminan pelayanan kesehatan, antara lain dengan pengembangan asuransi kesehatan wajib dan pengembangan kemitraan dengan penyedia pelayanan masyarakat dan swasta;

10. peningkatan jumlah, jenis, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan nasional serta antisipasi persaingan global yang didukung oleh sistem perencanaan dan pengembangan SDM kesehatan secara sistematis dan didukung oleh peraturan perundangan;

28 - 23

11. peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, mutu, dan penggunaan obat, terutama obat esensial termasuk penggunaan obat yang rasional, yang didukung oleh pengembangan peraturan perundangan dan peningkatan pemanfaatan bahan obat asli Indonesia;

12. peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dengan penekanan pada perilaku dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat termasuk mendorong penciptaan lingkungan dan peraturan yang kondusif, dan penguatan upaya kesehatan berbasis masyarakat dengan memperhatikan kemampuan dan karakteristik masyarakat;

13. perbaikan manajemen kesehatan melalui pengembangan hukum dan administrasi kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, penapisan teknologi kesehatan serta pengembangan sistem informasi kesehatan.